Lapsus Tonsilitis
Lapsus Tonsilitis
Lapsus Tonsilitis
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. S
Jenis kelamin : laki-laki
2
Umur : 16 Tahun
Alamat : Kec. Babakan
Pekerjaan : Pelajar
Status maternal : Belum Menikah
Agama : Islam
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 18 Oktober
2017
- Keluhan Utama
Nyeri menelan
Abdomen
Inspeksi : datar, luka/ bekas luka (-), sikatrik (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), soepel, hepar dan lien tak teraba
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen
Auskultasi: bising usus (+) 8 kali/ menit (normal)
Ekstremitas :
Ekstremitas atas :
edema (-/-), pigmentasi normal, telapak tangan pucat (-), sianosis (-),
clubbing finger (-), nyeri tekan (-), parese (-)
Ekstremitas bawah :
Edema (-/-), pigmentasi normal, telapak tangan pucat (-), sianosis(-),
clubbing finger (-), nyeri tekan (-), parese (-)
e. Status Lokalis
2.3.3.1. Pemeriksaan telinga
Telinga kanan Telinga kiri
Auriculae
Bentuk Normotia Normotia
Infeksi (-) (-)
Pre-Auriculae
Fistel (-) (-)
Abses (-) (-)
Retro auriculae
Edema (-) (-)
Abses (-) (-)
Infra Auriculae
Parotis Tidak teraba membesar Tidak teraba membesar
CAE
CAE Lapang Lapang
Warna Merah muda Merah muda
Kelainan lain:
(-) (-)
Granulasi
(-) (-)
Polip
(-) (-)
Kolesteatoma
(-) (-)
Tumor
- Pemeriksaan Hidung
Massa -
Konka
Sekret
Muara Tuba
Eustachius
Tonus Tobarius
- Maksilofasial
Inspeksi :
-Parese N.I-XIII(-)
- Tes penciuman
7
- Transiluminasi
o Sinus maksilaris : Tidak dilakukan
o Sinus frontalis : Tidak dilakukan
- Pemeriksaan Orofaring
dan Arkus
Faringeus
- Pemeriksaan Leher
Kelenjar submandibular Tidak teraba membesar
Kelenjar Cervikalis (superior, media, Tidak teraba membesar
inferior)
Kelenjar cervikalis posterior Tidak teraba membesar
Kelenjar supraclavicular Tidak teraba membesar
Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar
Tumor (-)
Abses submandibular (-)
Abses cervical (-)
V. DIAGNOSA KERJA
Tonsillitis kronik hipertrofi eksaserbasi akut
- Pemeriksaan histopatologi
b. Non-medikamentosa
Edukasi :
Diet cair
Menjaga daya tahan tubuh dengan mengonsumsi makanan
bergizi dan olahraga teratur
Selalu menjaga kebersihan mulut
Menghindari makanan dan minuman yang mengiritasi
c. Terapi operatif
Tonsilektomi
VIII PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanactionam : ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
a. Anterior : M. Palatoglossus
b. Lateral dan posterior : M. Palatofaringeus
c. Dasar segitiga : Pole atas tonsil
Dalam ruang ini terdapat kelenjar salivari Weber, yang bila
terinfeksi dapat menyebar ke ruang peritonsil, menjadi abses
peritonial.(Kumar dkk, 1999)
d. Ruang retromolar
Terdapat tepat di belakang gigi molar tiga berbentuk oval,
merupakan sudut yang dibentuk oleh ramus dan korpus mandibula.
Di sebelah medial terdapat m. buccinator, sementara pada bagian
posteromedialnya terdapat m. pterigoideus internus dan bagian atas
terdapat fasikulus longus m. temporalis. bila terjadi abses hebat
pada daerah ini akan menimbulkan gejala utama trismus disertai
sakit yang amat sangat, sehingga sulit dibedakan dengan abses
peritonsilar.(Kumar dkk, 1999)
e. Ruang parafaring (ruang faringomaksilar; ruang pterigomandibula)
Ruang yang lebih besar dan luas serta banyak terdapat
pembuluh darah besar, sehingga bila terjadi abses berbahaya sekali.
