Refrat Interna

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

Dengan meningkatnya status sosial dan ekonomi, pelayanan kesehatan masyarakat,

perubahan gaya hidup, bertambahnya umur harapan hidup, maka di Indonesia mengalami

pergeseran pola penyakit dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular, hal ini di kenal

dengan transisi epidemiologi. Kecenderungan meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular

salah satunya adalah Diabetes mellitus.

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik menahun yang

ditandai dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja

insulin, atau keduanya. Pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi pada semua tingkat sel

dan semua tingkatan anatomik, komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka

panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Jumlah penderita Diabetes mellitus di

dunia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, hal ini berkaitan dengan jumlah populasi yang

meningkat, life expectancy bertambah, urbanisasi yang merubah pola hidup tradisional ke pola

hidup modern, prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang. Diabetes mellitus perlu

diamati karena sifat penyakit yang kronik progresif, jumlah penderita semakin meningkat dan

banyak dampak negatif yang ditimbulkan.

Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat mikrovaskular (retinopati

diabetik, nefropati diabetik, neuropati diabetik, dan kardiomiopati) maupun makrovaskular

(stroke, penyakit jantung koroner, peripheral vascular disease). Komplikasi lain dari DM dapat

berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi akibat mudahnya terjadi infeksi saluran kemih,

tuberkulosis paru, dan infeksi kaki, yang kemudian dapat berkembang menjadi ulkus/gangren

diabetik.

1
Kaki diabetik adalah segala bentuk kelainan yang terjadi pada kaki yang disebabkan oleh

diabetes mellitus. Faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya kaki diabetik merupakan

kombinasi neuropati otonom dan neuropati somatik, insufisiensi vaskuler, serta infeksi.

Penderita kaki diabetik yang masuk rumah sakit umumnya disebabkan oleh trauma kecil yang

tidak dirasakan oleh penderita.

Masalah pada kaki diabetik misalnya ulserasi, infeksi dan gangren, merupakan penyebab

umum perawatan di rumah sakit bagi para penderita diabetes. Perawatan rutin ulkus, pengobatan

infeksi, amputasi dan perawatan di rumah sakit membutuhkan biaya yang sangat besar tiap tahun

dan menjadi beban yang sangat besar dalam sistem pemeliharaan kesehatan. Ulkus diabetes

disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu neuropati, trauma, deformitas kaki, tekanan tinggi pada

telapak kaki dan penyakit vaskuler perifer. Pemeriksaan dan klasifikasi ulkus diabetikum yang

menyeluruh dan sistematik dapat membantu memberikan arahan perawatan yang adekuat. Dasar

dari perawatan ulkus diabetes meliputi 3 hal yaitu debridement, offloading dan kontrol infeksi.

Ulkus kaki pada pasien diabetes harus mendapatkan perawatan karena ada beberapa alasan,

misalnya unfuk mengurangi resiko infeksi dan amputasi, memperbaiki fungsi dan kualitas hidup,

dan mengurangi biaya pemeliharaan kesehatan. Tujuan utama perawatan ulkus diabetes sesegera

mungkin didapatkan kesembuhan dan pencegahan kekambuhan setelah proses penyembuhan.

Dari beberapa penelitian, menunjukkan bahwa perkembangan ulkus diabetes dapat dicegah.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DIABETES MELITUS


a) Definisi
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan

jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa anggota tubuh, terutama mata, ginjal,

saraf, jantung dan pembuluh darah. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah

merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu

jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu

kumpulan problematika anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana

didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.1,3

Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau

mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga

morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain

menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-

10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor

risiko yang berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah : bertambahnya usia, lebih

banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani

dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan faktor genetik yang

berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2.5,6

3
b) Etiologi

Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus bermacam-macam.

Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada

insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik yang biasanya memegang peranan penting

pada mayoritas penderita diabetes melitus.2

Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik

dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap pengrusakan

imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Manifestasi klinis diabetes melitus terjadi

jika lebih dari 90% sel-sel beta menjadi rusak.6

Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin serta kerja

insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja

insulin. Insulin mula-mula mengikatkan dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel

tertentu, kemudian terjadi reaksi intraseluler yang menyebabkan mobilisasi pembawa

GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel. Pada

pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan

reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada

membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor

insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor

insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu

kerja insulin. Pada akhirnya timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin

yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80%

pasin diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resisten

insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan

4
diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam

sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa.3

c) Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik

defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan

kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan

karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka

timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang

meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena

glukosa hilang bersama urin, maka pasien akan mengalami keseimbangan kalori negatif

dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan

timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.1,11,12

Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif

dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang

terjadi beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul

ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi

insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka

terhadap insulin.,11,12

Pasien diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun,

dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan

melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut

mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak

5
mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun

hanya relatif. Sejumlah insulin tetap sisekresi dan masih cukup untuk menghambat

ketoasidosis.1

d) Diagnosis
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.

Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM.
Diagnosis dapat ditegakkan jika didapatkan gejala klasik ditambah dengan hasil
pemeriksaan dibawah ini :

Tabel 1 : Kadar glukosa untuk penilaian DM1

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa

poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal,

mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vagina pada wanita. Jika keluhan

khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan

diagnosa DM. Hasil pemeriksaam kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan

untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan

glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan

6
diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka

abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200

mg/dl pada hari yang lain atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar

glukosa darah pasca pembebanan 200 mg/dl.1,12,16

Gambar 1 : Langkah-langkah diagnostik DM dan toleransi glukosa terganggu6

e) Klasifikasi 3,23
Klasifikasi berdasarkan American Diabetes Association (ADA) pada tahun 2015:

1. Diabetes melitus tipe 1

Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenille-onset dan tipe dependen

insulin; namun kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Diabetes tipe 1 ini

7
dapat dibagi dalam 2 subtipe : (a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan

kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak

diketahui sumbernya.

2. Diabetes melitus tipe 2

Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan tipe

nondependen insulin.

3. Diabetes gestasional

Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan

mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM adalah usia

tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat gestasional terdahulu.

4. Tipe spesifik lain

Cacat genetik fungsi sel beta : MODY

Cacat genetik kerja insulin : sindrom resistensi insulin berat

Endokrinopati : sindrom cushing, akromegali

Penyakit eksokrin pankreas

Obat atau diinduksi secara kimia

Infeksi

8
f) Komplikasi2,3,17

Gambar : Patofisiologi komplikasi yang terjadi pada diabetes26

9
Kelainan metabolik pada defisinesi insulin absolut atau relatif yang tidak diterapi secara

adekuat, dalam beberapa tahun akan menyebabkan perubahan yang luas dan bersifat ireversibel

di dalam tubuh. Hiperglikemia merupakan bagian penting dalam hal ini. Glukosa direduksi

menjadi sorbitol di dalam sel yang mengandung enzim aldosareduktase. Alkohol heksahidrat ini

tidak dapat melewati membran sel, dan salah satu akibatnya adalah konsentrasinya di dalam sel

akan meningkat dan sel membengkak. Akibat penumpukan sorbitol di lensa mata, terjadi

penarikan air yang selanjutnya merusak kejernihan lensa (perkabutan lensa atau katarak).

Penumpukan sorbitol di sel schwann dan neuron akan mengurangi konduksi saraf

(polineuropati), terutama memengaruhi sistem saraf otonom, refleks, dan fungsi sensorik. Untuk

menghindari pembengkakan, sel berkompensasi dengan melepaskan mioinositol, yang kemudian

tidak tersedia lagi untuk fungsi lain.

Sel yang tidak dapat mengambil glukosa dalam jumlah yang cukup akan menyusut

karena hiperosmolaritas ekstrasel. Fungsi limfosit yang telah menyusut akan terganggu. Karena

itu, pasien diabetes rentan terhadap infeksi, misalnya infeksi kulit dan ginjal. Infeksi ini

selanjutnya meningkatkan kebutuhan insulin sehingga menyebabkan peningkatan pelepasan

hormon antagonis kalsium.

Hiperglikemia meningkatkan pembentukan protein plasma yang mengandung gula,

seperti fibrinogen, haptoglobin, makroglobulin-2 serta faktor pembekuan V-VIII. Dengan cara

ini, kecenderungan pembekuan dan viskositas darah mungkin meningkat sehingga risiko

trombosis meningkat. Dengan mengikat glukosa ke gugus protein yang bebas amino dan

seterusnya, akan terjadi reaksi Amadori yang bersifat ireversibel, yakni glikolisasi lanjut produk

akhir (AGE) yang sepenuhnya belum dapat dipahami. Hal ini juga terjadi dalam jumlah yang

meningkat pada orang tua. Jaringan protein dapat dibentuk melalui pembentukan pentosin. AGE

10
berikatan dengan reseptornya masing-masing di membran sel sehingga dapat meningkatkan

pengendapan kolagen di membran basalis pembuluh darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian

dirangsang melalui transforming growth factor (TGF-). Selain itu, serabut kolagen dapat

diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan penebalan membran basalis

dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan lumen (mikroangiopati).

