KDRT Makalah

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan pada hukum. Dimana
hukum bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat guna tercapainya situasi
yang kondusif dalam penyelenggaraan negara. Segala perilaku dalam kehidupan ini
haruslah diatur dengan hukum karena tanpa adanya hukum maka akan banyak
terjadi kekacauan-kekacauan di semua lapisan. Keberadaan hukum sangatlah
penting bagi tercapainya penyelenggaraan yang baik. Maka dari itu, pembinaan-
pembinaan hukum di negara Indonesia harus dilakukan secara terus menerus.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram dan
damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Untuk mewujudkan
keutuhan dan kerukunan tersebut sangat tergantung pada setiap orang dalam
lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap
orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga
dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada
akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga, sehingga timbul
ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah
tangga tersebut.
Untuk mencegah, melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam
rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan,
perlindungan dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara berpandangan
bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta
bentuk diskriminasi.
KUHP tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga. Pengertian ini
penting untuk dikemukakan mengingat ideologi harmonisasi keluarga yang dianut
masyarakat, selama tidak menganggap serius kekerasan dalam rumah tangga atau
menganggap fenomena kekerasan dalam rumah tangga adalah persoalan privat.
Sementara UU No. 23 Tahun 2004 sendiri secara tegas hadir untuk menentang
adanya tindakan kekerasan dalam rumah tangga dengan memberi definisi tentang
apa yang dikategorikan dengan kekerasan dalam rumah tangga beserta variannya.
Dengan demikian sebagai instrumen hukum UU No. 23 Tahun 2004 merupakan
produk pembaharuan pemikiran di bidang hukum.
Adapun tujuan diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tersebut
adalah :
1. Untuk memenuhi hak setiap warga negara, yaitu mendapatkan rasa aman dan
bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Untuk menghapus adanya tindak kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah
tangga karena hal tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi;
3. Agar korban kekerasan dalam rumah tangga mendapatkan perlindungan dari
Negara atau masyarakat supaya terhindar dan terbebas dari kekerasan atau
ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan
martabat manusia karena dalam hal ini banyak menimpa kalangan perempuan
(isteri).
Masalah kekerasan terhadap isteri sesungguhnhya merupakan masalah
yang kompleks akan tetapi, sampai saat ini masih sulit untuk mendeteksi jumlah
kasus maupun tingkat keparahan yang diderita korban, karena tidak banyak kasus
yang dilaporkan. Alasan klasik yang kerap kali diutarakan adalah bahwa persoalan
yang dialami merupakan aib keluarga yang tabu diberitahukan kepada orang lain.
Adakalanya korban merasa malu dan tertekan apabila kasusnya diketahui oleh
umum. Selain itu, korban juga enggan melapor karena takut jiwanya terancam atau
karena tidak menyadari haknya. Korban yang tidak berpenghasilan juga terkadang
takut kehilangan nafkah dari suami. Sehingga, cukup banyak korban yang bersikap
pasrah dan mencoba menerima saja pengalamannya, sambil berharap kiranya suami
mereka akan berubah suatu hari nanti.
Rumah tangga merupakan tempat membina suatu kerukunan dan
keharmonisan hubungan antara yang satu dengan yang lain karena kerukunan dalam
masyarakat dapat dibina mulai dari rumah tangga, akan tetapi pada kenyataannya
justru rumah tangga mennjadi tempat penderitaan dan penyiksaan. Seperti sudah di
ungkapkan, berbagai bentuk kekerasan fisik justru terjadi di dalam rumah tangga
termasuk perkosaan, pemukula pada isteri dan penyiksaan anak-anak.
Melihat kenyataan yang sering dipublikasikan didalam media massa, dapat
dikatakan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga semakin meningkat baik
dalam kualitas dan kuantitasnya. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk
mengatasi hal tersebut dengan cara menerapkan peraturan yang telah ada dan
memberikan sanksi yang tegas bagi pelakunya dan melakuka upaya-upaya lainnya
yang berkaitan dengan hal tersebut.

I.2 Perumusan Masalah


1. Apakah Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga?
2. Faktor-faktor yang menimbulkan terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga?
3. Aspek-aspek fisik/medis serta peran pusat krisis dan trauma dalam penanganan
korban tindak kekerasan?

