Askep Morbus Hansen

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kusta atau lepra adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Pada dasarnya penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi,
hingga dapat menyerang organ-organ tubuh lainnya. Bakteri tersebut diduga
menyebar melalui droplet. Penyakit ini merupakan penyakit yang dapat
menyebabkan cacat permanen bahkan kematian bagi penderitanya (Sehgal, 2006).
Berdasarkan data WHO (2013), jumlah kasus baru kusta di dunia dari tahun
2005 sampai 2012 mencapai 2.004.590 kasus. Sedangkan untuk kasus kusta yang
terdaftar pada akhir trimester pertama tahun 2013 adalah 189.018 kasus dengan
prevalensi sebesar 0,33. Wilayah endemis utama penyakit ini adalah Afrika,
Amerika, Asia Tenggara, Mediterania Timur, dan Pasifik Barat. India merupakan
Negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti Brasil dan Indonesia.
Situasi kusta di Indonesia sejak tahun 2007-2011 menunjukkan adanya
peningkatan kasus baru yang mengindikasikan bahwa penyakit kusta masih
menjadi masalah di Indonesia. Kasus baru pada tahun 2007 berjumlah 21.430
kasus, kemudian meningkat pada tahun 2008 dengan 21.538 kasus, namun
menurun pada tahun 2009 dengan jumlah 21.062 kasus. Tahun 2010 menunjukkan
penurunan lebih besar dibanding tahun sebelumnya yaitu dengan 19.741 kasus,
dan kembali terjadi peningkatan pada tahun 2011 dengan jumlah kasus mencapai
23.169. Dalam kurun waktu tersebut secara umum menunjukkan tidak ada
perubahan yang berarti terkait situasi penyakit kusta di Indonesia, hal tersebut
juga mengindikasikan bahwa penyakit kusta di Indonesia masih menjadi masalah
kesehatan.
Pada tahun 2011, sedikitnya 14 provinsi (42,4%) termasuk dalam beban kusta
tinggi (high endemic) dan 19 provinsi lainnya (57,6) termasuk dalam beban kusta
rendah (low endemic). Pada periode tersebut dilaporkan terdapat 20.023 kasus
baru kusta yang terdiri dari kusta tipe Multi Basiler (MB) dengan persentase
80,40% dan tipe Pausi Basiler (PB) dengan persentase 19,60% (Kemenkes RI,
2012).

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaiman Konsep Medis dari Penyakit Morbus Hanson ?
2. Bagaimana Konsep Keperawatan dari Penyakit Morbus Hanson ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari laporan yakni :
1. Untuk mengetahui Konsep Medis Morbus Hanson.
2. Untuk mengetahui Konsep Keperawatan Morbus Hanson.
D. Manfaat
Adapun manfaat dari laporan yakni :
1. Agar Mahasiswa Mengetahui Konsep Medis Morbus Hanson.
2. Agar Mahasiswa Mengetahui Konsep Keperawatan Morbus Hanson.

2
BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP MEDIS
A. Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni kushtha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus
Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard
Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus
Hansen (Kosasih, 2003).
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligata. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. (Djuanda Adhi,
2010)
Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik dan menular, penyebabnya
ialah Mycobacterium Leprae yang pertama-tama menyerang kulit, mukosa
mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang
dan testis. Tidak ada penyakit infeksi lain selain penyakit kusta yang dapat
menandingi keanekaragaman gambaran klinik baik dari lesi kulit maupun lesi
saraf sehingga penyakit kusta disebut “The Greatest Imitator” (Halim, 2000).

B. Klasifikasi
Menurut Kongres Internasional Madrid (1953), lepra dibagi atas tipe
Indeterminan (I), tipe Tuberculoid (T), tipe Lepromatosa dan tipe Borderline
(B).
Ridley Jopling (1960) membagi lepra kedalam berbagai jenis yaitu
Indeterminan (I), Tuberculoid polar (TT), Borderline Tuberculoid (BT), Mid
Borderline (BB), Borderline Lepromatous (BL), dan Lepromatosa polar (LL).
Tipe I tidak termasuk dalam spektrum. Tipe TT adalah tipe tuberculoid
polar yaitu tuberculoid 100% yang merupakan tipe stabil sehingga tidak
mungkin berubah tipe. Begitu juga dengan tipe LL yang merupakan tipe

3
lepromatosa polar, yaitu lepramatosa 100% , mempunyai sifat stabil dan tidak
mungkin berubah lagi.
BB merupakan tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberculoid dan 50%
lepromatosa. Pada tipe BT lebih banyak tuberculoid, sedangkan pada tipe BL
lebih banyak lepromatosa. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil yang
berarti bahwa dapat dengan bebas beralih tipe, baik ke arah tipe TT maupun
tipe LL.
Menurut WHO pada 1981, lepra dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe Multi
basilar (MB) dan tipe Pausi basilar (PB).
1. Lepra tipe PB ditemukan pada seseorang dengan SIS baik. Pada tipe ini
berarti mengandung sedikit kuman yaitu tipe TT, tipe BT dan tipe I. Pada
klasifikasi Ridley-Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) kurang dari 2+.
2. Lepra tipe MB ditemukan pada seseorang dengan SIS yang rendah. Pada
tipe ini berarti bahwa mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, tipe BL
dan tipe BB. Pada klasifikasi Ridley- Jopling dengan Indeks Bakteri (IB)
lebih dari 2+. Berkaitan dengan kepentingan pengobatan pada tahun 1987
telah terjadi perubahan yaitu lepra PB adalah lepra dengan BTA negative
pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe I, tipe TT dan tipe BT
menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Apabila pada tipe-tipe tersebut disertai
BTA positif maka akan dimasukkan kedalam lepra tipe MB. Sedangkan
lepra tipe MB adalah semua penderita lepra tipe BB, tipe BL dan tipe LL
atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati
dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy)-MB.
(http://digilib.unimus.ac.id)
Kusta terbagi menjadi 2 jenis:
1) Kusta bentuk kering (tipe tuberculoid)
Merupakan bentuk yang tidak menular. Kelainan kulit berupa bercak
kepuihan besar sebesar logam atau lebih jumlahnya biasanya hanya
beberapa sering di pipi, punggung, panta, paha, atau lengan. Bercak tanpa
kering mati rasa kadang-kadang tepinya meninggi.

