Bismilllah Produksi Kerupuk Rumput Laut B

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 82

PRODUKSI KERUPUK RUMPUT LAUT Eucheuma cottoni DI UD.

INDAH

PRATAMA DESA KILENSARI KECAMATAN PANARUKAN KABUPATEN

SITUBONDO JAWA TIMUR

PRAKTIK KERJA MAGANG

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN JURUSAN

MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Oleh :

ANDDHIEKA SULISSETIAWAN

NIM. 145080301111051

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017
PRODUKSI KERUPUK RUMPUT LAUT Eucheuma cottoni DI UD. INDAH

PRATAMA DESA KILENSARI KECAMATAN PANARUKAN KABUPATEN

SITUBONDO JAWA TIMUR

1. PRAKTIK KERJA MAGANG


PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN JURUSAN

MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Sebagai Salah Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di
Fakultas dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh :

ANDDHIEKA SULISSETIAWAN

NIM. 145080301111051

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2017

i
PRAKTIK KERJA MAGANG
PRODUKSI KERUPUK E. Cottonii DI UD. INDAH PRATAMA, DESA
KILENSARI KECAMATAN PANARUKAN KABUPATEN SITUBONDO

Oleh :

ANDDHIEKA SULISSETIAWAN

145080301111051

Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Jurusan Dosen Pembimbing

(Dr. Ir. Arning Wilujeng Ekawati, MS) (Dr. Ir. Muhamad Firdaus, MP)
NIP .19620805 198603 2 001 NIP. 1968919 200501 1 001

Tanggal : ____________________ Tanggal : ______________

ii
KATA PENGANTAR

Laporan inidisusun agar pembaca dapat memperluas dan mengembangkan

ilmu tentang Produksi kerupuk rumput laut dimulai dari tata letak produksi,

kegiatan produksi dan karakteristik produk, sanitasi dan higiene,serta analisa

usaha berdasarkan Praktik Kerja Magang yang telah penulis laksanakan.

Semoga dengan laporan ini dapat memberikan manfaat yang lebih dan

menjadi inspirasi pemikiran kepada pembaca. Saya sadar masih banyak

kekurangan dari laporan ini maka dari itu saya meminta masukannya dari dosen

pembimbing saya untuk perbaikan dimasa yang akan datang,dan saya sangat

mengharapkan kritik dan masukan dari pembaca.

Malang, Oktober 2017

Penulis

3
RINGKASAN
Anddhieka Sulissetiawan Praktik Kerja Magang (PKM) Proses Pembuatan
Kerupuk Rumput Laut E. cottonii di UD Indah Pratama Desa Kilensari Kecamatan
Panarukan Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. (dibawah bimbingan
Dr.Ir.Muhamad Firdaus.MP).

Praktik Kerja Magang ini dilaksanakan di UKM Hj. Badjuri Desa Kedung
Peluk Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Maksud dari
pelaksanaan Praktik Kerja Magang (PKM) adalah untuk mengetahui dan
mempelajari secara langsung proses pembuatan kerupuk ikan gabus (Channa
striata) di UKM Hj. Badjuri. Sedangkan tujuan dari pelaksanaan Praktik Kerja
Magang ini adalah untuk menerapkan teori yang didapat pada saat kuliah pada
kondisi lapang, memperoleh keterampilan yang bersifat teknis tentang proses
pembuatan kerupuk ikan gabus mulai dari bahan baku hingga produk yang
dihasilkan, mengetahui sarana dan prasarana yang digunakan selama proses
produksi serta untuk mengetahui sanitasi dan pengendalian mutu yang dilakukan
oleh UKM Hj. Badjuri..
Metode yang digunakan dalam pelaksanaan Praktik Kerja Magang ini
adalah metode deskriptif yaitu mengumpulkan data primer dan sekunder yang
ada dilapang. Data-data tersebut didapat dengan cara observasi, wawancara,
partisipasi aktif dan dokumentasi dalam proses pengalengan ikan tuna.
Pengambilan data dimulai dari proses pengadaan bahan baku sampai pada
produk akhir yang dihasilkan serta penerapan sanitasi dan hygiene selama
proses pembuatan kerupuk ikan gabus.
UKM Hj. Badjuri merupakan kelompok usaha yang membuat produk
olahan dari ikan Kecamatan Candi dan dibawah binaan STIE Perbanas
Surabaya dan Dinas Perikanan dan Kelautan. UKM Hj. Badjuri didirikan pada
tahun 2013. Berawal dari diadakannya pertemuan secara formal antar pengolah
produk hasil perikanan di desa Kedung Peluk.
Proses pembuatan kerupuk ikan gabus di UKM Hj. Badjuri meliputi
penggilingan fillet daging ikan gabus, pencampuran bahan, pencetakan adonan
kerupuk, pengukusan adonan, pendinginan adonan, pemotongan kerupuk,
penjemuran kerupuk dan pengemasan kerupuk ikan gabus.
Analisa proksimat kerupuk ikan gabus dilaksanakan di Laboratorium Pengujian
Mutu dan Keamanan Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas
Teknologi Hasil Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Hasil analisa proksimat
kerupuk ikan gabus adalah kadar protein 5,65%, kadar lemak 11,53%, kadar air
6,84%, kadar abu 2,68% dan kadar karbohidrat 73,36%.

4
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan peradaban yang semakin

maju akhirnya diketahui kandungan zat-zat yang terdapat didalam rumput laut

tersebut sehingga pemanfaatannya akan dapat dioptimalkan tidak hanya sebagai

bahan pangan yang dikonsumsi langsung secara sederhana tetapi juga

merupakan bahan dasar pembuatan produk pangan rumah tangga maupun

industri makanan skala besar (Anggadireja, dkk., 2008).

Saat ini, konsumsi serat pangan di Indonesia masih didominasi bahan asal

tanaman darat karena relatif murah dan mudah diperoleh. Sedangkan buah-

buahan, glukan pada sereal, dan gum pada kacang-kacangan, biji-bijian, dan

rumput laut (Fennema, 1976). Maka dari itu diperlukan inovasi dalam pemanfaatan

rumput laut agar dapat maksimal dalam pemanfaatannya.

Dengan kandungan dan manfaat yang berlimpah rumput laut dapat

dijadikan fortifikasi pada produk olahan pangan. Tujuannya adalah meningkatkan

kandungan gizi dalam suatu produk seperti mineral dan serat pangan yang penting

bagi tubuh, selain itu rumput laut juga menyimpan manfaat sebagai antioksidan

yang tinggi. Pemanfaatan rumput laut sebagai fortifikasi bahan pangan juga

berpotensi sebagai teknologi pangan berbasis rumput laut.

Salah satu jenis makanan yang cukup banyak digemari masyarakat adalah

kerupuk. Selama ini kerupuk yang kita makan sebagai camilan atau teman

menyantap nasi biasanya terbuat dari ikan, udang, terasi, atau tanpa campuran

apapun. Oleh karena itu, perlu dicoba variasi rasa yang lain, salah satunya

kerupuk yang dibuat dari campuran tepung tapioka dan rumput laut

(Siswantoro,2009). Proses pembuatan kerupuk E. cottonii cenderung sederhana

1
dan mudah dimengerti mulai dari pengadonan bahan, pencetakan, pengukusan,

pemotongan, penjemuran hingga penggorengan.

UD. Indah Pratama merupakan tempat usaha dengan skala rumah

tangga dan dalam bentuk UKM (Usaha Kecil Menengah) yang berada di desa

Kilensari Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo Jawa Timur. Usaha ini

bergerak dalam bidang pengolahan perikanan. UD. Indah Pratama di dampingi

oleh Dinas perdagangan dan perindustrian (disperindag) Kabupaten Situbondo

dan UKM ini termasuk dalam kelompok IKM mandiri binaan bapak Juhari S.sos.

2
1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari praktik Kerja Magang (PKM) adalah untuk mengetahui secara

langsung proses pembuatan Kerupuk rumput laut di UD Indah Pratama Kabupaten

Situbondo Jawa Timur.

Tujuan PKM ini adalah:

1. Mengetahui dan mengenal keadaan umum dan tata letak dan produksi

kerupuk rumput laut E. cottonii di UD. Indah Pratama Kecamatan Panarukan

Kabupaten Situbondo Jawa Timur

2. Mengetahui proses produksi kerupuk E. cottonii di UD Indah Pratama Desa

Kilensari Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo Jawa Timur

3. Mengetahui penerapan sanitasi dan higiene serta HACCP pada proses

produksi kerupuk E. cottonii di UD Indah Pratama Desa Kilensari Kecamatan

Panarukan Kabupaten Situbindo Jawa Timur

4. Mengetahui analisis usaha kerupuk E. cottonii di UD Indah Pratama Desa

Kilensari Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo Jawa Timur

3
1.3 Kegunaan
Hasil dari PKM ini diharapkan dapat menambah wawasan pembaca serta

mengasah keterampilan mahasiswa di lapang guna mengetahui kecocokan teori di

kampus dengan keadaan sesungguhnya.Laporan PKM ini diharapkan berguna

bagi:

1. Lembaga akademis atau perguruan tinggi,sebagai informasi keilmuan dan

pedoman untuk mengadakan penelitian.

2. Sebagai sumber informasi bagi unit usaha pembuatan kerupuk E cottonii

dengan skala industri kecil menengah (IKM), agar potensi yangada dapat

diberdayakan dan dimanfaatkan secara baik guna menunjang perekonomian

masyarakat Kabupaten Situbondo.

3. Mahasiswa menambah pengetahuan dan keahlian dalam pembuatan

kerupuk E. cottonii

4. Dapat digunakan sebagai sumber informasi untuk masyarakat mengenai

proses pembuatan kerupuk E. cottonii

1.4 Tempat dan Waktu


Praktik Kerja Magang ini dilaksanakan di UD.Indah Pratama Desa Kilensari

Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo Jawa Timur.Praktik Kerja Magang

dilakukan pada bulan 20 Juli 16 Agustus 2017.

4
2. METODE PRAKTIK KERJA MAGANG

2.1 Metode Pendekatan Praktik Kerja Magang

Metode yang digunakan dalam PKM ini merggunakan metode deskriptif.

Metode deskriptif adalah metode yang digunakan dalam mencari unsur, ciri, dan

sifat suatu fenomena. Dimulai dengan pengumpulan data,menganalisis data dan

mengintrepretasikannya. Metode deskriptif dalam pelaksanaannya dilakukan

melalui teknik survey, studi kasus (berbeda dengan suatu kasus), studi

komparatif, studi tentang waktu dan gerak, analisis tingkah laku, dan analisis

dokumenter (Suryana,2010).

Dalam mendeskripsikan proses pembuatan kerupuk rumput laut

dibutuhkan juga data primer dan sekunder. Dalam kegiatan PKM ini, hal yang

perlu di deskripsikan diantaranya : keadaan umum lokasi, sarana dan prasarana

proses proses produksi, proses pembuatan kerupuk E. cottonii dari penanganan

awal sampai pemasaran prosuk, sanitasi hygiene lokasi usaha dan lingkungan

sekitar. Hal tersebut dapat diketahui dengan melakukan survey lapang dan

wawancara.

2.2 Pengambilan Data

Dalam pengambilan data diperlukan observasi partisipasif,sebaiknya

peneliti aktif berperan dalam kegiatan yang ada, sehingga peneliti dapat dengan

mudah mengamati. Peneliti membuat catatan lapang yang terdiri dari catatan

deskriptif yang berisi gambaran tempat, orang dan kegiatannya (termasuk

pembicaraan dan ekspresinya). Dan catatan reflektif yang berisi pendapat,

gagasan dan kesimpulan sementara peneliti serta wawancara terbuka yang

dapat secara leluasa menggali data selengkap mungkin dan seldalam mungkin

5
sehingga pemahaman peneliti terhadap fenomena yang ada sesuai dengan

pemahaman para perilaku itu sendiri, jika perlu dapat dibantu dengan alat

perekam (Djaelani, 2013).

Data yang diambil pada PKM yang berjudul Proses Pembuatan Kerupuk

E.cottonii Di UD Indah Pratama Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo

Jawa Timur meliputi data primer dan data sekunder.

2.2.1 Data Primer


Data primer yang diambil dalam PKM meliputi sejarah berdinya UKM dan

perkembangan usaha, jenis dan jumlah peralatan serta cara pengoperasian

peralatan, proses pembuatan kerupuk E. cottonii, biaya produksi, pendapatan

dan penerimaan, daerah dan pemasaran produk,keadaan perusahaan, tenaga

kerja, manajemen perusahaan.

a. Observasi

Observasi menurut Djaelani (2013), berasal dari kata observation yang

berarti pengamatan. Metode observasi dilakukan dengan cara mengamati

perilaku, kejadian atau kegiatan orang atau sekelompok orang yang diteliti.

kemudian mencatat hasil pengamatan tersebut untuk mengetahui apa yang

sebenarnya terjadi. Dengan pengamatan peneliti dapat melihat kejadian

sebagaimana subyek yang diamati mengalaminya, menangkap, merasakan

fenomena sesuai pengertian subyek dan obyek yang diteliti.