I.3 Tujuan
1. Untuk mengenal Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menimbulkan terjadinya tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga
3. Untuk mengetahui Aspek-aspek fisik/medis serta peran pusat krisis dan trauma
dalam penanganan korban tindak kekerasan

I.4 Manfaat
1. Mengenal Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
2. Mengetahui Aspek-aspek fisik/medis serta peran pusat krisis dan trauma dalam
penanganan korban tindak kekerasan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Secara umum kekerasan adalah suatu serangan fisik maupun integritas mental
psikologi sosial. Kata kekerasan tidak hanya menyangkut fisik saja seperti halnya
perkosaan, pemukulan, dan penyiksaan tapi juga yang bersifat nonfisik, seperti pelecehan
seksual, ancaman dan paksaan, sehingga secara emosional seseorang yang mengalami
terusik hatinya. Sedangkan menurut WHO (WHO, 1999), kekerasan adalah penggunaan
kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan
atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar
mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan
atau perampasan hak. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan sebuah gejala yang
telah menjangkiti masyarakat dunia. Perempuan menempati posisi yang rentan terhadap
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

II.I Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Bab I Pasal 1 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga :
(1) Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
(2) Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang di
berikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi
korban kekerasan dalam rumah tangga.
(3) Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan
dalam lingkup rumah tangga.
(4) Perlindungan adalah segala upaya ditujukan untuk memberikan rasa aman
kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan pengadilan.
(5) Perlindungan sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh
kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
(6) Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan
untuk memberikan perlindungan kepada korban.
(7) Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
pemberdayaan perempuan.

II.2 Ruang Lingkup Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Bab I Pasal 2 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga:
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:
a. Suami, isteri dan anak ;
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam tangga ;
dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai
anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga
yang bersangkutan.
Pengertian keluarga itu sendiri merupakan sekelompok orang yang tinggal
bersama yang membentuk satu unit social ekonomi, yang melakukan interaksi
social dalam masyarakat, yang anggotanya mempunyai kedudukan tertentu.
Anggota rumah tangga bisa terdiri dari orang-orang yang tidak mempunyai
hubungan darah, tetapi kebanyakan anggota rumah tangga tersebut bisa terbentuk
keluarga inti dan bisa juga berbentuk keluarga luas. Bentuk keluarga adalah sebagai
berikut :
a. Keluarga inti atau batin (nuclear family) yang terdiri atas suami atau ayah, isteri
atau ibu, dan anak-anak yang lahir dari pernikahan antara keduanya dan yang
belum berkeluarga.
b. Keluarga luas (extended family), yang keanggotaannya tidak hanya meliputi
suami, isteri dan anak-anak yang belum berkeluarga, tetapi juga termasuk
kerabat lain yang biasanya tinggal dalam sebuah rumah tangga bersama, seperti
mertua, adik, kakak ipar bahkan pembantu rumah tangga atau orang lain yang
tinggal menumpang.
Keluarga yang bahagia merupakan satu hal yang sangat penting bagi
perkembangan emosi para anggotanya. Kebahagiaan ini diperoleh apabila keluarga
dapat memerankan fungsinya secara baik. Fungsi dasar keluarga adalah
memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang dan mengembangkan
hubungan yang baik diantara anggota keluarga. Keluarga ideal ditandai oleh ciri-ciri
sebagai berikut :
a.Minimnya perselisihan antar orang tua atau orang tua dengan anak
b. Ada kesempatan untuk menyatakan keinginan
c.Penuh kasih sayang
d. Penerapan disiplin yang tidak keras
e.Ada kesempatan untuk bersikap mandiri dalam berpikir merasa dan berperilaku
f. Saling menghormati, menghargai (mutual respect) diantara orang tua dan anak
g. Ada konferensi (musyawarah) keluarga dalam memecahkan masalah
h. Menjamin kebersamaan (kerjasama antara orang tua dan anak)
i. Orang tua memiliki emosi yang stabil
j. Berkecukupan dalam bidang ekonomi
k. Mengamalkan nilai-nilai moral dan agama
Apabila dalam keluarga tidak mampu menerapkan atau melaksanakan
fungsinya dengan baik, maka keluarga tersebut akan mengalami disfungsi yang
pada gilirannya akan merusak hubungan keluarga tersebut. Salah satunya adalah
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
II.3 Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Bab III Pasal 5 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga:
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang
dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
a.Kekerasan Fisik;
b. Kekerasan psikis;
c.Kekerasan seksual; atau
d. Penelantaran rumah tangga
Yang dimaksud dengan kekerasan fisik adalah :
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. ( Pasal 6 )
Yang dimaksud dengan kekerasan psikis adalah :
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan
psikis berat pada seseorang. ( Pasal 7 )
Yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah :
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetapkan dalam lingkup hidup rumah tangga tersebut;
2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu.
( Pasal 8 )
Yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga adalah :
1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut.
2. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah
sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. ( Pasal 9 )
Bentuk kekerasan terhadap perempuan meliputi:
a. Kekerasan psikologis : bicara keras, mencela, menghina, mengancam, menakuti,
meninggalkan isteri untuk kawin lagi tanpa pemberitahuan, mengancam akan
mengembalikan ke rumah orang tuanya, melarang isteri mengunjungi saudara
maupun teman-temannyadan mengisolasi isteri dari luar.
b. Kekerasan fisik : memukul, menampar, menjambak, menendang, menyundut
dengan rokok dan melukai dengan sengaja.
c. Kekerasan seksual : memaksa hubungan seksual, tidak memperhatikan kepuasan
isteri
d. Secara ekonomi : tidak memberi nafkah isteri, melarang isteri bekerja atau
membiarkan isteri bekerja untuk dieksploitasi
Berdasarkan data di LBH APIK JAKARTA 1998-2002 kasus kekerasan yang
terjadi dalam rumah tangga/domestik yang terbanyak adalah kekerasan psikis yang
setiap tahun terus bertambah jumlahnya.

