Upacara Ritual Buddhist Tentang Kematian Surya Dharma

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

Upacara Ritual Buddhist

Tentang Kematian

Surya Dharma

Sekolah Tinggi Agama Buddha


Dharmawidya

2013
Pendahuluan

Dari jaman dahulu hingga jaman sekarang memang banyak upacara ritual yang ada.
Upacara ritual itu diwariskan secara turun menurun dari nenek moyang kita dahulu. Banyak
upacara ritual dengan berbagai keanekaragaman dalam pelaksanaannya. Upacara ritual itu
salah satunya adalah upacara kematian. Upacara kematian ini pun sangat banyak variasinya
baik berasal dari adat kebiasaan atau suku maupun dari ajaran agama yang dipercayai
masing-masing individu.

Upacara kematian ini bertujuan untuk mendoakan mendiang supaya teringat akan
perbuatan bajik yang ia pernah lakukan semasan hidupnya dan salahsatu cara kita berbakti
dan menghormat kepada orangtua atau sanak keluarga kita yang telah meninggal. Pengertian
dari upacara itu sendiri adalah suatu cetusan hati nurani manusia terhadap suatu keadaan. Arti
dari ritual adalah sebagai tata cara dalam upacara. Kematian adalah suatu akhir dari
kehidupan yang lama dan merupakan awal dari kehidupan yang baru.

Pada makalah ini akan membahas upacara ritual kematian yang sesuai dengan ajaran
Buddha Dhamma. Tujuan penulis mengarang sebuah makalah ini adalah untuk melestarikan
dan memberitahu kepada pembaca makalah ini tentang tata cara upacara kematian menurut
ajaran Buddha Dhamma, agar tidak terjadi kesalahan dalam pelaksanaan upacara ritual
tentang kematian.

Pembahasan

Banyak orang yang mengatakan takut dan belum siap untuk mengalami kematian.
Padahal kematian itu merupakan suatu hal yang pasti. Karena dalam suatu kehidupan pasti
akan ada kematian. Karena segala sesuatu itu tidak kekal demikian dengan kehidupan ini.
Kematian merupkan suatu akhir dari kehidupan yang kita jalani dan juga merupakan awal
dari kehidupan baru yang akan kita jalani lagi. Tentang kehidupan kita yang akan datang
tidak bisa dipastikan atau diramalkan jika kita terlahir menjadi manusia lagi. Yang
menentukan kita menjadi manusia atau dewa atau binatang dan lain-lain adalah karma atau
perbuatan yang kita lakukan selagi hidup.
Upacara ritual kematian merupakan suatu upacara yang dilakukan saat ada bagian dari
keluarga, saudara, teman dan yang lain yang mengalami kematian. Berbagai upacara
kematian yang ada dengan berbagai variasi, ciri khas tersendiri sesuai dengan apa yang
diajarka oleh keturunan mereka. Pada makalah ini kita akan membahas tentang upacara
kematian dalam Agama Buddha sekaligus membandingkan dengan upacara kematian
menurut tradisi tiongkok.

Pada umumnya orang yang meninggalkan sebelumnya mengalami kesakitan terlebih


dahulu. Jika seseorang sakit parah sebelum menjelang kematiannya, adalah baik sekali bila
kita mengundang satu atau beberapa bhikkhu untuk memberikan khotbah Dhamma, membaca
paritta suci dan mengucapkan Vandana, Tisarana, Pancasila, Buddhanussati, Dhammanussati,
Sanghanussati, Saccakiriya gatha, Bojjhanga paritta, Sumangala gatha II. Yang bertujuan
sebagai umat Buddha yang mempunyai keyakinan terhadap Buddha Dhamma dan Sangha
serta batinnya tenang dan damai serta bahagia.

