Metamorfosis

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 10

METAMORFOSIS PADA BERUDU

Oleh:
Nama : A. Dimas Cahyaning Furqon
NIM : B1A015143
Kelompok :4
Rombongan : VI
Asisten : Annisa Aulia

LAPORAN PRAKTIKUM PERKEMBANGAN HEWAN

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2016
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Metamorfosis merupakan perkembangan dari bentuk larva ke bentuk


dewasanya. Beberapa hewan yang sediaan makanan didalam telur tidak mencukupi
untuk mengalami perkembangan, hewan tersebut harus melewati stadium untuk
makan dan untuk menghimpun energi untuk menyelesaikan perkembangannya.
Stadium larva berbeda dengan bentuk dewasanya, atau masih belum lengkap
(Soeminto, 2004). Sementara itu, menurut Zhao et al. (2016) metamorfosis adalah
suatu proses perkembangan postembryonic di mana hewan membentuk ulang dan
rekstrukturisasi morfologi, anatomi, dan bahkan fisiologinya karena poliferasi sel, sel
mati yang terprogram, diferensiasi sel, dan pemodelan ulang jaringan. Ini adalah
transisi perkembangan yang penting pada banyak hewan seperti serangga, ikan,
amfibi, moluska, krustasea, cnidaria, echinodermata, dan tunicates.
Perubahan struktur biasanya dapat terlihat dengan jelas pada tahap
metamorfosis. Biasanya hampir seluruh organ menjadi objek modifikasi. Modifikasi
organ diikuti dengan perubahan fungsionalnya. Ada banyak tipe sel di dalam larva
yang mengalami perubahan selama metamorfosis, namun ada sel-sel pada daerah
tertentu yang terus berkembang tanpa dipengaruhi oleh hormon (Kalthoff, 1996).
Menurut Kimball (1992), terdapat dua jenis metamorfosis sebagai berikut :
1. Metamorfosis tidak sempurna
Metamorfosis tidak sempurna umumnya terjadi pada hewan jenis serangga
seperti capung, belalang, jangkrik dan lainnya. Dikatakan tidak sempurna
karena hewan tersebut hanya melewati 2 tahapan, yaitu dari telur menjadi
nimfa kemudian menjadi hewan dewasa.
2. Metamorfosis sempurna
Metamorfosis sempurna kebalikan dari metamorfosis sempurna. Contoh
proses metamorfosis sempurna terjadi pada katak dan kupu-
kupu.Metamorfosis sempurna melewati tahap telur menjadi larva, kemudian
pupa dan imago (dewasa).
Praktikum metamorfosis kali ini menggunakan berudu katak (Fejervarya
cancrivora) untuk mewakili kelas amphibia karena mudah didapat, dipelihara dan
mudah diamati metamorfosisnya. Berudu yang digunakan sebagai objek praktikum
adalah berudu stadium tunas ekor agar dapat teramati pertumbuhan membra depan,
membra belakang dan ekor selama metamorfosis.

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat mengenali struktur tubuh
larva/berudu berhabit atakuatik dan perubahan-perubahan yang terjadi selama
metamorphosis larva amfibi menjadi katak dewasa berhabitat terestrial.
II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum metamorfosis pada katak adalah


baskom, kertas milimeter blok, saringan, kertas label, lup, sendok plastik, kamera,
dan alat tulis.
Bahan-bahan yang diperlukan dalam praktikum kali ini adalah berudu katak
stadium tunas ekor, air, dan daun bayam rebus.

B. Metode

Metode yang dilakukan dalam praktikum ini adalah:


1. Berudu katak stadium tunas ekor disediakan.
2. Sepuluh berudu dipilih yang berukuran sama dan pada stadium yang sama
(tunas ekor).
3. Berudu pada baskom diambil satu per satu untuk dilakukan pengukuran. Pada
awal pengamatan diukur panjang total tubuh berudu, panjang ekor, dan lebar
kepala berudu menggunakan kertas millimeter blok dan bagian perut berudu
diamati dengan menggunakan kaca pembesar kemudian dicatat pada tabel
pengamatan.
4. Berudu yang telah diukur dipelihara dan diamati pada baskom plastik yang
telah diisi air selama 2 minggu.
5. Berudu diberi pakan daun bayam rebus setiap 2 hari sekali, penggantian air
dilakukan selama 3 hari sekali.
6. Setiap seminggu sekali berudu diamati dan diukur panjang total tubuh,
panjang ekor dan lebar kepala, apabila sudah mulai terbentuk tunas kaki
maka diberi batu pada baskom. Pengamatan dan pemeliharaan dilakukan
selama 2 minggu.
7. Data yang diperoleh digunakan sebagai bahan untuk membuat laporan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 1. Pengamatan Berudu Kelompok 5 Rombongan VIII