Perubahan terjadi pada retina, juga sebagai akibat dari mikroangiopati, yang pada akhirnya dapat

menyebabkan kebutaan (retinopati). Di ginjal akan terjadi glomerulosklerosis yang dapat

menyebabkan proteinuria, penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kehilangan glomerulus,

hipertensi, dan gagal ginjal. Karena konsentrasi asam amino yang tinggi di dalam plasma, akan

terjadi hiperfiltrasi pada sisa glomerulus yang masih utuh, yang kemudian juga akan mengalami

kerusakan.

Bersama dengan peningkatan VLDL di dalam darah dan kecenderungan peningkatan

pembekuan darah, hipertensi mendorong pembentukan makroangiopati, yang dapat semakin

merusak ginjal serta menyebabkan infark miokard, infark serebri, dan penyakit pembuluh darah

perifer.

Akhirnya, glukosa dapat bereaksi dengan hemoglobin (HbA) untuk membentuk HbA1C, yang

peningkatan konsentrasinya di dalam darah menunjukan keadaan hiperglikemia yang telah

berlangsung lama. HbA1c memiliki afinitas oksigen yang lebih tinggi daripada HbA, dan karena

itu agak sukar melepaskan oksigen di perifer. Defisiensi insulin yang menetap selanjutnya

menyebabkan penurunan konsentrasi 2,3-bisfosfogliserat (BFG) di eritrosit, yang sebagai

pengatur hemoglobin alosterik akan menurunkan afinitas oksigen. Kekurangan BPG yang

menyebabkan peningkatan afinitas oksigen HbA.

11
Ibu yang mengalami diabetes secara statistik memiliki peluang yang lebih besar untuk

melahirkan bayi dengan berat badan yang lebih dari normal. Hal ini mungkin terjadi akibat

peningkatan konsentrasi asam amino di dalam darah sehingga menyebabkan peningkatan

pelepasan somatotropin.

Gambar 2 : Komplikasi akibat Diabetes Melitus2,3,17

Komplikasi Akut

A. Reaksi Hipoglikemia

Reaksi hipoglikemia adalah gejala yang timbul akibat tubuh kekurangan

glukosa, dengan tanda-tanda: rasa lapar, gemetar, keringat dingin, pusing. Jika

keadaan ini tidak segera diobati, penderita dapat menjadi koma. Karena koma

12
pada penderita disebabkan oleh kekurangan glukosa di dalam darah,maka koma

disebut Koma Hipoglikemik.

B. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK)

Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik merupakan komplikasi akut

yang ditandai oleh hiperglikemia, hyperosmolar tanpa disertai adanya ketosis.

Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diueresis glukosuria. Glukosuria

mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan

urin yang akan semakin memperberat derajat kehilangan air. Hilangnya air yang

lebih banyak dibandingkan natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar.

Keadaan dimana insulin yang tidak tercukupi akan menyebabkan hiperglikemia.

Hiperglikemia yang terjadi menyebabkan diuresis osmotic dan menurunnya cairan

secara total. Keluhan pasien HHNK adalah rasa lemah, gangguan penglihatan atau

kaki kejang. Dapat pula terjadi keluhan mual dan muntah.Pada beberapa pasien

datang dalam keadaan letargi, disorientasi, hemiparesis atau koma.

C. Ketoasidosis Diabetik (KAD)

Ketoasidosis Diabetik adalah keadaan dekompensasi- kekacauan

metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia, asidosis dan ketosis. Pada

Ketoasidosis Diabetik terdapat defisiensi insulin absolut atau relative. Gejala yang

timbul dapat terjadi secara tiba-tiba dan bisa berkembang dengan cepat. Kadar

gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat

menggunakan gula tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber

yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton dan asam lemak bebas yang

berlebihan. Keton merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan

13
darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum

adalah rasa haus dan sering kencing, mual, muntah, lelah dan nyeri perut

(terutama pada anak-anak). Pernafasan menjadi dalam dan cepat (Kussmaul)

karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau nafas penderita

tercium seperti bau aseton. Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai

komposmentis, delirium atau depresi sampai koma.

g) Komplikasi Kronis

Komplikasi Mikrovaskular pada Diabetes

Penyakit pembuluh darah kecil merupakan tanda utama diabetes mellitus dan

membutuhkan waktu 10 tahun atau lebih untuk dapat terjadi.

a. Penyakit mata (retinopati)

Satu dari antara tiga orang dengan diabetes mengalami penyakit mata dan 5%

mengalami kebutaan pada umur 30 tahun. Retinopati terjadi akibat penebalan

membran basal kapiler, yang menyebabkan pembuluh darah mudah bocor

(perdarahan dan eksudat padat), pembuluh darah tertutup (iskemia retina dan

pembuluh darah baru), dan edema makula.

Katarak pada pasien diabetes mellitus terjadinya lebih dini dibanding pada

populasi normal. Katarak terjadi 10 15 tahun lebih cepat pada penderita diabetes.

b. Nefropati diabetik

Keadaan ini terjadi 15 25 tahun setelah diagnosis pada 35 45% pasien dengan

diabetes tipe 1 dan kurang dari 20% pasien dengan diabetes tipe 2.

Pasien dengan nefropati diabetik dapat menunjukkan gambaran gagal ginjal

menahun seperti lemas, mual, pucat, sampai keluhan sesak napas akibat

14
penimbunan cairan. Nefropati diabetik melibatkan dua pola patologik yang

berbeda yang dapat berada bersama sama atau tidak : difus dan noduler. Difus

yang lebih sering, terdiri atas pelebaran membrana basalis glomerulus bersama

penebalan mesangial menyeluruh. Pada bentuk noduler, penumpukan banyak

bahan PAS-positif diendapkan pada perifer berkas glomerulus, disebut lesi

Kimmelstiel-Wilson.

c. Neuropati diabetik

Neuropati diabetik dapat mempengaruhi setiap bagian sistem saraf, kecuali otak.

Gambaran yang paling lazim adalah polineuropati perifer. Biasanya bilateral,

gejala meliputi mati rasa, kesemutan, hiperestesi berat, dan nyeri. Mononeuropati,

meskipun lebih jarang disbanding polineuropati juga dapat terjadi. Khas, terdapat

wrist drop, foot drop, atau paralisis nervus kranialis ke-3, ke-4, atau ke-6.

Mononeuropati khas ditandai oleh reversibilitas spontan yang tinggi, biasanya

selama beberapa minggu. Radikulopati adalah sindroma sensori dengan nyeri

timbul sepanjang distribusi satu atau lebih nervus spinalis, biasanya pada dinding

dada dan perut. Neuropati autonomik dapat muncul dengan berbagai cara. Saluran

cerna merupakan target utama, dan mungkin terdapat disfungsi esofagusdengan

kesulitan menelan, penundaan pengosongan lambung, konstipasi, atau diare.

Komplikasi Makrovaskular pada Diabetes

Masalah khusus pada pasien diabetik adalah berkembangnya ulkus pada kaki dan

tungkai bawah. Ulkus terutama terjadi karena distribusi tekanan abnormal sekunder

karena neuropati diabetik. Penyakit vaskular dengan penurunan suplai darah berperan

dalam pembentukan lesi ini, dan infeksi umum terjadi, sering oleh banyak organisme.

15
2.2 ULKUS DIABETIKUM
a) Definisi3,21

Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir disertai

kematian jaringan yang luas dan invasif kuman saprofit. Ulkus diabetikum adalah salah

satu komplikasi kronik DM berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai

adanya kematian jaringan setempat.

Pada pasien dengan ulkus diabetikum akibat mikroangiopatik disebut juga

gangren panas karena walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa

hangat oleh peradangan, dan biasanya teraba pulsasi arteri di bagian distal. Biasanya

terdapat ulkus diabetik pada telapak kaki. Proses makroangiopati menyebabkan sumbatan

pembuluh darah Proses makroangiopati menyebabkan sumbatan pembuluh darah yang

akan memberikan gejala klinis 5 P, yaitu :10

1) Pain (nyeri).

2) Paleness (kepucatan)

3) Paresthesia (parestesia dan kesemutan).

4) Pulselessness (denyut nadi hilang).

5) Paralysis (lumpuh).

b) Epidemiologi7,10,18

Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling ditakuti.