Umat Buddha harus mencoba mempertahankan pikiran tenang dan sadar selama
mendekati kematian. Dia harus merenungkan perbuatan baik yang telah dilakukannya dan
menimbulkan keyakinan bahwa perbuatan baik ini dapat memberikan kelahiran kembali yang
baik dan membantunya dalam kehidupan berikut. Dia harus menerima kematian sebagai
sesuatu hal yang wajar dan tidak dapat dihindarkan, merenungkan bahwa kita semua datang
sesuai perbuatan (kamma) kita dan pergi sesuai dengan perbuatan (kamma) kita. Dengan
kerelaan melepas semuanya dan menerima kematian, dia akan meninggal dengan tenang dan
memperoleh harapan kelahiran kembali yang baik di alam surga atau jika dia dilahirkan
kembali ke dunia, dia akan lahir pada orang tua yang baik dan menjadi manusia yang cerdas.

Mengingat kebenaran bahwa kita adalah pemilik perbuatan (kamma) kita sendiri,
penting sekali agar ketika kita masih hidup, kita melakukan perbuatan baik dan bermanfaat
sehingga kita akan memiliki jaminan kelahiran kembali yang bahagia setelah meninggal.
Tentu saja, tujuan akhir semua umat Buddha adalah mencapai Nibbana, yang merupakan
akhir dari kelahiran kembali. Tetapi sebelum kita membuang kekotoran batin, yaitu
keserakahan, kebencian, dan kebodohan, kita masih akan tetap berada dalam samsara, siklus
kelahiran dan kematian.

Bagaimanapun juga dapat dimengerti bahwa akan ada duka dan kesedihan pada saat
kematian. Namun, akan lebih baik bagi anggota keluarga untuk mempertahankan diri dari
tangisan dan ratapan sebelum seseorang meninggal. Karena tangisan dan emosi hanya akan
membuat sedih orang yang akan meninggal sehingga membuatnya lebih sulit untuk berpisah.
Kita harus membiarkan seseorang pergi dengan damai, dengan memahami bahwa ketika
waktu seseorang telah tiba, maka dia harus pergi. Kemelekatan dan cinta yang terlalu
berlebihan hanya akan menimbulkan lebih banyak penderitaan. Sesungguhnya, anggota
keluarga bisa meyakinkan orang yang akan meninggal bahwa dia tidak perlu khawatir tentang
mereka, dia harus menjaga pikirannya tetap tenang dan damai, dan tidak mengapa bagi dia
untuk pergi jika saatnya telah tiba. Dengan cara ini, orang yang akan meninggal juga akan
merasa ringan dan meninggal dengan damai.

Upacara Ritual Kematian

I. Ketika seseorang telah meninggal, tubuh jasmani dibersihkan dan dikenakan


pakaian yang sederhana saja. Permata dan perhiasan, asli ataupun imitasi, tidak
seharusnya dipakaikan. Karena yang meninggal telah dilahirkan dan tidak dapat
membawa apa pun bersamanya. Paritta yang dibacakan untuk membersihkan
jenazah yaitu Vandana, dan Pamsukula Gatha. Bisa dibacakan oleh keluarga yang
dipimpin oleh salah satu pihak kelurga yang bisa mempimpin baca paritta atau
bisa juga memanggil romo pandita untuk memimpin.

Mengenai peti mati, tidak perlu yang mahal. Boleh dengan harga menengah,
atau jika tidak mampuh, peti mati yang murah juga boleh. Seorang umat Buddha
yang mengerti Dhamma tidak akan mau anggota keluarganya menanggung biaya
yang tidak perlu. Malah dia akan lebih memilih untuk berdana kepada bhikkhu
sangha atau vihara dengan uang yang dihemat dari pemakaman sederhana.