Pengukuran Hari Ke- (mm)
Berudu ke- 0 7 14
PT PE LK PT PE LK PT PE LK
1 22 13 6 32 22 7 33 23 6
2 31 19 6 24 16 6 25 15 7
3 31 22 7 28 20 6 20 12 7
4 24 15 5 25 15 7 27 20 7
5 23 15 6 26 16 7 30 21 7
6 23 15 6 23 16 5 23 17 7
7 28 18 7 30 23 7 20 13 6
8 28 14 6 30 24 8 19 12 7
9 27 18 7 27 22 6 25 13 6
10 27 18 6 25 15 6 30 21 6
Rata-Rata 26,4 16,7 6,2 27 18,9 6,5 25,2 16,7 6,6

Keterangan :
PT : Panjang Tubuh
PE : Panjang Ekor
LK : Lebar Ekor
Tabel 2. Perkembangan Metamorfosis Katak
Pengamatan Hari ke-
Parameter
0 7 14
Lokomosi Ekor Ekor Ekor
Tidak dapat
Spiral,warna hijau Sudah tidak spiral, teramati karena
Usus dan Perut belum warna hijau, sudah badan sudah
terpigmentasi terpigmentasi hancur dan
berlendir
Pertunasan
- -
Membra Depan -

Pertunasan
Membra - Ada (1) -
Belakang

Tabel 3.3 Foto Metamorfosis


Hari ke 0 Hari ke 7

Hari ke 14

Tidak dapat teramati karena hancur


B. Pembahasan

Hasil praktikum pada pengamatan berudu awal diperoleh rata-rata panjang


total 26,4 mm, rata-rata panjang ekor 16,7 mm, dan rata-rata lebar kepala 6,2 mm.
Panjang tubuh berudu rata-rata pada hari ke-7 diperoleh adalah 27 mm, rata-rata
panjang ekor 18,9 mm, dan rata-rata lebar kepala 6,5 mm dan teramati adanya satu
berudu yang sudah muncul membra belakang. Hari ke-8 semua berudu mati dan
diambil datanya pada hari ke-9 untuk data hari ke-14 dengan hasil panjang tubuh
rata-rata adalah 25,2 mm, panjang ekor rata-rata 16,7 mm dan lebar kepala rata-rata
6,6 mm. Adanya berudu yang mati mungkin dikarenakan cepat keruhnya air karena
aktivitas makan berudu yang tinggi, selain itu berudu mati mungkin saja karena
kurangnya strategi beradaptasi antara individu dengan siklus hidupnya yang
kompleks. Kunci dari beradaptasi adalah dengan mengoptimalkan kesehatan antara
hewan dengan siklus hidup yang kompleks (Res and Heinz, 2003). Ketahanan yang
tinggi terhadap parasit juga diperlukan untuk perkembangan katak menuju fase
berikutnya (Janel et al., 2009).
Tahap metamorfosis yang diamati adalah berudu tunas ekor yang berkembang
menjadi katak dewasa. Pertama pada berudu tunas ekor masih menggunakan sirip
ekor untuk lokomosi. Kemudian tumbuh tunas kaki yang kemudian diikuti dengan
pertunasan membra belakang. Kedua, tunas membra depan dan belakang ini semakin
berkembang. Ketiga, kaki depan dan belakang mulai terbentuk dan ekor sudah
tereduksi namun pada minggu ke-2 perkembangan ini baru terjadi pada beberapa
ekor berudu saja. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sounders (1982) bahwa
metamorfosis pada katak melalui tiga tahapan, yaitu: Tahap premetamorfosis yang
ditandai pertumbuhan larva yang sangat dominan, tahap prometamorfosis ditandai
dengan perkembangan lebih lanjut seperti mulai munculnya membra belakang dan
tahap metamorfik klimkas yang merupakan periode perubahan morfologi dan
fisiologi yang luas dan dramatik, tahap ini ditandai dengan perkembangan membra
depan. Perubahan-perubahan ini disertai regresi ekor katak dan penyusunan kembali
cara makan, sistem pencernaan, sistem pernafasan, sistem ekskresi, sistem gerak dan
sistem syaraf yang terjadi pada katak dan salamander (Walbot and Holder, 1987).
Faktor yang mempengaruhi metamorfosis dapat dibedakan menjadi faktor
eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi faktor lingkungan antara lain
kualitas air, adanya parasit serta jumlah pakan yang tersedia. Faktor internal meliputi
perbedaan umur, kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya dan adanya
ketahanan terhadap penyakit (Huet, 1971).
Selain dua faktor tersebut juga ada salah satu faktor yang mempengaruhi,
yaitu faktor hormon. Hormon utama metamorfosis amfibi adalah hormon thyroid,
yang serupa dengan ecdyson pada metamorfosis serangga. Hormon ini diproduksi
dalam kelenjar thyroid yang berlokasi di antara kedua mata (Miyata and Ose, 2012).
Reseptor hormon tiroid dibentuk dari heterodimer dengan reseptor X retinoid.
Reseptor X retinoid terikat pada respon elemen hormon tiroid pada gen target
(Yasushi et al., 2006). Komponen aktif dari hormon thyroid adalah thyroxine (T4)
dan triiodothyronine (T3), keduanya merupakan derivat dari asam amino tyrosine.
Triiodothyronine (T3) secara umum terlihat sebagai komponen yang lebih aktif, juga
disintesis dari thyroxine (T4) dalam jaringan lain dari kelenjar thyroid. Ketika
kelenjar thyroid dipindahkan dari berudu muda, mereka tumbuh menjadi berudu
dewasa yang tidak pernah mengalami metamorfosis. Sebaliknya, ketika hormon
thyroid diberikan pada berudu muda dengan makanan atau injeksi, mereka
bermetamorfosis secara prematur (Khaltoff, 1996).
Peranan hormon tiroid dalam proses metabolisme mempunyai pengaruh yang
nyata terhadap pertumbuhan dan diferensiasi, serta mengontrol metamorfosis katak
menjadi dewasa. Faktor yang berpengaruh terhadap fungsi kerja tiroid adalah
yodium. Bila suplay yodium yang dibutuhkan untuk produksi dihambat maka proses
metamorfosis berudu akan terhambat. Yodium merupakan unsur esensial dalam
biosintesis hormon tiroid, ketersediaan yodium merupakan hal yang sangat penting
dalam memacu cepatnya proses metamorfosis, sehingga untuk mempercepat
metamorfosis perlu penambahan yodium eksternal (Lutviyana dan Nia, 2014).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Metamorfosis adalah suatu proses perkembangan postembryonic di mana hewan