Hasil pengelolaan kaki diabetik sering mengecewakan, baik bagi dokter pengelola

maupun penyandang DM dan keluarganya. Seringkali kaki diabetik berakhir dengan

kecacatan dan kematian. Sampai saat ini, di Indonesia kaki diabetik masih merupakan

masalah yang rumit dan tidak terkelola dengan maksimal, karena selain kurangnya minat

untuk mendalami masalah kaki diabetik, ketidaktahuan masyarakat mengenai kaki

16
diabetik juga masih sangat menyolok. Sebagai tambahan, masalah biaya pengobatan yang

besar yang tidak terjangkau oleh masyarakat pada umumnya juga menambah peliknya

masalah kaki diabetik.

Prevalensi penderita ulkus kaki diabetik di Indonesia sekitar 15%, angka amputasi

30%, angka mortalitas 32% dan ulkus kaki diabetic merupakan sebab perawatan rumah

sakit yang terbanyak sebesar 80% untuk DM. menurut penelitian yang dilakukan di

Spanyol oleh Calle dkk, dihasilkan bahwa kelompok yang tidak melakukan perawatan

kaki diabetes mempunyai 13 kali risiko terjadi ulkus diabetika dibandingkan kelompok

yang melakukan perawatan kaki diabetic secara teratur. Hal ini didukung teori yang

mengatakan bahwa perawatan kaki diabetis yang teratur akan mencegah atau mengurangi

terjadinya komplikasi kronik pada kaki. Sedangkan di Amerika Serikat sebesar 15-20%

risiko amputasi 15-46 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penderita non DM.10,14

c) Etiologi8,11,15

Ada banyak faktor yang berpengaruh dalam terjadinya kaki diabetik. Secara

umum faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi:

Faktor predisposisi

Faktor yang mempengaruhi daya tahan jaringan terhadap trauma seperti kelainan

makrovaskuler dan mikrovaskuler, jenis kelamin, merokok, dan neuropati otonom.

Faktor yang meningkatkan kemungkinan terkena trauma seperti neuropati motorik,

neuropati sensorik, limited joint mobility, dan komplikasi DM yang lain (seperti mata

kabur).

17
Faktor presipitasi

Perlukaan di kulit (jamur).

Trauma.

Tekanan berkepanjangan pada tumit saat berbaring lama.

Faktor yang memperlambat penyembuhan luka

Derajat luka.

Perawatan luka.

Pengendalian kadar gula darah.

d) Patofisiologi 3,8,17

Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM

yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati,

baik neuropati sensorik maupun motorik dan autonomik akan mengakibatkan berbagai

perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan

distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya

ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi

infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah

rumitnya pengelolaan kaki diabetik.

18
Gambar 3 : Alur patofisiologi dari ulkus diabetikum3,8,17

Vaskulopati

Pada pembuluh darah, akibat komplikasi DM terjadi ketidakrataan permukaan

lapisan dalam arteri sehingga aliran lamelar berubah menjadi turbulen yang berakibat

pada mudahnya terbentuk trombus. Pada stadium lanjut seluruh lumen arteri akan

tersumbat dan manakala aliran kolateral tidak cukup, akan terjadi iskemia dan bahkan

gangren yang luas.

Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM antara lain berupa

penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer yang terutama sering terjadi

pada tungkai bawah. Pada penderita muda, pembuluh darah yang paling awal

mengalami angiopati adalah arteri tibialis. Kelainan arteri akibat diabetes juga sering
19
mengenai bagian distal dari arteri femoralis profunda, arteri poplitea, arteri tibialis

dan arteri digitalis pedis. Akibatnya perfusi jaringan distal dari tungkai menjadi

kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang menjadi

nekrosis/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang memerlukan amputasi.

Perubahan viskositas darah dan fungsi trombosit, penebalan membrana basalis

serta penurunan produksi prostasiklin (vasodilator dan anti platelet aggregating

agent) akan memacu terbentuknya mikrotrombus dan penyumbatan mikrovaskuler.

Peristiwa ini mengakibatkan timbulnya iskemia organ dan/atau jaringan yang

bersangkutan, termasuk serabut saraf perifernya.

Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan vaskulopati berupa disfungsi endotel

melalui berbagai mekanisme antara lain:

o Hiperglikemia kronik menyebabkan glikosilasi non enzimatik dari protein dan

makromolekul seperti DNA, yang akan mengakibatkan perubahan sifat

antigenik dari protein dan DNA. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan

tekanan intravaskular akibat gangguan keseimbangan NO dan prostaglandin.

o Hiperglikemia meningkatkan aktivasi PKC intraselular sehingga akan

menyebabkan gangguan NADPH pool yang akan menghambat produksi NO.

o Overekspresi growth factors meningkatkan proliferasi sel endotel dan otot

polos pembuluh darah sehingga akan terjadi neovaskularisasi.

o Hiperglikemia akan meningkatkan sintesis diacylglycerol (DAG) melalui jalur

glikolitik. Peningkatan kadar DAG akan meningkatkan aktivitas PKC. Baik

DAG maupun PKC berperan dalam memodulasi terjadinya vasokonstriksi.

20
o Sel endotel sangat peka terhadap pengaruh stres oksidatif. Keadaan

hiperglikemia akan meningkatkan tendensi untuk terjadinya stres oksidatif dan

peningkatan oxidized lipoprotein, terutama small dense LDL-cholesterol

(oxidized LDL) yang lebih bersifat aterogenik. Di samping itu peningkatan

kadar asam lemak bebas dan keadaan hiperglikemia dapat meningkatkan

oksidasi fosfolipid dan protein.

o Hiperglikemia akan disertai dengan tendensi protrombotik dan agregasi

platelet. Keadaan ini berhubungan dengan beberapa faktor antara lain

penurunan produksi NO dan penurunan aktivitas fibrinolitik akibat

peningkatan kadar PAI-1. Di samping itu, pada DM tipe 2 terjadi peningkatan

aktivitas koagulasi akibat pengaruh berbagai faktor seperti pembentukan

advanced glycosylation end products (AGEs) dan penurunan sintesis heparin

sulfat.

o Walaupun tidak ada hubungan langsung antara aktivasi koagulasi dengan

disfungsi endotel, namun aktivasi koagulasi yang berulang dapat

menyebabkan stimulasi yang berlebihan dari sel-sel endotel sehingga akan

terjadi disfungsi endotel.

Proses angiopati menyebabkan sumbatan arteri yang berlangsung secara

kronik hingga menimbulkan gejala klinik yang menurut Fontaine dibagi menjadi

stadium sebagai berikut: I. rasa kram/kebal, II. claudicatio intermitten, III. resting

pain, IV. iskemia/infark dan/atau gangren.

21
Neuropati

Gangguan mikrosirkulasi dan neuropati punya hubungan yang erat dengan

patogenesis kaki diabetik. Neuropati diabetik pada fase awal menyerang saraf halus

terutama di ujung-ujung kaki. Hal ini disebut sebagai fenomena dying back, di mana

ada teori yang menyatakan bahwa semakin panjang saraf maka semakin rentan untuk

diserang. Jadi dibandingkan dengan ekstremitas atas, ternyata ekstremitas bawah

yang lebih dulu terkena.

Gangguan mikrosirkulasi selain menurunkan aliran darah dan hantaran oksigen

pada serabut saraf (keadaan ini bersama dengan proses jalur sorbitol dan mekanisme

lain akan mengakibatkan neuropati) juga akan menurunkan aliran darah ke perifer

sehingga aliran tidak cukup dan menyebabkan iskemia dan bahkan gangren.

Neuropati diabetik disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosa sorbitol

fruktosa) akibat kekurangan insulin. Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol

dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati.

Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan metabolik sel-

sel Schwann dan menyebabkan hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik akan

berkurang pada tahap dini perjalanan neuropati. Selanjutnya timbul nyeri, parestesia,

berkurangnya sensasi getar dan proprioseptik, dan gangguan motorik yang disertai

hilangnya refleks-refleks tendon dalam, kelemahan otot, dan atrofi. Neuropati dapat

menyerang saraf-saraf perifer (mononeuropati dan polineuropati), saraf-saraf kranial,

atau sistem saraf otonom. Terserangnya sistem saraf otonom dapat disertai diare

nokturnal, keterlambatan pengosongan lambung dengan gastroparesis, hipotensi

postural, dan impotensi. Pasien dengan neuropati otonom diabetik dapat menderita

22
infark miokardial akut tanpa nyeri. Pasien ini juga dapat kehilangan respons

katekolamin terhadap hipoglikemia dan tidak menyadari reaksi-reaksi hipoglikemia.

I. Neuropati motoric

Kerusakan saraf motorik akan menyebabkan atrofi otot-otot intrinsik yang

menimbulkan kelemahan pada kaki dan keterbatasan gerak sendi akibat

akumulasi kolagen di bawah dermis hingga terjadi kekakuan periartikuler.