Jumlah Kasus Kekerasan yang terjadi dalam Rumah Tangga / Domestik


di LBH APIK JAKARTA Tahun 1998 - 2002

Jenis Kasus 1998 1999 2000 2001 2002


Kekerasan Fisik 33 52 69 82 86
Kekerasan Psikis 119 122 174 76 250
Kekerasan Ekonomi 58 58 85 16 135
Kekerasan Seksual 3 15 1 0 7
Perkosaan 1 10 0 0 0
Pelecehan Seksual 2 5 1 0 0
Ingkar Janji 0 0 3 14 5
Dating Violence 0 0 0 0 7
Penganiayaan Anak 0 0 0 0 1
II.4 Faktor-Faktor Yang Menimbulkan Terjadinya Tindak Pidana Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga cenderung merebak seiring dengan laju
modernisasi masyarakat, gaya hidup mengarah pada timbulnya permasalahan yang
kian kompleks. Kekerasan disini dilihat dari aspek gender dimana pihak perempuan
yang menjadi korban kekerasan, dirampas hak-haknya.
Dari berbagai jenis atau bentuk kekerasan dalam rumah tangga bukan tidak
mungkin terdapat satu atau lebih jenis kekerasan yang lazim dilakukan oleh
kelompok atau golongan masyarakat, tetapi justru memberikan pembenaran dengan
adanya dukungan tatanan sosio kultural. Misalnya seorang suami karena sebagai
kepala rumah tangga berhak melakukan tindakan kekerasan apabila isteri dianggap
tidak patuh. Atau diwajarkannya seorang laki-laki yang memiliki kekuasaan atau
kekuatan ekonomi tinggi untuk merendahkan eksistensi perempuan.
Selama ini tatanan nilai sosial masyarakat terhadap kasus-kasus semacam itu lebih
banyak bersikap mewajarkan dan tidak menganggap sebagai tindakan kejahatan.
Masih begitu kuat tatanan nilai sosio kultural dan perlakuan feodalisme
mengisyaratkan bahwa sebagai perangkat hukum, ejektifitas UU tersebut dilapangan
harus disosialisasikan secara komprehensif agar melahirkan pandangan sosial yang
dapat merekonstruksikan tata nilai sosial yang keliru. Beragam faktor yang menjadi
stimulan terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Secara garis
besar dapat dibedakan dalam dua sudut pandang, secara sosiologis dan yuridis.Faktor
sosiologis diantaranya factor budaya, ekonomi, pendidikan dan religius. Sedangkan
secara yuridis masih jauh dari yang diharapkan dimana implementasi penegakan
hukum kurang optimal dan tidak berpihak kepada korban. Hal ini berdampak pada
kurang intensifnya perlindungan yang diberikan serta hambatan bagi korban untuk
mengakses hak hukumnya.
Perempuan dalam hal ini berada dalam posisi yang sulit ditambah dengan
minimnya dukungan moral dari masyarakat guna pemulihan korban agar
emosionalnya relative stabil.
Kriminalitas semakin meningkat dan beragam sejalan dengan perkembangan
penduduk, modernisasi, keadaan struktur social dalam masyarakat. Terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga dapat diklasifikasikan dalam dua sudut pandang,
yaitu:
1. Sudut pandang sosiologis
Terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh
beberapa factor, yaitu kehidupan sosio budaya, pengaruh lingkungan, tingkat
pendidikan dan keadaan ekonomi.
a. Sosial budaya
Struktur social mempunyai andil yang cukup berpengaruh, dalam hal ini
adalah budaya patriarkhi yang menempatkan laki-laki sebagai makhluk yang
dominant terhadap lawan jenisnya. Dominasi laki-laki dalam lingkup keluarga
memperoleh pembenaran dalam masyarakat karena hal tersebut muncul
karena adanya transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu yang
sebenarnya perlu dilakukan koreksi. Dalam budaya tersebut antara laki-laki
dan perempuan telah diperlakukan berbeda, sejak kecil perempuan diajarkan
untuk bergembira karena telah menyenangkan orang dewasa dengan bersikap
manja, manis dan genit. Sedangkan laki-laki sejak kecil diajarkan untuk tidak
menangis, karena menangis hanya untuk anak perempuan. Aktivitas anak
perempuan dibatasi hanya dirumah saja membantu ibu menyelesaikan
pekerjaan rumah sedangkan laki-laki diberi kebebasan di luar rumah. Dari