Foto almarhum boleh diletakkan di depan peti mati. Bunga-bunga dan


karangan bunga juga boleh diletakkan di sekeliling peti mati. Susunan kata-kata
Dhamma, seperti kata-kata terakhir dari Sang Buddha: Segala sesuatu yang
berkondisi adalah tidak kekal. Berusahalah dengan tekun untuk pembebasan dari
penderitaan, boleh dipasang sebagai suatu pengetahuan dan inspirasi, jadi kita
dapat merenungkannya dan berusaha menjalani hidup dengan penuh manfaat.
II. Bila keadaan memungkinkan, altar diletakkan ditempat upacara. Diatas altar
ditempatkan :
1. Arca atau gambar Sang Buddha
2. Dupa dan tempat menaruh dupa
3. Lilin atau lampu: minimal sepasang
4. Bunga: ditalam atau divas
Altar bisa diatur seindah dan sepantasnya.

III. Pembacaan wacana Pali dalam Upacara Perkabungan


Dalam upacara perkabungan, paritta-radhana tidak perlu dibacakan.
Pembacaan wacana Pali (yang sering dirancukan sebagai pembacaan paritta) tidak
dilakukan menghadap jenasah atau abu jenasah, melainkan pada keluarga leluhur
dan hadirin peserta upacara yang ada disana.
Tata letak dalam upacara perkabungan diatur sepantasnya disesuaikan dengan
tempat yang ada. Akan tetapi kalau memungkinkan, jenasah, abu jenasah dan/atau
gambar jenasah diletakkan disebelah kanan depan altar Buddharupa dengan
kepala jenasah disisi dekat altar. Para bhikkhu/samanera atau umat pembaca
Palivacana, atau pembabar Dhamma berada disisi kiri altar. Hadirin peserta
upacara berada didepan altar. Altar persembahan untuk mendiang diletakkan disisi
kiri atau disisi depan jenasah, abu jenasah dan/atau gambar jenasah.
Formasi Upacara Perkabungan

A B Keterangan:
A = Altar Sang Buddha
C B = Bhikkhusangha
D C = Jenasah
D = Altar jenasah
E = Pemiliki hajat/hadirin

E
IV. Pada saat tutup peti, malam kembang atau sebelum menuju ketempat pemakaman
atau perabuan jika tidak ada kehadiran bhikkhu Sangha urutan acaranya adalah :
- Pembacaan paritta
o Vandana
o Tisarana
o Buddhanussati
o Dhammanussati
o Sanghanussati
o Pabbatopama gatha atau Dhammaniyama sutta
o Tilakkhanadi gatha
o Pamsukula gatha
- Bhavana
o Bhavana dipimpin oleh pemimpin puja bakti dengan mengatakan
Saudara-saudara se-Dhamma, marilah kita mengembangkan
pikiran cinta kasih kepada mendiang ...(sebut nama) yang
telah mendahului kita. Semoga mendiang ...(sebut nama)
dalam perjalanan dialam kehidupan selanjutnya selalu
mendapatkan jalan ketengan dan kebahgiaan, hingga
akhirnya mencapai kbebasan agung, Nibbana. Semoga sang
Tiratana selalu melindunginya. Marilah kita memulai
bhavana.
Akhir bhavana mengucapkan
Sabbe satta bhavantu sukhitatta (atau)
Sabbe satta sada hontu, avera sukhajivino.
- Dhammadesana singkat dari romo pandita
- Ucapan terimakasih dari keluarga mendiang(bilamemungkinkan)
- Pembacaan Ettavataiadipattidana
o Ettavata (3x) (deva, bhuta, satta)
o Idam vo (3x)
o Akasattha (ciram rakkhantu mendiang ...(sebut nama)
o Akasattha (ciram rakkhantu vo sada
- Selesai
Jika ada bhikkhu Sangha urutan acaranya adalah :

- Permohonan Sila dengan membacakan Aradana tisarana dan pansila


- Pembacaan paritta oleh umat
o Buddhanussati
o Dhammanussati
o Sanghanussati
- Permohonan Aradana Paritta
- Bhikkhu Sangha membacakan Pamsukula gatha sambil berdiri disamping
peti mendiang dan memegang kain atau jubah.(sejarah)
- Dhammadesana dari bhikkhu Sangha
- Persembahan amisa puja oleh keluarga mendiang
- Kata sambutan dari Romo pandita
- Ucapan terimakasih dari keluarga mendiang(bilamemungkinkan)
- Pembacaan Ettavataiadipattidana
o Ettavata (3x) (deva, bhuta, satta)
o Idam vo (3x)
o Akasattha (ciram rakkhantu mendiang ...(sebut nama)
o Akasattha (ciram rakkhantu vo sada
- Selesai

