Bab Ii Habitus Pierre Bordieau PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 20

22

BAB II

HABITUS: PIERRE BORDIEAU

A. Teori Habitus Pierre Bordieau

Pemikiran Bourdieu boleh dikatakan membuka tradisi baru dalam

sosiologi. Alih-alih jatuh pada salah satu dualisme di atas, Bourdieu

memposisikan dirinya dalam upaya mendamaikan “oposisi absurd antara

individu dan masyarakat”1. Untuk mengatasi pertentangan ini, Bourdieu

memilih menggunakan cara berpikir rasonal2 bahwa struktur objektif dan

representasi subjektif, agen dan pelaku terjalin secara dialektis dan saling

mempengaruhi secara timbal-balik (dualitas).3 Keduanya tidak saling

menafikan, tapi saling berpaut dalam sebuah praktik. Di samping model

pendekatan Bourdieu, berkembang individualisme-metodelogi Raymond

Boudon. Dalam bukunya La logique du social, menurut sosiolog ini,

fenomena sosial apa pun merupakan produk tindakan-tindakan individual.

Oleh karena itu, logika tindakan harus dicari pada sisi rasionalitas pelaku-

pelakunya. Pendekatan seperti ini tidak jauh berbeda dari model ekonomi

klasik. Konsep habitus pada Bourdieu tidak akan menerima pemisahan ketat

antara pelaku sosial dan struktur-struktur yang melingkupinya.

1
Pierre Bourdieu, In Other Words: Essays Towards a Reflexive Sociology, (Cambridge:
Polity Press, 1990), 31.
2
David Swartz memandang bahwa metode rasional-yang ditawarkan Bourdieu
merupakan alat dasar untuk mendorong keterputusan epistemologis dengan bentuk pengetahuan
subjektivis dan objektivis. Lihat Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu, (Chicago
& London: The University of Chicago Press, 1997), 62.
3
Anthony Giddens, Central Problem in Social Theoty, (Berkeley & Los Angeles:
University of Callifornia Press, 1997), 53; Lihat juga B. Herry Priyono, Anthony Giddens: Suatu
Pengantar (Jakarta: KPG, 2002), 3.

22

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


23

Model kedua ialah aksionalisme Alain Touraine. Pendekatan ini

mendasarkan pada analisis gerakan-gerakan sosial dan peran mereka dalam

perubahan sosial. Dalam bukunya Le retour de l’acteur, Alain Touraine

menekankan bahwa gerakan-gerakan sosial merupakan objek khas dan

masalah sentral analisis sosiologi. Ia membedakan konsep gerakan sosial dari

konsep perjuangan kelas dan dari perilaku kolektif. Pembedaan ini didasarkan

pada pemahamannya bahwa ada tiga tipe konflik. Kecenderungan ini berbeda

dengan pendekatan Bourdieu yang memperhitungkan bahwa posisi-posisi

pelaku juga terkait dengan ruang dan memang riil ditempati.

Model ketiga ialah pendekatan strategis dari Michel Crozier, yang

menekankan analisis hubungan-hubungan kekuasaan dan organisasi-

organisasi. Para pelaku sosial yang sekaligus rasional dan rasionalitasnya

sebatas mempunyai makna kebebasan yang menjadi dasar kekuasaan mereka.

Dalam bukunya yang ditulis bersama Erhard Friedberg, L’acteur et le system,

Crozier mencoba menjelaskan dialetika antara pelaku dan sistem: struktur-

struktur sosial hanya bisa diciptakan, dilanggengkan dan diubah oleh pelaku-

pelaku sosial; sebaliknya pelaku sosial kendati dikatakan bebas, dikondisikan

oleh struktur-struktur tersebut. Dimensi dualitas pelaku dan struktur masih

sangat kuat. Berbeda dengan Bourdieu, ada upaya penyatuan kedua unsur

tersebut, oleh karena itu pendekatannya disebut strukturlisme genetik4.

Analisis struktur-struktur objektif yang tidak bisa dipisahkan dari analisis

asal-usul struktur-struktur mental dalam individu-individu biologis yang

4
George Ritzer and Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana,
cetakan ketiga, 2009), 579-580.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


24

sebagian merupakan produk penyatuan struktur-struktur sosial dan asal-usul

struktur sosial itu sendiri. Pendekatan ini membuka cakrawala dalam

menganalisis masyarakat sehingga memberi sumbangan khas.