beberapa hal tersebut, sesungguhnya sejak kecilpun sudah ada diskriminasi
antara perempuan dan laki-laki sehingga timbul anggapan bahwa laki-laki
adalah kaum yang kuat dan perempuan adalah kaum yang lemah. Kondisi
seperti ini sangat memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
yang dilakukan oleh seorang suami.
b. Pendidikan
Modernisasi sangat berpengaruh terhadap tingkat pendidikan agar lebih
substansif dengan perubahan nilai-nilai kemurnian, pola pikir, wawasan akan
menjadi stimulant atau motifasi yang baik bagi pendidikan. Tentunya dengan
pengawasan yang intensif dan perlu selektif terhadap perubahan yang terjadi.
Pendidikan yang relative rendah menimbulkan penafsiran yang rancu terhadap
kekerasan dalam rumah tangga. Dikarenakan tidak adanya pedoman yang
mendasar mengenai apa itu kekerasan dalam rumah tangga sehingga mereka
tidak mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya.
c. Ekonomi
Keadaan ekonomi yan relative rendah menjadi pemicu yang aktif mendorong
terjadi pertengkaran atau berselisih pendapat yang sangat besar. Karena
keadaan ekonomi yang rendah sangat berpengaruh terhadap tingkat emosional
yang terkadang menjadi tidak terkontrol.
d. Religi
Adanya pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama yang mengajarkan
bahwa perempuan kodratnya dibawah laki-laki sehingga menempatkan laki-
laki sebagai makhluk yang lebih sehingga muncul persepsi dalam
masyarakat bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
2. Sudut pandang yuridis
Implementasi penegakan hukum masih belum berpihak kepada korban
kekerasan dalam rumah tangga bahkan setelah lahirnya UU No. 23 Tahun 2004
realisasi terhadap penegakan hak-hak korban belum optimal.
Dilihat dari subyek dan obyeknya, kekerasan dalam rumah tangga dibagi menjadi
5, yaitu:
1. Kekerasan suami terhadap isteri
Dalam keluarga, kekerasan terhadap wanita dapat terjadi sebagai akibat dari tidak
dipahaminya hukum-hukum kekeluargaan atau dipahami dengan cara yang salah,
contohnya kasus perkosaan suami terhadap isteri. Salah satu contoh dalam ajaran
agama Islam yang melarang menggauli isteri dalam keadaan haid, Islam juga
melarang hubungan siang hari di bulan puasa. Ketika istri berusaha menasehati
atau mengingatkan suami tentang ajaran tersebut pada saat suami hendak
melanggarnya, tetapi justru suami menumpahkan kemarahan dalam bentuk
kekerasan fiisik yang lebih berat.
2. Kekerasan istri terhadap suami
Dalam hal ini jarang terjadi dalam kehidupan berkeluarga. Seorang isrti yang
pencemburu dan pemarah, bisa jadi akan mengungkapkan kemarahan yang
meledak dalam bentuk tindakan kekerasan.
3. Kekerasan orang tua terhadap anaknya
Kekerasan fisik terjadi tatkala orang tua sering memukul anak karena kesalahan
kecil. Tak jarang dijumpai anak menjadi cacat seumur hidup akibat penyiksaan
orang tua bahkan meninggal karena dianiaya orang tuanya.
4. Kekerasan anak terhadap orang tua
Banyak dijumpai anak-anak menjadi pelaku kekerasan baik secara fisik, seksual
maupun psikologis terhadap orang tuanya. Hal tersebut berawal dari perbedaan
pendapat, keinginan yang tidak dituruti, perlakuan yang tidak adil atau karena
anak merasa tertekan dalam kehidupannya.
5. Kekerasan terhadap pembantu rumah tangga
Dalam kehidupan masyarakat banyak ditemukan kekerasan terhadap pembantu
rumah tangga, khususnya terhadap pembantu perempuan. Misalnya penyiksaan
fisik, kekerasan psikologis sampai pelecehan seksual.
Di Amerika Serikat wanita yang singel, bercerai atau ingin bercerai, berumur 17-
28 tahun, ketergantungan obat atau alkohol atau riwayat ketergantungan kedua zat
tersebut, sedang hamil dan mempunyai partner dengan sifat dan cemburu berlebihan
mempunyai resiko yang lebih besar mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