Dalam PKM ini, observasi dilakukan terhadap metode yang digunakan

dalam proses pembuatan kerupuk E. cottonii dimulai dari awal sampai akhir.

b. Interview/Wawancara

Proses iwawancara perlu dilakukan karena dengan cara ini dapat bedialg

dengan pihak pengusaha pembuatan kerupuk E. cottonii di UD Indah Pratama

Desa Kilensari Kecamatan Panarukan,Kabupaten Situbondo Jawa timur dan

6
masyarakat yang terlibat dalam usaha pembuatan kerupuk rumput laut E.

cottonii. Adapun hal-hal yang perlu ditanyakan dlaam wawancara adalah yang

berkaitan dengan proses produksi, fasilitas serta sistem sanitasi dan hygiene

yang diterapkan dalam perusahaan.

c. Partisipasi Aktif

Partisipasi aktif dilakukan dengan mengikuti beberapa tahapan kegiatan

produksi. Dimana tahapan tersebut dimulai dari penerimaan bahan baku sampai

ke produksi akhir khususnya pada kerupuk E. cottonii.

c. Dokumentasi

Teknik dokumentasi merupakan teknik mengumpulkan data dengan cara

melakukan pengambilan gambar. Teknik ini akan mendukung data-data yang

sudah diambil dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang

sebelumnya. Kegiatan dokumentasi pada PKM ini dilakukan dimulai dari

penerimaan bahan baku hingga produksi kerupuk E. cottonii.

2.2.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang didapatkan bukan dengan usaha peneliti

sendiri pengumpulannya, bisa didapatkan dari sumber lainnya yang terpercaya

contohnya dari surat kabar, data statistik, majalah, atau publikasi. Data internal

adalah data yang diperoleh dari dalam lokasi usaha yaitu UD.Indah Pratama

Desa Kilensari, Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo Jawa Timur. Data

tersebut meliputi letak geografis perusahaan, struktur organisasi, lokasi dan tata

letak.Data eksternal merupakan data yang dipeoleh dari luar lembaga

pemerintah, lembaga swasta, serta masyarakat yang terkait usaha tersebut.

7
3. KEADAAN UMUM LOKASI PRAKTIK KERJA MAGANG

3.1 Keadaan Umum Daerah Usaha

3.1.1 Lokasi dan Letak Geografis

UD.Indah Pratama bertempat di Desa Kilensari Kecamatan Panarukan Ka

bupaten Situbondo Jawa Timur. Berlokasi dekat dengan darmaga panarukan

sekitar 20m. Kecamatan Panarukan memiliki luas 54,48 km2 yang memiliki suhu

maksimum 330 C dan suhu minimum 230C yang sangat cocok untuk kegiatan

penjemuran kerupuk E. cottonii. Batas-batas wilayah pada usaha UD Indah

Pratama dijelaskan sebagai berikut :

Sebelah Utara : Selat Madura

Sebelah Selatan : Kecamatan Kendit

Sebelah Barat : Selat Madura

Sebelah Timur : Kecamatan Situbondo

3.1.2 Kondisi Penduduk dan Mata Pencaharian Usaha Penduduk

Berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik Kabupaten Situbondo

pada tahun 2015 Penduduk Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo

sebanyak 55.829 jiwa yang terdiri dari 27.403 jiwa penduduk laki-laki dan 28.426

jiwa penduduk perempuan. Mayoritas penduduk menganut agama Islam karena

Kabupaten Situbondo dikenal sebagai kota santri. Sumber penghasilan utama

penduduk Desa kilensari yaitu perikanan dan pertanian

8
3.1.3 Kondisi Umum Mata Pencaharian dan Usaha Perikanan

Penduduk Desa Kilensari Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo

Jawa Timur sebagian besar bermata pencaharian di bidang perikanan dan

pertanian. Hal itu disebabkan letak yang berada di garis pantai dan masih terdapat

areal persawahan di Kecamatan Panarukan. Selain itu juga ada yang bermata

pencaharian sebagai pengolah kerajinan kekerangan.

3.2 Keadaan Umum Tempat Usaha

3.2.1 Sejarah Perkembangan Usaha

UD. Indah Pratama adalah salah satu UKM mandiri yang bergerak dalam

bidang pengolahan produk berbahan dasar hasil perikanan yang di dirikan oleh

Ibu Iin pada tahun 2015. Letak UD.Indah Pratama di Desa Kilensari Kecamatan

Panarukan Kabupaten Situbondo Jawa Timur.Usaha ini bergerak di bidang

pembuatan makanan ringan olahan perikanan.

Sejarah awal terbentuknya UD Indah Pratama adalah inisiatif Ibu Iin yang

ingin membantu perekonomian keluarga karena pendapatan suaminya yang

seorang nelayan dinilai kurang memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Berkembangnya usaha UD. Indah Pratama diawali oleh keikut sertaan Ibu Iin dan

keluarga megikuti pelatihan yang diadakan oleh Dinas kelautan dan perikanan

dan Dinas perdagangan dan perindustrian Kabupaten Situbondo.Setelah

mengikuti pelatihan dari dinas terkait, Ibu Iin melakukan inovasi dengan membuat

produk kerupuk ikan dan ladrang sebagai produk unggulan dan dilanjutkan

dengan kerupuk kaldu ikan, kerupuk cumi, kerupuk rumput laut. Berkat mengikuti

pelatihan pelatihan, Ibu Iin dapat mengelola produk dengan bagus dan dapat

menghitung analisis usaha yang dilakukan.

9
Modal awal yang digunakan Ibu Iin untuk mendirikan usaha berasal dari

modal sendiri yaitu sebesar Rp.100.000,00 hanya untuk keperluan membeli

tepung dan rempah-rempah,ikan didapatkan sendiri dari suaminya yang seorang

nelayan. Pada tahun 2017, Ibu Iin memfokuskan diri pada produksi aneka

kerupuk dan pada tahun yang sama Ibu Iin mendapat dukungan dari pihak

akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya yang

memberi alat pemotong kerupuk.

UD.Indah Pratama sudah mendapatkan Surat Ijin Usaha Perdagangan

(SIUP). Untuk semua produk kerupuk telah memiliki sertifikat PIRT No.

98890072105609, Serta sudah mendapatkan serifikat halal.

3.2.2 Lokasi Tempat Usaha

Proses produksi olahan hasil perikanan dilakukan tepat disamping rumah

pemilik. Bangunan tersebut sudah berbentuk rumah permanen yang

menggunakan batu batako yang sudah di plester, beratapkan genteng, dan lantai

keramik. Hampir seluruh proses produksi dilakukan di halaman rumah.

Ruang produksi berada diteras dan halaman rumah pemilik usaha yang

memiliki ukuran 4 m x 2 m dan 3 m x 5m, dan bangunan pengemasan, pemotong

dan penyimpanan ditempatkan dalam sebuah bangunan seluas 5 m x 3 m. Untuk

proses pencucian bahan,dan penjemuran dilakukan di tempat lain yang masih

dalam halaman pemilik usaha.

3.2.3 Tata Letak

Tata letak pada UD.Indah Pratama dinilai masih kurang kondusif dan

tertata rapi hal itu dikarenakan ruang produksi yang masi mengandalkan teras dan

halaman rumah yang seharusnya dijadikan satu tempat dengan ruang

pemotongan dan penyimpanan. Untuk penempatan lokasi penerimaan bahan dan

10
penjemuran masih dalam halaman UD.Indah Pratama. Tata letak produksi

kerupuk E. cottonii dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.2.4 Tenaga Kerja dan Kesejahteraan

Tenaga kerja pada UD. Indah Pratama milik Ibu Iin masih dalah skala

rumah tangga yang masih dibantu oleh sanak keluarga sebagai tenaga kerja tetap

dan tetangga sebagai tenaga kerja tidak tetap. Tenaga kerja dapat dijelaskan

sebagai berikut :

a. Tenaga kerja tetap yaitu tenaga kerja yang bekerja setiap hari atau setiap

kali kegiatan produksi dilaksanakan. Tenaga kerja bekerja sesuai tugas

yang di tentukan. Sistem penggajian dilakukan berdasarkan jumlah hari

para pekerja bekerja. Tenaga kerja tetap yang ada pada UD. Indah

Pratama adalah 4 orang.

b. Tenaga kerja tidak tetap yaitu tenaga kerja yang hanya bekerja bila ada

panggilan seperti saat ada borongan dalam jumlah banyak yang tidak

sanggup dikerjakan dengan hanya pekerja tetap maka langkah itu harus

dilakukan untuk menyanggupi atau memenuhi pesanan. Sistem penggajian

sesuai hari ia bekerja.

c. Kegiatan produksi di UD.Indah Pratama adalah setiap hari dengan jam

kerja 09.00 15.00 WIB atau bisa disesuaikan tergantung pesanan.

3.2.5 Struktur Organisasi Unit Usaha

Organisasi merupakan salah satu aspek penting dalam mejalankan suatu

usaha,karena pelaku usaha tidak bisa menjalankan suatu bisnis jika dilakukan

hanya satu kepala. Dengan adanya organisasi suatu bisnis dapat merencanakan

usaha yang dijalani akan dibawa ke arah mana dan memecahkan permasalahan

11
yang terjadi sehingga akan semakin banyak pemikiran dan ide yang akan

disalurkan. Selain itu, dengan adanya organisasi dapat mempermudah

berjalannya pelaksanaan suatu usaha.

UD Indah Pratama merupakan usaha perseorangan dengan jabatan

tertinggi adalah pemiliknya sendiri yaitu Ibu Iin yang dibantu oleh keluarganya.

Pembagian tugas juga sudah terbagi yang akan menjadi tanggung jawab dari

masing-masing pekerja, suami bu IIn bertanggung jawab mencari bahan-bahan

produksi, Ibu Iin bertanggung jawab dalam proses produksi yang dibantu oleh

keluarganya. Untuk proses pemasaran seluruh pekerja memiliki hak dalam proses

pemasaran.

3.3 Sarana produksi

3.3.1 Peralatan Produksi

Proses pembuatan kerupuk E. cottonii ada beberapa peralatan yang

digunakan untuk membantu proses produksi.berikut adalah alat yang digunakan

dalan pembuatan kerupuk rumput laut :

a. Kukusan

Kukusan salah satu alat penting yang digunakan dalam proses pembuatan

kerupuk E cottonii digunakan untuk mematangkan adonan kerupuk rumput

laut.Dalam proses pengukusan perlu diperhatikan kondisi kukusan masih layak

atau tidak, dicek bagian bawah kukusan bocor atau tidak. Hal itu dilakukan karena

untuk menghindari air menetes ke kompor karena akan menyebabkan korosif

serta air dalam kukusan akan cepat habis yang akan berpengaruh terhadap

adonan yang sedang dkukus.

b. Wajan penggorengan

Wajan penggorengan yang diisi minyak goreng akan digunakan sebagai

wadah untuk menggoreng adonan yang sudah mengalami proses

12
pengeringan.Wajan yang digunakan sebanya satu buah yang berukuran besar.

Perlu diperhatian kondisi wajan karena merupakan salah satu alat proses akhir

yang menentukan. Pemeliharaannya ialah dengan mencuci dengan sabun khusus

dapur untuk menghilangkan bekas dari minyak goreng,serta kondisi wajan yang

tidak bocor.

c. Kompor Gas

Kompor gas merupakan alat yang berfungsi sebagai sumber panas dari

tabung gas yang dilakukan untuk proses penggorengan dan pengukusan kerupuk

E. cottonii yang digunakan sebanyak 1 buah kompor dua tungku. Pemeliharaan

dari kompor gas ialah membersihkan noda minyak yang menempel setelah proses

produksi sehingga kebersihan akan tetap terjaga, dan secara berkala komponen-

komponen yang ada pada kompor. Hal tersebut ditujukan untuk menghindari

terjadinya hambatan saat proses produksi serta untuk memperpanjang umur

peralatan.

d. Baskom

Baskom digunakan sebagai wadah dari adonan kerupuk E. cottonii agar

tercampur rata setiap bahannya untuk membuat semua bahan menjadi kalis.

Baskom yang digunakan sebanyak satu buah. Pemeliharaan dilakukan dengan

mencucinya setelah produksi menggunakan sabun khusus dapur. Hal tersebut

perlu dilakukan agar produksi selanjutnya siap digunakan.

e. Blender

Blender digunakan untuk menghaluskan rumput laut E. cottonii dan

bawang putih agar hancur, halus dan menjadi bubur supaya memudahkan saat

proses pengadonan kerupuk E. cottonii. Blender yang digunakan sebnayak satu

buah. Pemeliharaan blender dilakukan setia selesai produksi seperti kondisi

dinamo dan pisau blender tidak menghambat proses produksi di hari selanjutnya.

13
Setelah selesai blender dicuci dengan sabun khusus dapur, dibilas hingga bersih,

dan dikeringkan.

f. Pisau

digunakan untuk memotong adonan kerupuk E. cottonii yang sudah selesai

proses pengukusan. Adonan dipotong membentuk bulat seperti koin.Pemotongan

dengan pisau ini dilakukan apabila mesing pemotong sedang bermasalah atau

mati listrik. Pemeliharaan yang dilakukan yaitu dengan mencuci setelah produksi

selesai, serta mengasahnya apabila sudah tidak tajam atau tumpul.

g. Mesin Pemotong

Mesin pemotong digunakan untuk proses pemotongan adonan kerupuk E.

cottonii yang sudah mengalami proses pengukusan. Adonan dipotong bulat seperti

koin. Pemeliharaan mesin pemotong adalah membersihkannya setelah proses

produksi selesai, dan mengecek kondisi pisau apabila sudah tidak tajam atau

tumpul harus segera diasah atau dibawa ke bengkel bubut.

h. Sealer

Sealer digunakan sebagai alat pengemas dengan cara sealer atau

merekatkan ujung kemasan dengan cara dipanaskan. Jumlah mesin sealer

sebanyak satu buah. Pemeliharaan mesin sealer dengan mengecek kodisi

pemanasan setelah proses pengemasan selesai. Hal itu perlu dilakukan supaya

tidak menghambat proses pengemasan di hari selanjutnya.

i. Timbangan

Timbangan digital digunakan untuk menimbang bahan yang akan di

digunakan dalam pembuatan kerupuk E. cottonii denfan kelitian 10-2.

