Lapsus Tonsilitis

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 37

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tonsilitis adalah peradangan cincin Waldeyer terdiri atas susunan saraf
limfa yang terdapat dalam rongga mulut disebabkan oleh infeksi (virus atau
bakteri) dan inflamasi pada tonsil. (Sembiring dkk, 2013)
Salah satu penyakit yang paling sering berulang pada bagian tenggorokan
adalah tonsillitis kronis terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi
disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena kegagalan atau ketidakesuaian
pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut. Ketidaktepatan terapi
antibiotik pada penderita tonsilitis akut akan merubah mikroflora pada tonsil,
merubah struktur pada kripta tonsil, dan adanya infeksi virus menjadi faktor
predisposisi bahkan faktor penyebab terjadinya tonsilitis kronis. (Dias dkk,
2009)
Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut
yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme
patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang
lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh
penderita mengalami penurunan (Colman, 2001)
Data epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia, prevalensi
tonsilitis kronis sebesar 3,8% tertinggi setelah nasofaringitis akut 4,6%. Hasil
pemeriksaan pada anak-anak dan dewasa menunjukkan total penyakit pada
telinga hidung dan tenggorokan berjumlah 190-230 per 1.000 penduduk dan
didapati 38,4% diantaranya merupakan penderita penyakit tonsilitis kronis.
(Nadhilla dan Merry, 2016)
1.2 Tujuan
Laporan ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas penulisan laporan
kasus di SMF THT-KL

BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. S
Jenis kelamin : laki-laki
2

Umur : 16 Tahun
Alamat : Kec. Babakan
Pekerjaan : Pelajar
Status maternal : Belum Menikah
Agama : Islam

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 18 Oktober
2017
- Keluhan Utama
Nyeri menelan

- Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Waled tanggal 18
Oktober 2017 dengan keluhan nyeri menelan sejak 2 tahun lalu.
Keluhan tersebut dirasakan hilang timbul dan disertai dengan demam,
hidung berair dan batuk. Kemudian pasien berobat ke puskesmas dan
didapatkan jika pasien terdapat amandel di tenggorokannya. Lalu
pasien melakukan pengobatan alternatif untuk keluhan amandelnya
agar mengecil dan sehat kembali. Setelah melakukan pengobatan
alternatif, akan tetapi tidak ada perubahan yang signifikan.
Keluhan nyeri menelan terasa memberat 2 minggu yang lalu.
Jika pasien makan, keluhan tersebut terasa makin memberat. Keluhan
ini disertai hidung beringus berwarna putih kekuningan. Pasien juga
mengeluhkan batuk berdahak.

- Riwayat Penyakit Dahulu


o Riwayat Hipertensi disangkal
o Riwayat Diabetes Mellitus disangkal
o Riwayat Asma disangkal
o Riwayat tuberkulosis disangkal
o Riwayat trauma dan jatuh disangkal
o Riwayat dirawat di RS disangkal

- Riwayat Penyakit Keluarga


-
- Riwayat Alergi
Pasien menyangkal ada riwayat alergi pada makanan, obat, atau debu.
- Riwayat Pengobatan
2 tahun lalu pasien pernah melakukan pengobatan alternatif untuk
keluhan amandelnya yg membesar dan tidak ada perubahan.
3

- Riwayat Pribadi & Sosial


Riwayat merokok disangkal dan riwayat minum alcohol disangkal.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan tanggal 18 Oktober 2017 pukul 09.30 WIB di poli THT RSUD
Waled.
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang
b. Kesadaran
Compos mentis
GCS: E4M6V5
c. Tanda-tanda Vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 88x/menit
Frekuensi Napas : 22x/menit
Suhu : 36,8C
d. Stasus Interna
Kepala
Bentuk lonjong, simetris, warna rambut putih, rambut mudah rontok
(-), deformitas (-)
Mata
Conjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Thoraks :
Inspeksi :
Pernapasan simetris kanan dan kiri, tidak ada yang tertinggal, retraksi
IC (-) dan iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi :
Nyeri tekan (-), fremitus taktil simetris kanan = kiri, iktus
cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi :
Sonor pada kedua lapangan paru
Batas jantung : batas atas : linea parasternalis sinistra ICS II, batas
kanan : linea parasternalis dextra ICS V, batas kiri: linea
midclavicula sinistra ICS V
Auskultasi :
Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
S1 = S2 reguler murni, murmur (-), gallop (-)
4

Abdomen
Inspeksi : datar, luka/ bekas luka (-), sikatrik (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), soepel, hepar dan lien tak teraba
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen
Auskultasi: bising usus (+) 8 kali/ menit (normal)
Ekstremitas :
Ekstremitas atas :
edema (-/-), pigmentasi normal, telapak tangan pucat (-), sianosis (-),
clubbing finger (-), nyeri tekan (-), parese (-)
Ekstremitas bawah :
Edema (-/-), pigmentasi normal, telapak tangan pucat (-), sianosis(-),
clubbing finger (-), nyeri tekan (-), parese (-)
e. Status Lokalis
2.3.3.1. Pemeriksaan telinga
Telinga kanan Telinga kiri

Auriculae
Bentuk Normotia Normotia
Infeksi (-) (-)

Trauma (-) (-)

Tumor (-) (-)


(-) (-)
Nyeri tekan

Pre-Auriculae
Fistel (-) (-)
Abses (-) (-)

Sikatrik (-) (-)

Nyeri tekan (-) (-)


5

Retro auriculae
Edema (-) (-)
Abses (-) (-)

Fistel (-) (-)

Sikatrik (-) (-)


(-) (-)
Nyeri tekan

Infra Auriculae
Parotis Tidak teraba membesar Tidak teraba membesar

CAE
CAE Lapang Lapang
Warna Merah muda Merah muda

Sekret (-) (-)

Serumen (-) (-)


(-) (-)
Kelainan lain
Membran timpani
Intak/ tidak Intak Intak
Warna Putih keabuan Putih keabuan

Cone of light (+) (+)

Perforasi (-) (-)

Kelainan lain:
(-) (-)
Granulasi
(-) (-)
Polip
(-) (-)
Kolesteatoma
(-) (-)
Tumor

- Pemeriksaan Hidung

Pemeriksaan Dextra Sinistra

Keadaan luar Bentuk Normal Normal


6

Massa -

Rhinoskopi Mukosa Nasi Hiperemis (-) Hiperemis(-)


Anterior
Livid (-) Livid (-)