Berdasarkan ketiga model pendekatan di atas, dapat dikatakan bahwa

Bourdieu menawarkan tiga perspektif yang segar (atau boleh dikatakan baru)

dalam memahami masyarakat. Pertama, penggunaan konsep habitus

dianggap berhasil mengatasi masalah dikotomi individu-masyarakat, agen-

struktur sosial, kebebasan-determinisme. Kedua, Bourdieu mencoba

membongkar mekanisme dan strategi dominasi. Menurutnya, dominasi tidak

lagi diamati melulu dari akibat-akibat luar, tetapi juga akibat yang dibatinkan

(habitus). Dengan menyingkap mekanisme tersebut kepada pelaku sosial,

sosiologi memberi argumen yang dapat menggerakan tindakan politik.

Perubahan politik dan sosial lalu bisa dipahami sebagai bertemunya upaya

dari diri dan tindakan kolektif5. Ketiga, Bourdieu menjelaskan logika praksis

pelaku-pelaku sosial dalam lingkup sosial yang tidak setara dan konfliktual.

Logika ini mengatasi model Marxis yang hanya berhenti pada penjelasan

masyarakat yang dikatakan menjadi infrastruktur ekonomi. Dia

mengemukakan pandangan bahwa lingkup sosial dibentuk dari beragam

ranah yang otonom, (budaya, politik, gender, seni, dan tidak hanya ekonomi)

yang mendefinisikan model-model dominasi dalam masyarakat.

Perkakas utama Bourdieu dalam memahami masyarakat adalah

terletak pada konsep habitus and field, juga strategi untuk mencapai dan

5
Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre
Bourdieu, (Yogyakarta: Juxtapose, 2007), 81-93

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


25

mempertahankan kekuasaan. Membahas habitus secara memadai

mengandaikan suatu bentuk epistemologi sejarah dalam arti mengungkap

relevnasi parktis suatu wacana6. Konsep ini sebenarnya berasal dari tradisi

pemikiran filsafat, bukan merupakan ciptaan asli Bourdieu. Dalam bahasa

Latin, habitus bisa berarti kebiasaan (habitual), penampilan diri

(appearance), atau bisa pula merujuk pada tata pembawaan yang terkait

dengan kondisi tipikal tubuh. Selain itu, istilah habitus juga menunjukan

aspek perlengkapan bagi substansi tertentu, seperti yang ditemukan dalam

pemikiran Aristoteles mengenai pembagian ada (being)7. Ritzer menguraikan

konsep habitus Bourdieu, juga mengungkapkan habitus sebagai “akal sehat”

(common sense) yang merefleksikan pembagian objektif dalam struktur kelas

seperti kelompk usia, jenis kelamin, dan kelas sosial. Dalam hal ini, habitus

bisa jadi merpakan fenomena kolektif, dia memungkinkan orang untuk

memahami dunia sosial, namun keberadaan berbagai habitus berarti bahwa

dunia sosial dan strukturnya tidak menancapkan dirinya secara seragam pada

setiap aktor.

Dengan demikian habitus memungkinkan dibangunnya teori produksi

sosial pelaku dan logika tindakan, ia merupakan faktor penjelasan logika

berfungsinya masyarakat. Dalam perspektif ini, sosialisasi menjadi bentuk

pengintegrasian habitus kelas. Ia menghasilkan kepemilikan individu pada

kelas dengan mereproduksi kelas sebagai kelompok yang memiliki kesamaan

6
Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa, (Majalah BASIS, Nomor 11-
12 Tahun Ke-52, November-Desember, 2003), 9.
7
Bagus Takwin, “Habitus: Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya Hidup” dalam
buku Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 35-54.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


26

habitus. Haryatmoko, yang mengutip Bourdieu mengatakan bahwa “setiap

sistem disposisi individu adalah variabel struktural sistem disposisi yang lain,

dimana terungkap kekhasan posisinya di dalam kelas dan arah yang dituju.

Gaya pribadi, praktik-praktik kehidupan atau hasil karya, tidak lain kecuali

suatu jarak terhadap gaya khas suatu zaman atau suatu kelas, sehingga gaya

itu mengacu pada gaya umum, tidak hanya melakukan keseragaman, tetapi

juga melalui pembedaan yang menghasilkan pembawaan tertentu”.