II.5 Hak-Hak Korban


Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Bab IV Pasal 10 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga:
Korban berhak mendapatkan:
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan
penetapan peintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
e. Pelayanan bimbingan rohani
Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban kekerasan dalam
rumah tangga tenaga kesehatan harus:
a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya
b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et
repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis
sebagai alat bukti.
Pelayanan pekerja sosial dilakukan di rumah aman milik pemerintah, baik pusat
atau daerah. Dalam memberikan pelayanan pekerja sosial dapat melakukan
tindakan seperti:
1. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi
korban.
2. Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan
perlindungan
3. Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif
4. Mendampingi korban ditingkat penyelidikan, penuntutan atau tingkat
pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara obyektif
dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya
Pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan
memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban agar keadaan
emosionalnya stabil. Perlindungan terhadap korban sangat penting karena banyak
korban kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dilingkup keluarga enggan
melaporkan apa yang telah dialaminya dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Takut jiwanya terancam
2. Takut kehilangan nafkah dari suami
3. Takut mencemakan dan membuat malu keluarga
4. Tidak mengetahui hak-haknya yang merupakan bagian dari HAM
5. Kurang perlindungan hukum dan tanggapan aparat hukum terhadap koban
kekerasan dalam rumah tangga, karena masih beranggapan hal tersebut
merupakan masalah privat
6. Korban merasa malu dan tertekan apabila kasusnya diketahui oleh umum
Jenis perlindungan yang diberikan terhadap korban kekerasan dalam rumah
tangga, yaitu:
1. Perlindungan sementara
Diberikan waktu 1x24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan
kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib memberikan perlindungan.
Perlindungan sementara diberikan paling lama tujuh hari setelah korban
melaporkan kejadian yang dialami, sejak memberikan perlindungan polisi
meminta surat perintah perlindungan dari pengadilan. Dalam memberikan
perlindungan sementara kepolosian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping dan atau pembimbing rohani untuk
mendampingi korban.
2. Perlindungan tambahan
Diberikan dengan pertimbangan-pertimbangan:
a. Menetapkan suatu kondisi khusus
b. Mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan
Perlindungan tambahan dapat diberikan dalam waktu satu tahun dan dapat
diperpanjang atas penetapan pengadilan. Dalam hal ini pemberian perlindungan,
terhadap korban kekerasan terhadap perempuan dapat dilakukan atas dasar
permohonan dari korban atau keluarga korban baik secara lisan maupun tertulis,
permohonan perlindungan yang diajukan secara lisan panitera pengadilan negeri
setempat wajib mencatat permohonan tersebut.
II.6 Sanksi Pidana yang Dikenakan Pada Pelaku
Sanksi pidana yang dikenakan pada pelaku menurut Undang-Undang No.23
Tahun 2004 Bab VIII Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga:
1. Ketentuan yang mengatur tentang kekerasan fisik :
Pasal 44

1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan. fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan


korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah).

3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan


matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta
rupiah).

4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
2. Ketentuan pidana yang mengatur tentang kekerasan psikis:
Pasal 45

1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup


rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
3. Ketentuan yang mengatur tentang kejahatan seksual:
Pasal 46,
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12
(dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh
enam juta rupiah
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00
(dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).
Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47
mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya
selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut,
gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak
berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda
paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
4. Ketentuan pidana-pidana yang mengatur tentang penelantaran rumah tangga:
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).

II.7 Aspek-Aspek Fisik / Medis Serta Peran Pusat Krisis dan Trauma Dalam
Penanganan Korban Tindak Kekerasan
Kekerasan terhadap perempuan (KTP)
Segala bentuk kekerasan berbasis jenis kelamin yang berakibat atau mungkin
berakibat menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap
perempuan; termasuk ancaman dari tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan
semena-mena kebebasan, baik yang terjadi dilingkungan masyarakat maupun dalam
kehidupan pribadi. (Deklarasi PBB tentang anti kekerasan terhadap perepuan pasal 1,
1983)
Kekerasan terhadap anak (KTA)
Perlakuan dari orang dewasa atau anak yang usianya lebih tua dengan menggunakan
kekuasaan atau otoritasnya, terhadap anak yang tidak berdaya yang seharusnya
berada dibawah tanggung jawab atau pengasuhnya, yang dapat menimbulkan
penderitaan, kesengsaraan, bahkan cacat. Penganiayaan bisa fisik, seksual maupun
emosional.
Kekerasan dalam rumah-tangga (KDRT) :
Kekerasan fisik maupun psikis yang terjadi dalam rumah-tangga, baik antara suami-
istri maupun orang-tua-anak. Pada umumnya korban adalah istri atau anak.
Sedangkan pelaku tindak kekerasan terhadap anak biasa ayah atau ibu.
Perkosaan :
Hubungan suksual yang dilakukan seseorang atau lebih tanpa persetujuan korbannya,
dan merupakan tindak kekerasan sebagai ekspresi rasa marah, keinginan / dorongan
untuk menguasai orang lain dan untuk atau bukan untuk pemuasan seksual. Seks
hanya merupakan suatu senjata baginya untuk menjatuhkan martabat suatu kaum /
keluarga, dapat dijadikan alat untuk teror dsb. Perkosaan tidak semata-mata sebuah
serangan seksual, tetapi juga merupakan sebuah tindakan yang direncanakan dan
bertujuan.