Pemeliharaan dilakukan secara berkala dengan membersihkan timbangan dari

bahan-bahan pada tempat yang datar. Timbangan dibersihkan dengan serbet.

Penggantian baterai juga perlu dilakukan secara berkala,serta perlu dilakukan

14
kalibrasi timbangan ke pihak yang bertugas. Hal tersebut dilakukan agar

timbangan tidak mudah rusak dan hasil yang didapat akurat.

j. Para-para

Para-para merupakan alat yang terbuat dari anyaman bambu yang

digunakan untuk proses penjemuran kerupuk E. cottonii yang dilakukan dibawah

sinar matahari. Pemeliharaan para-para dilakukan dengan cara membersihkan

kotoran bekas adonan yang menempel. Setelah digunakan para-para disimpan

dalam tempat yang bersih dan bebas rayap dan tikus.

k. Gelas takar

Gelas takar digunakan untuk mengukur jumlah air yang akan diguanakan

dalam proses produksi kerupuk E. cottonii. Pemeliharaan gelas takar dilakukan

dengan cara dicuci dan dibilas setelah pemakaian, serta disimpan ditempat kering

dan tertutup.

l. Solet

Solet digunakan untuk membantu dalam pengambilan rumput laut E.

cottonii dan bawang putih halus dalam blender dan membantu proses

pencampuran bumbu halus seperti garam dan gula. Pemeliharaan solet dilakukan

setiap selesai produksi yaitu dengan dicuci engan sabun khusus dapur, dibilas

dengan air mengalir dan dikeringkan.

m. Peniris minyak

Peniris minyak digunakan untuk mengambil kerupuk yang sudah selesai

digoreng ,serta mngurangi kadar minyak yang masih menempel di kerupuk E.

cottonii. Pemeliharaan dilakukan setelah produksi selesai dengan dicuci

menggunakan sabun khusus dapur, dibilas hingga bersih, dan dikeringkan.

15
4. HASIL PRAKTIK KERJA MAGANG

4.1 Produksi Kerupuk E. cottonii

4.1.1 Bahan baku

a. E. cottonii

Bahan baku merupakan bahan yang akan diolah dalam proses produksi

dengan tujuan mengubah bahan menjadi produk jadi/siap dipasarkan. Rumput laut

E. cottoni merupakan bahan baku yang digunakan dalam proses pembuatan

kerupuk E. cottonii yang didapat dari Bapak Malik sebagai pengepul rumput laut di

desa Klatakan Kecamatan Kendit Kabupaten Situbondo Jawa Timur. Rumput laut

E. cottonii yang digunakan untuk pembuatan kerupuk E. cottonii didapat dalam

keadaan basah yang dikemas dalam karung. Harga satu kg rumput laut jenis E.

cottonii adalah Rp. 8.000,00. Rumput laut yang dibeli masih dalam keadaaan kotor

sehingga perlu dilakukan penanganan sebelum diolah untuk produksi kerupuk E.

cottonii.

Gambar 1. Kondisi Rumput Laut kering Petani

Rumput laut yang baru didapat dari petani perlu dilakukan penanganan

terlebih dahulu. Penanganan awal yaitu dilakukan proses perendaman Rumput

laut direndam menggunakan air tawar selama 9 jam untuk menghilangkan kotoran

yang menempel kemudian dibilas dengan air mengalir untuk menghilangkan pasir

16
yang menempel serta. Kemudian rumput laut di rendam menggunakan air kapur

tohor CaOH selama 2-3 hari untuk menghilangkan pigmen dan bau amis yang

masih terdapat di rumput laut. Selanjutnya rumput laut dibilas dengan air mengalir

agar sisa kapur dapat hilang. Lalu di tiriskan dan dijemur dibawah sinar matahari.

Kuantitas rumput laut yang digunakan dalam sekali produksi tergantung

dari banyaknya stok dan pesanan. Dalam satu resep produksi kerupuk E. cottonii

membutuhkan rumput laut sebanyak 1000 gram rumput laut yang sudah diblender.

Tabel 1. Komposisi Kimia Rumput Laut E. cottonii

No Komposisi Nilai
1 Air 13,90%
2 Protein 2,69%
3 Lemak 0,37%
4 Serat Kasar 0,95%
5 Mineral Ca 22,39 ppm
6 Mineral Fe 0,121 ppm
7 Mineral Cu 2,763 ppm
8 Tiamin 0,14 (mg/100 g)
9 Riboflavin 2,7 (mg/100 g)
10 Vitamin C 12 (mg/100 g)
11 Karagenan 61,52%
12 Abu 17,09%
13 Kadar Pb 0,004 ppm
Sumber : Istini et al., 1986

Selain menggunakan bahan baku dalam produksi juga diperlukan bahan

tambahan .Bahan tambahan adalah bahan yang memberi pengaruh terhadap hasil

akhir produk yang dibuat dari segi gizi dan organoleptik.

b. Tepung Terigu

Dalam pembuatan kerupuk E. cottonii, tepung yang digunakan adalah

tepung terigu serbaguna (all purpose flour) atau tepung terigu dengan protein

sedang. Penggunaan tepung terigu ini adalah untuk mendapatkan tekstur

kerupuk yang agak kental sehingga akan memudahkan saat proses pengadonan

dan pemotongan, serta berfungsi sebagai bahan pengisi. Protein dari tepung

terigu membentuk suatu jaringan yang saling berikatan (continuos) pada adonan

17
dan bertanggung jawab sebagai komponen yang membentuk viskoelastik

(Damodaran dan Paraf,1997).

Tepung terigu yang digunakan dalam satu resep kerupuk E. cottonii adalah

sebanyak 1000 g. Tepung terigu ini diperoleh dari Pasar Panarukan dengan

harga Rp. 10.000,00/kg. Tabel 2 menjelaskan komposisi kimia tepung terigu

dihitung per 100 gram berat bahan.

Tabel 2. Komposisi Kimia Tepung Terigu per 100 Gram bahan

Komponen Kadar
Kadar air (%) 12,00
Karbohidrat (%) 74,5
Protein (%) 11,80
Lemak (%) 1,20
Abu (%) 0,46
Kalori (%) 340
Sumber : Kent, 1983

c. Tepung Tapioka

Tepung tapioka adalah tepung yang bersal dan hasil olahan ubi kayu.Tabel

3 menjelaskan kandungan nutrisi pada tepung tapioka.

Tabel 3. Kandungan Nutrisi pada Tepung Tapioka

Komposisi Jumlah
Kalori (per 100 gr) 363
Karbohidrat (%) 88,2
Kadar air (%) 9,0
Lemak (%) 0,5
Protein (%) 1,1
Ca 84
P 125
Fe 1,0
Vitamin B1 (mg/100gr) 0,4
Vitamin C (mg/100gr) 0
Sumber : Soemarno, 2007

18
Tepung tapioka adalah granula pati yang terdapat di dalam umbi ketela

pohon yang dipisahkan dengan air panas yaitu fraksi terlarut disebut amilosa dan

fraksi tidak terlarut yang disebut amilopektin. Pati mempunyai kemampuan

menyerap air yang besar,sehingga akan mempermudah terjadinya proses

gelatinisasi yaitu granula pati yang dapat membengkak tetapi tidak dapat kembali

lagi pada kondisi semula. Tapioka mempunyai kandungan amilosa 17% dan

amilopektin 83% dengan suhu gelatinisasi 53-640 (Winarno,2004).

Tepung tapioka merupakan bahan baku yang penting dalam pembuatan

adonan kerupuk, tepung ini didapat dari pasar panarukan dengan harga 4500/kg.

Tepung tapioka yang digunakan dalam satu resep yaitu sebanyak 2500 g.

4.1.2 Bahan Tambahan

a. Gula Pasir

Penambahan gula pasir digunakan untuk menambah cita rasa gurih karena

produksi kerupuk E. cottonii tidak menggunakan bahan penyedap rasa. Gula

termasuk kedalam golongan senyawa yang disebut karbohidrat. Gula dalam

bentuk glukosa, fruktosa, maltosa dan laktosa adalah bahan yang umum

digunakan sebagai pemanis. Gula pasir termasuk dalam golongan sukrosa yang

memiliki rumus kimia C12H12O11. Apabila sukrosa dihidrolisi akan dihasilkan dua

molekul gula sederhana yaitu satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa.

Gula pasir adalah butiran kecil seperti kristal yang terbuat dari proses penggilingan

tebu, berwarna putih dan tidak kotor (Qinah,2009). Banyaknya gula yang

diperlukan dalam pembuatan kerupuk E. cottonii sebanyak 300 g. Gula pasir

diperoleh dari warung terdekat dengan harga Rp 13.000,00./kg.

b. Garam

Garam adalah benda padat berwarna putih berbentuk kristal yang

merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Chlorida (>80%)

19
serta senyawa lainnya, seperti Magnesium sulfat, dan Calsium

Chlorida.Komponen komponen tersebut mempunyai peranan yang penting dalam

tubuh manusia,sehingga diperlukan konsumsi garam dengan ukuran yang tepat

untuk menunjang kesehatan manusia. Konsumsi garam per orang per hari

diperkirakan sekitar 5-15 g atau 3 kg per tahun per orang (Winarno,2004).

Garam umum digunakan untuk menambah rasa asin pada makanan.

Bahan ini diperoleh dari warung terdekat dengan harga Rp.2.000,00/bungkus 50 g.

Untuk sekali produksi diperlukan 50 g garam.

c. Bawang Putih

Bawang putih mempunyai sifat antibakteri. Kemampuan bawang putih ini

berasal dari zat kimia yang terkandung di dalam umbi. Komponen kimia tersebut

adalah allicin yang berfungsi sebagai penghambat atau penghancur berbagai

pertumbuhan jamur dan bakteri sebagai penghambat atau penghancur berbagai

pertumbuhan jamur dan bakteri. Kandungan allicin yang terdapat pada bawang

putih bergabung dengan enzim amilase akan bereaksi sebagai antibakteri (Lingga,

2005).

Bawang putih digunakan sebagai penyedap rasa alami yang memberikan

rasa gurih terhadap kerupuk E. cottonii, dan juga sebagai pengawet alami.

Bawang putih diperoleh dari pasar panarukan dengan harga Rp. 30.000,00/kg.

Dalam satu kali produksi digunakan bawang putih sebanyak 500 gram.

e. Air

Air dalam bahan makanan berperan sebagai pelarut dan beberapa

komponen disamping bahan pereaksi. Fungsi air dalam adonan kerupuk adalah

untuk melarutkan gula, garam dan bumbu-bumbu untuk menyebarkan bahan-

bahan secara merata dalam pembuatan adonan (Winarno,2004). Air berfungsi

untuk mengkaliskan adonan,pada satu kali produksi kerupuk E. cottonii air yang

digunakan sebanyak 2000ml.

20
Tabel 4 menunjukan bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan

dalam pemuatan kerupuk E. cottonii.

Tabel 4. Bahan Baku dan Bahan Tambahan Pembuatan Kerupuk E. cottonii

Jenis Bahan Jumlah


Rumput Laut (g) 1000
Tepung Terigu (g) 1000
Tepung Tapioka (g) 2500
Bawang Putih (g) 500
Gula Pasir (g) 300
Garam (g) 50

4.1.3 Bahan Pengemas

Bahan plastik polypropylene (PP) digunakan untuk mengemas kerupuk E.

cottonii dengan ukuran 15 x 28 cm. Plastik PP memiliki sifat transparan,mengkilap

dan agak tembus cahaya sehingga dengan Plastik PP sebagai bahan pengemas

akan mudah terlihat oleh konsumen dan mutu kerupuk E. cottonii akan terjaga dan

memiliki waktu simpan yang cukup.

21
4.1.4 Produksi Kerupuk E. cottonii

Berikut adalah alur proses produksi kerupuk E. cottonii di UD.Indah

Pratama dalam dilihat pada Gambar.

E.cottonii kering

Air Bersih 3000ml Perendaman 2 jam Air kotor

Pencucian

Perebusan 1 jam

E.cottonii 500 g

Air masak 500 ml Penghalusan 2 menit

Bubur E. Cottonii 1000 g


- Tepung terigu 1000 g
- Tepung tapioka 2500g
Pencampuran
- Garam 50 g
- Gula 300 g
Adonan kerupuk 7350 g
- Bawang putih 500 g
- Air 2000 ml
Dimaksukan dalam plastik

Pendinginan dalam freezer

Penjemuran

Penggorengan

Kerupuk E.cottonii

22
4.1.4.1 Persiapan

a. Persiapan E. cottonii

Rumput laut yang didapatkan dari penjual dalam keadaan kering perlu

dilakukan penanganan terlebih dahulu. Pertama dilakukan pencucian dengan air

tawar dengan tujuan menghilangkan kotoran yang masih menempel di permukaan

rumput laut dan dilanjutkan perendaman. Rumput laut yang sudah dicuci

kemudian direndam dengan air tawar dengan tujuan agar rumput laut bersih dari

kotoran dan pasir yang masih menempel serta menjadikan rumput laut

mengembang karena menyerap air seperti kondisi awal. Rumput laut direndam

dengan air hingga penuh pada ember,dengan perbandingan 1:10. Gambar 8

menunjukan proses perendaman E. cottonii menggunakan air tawar.

Tabel 5. Perendaman E. cottonii dengan Air Tawar

Setelah proses perendaman dengan air tawar selama 10 jam selanjutnya

dilakukan proses penirisan dengan didiamkan dalam wadah. Kemudian rumput

laut yang sudah tiris dijemur dibawah sinar matahari menggunakan terpal dengan

ukuran 100 x 200 cm. Penjemuran rumput laut dilakukan selama 12 jam dengan

sinar matahari terik.

