TugasBOY KAFIA
TugasBOY KAFIA
TugasBOY KAFIA
MAKALAH
MASYARAKAT TOMIA
KENDARI
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga saya sebagai penyusun makalah ini dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “RITUAL KAFIA/ PERKAWINAN
MASYARAKAT TOMIA(WAKATOBI)”.
Makalah ini dibuat dan disusun untuk memenuhi penyelesaian tugas pada
mata kuliah kebudayaan sultra. Dalam penulisan makalah ini, saya penulis tentu saja
tidak dapat menyelesaikannya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang ikut serta membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati meminta
maaf dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun guna perbaikan dan
penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata penulis mengucapkan selamat membaca dan semoga materi yang
ada dalam makalah ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………………….
KATA PENGANTAR……………………………………....................................... .
DAFTAR
ISI……………………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang…………………………………………………………….............
1.2 Rumusan masalah…………………………………………………………………
1.3 Tujuan…………………………………………………………………………….
BAB IIIPEMBAHASAN
2.1 Ritual Dalam Perspektif Sosiologi……………………………………………….
2.2 Ritual KAFIA (Perkawinan) Masyarakat Tomia………………………………….
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………
3.2 Saran…………………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, salah satu akibat dari
kemajemukan tersebut adalah terdapat beraneka ragam ritual keagamaan yang di
laksanakan dan di lestarikan oleh masing-masing pendukungnya. Ritual keagamaan
tersebut mempunyai bentuk atau cara melestarikan serta maksud dan tujuan yang
berbeda-beda antara kelompok masyarakat yang satu dengan masyarakat yang
lainnya. Hal ini di sebabkan oleh adanya perbedaan lingkungan tempat tinggal, adat
serta tradisi yang di wariskan secara turun temurun.
Semuan aktivitas tersebut dalam bahasa masyarakat setempat disebut dengan istilah
Mingku. Mingku secara harfiah adalah suatu bentuk sikap, perilaku, dan kegiatan
yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Kegiatan tersebut mengandung
berbagai macam nilai yang perlu dilestarikan dan dipertahankan keberadaanya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis merasa tertarik untuk menulis dan
meneliti masalah penelitian ini yang berjudul ritual kafia (pernikahan) masyarakat
tomia.
3.3 Tujuan
Penulisan makalah ini memiliki tujuan yaitu untuk mendiskripsikan tentang ritual
kafia/penikahan masyarakat tomia.
BAB III
PEMBAHASAN
2.1 Ritual dalam Perspektif Sosiologi
Semua agama mengenal ritual. Karena setiap agama memilki ajaran tentang
hal yang sakral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan
pelestarian kesakralan. Disamping itu, ritual merupakan tindakan yang memperkokoh
hubungan pelaku dengan objek yang suci, dan memperkuat solidaritas kelompok
yang menimbulkan rasa aman dan kuat mental (Djamari, 1993:35).
Dalam analisis Djamari (1993:36), ritual ditinjau dari dua segi : tujuan
(makna) dan cara. Dari segi tujuan, ada ritual yang tujuannya bersyukur kepada
Tuhan, ada ritual yang tujuannya mendekatkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan
keselamatan dan rahmat, dan ada yang tujuannya meminta ampun atas kesalahan
yang dilakukan.
Adapun dari segi cara, ritual dapat dibedakan menjadi dua : individual dan
kolektif. Sebagian ritual dilakukan secara perorangan, bahkan ada yang dilakukan
dengan mengisolasi diri dari keramaian, seperti meditasi, bertapa, dan yoga. Ada pula
ritual yang dilakukan secara kolektif (umum) seperti khotbah, shalat berjamaah, dan
haji.George homans (Djamari,1993:38) menunjukkan hubungan antara ritual dan
kecemasan. Menurut Homans, ritual berawal dari kecemasan. Dari segi tingkatannya,
ia membagi kecemasan menjadi kecemasan yang bersifat “sangat” yang ia sebut
kecemasan primer, dan kecemasan yang biasa, yang ia sebut kecemasan sekunder.