Pierre Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai pengkondisian yang

dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Menurutnya sistem-

sistem disposisi tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang

dibentuk, yang kemudian akan berfungsi juga sebagai struktur-struktur yang

membentuk adalah merupakan hasil dari suatu habitus. Dengan demikian,

habitus adalah merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis

(tidak selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu

kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan

sosial tertentu. Bourdieu mencontohkan dalam hal penguasaan bahasa,

penulisan atau pemikiran. Seniman, sastrawan, penulis atau pemikir dikatakan

mampu menciptakan karya-karya mereka berkat kebebasan kreatifnya karena

mereka tidak lagi menyadari tanda-tanda atau gaya yang sudah mereka

integrasikan ke dalam dirinya. Apa yang dipercaya sebagai kebebebasan

kereatif sebetulnya merupakan buah pembatasan struktur-struktur. Jadi

habitus menjadi sumber penggerak tindakan, pemikiran dan representasi.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


27

Selain itu, habitus juga dipahami sebagai dasar kepribadian individu.

Pembentukan dan berfungsinya habitus seperti lingkaran yang tidak diketahui

ujung-pangkalnya. Di satu sisi sangat memperhitungkan hasil dari keteraturan

perilaku dan di lain sisi modalitas praktiknya mengandalkan pada improvisasi

dan bukan pada kepatuahan aturan-aturan. Habitus juga merupakan struktur

intern yang selalu dalam proses restrukturisasi, jadi praktik dan represintasi

tidak sepenuhnya deterministik (pelaku bisa memilih), namun juga tidak

sepenuhnya bebas (pilihannya ditentukan oleh habitus).

Habitus didefenisikan sebagai seperangkat skema (tatanan) yang

memungkinkan agen-agen menghasilkan keberpihakannya kepada praktek-

praktek yang telah diadaptasi atau disesuaikan dengan perubahan situasi yang

terus terjadi. Intisari dari hal ini adalah sejenis “improvisasi yang teratur”,

sepotong prase yang berasal dari rumusan dan tema puisi lisan yang dikaji

oleh Albert Lord8.

Habitus juga didefenisikan sebagai struktur mental atau kognitif yang

digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Habitus dibayangkan

sebagai struktur sosial yang diinternalisasikan yang diwjudkan. Sebagai

contohnya, kebiasaan makan dengan menggunakan tangan kanan, yang

dipelajari seseorang sejaka kecil dari orang-orang yang ada disekitarnya,

sehingga terbawa sampai ia dewasa, karena kebiasaan tersebut sudah ia

internalisasikan dalam dirinya. Sebagai contoh lainnya, yaitu kebiasaan

seseorang berjalan di sebelah kiri pada jalan umum dan raya, dikarenakan

8
Peter Burke, Sejarah Dan Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), 179-
181.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


28

peraturan lalu-lintas, dimana hal itu merupakan peraturan dalam kehidupan

sosial yang harus ditaati, karena ketaatan dari individu tersebut, hal yang

tadinya merupakan peraturan menjadi kebiasaan kareana sudah

terinternalisasi dalam diri setiap individu. Sehingga dapat dikatakan bahwa

habitus adalah struktur sosial yang diinternalisasi sehingga menjadi suatu

kebiasaan yang terus diwujudkan.

Habitus yang ada pada waktu tertentu merupakan hasil ciptaan

kehidupan kolektif yang berlangsung selama periode histories yang relative

panjang. Habitus menghasilkan, dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Dan

tindakanlah yang mengantarai habitus dan kehidupan sosial. Menurut

Bourdieu, habitus semata-mata “mengusulkan” apa yang sebaiknya

dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk sebaiknya

dilakukan9. Seperti halnya makan, minum, berbicara, dan lain sebagainya.

Bourdieu menolak model kelas sosial seperti Marx, hanya terdiri dari

dua kelas; bourjois dan proletar ditentukan dengan pemilikan produksi.

Bourdieu menolak kelas sosial direduksi hanya sebagai masalah ekonomi atau

hubungan produksi, melainkan didefinisikan oleh habitus10. Habitus

mahasiswa aktif bertanya dan menjawab pertanyaan dosen atau sedang

diskusi (ranah) di klas. Lebih tinggi kelas sosialnya daripada mahasiswa pasif

tidak bertanya dan menjawab pertanyaan dosen. Disini lah kelas sosial

bergantung kepada habitus, bukan pemilikan produksi. Selera menjadi

9
George Ritzer, dan Doouglas Goodman, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Kencana,
2003), 523-524.
10
Ritzer & Goodman. Teori Sosiologi Klasik – Post Modern Edisi Terbaru (Trans:
Nurhadi). (Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2012), 587.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


29

pengatur pertandingan di ranah11. Karena selera mahasiswa aktif adalah

membaca buku-buku ilmiah yang menjadi habitusnya, sedangkan selera

mahasiswa pasif adalah tidak suka membaca buku atau membaca buku

komik. Dengan demikian, mengapa kelas sosial mahasiswa aktif lebih tinggi

dari pada mahasiswa pasif. Karena memang selera dia menentukan kapital

budaya (pengetahuan), juga menentukan habitus. Selera, kapital, habitus,

kelas sosial dan ranah, dialektis satu sama lain.