Sekret Serosa Serosa

Septum Nasi Deviasi (-) Deviasi (-)

Konka inferior hiperemis hiperemis

Konka Media Sulit dinilai Sulit dinilai

Polip (-) (-)

Pasase Udara Hambatan udara(-) Hambatan udara(-)

Rinoskopi Posterior Mukosa

Konka

Sekret

Fossa Tidak Tidak

Rossenmuller Dilakukan Dilakukan

Muara Tuba

Eustachius

Tonus Tobarius

- Maksilofasial

Inspeksi :

-Edema pada wajah (-)

-Parese N.I-XIII(-)

Palpasi : Nyeri tekan (-)

- Tes penciuman
7

- Kanan : Tidak dilakukan


- Kiri : Tidak dilakukan

- Transiluminasi
o Sinus maksilaris : Tidak dilakukan
o Sinus frontalis : Tidak dilakukan

- Pemeriksaan Orofaring

Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)


Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Warna kuning gading, caries (-), gangren(-)
Ginggiva Warna merah muda, sama dengan daerah sekitar
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-), dalam batas normal
Uvula Bentuk normal, letak di tengah, hiperemi (-), edema (-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-)
Tonsila palatine Kanan Kiri
Ukuran T3 T3
Warna Hiperemis(+) Hiperemis(+)
Permukaan Tidak Rata Tidak Rata
Kripte Melebar (+) Melebar (+)
Detritus (+) (+)
Peri Tonsil Abses (-) Abses (-)
Fossa Tonsillaris hiperemi (-) hiperemi (-)
8

dan Arkus
Faringeus

- Laringofaring (Laringoskopi indirect)

Epiglotis tidak dilakukan


Plika ariepiglotika tidak dilakukan
Plika ventrikularis tidak dilakukan
Plika vokalis tidak dilakukan
Rima glotis tidak dilakukan

- Pemeriksaan Leher
Kelenjar submandibular Tidak teraba membesar
Kelenjar Cervikalis (superior, media, Tidak teraba membesar
inferior)
Kelenjar cervikalis posterior Tidak teraba membesar
Kelenjar supraclavicular Tidak teraba membesar
Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar
Tumor (-)
Abses submandibular (-)
Abses cervical (-)

IV. DIAGNOSA BANDING


Tonsillitis kronik hipertrofi eksaserbasi akut
Tonsilitis difteri
Limfoma tonsil
Infeksi HIV stadium 2

V. DIAGNOSA KERJA
Tonsillitis kronik hipertrofi eksaserbasi akut

VI. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Kultur tonsil
9

- Pemeriksaan histopatologi

VII RENCANA TERAPI


a. Medikamentosa
- Antibiotik sistemik : cefixime tab 200mg, 2 dd I tab
- Analgetik : Paracetamol oral 500 mg 2 x 1
bila perlu

b. Non-medikamentosa
Edukasi :
Diet cair
Menjaga daya tahan tubuh dengan mengonsumsi makanan
bergizi dan olahraga teratur
Selalu menjaga kebersihan mulut
Menghindari makanan dan minuman yang mengiritasi
c. Terapi operatif
Tonsilektomi

VIII PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanactionam : ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Tonsil


Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang
oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Tonsil mulai berkembang di
awal bulan ketiga kehidupan janin. Mereka berasal dari lapisan endoderm,
kantong faring kedua, dan mesoderm membran faring kedua dan daerah yang
berdekatan dari lengkungan pertama dan kedua. Epitel dari kantong kedua
10

berkembang biak membentuk tunas endodermal padat, tumbuh menjadi


mesoderm yang mendasarinya; Kuncup ini menimbulkan stroma tonsillar.
Sel-sel pusat tunas kemudian mati dan mengelupas, mengubah kuncup padat
menjadi kripta tonsil yang berongga, yang disusupi oleh jaringan limfoid.
(Viswanatha, 2015)

Gambar 1. Anatomi Tonsil (Paulsen dan Washcke, 2013)


Terdapat tiga macam tonsil, yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina dan tonsil lingual.

3.1.1 Tonsila Faringeal


Adenoid atau bursa faringeal/faringeal tonsil merupakan massa
limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan
yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur
seperti suatu segmen dengan selah atau kantung diantaranya. Adenoid
bertindak sebagai kelenjar limfe yang terletak di perifer, yang duktus
eferennya menuju kelenjar limfe leher yang terdekat. Dilapisi epitel selapis
semu bersilia yang merupakan kelanjutan epitel pernafasan dari dalam
hidung dan mukosa sekitar nasofaring. Adenoid mendapat suplai darah
11

dari A.Karotis Interna dan sebagian kecil cabang palatina A.Maksilaris.


Darah vena dialirkan sepanjang pleksus faringeus ke dalam Vena Jugularis
Interna. Aliran limfe melalui kelenjar interfaringeal yang kemudian masuk
ke dalam kelenjar Jugularis. Persarafan sensoris melalui N. Nasofaringeal,
cabang N IX serta N. Vagus.(Kumar dkk, 1999)

Gambar 2. Potongan sagital dan anterior tonsil (Viswanatha, 2015)

3.1.2 Tonsila Lingualis


Tonsila Lingualis merupakan kumpulan jaringan limfoid yang tidak
berkapsul dan terdapat pada basis lidah diantara kedua tonsil palatina, dan
meluas ke arah anteroposterior dari papila sirkumvalata ke epiglotis. Pada
permukaannya terdapat kripta yang dangkal dengan jumlah yang sedikit.
Sel-sel limfoid ini sering mengalami degenerasi disertai deskuamasi sel-sel
epitel dan bakteri, yang akhirnya membentuk detritus. Tonsila lingualis
mendapat perdarahan dari A.Lingualis yang merupakan cabang dari
A.Karotis Eksterna. Darah vena dialirkan sepanjang V.Lingualis ke Vena
Jugularis Interna. Aliran limfe menuju ke kelenjar servikalis profunda.
Persarafannya melalui cabang lingual N. IX. (Kumar dkk, 1999)