Ruang lingkup dan sasaran pelayanan :

IGD :

1. Penatalaksanaan korban / pasien KTP, penatalaksanaan terhadap perlakuan


salah /penderaan terhadap anak dan KDRT melalui pelayanan medik.
2. Melaksanakan kegiatan mediko legal.

3. Melakukan pengobatan dengan pendekatan psikososial.

Non IGD :

1. Melakukan proses penyelidikan bila diperlukan.


2. Melakukan pendampingan dalam masa pemulihan.

3. Melakukan bantuan hukum.

4. Mencarikan rumah aman bila diperlukan.

Perilaku perempuan korban KTP pada fase akut :

1. Rasa takut atas berbagai hal.


2. Reaksi emosional lainnya : Shok, rasa tidak percaya, marah, malu, menyalahkan
dirinya, kacau, bingung, histeris dll.

Kecurigaan telah terjadi KDRT :

1. Cedera bilateral atau berganda.


2. Beberapa cedera dengan beberapa penyembuhan.
3. Tanda kekerasan seksual.

4. Keterangan yang tidak sesuai dengan cederanya.

5. Keterlambatan berobat.

6. Berulangnya kehadiran di RS akibat trauma.

Perilaku anak korban KTA pada fase akut :

1. Gejala fisik penganiayaan emosional sering tidak jelas.


2. Ekspresi wajah, gerak-gerik, bahasa badan, dapat mengungkapkan perasaan sedih,
keraguan diri, kebingungan, kecemasan, ketakuatan, atau amarah yang terpendam.

Penilaian atas anak korban KTA :

IGD :

1. Wawancara riwayat cedera / luka.


2. Pemeriksaan fisik.

3. Pemeriksaan radiologis.

4. Pemeriksaan hematologis.

5. Membuat laporan medis resmi.

Non IGD :

1. Pengambilan foto berwarna.


2. Pemeriksaan fisik saudara kandung.

3. Skrining perilaku.

4. Skrining tumbuh kembang anak balita.


Pelayanan terpadu antar lembaga :

Jaringan kerja bersama antar lembaga-lembaga / organisasi yang otonom dalam


memberikan layanan kepada perempuan korban kekerasan.

Unsur :

1. Rumah sakit : Dokter spesialis, dokter umum, psikiater, perawat.


2. Kepolisian.

3. LBH.

4. Women crisis center / organisasi advokasi hak perempuan / shelter.

5. Lembaga konseling : psikologist.

6. Akademisi / lembaga pendidikan : pekerja sosial.

Persiapan operasional dirumah-sakit :

Tujuan :

Pusat krisis terpadu (PKT) bertujuan untuk memberikan pelayanan menyeluruh bagi
parakorban kekerasan terhadap perempuan (KTP) dan anak (KTA), baik dibidang
klinik, medikolegal dan psikososial ; dengan tujuan akhir adalah pemberdayaan
perempuan, dalam mencapai derajat kesehatan secara optimal.

Sasaran :

1. Korban kekerasan seksual pada perempuan dewasa.


2. Korban kekerasan seksual pada anak.

3. Korban kekerasan dalam rumah tangga.

4. Korban penganiayaan dan penelantaran anak.


Langkah-langkah kegiatan persiapan :

1. Bangunan :

a. IGD.

b. Ruangan PKT.

2. Perangkat lunak :

a. Uraian tugas.

b. Prosedur klinik medis teknis.

c. Prosedur konseling psikososial.

d. Prosedur medikolegal dan lab. Forensik.

e. Rekam medis khusus.

f. Sistem informasi-komunikasi.

3. SDM.

a. Terlatih.
b. Tim dan kerjasama SMF dan instalasi lain.

c. Kerjasama dengan puskesmas.

d. Tenaga teknis : dokter kebidanan-kandungan, bedah, jiwa, forensik klinik,


kesehatan anak, perawat / bidan, pekerja sosial medik.

4. Sumber daya finansial.

a. APBD.
b. Pemerintah / swasta.
5. Bentuk layanan : One stop.

a. Satu tempat semua layanan.


b. Tersedia semua profesi yang dibutuhkan.

c. 24 jam untuk tenaga UGD.

6. Pembelajaran :

Pedoman pelayanan terpadu antar sektor terkait, kesehatan dan non kesehatan.