Aspek menarik dari karya Bourdieu adalah bagaimana gagasan-

gagasannya terbangun dalam dialog yang terus berlanjut, kadang-kadang

eksplisit dan kadang-kadang implisit, dengan gagasan-gagasan lainnya.

Gagasan-gagasannya cukup dipengaruhi oleh dua pemikir terkemuka dimasa

ia belajar yaitu, Jean Paul Sartre dan Claude Levi-Strauss. Dari

eksistensialisme Sartre, Bourdieu belajar tentang pemahaman yang begitu

kuat bahwa aktor sebagai pencipta dunia sosial mereka. Namun dia merasa

bahwa Sartre melangkah terlalu jauh dalam menempatkan kekuasaan pada

aktor dan dalam prosesnya mengabaikan hambatan-hambatan struktural.

Lewat perspektif struktur ini, dia kemudian berpaling ke karya strukturalis

Levi-Strauss. Dia tertarik pada orientasinya; sebaliknya, pada saat itu ia

menggambarkan dirinya sebagai “strukturalis lugu”12. Namun beberapa

penelitian awalnya membawanya pada kesimpulan bahwa strukturalisme

membatasi, kendati dengan arah berbeda, sebagaimana eksistensialisme.

11
Ibid
12
Richard Jenkins, Pierre Bourdieu (London: Routledge, 1992), 17.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


30

Bourdieu mendefinisikan salah satu tujuan dasarnya sebagai reaksi

atas eksis strukturalisme: “saya berniat untuk mengembalikan aktor di dunia

nyata yang telah sirna di tangan Levi-Strauss dan para strukturalis lain…yang

memandang aktor sebagai epifenomena struktur”13. Dengan kata lain,

Bourdieu ingin mengintegrasikan eksistensialisme Sartre dengan

strukturalisme Levi-Strauss. Dalam hal fakta sosial, Bourdieu juga cukup

dipengaruhi oleh Durkheim. Ia menempatkan Saussure, Levi-Straus,

Durkheim dan Marxis dalam kelompok objektivis, sekaligus mengkritik

mereka, karena baginya tokoh-tokoh tersebut mengabaikan proses konstruksi

sosial yang digunakan aktor untuk memersepsi, memikirkan dan

mengonstruksi struktur-struktur ini dan selanjutnya mulai bertindak atas dasar

tersebut.

Selain itu, Marx dan Althuser juga cukup mempengaruhi Bourdieu

dalam perspektif ideologi, namun ia kemudian melakukan berbagai

modifikasi, sekaligus kritik terhadapnya. Dalam perspektif ideologi, Bourdieu

menghindari penggunaan kata tersebut, dan mengusulkan konsep Doxa, yang

pengertiannya menyerupai ideologi. Doxa adalah sejenis tatanan sosial dalam

diri individu yang stabil dan terikat pada tradisi serta terdapat kekuasaan yang

sepenuhnya ternaturalisasi dan tidak dipertanyakan14. Dalam praktek

kongkritnya, doxa tampil lewat pengetahuan-pengtahuan yang begitu saja

13
Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre
Bourdieu (Yogyakarta: Juxtapose, 2007), 62.
14
Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato
hingga Bourdieu (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), 113-115.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


31

diterima sesuai dengan habitus dan field tanpa dipikir atau ditimbang lebih

dahulu.

Selain itu, habitus juga dipahami sebagai dasar kepribadian individu.