Selanjutnya, Homans menjelaskan bahwa kecemasan primer melahirkan ritual
primer, dan kecemasan sekunder melahirkan ritual sekunder. Oleh karena itu, ia
mendefiniskan ritual primer sebagai upacara yang bertujuan mengatasi kecemasan
meskipun tidak langsung berpengaruh terhadap tercapainya tujuan dan ritual sekunder
sebagai upacara penyucian untuk kompensasi kemungkinan kekeliruan atau
kekurangannya dalam ritual primer.
1. Adat Perkawinan
Seperti kita ketahui bahwa Indonesia memiliki beragam suku dan kebudayaan,
jadi tidak heran apabila kita sering melihat upacara-upacara adat yang sangat unik.
Upacara pernikahan adalah termasuk upacara adat yang harus kita jaga, karena dari
situlah akan tercermin jati diri kita, bersatunya sebuah keluarga bisa mencerminkan
bersatunya sebuah negara. Mungkin tidak menjadi masalah apabila anda memilih atau
menikah dengan orang yang satu suku, namun apa jadinya bila anda menikah dengan
orang yang berbeda suku, beda adat dan kebiasaan, pasti anda harus mempunyai
bekal pengetahuan tentang seluk beluk, dan tatacara pernikahan.Adat perkawinan
masyarakat Wangi-Wangi dapat dibagi dalam lima tahap, yakni: (1) tahap pemilihan
jodoh (kaburi) (2) tahap tahap parara/paombo (3) tahap pelamaran (potumpu) (4)
pertunangan (heporae) (5) eka sebagai tahapan yang terakhir (Ali Hadara, dkk.
2011:17)
1) Kaburi
2) Parara
3) Potumpu/ Heporae
4) Rangkami
5) Hopowa’a
6) Te Pakawia
Menurut Ali Hadara dkk, (2011:27-32) Tahap kawi atau eka merupakan tahap
akhir dari seluruh rentetan perkawinan masyarakat Wangi-Wangi. Setelah kegiatan
parara kemudian dilanjutkan dengan potumpu dan heporae maka muaranya adalah
ijab Kabul atau nikah. Setelah pelamaran sehingga sepasang muda mudi diresmikan
sebagai tunangan (heporae), biasanya dalam waktu tidak terlalu lama dianjukan
dengan pernikahan. Untuk menuju ke jenjang tersebut, biasanya sebelum terjadi
pembicaraan tentang segala sesuatunya, antara lain; tanggal, hari, bulan dan
perlengkapan perkawinan, umumnya di dahului dengan pemberitahuan awal dari
keluarga calon mempelai laki-laki tentang rencana, atau lebih tepatnya maksud untuk
diselenggarakan perkawinan. Kegiatan tersebut dalam dialek daerah setempat disebut
paombo, selain sudah dibicarakan waktu perayaan perkawinan, (tanggal, hari, bulan)
juga dibicarakan pula tata cara dan seluruh mekanisme yang akan ditempuh dalam
perkawinan dimaksud menurut ketentuan agama islam dan ketentuan adat. Apabila
kedua belah pihak kelurga calon mempelai sudah setuju, mereka akan kembali dan
mulai saat itu pula masing-masing keluarga akan mempersiapkan segala sesuatunya
guna menyosong waktu yang telah ditetapkan.