3.1.3 Tonsila Palatina


12

Tonsila palatina yang lebih dikenal sebagai tonsil dalam pengertian


sehari-hari terletak dalam fossa tonsilaris, berbentuk oval dengan berat
sekitar 1,5 gram. Fossa tonsilaris, di bagian depan dibatasi oleh pilar
anterior (arkus palatina anterior), sedangkan di bagian belakang dibatasi
oleh pilar posterior (arkus palatina posterior), yang kemudian bersatu di pole
atas dan selanjutnya bersama-sama dengan m. palatina membentuk palatum
molle. Permukaan lateral tonsil dilapisi oleh kapsula fibrosa yang kuat dan
berhubungan dengan fascia faringobasilaris yang melapisi m. konstriktor
faringeus. Kapsul tonsil tersebut masuk ke dalam jaringan tonsil membentuk
septa yang mengandung pembuluh darah dan saraf tonsil.(Kumar dkk, 1999)
Permukaan tonsil merupakan permukaan bebas dan mempunyai
lekukan yang merupakan muara kripta tonsil. Kripta tonsil berjumlah sekitar
10-20 buah, berbentuk celah kecil yang dilapisi oleh epitel berlapis gepeng.
Kripta yang paling besar terletak di pole atas, sering menjadi tempat
pertumbuhan kuman karena kelembaban dan suhunya sesuai untuk
pertumbuhan kuman, dan juga karena tersedianya substansi makanan di
daerah tersebut.(Kumar dkk, 1999)
Kutub bawah tonsil melekat pada lipatan mukosa yang disebut plica
triangularis dimana pada bagian bawahnya terdapat folikel yang kadang
membesar. Plika ini penting karena sikatriks yang terbentuk setelah proses
tonsilektomi dapat menarik folikel tersebut ke dalam fossa tonsilaris,
sehingga dapat dikelirukan sebagai sisa tonsil.(Kumar dkk, 1999)
Pole atas tonsil terletak pada cekungan yang berbentuk bulan sabit,
disebut sebagai plica semilunaris. Pada plika ini terdapat massa kecil lunak,
letaknya dekat dengan ruang supratonsil dan disebut glandula salivaris
mukosa dari Weber, yang penting peranannya dalam pembentukan abses
peritonsil. Pada saat tonsilektomi, jaringan areolar yang lunak, antara tonsil
dangan fossa tonsilaris mudah dipisahkan.(Kumar dkk, 1999)
Di sekitar tonsil terdapat tiga ruang potensial yang secara klinik
sering menjadi tempat penyebaran infeksi dari tonsil, yaitu:
1) Ruang peritonsil (ruang supratonsil). Berbentuk hampir segitiga dengan
batas-batas :
13

a. Anterior : M. Palatoglossus
b. Lateral dan posterior : M. Palatofaringeus
c. Dasar segitiga : Pole atas tonsil
Dalam ruang ini terdapat kelenjar salivari Weber, yang bila
terinfeksi dapat menyebar ke ruang peritonsil, menjadi abses
peritonial.(Kumar dkk, 1999)
d. Ruang retromolar
Terdapat tepat di belakang gigi molar tiga berbentuk oval,
merupakan sudut yang dibentuk oleh ramus dan korpus mandibula.
Di sebelah medial terdapat m. buccinator, sementara pada bagian
posteromedialnya terdapat m. pterigoideus internus dan bagian atas
terdapat fasikulus longus m. temporalis. bila terjadi abses hebat
pada daerah ini akan menimbulkan gejala utama trismus disertai
sakit yang amat sangat, sehingga sulit dibedakan dengan abses
peritonsilar.(Kumar dkk, 1999)
e. Ruang parafaring (ruang faringomaksilar; ruang pterigomandibula)
Ruang yang lebih besar dan luas serta banyak terdapat
pembuluh darah besar, sehingga bila terjadi abses berbahaya sekali.
Adapun batas-batas ruang ini adalah :
i. Superior : basis cranii dekat foramen jugular
ii. Inferior : os hyoid
iii. Medial : m. Konstriktor faringeus superior
iv. Lateral : ramus asendens mandibula, tempat m. pterigoideus
Interna dan bagian posterior kelenjar parotis
v. Posterior : otot-otot prevertebra
Ruang parafaring ini terbagi 2 (tidak sama besar) oleh
prosessus styloideus dan otot-otot yang melekat pada prosessus
styloideus tersebut.(Kumar dkk, 1999)
f. Ruang pre-styloid, lebih besar, abses dapat timbul oleh karena
radang tonsil, mastoiditis, parotitis, karies gigi atau tindakan
operatif.
14

g. Ruang post-styloid, lebih kecil, di dalamnya terdapat A. Karotis


Interna, V. Jugularis, N. Vagus dan saraf-saraf simpatis.
Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu :
1) A.Palatina Asendens, cabang A.Fasialis memperdarahi bagian postero
inferior
2) A.Tonsilaris, cabang A.Fasialis memperdarahi daerah antero inferior
3) A.Lingualis Dorsalis, cabang A.Maksilaris Interna memperdarahi
daerah antero media
4) A.Faringeal Asendens, cabang A.Karotis Eksterna memperdarahi
daerah postero superior
5) A.Palatina Desendens dan cabangnya, A.Palatina Mayor dan Minor
memperdarahi daerah antero superior.
Darah vena dialirkan melalui pleksus venosus perikapsular ke
V.Lingualis dan pleksus venosus faringeal, yang kemudian bermuara ke
V.Jugularis Interna. Pembuluh vena tonsil berjalan dari palatum,
menyilang bagian lateral kapsula dan selanjutnya menembus dinding
faring.(Kumar dkk, 1999)
Tonsil tidak mempunyai sistem limfatik aferen. Aliran limfe dari
parenkim tonsil ditampung pada ujung pembuluh limfe eferen yang
terletak pada trabekula, yang kemudian membentuk pleksus pada
permukaan luar tonsil dan berjalan menembus m. Konstriktor faringeus
superior, selanjutnya menembus fascia bucofaringeus dan akhirnya menuju
kelenjar servikalis profunda yang terletak sepanjang pembuluh darah besar
leher, di belakang dan di bawah arkus mandibula. Kemudian aliran limfe
dilanjutkan ke nodulus limfatikus daerah dada untuk selanjutnya bermuara
ke dalam duktus torasikus.(Kumar dkk, 1999)
Inervasi tonsil terutama melalui N. Palatina Mayor dan Minor
(cabang N V) dan N. Lingualis (cabang N IX). Nyeri pada tonsilitis sering
menjalar ke telinga, hal ini terjadi karena N IX juga mempersarafi
membran timpani dan mukosa telinga tengah melalui Jacobsons Nerve.
(Kumar dkk, 1999)
15

Gambar 3. Inervasi pada tonsil (Paulsen dan Washcke, 2013)

3.2 Fisiologi
Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa
tonsilaris di kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari
cincin Waldeyer. Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid
lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan
medial terdapat kripta (Amarudin, 2007). Tonsila palatina merupakan
jaringan limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh
terutama terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk
ke saluran nafas (virus, bakteri, dan antigen makanan). Mekanisme
pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila patogen
menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear pertama-tama
akan mengenal dan mengeliminasi antigen (Farokah, 2003).
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid
yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh
pada orang dewasa. Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%,
sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun
kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan
antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke
sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga
terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil
16

merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan


proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi
utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan
sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik (Kartika, 2008).
Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang
terletak pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil
membantu mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk
memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan
sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi
untuk membantu melawan infeksi (Edgren, 2002). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus
yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh
fossa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fossa
supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Secara mikroskopik tonsil
terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum
(merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan
limfoid) (Kartika, 2008). Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda
asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas
imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 10 tahun (Amarudin,
2007).