Deformitas akibat atrofi otot dan keterbatasan gerak sendi menyebabkan

perubahan keseimbangan pada sendi kaki, perubahan cara berjalan, dan

menimbulkan titik tumpu baru pada telapak kaki serta berakibat pada mudahnya

terbentuk kalus yang tebal (claw foot). Seiring dengan berlanjutnya trauma, di

bagian dalam kalus tersebut mudah terjadi infeksi yang kemudian berubah jadi

ulkus dan akhirnya gangren.

Charcot foot merupakan deformitas kaki diabetik akibat neuropati yang

klasik dengan 4 tahap perkembangan:

(1) Adanya riwayat trauma ringan disertai kaki panas, merah dan bengkak.

(2) Terjadi disolusi, fragmentasi, dan fraktur pada persendian tarsometatarsal.

(3) Terjadi fraktur dan kolaps persendian.

(4) Timbul ulserasi plantaris pedis.

II. Neuropati sensorik

Kehilangan fungsi sensorik menyebabkan penderita kehilangan daya

kewaspadaan proteksi kaki terhadap rangsangan dari luar. Nilai ambang proteksi

dari kaki ditentukan oleh normal tidaknya fungsi saraf sensoris kaki. Pada

keadaan normal sensasi yang diterima menimbulkan refleks untuk meningkatkan

23
reaksi pertahanan dan menghindarkan diri dari rangsangan yang menyakitkan

dengan cara mengubah posisi kaki untuk mencegah terjadinya kerusakan yang

lebih besar. Sebagian impuls akan diteruskan ke otak dan di sini sinyal diolah

kemudian respon dikirim melalui saraf motorik.

Pada penderita DM yang telah mengalami neuropati perifer saraf sensorik

(karena gangguan pengantaran impuls), pasien tidak merasakan dan tidak

menyadari adanya trauma kecil namun sering. Pasien tidak merasakan adanya

tekanan yang besar pada telapak kaki. Semuanya baru diketahui setelah timbul

infeksi, nekrosis, atau ulkus yang sudah tahap lanjut dan dapat membahayakan

keselamatan pasien.

Berbagai macam mekanisme terjadinya luka dapat terjadi pada pasien

DM, seperti:

(1) Tekanan rendah tetapi terus menerus dan berkelanjutan (luka pada tumit

karena lama berbaring, dekubitus).

(2) Tekanan tinggi dalam waktu pendek (luka, tertusuk jarum/paku).

(3) Tekanan sedang berulang kali (pada tempat deformitas pada kaki).

III. Neuropati otonom

Pada kaki diabetik gangguan saraf otonom yang berperan terutama adalah

akibat kerusakan saraf simpatik. Gangguan saraf otonom ini mengakibatkan

perubahan aliran darah, produksi keringat berkurang atau tidak ada, hilangnya

tonus vasomotor, dan lain-lain.

Neuropati otonom mengakibatkan produksi keringat berkurang terutama

pada tungkai yang menyebabkan kulit penderita mengalami dehidrasi, kering, dan

24
pecah-pecah sehingga memudahkan infeksi lalu selanjutnya timbul selulitis,

ulkus, maupun gangren. Selain itu neuropati otonom juga menyebabkan

terjadinya pintas arteriovenosa sehingga terjadi penurunan nutrisi jaringan yang

berakibat pada perubahan komposisi, fungsi, dan sifat viskoelastisitas sehingga

daya tahan jaringan lunak dari kaki akan menurun dengan akibat mudah terjadi

ulkus.

Fokus infeksi

Infeksi dimulai dari kulit kaki dan dengan cepat menyebar melalui jalur

muskulofasial. Selanjutnya infeksi menyerang kapsul/sarung tendon dan otot, baik

pada kaki maupun pada tungkai hingga terjadi selulitis. Kaki diabetik klasik biasanya

timbul di atas kaput metatarsal pada sisi plantar pedis. Sebelumnya, di atas lokasi

tersebut terdapat kalus yang tebal dan kemudian menyebar lebih dalam dan dapat

mengenai tulang. Akibatnya terjadi osteomielitis sekunder. Sedangkan kuman

penyebab infeksi pada penderita diabetes biasanya multibakterial yaitu gram negatif,

gram positif, dan anaerob yang bekerja secara sinergi.

Infeksi sering berlangsung agresif dan cepat meluas serta mudah terbentuk

gangren yang selanjutnya merupakan ancaman hilangnya kaki. Di samping itu, 50%

dari kasus ulkus/gangren diabetes akan mengalami infeksi akibat munculnya

lingkungan gula darah yang subur untuk berkembangnya bakteri patogen.

Jika kadar gula darah tidak terkontrol maka infeksi akan jadi lebih serius. Hal ini

disebabkan karena pada infeksi akan disekresi hormon kontra insulin (seperti

katekolamin, kortisol, homon pertumbuhan, dan glukagon) yang menyebabkan

meningkatnya kadar gula darah. Peningkatan kadar gula darah juga menyebabkan

25
gagalnya fungsi neutrofil dan gangguan sistem imunologi. Sebagaimana diketahui,

dalam melaksanakan fagositosis sel PMN membutuhkan energi dari glukosa eksogen

untuk mempertahankan aktivitasnya. Dengan bantuan insulin yang melekat erat pada

sel PMN, glukosa ekstrasel dapat dipakai sebagai sumber energi. Sumber energi ini

akan berkurang pada pasien diabetes yang mengalami kekurangan insulin.

e) Klasifikasi12,23

1) Klasifikasi Edmonds (Kings College Hospital, London, 2004-2005)

Stage 1: Normal Foot

Stage 2: High Risk Foot

Stage 3: Ulcerated Foot

Stage 4: Infected Foot

Stage 5: Necrotic Foot

Stage 6: Unsalvable Foot.

2) Klasifikasi Liverpool

Klasifikasi primer: Klasifikasi sekunder:

Vaskular
Tukak sederhana, tanpa
Neuropati
komplikasi
Neuroiskemik
Tukak dengan komplikasi.

3) Klasifikasi Wagner

Wagner 0: Tidak ada lesi tetapi berisiko tinggi menjadi kaki diabetik

Wagner 1: Ulkus superfisial tanpa infeksi. Disebut juga ulkus neuropati karena lebih

sering ditemukan di daerah kaki yang banyak mengalami tekanan berat

badan yaitu di daerah ibu jari kaki anplantar. Sering terlihat adanya callus.

26
Wagner 2: Ulkus dalam disertai selulitis tanpa abses atau tanpa kelainan tulang.

Wagner 3: Ulkus dalam dengan kelainan kulit dan abses luas yang dalam disertai

kelainan tulang / osteomyelitis

Wagner 4: Gangren terbatas yaitu pada ibu jari kaki dan tumit. Penyebab utamanya

adalah iskemik, oleh karena itu disebut juga ulkus iskemik yang terbatas

pada daerah tertentu.

Wagner 5: Gangren seluruh kaki. Biasanya terjadi karena sumbatan arteri besar tetapi

juga ada kelainan neuropati, dan infeksi.

27
Gambar 4 : Stadium kaki diabetikum dalam skala Wagner

4) Klasifikasi Texas

Stadium Tingkat
0 1 2 3
A Tanpa tukak atau Luka superfisial, Luka sampai Luka sampai
pasca tukak, kulit tidak sampai tendon atau kapsul tulang/sendi
intak/utuh tendon atau kapsul sendi
sendi
----------------------------Dengan Infeksi----------------------------
B

---------------------------Dengan Iskemia---------------------------
C

--------------------Dengan Infeksi dan Iskemia--------------------


D

28
5) Klasifikasi PEDIS (International Working Group of Diabetic Foot, 2003)

Impaired Perfusion 1 None


2 PAD + but not critical
3 Critical limb ischemia
Size/Extent in mm2
Tissue Loss/Depth 1 Superficial full thickness, not deeper than dermis
2 Deep ulcer, below dermis, involving subcutaneous
structures, fascia, muscle, or tendon
3 All subsequent layers of the foot involved including bone
and or joint
Infection 1 No symptoms or signs of infection
2 Infection of skin and subcutaneous tissue only
3 Erythema > 2 cm or infection involving subcutaneous
structure(s).
No systemic sign(s) of inflammatory response
4 Infection with systemic manifestation:
Fever, leucocytosis, shift to the left
Metabolic instability
Hypotension, azotemia
Impaired Sensation 1 Absent
2 Present

f) Diagnosis3,19

Diagnosis kaki diabetik dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisis, serta pemeriksaan penunjang lainnya. Pada anamnesis, perlu ditanyakan perjalanan

timbulnya luka beserta perkembangannya, serta riwayat penyakit diabetes mellitus.

Selain itu perlu juga ditanyakan komplikasi-komplikasi DM yang sudah dialami

penderita, baik komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular.