Persiapan dimaksud dimulai dengan pemberitahuan kepada keluarga satu
klan. Artinya, dalam kebiasaan persiapkan pesta perkawinan dalam kebudayaan
orang, wakatobi, khususnya komunitas Wanci, kerabat yang pertama-tama diberi
informasi adalah keluarga satu klan dari pihak kedua belah keluarga satu klan
dikabari (hopowaa) barulah dilanjutkan dengan kerabat lainya.Perlu pula
dikemukakan disini bahwa dalam kebiasaan masyarakat Wangi-Wangi dimasa
lampau, sesungguhnya tidak dikenal istila ”uang naik” atau ”uang yang dimakan api”
yakni sejumlah uang yang harus dipersiapkan oleh calon pengantin laki-laki sperti
yang berlaku bagi suku-suku lainya, sebut saja suku bugis, makasar atau tolaki,
umumnya bagi masyarakat Wakatobi, khusunya Wangi-Wangi di masa lampau,
ketentuan adat sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh calon mempelai laki-laki
adalah sepasang perhiasan emas, satu pis kain kaci, dua belas lembar sarung, satu set
tempat tidur, satu kelambu, dan sebilah parang. Seperangkat adat inilah yang
dinamakan kamondo. Di dalam kamondo tersebut, khusus yang berwujud emas masih
dipilah kedalam dua bagian, yaitu ada yang disebut rangkami dan ada yang
dinamakan paeka. Paeka dalam suatu adat perkawinan masyarakat Wangi-Wangi
sama dengan mahar, dengan begitu keberadaanya menjadi sesuatu yang wajib.Dilihat
dari sudut pelaksanaan, setelah kedua keluarga calon mempelai menentukan waktu
penyelenggaraan pernikahan, masing-masing keluarga dari kedua calon mempelai
mulai mempersipakan segala kebutuhan dalam pelaksanaanya. Penting untuk
ditemukan disini bahwa sebelum akad nikah dilangsungkan kerumah kelurga calon
mempelai perempuan, baik kelurga calom mempelai laki-laki maupun perempuan
melaksanakan pesta secara terpisah atau secara sendiri-sendiri. Artinya, kelurga calon
mempelai laki-laki maupun calon mempelai calon mempelai perempuan mengundang
kelurga satu kian dan kerabat lainya dirumah masing-masing, dan umumnya
kehadiran sanak kelurga diiringi dengan makan bersama. Dengan cara seperti
dimaksud, terlihat bahwa pesta tersebut tampak seperti “reuni akbar” kelurga satu
klan dan kerabat dekat lainya. Setelah makan bersama yang biasanya di ikuti dengan
doa bersama pula, maka bilamana sudah tiba waktu akad seperti yang telah
disepakati, maka seluruh pihak keluarga akan mengantar calon pengantin laki-laki
kerumah calon pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah. Setelah itu.
Kelurga pun kembali, ada yang masih menuju kerumah pengantin laki-laki, tetapi
tidak sedikit pula yang langsung kembali kerumah mereka masing-masing.
a) Sombo
c) Penyerahan Mahar
Setelah perayaan pesta perkawinan telah selesai, maka dalam adat masyarakat Wangi-
Wangi dilanjutkan penyerahan mahar (kamondo) oleh pihak laki-laki kepada pihak
perempuan. Adapun prosesi adatnya dilakukan pada malam hari. Pada saat setelah
selaesai pesta perkawinan, kelurga pihak laki-laki dan pihak perempuan yang telah
menjadi istrinya membawa kamondo tersebut. Selesai menyerhkan mahar tersebut
kedua kelurga laki-laki dan perempuan bermusyawarah untuk menentukan hari baik
bagi pengantin perempuan untuk bertandang kerumah mertuanya. Biasanya dalam
pelaksaanya adalah empat hari sesudah acara perkawinan
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
ritual perkawinan masyarakat tomia dapat dibagi dalam lima tahap, yakni: (1) tahap
pemilihan jodoh (kaburi) (2) tahap tahap parara/paombo (3) tahap pelamaran
(potumpu) (4) pertunangan (heporae) (5) eka sebagai tahapan yang terakhir (Ali
Hadara, dkk. 2011:17)
3.2 Saran
Ali Hadara. 2010. Filsafat Sejarah Edisi Ke dua. Bahan Ajar. Kendari: FKIP
Universitas Halu Oleo.
Jaria. 1988. System Derivasi Dan Infeksi Ansterdam Pada Zaman Voc Di Hila
Pulau Ambon 1642-1799. Skripsi: Unhalu