23
Gambar 2. Penjemuran Pertama E. cottonii

Setelah dilakukan proses penjemuran pertama kemudian dilakukan proses

perendaman,kali ini menggunakan air kapur tohor CaOH dengan tujuan

menghilangkan kotoran. Penggunaan air kapur juga berfungsi menghiangkan

pigmen sehingga akan didapat rumput laut yang berwarna putih dan juga

menghilangkan bau amis. Kapur tohor yang digunakan dengan perbandingan 1 : 5

perendaman dengan air kapur dilakukan selama 12 jam.

Gambar 3. Perendaman E. cottonii dengan air kapur

24
Pencucian yang terakhir dilakukan menggunakan air mengalir. Perlakuan

ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan sisa kapur yang ditambahkan saat

perendaman. Rumput laut yang sudah tidak berwarna keruh dan pekat dapat

dikatakan bersih.

Selanjutnya adalah tahap penjemuran yang terakhir. Sebelum dilakukan

penjemuran dilakukan penirisan terlebih dahulu yang bertujuan mengurangi kadar

air yang tersisa saat proses pencucian. Kemudian dijemur selama 12 jam dibawah

sinar matahari yang berfungsi untuk memperpanjang masa simpan.

Gambar 4. Penjemuran Kedua E. cottonii

b. Penghalusan E. cottonii

Rumput laut yang sudah melewati proses penjemuran diambil sebanyak

500g. Kemudian rumput laut dituang kedalam blender dan ditambahkan air 500

ml yang bertujuan untuk mengembangkan rumput laut dan mempermudah

proses penghalusan. Pemblenderan dilakukan hingga benar-benar halus.

Selanjutnya rumput laut tersebut diblender hingga menjadi bubur selama 2 menit.

Sehingga didapat hasil dari pemblenderan ini menjadi bubur rumput laut seberat

1000 g.

25
Gambar 13. Penghalusan Rumput Laut E. cottonii

4.1.4.2. Proses Pembuatan

a. Pencampuran

Proses pembuatan adonan kerupuk E. cottonii diawali dengan

mempersiapkan alat dan bahan seperti baskom, tepung terigu,t epung tapioka,

rumput laut, dan bumbu. Pertama tepung terigu, tepung tapioka dituangkan ke

dalam baskom, lalu tambahkan garam, gula, dan bawang putih halus. Kemudian

adonan diaduk hingga merata yang bertujuan untuk meratakan rasa. Gambar 14

menunjukan proses pencampuran bahan tambahan.

Gambar 5. Pencampuran Bahan

26
Saat proses pencampuran berlangsung, kemudian dilakukan

penambahan bubur rumput laut kedalam adonan sedikit demi sedikit yang

bertujuan agar adonan dapat tercamput rata. Setelah itu adonan diuleni hingga

kalis dengan menambahkan air sedikit demi sedikit. Adonan yang sudah kalis

ditandai dengan sudah tidak menempelnya adonan di tangan. Adonan yang

sudah kalis juga sebagai tanda bahwa seluruh bahan yang ditambahkan dalam

adonan sudah tercampur rata. Gambar 15 menunjukan proses penambahan

bawang putih halus. Gambar 16 menunjukan proses pencampuran adonan.

Gambar 6. Penambahan Bawang Putih Halus

Gambar 7. Pencampuran Adonan yang sudah kalis

27
b. Pengukusan Adonan

Proses pengukusan dilakukan setelah proses pencampuran adonan

selesai. Diawali dengan dimasukannya adonan yang sudah kalis kedalam plastik

yang dibentuk lonjong seperti lontong yang bertujuan membentuk adonan agar

didapatkan hasil kerupuk yang pipih. Adonan yang sudah dimasukan dalam plastik

kemudian dimasukan kedalam kukusan diletakan sejajar dan ditumpuk rapi.

Pengukusan dilakukan dengan tujuan untuk mematangkan adonan. Gambar 17

menunjukan proses pengukusan.

Gambar 8. Pengukusan Adonan

c. Pendinginan dalam kulkas

Pendinginan dalam kulkas dilakukan setelah proses pengukusan selesai.

Adonan yang sudah selesai dikukus kemudian di diamkan beberapa saat hingga

dingin. Setelah itu adonan kerupuk E. cottonii diletakan dalam kulkas hal ini

bertujuan untuk mendapatkan tekstur yang lebih keras yang akan mempermudah

saat proses pemotongan. Pendinginan dalam kulkas dilakukan selama 7 jam.

Gambar 18 menunjukan proses pendinginan dalam kulkas.

28
Gambar 9. Proses pendinginan

d. Pemotongan

Proses pemotongan dilakukan setelah adonan yang sudah keras karena

proses pendinginan dalam kulkas. Pemotongan dilakukan mengunakan mesin

pemotong yang baru didapatkan dari bantuan instansi akademik Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya. Pemotongan dilakukan

bertujuan untuk mendapatkan kerupuk yang berbentuk pipih. Gambar 19

menunjukan mesin pemotong.

Gambar 10. Mesin Pemotong

e. Penjemuran

Penjemuran dilakukan setelah proses pemotongan selesai. Proses

penjemuran dilakukan menggunakan para-para dibawah sinar matahari selama 8

jam dengan intensitas matahari terik atau saat cuaca tidak mendung. Penjemuran

29
dilakukan dengan cara meletakan kerupuk yang sudah dipotong diatas para-para

atau wadah kardus yang diberi alas plastik secara merata dengan tujuan

menghilangkan kadar air yang masih terkandung dalam kerupuk E. cottonii yang

akan mempengaruhi mengembangnya saat proses penggorengan. Gambar 20

menunjukan proses penjemuran berlangsung.

Gambar 11. Proses Penjemuran

f. Penggorengan

Penggorengan merupakan proses terpenting yang menentukan hasil akhir

dari kerupuk E. cottonii. Pertama disiapkan minyak goreng sebanyak 2 liter yang

dituangkan kedalam wajan penggorengan. Siapkan adonan kerupuk yang sudah

siap digoreng disamping kompor agar memudahkan saat proses penggorengan

Selanjutnya nyalakan api sedang kemudian tunggu hingga minyak panas.

Setelah minyak panas kecilkan api dan langsung dimasukan adonan kerupuk E.

cottonii yang sudah kering. Selanjutnya diaduk sebentar setelah mengembang

langsung diangkat dan ditiriskan dalam wadah peniris. Kerupuk E. cottonii yang

sudah matang ditandai dengan mengembangnya adonan dan sudah tidak ada

buih tanda-tanda menggoreng.

30
Setelah penggorengan selesai kerupuk E. cottonii ditiriskan untuk

mengurangi minyak dari proses penggorengan.Gambar 21 menunjukan proses

penggorengan dan penirisan.

Gambar 12. Penggorengan dan Penirisan

g. Pengemasan

Setelah adonan digoreng dan ditiriskan, kerupuk yang sudah agak dingin

diletakan dalam wadah besar sebelum dilakukan pengemasan. Pengemasan

dilakukan dengan tujuan produk dapat memiliki daya simpan lama, mencegah

terjadinya kerusakan oksidasi, terkena air dan udara sehingga menyebabkan

produk melempem. Kerupuk E. cottonii dikemas meggunakan plastik PP dengan

ukuran 20 x 28 cm yang dibeli dari Pasar Panarukan. Plastik jenis ini memiliki sifat

transparan dan tembus cahaya.

Plastik jenis PP seharusnya lebih baik dalam mempertahankan kadar air

nugget karena memiliki permeabilitas uap air yang rendah dari pada PE. Menurut

Mareta dan sofia (2011), bahwa permeabilitas plastik polipropilen lebih kecil

dibandingkan plastik polietilen sehingga uap air akan lebih sulit menembus plastik

polipropilen dari pada polietilen.

Kerupuk E. cottonii selanjutnya dimasukan kedalam plastik dengan kapasitas

50 g. Kerupuk E. cottonii yang telah dimasukan kedalam plastik, kemudian

31
direkatkan menggunakan hard sealer untuk menghindari masuknya air, udara

maupun kotoran yang dapat menurunkan kualitas produk dan menyebabkan

menurunnya masa simpan produk. kerupuk E. cottonii yang telah dikemas dapat

dikemas dapat dilihat pada gambar 22

Gambar 13. Kerupuk E. cottonii

e. Penyimpanan

Penyimpanan kerupuk E. cottonii dilakukan pada etalase kaca. Stik ditata

rapi untuk mencegah hancur jika tidak ditata dengan rapi karena kerupuk memiliki

tekstur yang mudah hancur sehingga diperlukan penataan yang rapi.

Penyimpanan pada suhu ruang yaitu 25 - 27oC.

f. Pemasaran

Pemasaran kerupuk E. cottonii UD. Indah Pratama dipasarkan melalui kelompok

IKM kabupaten Situbondo yang kemudian dikemas ulang dengan berbagai

macam kemasan. Produk ini juga dipasarkan di pusat oleh-oleh Kabupaten

Situbondo. Untuk satu bungkus kerupuk E. cottonii dengan kapasitas 50 g dijual

dengan harga Rp 8.000,00. Sedangkan produk mentah dengan kapasitas 100 g

dijual dengan harga Rp. 20.000,00.

32
4.2 Analisa Kandungan Gizi

4.2.1 Komposisi Gizi


Pangan adalah makanan atau bahan hasil pertanian, perikanan ataupun

peternakan dan olahannya yang layak untuk dikonsumsi manusia. Bahan pangan

memiliki sifat fisik, kimiawi, dan biologis. Komponen utama bahan pangan yaitu air,

protein, karbohidrat, vitamin, mineral dan beberapa senyawa minor lainnya

(Legowo et al., 2004).

Analisa proksimat dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kandungan

gizi dalam suatu produk pangan. Analisa proksimat biasanya meliputi beberapa

analisa diantaranya kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar abu dan kadar

karbohidrat. Hasil analisa proksimat skerupuk E. cottonii dapat dilihat pada tabel

6.

Tabel 6. Komposisi Gizi Kerupuk E. cottonii di UD. Indah Pratama

Parameter Proksimat

Protein (%)

Air (%)

Lemak (%)

Abu (%)

Karbohoidrat (%)

a
a
a. Kadar Protein

Protein adalah zat makanan yang penting bagi tubuh karena mempunyai

fungsi antara lain zat pembangun dan zat pengatur, serta sebagai sumber tenaga.

Protein merupakan makromolekul yang tersusun oleh asam-asam amino yang

mengandung unsur-unsur utama C, O, H dan N. Molekul protein mengandung

belerang, fosfor, besi dan tembaga (Legowo et al., 2004).

33
b. Kadar Air

Air merupakan kandungan paling penting banyak makanan. Air dapat

berupa komponen intrasel dan/atau ekstrasel dalam sayuran dan produk hewani,

sebagai medium pendispersi atau pelarut dalam produk, sebagai fase terdispersi

dalam beberapa produk. Diemulsi seperti mentega dan margarin sebagai

komponen tambahan dalam makanan lain (John M , 1997).

c. Kadar Lemak

Senyawa ini sebagian besar ester asam lemak dan gliserol. Sampai 99 %

dari lipid bahan tumbuhan dan hewan terdiri atas ester seperti itu, dikenal sebagai

lemak dan minyak. Pada suhu kamar lemak berbentuk padat dan minyak

berbentuk cair (John M, 1997). Metode ekstraksi soxhlet atau ekstraksi lemak

kering merupakan cara pemisahan dua atau lebih komponen pada suatu bahan.

Metode ini menggunakan pelarut organik dan dilakukan ekstraksi terus menerus

dimana jumlah pelarut yang digunakan konstan (Irvan et al., 2015).

d. Kadar Abu

Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik dan

96 % dari bahan makanan kita terdiri dari bahan organik dan air, sisanya unsur-

unsur mineral. Dalam proses pembakaran bahan-bahan organik terbakar tetapi zat

anorganik tidak terbakar karena itulah disebut abu (Winarno, 1997).

e. Kadar Karbohidrat

Karbohidrat terdapat dalam jaringan tumbuhan dan hewan serta dalam

mikroorganisme dalam berbagai bentuk dan berbagaiaras. Dalam makhluk hewan,

gula utama ialah glukosa dan karbohidrat simpanan glikogen: dalam susu, gula

utamanya hampir khusus disakarida laktosa. Dalam makhluk tumbuhan, terdapat

berbagai jenis monosakarida dan oligosakarida, dan karbohidrat simpanan berupa

pati (John M, 1997).

34
4.3 Analisa Kadaluwarsa
Menurut Institute of Food Science and Technology (1974), umur simpan

produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga konsumsi di

mana produk berada dalam kondisi yang memuaskan berdasarkan karakteristik

penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Sementara itu, Floros dan

Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang

diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi penyimpanan tertentu untuk dapat

mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu.

Parameter yang mudah diamati pada produk kerupuk E. cottonii adalah

tekstur. Hal tersebut dikarenakan kerupuk merupakan bahan makanan yang

mudah menyerap air. Kandungan air dalam kerupuk mempengaruhi tekstur

kerenyahan dari kerupuk E. cottonii. Sehingga untuk menentukan umur simpan

kerupuk E. cottonii menggunakan uji organoleptik berupa tekstur.