Adapun batas-batas ruang ini adalah :
i. Superior : basis cranii dekat foramen jugular
ii. Inferior : os hyoid
iii. Medial : m. Konstriktor faringeus superior
iv. Lateral : ramus asendens mandibula, tempat m. pterigoideus
Interna dan bagian posterior kelenjar parotis
v. Posterior : otot-otot prevertebra
Ruang parafaring ini terbagi 2 (tidak sama besar) oleh
prosessus styloideus dan otot-otot yang melekat pada prosessus
styloideus tersebut.(Kumar dkk, 1999)
f. Ruang pre-styloid, lebih besar, abses dapat timbul oleh karena
radang tonsil, mastoiditis, parotitis, karies gigi atau tindakan
operatif.
14
3.2 Fisiologi
Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa
tonsilaris di kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari
cincin Waldeyer. Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid
lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan
medial terdapat kripta (Amarudin, 2007). Tonsila palatina merupakan
jaringan limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh
terutama terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk
ke saluran nafas (virus, bakteri, dan antigen makanan). Mekanisme
pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila patogen
menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear pertama-tama
akan mengenal dan mengeliminasi antigen (Farokah, 2003).
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid
yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh
pada orang dewasa. Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%,
sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun
kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan
antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke
sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga
terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil
16
3.3.2 Etiologi
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui
kriptanya secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap
oleh hidung kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara
foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan (Farokah, 2003).
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari
Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil,
atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna
(Colman, 2001).
Pada pendera Tonsilitis Kronis jenis kuman yang sering adalah
Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Selain itu terdapat
Streptokokus pyogenes, Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein
Barr, bahkan virus Herpes (Boeis, 1989). Penelitian Abdulrahman AS,
Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008 mendapatkan kuman
patogen terbanyak di tonsil adalah Staphilokokus aureus, Streptokokus
beta hemolitikus grup A, E.coli dan Klebsiela (Abdulrahman, 2008).
Mekanisme imunologi lokal penting dalam tonsilitis kronis.
Distribusi sel dendritik dan sel penyajian antigen berubah selama
penyakit, dengan sel dendritik lebih sedikit pada epitel permukaan dan
lebih banyak lagi di daerah kriptografi dan ekstrafikuler. Studi penanda
imunologi memungkinkan pembedaan antara tonsilitis rekuren dan
kronis. Penanda semacam itu dalam satu penelitian menunjukkan bahwa
anak-anak lebih sering mengalami tonsilitis rekuren, sedangkan orang
dewasa perlu tindakan tonsilektomi sering mengalami tonsilitis kronis.
(Shah, 2017)
3.3.3 Epidemiologi
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak; Namun,
kondisinya jarang terjadi pada anak di bawah 2 tahun. Tonsilitis yang
18
3.3.4 Patofisiologi
Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada waktu tonsil tidak
dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di
19
tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah
menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat
menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh
menurun (Rubin, 2005).
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid yang terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan
mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta tampak
diisi oleh detruitus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil
dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan sekitar fossa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula (Rubin, 2005).
Tonsillitis kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga
penyakit pasien menjadi kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan konisitas
antara lain terapi antibiotik yang tidak tepat dan adekuat, gizi, atau daya
tahan tubuh yang rendah sehingga terapi medikamentosa kurang optimal,
dan jenis kelamin yang tidak sama antara permukaan tonsil dan jaringan
tonsil (Rubin, 2005).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat
diagnosa tonsilis eksaserbasi akut:
Mikrobiologi
Histopatologi
3.3.6 Penatalaksanaan
23
1. Non pembedahan
Lokal: obat kumur tenggorok
Medikamentosa: dengan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil
kultur
Simtomatis: analgetik-antipiretik, antiinflamasi
2. Nonmedikamentosa
Tonsilektomi
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi berulang atau kronik, gelaja
sumbatan serta kecurigaan neoplasma
Indikasi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidk berbeda, namun
terdapat perbedaan prioritas relative dla menentukan indikasi
tonsilektomi pada saat ini. Dulu diindikasikan untuk terapi tonsillitis
kronik dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran
napas dan hipertrofi tonsil.
Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology Head
and Neck Surgery (AAO-HNS) tahun 2011indikasi tonsilektomi terbagi
menjadi:
1. Indikasi absolut
a. Tonsil yang besar hingga mengakibatkan gangguan pernapasan,
nyeri telan yang berat, gangguan tidur atau komplikasi penyakit-
penyakit kardiopulmonal
b. Abses peritonsiler (peritonsillar abcess) yang tidak menunjukkan
perbaikan dengan pengobatan
c. Tonsillitis yang mengakibatkan kejang demam
d. Tonsil yang diperkirakan memerlukan biopsy jaringan untuk
menentukan gambaran patologi jaringan
2. Indikasi relatif
a. Halitosis akibat tonsillitis kronik yang tidak ada respon terhadap
pengobatan medis
b. Jika mengalami tonsillitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan
tidak menunjukkan respon sesuai harapan dengan pengobatan
medikamentosa yang memadai
c. Bau mulut atau bau napas yang tidak sedap yang menetap pada
tonsillitis kronis yang tidak menunjukkan perbaikan dengan
pengobatan.
d. Tonsillitis kronis atau tonsillitis berulang yng diduga sebagai
carrier kuman streptococcus yang tidak menunjukkan respon
positif terhadap pengobatan dengan antibiotika
24
Kontraindikasi tonsilektomi
a. Riwayat penyakit perdarahan
27
3.3.7 Komplikasi
a. Tonsilolith (kalkulus tonsil). Tonsililith dapat ditemukan pada
Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari debris.
Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang
memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara
bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith
lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman
lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah
dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak
rata pada perabaan
b. Kista tonsilar. Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat
sebagai pembesaran kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi
tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainasi.
c. Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonefritis. Dalam
penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi
meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33%
diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta hemolitikus pada
swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring.
Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi
patogenesa terjadinya penyakit Glomerulonefritis (Xie, 2004).
d. Abses peritonsiler merupakan pus yang tertampung diantara kapsul
tonsil. Dapat timbul sebagai komplikasi tonsillitis kronik atau
berulang. Tetapi dapat timbul juga tanpa didahului oleh tonsillitis
akut. Pasien mengeluhkan adanya nyeri faring unilateral, odinofagia,
disfagia, drooling, trismus, nafas berbau, dan demam. Pasien juga sulit
bicara, kadang berbicara seperti hot potato voice. Trismus disebabkan
oleh peradangan pada m.mastikator dan m.pterygoideus.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya dehidrasi, trismus,
deviasi uvula, pembengkakan tonsil dan palatum. Secara
bakteriologis, abses peritonsiler ditandai dengan infeksi bakteri
28
3.3.8 Pencegahan
Secara umum pencegahan ditujukan untuk mencegah tertularnya
infeksi rongga mulut dan tenggorokan yang dapat memicu terjadinya infeksi
tonsil. Namun ada beberapa cara untuk lebih mewaspadai terjadinya
tonsilitis Untuk mencegah dan mengobati radang amandel atau Tonsilitis
adalah :
1) Mencuci tangan sesering mungkin untuk mencegah penyebaran
mikroorganisme yang dapat menimbilkan tonsilitis
29
b. Limfoma tonsil
Limfoma adalah keganasan jaringan limfoid yang ditandai oleh
proliferasi sel limfoid atau prekursorsnya dan merupakan keganasan
nonepithelial paling sering pada kepala dan leher. Lebih dari setengah
limfoma ekstranodal di daerah kepala leher muncul pada cincin
waldeyer; dengan urutan kejadian terbanyak di tonsil, diikuti nasofaring
dan dasar lidah. Limfoma tonsil ditandai dengan pembesaran tonsil atau
nyeri tenggorokan. (Ranjana dan Jacob, 2006)
Sekitar setengah dari semua NHL (Non Hodgkin Limfoma) pada
cincin waldeyer ditemukan di tonsil palatine , 20% di antaranya adalah
bilateral . Dalam jumlah yang kecil, limfoma di daerah ini juga muncul
dari tonsil faringeal, pangkal lidah atau tonsil lingual, atau melibatkan
beberapa tempat primer. Gejala sesuai dengan lokasi penyakit. NHL
dari tonsil dan pangkal lidah biasanya hadir dengan odynophagia
unilateral dan disfagia sementara NHL nasofaring dapat terwujud
dengan sumbatan hidung, disfungsi tuba eustachius, epistaksis , atau
31
c. Infeksi HIV
c. Aktinomikosis
Aktinomikosis merupakan penyakit infeksi subakut atau kronis
yang jarang ditemukan (perbandingan 1:300.000). Infeksi ini disebabkan
oleh bakteri dari genus Actinomyces sp. yang pada keadaan normal
menjadi mikrobiota pada daerah orofaring, traktus gastrointestinal, dan
genitourinarius. Kolonisasi bakteri ini dapat dipicu oleh rusaknya
membran mukosa dan penurunan sistem kekebalan tubuh, walaupun
beberapa laporan kasus menunjukkan penyakit ini dapat terjadi pada
orang-orang yang imunokompeten.