Gejala klinis akibat neuropati perfier

Gejala-gejala yang diakibatkan oleh adanya neuropati perifer antara lain.

1. Hypesthesia 3. Paraesthesia

2. Hyperesthesia 4. Dysesthesia

29
5. Radicular pain 6. Anhydrosis

Gejala akibat insufisiensi arteri perifer

Gejala yang biasa dirasakan oleh pasien antara lain, nyeri iskemik pada saat

istirahat, ulkus yang tidak sembuh. Rasa kram arau kelelahan pada otot-otot besar

pada salah satu atau kedua ekstremitas bawah yang timbul pada saat berjalan dalam

jarak tertentu, yang mengindikasikan adanya klaudikasio intermitten. Gejala ini

bertambah pada saat beraktivitas dan membaik dengan istirahat selama beberapa

menit. Onset dari klaudikasio dapat terjadi lebih dini apabila pasien sering berjalan

cepat atau menaiki tangga. Rasa tidak nyaman, kram atau kelemahan pada betis atau

kaki sering terjadi pada penderita kaki diabetis, karena cenderung terjadi oklusi

aterosklerosis tibioperoneal. Atrofi otot-otot betis mungkin juga terjadi. Gejala-gejala

yang timbul pada paha, mengindikasikan adanya oklusi aorta iliaca.

Anamnesis / Gejala Klinik

Anamnesa yang dilakukan merupakan tahap awal dari pengumpulan data yang

diperlukan dalam mengevaluai dan mengidentifikasi sebuah penyakit. Pada anamnesa

yang sangat penting adalah mengetahui apakah pasien mempunyai riwayat DM sejak

lama. Gejala-gejala neuropatik diabetik yang sering ditemukan adalah sering

kesemutan, rasa panas di telapak kaki, keram, badan sakit semua terutama malam

hari. Gejala neuropati menyebabakan hilang atau berkurangnya rasa nyeri dikaki,

sehingga apabila penderita mendapat trauma akan sedikit atau tidak merasakan nyeri

sehingga mendapatkan luka pada kaki.

Selain itu perlu di ketahui apakah terdapat gangguan pembuluh darah dengan

menanyakan nyeri tungkai sesudah berjalan pada jarak tertentu akibat aliran darah

30
ketungkai yang berkurang (klaudikasio intermiten), ujung jari terasa dingin, nyeri

diwaktu malam, denyut arteri hilang, kaki menjadi pucat bila dinaikkan serta jika

luka yang sukar sembuh.

Pemeriksaan Fisik

1) Inspeksi

Pada inspeksi akan tampak kulit kaki yang kering dan pecah-pecah akibat

berkurangnya produksi keringat. Hal ini disebabkan karena denervasi struktur kulit.

Tampak pula hilangnya rambut kaki atau jari kaki, penebalan kuku, kalus pada daerah

yang mengalami penekanan seperti pada tumit, plantar aspek kaput metatarsal.

Adanya deformitas berupa claw toe sering pada ibu jari. Pada daerah yang mengalami

penekanan tersebut merupakan lokasi ulkus diabetikum karena trauma yang berulang-

ulang tanpa atau sedikit dirasakan pasien. Bentuk ulkus perlu digambarkan seperti;

tepi, bau, dasar, ada atau tidak pus, eksudat, edema, kalus, kedalaman ulkus.

2) Palpasi

Kulit yang kering serta pecah-pecah mudah dibedakan dengan kulit yang sehat.

Oklusi arteri akan menyebabkan perabaan dingin serta hilangnya pulsasi pada arteri

yang terlibat. Kalus disekeliling ulkus akan terasa sebagai daerah yang tebal dan

keras. Deskripsi ulkus harus jelas karena sangat mempengaruhi prognosis serta

tindakan yang akan dilakukan. Apabila pus tidak tampak maka penekanan pada

daerah sekitar ulkus sangat penting untuk mengetahui ada tidaknya pus. Eksplorasi

dilakukan untuk melihat luasnya kavitas serta jaringan bawah kulit, otot, tendo serta

tulang yang terlibat.

31
3) Pemeriksaan Sensorik

Pada penderita DM biasanya telah terjadi kerusakan neuropati sebelum

tebentuknya ulkus. Sehingga apabila pada inspeksi belum tampak adanya ulkus

namun sudah ada neuropati sensorik maka proses pembentukan ulkus dapat dicegah.

Caranya adalah dengan pemakaian nilon monofilamen 10 gauge. Uji monofilamen

merupakan pemeriksaan yang sangat sederhana dan cukup sensitif untuk

mendiagnosis pasien yang memiliki risiko terkena ulkus karena telah mengalami

gangguan neuropati sensoris perifer. Hasil tes dikatakan tidak normal apabila pasien

tidak dapat merasakan sentuhan nilon monofilamen. Bagian yang dilakukan

pemeriksaan monofilamen adalah di sisi plantar (area metatarsal, tumit dan dan di

antara metatarsal dan tumit) dan sisi dorsal.

4) Pemeriksaan Vaskuler

Disamping gejala serta tanda adanya kelainan vaskuler, perlu diperiksa dengan

test vaskuler noninvasive yang meliputi pungukuran oksigen transkutaneus, ankle-

brachial index (ABI), dan absolute toe systolic pressure. ABI didapat dengan cara

membagi tekanan sistolik betis denga tekanan sistolik lengan. Apabila didapat angka

yang abnormal perlu dicurigai adanya iskemia. Arteriografi perlu dilakukan untuk

memastikan terjadinya oklusi arteri.

Pemeriksaan ABI24,25

Ankle Brachial Index adalah tes skrining vascular non invasive untuk

mengidentifikasi pembesaran pembuluh darah , perifer vascular disease dengan cara

membandingkan tekanan darah systolic di ankle dengan tekanan darah sistolik di

daerah brakial dimana dapat diperkirakan tekanan darah sistolik sentralnya. ABI

32
diukur dengan menggunakan alat yaitu continuous wave doppler, sebuah

sphygmomanometer, dan sebuah pressure cuffs untuk mengukur tekanan sistolik di

brachial dan ankle. ABI mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam

mendiagnosis lower extremity arterial disease. Apabila ABI bernilai kurang dari 0.9

mengindikasikan adanya kelaian lower extremity arterial disease. Keterbatasan ABI

adalah tes indirek untuk mengetahui lokasi anatomic sebuah oklusi atau stenosis.

Lokasi pasti dari oklusi atau stenosis tidak dapat diketahui hanya dari ABI saja. Cara

pemeriksaan ABI adalah sebagai berikut :

Baringkan pasien kurang lebih selama 20 menit.

Pastikan area kaki tidak ada sumbatan atau hambatan dari pakaian ataupun posisi.

Tutup area luka dengan lapisan melindungi cuff yang menekan.

Tempatkan cuff di atas ankle.

Doppler probe letakkan di dorsalis pedis dan anterior tibial pulse (dengan

konekting gel). Arah probe Doppler 450

Tekan cuff hingga bunyi pulse menghilang

Tekan cuff perlahan untuk menurunkan tekanan sampai terdengar bunyi pulse

lagi. Point ini disebut tekanan sistolik ankle.

Pindahkan cuff ke lengan di sisi yang sama dengan ekstremitas bawah.

Cari pulse brachial dengan dopler probe ( konekting gel).

Tekan cuff hingga bunyi pulse menghilang

Turunkan tekanan perlahan hingga terdengar bunyi pulse lagi, point ini disebut

tekanan sistolik brachial.

Hitung ABI dengan membagi hasil sistolik ankle dengan hasil sistolik brachial.

33
Gambar 5 : Cara menghitung ABI25

Non kompresibel. Perlu dihitung ulang. Atau telah terjadi kalsifikasi


1, 30
pada arteri
1.0 1,29 Normal
0.91 0.99 Borderline (samar- samar)
0.41 0.90 PAD ringan sedang
0.00 0.40 PAD berat
PAD : Peripheral Arterial Disease

Tabel 2 : Hasil dari pengukuran ABI25

5) Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologi akan dapat mengetahui apakah didapat gas subkutan,

benda asing serta adanya osteomielitis.

34
6) Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin menunjukkan angka lekosit yang meningkat bila sudah

terjadi infeksi. Gula darah puasa dan 2 jam PP harus diperiksa untuk mengetahui kadar

gula dalam lemak. Albumin diperiksa untuk mengetahui status nutrisi pasien.

g) Diagnosis Banding

1. Ulkus Tropikum

Ulkus tropikum adalah ulkus yang cepat berkembang dan nyeri, biasanya pada

tungkai bawah. Pada ulkus tropikum terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

terjadinya ulkus. Antara lain adanya trauma, hygiene yang kurang, gizi kurang dan

infeksi oleh Bacillus fusiformis. Pada trauma sekecil apapun sangat memudahkan

masuknya kuman apalagi dengan status gizi yang kurang sehingga luka akibat trauma

yang kecil dapat berkembang menjadi suatu ulkus.