Pembentukan dan berfungsinya habitus seperti lingkaran yang tidak diketahui

ujung-pangkalnya. Di satu sisi sangat memperhitungkan hasil dari keteraturan

perilaku dan di lain sisi modalitas praktiknya mengandalkan pada improvisasi

dan bukan pada kepatuahan aturan-aturan. Habitus juga merupakan struktur

intern yang selalu dalam proses restrukturisasi, jadi praktik dan represintasi

tidak sepenuhnya deterministik (pelaku bisa memilih), namun juga tidak

sepenuhnya bebas (pilihannya ditentukan oleh habitus). “Hal ini tampak dari

pilihan terhadap tempat, peristiwa, orang yang dapat dikunjungi, habitus

cenderung melindungi diri terhadap krisis dan dari yang mempertanyakan

secara kritis dengan menjamin diri dalam lingkungan yang sedapat mungkin

sudah disesuaikan, artinya dunia yang cukup stabil yang akan semakin

memperteguh disposisi-disposisinya.

Hal ini menunjukan bahwa realitas masyarakat yang terdiferensiasi

itu, lingkup hubungan-hubungan objektif mempunyai kekhasan yang tidak

bisa begitu saja tereduksi pada hubungan yang mengatur bidang lain. Karena

itu, pemikiran Bourdieu yang mengatakan bahwa dalam semua masyarakat

ada yang mengusai dan dikuasai, menjadi bermakna. Dalam pembedaan ini

terletak prinsip dasar pengorganisasian sosial. Namun, menurutnya dominasi

ini sangat tergantung pada situasi, sumber daya, dan strategi pelaku.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


32

Dalam penjelasan pada bagian awal, telah disinggung bahwa habitus

mendasari terbentuknya ranah, sementara dilain pihak ranah menjadi lokus

bagi kinerja habitus. Ranah merupakan arena kekuatan yang di dalamnya

terdapat upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya (modal), dan

juga demi memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan.

Istilah modal digunakan Bourdieu untuk memetakan hubungan-hubungan

kekuasaan dalam masyarakat. Modal dalam perspektif ilmu ekonomi, memuat

beberapa ciri penting, yaitu:

1. Modal terakumulasi melalui investasi;

2. Modal bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan;

3. Modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang

dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya 15.

Konsep “modal” meskipun merupakan khasanah ilmu ekonomi,

namun dipakai Bourdieu karena beberapa cirinya yang mampu menjelaskan

hubungan-hubungan kekuasaan, seperti yang telah disebutkan di atas.

Berdasarkan hal itu, Bourdieu memberikan konstruksi teoritiknya terhadap

modal sebagai berikut:

“capital is a social relation, i.e., an energy which only exists and only
produces its effects in the field in which it is produced and
reproduced, each of the properties attached to class is given its value
and efficacy by the specific laws af each field”16.

15
Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Pengasa (Jakarta: Jurnal Basis, No. 11-
12, 2003), 11.
16
Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre
Bourdieu (Yogyakarta: Juxtapose, 2007), 97.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


33

Ide Bourdieu tentang modal seperti ini, lepas dari pemahaman tradisi

Marxian dan juga konsep ekonomi formal. Konsep ini mencakup kemampuan

melakukan kontrol terhadap masa depan diri sendiri dan orang lain.

Pemetaan itu tidak berbentuk piramida atau tangga, tetapi lebih berupa suatu

lingkup pembedaan atas dasar kepemilikan modal-modal dan komposisi

modal-modal tersebut. Dengan pendekatan ini, maka setiap kelas sosial tidak

dapat didefinisikan secara terpisah, tetapi selalu dalam hubungan dengan

kelas-kelsa lain.

Menjelaskan hubungan ranah dengan kapital. Mahasiswa pasif

(pendiam) dapat memasuki ranah organisasi di kampus agar meningkatkan

modal budaya (berbicara) dan modal sosial (pertemanan). Dapat juga

memaksimalkan ranah di dunia virtual, seperti blog-twitter-facebook untuk

mencurahkan lubuk hatinya yang paling dalam agar lebih extropped (terbuka

tidak pendiam). Dalam hal ini ranah mempengaruhi habitus, juga

mempengaruhi modal sosial misalnya karena kebanyakan menulis di blog

menjadi terkenal. Di dalam interaksi di dunia sosial, individu menggunakan

bahasanya di ranah. Dengan menggunakan bahasa, individu bisa melakukan

kekerasan simbolik. Mengacu kepada modal simbolik yang tumbuh dari

harga diri dan prestise17. Bahasa digunakan untuk menyatakan ketimpangan

antara harga diri dan prestise yang tidak dimiliki orang lain oleh dirinya.