Tabel 7. Pengamatan Ketengikan Kerupuk E. cottonii

Waktu Penyimpanan (Hari ke-) Tekstur

0 5

7 5

14 5

21 5

28 4

Keterangan :

Skor 1 : Sangat Tidak Renyah

Skor 2 : Tidak Renyah

Skor 3 : Cukup Renyah

Skor 4 : Sangat renyah

Skor 5 : Sangat Renyah Sekali

Data ditampilkan dalam bentuk grafik pengaruh antara waktu

penyimpanan (sumbu x) dengan skor ketengikan (sumbu y), grafik dapat dilihat

35
pada gambar 24 yang menunjukan pengaruh lama waktu penyimpanan terhadap

mutu kerupuk E. cottonii.

5
y = -0.0286x + 5.2
4 R = 0.5
Skor

0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu Penyimpanan (hari)

Waktu Pengamatan (Hari ke-)

Gambar 14. Grafik Masa Simpan Kerupuk E. cottonii

Dari grafik tersebut pengaruh hari penyimpanan terhadap skor perubahan

organoleptik berupa kerenyahan pada gambar 24, diperoleh persamaan regresi y

= -0,028 + 5,2 dan R2 = 0,5. Sehingga diperoleh persamaan nilai x sebesar 78

dengan nilai ambang batas 2 dari 5 skor tingkat kerenyahan. Perhitungan dapat

dilihat pada Lampiran 4.

Berdasarkan pengamatan menggunakan organoleptik pada produk

kerupuk E. cottonii selama 30 hari pada suhu ruang sekitar 270C 300C

menunjukan terjadi penurunan kualitas pada hari ke-20 dengan ditandai kerupuk

yang menurun kerenyahannya. Setelah diregresikan maka diketahui bahwa

kerupuk E. cottonii memiliki umur simpan selama 78 hari.

4.4 Sanitasi dan Hygiene

Sanitasi dan hygiene ialaha salah satu cara untuk mencegah

berjangkitnya penyakit menular dengan jalan memutuskan mata rantai dari

sumber penularan. Sanitasi atau kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah

36
kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif

terhadap status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan

lingkungan tersebut antara lain mencakup perumahan, pembuangan, kotoran

manusia (tinja) penyediaan air minum, pembuangan sampah, pembuangan air

kotor (air limbah), rumah hewan ternak (kandang) dan sebagainya (Sutrisno,

2008).

4.4.1 Sanitasi dan hygiene Bahan Baku

Bahan baku sangat berpengaruh terhadap kualitas produk akhir yang

dihasilkan. Untuk mendapatkan produk akhir yang baik, maka bahan baku dijaga

agar tidak mengalami kerusakan dan pencemaran. Setiap tindakan yang diambil

untuk mengurangi tingkat pencemaran dapat penghasilan produk dengan mutu

mikrobiologis yang lebih baik dan bahaya terhadap kesehatan juga berkurang

(Buckle et al., 2009).

Keadaan sanitasi dan hygiene bahan baku dalam pembuatan kerupuk E.

cottonii di UD. Indah Pratama sudah cukup baik. Hal ini dapat terlihat dari

penanganan bahan baku dari bahan baku datang hingga di tempat produksi.

Keadaan rumput laut E. cottonii yang di simpan dalam karung bersih dan

langsung dilakukan penanganan dengan mencuci rumput laut menggunakan air

mengalir untuk menghilangkan kotoran, sisa pasir yang masih menempel pada

rumput laut.

Rumput laut yang didapat merupakan rumput laut yang masih segar langsung
dari daerah klatakan yang merupakan kawasan petani rumput laut di Kabupaten
Situbondo. Rumput laut langsung dicuci dan direndam dalam air tawar yang
kemudian direndam air kapur.

37
4.4.2 Sanitasi dan Hygiene Bahan Tambahan

Bahan tambahan yang digunakan adalah tepung tapioka, air, bawang

putih, garam dapur, gula pasir, dan disimpan di dalam wadah pada tempat yang

kering sehingga kelembabannya terjaga dan mutu bahan tesebut dapat

dipertahankan lebih lama. Menurut Purnawijayanti (2001), kelompok bahan

makanan kering serta rempah, biasanya untuk penyimpanannya hanya

diperlukan pengemasan yang rapat dan kuat.

4.4.3 Sanitasi dan Hygiene Peralatan

Kebersihan peralatan merupakan salah satu aspek sanitasi yang penting

untuk diperhatikan. Apabila peralatan yang digunakan kurang bersih maka akan

menyebabkan kontaminasi silang pada bahan makanan yang diolah

menggunakan peralatan tersebut. Pada UD. Indah Pratama kondisi sanitasi dan

hygiene peralatan cukup baik. Peralatan yang sudah selesai digunakan segera

dicuci menggunakan sabun dan dibilas dengan air bersih hingga hilang busanya.

Setelah itu dikeringkan dengan diletakan dirak selanjutnya alat siap digunakan

kembali.

Menurut Kepmenkes No. 1098 (2003), praktik pencucian alat pengolahan

terdiri dari bak pencucian sedikitnya terdiri dari 3 bak pencucian yaitu

mengguyur, menyabun, dan membilas. Seharusnya air yang digunakan untuk

mencuci peralatan, apabila sudah terlihat kotor harus segera diganti dengan air

yang baru karena jika airnya tidak diganti, dapat menyebabkan peralatan

terkontaminasi bakteri colifrom dari air pencucian yang kotor dan pembersihan

perlatan yang kurang baik., yaitu diletakan di rak khusus dan penyimpanannya

harus terbalik. Peralatan dapat menjadi kontaminasi bagi makanan. Peralatan

juga dapat terkontaminasi oleh bakteri E. colli jika dicuci dengan air yang

tercemar. Peralatan daput yang menglami kontak langsung dengan makanan

38
seharusnya didesain dan diletakan sedimikian rupa untuk menjamin mutu dan

keamanan produk yang dihasilkan.

4.4.4 Sanitasi dan Hygiene Air

Kondisi sanitasi air di UD. Indah Pratama sudah cukup baik karena

walaupun terletak di pesisir air yang digunakan tidak asin karena berasal dari

sumur yang cukup dalam, air sumur yang bersih, tidak berwarna, jernih dan tidak

berbau. Menurut Rahayu (2013), mengingat pentingnya air maka itu perlu syarat

air yang harus dipenuhi. Air yang dapat digunakan dalam pengolahan makanan

minimal harus memenuhi persyaratan kesehatan. Agar air minum tidak

menyebabkan penyakit, maka air tersebut hendaknya diusahakan memenuhi

persyaratan-persyaratan kesehatan antara lain :

1. Air bersih harus sesuai dengan peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia yang berlaku.

2. Jumlahnya cukup memadai untuk seluruh kegiatan dan tersedia pada

setiap tempat kegiatan.

3. Memenuhi syarat kualitas (jumlah) yang diperlukan air sebanyak 60-120

liter/orang/hari untuk rumah tangga. Sedangkan untuk jasa boga

jumlahnya harus cukup memadai untuk seluruh kegiatan dan tersedia

pada setiap tempat kegiatan.

4. Memenuhi syarat kontiunitas merupakan kebutuhan air bersih tiap harinya

harus dipenuhi. Kualitas dan kuantitas air bersih, penggunaan air

mengalir, pengguanaan tempat cuci (ember) serta proses pengeringan

yang dilakukan merupakan tahap-tahap pencucian alat makan karena bila

salah satu faktor penunjang tersebut tidak sesuai syarat kesehatan yang

dianjurkan kemungkinan besar alat makan tersebut akan tetap

terkontaminasi oleh kuman yang menyebabkan alat makan tidak hygiene.

39
4.4.5 Sanitasi dan Hygiene Pekerja

Sanitasi dan Hygiene pekerja di UD. Indah Pratama para pekerja tidak

menggunakan perlengkapan khusus yang berfungsi untuk mencegah terjadinya

kontaminasi silang, karena pekerja masih berskala home industry. Perlengkapan

yang digunakan pekerja di UD. Indah Pratama hanya celemek sedangkan untuk

sarung tangan dan penutup kepala mereka masih belup menggunakannya.

Menurut Wibowo (2009), beberapa hal yang perlu diperhatikan dan

dibiasakan dalam memelihara sanitasi dan hygiene pekerja antara lain:

1. Membiasakan diri untuk selalu membersihkan diri, mencuci tangan setiap

kali hendak memegang bahan atau produk akhir.

2. Perlu diusahakan selalu menggunakan pakaian kerja yang bersih,

menggunakan penutup kepala, tanpa perhiasan atau aksesoris lain.

3. Membiasakan diri untuk tidak makan, minum, merokok, mengunyah

permen, tidak meludah atau membuang ingus disembarang ruang

tempat, terlebih di ruang pengolahan.

4. Meliburkan pekerja yang sedang sakit, terlebih jika penyakitnya menular.

4.4.6 Sanitasi dan Hygiene Lingkungan

Lingkungan tempat produksi kerupuk E. cottonii berpotensi terkontaminasi

serangga atau debu, karena tempat produksi yang berada di halaman rumah

yang terbuka, namun bebas dari kontaminasi seperti pembuangan limbah rumah

tangga. Ruang produksi, ruang pemotong dan ruang pengemasan terpisah

sehingga pada saat proses pemotongan dan pengemasan dapat terhindar dari

kontaminasi tersebut karena tempat yang tertutup. Tempat pengolahan ini dapat

dikatakan cukup layak untuk menjadi tempat produksi makanan, karena

pengaturan lokasi yang terpisah antara ruang produksi dan ruang pengemas.

40
Lokasi dapur memang terbuka namun para pekerja langsung membersihkan alat-

alat produksi setelah selesai melakukan produksi. Menurut Purnawijayanti

(2001), kebersihan dan kesehatan dapur dapat diwujudkan apabila konstruksi

bagian dapur memanjang, tata letak dapur diatur berdasarkan kebutuhan

operasional pengolahan makanan.

4.4.7 Sanitasi dan Hygiene Produk Akhir

Sanitasi dan hygiene produk akhir merupakan hal yang sangat penting

mengingat produk ini adalah untuk dikonsumsi manusia. Pengawasan terhadap

kebersihan produk dan lingkungan sekitar hendaknya perlu ditingkatkan untuk

mencegah masuknya kontaminan yang dapat menurunkan kualitas produk.

Organisme penyebab penyakit dapat ditularkan kedalam bahan pangan melalui

lingkungan yang tercemar. Pencemaran dari keadaan demikian yang

memungkinkan organisme-organisme ini masuk dan tumbuh dalam bahan

pangan yang akan menjadi sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.

Hasil olahan kerupuk E. cottonii dikemas dalam wadah plastik PP

(Poliprophilen) dengan pengemasan vacum. Pengemasan untuk produk kerupuk

E. cottonii ini cukup baik untuk mencegah kerusakan produk dari segi tekstur.

Kemasan yang kedap udara juga dapat mempengaruhi umur simpan produk.

Menurut Syarief dan Hild (1993), pengemasan vakum pada prinsipnya adalah
pengeluaran gas dan uap air dari produk yang dikemas, sedangkan pengemasan
non vakum dilakukan tanpa mengeluarkan gas dan uap air yang terdapat dalam
produk. Oleh karena itu pengemasan vakum cenderung menekan jumlah bajteri,
perubahan bau, rasa, serta penampakan selama penyimpanan, karena pada
kondisi vakum, bakteri aerob yang tumbuh jumlahnya relatif lebih kecil dibanding
dlam kondisi tidak vakum.

41
4.4.8 Penanganan Limbah

Pada proses pembuatan kerupuk E. cottonii mulai dari persiapan bahan

baku, bahan tambahan dan alat-alat yang digunakan hingga menjadi kerupuk E.

cottonii, hampir tidak ada limbah yang dihasilkan karena seluruh bahan

digunakan dan tidak ada yang terbuang. Sedangkan limbah cair berupa hasil

perendaman rumput laut E. cottonii yang merupakan penanganan utama dari

rumput laut. Air langsung dibuang dal dialirkan ke selokan yang kemudian

berakhir ke pembuangan akhir.

Limbah produksi harus ditangani dengan baik, jika limbah produksi tidak

ditangani dengan baik dapat mencemari produk dan merupakan sumber penyakit

yang dapat menyerang masyarakat setiap saat. Menurut Purnawijayanti (2001),

limbah dari proses pengolahan makanan harus ditangani dengan sebaik-baiknya,

terutama untuk menghindari kontaminasi mikroorganisme pathogen.

Mikroorganisme pathogen yang tumbuh di dalam limbah dapat dipindahkan

dengan perantara serangga, misalnya, lalat, nyamuk dan kecoa, atau oleh

hewan pengerat seperti tikus yang seringkali menggunakan sampah sebagai

tempat hidup dan sumber makanannya.

4.5 Analisa HACCP

4.5.1 Sanitation Standard Operation Procedure (SSOP)

Prosedur standar operasi sanitasi sangat perlu dalam penerapan prinsip

pengelolaan lingkungan yang dilakukan melalui kegiatan sanitasi dan hygiene.

Dalam hal ini, ssop menjadi program sanitasi wajib suatu industri untuk

meningkatkan kualitas produk pangan. Prinsip-prinsip sanitasi diterapkan dalam

42
ssop dikelompokan menjadi 8 aspek kuci sebagai persyaratan utama sanitasi

dan pelaksanaannya (Triharjono, 2013).