Biasanya dimulai dengan luka kecil, kemudian terbentuk papula yang dengan

cepat meluas menjadi vesikel. Vesikel kemudian pecah dan terbentuklah ulkus kecil.

Setelah ulkus diinfeksi oleh kuman, ulkus meluas ke samping dan ke dalam dan

memberi bentuk khas ulkus tropikum.

2. Ulkus Varikosum

Ulkus varikosum adalah ulkus yang disebabkan karena gangguan aliran darah

vena pada tungkai bawah. Gangguan pada aliran vena dapat disebabkan karena

kelainan pada pembuluh darah seperti pada kelainan vena dan bendungan pada

pembuluh vena pada proksimal tungkai bawah. Daerah predileksi yaitu daerah antara

maleolus dan betis, tetapi cenderung timbul di sekitar maleolus medialis. Dapat juga

meluas sampai tungkai atas. Sering terjadi varises pada tungkai bawah. Ulkus yang

35
telah berlangsung bertahun-tahun dapat terjadi perubahan pinggir ulkus tumbuh

menimbul, dan berbenjol-benjol. Tanda yang khas dari ekstrimitas dengan

insufisiensi vena menahun adalah edema. Penderita sering mengeluh bengkak pada

kaki yang semakin meningkat saat berdiri dan diam, dan akan berkurang bila

dilakukan elevasi tungkai. Ulkus biasanya memilki tepi yang tidak teratur, ukurannya

bervariasai, dan dapat menjadi luas. Di dasar ulkus terlihat jaringan granulasi atau

bahan fibrosa. Dapat juga terlihat eksudat yang banyak. Kulit sekitarnya tampak

merah kecoklatan akibat hemosiderin.

h) Penatalaksanaan14,19,20,21,22

1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer meliputi pencegahan terjadinya kaki diabetik dan terjadinya

ulkus, bertujuan untuk mencegah timbulnya perlukaan pada kulit. Pencegahan primer

ini juga merupakan suatu upaya edukasi kepada para penyandang DM baik yang

belum terkena kaki diabetik, maupun penderita kaki diabetik untuk mencegah

timbulnya luka lain pada kulit.

Keadaan kaki penyandang DM digolongkan berdasarkan risiko terjadinya dan

risiko besarnya masalah yang mungkin timbul. Penggolongan kaki diabetik

berdasarkan risiko terjadinya masalah (Frykberg) yaitu:

1) Sensasi normal tanpa deformitas

2) Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi

3) Insensitivitas tanpa deformitas

4) Iskemia tanpa deformitas

5) Kombinasi/complicated

36
a) Kombinasi insensitivitas, iskemia, dan/atau deformitas

b) Riwayat adanya tukak, deformitas Charcot.

Pengelolaan kaki diabetik terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya tukak,

disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai usaha pencegahan dilakukan sesuai

dengan tingkat besarnya risiko tersebut. Dengan memberikan alas kaki yang baik,

berbagai hal terkait terjadinya ulkus karena faktor mekanik akan dapat dicegah.

Penanganan luka pada ulkus diabetikum dapat melalui beberapa cara yaitu:

menghilangkan atau mengurangi tekanan beban (offloading), menjaga luka agar selalu

lembab (moist), penanganan infeksi, debridemen, revaskularisasi dan skin graft.

a) Debridemen
Tindakan debridemen merupakan salah satu terapi penting pada kasus ulkus

diabetika. Debridemen dapat didefinisikan sebagai upaya pembersihkan benda asing

dan jaringan nekrotik pada luka. Luka tidak akan sembuh apabila masih didapatkan

jaringan nekrotik, debris, calus, fistula atau rongga yang memungkinkan kuman

berkembang(4). Setelah dilakukan debridemen luka harus diirigasi dengan larutan

garam fisiologis atau pembersih lain dan dilakukan dressing (kompres). Tujuan

dilakukan debridemen bedah adalah:

Mengevakuasi bakteri kontaminasi

Mengangkat jaringan nekrotik sehingga dapat mempercepat penyembuhan

Menghilangkan jaringan kalus

Mengurangi risiko infeksi lokal

Mengurangi beban tekanan (off loading)

37
Ada beberapa pilihan dalam tindakan debridemen, yaitu

debridemen mekanik, enzimatik, autolitik, biologik. Debridemen mekanik dilakukan

menggunakan irigasi luka cairan fisiolofis, ultrasonic laser, dan sebagainya, dalam

rangka untuk membersihkan jaringan nekrotik. Debridemen secara enzimatik

dilakukan dengan pemberian enzim eksogen secara topikal pada permukaan lesi.

Enzim tersebut akan menghancurkan residu residu protein. Debridemen autolitik

terjadi secara alami apabila seseorang terkena luka. Proses ini melibatkan makrofag

dan enzim proteolitik endogen yang secara alami akan melisiskan jaringan nekrotik.

Secara sintetis preparat hidrogel dan hydrocolloid dapat menciptakan kondisi

lingkungan yang optimal bagi fagosit tubuh dan bertindak sebagai agent yang

melisiskan jaringan nekrotik serta memacu proses granulasi. Menghilangkan atau

mengurangi tekanan beban (offloading) .

b) Perawatan Luka

Perawatan luka modern menekankan metode moist wound healing atau

menjaga agar luka dalam keadaan lembab. Lingkungan luka yg seimbang

kelembabannya memfasilitasi pertumbuhan sel dan proliferasi kolagen didalam

matrik non selular yg sehat. Luka akan menjadi cepat sembuh apabila eksudat

dapat dikontrol, menjaga agar luka dalam keadaan lembab, luka tidak lengket

dengan bahan kompres, terhindar dari infeksi dan permeabel terhadap

gas.Tindakan dressing merupakan salah satu komponen penting dalam

mempercepat penyembuhan lesi. Prinsip dressing adalah bagaimana menciptakan

suasana dalam keadaan lembab sehingga dapat meminimalisasi trauma dan risiko

operasi. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih

38
dressing yang akan digunakan, yaitu tipe ulkus, ada atau tidaknya eksudat, ada

tidaknya infeksi, kondisi kulit sekitar dan biaya. Ada beberapa jenis dressing yang

sering dipakai dalam perawatan luka, seperti: hydrocolloid, hydrogel, calcium

alginate, foam, kompres anti mikroba.

c) Pengendalian Infeksi

Pemberian antibitoka didasarkan pada hasil kultur kuman. Pada infeksi

berat pemberian antibitoika diberikan selama 2 minggu atau lebih. Pada beberapa

penelitian menyebutkan bahwa bakteri yang dominan pada infeksi ulkus diabetik

diantaranya adalah s.aureus kemudian diikuti dengan streotococcus,

staphylococcus koagulase negative, Enterococcus, corynebacterium dan

pseudomonas. Pada ulkus diabetika ringan atau sedang antibiotika yang diberikan

di fokuskan pada patogen gram positif. Pada ulkus terinfeksi yang berat kuman

lebih bersifat polimikrobial (mencakup bakteri gram positif berbentuk coccus,

gram negatif berbentuk batang, dan bakteri anaerob) antibiotika harus bersifat

broadspektrum, diberikan secara injeksi.

d) Skin Graft

Gambar 6 : Skin graft

39
Suatu tindakan penutupan luka dimana kulit dipindahkan dari lokasi donor dan

ditransfer ke lokasi resipien. Terdapat dua macam skin graft yaitu full thickness dan

split thickness. Skin graft merupakan salah satu cara rekonstruksi dari defek kulit,

yang diakibatkan oleh berbagai hal. Tujuan skin graft digunakan pada rekonstruksi

setelah operasi pengangkatan keganasan kulit, mempercepat penyembuhan luka,

mencegah kontraktur, mengurangi lamanya perawatan, memperbaiki defek yang

terjadi akibat eksisi tumor kulit, menutup daerah kulit yang terkelupas dan menutup

luka dimana kulit sekitarnya tidak cukup menutupinya. Selain itu skin graft juga

digunakan untuk menutup ulkus kulit yang kronik dan sulit sembuh. Terdapat 3 fase

dari skin graft yaitu: imbibition, inosculation, dan revascularization. Pada fase

imbibition terjadi proses absorpsi nutrient ke dalam graft yang nantinya akan

menjadi sumber nutrisi pada graft selam 24-48 jam pertama. Fase kedua yaitu

inosculation yang merupakan proses dimana pembuluh darah donor dan resipien

saling berhubungan. Selama kedua fase ini, graft saling menempel ke jaringan

resipien dengan adanya deposisi fibrosa pada permukaannya. Pada fase ketiga yaitu

revascularization terjadi diferensiasi dari pembuluh darah pada arteriola dan venula.

e) Tindakan Amputasi

Tindakan amputasi dilakukan bila dijumpai adanya gas gangren, jaringan

terinfeksi, untuk menghentikan perluasan infeksi, mengangkat bagian kaki yang

mengalami ulkus berulang. Komplikasi berat dari infeksi kaki pada pasien DM

adalah fasciitis nekrotika dan gas gangren. Pada keadaan demikian diperlukan

tindakan bedah emergensi berupa amputasi. Amputasi bertujuan untuk

40
menghilangkan kondisi patologis yang mengganggu fungsi, penyebab kecacatan atau

menghilangkan penyebab yang didapat.