* Jika ada altar Buddha diawali dengan pembacaan Namakaragatha

V. Pada saat tiba dipemakaman atau perabuan urutan acaranya adalah :


- Pembacaan Paritta
o Vandana
o Buddhanussati
o Dhammanussati
o Sanghanussati
o Pamsukula gatha (menaburkan bunga diatas peti jenazah pada
waktu membacakan Anicca vata ....)
o Sumangala gatha
- Pembabaran singkat (jika memungkinkan)
VI. Tentang hal makam dan abu
Apabila jenasah dimakamkan, dimakamnya dapat dibangun nisan dalam bentuk
sesuai dengan selera atau jika menghendaki, dapat berbentuk stupa. Apabila
jenasah diperabukan, sebagian abu jenasah boleh disimpan untuk objek
penghormatan bagi sanak kerabat atau mereka yang menghormatinya. Tempat
penyimpanan abu dapat dibentuk sesuai selera atau jika menghendaki dapat
dibentuk stupa.

VII. Untuk peringatan kematian: 3 hari, 7 hari, 49 hari, 100 hari, 1 tahun, 1000 hari
urutan acaranya adalah :
- Pembacaan paritta
o Vandana
o Tisarana
o Pabbatopama gatha
o Ariyadhana gatha
o Buddhanussati
o Dhammanussati
o Sanghanussati
o Sumangala gatha I
- Bhavana
o Dipimpin oleh pemimpin puja bakti
Pemimpin mengatakan : Saudara-saudara se-Dhamma,
marilah kita mengembangkan pikiran cintakasih kita kepada
mendiang ...(sebut nama) yang telah mendahului kita ...
hari/tahun yang lalu. Semoga mendiang ...(sebut nama)
dalam perjalanannya dialam kehidupan selanjutnya selalu
mendapatkan jalan ketenangan dan kebahagiaan, hingga
akhirnya mencapai kebebasan agung, Nibbana. Marilah kita
memulai bhavana.
Akhir bhavana mengucapkan
Sabbe satta bhavantu sukhitatta (atau)
Sabbe satta sada hontu, avera sukhajivino.
- Dhammadesana singkat dari romo pandita
- Ucapan terimakasih dari keluarga mendiang(bilamemungkinkan)
- Pembacaan Ettavataiadipattidana
o Ettavata (3x) (deva, bhuta, satta)
o Idam vo (3x)
o Akasattha (ciram rakkhantu mendiang ...(sebut nama)
o Akasattha (ciram rakkhantu vo sada
- Selesai

VIII. Saat kita ziarah kemakam keluarga yang telah meninggal urutan acaranya adalah:
- Pembacaan
o Vandana
o Idam vo... (3x)

IX. Pelimpahan Jasa


Ada cara-cara dalam melakukan pelimpahan jasa, yaitu dengan membacakan
Ettavatatiadipattidana, Pattidana gatha, tuang air ketika bhikkhu/samanera
membacakan syair pelimpahan jasa. Cara-cara ini dapat dipilih salah satu saja.
Misalnya, kalau dalam suatu upacara diadakan penuangan air untuk pelimpahan
jasa, pembacaan Ettavatatiadipattidana atau Pattidana gatha ditiadakan.