Sanitation standard operation procedure (ssop) merupakan suatu

prosedur memelihara kondisi sanitasi yang umumnya berhubungan dengan

seluruh fasilitas produksi atau area perusahaan dan tidak terbatas pada tahapan

tertentu. Menurut Winarno dan Surono (2004), ssop terdiri dari delapan kunci

persyaratan sanitasi yaitu :

1. Keamanan air

2. Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan

pangan

3. Pencegahan kontaminasi silang

4. Menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet

5. Proteksi dari bahan-bahan kontaminan

6. Pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan toksin yang benar

7. Pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan

kontaminasi

8. Menghilangkan hama penggangu dari unit pengolahan

Tabel 8. Identifikasi kondisi di UD. Indah Pratama terhadap pelaksanaan SSOP

SSOP Kondisi di lapangan Kondisi seharusnya

Keamanan air 1. Air yang digunakan 1. Air yang kontak

berasal dari air sumur dengan makanan atau

yang bersih dan tanpa peralatan dan proses

43
proses pengujian produksi harus aman

2. Air untuk proses dan bersumber dari air

produksi hanya bersih atau

digunakan pada proses mengalami proses

pencucian dan pada perlakuan sehingga

adonan bahan baku memenuhi standar

mutu

Kebersihan permukaan 1. Pisau yang digunakan 1. Semua peralatan dan


yang kontak dengan
bahan pangan terbuat dari besi perlengkapan yang

2. Alas pendingin kerupuk kontak dengan bahan

menggunakan plastik pangan harus

3. Alat yang digunakan didesain dan terbuat

dibersihkan sebelum dari bahan yang

dan sesudah mudah dibersihkan

digunakan 2. Perlatan dan

perlengkapan harus

dibersihkan dengan

metode yang efektif

Pencegahan 1. Kebiasaan pekerja 1. Pekerja tidak boleh


kontaminasi silang
menggunakan menggunakan

perhiasan saat perhiasan selama

memulai bekerja proses produksi

2. Pekerja selalu 2. Pekerja dilarang

berbicara ketika proses berbicara selama

produksi berlangsung proses berlangsung

3. Tidak menggunakan 3. Pekerja wajib

44
masker dan penutup menggunakan

kepala, sarung tangan masker, penutup

digunakan pada saat kepala dan sarung

proses penggilingan tangan

dan pencampuran

adonan saja

SSOP Kondisi di lapangan Kondisi seharusnya

Menjaga fasilitas pencuci 1. Fasilitas sanitasi dan 1. Fasilitas sanitasi dan


tangan, sanitasi dan
toilet cuci tangan belum cuci tangan harus

tersedia, tempat cuci mudah dijangkau oleh

tangan masih pekerja

mengandalkan keran 2. Penyediaan alat

air biasa yang mudah mesin pengering

dijangkau. tangan

2. Tidak terdapat alat 3. Penyediaan toilet

pengering cuci tangan harus cukup untuk

3. Fasilitas toilet yang ada pekerja, 50-100

berupa toilet rumah minimal 3 toilet, dan

pada umumnya. harus dijaga

kebersihannya

Proteksi dari bahan- 1. Bahan pangan dan non 1. Bahan pangan dan
bahan kontaminan
pangan disimpan di non pangan masing-

tempat yang berbeda masing harus

2. Tempat pembuangan terlindungi dari

45
sampah cukup jauh cemaran fisik, kima

dari area produksi dan biologi

2. Tempat sampah harus

jauh dari lokasi

produksi

Pelabelan, penyimpanan 1. Penyimpanan bahan 1. Bahan pangan dan


dan penggunaan bahan
toksin yang benar pangan dan non pangan harus

nonpangan dilakukan terspisah untuk

pada tempat yang menghindari

terpisah kontaminan

2. Pelabelan cukup 2. Pengemasan harus

memenuhi standar uu dapat meminimumkan

label dan iklan terjadinya cemaran

fisik, kima dan biologis

Pengawasan kondisi 1. Tidak ada pengecekan 1. Pengawas dan


kesehatan personil yang
dapat mengakibatkan kesehatan pekerja pengecekan
kontaminasi
2. Pekerja memiliki tanda- kesehatan karyawan

tanda luka penyakit harus dilakukan

ataupun kondisi lain secara rutin

yang dianggap dapat 2. Pekerja yang dalam

menyebabkan kondisi sakit, luka

kontaminasi tetap dapat menjadi sumber

dibiarkan bekerja, luka kontaminan pada

hanya ditutup proses pengolahan,

menggunakan perban, kemasan dan produk

pada produk dilakukan akhir tidak boleh

46
pengecekan ulang masuk sampai

kondisinya normal

Menghilangkan hama Tidak dilakukan Ruang produksi,


pengganggu dari unit monitoring secara gudang dan ruang lain
pengolahan berkala terhadap harus bebas dari
tempat persembunyian hama pabrik seperti
hama tikus dan serangga

4.5.2 GMP (Good Manufacturing Practice)

GMP (Good Manufacturing Pratice) merupakan pedoman cara

berproduksi pangan yang bertujuan supaya produsen pangan memenuhi

persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk

pangan yang bermutu dan aman dikonsumsi sesuai denga tuntutan konsumen.

GMP wajib diterapkan oleh indusri yang menghasilkan produk pangan sebagai

upaya preventif agar pangan yang siap dikonsumsi tersebut bersifat aman, layak.

Dan berkualitas ( Anggraini, 2014).

Program persyaratan dasar merupakan cara produksi makanan yang baik

(Good Manufacturing Practice, GMP) atau praktik higiene yang baik (Good

hygiene Pratice, GHP) yang akan dipatuhi oleh semua pelaku bisnis makanan,

yang memiliki reputasi baik untuk memastikan bahwa makanan yang diberikan

pada konsumen adalah makanan yang sehat dan aman (Prasetyo, 2000).

Pengamatan juga dilakukan terhadap proses produksi yang dilakukan

oleh UKM, untuk menilai praktik pembuatan yang telah dilakukan dengan

didasarkan pada standar Good Manufacturing Pratice (GMP). Kondisi di UD.

Indah Pratama dapat dilihat berdasarkan standar GMP (Prasetyo,

2000).ditunjukan pada tabel 9

47
Tabel 9. Identifikasi aspek GMP pada produksi kerupuk ikan gabus

No Aspek GMP Penyimpangan Kategori

1 Lokasi Tempat produksi berdekatan Minor

langsung

dengan jalan kecil (gang)

2 Bangunan a. Bangunan yang belum di plester Mayor

pada ruang pengemasan

b. Ruangan produksi yang masih

terbuka Mayor

3 Fasilitas sanitasi Sarana toilet sudah baik namun Mayor

kondisinya masih kurang bersih

4 Pengawasan Selalu diawasi oleh pemilik karena Minor

proses pemilik juga mengikuti proses

produksi

5 Karyawan Karyawan tidak menggunakan Serius

penutup

kepala, masker, dan sarung tangan

dalam

melakukan proses produksi

6 Label atau Label halal tertulis jelas dengan mayor

keterangan nomor PIRT, kode produksi yang

produk masih kurang jelas

48
7 Penyimpanan Penyimpanan produk dengan Minor

menggunakan

plastik di dalam etalase

8 Pemeliharaan Debu dan asap dapat masuk Mayor

dan dikarenakan

program sanitasi pintu dan ventilasi selalu terbuka

9 Dokumentasi dan Belum memiliki dokumentasi dan Minor

pencatatan pencatatan

yang lengkap dan teratur mengenai

inspeksi,

kegiatan kebersihan, dan ketentuan

lain yang

berkaitan dengan proses produksi

10 Pelatihan Karyawan belum memiliki pelatihan Mayor

terfokus

terhadap GMP

Keterangan

Minor : Tingkat penyimpangan yang kurang serius dan menyebabkan resiko

kualitas keamanan pangan produk

Mayor : Tingkat penyimpangan yang dapat menyebabkan resiko terhadap

kualitas kemanan produk

Serius : Tingkat penyimpangan yang serius dan dapat menyebabkan resiko

terhadap kualitas kemananan produk pangan dan segera

ditindaklanjuti.

49
Dari tabel 6, terlihat masih ada beberapa aspek GMP yang dinilai memiliki

penyimpangan serius yang dapat menyebabkan resiko terhadap kualitas

keamanan produk pangan. Aspek tersebut meliputi fasilitas sanitasi, karyawan

dan label atau keterangan produk. Perbaikan terhadap kondisi ketiga aspek

tersebut perlu segera ditindaklanjuti terutama kondisi bangunan.

4.5.3 HACCP (Hazard Analisys Critical Control Point)

HACCP merupakan manajemen khusus untuk bahan makanan termasuk

hasil perikanan yang didasari pada pendekatan sistematika untuk mengantisipasi

kemungkinan terjadinya bahaya (Hazard) selama proses produksi memntukan

titik kritis yang harus dilaksanakan pengawasan secara ketat. Tujuan utama

menerapkan HACCP adalah memberikan jaminan mutu meningkatkan mutu

produk, meminimalkan kecacatan produk dan keluhan konsumen serta

memberikan efisiensi jaminan mutu. Keuntungan lain dari penerapan HACCP

adalah penggunaan sumberdaya secara lebih baik dan pemecahan masalah

lebih tepat (Mayes, 2001).

Menurut Hermansyah et al., (2013), Sistem HACCP didasarkan pada 7

prinsip antara lain sebagai berikut:

1. Melakukan suatu identifikasi potensi bahaya.

2. Menentukan Titik-titik Pengendalian Kritis.

3. Menyusun batas-batas kritis.

4. Menyusun suatu sistem untuk mengawasi pengendalian CCP.

5. Menyusun tindakan-tindakan perbaikan yang harus diambil ketika

suatu titik pengendalian kritis (CCP) berada diluar batas

6. Menyusun prosedur pengecekan ulang untuk memastikan bahwa

sistem HACCP bekerja efektif.

50
7. Menyusun dokumentasi yang berhubungan dengan semua

prosedurdan catatan-catatan yang sesuai untuk prinsip-prinsip ini

beserta aplikasinya.

Terdapat 2 aspek pada kelayakan dasr yaitu GMP (Good manufacturing

Practice) dan SSOP ( Sanitation Operating Procedure). GMP berisi tentang tata

cara berproduksi yang baik dan benar. Sedangkan SSOP yang berkaitan dengan

sanitasi dan hygiene suatu proses produksi.

4.5.4 Tahapan 7 Prinsip HACCP

Menurut Hermansyah et al., (2013), tindakan dalam penerapan HACCP

adalah usulan pembentukan tim HACCP, deskripsi produk dan proses, tujuan

penggunaan dan konsumen produk, menyusun diagram alir, identifikasi bahaya,

penysunan CCP (Critical Control Point), Lembar kerja CCP (Critical Control

Point). Menurut Gaspersz (2002), langkah-langkah dalam metode HACCP antara

lain adalah (1) Pembentukan tim HACCP, (2) Pendeskripsian produk dan cara

distribusinya, (3) pengidentifikasi pengguna yang dituju, (4) pembuatan diagram

alir, (5) konfirmasi diagram alir dilapangan, (6) identifikasi bahaya dan cara

pencegahannya, (7) penetapan Critical Control Point (CCP), (8) penetapan batas

kritis atau Critical Limit untuk setiap CCP, (9) pemantauan atau monitoring CCP,

(10) tindakan koreksi terhadap penyimpangan, (11) penetapan dokumentasi dan

pemeliharaan. Tahapan terakhir metode HACCP adalah penetapan prosedur

verifikasi terhadap produk pangan tersebut. Deskirpsi dari produk dapat dilihat

pada tabel 10.

51
Tabel 10. Deskripsi Produk Kerupuk E. cottonii

Nama produk Kerupuk ikan gabus

Bahan baku 1. Rumput laut E. cottonii

2. Tupung tapioka

3. Tepung terigu

4. Bumbu

Karakterisrik Syarat mutu kerupuk ikan berdasarkan SNI 1-

2713-1999, meliputi

1. Rasa : gurih

2. Aroma: ikan gabus

3. Kadar abu

4. Kapang

5. Cemaran logam (Pb, Cu, Hg)

6. Cemaran arsen

Metode pengawetan 1. Pengawetan pada suhu 1000C, selama 20

menit

2. Penjemuran

Jenis kemasan 400 gr per bungkus dalam kemasan Plastik Bening

(PP)

Kondisi penyimpanan Disimpan dalam ruang yang sejuk dan kering

Masa simpan 2 bulan

Label khusus UD Indah Pratama

Cara penggunaan 1. Dijemur dahulu dibawah sinar matahari

selama 1-2 jam

2. Dibiarkan selama 20 menit

52
3. Digoreng dengan minyak yang panasnya

sedang

Pemasaran Dipasarkan di wilayah sekitar Kabupaten

Situbondo dan Banyuwangi

Identifikasi Pengguna Konsumsi umum

53
4.5.5 Identifikasi Bahaya

Segala macam aspek pada mata rantai produksi pangan harus dianalisa.

Bahaya yang dapat ditimbulkan adalah keberadaan pencemar (kontaminan)

biologis, kimiawi, atau fisik bahan pangan. Selain itu, bahaya lain mencakup

pertumbuhan mikroorganisme atau perubahan kimiawi yang tidak dikehendaki

selama proses produksi, dan terjadinya kontaminasi silang pada produk antara,

produk jadi, atau lingkungan produksi (Handoyo, 2013).

Melakukan identifikasi bahaya dengan cara membuat daftar bahaya yang

mungkin terdapat pada tiap tahapan dari produksi kerupuk E. cottonii di UD.

Indah Pratama. Hasil identifikasi potensi bahaya pada setiap tahapan proses

mulai dari penerima bahan baku, proses pengolahan, sampai penyimpanan.

Setiap potensi bahaya tersebut diidentifikasikan bahaya fisik, kimia dan bilogi

yang dapat menyebabkan pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi.

Selanjutnya diidentifikasi penyebab bahaya serta upaya pengendalian yang

dilakukan. Hasil identifikasi bahaya dapat dilihat pada tabel 11.