17
Ritzer & Goodman. Teori Sosiologi Klasik – Post Modern Edisi Terbaru (Trans:
Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2012. Hlm: : 583

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


34

Kekerasan simbolik salah satunya terjadi di dunia pendidikan; ketika

seorang guru menyatakan harga dirinya lebih tinggi dan harus dipatuhi oleh

muridnya; ketika seorang guru menunjuk dan mengatakan peserta didiknya

bodoh. Kekerasan simbolik itu terjadi dan bisa juga muncul melalui gesture,

tidak berupa kekerasan fisik; ketika seorang guru melihat peserta didiknya

menyontek dan langsung menatap peserta didiknya dengan tatapan sinis.

Pendidikan menurut Bourdieu menjadi reproduksi sosial kelas,

melalui penyebaran habitus kelas sosial dominan. Reproduksi sosial kelas itu

terjadi, ketika seorang guru masih menjadi kelas dominasi dan murid menjadi

kelas terdominasi. Intinya seorang murid tidak bisa melakukan transformasi

ideologi kelas sosialnya yang terdominasi, jika diberikan habitus oleh guru

habitus kelas terdominasi (malas, pendiam, penakut, terlalu patuh, pasrah

pada nasib, tidak kreatif, hanya ibadah tidak berusaha). Habitus diperoleh

sebagai akibat dari ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang

panjang18. Selama bertahun-tahun penyebaran habitus itu dilakukan guru

kepada peserta didiknya. Jadi, misalkan seorang guru memberikan habitus

kepada muridnya sumber daya manusia Indonesia adalah lemah. Salah besar

bagi guru tersebut, karena manusia Indonesia sudah ditakdirkan sumber

dayanya lemah sebelum manusia Indonesia itu bertindak. Padahal salah satu

contoh BJ Habibie adalah orang Indonesia pertama yang bisa membuat

pesawat terbang. Habibie merupakan salah satu bukti bahwa sumber daya

manusia Indonesia tidak lemah. Satu lagi, seorang guru mengatakan manusia

18
Ritzer & Goodman. Teori Sosiologi Klasik – Post Modern Edisi Terbaru (Trans:
Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2012. Hlm: 581

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


35

Indonesia malas-malas. Padahal kenyataannya pasar-pasar yang ada di Jakarta

sudah buka pukul empat pagi subuh; dalam hal ini manusia Indonesia rajin-

rajin mencari nafkahnya. Sebuah paradoks pendidikan kita seperti Bourdieu

bilang sebagai reproduksi kelas sosial yang terdominasi; lemah dan malas.

Habitus yang sudah begitu kuat tertanam serta mengendap menjadi perilaku

fisik disebutnya sebagai Hexis Hexis adalah perilaku fisik individu secara

refleks otomatis yang sudah terlihat sebagai norma-nilai yang berlaku.

Sebagai contoh, seorang siswa mengetuk pintu dan mengucapkan salam

sebelum masuk kelas, dan seorang siswa sebelum jalan sekolah mencium

tangan kedua orang tuanya.

Kapital sosial, budaya, simbolik tidak bisa direduksi dalam kapital

ekonomi semata, karena setiap bentuk memiliki spesifikasi masing-masing.

Akan tetapi pada akhirnya kapital ekonomi memang menjadi akar dari

semuanya. Dengan kata lain setiap kapital akan mengalami transformasi

atau konversi dari satu bentuk ke dalam bentuk lainnya.

Setiap kapital dalam konsep Bourdieu adalah berkaitan, juga bisa

mengalami perubahan. Setiap individu bisa melampaui batasan-batasan

kapitalnya (ekonomi), demi menaikkan kelas sosialnya di dunia sosial.

Individu tersebut mempunyai modal budaya (menulis) dan modal simbolik

(prestasi). Dengan mempunyai modal budaya dan simbolik, dapat menutupi

modal ekonominya. Modal ekonomi akan individu dapati dengan usaha

menjuarai suatu lomba tulisan, jika menang menjadi modal simbolik

(prestasi). Modal simbolik ini lah yang membawa individu kepada modal

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


36

sosial (jaringan sosialnya dengan penulis atau penerbit lain). Jadi, modal

saling berkaitan satu sama lain, juga modal bisa berubah (meningkat) dan

kelas sosial yang menggambarkan status sosial individu di masyarakat.