Kesalahan diagnosis penyakit ini sering terjadi karena menyerupai
banyak penyakit lain, seperti tumor, tuberkulosis, dan infeksi jamur.
Aktinomikosis servikofasialis sering ditandai dengan adanya
pembengkakan jaringan lunak yang kronis, terbentuknya sinus-sinus di
dalam jaringan, dan disertai dengan pertumbuhan massa eksofitik di
daerah orofaring. Diagnosis definitif ditegakkan dengan menemukan
granul-granul sulfur yang merupakan massa basofilik koloni Actinomyces
sp. pada pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan hematoksilin-eosin.
Pemeriksaan lainnya yaitu dengan pewarnaan gram dengan hasil bakteri
filamen gram positif yang tidak terwarnai dengan pewarnaan basil tahan
asam. Pada kasus cervicofacial actinomikosis, pasien mengeluhkan sulit
menelan dan rasa mengganjal di tenggorokan Keluhan tidak disertai dengan
nyeri menelan, sesak nafas, batuk lama, suara serak, maupun demam. Hasil
pemeriksaan biopsi menunjukkan granulomatosa dengan granul sulfur
yang menunjukkan peradangan kronis karena Actinomyces sp.
34
BAB IV
PENUTUP
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Tonsila palatina merupakan jaringan
limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama
terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran
nafas (virus, bakteri, dan antigen makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat
spesifik atau non spesifik.
Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi
pada tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan
ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada
tonsil. Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk
waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan
tubuh penderita mengalami penurunan. Penderita sering datang dengan keluhan
rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau
busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,
kriptus membesar, dan kriptus berisi detritus.
Terapi pada tonsilitis kronis berupa terapi lokal ditujukan pada hygiene
mulut dengan menggunakan obat kumur, terapi sistemik dengan menggunakan
35
DAFTAR PUSTAKA
Advani Ranjana, Jacobs CD. 2006. Lymphomas of the Head and Neck. Dalam
Bailey's Head and Neck Surgery--otolaryngology.Edisi ke 4. Lippincott
Williams & Wilkins; 115:2041-56
American academy of otolaryngology head and neck dissection. Lesspain and
quicker recovery with coblation assisted tonsillectomy. avaible from:
http://www.medicalnewstoday.com
Amaruddin T, Christanto A, 2007. Kajian Manfaat Tonsilektomi. Cermin
Dunia Kedokteran, No.155, hal.61-8.
Dias EP., Rocha ML., Calvalbo MO., Amorim LM. 2009. Detection of
Epstein-Barr Virus in Recurrent Tonsilitis. Brazil Journal
Otolaryngology, 75 (1): 30-34.
Hermani, B, Fachrudin D, Hutauruk SM, Riyanto BU, SUsilo Nazar HN. 2004.
Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Health Technology Assessment
(HTA) Indonesia.
Khalid, Naman dkk. Tonsilitis Difteri. Bagian THT RSUD Kerawang. 2011.
Nadhilla NF., Merry IS. 2016. Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut pada Pasien
Dewasa. J Medula Unila, 1 (5): 107-108
Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. 2005. Infections of the Upper Respiratory
Tract. Harrisons Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY:
McGraw Hill.
Sembiring RO, John P, Olivia W. Identifikasi bakteri dan uji kepekaan
terhadap antibiotik pada penderita tonsilitis di Poliklinik THT-KL BLU
37
Shah UK. 2017. Tonsillitis and Peritonsillar Abscess Guidelines. Diakses pada
tanggal 29 Oktober 2017 dari
https://emedicine.medscape.com/article/871977
Soepardi Arsyad Efiaty dr sp. THT (K), dkk. Tonsilitis Difteri. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi keenam.
Balai Penerbit FKUI. 2007.