Tabel 11. Identifikasi Bahaya Proses Pembuatan Kerupuk E. cottonii

Tahapan Tindakan
Bahaya potensial Penyebab bahaya
proses pencegahan

Penerimaan 1. Kontaminasi 1. kandungan Bahan baku yang


bahan baku bakteri, mikroba dari diterima dari
rumput laut 2. Kontaminasi bahan baku pemasok hanya
hama sejak dari bahan baku yang
3. kotoran, warna pemasok masih dalam
dan bau 2. penanganan keadaan segar atau
bongkar muat dalam keadaan
kering

Penerimaan Kontaminasi kapang Kebocoran kemasan Hanya menerima


bahan baku dan jamur bahan yang tidak
kering : mengalami
bumbu kerusakan pada
kemasan

Penerimaan Kontaminasi kapang Kebocoran kemasan Hanya menerima


bahan baku dan jamur bahan yang tidak

54
kering : mengalami
tepung kerusakan pada
tapioka kemasan

Penerimaan Kontaminasi bakteri, Kebocoran kemasan Hanya menerima


bahan baku kapang dan jamur bahan yang tidak
tepung terigu mengalami
kerusakan

Pembuatan Kontaminasi Kontaminasi dari alat Lebih


adonan mikroba dan personel yang memperhatikan
tidak bersih sanitasi dan hygiene
alat dan pekerja

Pencetakan Kontaminasi Kontaminasi dari alat Lebih


mikroba dan personel yang memperhatikan
tidak bersih sanitasi dan hygiene
alat dan pekerja

Pengukusan Kontaminasi Kontaminasi dari alat Lebih


mikroba dan personel yang memperhatikan
tidak bersih sanitasi dan hygiene
alat dan pekerja

Tahapan Tindakan
Bahaya potensial Penyebab bahaya
proses pencegahan

Pendinginan Kontaminasi Kontaminasi dari alat Lebih


mikroba dan personel yang memperhatikan
tidak bersih sanitasi dan hygiene
alat dan pekerja

Pengirisan Kontaminasi Kontaminasi dari alat Lebih


mikroba dan personel yang memperhatikan
tidak bersih sanitasi dan hygiene
alat dan pekerja

Penjemuran Kontaminasi kapang Kontaminasi dari Pengendalian


dan jamur udara dan lingkungan serangga dan hama
sekitar selama penjemuran
dilakukan

Pengemasan Kontaminasi Kontaminasi dari alat Lebih


mikroba & personel yang tidak memperhatikan
bersih sanitasi dan hygiene
alat dan pekerja

55
4.5.6 Penentuan Titik Kendali Kritis CCP (Critical Control Point)

CCP (Critical Control Point) atau Titik Pengendalian Kritis adalah suatu

titik, tahap, atau prosedur dimana bahaya yang berhubungan dengan pangan

dapat dicegah, dieliminasi, atau dikurangi hingga ke titik yang dapat diterima

(diperbolehkan atau titik aman). Terdapat dua titik pengendalian kritis yaitu Titik

Pengendalian Kritis 1 sebagai titik dimana bahaya dapat dihilangkan, dan Titik

Pengendalian Kritis 2 dimana bahaya dapat dikurangi (Handoyo, 2013).

Setiap Tahap Proses

Apakah ada upaya pencegahan pada tahap tersebut atau tahap


P1
berikutnya terhadap bahaya yang di identifikasi

Ya Tidak

Apakah tahap ini khusus ditujukan untuk menghilangkan atau


P2 mengurangi bahaya sampai batas aman ?

Tidak Ya CCP

Apakah kontaminasi bahaya dapat terjadi/meningkat sampai


P3 melebihi batas ?

Ya Tidak bukan

CCP

Apakah tahap proses selanjutnya dapat menghilangkan/mengurangi


P4
bahaya sampai batas aman ?

Ya Bukan CCP Tidak CCP

Gambar 15. Pohon Keputusan (CCP Decision tree)

56
Penentuan titik kendali kritis (critical control point) pada setiap tahapan proses

dilakukan dengan menggunakan laporan hasil identifikasi bahaya. Prosedur

identifikasi CCP oleh UD. Indah Pratama terdapat lima tahapan proses yang

termasuk CCP yaitu pada tabel 11.

Tabel 12. Bahaya potensial yang teridentifikasi

No Tahapan Proses Bahaya Potensial Keterangan

1 Penerimaan Bahan 1. Kontaminasi bakteri, CCP

Baku Rumput Laut 2. Kotaminasi hama

3. kotoran, warna dan bau.

2 Penerimaan Bahan Kebocoran kemasan CCP

Baku Tepung

3 Pengukusan Kontaminasi mikroba CCP

4 Pendinginan Kontaminasi mikroba CCP

5 Penjemuran Kontaminasi bakteri, kapang dan CCP

jamur

4.5.7 Penetapan Batas Kritis

Penentuan batas kritis merupakan kriteria yang memisahkan sesuatu

yang bisa diterima dan tidak bisa diterima. Pada setiap titik pengendalian kritis,

harus dibuat batas kritis dan kemudian dilakukan validasi. Kriteria yang umum

digunakan dalam menentukan batas kritis HACCP pangan adalah suhu, pH,

waktu, tingkat kelembaban, Aw, dan parameter fisik seperti tampilan visual dan

tekstur (Handoyo, 2013).

Pada titik pengendalian yang ditentukan batas-batas kritisnya yaitu kriteria

yang memisahkan kondisi yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima.

57
Parameter untuk penyusunan batas kritis dipilih sedemikian rupa sehingga

memungkinkan untuk melakukan tindakan perbaikan ketika batas kritis

terlampaui. Btas kritis pada proses pembuatan kerupuk E. cottonii terdapat pada

tabel 13.

Tabel 13. Batas kritis yang ditetapkan pada CCP

No CCP Batas kritis

1 Penerimaan Bahan Baku Rumput Bahan baku segar berbau khas rumput

Laut laut dan memiliki nilai organoleptik >7.

2 Penerimaan Bahan Baku Tepung Kondisi tepung tidak bocor dan berjamur

3 Pengukusan . Suhu pengukusan 1000C selama 2 jam

4 Pendinginan Waktu pendinginan 7 jam di lemari

pendingin

5 Penjemuran Penjemuran harus dilakukan di bawah

matahari hingga kadar air dalam produk <

15%.

4.5.8 Pemantauan atau Monitoring CCP (Critical Control Point)

Suatu sistem pemantauan (observasi) urutan, operasi, dan pengukuran

selama terjadi aliran makanan. Hal ini termasuk sistem pelacakan operasi dan

penentuan kontrol mana yang mengalami perubahan ketika terjadi

penyimpangan. Biasanya, pemantauan harus menggunakan catatan tertulis

(Handoyo, 2013).

Setelah ditentukan batas kritis terhadap CCP, kemudian dilakukan

pemantauan agar berada dibawah batas-batas kritis. Pemantauan akan

58
memberikan informasi yang tepat dan sistem pemantauan yang dilakukan pada

proses pembuatan kerupuk E. cottonii ada pada lampiran.

4.5.9 Penetapan Dokumentasi dan Pemeliharaan

Beberapa contoh catatan dan dokumentasi dlam sistem HACCP adalah

analisis bahaya, penetapan CCP, penetapan batas kritis, aktivitas pemantauan

CCP, serta penyimpangan dan tindakan korektif yang berhubungan (Handoyo,

2013). UKM milik Ibu Iin belum melakukan sistem dokumentasi yang praktis

untuk pengaplikasian dan penerapan sistem HACCP yang efektif.

4.5.10 Analisa Penerapan HACCP (Hazard Analisis Critical Control Point) di

UD. Indah Pratama

HACCP merupakan suatu pendekatan sistem dalam pengamatan baha

pangan pendekatan dengan HACCP ini, maka pengawasan keamanan pangan

atau produk di UD. Indah Pratama, dapat terjamin mutunya, karena disetiap

tahapan proses pengolahan dikendalikan resiko da bahaya yang memungkinkan

terjadi. Penerapan manajemen keamanan pangan di UD. Indah Pratama dapat

dilakukan dengan penerapan 7 prinsip HACCP, dengan cara menggunakan

diagram alir untuk menggambarkan aliran proses pembuatan kerupuk E. cottonii,

sehingga dapat mengidentifikasi bahaya potensial kemanana produk makanan,

dilanjutkan dengan menentukan kriteria batas kritis (CCP) untuk setiap proses,

memberikan usulan tindakan perbaikan dan menetapkan anggota tim yang harus

bertanggung jwab dan langkah terakhir mendokumentasikan seluruh penerapan

metode HACCP, sehingga dapat dijadikan acuan/ standar baku untuk proses

produksi selanjutnya. Program sanitasi telah dilaksanakan oleh UD. Indah

Pratama da juga sudah mendapatkan sertifikat penerapan sanitasi dari

pemerintah setempat.

59
4.6 Analisa Usaha

4.6.1 Permodalan

Modal usaha menurut Nurfarhana (2013), modal yang diperlukan untuk

menunjang kelancaran kegiatan seperti membeli bahan baku, bahan tambahan,

membayar gaji pegawai, membayar pajak dan untuk kegiatan lainnya yang

merupakan suatu kegiatan rutin uni usaha mandiri, modal pada CV. Ditambahkan

oleh Sitorus dan Irsutami (2014), modal kerja dibutuhkan oleh setiap usaha

industry atau perusahaan untuk membiayai investasi jangka panjang. Modal kerja

yang dikeluarkan diharapkan dapat kembali masuk dlam perusahaan dengan

jangka waktu pendek melalui kegiatan penjualan produk atau jasa ditambah

dengan keuntungan yang maksimal.

Di UKM milik Ibu Iin modal usaha pembuatan kerupuk E. cottonii ini

berasal dari modal sendiri, modal meliputi modal tetap dan modal kerja. Modal

tetap diartikan sebagai modal yang tidak akan habis dalam satu masa produksi.

Modal tetap adalah modal bias diakatakan investasi yang digunakan pada

pengolahan kerupuk E. cottonii sebesar Rp. 4.681.000,00 dan perinciannya

dapat dilihat pada lampiran 5.

Pada perhitungan nilai penyusutan digunakan metode lurus, yaitu suatu

barang yang digunakan dalam proses produksi diasumsikan mempunyai nilai

penyusutan yang sama untuk setiap tahun berdasarkan jangka waktu pemakaian

atau umur teknis dari barang investasi tersebut. Besarnya nilai penyusutan atas

barang investasi pada proses pembuatan kerupuk ikan gabus adalah sebesar

Rp. 481.000,00

4.6.2 Biaya Produksi

Biaya produksi adalah langkah awal dalam pelaksanaan penyusunan

anggaran produksi. Sebagai bahan tambahan pada anggaran produksi, tiga

60
anggaran lain yang relevan dengan produksi : (1) anggaran bahan langsung dan

suku cadang yang dibeli, (2) anggaran tenaga kerja langsung yang menunjukan

kuantitas dan biaya yang direncanakan dari tenaga kerja langsung dan (3)

anggaran biaya produksi atau biaya over head pabrik, yang meliputi rencana

semua biaya pabrik selain biaya bahan langsung dan tenaga kerja langsung

(Rosidah dan Krisnandi, 2008).

Biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan suatu perusahaan dalam

proses awal produksi hingga menjadi produk jadi yang siap dipasarkan. Biaya

produksi ini meliputi biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost).

Biaya tetapadalah biaya yang tidak habis penggunaannya dalam satu masa

produksi meliputi modal tetap, upah karyawan, biaya penyusutan dan biaya

penyusutan dan pemeliharaan. Biaya tidak tetap adalah biaya yang berubah,

besar kecilnya tergantung biaya skala produksi yang meliputi biaya bahan baku,

biaya bahan tambahan dan lain sebagainya (Hernanto, 1991). Biaya produksi

meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap. Pada proses pembuatan kerupuk E.

cottonii biaya tetap sebesar Rp. 4.681.000,00.

4.6.3 Keuntungan

Keuntungan usaha atau pendapatan bersih adalah besarnya penerimaan

setelah dikurangi biaya produksi yang meliputi biaya tetap dan biaya variable

(Soekartawi, 1991). Sehingga keuntungan dapat dirumuskan sebagai berikut:

= TR TC

diamana :

= Keuntungan

TR = Total Revenue (total volume penerimaan)

61
TC = Total Cost (total biaya produksi)

Total biaya pembuatan produk kerupuk E. cottonii sebesar Rp. 43.096.000,00.

Sedangkan jumlah total penerimaan dalam per tahun adalah Rp. 75.000.00,00.

Sehingga keuntunga bersih pada produksi kerupuk E. cottonii per tahun sebesar

Rp. 31.904.000,00. Perhitungan dapat dilihat pada lampiran 7.

4.6.4 Analisa R/C Ratio

R/C ratio = TRTC dimana TR = Total Revenue / total penerimaan

TC = Total Cost / total biaya

Apabila dari hasil perhitungan diperoleh

1. R/C ratio >1, maka usaha ini memeberikan keuntungan

2. R/C ratio =1, maka usaha ini pada kondisi titik impas

3. R/C ratio <1, maka usaha ini pada kondisi kerugian

Analisa R/C ratio pada pembuatan kerupuk E. cottonii sebesar 1,74.