Penanganan ulkus diabetik dapat dilakukan dalam beberapa tingkatan sesuai

dengan pembagian menurut wanger, yaitu:

Tingkat 0 :

Penanganan meliputi edukasi kepada pasien tentang alas kaki khusus dan

pelengkap alas kaki yang dianjurkan. Sepatu atau sandal yang dibuat secara

khusus dapat mengurangi tekanan yang terjadi. Bila pada kaki terdapat tulang

yang menonjol atau adanya deformitas, biasanya tidak dapat hanya diatasi dengan

pengguna-an alas kaki buatan umumnya memerlukan tindakan pemotongan tulang

yang menonjol (exostectomy) atau dengan pembenahan deformitas.

Tingkat I :

Memerlukan debridemen jaringan nekrotik atau jaringan yang infeksius,

perawatan lokal luka dan pengurangan beban.

Tingkat II :

Memerlukan debridemen, antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur,

perawatan lokal luka dan teknik pengurangan beban yang lebih berarti.

Tingkat III :

Memerlukan debridemen jaringan yang sudah menjadi gangren, amputasi

sebagian, imobilisasi yang lebih ketat, dan pemberian antibiotik parenteral yang

sesuai dengan kultur.

41
Tingkat IV :

Pada tahap ini biasanya memerlukan tindakan amputasi sebagian atau

amputasi seluruh kaki.

Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut. Untuk kaki yang

insensitif, alas kaki perlu diperhatikan benar, untuk melindungi kaki yang insensitif

tersebut. Jika sudah ada deformitas, perlu perhatian khusus mengenai alas kaki yang

dipakai, untuk meratakan penyebaran tekanan pada kaki. Untuk kasus dengan

permasalahan vaskular, latihan kaki perlu diperhatikan benar untuk memperbaiki

vaskularisasi kaki. Untuk ulkus yang complicated, akan dibahas lebih lanjut pada upaya

pencegahan sekunder.

2. Pencegahan Sekunder

Dalam pengelolaan kaki diabetik, kerja sama multi-disipliner sangat diperlukan.

Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh hasil pengelolaan yang

maksimal dapat digolongkan sebagai berikut, dan semuanya harus dikelola bersama.

Mechanical control (pressure control)

Kaki diabetik terjadi oleh karena adanya perubahan weight-bearing area

pada plantar pedis. Daerah-daerah yang mendapat tekanan lebih besar tersebut

akan rentan terhadap timbulnya luka. Berbagai cara untuk mencapai keadaan

weight-bearing dapat dilakukan antara lain dengan removable cast walker, total

contant casting, temporary shoes, felt padding, crutches, wheelchair, electric

carts, maupun cradled insoles.

Berbagai cara surgikal juga dapat dipakai untuk mengurangi tekanan pada

luka, seperti dekompresi ulkus/abses dengan insisi abses dan prosedur koreksi

42
bedah (misalnya operasi untuk hammer toe, metatarsal head resection, Achilles

tendon lengthening, dan partial calcanectomy).

Wound control

Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang

harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus dikerjakan secermat

mungkin. Klasifikasi ulkus PEDIS dilakukan setelah debridement yang adekuat.

Debridement yang baik dan adekuat akan sangat membantu mengurangi jaringan

nekrotik yang harus dikeluarkan tubuh, dengan demikian akan sangat

mengurangi produksi cairan/pus dari ulkus/gangren.

Berbagai terapi topical dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba

pada luka, seperti cairan salin sebagai pembersih luka, atau iodine encer,

senyawa perak sebagai bagian dari dressing, dll. Demikian pula berbagai cara

debridement non surgikal dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pembersihan

jaringan nekrotik luka, seperti preparat enzim.

Selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka tidak akan

beranjak pada proses selanjutnya, yaitu proses granulasi dan epitelisasi. Untuk

menjaga suasana kondusif bagi kesembuhan luka, dapat pula dipakai kasa yang

dibasahi dengan salin. Cara tersebut saat ini umum dipakai di berbagai tempat

perawatan kaki diabetik.

Microbiological control (infection control)

Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala untuk setiap

daerah yang berbeda. Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan

dengan hasil biakan kuman dan resistensinya. Sebagai acuan, dari penelitian

43
tahun 2004, umumnya didapatkan pola kuman yang polimikrobial, campuran

Gram positif dan Gram negatif serta kuman anaerob untuk luka yang dalam dan

berbau. Karena itu untuk lini pertama pemberian antibiotik harus diberikan

antibiotik spektrum luas, mencakup kuman Gram positif dan negatif (misalnya

golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap

kuman anaerob (misalnya metronidazol).

Vascular control

Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat kesembuhan luka.

Berbagai langkah diagnostik dan terapi dapat dikerjakan sesuai keadaan dan

kondisi pasien. Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali

melalui berbagai cara sederhana seperti warna dan suhu kulit, perabaan arteri

dorsalis pedis, arteri tibialis posterior, arteri poplitea, dan arteri femoralis, serta

pengukuran tekanan darah. Di samping itu, saat ini juga tersedia berbagai

fasilitas mutakhir untuk mengevaluasi keadaan pembuluh darah dengan cara

noninvasif maupun invasif dan semiinvasif, seperti pemeriksaan ankle brachial

index, ankle pressure, toe pressure, TcPO2, dan pemeriksaan echo Doppler serta

arteriografi.

Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya, dapat dilakukan

pengelolaan untuk kelainan pembuluh darah perifer dari sudut vaskular, yaitu

berupa:

a) Modifikasi Faktor Risiko

Stop merokok

44
Memperbaiki faktor risiko terkait aterosklerosis (hiperglikemia, hipertensi,

dislipidemia)

b) Terapi Farmakologis

Jika mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada

kelainan akibat aterosklerosis di tempat lain (jantung, otak), mungkin obat

seperti aspirin dan lain sebagainya yang jelas dikatakan bermanfaat, akan

bermanfaat pula untuk pembuluh darah kaki penyandang DM; tetapi sampai

saat ini belum ada bukti yang cukup kuat untuk menganjurkan pemakaian

obat secara rutin guna memperbaiki patensi pada penyakit pembuluh darah

kaki penyandang DM.

c) Revaskularisasi

Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jika ada klaudikasio

intermiten yang hebat, tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan. Sebelum

tindakan revaskularisasi, diperlukan pemeriksaan angiografi untuk

mendapatkan gambaran pembuluh darah yang lebih jelas.

Untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas terbuka. Untuk

oklusi yang pendek dapat dipikirkan untuk prosedur endovaskular (PTCA).

Pada keadaan sumbatan akut dapat pula dilakukan tromboarterektomi.

Dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah distal dapat

diperbaiki, sehingga hasil pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik, sehingga

kesembuhan luka tinggal bergantung pada berbagai faktor lain yang turut

berperan.

45
Selain itu, terapi hiperbarik dilaporkan juga bermanfaat untuk

memperbaiki vaskularisasi dan oksigenasi jaringan luka pada kaki diabetik

sebagai terapi adjuvant. Walaupun demikian, masih banyak kendala untuk

menerapkan terapi hiperbarik secara rutin pada pengelolaan umum kaki

diabetik.

Metabolic control

Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Kadar glukosa

darah diusahakan agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai

faktor terkait hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka.

Umumnya diperlukan insulin untuk menormalisasi kadar gula darah. Status

nutrisi harus diperhatikan dan diperbaiki. Nutrisi yang baik akan membantu

kesembuhan luka. Berbagai hal lain juga harus diperhatikan dan diperbaiki,

seperti kadar albumin serum, kadar Hb dan derajat oksigenasi jaringan serta

fungsi ginjal.

Educational control

Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetik.

Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren diabetik

maupun keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai

tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luka yang optimal.

46
i) Prognosis

Ada tiga faktor yang berperan pada penyembuhan luka dan infeksi pada kaki

diabetik. Faktor pertama adalah angiopati arteriol yang menyebabkan perfusi jaringan

kaki kurang baik hingga mekanisme radang menjadi tidak efektif. Faktor kedua adalah

lingkungan gula darah yang subur untuk perkembangan bakteri patogen; dan faktor

ketiga ialah karena adanya pintas arteriovenosa di subkutis yang terbuka hingga aliran

nutrien tidak sampai ke tempat infeksi.