X. Penggunaan Air dalam Paritta


1. Air yang digunakan untuk pemberkahan dalam upacara atau tirta (blessing)
hanya digunakan untuk upacara mangala saja. Untuk upacara avamanggala
tidak perlu disiapkan tirta pemberkahan.
2. Air yang digunakan untuk upacar pelimpahan jasa dituang saat
bhikkhu/samanera membacakan syair pelimpahan jasa (yatha varivaha ...).
Saat menuangkan air bisa mengucapkan dalam hati kalimat berikut:
Idam vo natinam hotu. Sukhita hontu natayo
Semoga timbunan jasa ini melimpah pada sanak keluarga yang
telah meninggal. Semoga sanak keluarga kami berbahagia.
Saat menuang air, tidak perlu dituang memutar dan menyodorkan jari tangan
menyentuh air yang tertuang.
Setelah bhikkhu/samanera mulai mengucapkan syair anumodana (sabbitiyo..)
air yang dituang diusahakan telah tertuang habis. Selanjutnya umat beranjali
dan mendengarkan pembacaan syair ini. Setelah selesai bersujud kepada
bhikkhu/samanera. Kemudian air tersebut dibuang ke pepohonan/tanaman.
Penuangan air ini sekedar sebagai simbol pelimpahan bagi yang menginginkan
saja. Bukan suatu keharusan dan tidak harus semua hadirin menuang, bisa
diwakili seorang saja.

XI. Ada banyak tradisi dan pantangan yang saat ini dijumpai dalam upacara
pemakaman Chinese. Bagaimanapun, umat Buddha Chinese yang ingin
mempertahankan kemurnian tata cara pemakaman dalam agama Buddha tradisi
Theravada, harus menghilangkan praktek-praktek ini. Tanpa mengurangi rasa
hormat atau pun dengan maksud menghina mereka yang ingin mengikuti upacara
dan ritual pemakaman tradisi Chinese, nasihat berikut hanya untuk mereka yang
ingin melaksanakan upacara pemakaman sesuai dengan agama Buddha tradisi
Theravada:
- Umat Buddha Theravada tidak perlu menaruh 3simbol kendaraan
berbentuk hewan (samseng)
- tidak perlu membakar kertas sembahyang, rumah-rumahan, mobil,
handphone kertas.
- tidak perlu meletakkan sebaskom air dan handuk di bawah peti mati
(karena almarhum tidak mungkin menggunakannya)
- tidak perlu meletakkan semangkuk nasi dengan sumpit di depan peti mati
(karena almarhum tidak bisa makan lagi)
- tidak perlu membakar dupa atau lilin di depan peti mati
- tidak perlu menggantung kelambu di atas peti mati
- tidak perlu memasang lampu-lampu dekorasi di sekeliling peti mati
- tidak perlu membagikan benang merah kepada mereka yang hadir
- pintu boleh ditutup pada malam hari bila pengunjung sudah pulang
sehingga anggota keluarga boleh istirahat
- setelah upacara pemakaman, tidak perlu mengadakan upacara pembersihan
rumah untuk menghalau nasib buruk karena ini hanya berupa praktek
takhyul
- tidak perlu membasuh muka dengan air suci karena Sang Buddha telah
mengajari kita untuk selalu percaya pada diri sendiri, yaitu dalam praktek
Dhamma, praktek dana (kemurahan hati), sila (kesusilaan), dan bhavana
(meditasi). Sang Buddha mengajarkan bahwa tempat perlindungan kita
yang sebenarnya terletak pada kamma (perbuatan) baik kita, yaitu dengan
berbuat baik, menjaga sila, dan meditasi.

Oleh karena itu, jika kita telah mengikuti Ajaran Buddha sesuai dengan Jalan
Mulia Beruas Delapan, kita telah memiliki perlindungan yang paling baik dan
benar, dan kita tidak perlu lagi mengambil jalan takhyul dan praktek non-
Buddhis.