Struktur organisasi :

1. Koordinator pelayanan medik, administrasi, visum.


2. Petugas medikolegal: spesialis, dokter umum, paramedis.

3. Sekretraris.

4. Kaur medis.

5. Kaur perawatan.

6. Kaur adminstrasi.

7. Kaur visum.

8. Dokter.

9. Dokter konsulen.

10. Paramedik.

11. Jaringan kerjasama.

12. Kepolisian.

13. Dinas sosial.


14. LBH.

15. LSM.

SOP :

Ketentuan umum :

1. Korban kekerasan terhadap perempuan dan anak diperlakukan sebagai korban


darurat dengan tidak membedakan status perkawinan, status sosial / ekonomi,
agama, ras dan suku bangsa.
2. Korban adalah pasien IGD RS, sehingga seluruh prosedur administrasi dan medis
didalam IGD berlaku pada dirinya.

3. Penanganan darurat medis didahulukan, namun dengan tetap tidak mengabaikan


tindakan pendampingan psikis dan upaya pengumpulan bukti.

4. Penanganan di PPT dilakukan setelah penatalaksanaan darurat medis selesai


dilakukan.

KEKERASAN PADA ANAK (CHILD ABUSED):

Sindroma pasca cedera yang bukan kerena aksiden. Biasa sebagai penyebab
kematian karena cedera pada tahun pertama kehidupan. Bila ada dugaan kearah
kekerasan pada anak, maka riwayat serta penilaian yang teliti menjadi sangat penting.

PEMERIKSAAN :

1. Ambil data-data Polisi, korban dokter dan perawat terkait.


2. Anamnesis :

a. Umur.

b. Urutan kejadiaan.

c. Jenis penderaan.
d. Oleh siapa, kapan, dimana, dengan apa, berapa kali.

e. Akibat pada anak.

f. Orang yang ada disekitar.

g. Waktu jeda antara kejadian dan kedatangan ke RS.

h. Kesehatan sebelumnya.

i. Trauma serupa waktu lampau.

j. Riwayat penakit lampau.

k. Pertumbuhan fisik dan psikis.

l. Siapa yang mengawasi sehari-hari.

3. Pemeriksaan fisik :

a. Gizi, higiene, tumbuh kembng anak.

b. Keadaan umum, fungsi vital.

c. Keadaan fisik umum.

d. Daftar dan plot pada diagram topografi jenis luka yang ada.

e. Perhatikan daerah luka terselubung : mata, telinga,mulut dan kelamin.

f. Kasus berat bisa dipotret.

g. Raba dan periksa semua tulang.

4. Pemeriksaan penunjang.

5. Dugaan sexual abuse :


a. Tanda trauma dan sekret vagina.

b. Tanda trauma anal.

c. selaput dara.

d. Labia minora dan posterior fourchette.

e. Pengambilan bahan untuk lab. sesuai prosedur.

Pikirkan telah terjadi kekerasan pada anak bila dijumpai :

1. Riwayat dan beratnya kerusakan fisik tidak sebanding.


2. Waktu yang lama antara kejadian dengan mencari pengobatan.

3. Riwayat trauma berulang dengan perawatan di rumah-sakit yang berbeda.

4. Tanggung-jawab orang tua tidak memadai.

5. Riwayat berubah-ubah atau berbeda dari orang yang berbeda.

Curigai telah terjadi kekerasan pada anak serta pikirkan pemeriksaan lebih intensif
bila dijumpai :

1. Jejas sekitar mulut.


2. Jejas sekitar kelamin atau anus.

3. Tanda-tanda cedera berulang.

4. Patah tulang panjang pada anak usia dibawah 3 tahun.


5. Cedera yang tidak lazim : sundutan rokok, jeratan tali, luka lama dll.

6. Luka bakar dengan batas tegas : strikaan dll.

7. Perdarahan selaput jala mata.

8. Perdarahan dibawah selaput otak berganda.

9. Robekan pada organ dalam perut.

Karena peluang yang meningkat akan risiko cedera yang mematikan, laporkan kasus
atau dugaan kasus tindak kekerasan pada anak kepada pihak berwajib sesuai
peraturan yang ada.

KEKERASAN SEKSUAL :

PEMERIKSAAN :

1. Ambil data-data Polisi, korban dokter dan perawat terkait.


2. Anamnesis :

a. Umur.

b. Status perkawinan.

c. Haid : siklus, terakhir.

d. Penyakit kelamin dan kandungan.

e. Penyakit lain sepert ayan dll.

f. Pernah bersetubuh ? Waktu persetubuhan terakhir ? Menggunakan kondom ?

g. Waktu kejadian.

h. Tempat kejadian.
i. Apakah korban melawan ?

j. Apakah korban pingsan ?

k. Apakah terjadi penetrasi dan ejakulasi ?

3. Periksa pakaian :

a. Robekan lama / baru / memanjang / melintang ?

b. Kancing putus.

c. Bercak darah, sperma, lumpur dll.

d. Pakaian dalam rapih atau tidak ?

e. Benda-benda yang menempel sebagai trace evidence.