3.3 Tonsilitis Kronik


3.3.1 Definisi
Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau
inflamasi pada tonsila palatina yang menetap (Chan, 2009). Tonsilitis
Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang
mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen
dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama
17

dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh


penderita mengalami penurunan (Colman, 2001).

3.3.2 Etiologi
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui
kriptanya secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap
oleh hidung kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara
foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan (Farokah, 2003).
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari
Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil,
atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna
(Colman, 2001).
Pada pendera Tonsilitis Kronis jenis kuman yang sering adalah
Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Selain itu terdapat
Streptokokus pyogenes, Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein
Barr, bahkan virus Herpes (Boeis, 1989). Penelitian Abdulrahman AS,
Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008 mendapatkan kuman
patogen terbanyak di tonsil adalah Staphilokokus aureus, Streptokokus
beta hemolitikus grup A, E.coli dan Klebsiela (Abdulrahman, 2008).
Mekanisme imunologi lokal penting dalam tonsilitis kronis.
Distribusi sel dendritik dan sel penyajian antigen berubah selama
penyakit, dengan sel dendritik lebih sedikit pada epitel permukaan dan
lebih banyak lagi di daerah kriptografi dan ekstrafikuler. Studi penanda
imunologi memungkinkan pembedaan antara tonsilitis rekuren dan
kronis. Penanda semacam itu dalam satu penelitian menunjukkan bahwa
anak-anak lebih sering mengalami tonsilitis rekuren, sedangkan orang
dewasa perlu tindakan tonsilektomi sering mengalami tonsilitis kronis.
(Shah, 2017)

3.3.3 Epidemiologi
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak; Namun,
kondisinya jarang terjadi pada anak di bawah 2 tahun. Tonsilitis yang
18

disebabkan oleh spesies Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-


15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih sering terjadi pada anak yang
lebih muda. Abses peritonsillar biasanya terjadi pada remaja atau dewasa
muda namun mungkin terjadi lebih awal. (Shah, 2017)
Faringitis menyertai banyak infeksi saluran pernafasan bagian
atas. Antara 2,5% dan 10,9% anak-anak dapat didefinisikan sebagai
pembawa. Dalam sebuah penelitian, prevalensi rata-rata status pembawa
anak-anak sekolah untuk kelompok A Streptococcus, penyebab tonsilitis,
adalah 15,9%. (Shah, 2017)
Menurut Herzon dkk, anak-anak menyumbang sekitar sepertiga
episode abses peritonsillar di Amerika Serikat. Tonsilitis berulang
dilaporkan pada 11,7% anak-anak Norwegia dalam satu studi dan
diperkirakan dalam penelitian lain untuk mempengaruhi 12,1% anak-anak
Turki. (Shah, 2017)
Tonsilitis kronik pula merupakan peradangan pada tonsila palatina
yang lebih dari 3 bulan ataupun tonsilitis akut yang berulang. Menurut
kajian yang dilakukan oleh National Center of Health Statistics pada
Januari 1997 di United State, penyakit kronik pada tonsil dan adenoid
adalah tinggi, dengan prevalensi 24,9% per 1000 orang anak-anak yang
berusia di bawah 18 tahun. (Farokah, 2003)
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT pada 7 provinsi di
Indonesia pada tahun 1994-1996, prevalensi kejadian tonsilitis kronik
adalah yang tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebanyak
3,8%. Insiden tonsilitis kronik di RS Dr. Kariadi Semarang mencapai
23,36% dan 47% di antaranya pada usia 6-15 tahun. Sedangkan di RSUP
Dr. Hasan Sadikin pada periode April 1997 sampai dengan Maret 1998
ditemukan 1024 pasien tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh jumlah
kunjungan. (Farokah, 2003)

3.3.4 Patofisiologi
Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada waktu tonsil tidak
dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di
19

tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah
menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat
menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh
menurun (Rubin, 2005).
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid yang terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan
mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta tampak
diisi oleh detruitus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil
dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan sekitar fossa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula (Rubin, 2005).
Tonsillitis kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga
penyakit pasien menjadi kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan konisitas
antara lain terapi antibiotik yang tidak tepat dan adekuat, gizi, atau daya
tahan tubuh yang rendah sehingga terapi medikamentosa kurang optimal,
dan jenis kelamin yang tidak sama antara permukaan tonsil dan jaringan
tonsil (Rubin, 2005).

3.3.5 Penegakkan Diagnosis


Anamnesis
Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang
terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada
sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher, Pada anak, tonsil
yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang dapat
menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi
hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor polmunale. Obstruksi yang berat
menyebabkan apnea waktu tidur, gejala yang paling umum adalah
mendengkur yang dapat diketahui dalam anamnesis (Soepardi, 2007).
Gejala tonsillitis kronis menurut Mawson (1977), dibagi menjadi : 1.)
gejala local, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit
tenggorok, sulit sampai sakit menelan, 2.) gejala sistemik, rasa tidak enak
badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot dan
20

persendian, 3.) gejala klinis tonsil dengan debris di kriptenya (tonsillitis


folikularis kronis), udema atau hipertrofi tonsil (tonsillitis parenkimatosa
kronis), tonsil fibrotic dan kecil (tonsillitis fibrotic kronis), plika tonsilaris
anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional (Kurien,
2003).
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak
rata, kriptus membesar, dan kriptus berisi detritus. Gambaran klinis yang
lain yang sering adalah ketika tonsil yang kecil, biasanya membuat lekukan,
tepinya hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen yang tipis terlihat pada
kripta.

gambar 1.ukuran tonsil (Kurien 2003 )