XII. Sejarah
a. Pamsukula gatha
Sang Buddha baru menetapkan masa Vassa dan sejak saat itu, para
Bhikkhu melaksanakan masa Vassa. Pada masa Vassa para Bhikkhu menetap
selama musim hujan dan melatih dirinya. Kathina mempunyai kisah tersendiri,
sebagai berikut, pada waktu itu Sang Buddha menetap di Savatthi, di hutan
Jeta di vihara yang di dirikan oleh Anathapindika. Ketika itu terdapat tiga
puluh orang Bhikkhu dari Pava sedang mengadakan perjalanan ke Savatthi
untuk bertemu dengan Sang Buddha. Ketika masa Vassa tiba, mereka belum
sampai di Savatthi. Mereka memasuki masa Vassa di Saketa dengan berpikir,
"Sang Buddha tinggal sangat dekat, hanya enam yojana dari sini tetapi kita
tidak mempunyai kesempatan bertemu dengan Sang Buddha". Setelah
menjalankan masa Vassa selama tiga bulan, dengan jubah basah kuyup dan
kondisi yang lelah mereka sampai di Savatthi. Setelah memberi hormat,
mereka duduk dengan jarak yang pantas. Sang Buddha berkata, "O para
Bhikkhu, semoga semuanya berjalan dengan baik. Saya berharap kalian
mendapatkan sokongan hidup. Selalu penuh persahabatan dan harmonis dalam
kelompok. Kamu melewatkan masa Vassa dengan menyenangkan dan tidak
kekurangan dalam memperoleh dana makanan". Kemudian para Bhikkhu
menjawab: "Segala sesuatu berjalan dengan baik, Sang Bhagava. Kami
mendapatkan sokongan yang cukup, dalam kelompok selalu penuh
persahabatan dan harmonis, dan mendapatkan dana makanan yang cukup.
Kami sebanyak tiga puluh orang Bhikkhu dari Pava ke Savatthi untuk bertemu
dengan Sang Bhagava, tetapi ketika musim hujan mulai, kami belum sampai
di Savatthi untuk bervassa. Kami memasuki masa Vassa dengan penuh
kerinduan dan berpikir, Sang Bhagava tinggal dekat dengan kita, enam yojana,
tetapi kita tidak mempunyai kesempatan melihat Sang Bhagava. Kemudian
kami, setelah menjalankan masa Vassa selama tiga bulan, menjalankan
pavarana, hujan, ketika air telah berkumpul, rawa telah terbentuk, dengan
jubah yang basah kuyup dan kondisi yang lemah dalam perjalanan yang jauh".
Setelah memberikan wejangan Dhamma,Sang Buddha berkata kepada para
Bhikkhu, "O para Bhikkhu, Saya izinkan untuk membuat jubah Kathina bila
menyelesaikan masa Vassa secara lengkap........". Demikianlah izin membuat
jubah Kathina ditetapkan Sang Buddha ketika Beliau tinggal di Savatthi.
(catatan: cerita asal mula Hari Kathina yang telah diuraikan di atas dikutip dari
Kitab Suci Vinaya Pitaka Jilid 5, Maha Vagga, Kathina Khandhaka).
Sebenarnya pada jaman Sang Buddha, para bhikkhu memakai jubah
pamsukula civara dan memiliki jubah hanya satu stel. Yang dimaksud
pamsukula civara adalah kain bekas pembungkus mayat yang telah dibuang
orang di dalam hutan atau di kuburan. Kebiasaan di India dulu, orang yang
meninggal, baik yang miskin maupun yang kaya langsung dibungkus kain dan
dibuang ke hutan, lalu para bhikkhu mengambil kainnya dan dicuci kemudian
dicelup dengan getah pohon yang berwarna kuning (misalnya pohon nangka),
lalu dijahit dibuat jubah. Kemungkinan di jaman itu kain sulit dicari dan
mutunya tidak baik, hanya bisa dipakai paling lama satu tahun karena telah