membentuk ulang dan rekstrukturisasi morfologi, anatomi, dan bahkan
fisiologinya karena poliferasi sel, sel mati yang terprogram, diferensiasi sel, dan
pemodelan ulang jaringan.
2. Tahap metamorfosis berudu melalui tiga tahap yaitu premetamorfik, metamorfik,
dan prometamorfik.
B. Saran

Untuk pakan berudu sebaiknya jangan menggunakan bayam rebus karena


bisa mengakibatkan media airnya berlendir.
DAFTAR REFERENSI

Huet, M. 1971. Text Book of Fish Culture Breeding and Cultivation of Fish. London:
Fishing News Books Ltd.

Janel, Richter, Lincoln, Martin, Christoper, K. B. 2009. Increased Larval Density


Includes Accelerates Metamorphosis Independently of Growth Rate in Frog
Rana sphenocephala. Journal of Herpetology, 43(3):551-554.

Khaltoff, Klaus. 1996. Analysis of Biological Development. New York: McGraw-


Hill, Inc.

Miyata, K., & Ose, K. 2012. Thyroid Hormone-disrupting Effects and the Amphibian
Metamorphosis Assay. Journal of Toxicologic Pathology, 25(1): 19.
Kimball, J. W. 1992. Zoologi. Jakarta: Erlangga.

Lutviyana, R & Nia, K. 2014. Pengaruh Perlakuan Larutan Yodium Dengan Dosis
dan Lama Pendedahan yang Berbeda Terhadap Laju Metamorfosis dan
Kelangsungan Hidup Berudu katak Lembu (Rana catesbeiana Shaw). Jurnal
Biotropika, 2(3): 154-158.

Res, A. & Heinz, U. R. 2003. Patterns of Natural Selection on Size at Metamorphosis


in Water Frogs. Journal of Evolution, 57(4):872-882.
Soeminto. 2004. Biologi Perkembangan III. Purwokerto: Universitas Jenderal
Soedirman.

Sounders, J.W. 1982. Developmental Biology. New York: AcMillan Publishing Co.
Walbot, V., & N. Holder. 1987. Developmental Biology. New York: Random House.

Yasushi, Goto, Shigeyuki Kitamura, Keiko Kashiwagi, Ken Oofusa, Osamu Tooi,
Katsutoshi Yoshizato, Jin Sato, Shigeru Ohta, and Akihiko Kashiwagi. 2006.
Suppression of Amphibian Metamorphosis by Bisphenol A and Related
Chemical Subtances. Journal of Health Science, 52 (2): 160-168.

Zhao, L., Liu, L., Wang, S., Wang, H., & Jiang, J. 2016. Transcriptome Profiles Of
Metamorphosis In The Ornamented Pygmy Frog Microhyla Fissipes Clarify
The Functions Of Thyroid Hormone Receptors In Metamorphosis. Scientific
reports, 6(27310): 1-11.

Anda mungkin juga menyukai