4. Pemeriksaan badan :

Umum :

a. Rambut / wajah rapi atau kusut.


b. Emosi tenang atau gelisah.

c. Tanda bekas pingsan, alkohol, narkotik. Ambil contoh darah.

d. Tanda kekerasan : Mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha bagian


dalam, punggung.

e. Trace evidence yang menempel pada tubuh.

f. Perkembangan seks sekunder.

g. Tinggi dan berat badan.

h. Pemeriksaan rutin lainnya.


Genitalia :

a. Rambut kemaluan yang melekat jadi satu. Ambil, periksa lab.


b. Bercak sperma. Ambil, periksa lab.

c. Vulva : bekas kekerasan.

d. Bibir vagina : bekas kekerasan. Ambil bahan untuk lab.

e. Selaput dara.

f. Frenulum labia dan komisura posterior. Utuh atau tidak.

g. Vagina dan serviks : bila memungkinkan.

h. Tanda-tanda penyakit kelamin.

KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.

PEMERIKSAAN : Serupa dengan kekerasan anak dan seksual.

VISUM ET REPERTUM :

Harus tertulis dan diantarkan oleh polisi.

1. Visum et repertum :

Dibuat bila korban setelah diperiksa diperbolehkan pulang dan dapat bekerja
seperti biasa serta tidak ada halangan untuk melakukan pekerjaan.

2. Visum sementara:
Setelah pemeriksaan ternyata korban membutuhkan perawatan dan mendapat
gangguan untuk melakukan pekerjaan. Tidak dibuat kualifikasi luka. Kegunaan
bagi penyidik untuk menahan tersangka.

3. Visum et repertum lanjutan :

Dibuat setelah korban selesai menjalani pengobatan, pindah rumah-sakit / dokter,


pulang paksa atau meninggal.

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Masalah kekerasan dalam rumah tangga perlu diatur secara khusus dalam
sebuah Undang-Undang, mengingat konteks pemasalahannya yang juga spesifik.
Kekerasan dalam rumah tangga sudah merupakan perbuatan yang perlu
dikriminalisasikan. Berkaitan dengan hal itu maka dirumuskanlah Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga yang telah di sahkan oleh DPR RI (Dewan Perwakilan Republik
Indonesia). Undang-undang tersebut pada dasarnya merupakan wujud kepedulian
politik negara dalam mencermati perkembangan kekerasan fisik, psikis dan seksual
dalam rumah tangga yang semakin signifikan dari hari ke hari.

Selama ini penyelesaian kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga hanya


mengacu pada pasal-pasal KUHP. Padahal pasal-pasal tersebut kurang dapat
mengadopsi dan memberikan keadilan pada korban. Bila diimplementasikan dengan
konsisten, keberadaan Undang-Undang Pengahapusan kekerasan dalam rumah
tangga akan membantu upaya perlindungan perempuan, terutama para istri dari
aneka bentuk kekerasan.

III.2 Saran
Dalam menangani permasalahan tindak kekerasan dalam rumah tangga,
dapat dikemukakan beberapa saran, antara lain sebagai berikut :

1. Terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga diharapkan tidak merasa takut
atau malu dalam melaporkan tindak kekerasan yang telah menimpanya, karena
hal ini dapat membantu pemerintah dalam memaksimalkan perlindungan
terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dan penindakan terhadap
pelaku tindak kekerasan tersebut.
2. Sosialisasi terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 harus ditingkatkan
lagi pada masyarakat, mengingat sekarang ini banyak sekali kekerasan dalam
rumah tangga dan para pelaku (masyarakat) banyak yang belum begitu
mengetahui keberadaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
3. Dengan telah disahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terdiri dari 10 Bab dan 56
pasal, diharapkan adanya perlindungan hukum bagi anggota keluarga khususnya
perempuan, dari segala tindak kekerasan dalam rumah tangga.
4. Seorang dokter diharapkan menerapkan pendekatan kedokteran pencegahan dan
kesehatan masyarakat pada praktek yang dilakukannya terhadap pasien dan
keluarganya, untuk ini perilaku dokter sebagai dokter praktek yang bertanggung
jawab mendampingi keluarga agar menjadi keluarga yang sehat.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2004 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Sinar


Grafika, Jakarta.

http://www1.bpkpenabur.or.id/charles/orasi6a.htm

http://www.kowani.or.id/main/index.asp?lang=id&p=101&f=apr012005001

http://www.kompas.com/kesehatan/news/0407/12/103203.htm

http://www.lbh-apik.or.id/kdrt%2098-02%20data.htm

http://www.mirifica.net/wmview.php?ArtID=1418

http://www.suarapembaruan.com/News/2004/09/20/Editor/edit03.htm

http://situs.kesrepro.info/gendervaw/referensi2.htm

http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/kekerasan.htm

http://www.freewebs.com/fks2forensik/index.htm

Anda mungkin juga menyukai