Di dalam dialektis selera, kapital, habitus, kelas sosial dan ranah

terdapat distingsi, distingsi adalah preferensi estetis kelompok berbeda di

dalam masyarakat Antara artis dengan intelektual merupakan refleksi dari

perjuangan tiada henti antara kelompok berbeda dari kelas dominan untuk

mendefinisikan kebudayaan dan seluruh dunia sosial19. Artis dengan

intelektual menggambarkan distingsi, karena mereka mempunyai ranah yang

berbeda, serta selera dan habitus berbeda pula. Artis ranahnya di dunia

hiburan, sedangkan intelektual ranahnya di dunia akademik. Artis seleranya

menyanyi, melawak, atau dugem. Intelektual tentunya seleranya membaca

buku-buku ilmiah. Selera ini membawa kepada kelas sosial, yang ditentukan

melalui ranahnya masing-masing (dunia hiburan dan dunia akademik).

Menurut Haryatmoko, para pelaku menempati posisi-posisi masing-

masing yang ditentukan oleh dua dimensi: pertama, menurut besarnya modal

yang dimiliki; dan kedua, sesuai dengan bobot komposisi keseluruhan modal

mereka: “untuk memahami bahwa sistem kepemilikan yang sama (yang

menentukan posisi di dalam arena perjuangan kelas) memiliki unsur yang

dapat menjelaskan, apapun bidang yang dikaji, konsusmsi makanan, praktik

prokreasi, opini politik atau praktik keagamaan, dan bahwa bobot yang terkait

dengan faktor-faktor yang membentuknya berbeda di satu arena dengan yang

19
Ritzer & Goodman.. Teori Sosiologi Klasik – Post Modern Edisi Terbaru (Trans:
Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana 2012, Hal 584

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


37

lain, dalam arena perjuangan yang satu mungkin modal budaya, ditempat lain

mungkin modal ekonomi, arena lainnya lagi modal sosial, dan seterusnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, modal-modal tersebut dapat

digolongkan menjadi empat golongan, yakni:

1. Modal ekonomi, yang mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh),

materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang dengan mudah

digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke

generasi berikutnya.

2. Modal budaya, yang mencakup keseluruhan kualifikasi intelektual yang

dapat diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga.

Misalnya kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan

benda-benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu

dari hasil pendidikan, juga sertifikat (gelar keserjanaan).

3. Modal sosial, menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku

(individu atau kelompok) dalam hubungan dengan pihak lain yang

memiliki kuasa dan

4. Modal simbolik, mencakup segala bentuk prestise, status, otoritas, dan

legitimasi.20

Dengan demikian, modal harus ada dalam sebuah ranah agar ranah

tersebut memiliki daya-daya yang memberikan arti. Hubungan habitu, field

dan modal bertaut secara langsung dan bertujuan menerangkan praktek sosial.

Karakteristik modal dihubungakan dengan skema habitus sebagai pedoman

20
Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre
Bourdieu, (Yogyakarta: Juxtapose, 2007), hal 98-100

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


38

tindakan dan klasifikasi dan ranah selaku tempat beroperasinya modal.

Sedangkan ranah senantiasa dikelilingi oleh relasi kekuasaan objektif

berdasarkan pada jenis-jenis modal yang digabungkan dengan habitus.

Berdasarkan kriteria di atas, Bourdieu menyusun masyarakat dalam

dua dimensi. Pertama, dimensi vertikal, dalam hal ini dapat dipertentangkan

antara para pelaku yang memiliki modal besar dalam hal ekonomi dan budaya

dengan mereka yang miskin. Kedua, susunan masyarakat menurut struktur

modal. Dalam konteks ini dipertentangkan antara mereka yang memiliki

modal ekonomi yang besar dengan mereka yang memiliki modal budaya yang

besar. Pembedaan ini memungkinkan melihat pemisahan antara keduanya

dalam proses satu tangga dalam dimensi vertikal. Model pembagian kelas

tersebut mendefinisikan ruang atau jarak yang dapat diramalkan yang

memungkinkan perjumpaan, hubungan simpati atau bahkan hasrat. Secara

lebih konkrit orang-orang yang termasuk dalam kelas atas, sedikit

kemungkinannya menikah dengan orang yang berasal dari kelas bawah.

Pertama, karena mereka jarang mempunyai kesempatan untuk bertemu;

kedua, seandainya mereka bertemu, mereka tidak akan bisa dengan mudah

saling memahami karena perbedaan latarbelakang budaya atau habitus

mereka.