mengalami kerusakan, lalu pada masa kathina tersebut baru kemudian
mendapat jubah pengganti. Sang Buddha memberi ketentuan hari kathina di
akhir masa vassa, satu alasannya lagi karena setelah masa vassa cuaca di
negara India, Nepal, Myanmar, Thailand, Srilangka mulai musim dingin. Juga
Sang Buddha membuat peraturan agar para bhikkhu memiliki kain sangghati,
alasannya ialah untuk melindungi/menutup badan di kala musim dingin, sebab
para bhikkhu jaman dulu kebanyakan memiliki satu jubah dan tinggalnya di
hutan. Para umat Buddha di jaman Sang Buddha, bila melihat para bhikkhu
yang jubahnya sudah rusak, mereka dengan keyakinan dan belas-kasih
mencarikan kain untuk dipersembahkan kepada Sangha, kemudian para
bhikkhu membuat civara/ jubah bersama-sama.
b. Pelimpahan jasa
- Cerita pertama yaitu cerita seorang murid Buddha yang paling sakti, yang paling
hebat, bernama Bhante Moggalana.Dalam bahasa Mandarin, cerita ini dikenal
sebagai Mu Lien Ciu Mu (Y.M. Moggalana menolong ibunya).Cerita inilah yang
paling dikenal masyarakat luas.
Menurut cerita ini, pada waktu sedang bermeditasi, Bhante Moggalana
mempergunakan kemampuan batinnya untuk melihat alam-alam lain selain alam
manusia.Pada waktu itu Bhante Moggalana melihat surga, tempat para dewa dan
dewi yang lebih dikenal orang dengan istilah 'malaikat'.
Selain itu, beliau juga melihat ke alam-alam menderita, alam setan, setan raksasa
yang kita sebut Asura, setan kelaparan atau alam peta dan juga alam
neraka.Bhante Moggalana dengan prihatin melihat alam-alam menderita yang
sangat menyedihkan ini.Di salah satu alam setan kelaparan, Bhante Moggalana
melihat ibunya terlahir di situ. Di sana, terlihat ibunya dalam keadaan kurus
kering dan telanjang bulat. Bhante Moggalana merasa sangat kasihan sekali
kepada ibunya.Beliau berusaha menolong ibunya.Beliau mencoba memberikan
makanan dan minuman kepada ibunya.Namun, segala pemberian beliau
bukannya menolong ibunya. pemberiannya justru menambah penderitaan ibunya.
Karena kebingungan atas kegagalannya menolong sang ibu, Bhante Moggalana
menghadap Buddha.
Bhante Moggalana bertanya kepada Buddha tentang sebab musabab kegagalan
usaha pertolongannya kepada ibunya.Buddha menjelaskan bahwa bila akan
menolong makhluk di alam menderita hendaknya orang melakukannya dengan
cara pelimpahan jasa. Pelimpahan jasa adalah melakukan suatu perbuatan baik
atas nama orang yang telah meninggal yang akan ditolong. Oleh karena itu,
Bhante Moggalana kemudian disarankan oleh Buddha untuk memberikan
persembahan jubah dan makanan kepada pada bhikkhu Sangha atas nama ibunya.
Setelah melaksanakan upacara pelimpahan jasa, Bhante Moggalana bermeditasi
lagi.Dengan mata batinnya beliau mencari ibunya di alam peta.Ketika bertemu,
keadaan ibunya jauh berbeda. Ibunya kini kelihatan segar, sehat, awet muda,
pakaiannya bagus, rapi dan bersih.Upacara pelimpahan jasa ini juga sering
dihubungkan dengan tradisi mendoakan para makhluk menderita yang
dilaksanakan setiap tanggal 15 di bulan 7 menurut penanggalan Imlek.Itulah
cerita tradisi.

