Serangan Umum 1 Maret

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 3

Serangan umum 1 maret merupakan serangan yang dilakukan oleh jajaran tinggi militer

Divisi III/GM III untuk merebut kembali kota Yogyakarta sekaligus membuktikan bahwa TNI dan
Republik Indonesia masih kuat, sehingga diharapkan akan semakin memperkuat posisi Indonesia
dalam perundingan yang berlangsung di PPB. Tujuan utama serangan tersebut adalah untuk
meruntuhkan moral pasukan Belanda serta membuktikan kepada internasional bahwa TNI
memiliki kekuatan yang cukup besar untuk melakukan perlawanan.

Jalannya Serangan Umum 1 Maret


Tepatnya pada tanggal 1 Maret 1949 di pagi hari, dimulailah serangan besar-besaran dengan
fokus utama adalah ibu kota Indonesia saat itu yaitu Yogyakarta. Selain itu serangan juga
dilakukan dibeberapa kota lain seperti Solo, dan Magelang dengan tujuan untuk menghambat
bantuan tentara Belanda. Pusat komando saat itu ditempatkan di Desa Muto. Tepat pada pukul 6
pagi, sirine dibunyikan dan serang dilakukan ke seluruh penjuru kota. Serangan tersebut dibagi
menjadi 5 sektor yaitu:

1. Kota dipimpin oleh Letnan Marsudi.


2. Barat dipimpin oleh Letkol Ventje Sumual
3. Utara dipimpin oleh Mayor Kusno
4. Selatan dipimpin oleh Mayor Sarjono
5. Timur dipimpin oleh Mayor Sarjono

Kerugian Di Kedua Belah Pihak Serangan Umum 1 Maret


Pihak Belanda 6 orang tewas dan 14 orang luka-luka, sementara di pihak Indonesia tercatat 300
prajurit gugur, 53 polisi gugur, dan jumlah rakyat yang ikut gugur tidak bisa dihitung secara pasti.
Sementara itu, menurut media Belanda, korban dari pihak mereka selama bulan maret adalah 200
orang tewas dan luka-luka.

Arti Penting Serangan Umum 1 Maret 1949

1. Menunjukkan kepada dunia internasional keberadaan pemerintah dan TNI masih kuat dan
solid
2. Dukungan terhadap perundingan/diplomasi yang berlangsung di PBB
3. Meningkatkan moral bangsa Indonesia
4. Meruntuhkan mental pasukan Belanda
5. Mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia
JALANNYA SERANGAN UMUM 1 MARET 1949
6. Menjelang Serangan Umum 1 Maret 1949, pasukan Tentara Nasional Indonesia
memasuki kota Yogyakarta. Pasukan tersebut tergabung dakam SWK Kota yang
dipimpin oleh Letnan Amir Murtopo dan Letnan Marsoedi. SWK Kota mempersiapkan
sarana dan prasarana yang akan digunakan saat penyerangan. Pada malam
sebelum serangan, para gerilyawan banyak berdatangan ke Yogyakarta. Para
gerilyawan menyelinap ke rumah-rumah penduduk.

7. Pukul 06.00 tanggal 1 Maret 1949 tepat pada saat sirine berbunyi sebagai tanda
berakhirnya jam malam, serangan umum dimulai. Pertempuran terjadi di seluruh
penjuru kota. Pos-pos Belanda di Tugu, Gondolayu, Komando Keamanan Kota,
Benteng Vredenburg, Ngupasan Timuran diserbu secara serentak. Hal ini
mengejutkan tentara Belanda karena serangan yang mendadak.

8. Pasukan Belanda terkepung dalam markas pertahanan dan hanya dapat meminta
bantuan pasukan dari Magelang dan Semarang melalui pesawat intai Auster/Capy.
Kolonel Zanten, Komandan Brigade Belanda wilayah Magelang mengirim Batalyon
KNIL yang paling tangguh( Sumiyati 2001: 36). Bala bantuan berangkat dari
Magelang pukul 11.00. Atas saran dari Sultan hamengku Buwono IX Serangan
Umum 1 Maret 1949 hanya dilancarkan sampai dengan pukul 12.00. Sultan
Hamengku Buwono IX mempertimbangkan pasukan bantuan Belanda yang
didatangkan dari luar Yogyakarta serta menghindari jumlah korban yang lebih
banyak.

Pada Tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan serangan ke ibukota Yogyakarta


dalam Agresi Militer yang kedua. Serangan tersebut dilancarkan ke beberapa objek vital
seperti Istana Kepresidenan, markas Tentara Nasional Indonesia, dan bandara Maguwo,
serta sasaran utamanya adalah para pejabat tinggi Republik Indonesia. Presiden Sukarno,
Wakil Presiden Muhammad Hatta, dan beberapa menteri kabinet ditangkap saat siding
kabinet berlangsung dan kemudian diasingkan ke luar Jawa.

Penangkapan pejabat tinggi negara mengakibatkan kekosongan pada sistem pemerintahan,


namun presiden Sukarno telah menunjuk pejabat untuk mengisi kekosongan tersebut
sebelum penangkapan berdasar hasil siding kabinet. Syafrudin Prawiranegara ditunkuk
untuk mendirikan pemerintahan darurat di Bukit Tinggi serta Sultan Hamengku Buwono IX
selaku Menteri Negara Koordinator Keamanan, mengambil alih pemerintahan di ibukota
Yogyakarta Hal ini bertujuan untuk menjaga tegaknya Republik Indonesia dan melakukan
perjuangan secara diplomasi.

Selain itu, Jenderal Sudirman dan tentara yang markasnya telah dikuasai oleh militer
Belanda memilih untuk keluar Yogyakarta. Jenderal Sudirman terus memantau kondisi kota
Yogyakarta dari luar serta melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan perang gerilya.
Bukan hanya itu saja, Jenderal Sudirman tetap berkonsolidasi dengan pejabat di ibukota
Yogyakarta melalui kurir-kurir.

Kondisi Negara yang kacau ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk memperluas
hegemoninya pada dunia Internasional. Belanda menganggap Pemerintahan Republik telah
hilang semenjak Soekarno-Hatta diasingkan, Tentara Nasional Indonesia lemah dan tidak
dapat menjaga stabilitas keamanan, dan kemiskinan yang cukup parah mengakibatkan
pemerintah dianggap gagal mengelola Negara ( Sumiyati 2001: 2). Belanda menginginkan
agar pihak luar negeri tidak menghiraukan Republik Indonesia.
Berita perkembangan upaya diplomasi di luar negeri terus disaksikan oleh para pejuang dari
dalam negeri. Salah satunya adalah berita mengenai sidang Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang akan diadakan pada akhir Februari 1949 yang didengarkan oleh
Sultan Hamengku Buwono IX lewat radio dalam keraton Yogyakarta.

Sebagai satu-satunya pemimpin di Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono IX menyadari


bahwa semangat prajurit dan rakyat kian merosot. Sultan Hamengku Buwono IX berinisiatif
untuk melakukan serangan besar-besaran kepada Belanda untuk membangkitkan moral
tentara dan rakyat yang dilancarkan sebelum dilaksanakannya sidang Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal tersebut sekaligus menjadi momentum untuk menopang
perjuangan diplomasi ( Sumiyati 2001: 4).

Anda mungkin juga menyukai