Produk tersebut R/C rationya menguntungkan karena mempunyai nilai lebih dari

1. Perhitungan R/C ratio dapat dilihat pada Lampiran 7.

4.6.5 Break Event Point (BEP)

Analisa Break Even Point atau titik impas adalah cara mengetahui volume

penjualan minimum agar perusahaan tidak menderita rugi juga belum

memperoleh keuntungan (dengan kata lain untung=0). Oleh sebab itu pihak

perusahaan harus berusaha bagaimana cara meningkatkan laba untuk

62
memperoleh laba yang maksimum dengan melihat volume penjualannya. Analisa

BEP dapat membantu pimpinan dalam mengambil keputusan antara lain:

a. Jumlah penjualan minimum yang harus dipertahankan agar perusahaan tidak

mengalami kerugian

b. Jumlah penjualan yang harus dicapai untuk memperoleh keuntungan tertentu

c. Seberapa jauh berkurangnya penjualan agar perusahaan tidak menderita rugi

d. Untuk mengetahui bagaimana efek perubahan harga jual, biaya dan volume

penjualan terhadap keuntungan yang akan diperoleh

Break Event atau titik impas merupakan keadaan dimana suatu usaha

berada pada posisi tidak memperoleh keuntungan dan tidak mengalami

kerugian. BEP merupakan teknik analisa yang mempelajari hubungan antara

biaya tetap, biaya variabel, volume kegiatan dan keuntungan (Marhaeni, 2011).

Hasil perhitungan BEP kerupuk E. cottonii sebesar Rp. 5700,00.

63
5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari pelaksanaan Praktik Kerja Magang (PKM) ini dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut :

- Bahan baku menggunakan rumput laut E. cottonii. Sedangkan bahan

tambahan menggunakan air, tepung terigu, tepung tapioka, bawang putih,

gula pasir, dan garam.

- Proses pembuatan kerupuk E. cottonii meliputi penanganan rumput laut,

perendaman rumput laut, penjemuran rumput laut, perebusan rumput

laut, perebusan rumput laut penghalusan rumput laut, pencampuran

bahan, pencetakan adonan, pengukusan, pendinginan, pemotongan,

penjemuran, penggorengan, dan pengemasan.

- Kondisi sanitasi dan hygiene di UD. Indah Pratama dalam proses kerupuk

E. cottonii cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sanitasi pekerja,

alat dan lingkungannya.

- Hasil analisa proksimat kerupuk E. cottonii untuk kadar protein didapat

sebesar %, kadar lemak %, kadar air %, kadar abu %, dan kadar

karbohidrat %.

Besar biaya investasi untuk produksi kerupuk E. cottonii adalah sebesar Rp.

2.252.000. Dan didapatkan keuntungan per tahun sebesar Rp. 31.904.000.

Analisa R/C ratio pada pembuatan kerupuk E. cottonii sebesar 1,74. Dari produk

tersebut R/C ratio menguntungkan karena mempunyai nilai lebih dari 1. Nilai BEP

untuk kerupuk E. cottonii sebesar Rp. 5700,00

64
-

5.2 Saran

Saran yang bisa saya berikan untuk UD. Indah Pratama adalah untuk

tetap mengimplementasikan kondisi sanitasi dan higiene pada saat proses

pembuatan kerupuk E. cottonii karena sudah memegang sertifikat sanitasi dan

higiene dari pemerintah daerah setempat. Serta lebih kreatif dalam proses

produksi dan pengemasan. Untuk segi pengemasan dapat dikembangkan lagi

sehingga dapat menarik konsumen lebih banyak, serta jangkauan pemasaran

yang diperluas. Untuk segi bangunan sebaiknya diberi atap asbes atau fiber agar

tlebih tertutup.

65
DAFTAR PUSTAKA

Anggadiredja, J.T., Zatnika, A., Purwanto, H. dan Istini, S., 2006. Rumput Laut.
Penebar Swadaya, Jakarta

Buckle, K. A., E. A., F. G. H., dan W. M. 2009. Ilmu Pangan. UI Press. Jakarta.
Hal 314

Damodaran, S. dan A. Paraf. 1997. Food Proteins and Their Applications.


Marcel Dekker: New York

Fennema, O.R., 1976. Principle of food science. Part I food chemistry.


Marcel Dekker inc., New York

Gaman Dan Sherington. 1992. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi
dan Mikrobiologi. Penerjemah: Murdjiati. Penerbit Universitas Gajah
Mada. Yogyakarta.

Gaspersz, Vincent. 2002. Pedoman Implementasi Program Six Sigma


Terintegrasi dengan ISO 9001 : 2000 MBNQA dan HCCP. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.

Handoyo, Aries. 2013. HACCP dan Penerapannya dalam Industri Pangan.


Makalah. Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang.

Hermansyah, M., Pratikto., Rudy S dan Nasir W. 2013. Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP) Produksi Maltose Dengan Pendekatan Good
Manufacturing Practice (GMP). Jurnal Jemis. Fakultas Teknik.
Universitas Brawijaya: Malang.

Hutagalung, L. E. 2009. Penentuan Kadar Lemak Dalam Margarine Dengan


Metode Ekstraksi Sokletasi Dib Alai Besar Pengawas Obat Dan
Makanan Medan. Karya Ilmiah. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Medan.

Kent, W. L 1983. Technology of Cereals. Pergamon-Press: New York


Winarno, F.G . 1997. Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Kepmenkes RI No. 1098/MENKES/VII/2003 Tentang Persyaratan Hygiene


Sanitasi Rumah Makan dan Restoran.
http://www.depkes.go.id/download/SK1098.03.pdf, diakses pada 20
oktober 2017 pukul 15:08 WIB

Lingga, M. E. dan Rustama, M. M. 2005. Uji Aktivitas Antibakteri Dari Ekstrak Air
Dan Etanol Bawang Putih (Allium Sativum L.) Terhadap Bakteri Gram
Negatif Dan Gram Positif Yang Diisolasi Dari Udang Dogol (Metapenaeus
Monoceros), Udang Lobster (Panulirus Sp), Dan Udang Rebon (Mysis
Dan Acetes). Laporan. Universitas Padjadjaran.

66
Marhaeni, A. P. 2011. Analisis Break Even Point sebagai Alat Perencanaan
Laba pada Industri Kecil Tegel di Kecamatan Pedurungan Periode
2004-2008. Skripsi. Unpublished. Fakultas Ekonomi. Universitas
Diponegoro. Semarang
Mayes J. 2001. HACCP : Principles and Applications. New York : Van
Nostrand Reinhold

Purnawijayanti, H. 2001. Sanitasi, Hygiene dan Keselamatan Kerja. Dalam


Pengolahan Makanan. Kanisius. Yogyakarta. Hal. 47.

Rahayu, Nunik, Agustin. 2013. Studi Deskriptif Karakteristik Hygiene dan


Sanitasi Pada Alat Pengolah Makanan Gado-Gado Di Lingkungan
Pasar Johar Kota Semarang Tahun 2012. Skripsi. Fakultas Ilmu
Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.

Rosidah, E. Dan C. Krisnandi. 2008. Peranan Anggaran Biaya Produksi Dalam


Menunjang Efektifitas Pengendalian Biaya Produksi. Jurnal Akutansi.
Fakultas Ekonomi. Unsil. Vol. 3. No. 1. Hal. 10

Sitorus, Y. S Dan Irsutami. 2014. Analisa Pengaruh Manajemen Modal Kerja


Terhadap Probabilitas (Studi Kasus Pada Perusahaan Property Dan
Real Estate Yang Go Public Di BEI Tahun 2006-2011). Politeknik
Negeri Batam

SNI 0129131999. 1999. Kerupuk Ikan. Badan Standarisasi Nasional.


Palembang.

Sutrisno. 2008. Kajian Manajemen dalam Pelaksanaan Sanitasi Lingkungan


Di Pelabuhan Pontianak. Tesis. Unpublished. Universitas Diponegoro:
Semarang.

Suryana. 2010. Metodologi Penelitian Model Praktis Penelitian Kuantitatif dan


Kualitatif. Buku Ajar Perkuliahan Universitas Pendidikan Indonesia

Syarif, R dan Halid, H. 1993. Teknolgi Penyimpanan Pangan. IPB: Bogor .

Triharjono, A., Banun, D dan Muhammad, F. 2013. Evaluasi Prosedur Standar


Sanitasi Kerupuk Amplang Di UD Sarina. Jurnal AGROINTEK Vol. 7
No. 2 Agustus 2013.

Wibowo, D. 2009. Laporan Magang Di Perusahaan Roti Milano Surakarta


(Pengendalian Mutu Proses Produksi Roti Pisang). Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret: Surakarta.

Winarno, F.G . 1997. Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Winarno, F.G. 2004.Kimia Pangan dan Gizi. Penenrbit PT. Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta.

67
LAMPIRAN

Lampiran 1. Denah Lokasi UD. Indah Pratama di RT. 05 / RW.02 Desa

Kilensari, Kecamatan Panarukan, Kabupaten Situbondo, Provinsi

JawaTimur

68
(a)

(b)

Keterangan gambar:
(a) Peta Lokasi UD.Indah Pratama
(b) Peta Kecamatan Panarukan

69
Lampiran 2. Layout RuangProduksidi UD. Indah Pratama

70
Keterangan:
U
1. Rumah Pemilik

2. Ruang Pengukusan
B T
3. Ruang Dapur Produksi

4. Area Penjemuran
S
5. Ruang Pemotongan

6. Ruang Pengemasan

7. Ruang Pencucian

71
Lampiran 3. AnalisaPerhitunganKadaluwarsa

y (nilai ambang batas) = 3 (Sedikit Renyah)

x (waktu penyimpanan) =?

y = ax + b

3 = - 0.0286x + 5.2

- 0.0286x = 5.2 3

- 0.0286x = 2.2
2.2
x = 0.0286

x = 76,92 hari

77 hari

72
Lampiran 4. Perincian Modal Investasi dan Biaya Penyusutan Kerupuk

Rumput Laut E. cottonii di UD. Indah Pratama

Jenis Barang Jumlah Umur Harga Harga Biaya


Teknis Satuan Total
(Unit) (Tahun) Penyusutan
(Rp) (Rp)
(Rp)

Kompor gas 1 5 250.000 250.000 50.000

Wajan 1 3 35.000 35.000 12.000

Baskom 3 3 20.000 60.000 20.000

Blender 1 5 300.000 300.000 60.000

Serok 2 3 15.000 30.000 10.000

Timbangan 1 5 75.000 75.000 15.000

Sutil 2 3 6.000 12.000 4.000

Gelastakar 1 5 15.000 15.000 3.000

Telenan 5 5 8.000 40.000 8.000

Pisau 5 3 5.000 25.000 9.000

Para-para 5 5 30.000 150.000 30.000

Panci 2 3 30.000 60.000 20.000

Freezer 1 5 1.200.000 1.200.00 240.000

Total 2.252.000 481.0000

73
Lampiran 5. Rincian Biaya Tetap (Fixed Cost) Usaha Kerupuk Rumput Laut

E. cottonii di UD. Indah Pratama

Jenis Biaya/bulan Biaya/tahun

Penyusutan - 481.000

TenagaKerja 100.000 1.200.000

Listrik 50.000 600.000

Pajak 200.000 2.400.000

Total 4.681.000

74
Lampiran 6. Rincian BiayaTidakTetap (Variable Cost) Usaha Kerupuk

Rumput Laut E. cottonii di UD. Indah Pratama

Dalam satu bulan dilakukan 25 kali produksi dimana tiap harinya menghasilkan

produk sebanyak 25 bungkus.

Jenis Jumlah HargaSat Biaya Biaya Biaya


Pengeluaran uan per hari
per bulan per tahun

Eucheumacotto 400 gr 8.000/kg 3.200 80.000 960.000


nii

Tepungterigu 2000 gr 7.000/kg 14.000 350.000 4.200.000

Tepungtapioka 4000 gr 8.000/kg 32.000 800.000 9.600.000

Bawangputih 250 gr 30.000/kg 7.500 187.500 2.250.000

Gulapasir 200 gr 15.000/kg 3.000 75.000 900.000

Garam 150 gr 4.000/kg 600 15.000 180.000

Minyakgoreng 2 lt 13.000/lt 26.000 650.000 7.800.000

Kemasan 25 biji 800/biji 20.000 500.000 6.000.000

Gas elpiji 1 tbg 18.000/tbg 18.000 450.000 5.400.000

Kapurtohor 25 gr 30.000/kg 750 18.750 225.000

Air 1 lt 3.000/lt 3.000 75.000 900.000

Total 128.050 3.201.250 38.415.000

75
Lampiran 7. Perhitungan Analisa Usaha Usaha Kerupuk Rumput Laut E.

cottonii di UD. Indah Pratama

Jumlah produksi per hari = 25 bungkus

Jumlah produksi per bulan = 625 bungkus

Jumlah produksi per tahun = 7.500 bungkus

Harga jual per bungkus = Rp 10.000

Perhitungan dilakukan dalam waktu setahun

a. Penentuan Total Penerimaan (TR)

TR = Jumlah produksi per tahun x harga jual per bungkus

= 7.500 x Rp 10.000

= Rp 75.000.000

b. Penentuan Total Pengeluaran (TC)

TC = (FC) + (VC)

= Rp 4.681.000+ Rp 38.415.000

= Rp 43.096.000

c. PenetuanKeuntungan ()

= TR TC

= Rp 75.000.000- Rp 43.096.000

= Rp 31.904.000

76
d. Penentuan Efisiensi Usaha (R/C Ratio)

R TR
=
C TC
Rp 75.000.000
= Rp 43.096.000

= 1,74

e. Penentuan Break Even Point (BEP)

TC
BEP unit (q) =
Harga Jual

Rp 43.096.000
= Rp 10.000,00

= 4309,6 4310 bungkus

TC
BEP biaya(s) =
Jumlah Produksi

Rp 43.096.000
=
7.500 bungkus

= Rp 5746,1 Rp 5.700

77

Anda mungkin juga menyukai