Selain ketiga faktor di atas, masih banyak faktor lain yang ikut berpengaruh

dalam terbentuknya kaki diabetik. Waspadji menyatakan bahwa faktor pendidikan,

sosioekonomi, dan gizi juga punya andil cukup besar. Pendidikan dan sosioekonomi yang

rendah terkait dengan pengetahuan yang kurang mengenai diabetes mellitus dan

pencegahan komplikasinya serta kemampuan finansial akan mempengaruhi pengelolaan

diabetes mellitus yang dideritanya. Status gizi yang rendah memiliki keterkaitan dengan

rendahnya respon imun sehingga mempermudah terjadinya infeksi.

Adapun prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemantauan penyakit

diabetes mellitus secara berkepanjangan antara lain:

Pemantauan kadar glukosa darah secara berfrekuensi (sebaiknya dapat dilakukan

oleh pasien secara mandiri)

Pemeriksaan kadar HbA1c (2-4 kali/tahun)

Edukasi pasien mengenai manajemen diabetes mellitus (setiap tahun)

Edukasi dan terapi gizi medis (setiap tahun)

Pemeriksaan mata (setiap tahun)

Pemeriksaan kaki (1-2 kali/tahun di dokter, dan setiap hari oleh pasien sendiri)

47
Tes saring untuk nefropati diabetik (urinalisis setiap tahun)

Pengukuran tekanan darah (setiap tiga bulan)

Pemeriksaan profil lipid dan kreatinin serum (setiap tahun)

Imunisasi influenza/pneumococcus

Pertimbangkan terapi antiplatelet.

48
BAB III

PENUTUP

Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir disertai

kematian jaringan yang luas dan invasif kuman saprofit. Ulkus diabetikum adalah salah

satu komplikasi kronik DM berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai

adanya kematian jaringan setempat. Pada pasien dengan ulkus diabetikum akibat

mikroangiopatik disebut juga gangren panas karena walaupun nekrosis, daerah akral itu

tampak merah dan terasa hangat oleh peradangan, dan biasanya teraba pulsasi arteri di

bagian distal. Biasanya terdapat ulkus diabetik pada telapak kaki. Proses makroangiopati

menyebabkan sumbatan pembuluh darah Proses makroangiopati menyebabkan sumbatan

pembuluh darah yang akan memberikan gejala klinis 5 P, yaitu : Pain (nyeri), Paleness

(kepucatan), Paresthesia (parestesia dan kesemutan), Pulselessness (denyut nadi hilang),

Paralysis (lumpuh).

Patofisiologi dari ulkus diabetikum dapat dibagi berdasarkan vaskulopati,

neuropati dan focus infeksi yang terjadi pada kaki. Banyak literature yang digunakan

untuk menilai derajat kerusakan yang telah timbul pada ulkus diabetikum, salah satu

kriteria yang sering digunakan ialah kriteria wagner yang membedakan ulkus hingga

stadium 5 atau telah terjadi gangrene pada keseluruhan bagian kaki.

Diagnosis pasti dari ulkus dapat ditegakkan dengan cara anamnesis, pemeriksaan

fisis, dan pemeriksaan penunjang yang bertujuan untuk menilai derajat kerusakan dan

tindakan yang diperlukan untuk memperbaiki kondisi dari kaki dengan ulkus diabetikum.

Pencegahan yang pasti yang dapat dilakukan ialah selalu mengontrol kadar gula dalam

49
darah secara teratur, memeriksakan kondisi kaki secara bertahap, dan melakukan

perawatan secara teratur jika telah terkena ulkus pada kaki.

50
DAFTAR PUSTAKA

1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia,

2015.

2. Darmono. Pola Hidup Sehat Penderita Diabetes Mellitus. Dalam : Darmono, dkk,editors.

Naskah Lengkap Diabetes Mellitus Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit dalam dalam

rangka Purna Tugas Prof Dr.dr.RJ Djokomoeljanto. Badan Penerbit Universitas Diponegoro

Semarang,2007. p.15-30

3. Waspadji S. Kaki Diabetes. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al (eds). Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, 2007: h. 1911-4.

4. Soetjahjo A. Peranan Neuropati Diabetik. Dalam: Majalah Kedokteran Andalas Vol. 22 No.

1. Juni 1998, h. 2-10.

5. Hadisaputro S, Setyawan H. Epidemiologi dan Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Diabetes

Mellitus tipe 2. Dalam : Darmono, dkk, editors. Naskah Lengkap Diabetes mellitus Ditinjau

dari Berbagai Aspek Penyakit dalam dalam rangka Purna Tugas Prof Dr.dr.RJ

Djokomoeljanto. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2007. p.133-154.

6. Suyono S. Masalah Diabetes di Indonesia. Dalam : Noer, dkk, editors, Ilmu Penyakit Dalam,

Jilid I, Edisi ketiga, Penerbit FK UI, Jakarta, 1999

7. Kruse I, Edelman S. Evaluation dan Treatment of Diabetic Foot Ulcer. Clinical Diabetes

Vol24, Number 2, 2006. p 91-93

8. Frykberg RG. Diabetic Foot Ulcer : Pathogenesis and Management. Am Fam Physician, Vol

66, Number 9. 2002. p 1655-62

51
9. Schteingart DE. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus. Dalam: Price SA &

Wilson LM (eds). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2.

Jakarta: EGC, 2006: h. 1259-74.

10. Rowe, W.L. Diabetic ulcers [online].2011, April 01[citied on 2011, April 24]. Available

from : http://emedicine.medscape.com/.

11. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, et al. Harrisons Manual of Medicine 17th Edition. New

York: McGraw-Hill, 2009: h. 942-7.

12. American Diabetes Association. Preventive Care in People with

Diabetes. Diabetes Care. 2015. Vol 26:78-79.

13. WHO. Diabetes Mellitus. Http://www.who.int.inf.fs/en/fact 138.html

14. R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 1997. Tindakan Bedah : Organ dan Sistem Organ dalam

Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Jakarta. Penerbit EGC. Hal. 646-8

15. Arif Mansjoer, Kuspuji Triyanti, Rakhmi Savitri, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan.

2001. Metabolik Endokrin dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta.

Penerbit Media Aesculapius FKUI. Hal. 580

16. Amalia Savitri. 2005. Diabetes Melitus dalam At a glance Medicine Patrick Davey. Jakarta.

Penerbit Erlangga. Hal. 266-269

17. Guyton Arthur C, Hall John E., 2011. Endokrinologi dan Reproduksi dalam dr. Irawati

Setiawan Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Guyton dan Hall Edisi 12. Jakarta. Penerbit EGC.

Hal. 1235

18. Hadisaputro S, Setyawan H. Epidemiologi dan Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Diabetes

Mellitus tipe 2. Dalam : Darmono, dkk, editors. Naskah Lengkap Diabetes mellitus Ditinjau

52
dari Berbagai Aspek Penyakit dalam dalam rangka Purna Tugas Prof Dr.dr.RJ

Djokomoeljanto. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2007. p.133-154.

19. Soegondo S. Penatalaksanaan Pasien Diabetes Mellitus, Penerbit FK UI, Jakarta,1998.

20. Darmono. Pola Hidup Sehat Penderita Diabetes Mellitus. Dalam : Darmono, dkk,editors.

Naskah Lengkap Diabetes Mellitus Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit dalam dalam

rangka Purna Tugas Prof Dr.dr.RJ Djokomoeljanto. Badan Penerbit Universitas Diponegoro

Semarang,2007. p.15-30

21. Stillman, RM. Diabetic Ulcers. Cited Mei 2014. Available at : URL http

://www.emedicine.com

22. California Podiatric Medical Association Diabetic Wound Care. Mei 2014. Availabel at :

URL http : // www.Podiatrist.org

23. ADA. Clinical Practice Recommendations : Report of the Expert Commite on the Diagnosis

and Classifications of Diabetes Mellitus Diabetes Care, USA, 2015. p.S4-S24

24. Monteiro R. Marto R .Neves MF. Risk Factors Related to Low Ankle-Brachial Index

Measured by Traditional and Modified Definition in Hypertensive Elderly Patients.

International Journal of Hypertension.2012;12. dx.doi.org/10.1155/2012/163807

Ankle Brachial Index : Quick Reference Guide for Clinicians .Available at :

http://journals.lww.com/jwocnonline/Fulltext/2012/03001/Ankle_Brachial_Index__Quick_R

eference_Guide_for.6.aspx

26. Silbernagl S, Lang F. Teks dan atlas berwarna patofisiologi. Penerbit buku kedokteran EGC.

Jakarta. 2007.

53

Anda mungkin juga menyukai