Gambar 4. Ukuran tonsil

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan


mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak
permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat
dibagi menjadi :

a. TO: tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat


b. T1: <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring, tonsil
masih berada dalam fossa tonsilaris
21

c. T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring, tonsil


melewati arkus posterior hingga mencapai linea paramediana
d. T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring, tonsil
melewati linea paramediana higga mencapai linea mediana (pertengahan
uvula)
e. T4: > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring, tonsil
melewati linea mediana (uvula)
Tabel 1. Perbedaan tonsilitis

Tonsilitis Akut Tonsilitis Kronis Tonsilitis Kronis


Eksaserbasi akut
Hiperemis dan Hiperemis dan edema Memebesar/ mengecil
edema tapi tidak hiperemis
Kripte tak melebar Kripte melebar Kripte melebar
Detritus (+ / -) Detritus (+) Detritus (+)
Perlengketan (-) Perlengketan (+) Perlengketan (+)
Antibiotika, Sembuhkan radangnya, Bila mengganggu
analgetika, Jika perlu lakukan lakukan
obat kumur tonsilektomi 2 6 minggu Tonsilektomi
setelah peradangan tenang

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat
diagnosa tonsilis eksaserbasi akut:

Mikrobiologi

Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi


bakteri pathogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan
eradikasi organisme pathogen yang disebabkan ketidaksesuaian pemberian
antibiotika yang inadekuat. Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur
dari dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40
penderita tonsillitis kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan
kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil
untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri. Bakteri
22

terbanyak yang ditemukan yaitu Streptococcus beta hemolyticus dan


Staphylococcus aureus (Kurien, 2000).
Pemeriksaan antibodi streptokokus mendeteksi adanya antibodi
terhadap ber-bagai antigen yang dihasilkan oleh strepto-kokus grup A.
Pemeriksaan ini terdiri atas pemeriksaan kadar anti streptolisin O (ASTO),
kadar antideoksiribonuklease-B (anti Dnase-b) dan streptozyme test.
Penetapan kadar antistreptolisin O merupakan pemeriksaan utama untuk
menentukan apakah sebelum-nya pernah terinfeksi oleh streptokokus grup A
yang menyebabkan komplikasi penyakit post streptokokus (Herwanto,
2008).
Untuk membedakan gambaran klinis antara infeksi Streptococcus
hemoliticus group A dengan infeksi virus digunakan Kriteria Centor
modifikasi Mc Isaac. Kriteria ini dikembangkan oleh RM Centor yang
dimodifikasi oleh MC Isaac. Penilaian terhadap penderita terdiri atas ada
riwayat demam, terdapat pembesaran tonsil/eksudat pada tonsil, pembesa-
ran kelenjar servikal anterior, dan tidak ada batuk. Bila terdapat > 3 gejala,
kemungkinan besar adalah infeksi oleh streptococcus hemoliticus group A,
dan pasien memer-lukan pengobatan antibiotik. Bilamana ada 2-3 gejala,
maka perlu pemeriksaan lanjut apakah infeksinya disebabkan oleh
streptococcus hemoliticus group A dan apabila kurang dari 2 gejala,
umumnya penyakit disebabkan oleh infeksi virus (Ayranci dan Akgun,
2005).

Histopatologi

Tonsillitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan


histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan infiltasi
limfosit, adanya Ugras abses dan infiltrasi limfosit yang difus. Kombinasi
ketiga hal tersebut ditambah dengan gejala lainnya jelas menegakkan
diagnose tonsillitis kronis.

3.3.6 Penatalaksanaan
23

1. Non pembedahan
Lokal: obat kumur tenggorok
Medikamentosa: dengan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil
kultur
Simtomatis: analgetik-antipiretik, antiinflamasi
2. Nonmedikamentosa
Tonsilektomi
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi berulang atau kronik, gelaja
sumbatan serta kecurigaan neoplasma
Indikasi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidk berbeda, namun
terdapat perbedaan prioritas relative dla menentukan indikasi
tonsilektomi pada saat ini. Dulu diindikasikan untuk terapi tonsillitis
kronik dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran
napas dan hipertrofi tonsil.
Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology Head
and Neck Surgery (AAO-HNS) tahun 2011indikasi tonsilektomi terbagi
menjadi:
1. Indikasi absolut
a. Tonsil yang besar hingga mengakibatkan gangguan pernapasan,
nyeri telan yang berat, gangguan tidur atau komplikasi penyakit-
penyakit kardiopulmonal
b. Abses peritonsiler (peritonsillar abcess) yang tidak menunjukkan
perbaikan dengan pengobatan
c. Tonsillitis yang mengakibatkan kejang demam
d. Tonsil yang diperkirakan memerlukan biopsy jaringan untuk
menentukan gambaran patologi jaringan
2. Indikasi relatif
a. Halitosis akibat tonsillitis kronik yang tidak ada respon terhadap
pengobatan medis
b. Jika mengalami tonsillitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan
tidak menunjukkan respon sesuai harapan dengan pengobatan
medikamentosa yang memadai
c. Bau mulut atau bau napas yang tidak sedap yang menetap pada
tonsillitis kronis yang tidak menunjukkan perbaikan dengan
pengobatan.
d. Tonsillitis kronis atau tonsillitis berulang yng diduga sebagai
carrier kuman streptococcus yang tidak menunjukkan respon
positif terhadap pengobatan dengan antibiotika
24

e. Pembesaran tonsil disalah satu sisi (unilateral) yang dicurigai


berhubungan dengan keganasan (neoplastik)

Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat


ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.
1. Guillotine
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir
abad ke 19, dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis
untuk mengangkat tonsil. Tonsilotom modern atau guillotine dan
berbagai modifikasinya merupakan pengembangan dari sebuah
alat yang dinamakan uvulotome. Uvulotome merupakan alat yang
dirancang untuk memotong uvula yang edematosa atau elongasi.
Negara-negara maju sudah jarang yang melakukan cara ini,
namun di beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan. Di
Indonesia, terutama di daerah masih lazim dilakukan cara ini
dibandingkan cara diseksi. Kepustakaan lama menyebutkan
beberapa keuntungan teknik ini yaitu cepat, komplikasi anestesi
kecil, biaya kecil (Hermani, B., 2004).
2. Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode
diseksi. Di negara-negara Barat, terutama sejak para pakar bedah
mengenal anestesi umum dengan endotrakeal pada posisi Rose
yang mempergunakan alat pembuka mulut Davis, mereka lebih
banyak mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara ini
juga banyak digunakan pada pasien anak.
Pasien menjalani anestesi umum (general endotracheal
anesthesia). Teknik operasi meliputi: memegang tonsil,
membawanya ke garis tengah, insisi membran mukosa, mencari
kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari
fossa dengan manipulasi hati-hati. Laludilakukan hemostasis
dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi
pada daerah tersebut dengan salin (Hermani, B., 2004).
3. Electrosurgery (Bedah listrik)
Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi
elektromagnetik (energi radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek
25

pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum


elektromagnetik berkisar pada 0.1 hingga 4 MHz. Penggunaan
gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan
konduksi saraf atau jantung. Pada teknik ini elektroda tidak
menjadi panas, panas dalam jaringan terbentuk karena adanya
aliran baru yang dibuat dari teknik ini. Teknik ini menggunakan
listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam jalur listrik
(electrical pathway).
Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk
memotong, menyatukan atau untuk koagulasi. Bedah listrik
merupakan satu-satunya teknik yang dapat melakukan tindakan
memotong dan hemostase dalam satu prosedur (Hermani, B.,
2004).
4. Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke
jaringan. Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi
untuk membuat kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan
panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak
mengecil dan total volume jaringan berkurang. Pengurangan
jaringan juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan
pada medium penghantar seperti larutan salin. Partikel yang
terionisasi pada daerah ini dapat menerima cukup energi untuk
memecah ikatan kimia di jaringan. Karena proses ini terjadi

padasuhu rendah (40oC - 70oC), mungkin lebih sedikit jaringan


sekitar yang rusak.
Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya,
ablasi sebagian atau berkurang volumenya. Penggunaan teknik
radiofrekuensi dapat menurunkan morbiditas tonsilektomi
(Hermani, B., 2004).
5. Skalpel harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk
memotong dan mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan
jaringan minimal. Teknik ini menggunakan suhu yang lebih
rendah dibandingkan elektrokauter dan laser. Sistim skalpel
26

harmonik terdiri atas generator 110 Volt, handpiece dengan kabel


penyambung, pisau bedah dan pedal kaki.
Skalpel harmonik memiliki beberapa keuntungan dibanding
teknik bedah lain, yaitu kerusakan akibat panas minimal karena
proses pemotongan dan koagulasi terjadi pada temperatur lebih
rendah dan charring, desiccation (pengeringan) dan asap juga
lebih sedikit, lapangan bedah terlihat jelas karena lebih sedikit
perdarahan, perdarahan dan nyeri pasca operasi juga minimal dan
teknik ini juga menguntungkan bagi pasien terutama yang tidak
bisa mentoleransi kehilangan darah (Hermani, B., 2004).
6. Coblation
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk
menghasilkan listrik radiofrekuensi (radiofrequency electrical)
baru melalui larutan natrium klorida. Keadaan ini akan
menghasilkan aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan
sekitar. Efikasi teknik coblation sama dengan teknik tonsilektomi
standartetapi teknik ini bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi
komplikasi utama adalah perdarahan.
7. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial
yangdilakukan dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi.
Pada tonsilektomi intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk
menghindari terlukanya otot-otot faring akibat tindakan operasi
dan memberikan lapisan pelindung biologis bagi otot dari
sekret. Hal ini akan mencegah terjadinya perlukaan jaringan dan
mencegah terjadinya peradangan lokal yang menimbulkan nyeri,
sehingga mengurangi nyeri pasca operasi dan mempercepat waktu
pemulihan. Tonsilitis kronis dikontraindikasikan untuk teknik ini.
Keuntungan teknik ini angka kejadian nyeri dan perdarahan pasca
operasi lebih rendah dibanding tonsilektomi standar (Hermani, B.,
2004).

Kontraindikasi tonsilektomi
a. Riwayat penyakit perdarahan
27

b. Risiko anestesi yang buruk tau ppenyakit riwayat yang tidak


terkontrol
c. Anemia
d. Infeksi akut

3.3.7 Komplikasi
a. Tonsilolith (kalkulus tonsil). Tonsililith dapat ditemukan pada
Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari debris.
Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang
memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara
bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith
lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman
lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah
dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak
rata pada perabaan
b. Kista tonsilar. Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat
sebagai pembesaran kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi
tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainasi.
c. Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonefritis. Dalam
penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi
meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33%
diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta hemolitikus pada
swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring.
Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi
patogenesa terjadinya penyakit Glomerulonefritis (Xie, 2004).
d. Abses peritonsiler merupakan pus yang tertampung diantara kapsul
tonsil. Dapat timbul sebagai komplikasi tonsillitis kronik atau
berulang. Tetapi dapat timbul juga tanpa didahului oleh tonsillitis
akut. Pasien mengeluhkan adanya nyeri faring unilateral, odinofagia,
disfagia, drooling, trismus, nafas berbau, dan demam. Pasien juga sulit
bicara, kadang berbicara seperti hot potato voice. Trismus disebabkan
oleh peradangan pada m.mastikator dan m.pterygoideus.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya dehidrasi, trismus,
deviasi uvula, pembengkakan tonsil dan palatum. Secara
bakteriologis, abses peritonsiler ditandai dengan infeksi bakteri
28

campuran yang melibatkan Streptococcus pyogenes dan


Staphylococcus aureus maupun bakteri anaerob seperti
Bacteroidaceae.
Bila tidak cepat ditangani, abses peritonsiler dapat menyebar
menjadi abses parafaringeal yang nantinya dapat menyebar jauh ke
mediastinum dan menyebabkan mediastinitis. Jika telah terbentuk abses
memerlukan tindakan drainase, baik dengan teknik aspirasi jarum atau
dengan teknik insisi drainase.
e. Abses parafaring. Abses ini terjadi apabila pus mengalir dari tonsil atau
abses peritonsilar melalui m.konstriktor superior. Terbanyak berasal dari
infeksi tonsil, gigi, faring, dan adenoid. Gejala klinis berupa nyeri
tenggorok, demam, kaku pada leher, pembengkakan kelenjar getah bening
dan parotis. Infeksi dapat terjadi pada anterior/prestyloid dan
posterior/poststyloid. Pengobatan yang diberikan adalah pemberian
antibiotic berdasarkan hasil kultur dan resistensi kuman selama 10 hari.
Dilakukan insisi dan drainase terhadap abses.
f. Abses retrofaring. Penyebab tersering abses retrofiring adalah proses
infeksi di hidung, adenoid, nassofaring dan sinus paranasalis yang
mengalir ke kelenjar getah bening retrofaringeal. Biasanya mengenai anak-
anak. Gejala klinik berupa demam, pembengkakan leher disertai nyeri,
odinofagia dan disfagia, sesak sampai sepsis. Pengobatan diberikan dengan
pemberian antibiotik, insisi drainase dan trakeostomi bila terjadi gangguan
pada jalan napas.