- Ada cerita lain yang memang terdapat dalam kitab suci Tri Pitaka. Cerita
ini berhubungan dengan raja Bimbisara. Raja Bimbisara suatu ketika
mengundang Sang Buddha dan seluruh bhikkhu ke istana. Raja dalam
kesempatan itu mempersembahkan dana makan serta jubah. Setelah
berdana, raja merasakan kebahagiaan.

Akan tetapi pada malam harinya raja memperoleh banyak gangguan dari
para makhluk tak tampak. Buddha menerangkan bahwa para makhluk
yang mengganggu itu sebenarnya adalah sanak keluarga raja sendiri dari
banyak kehidupan yang lalu.Namun, karena mereka telah melakukan
kesalahan, mereka kemudian terlahir di alam menderita, alam setan
kelaparan. Oleh karena itu, Buddha kemudian menyarankan kepada raja
agar ia sekali lagi mengundang para bhikkhu ke istana. Bila para bhikkhu
telah sampai di istana, raja hendaknya mempersembahkan dana makanan
dan jubah atas nama para makhluk menderita yang pernah menjadi
saudaranya itu. Keesokan harinya, raja Bimbisara mengundang para
bhikkhu dan Buddha untuk menerima persembahan dana makan dan jubah.
Kemudian jasa kebaikannya dilimpahkan kepada mereka.Para makhluk
menderita itu merasakan pula kebahagiaan yang luar biasa.Kebahagiaan
inilah yang menyebabkan mereka mati dari alam menderita dan terlahir
kembali di alam bahagia.

Dalam kesempatan itulah Buddha membabarkan Tirokuddha Sutta.Buddha


bersabda bahwa di dinding-dinding, di gerbang-gerbang, di persimpangan-
persimpangan jalan banyak keluarga kita yang terlahir di alam menderita
menunggu kebaikan hati kita.Mereka menanti pelimpahan jasa kita dengan
penuh kesedihan.Ketika sanak keluarganya berpesta pora dan menikmati
kebahagiaan, tidak ada satu pun di antara mereka yang diingat. Padahal di
sana tidak ada perdagangan, tidak ada warung dan restoran. Lalu
bagaimana caranya kita menolong mereka. Kita bisa menolong mereka
dengan melakukan kebaikan, dan melimpahkan jasanya kepada mereka.
Dalam masyarakat, pelimpahan jasa kadang-kadang dihubungkan dengan
tradisi melakukan upacara tertentu pada bulan tujuh menurut penanggalan
Imlek.Padahal menurut agama Buddha sebetulnya pelimpahan jasa tidak
harus menunggu bulan tujuh. Sebab, belum tentu pada bulan tujuh nanti
kita masih tetap hidup.

Kesimpulan

Upacara ritual kematian dilakukan sebagai suatu penghormatan kepada sanak


keluarga yang baru meninggal. Upacara ritual kematian menurut umat Buddha tidak perlu
yang mewah apalagi dipersembahkan adalah sesuatu yang merugikan orang lain. Umat
Buddha yang bijaksana akan tidak menghamburkan uang untuk upacara kematian yang
mewah tetapi ia akan menggunakannya untuk berdana kepada para bhikkhu dan melakukan
pelimpahan jasa atas nama mendiang atau keluaraga yang telah meninggal.

Daftar Pustaka

1. Anshoriy Nasruddin. Neopatrionisme:Etika kekuasaan dalam kebudayaan.


Yogyakarta: LKiS Yogyakarta; 2008. h. 23.
2. Hidayat Komaruddin. Psikologi kematian. Jakarta: PT Hikmah; 2007 .h. 140.
3. http://ghostofficial.blogspot.com/2011/11/pelaksanaan-pemakaman-tionghoa-
secara.html: 2013-03-06. 14:00 WIB.
4. Sangha Theravada Indonesia. Paritta suci. Jakarta; Yayasan Sangha Theravada
Indonesia; 2005. h. 14-16.
5. Phra Mahawirat Khemacari. Paritta suci dan kebaktian pagi-sore. Jakarta: Buddha
Metta Arama; 2012. h. 13-17.
6. http://artikel-bk-tugas.blogspot.com/2012/06/siripada-puja.html: 2013-03-06. 15:00
WIB.
7. http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=8a60d2084bb826d0383c2
12e8845c33f&jenis=182be0c5cdcd5072bb1864cdee4d3d6e : 2013-03-06. 16:00
WIB.

Anda mungkin juga menyukai