Haryatmoko yang mengutip Borudieu, mengatakan hal yang

sebaliknya bahwa kedekatan lingkungan sosial sudah memungkinkan

kedekatan dalam hal kepemilikan,disposisi dan selera. Mereka lebih mudah

saling mendekati, digerakan. Jadi kelas tidak dipahami dalam arti Marx yaitu

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


39

kelompok yang dimobilisasi untuk kepentingan bersama dan khususnya untuk

melawan kelas lainnya. Namun bukan berarti kedekatan lingkungan sosial

secara otomatis menjamin kesatuan. Kedekatan itu mendefinisikan secara

objektif potensi kesatuan. Sedangkan menurutnya, teori Marx melakukan

kesalahan karena menganggap yang ada dalam teori disamakan begitu saja

dengan yang ada dalam kenyataan. Dengan menggunakan istilah Marx

sendiri, terjadi lompatan yang mematikan “dari hal-hal logis ke logika hal

itu”21

Apabila dalam ranah terjadi ompetisi antar pemain untuk

memenangkan pertandingan, maka penggunaan strategi diperlukan. Startegi

ini diperlukan untuk mempertahankan dan ada pula yang ingin mengubah

distribusi modal-modal dalam kaitannya dengan hirarhki kekuasaan. Menurut

Bourdieu strategi yang dipakai oleh pelaku tergantung pada jumlah modal

yang dimiliki dan struktur modal dalam posisinya di ruang sosial. Jika mereka

berada dalam posisi dominan maka strateginya diarahkan pada usaha

melestarikan dan mempertahankan status quo. Sedangkan mereka yang

didominasi berusaha mengubah distribusi modal, aturan main dan posisi-

posisnya sehingga terjadi kenaikan jenjang sosial.

Meski mengarahan tindakan, strategi bukan semata-mata hasil dari

suatu perencanaan yang sadar dan terdeterminasi secara mekanis strategi

merupakan produk intuitif dari pemahaman para pelaku terhadap aturan-

aturan permainan dalam lintasan peristiwa atau pada ruang dan waktu

21
Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa, (Majalah BASIS, Nomor 11-
12 Tahun Ke-52, November-Desember, 2003), Hal 13-23

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


40

tertentu. Strategi berperan sebagai manuver para pelaku untuk meningkatkan

posisi mereka dalam suatu arena pertarungan. Perjuangan mendapatkan

pengakuan, otoitas, modal dan akses atas posisi-posisi kekuasaan terkait

dengan strategi yang para pelaku gunakan.

Pierre Bourdieu menggolongkan strategi yang digunakan pelaku

menjadi 5 (lima) jenis strategi, yakni:

1. Strategi investasi bologis. Strategi ini mencakup dua hal, yaitu kesuburan

dan pencegaha. Strategi kesuburan berkaitan dengan pembatasan jumlah

keturunan untuk menjamin transmisi modal dengan cara membatasi

jumlah anak. Sementara strategi pencegahan bertujuan untuk

mempertahankan keturunan dan pemeliharaan kesehatan agar terhindar

dari penyakit.

2. Strategi suksesif, strategi ni ditujukan untuk menjamin pengalihan harta

warisan antar generasi, dengan menekankan pemborosan seminimal

mungkin.

3. Strategi edukatif, strategi ini berupaya menghasilkan pelaku sosial yang

layak dan mampu menerima warisan kelompok sosial, serta mampu

memperbaiki jenjang hierarki. Ditempu lewat jalur pendidikan, baik secara

formal maupun informal.

4. Strategi investasi ekonomi, hal ini merupakan upaya mempertahankan atau

meningkatkan berbagai jenis modal, yaitu akumulasi modal ekonomi dan

modal sosial. Investasi modal sosial bertujuan melanggengkan dan

membangun hubungan-hubungan sosial yang berjangka pendek maupun

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


41

panjang. Agar langgeng kelangsunganya, hubungan-hubungan sosial

diubah dalam bentuk kewajiban-kewajiban yang bertahan lama, seperti

melalui pertukaran uang, perkawinan pekerjaan dan waktu.

5. Strategi investasi simbolik, strategi ini merupakan upaya melestarikan dan

meningkatkan pengakuan sosial, legitimasi, atau kehormatan melalui

reproduksi skema-skema persepsi dan apersepsi yang paling cocok dengan

property mereka, dan menghasilkan tindakan-tindakan yang peka untuk

diapresiasi sesuai dengan kategori masing-masing. Misalnya pewarisan

nama keluarga.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Anda mungkin juga menyukai