3.3.8 Pencegahan
Secara umum pencegahan ditujukan untuk mencegah tertularnya
infeksi rongga mulut dan tenggorokan yang dapat memicu terjadinya infeksi
tonsil. Namun ada beberapa cara untuk lebih mewaspadai terjadinya
tonsilitis Untuk mencegah dan mengobati radang amandel atau Tonsilitis
adalah :
1) Mencuci tangan sesering mungkin untuk mencegah penyebaran
mikroorganisme yang dapat menimbilkan tonsilitis
29

2) Mencuci tangan dengan bersih dan sering, terutama setelah


menggunakan toilet dan sebelum makan
3) Hindari berbagi makanan, gelas minum atau barang dengan orang lain
4) Menghindari kontak dengan penderita infeksi tenggorokan, setidaknya
hingga 24 jam setelah penderita infeksi tenggorokan mendapat antibiotik
5) Berkumur air garam hangat 3-4 kali sehari
6) Diberikan terapi antibiotik (atas petunjuk dokter) apabila ada infeksi
bakteri dan untuk mencegah komplikasi
7) Istirahat yang cukup

3.4 Diagnosis Banding


a. Difteri tonsil faring
Difteri tonsil faring adalah radang akut pada tonsil sampai
mukosa faring yang disebabkan kuman corynebacterium diphtheriae.
Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian
atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan
dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan eksotoksin yang
dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. (Efiaty, 2007)

Gambar 5. tonsil membengkak ditutupi pseudomembran


yang mudah berdarah (Bruce, 2017)

Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu:


1) Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan
suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,
badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan
2) Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu
membentuk semu. Membran ini dapat meluas ke palatum molle,
30

uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat


saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya,
sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan
penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan
membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi(
bull neck) atau disebut juga Burgermeesters hals.
3) Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini
akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung
dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai
saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot
pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria. (Efiaty,
2007)
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran
klinik dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari
permukaan bawah membran semu dan didapatkan kuman
Corynebacterum diphteriae. (Khalid, 2011)

b. Limfoma tonsil
Limfoma adalah keganasan jaringan limfoid yang ditandai oleh
proliferasi sel limfoid atau prekursorsnya dan merupakan keganasan
nonepithelial paling sering pada kepala dan leher. Lebih dari setengah
limfoma ekstranodal di daerah kepala leher muncul pada cincin
waldeyer; dengan urutan kejadian terbanyak di tonsil, diikuti nasofaring
dan dasar lidah. Limfoma tonsil ditandai dengan pembesaran tonsil atau
nyeri tenggorokan. (Ranjana dan Jacob, 2006)
Sekitar setengah dari semua NHL (Non Hodgkin Limfoma) pada
cincin waldeyer ditemukan di tonsil palatine , 20% di antaranya adalah
bilateral . Dalam jumlah yang kecil, limfoma di daerah ini juga muncul
dari tonsil faringeal, pangkal lidah atau tonsil lingual, atau melibatkan
beberapa tempat primer. Gejala sesuai dengan lokasi penyakit. NHL
dari tonsil dan pangkal lidah biasanya hadir dengan odynophagia
unilateral dan disfagia sementara NHL nasofaring dapat terwujud
dengan sumbatan hidung, disfungsi tuba eustachius, epistaksis , atau
31

neuropati kranial. Pada pemeriksaan fisik, Lesi NHL kebanyakan


submukosa, seperti ulserasi lesi terlihat pada SCC (Squamous Cell
Carcinoma). (Chai dkk, 2014)
Sebagian besar pasien datang dengan tahap awal stadium I atau
stadium II, dengan gejala B terjadi dalam waktu kurang dari 15% dari
pasien. Subklasifikasi histologi yang paling umum pada daeerah ini
adalah DLBCL (diffuse large B-cell lymphoma), dijumpai pada 85%
kasus. Kombinasi kemoradioterapi memiliki konsisten yang
menunjukkan keunggulan kelangsungan hidup bebas penyakit yang
lebih baik dibandingkan dengan kemoterapi atau radioterapi saja. CT
pencitraan NHL cincin waldeyer umum menunjukkan massa homogen
besar intensitas yang sama dengan sekitarnya jaringan limfoid baik di
tonsil lingual atau tonsil palatine, atau nasofaring. Tidak seperti
karsinoma nasofaring, erosi dasar tengkorak dari limfoma nasofaring
jarang. Terkait limfadenopati pada sisi ipsilateral lesi umum dan
biasanya nonnecrotic dalam penampilan pencitraan. (Chai dkk, 2014)

Gambar 6. Non Hodgkin Limfoma pada tonsil (Zapater dkk, 2010)


`Secara keseluruhan, sekitar 15% dari pasien dengan limfoma
di daerah kepala dan leher datang dengan keluhan pembesaran kelenjar
di leher, sedangkan sekitar 12% memiliki gejala sistemik seperti
demam, berkeringat pada malam hari atau penurunan berat badan.
Sekitar 20% pasien dengan limfoma di daerah kepala dan leher
melibatkan beberapa daerah (multiple). (Ranjana dan Jacob, 2006)
Pemeriksaan biopsi dengan Fine Needle Aspiration Biopsy
(FNAB) sangat berguna pada pemeriksaan awal. Setelah hasil
pemeriksaan FNAB mengarah pada suatu keganasan limfoid,
32

dibutuhkan biopsi terbuka (biopsi insisi) untuk menegakkan diagnosis


yang definitive dari suatu Non Hodgin Lymphoma (NHL). Sebagian
besar limfoma daerah kepala leher mengekspresikan marker sel B.
Limfoma limfoblastik dan sebagian kecil dari limfoma diffuse large
cell termasuk kelompok sel T. Sel T dan tipe natural killer terjadi
terutama di rongga hidung dan sinus paranasal. (Ranjana dan Jacob,
2006)

c. Infeksi HIV

Infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh virus HIV


(human immunodeficiency virus). AIDS adalah penyakit yang
menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun seluler sebagai akibat
HIV. Klasifikasi manifestasi klnik menurut WHO dibedakan menjadi 4,
yaitu asimtomatik, ringan, sedang dan berat
33

Gambar 7. Manifestasi klinis HIV

c. Aktinomikosis
Aktinomikosis merupakan penyakit infeksi subakut atau kronis
yang jarang ditemukan (perbandingan 1:300.000). Infeksi ini disebabkan
oleh bakteri dari genus Actinomyces sp. yang pada keadaan normal
menjadi mikrobiota pada daerah orofaring, traktus gastrointestinal, dan
genitourinarius. Kolonisasi bakteri ini dapat dipicu oleh rusaknya
membran mukosa dan penurunan sistem kekebalan tubuh, walaupun
beberapa laporan kasus menunjukkan penyakit ini dapat terjadi pada
orang-orang yang imunokompeten.
Kesalahan diagnosis penyakit ini sering terjadi karena menyerupai
banyak penyakit lain, seperti tumor, tuberkulosis, dan infeksi jamur.
Aktinomikosis servikofasialis sering ditandai dengan adanya
pembengkakan jaringan lunak yang kronis, terbentuknya sinus-sinus di
dalam jaringan, dan disertai dengan pertumbuhan massa eksofitik di
daerah orofaring. Diagnosis definitif ditegakkan dengan menemukan
granul-granul sulfur yang merupakan massa basofilik koloni Actinomyces
sp. pada pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan hematoksilin-eosin.
Pemeriksaan lainnya yaitu dengan pewarnaan gram dengan hasil bakteri
filamen gram positif yang tidak terwarnai dengan pewarnaan basil tahan
asam. Pada kasus cervicofacial actinomikosis, pasien mengeluhkan sulit
menelan dan rasa mengganjal di tenggorokan Keluhan tidak disertai dengan
nyeri menelan, sesak nafas, batuk lama, suara serak, maupun demam. Hasil
pemeriksaan biopsi menunjukkan granulomatosa dengan granul sulfur
yang menunjukkan peradangan kronis karena Actinomyces sp.
34

BAB IV
PENUTUP

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Tonsila palatina merupakan jaringan
limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama
terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran
nafas (virus, bakteri, dan antigen makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat
spesifik atau non spesifik.
Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi
pada tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan
ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada
tonsil. Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk
waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan
tubuh penderita mengalami penurunan. Penderita sering datang dengan keluhan
rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau
busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,
kriptus membesar, dan kriptus berisi detritus.
Terapi pada tonsilitis kronis berupa terapi lokal ditujukan pada hygiene
mulut dengan menggunakan obat kumur, terapi sistemik dengan menggunakan
35

antibiotik dan terapi simpomatis. Dapat juga dilakukan tindakan operasi


tonsilektomi sesuai dengan indikasinya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulrahman AS, Kholeif LA, Yasser ME, Eldesouky A, 2004. Bacteriology


of Tonsil Surface and Core in Children with Chronic Tonsilitis and
Incedence of Bacterimia During Tonsillectomy. Egypt Medical Journal,
Vol.13.No.2.

Advani Ranjana, Jacobs CD. 2006. Lymphomas of the Head and Neck. Dalam
Bailey's Head and Neck Surgery--otolaryngology.Edisi ke 4. Lippincott
Williams & Wilkins; 115:2041-56
American academy of otolaryngology head and neck dissection. Lesspain and
quicker recovery with coblation assisted tonsillectomy. avaible from:
http://www.medicalnewstoday.com
Amaruddin T, Christanto A, 2007. Kajian Manfaat Tonsilektomi. Cermin
Dunia Kedokteran, No.155, hal.61-8.

Ayranci U, Akgun Y 2005. Antibiotic prescribing patterns for sore throat


infections in a university-based primary care clinic. Ann Saudi Med
25(1) January-February 2005

Bruce ML. 2017. Diphtheria. Diakses tanggal 20 oktober 2017 dari


https://emedicine.medscape.com/article/782051-
36

Chai L.Raymond, Tassler B.Andrew, Kim Seungwon. 2014. Lymphomas of


the Head and Neck. Dalam Bailey's Head and Neck Surgery--
otolaryngology.Edisi ke 5. Lippincott Williams & Wilkins. 128:2032-
43.
Colman BH, 2001. Adenoid and Tonsils. In: Disease of the Nose, Throat, and
Ear, and Head and Neck, Oxfort University Press, Oxfort, p.95-102

Dias EP., Rocha ML., Calvalbo MO., Amorim LM. 2009. Detection of
Epstein-Barr Virus in Recurrent Tonsilitis. Brazil Journal
Otolaryngology, 75 (1): 30-34.

Edgren AL, Davitson T, 2004. Sore Throat. Journal of the American


Assosiation, no.13 (April 7) :1664-78.

Farokah, Suprihati, Suyitno S, 2003. Hubungan Tonsilitis Kronik dengan


Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang.
Cermin Dunia Kedokteran, 155, hal.16-22.

Hermani, B, Fachrudin D, Hutauruk SM, Riyanto BU, SUsilo Nazar HN. 2004.
Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Health Technology Assessment
(HTA) Indonesia.

Herwanto Y 2008. Korelasi Kuman Streptokokus Hemolitikus Grup A


Dengan Pemeriksaan ASTO Pada Pemeriksaan Tonsilofaringitis Akut

Kartika H, 2008. Tonsilektomi. Welcome & Joining otolaryngology in


Indonesian Language, February 23, p.4-36.

Khalid, Naman dkk. Tonsilitis Difteri. Bagian THT RSUD Kerawang. 2011.
Nadhilla NF., Merry IS. 2016. Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut pada Pasien
Dewasa. J Medula Unila, 1 (5): 107-108
Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. 2005. Infections of the Upper Respiratory
Tract. Harrisons Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY:
McGraw Hill.
Sembiring RO, John P, Olivia W. Identifikasi bakteri dan uji kepekaan
terhadap antibiotik pada penderita tonsilitis di Poliklinik THT-KL BLU
37

RSU. Prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode November 2012-Januari


2013. Jurnal E-biomedik. 2013; 1(2):1053-7.

Shah UK. 2017. Tonsillitis and Peritonsillar Abscess Guidelines. Diakses pada
tanggal 29 Oktober 2017 dari
https://emedicine.medscape.com/article/871977

Soepardi Arsyad Efiaty dr sp. THT (K), dkk. Tonsilitis Difteri. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi keenam.
Balai Penerbit FKUI. 2007.

Viswanatha B. 2015. Tonsil and Adenoid Anatomy. Diakses pada tanggal 29


Oktober 2017 dari https://emedicine.medscape.com/article/1899367

Anda mungkin juga menyukai