4
2) Kusta basah
Merupakan benuk menular karena banyak kuman yang dapat
ditemukan baik di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain.
Jumlahnya lebih sedikit di bandingkan kusta benuk kering dan erjadi pada
orang yang daya tahan ubuhnya rendah. Kelainan kulit ini bisa berupa
bercak kemerahan, bisa kecil-kecil dan tersebar di seluruh badan ataupun
sebagai penebalan kulit yang luas (infeltrat) yang tampak mengkilap dan
berminyak. Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga
dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan
hidung. Pada bentuk yang parah bisa terjadi muka singa.

C. Etiologi
Kuman penyebab lepra adalah M. leprae yang ditemukan oleh G.A.
Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat
dibiakkan dalam media artifisial.Mycobacterium leprae berbentuk pleomorf
lurus, batang panjang, sisi pararel dengan kedua ujung bulat dengan ukuran 3-
8 μm x 0,5 μm. Basil ini berbentuk gram positif, tidak bergerak dan tidak
berspora dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok,
termasuk massa irreguler besar yang disebut globi. Dengan mikroskop
elektron, M. leprae terlihat mempunyai dinding yang terdiri dari dua lapisan
yaitu lapisan peptidoglikan padat pada bagian dalam dan lapisan transparan
lipopolisakarida dan kompleks protein lipopolisakarida pada bagian luar.
Dinding polisakarida ini adalah suatu arabinogalaktan yang diesterifikasi oleh
asam mikolik dengan ketebalan 2 nm. Peptidoglikan terlihat mempunyai sifat
spesifik pada M. lepra, yaitu adanya asam amino glisin, sedangkan pada
bakteri lain mengandung alanin. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya
penyakit meliputi bangsa atau ras, sosio-ekonomi, kebersihan dan keturunan.
Pada ras kulit hitam insiden bentuk tuberkuloid lebih tinggi, sedangkan
pada kulit putih cenderung tipe lepramatosa. Banyak terjadi pada
negaranegara berkembang dan golongan sosioekonomi rendah dan lingkungan
yang kurang memenuhi kebersihan. Faktor genetic berperan penting dalam

5
penularan penyakit lepra. Penyakit ini tidak diturunkan pada bayi yang
dikandung ibu lepra. (http://digilib.unimus.ac.id)

D. Patofisiologi
Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan
penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa
tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler
midialet immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit
berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah
lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif
dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena
imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat
reaksi seluler dari pada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta
disebut penyakit imonologik. (Djuanda, 2007)

E. Manifesasi Klinis
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat
atau tipe dari penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini hanya akan disajikan
tanda-tanda secara umum tidak terlampau mendetail, agar dikenal oleh
masyarakat awam, yaitu:
1. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia.
2. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin
melebar dan banyak.
3. Adanya pelebaran saraf terutama pada saraf ulnaris, medianus, aulicularis
magnus serta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit
menjadi tipis dan mengkilat.
4. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yg tersebar pada kulit
5. Alis rambut rontok
6. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka
singa)

6
Gejala-gejala umum pada kusta, reaksi :
1. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
2. Anoreksia.
3. Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.
4. Cephalgia.
5. Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis.
6. Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan
hepatospleenomegali.
7. Neuritis

F. Pemeriksaan Penunjang
a. Test sensibilitas pada kulit yang mengalami kelainan.
b. Laboratorium: basil tahan asam. Diagnosa pasti apabila adanya mati rasa
dan kuman tahan asam pada kulit yang (+) (positif)
c. Pengobatan kusta/lepra Lamanya pengobatan tergantung dari berbagai
jenis kusta lepromatus pengobatan minimal 10 tahun, obat yang diberikan
Dapson (DSS) ( dosis 2 x seminggu)
d. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan
jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan ZIEHL-
NEELSEN. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan berarti
orang tersebut tidak mengandung basil M. Leprae.
e. Pemeriksaan Hispatologik
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah, ada
yang mempunyai nama khusus, antara lain sel kupfer dari hati, sel alveolar
dari paru, sel gila dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu
tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman (M.
Leprae) masuk, akibatnya akan bergantung pada System Imunitas Seluler

7
(SIS) orang itu. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu mefagosit
M. Leprae.
f. Pemeriksaan serologic
Pemeriksaan serologic kusta didasarkan atas terbentuknya antibody pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. Leprae. Kegunaan pemeriksaan
serologic ini ialah dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan,
karena tanda klinis dan bakeriologik tidak jelas. Disamping itu dapa
membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit,
misalnya pada narakontak serumah.

G. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan Medis
Obat-obatan yang digunakan dalam World Health Organization-
Multydrug Therapy (WHO-MDT) adalah kombinasi rifampisin,
klofazimin dan dapson untuk penderita lepra tipe MB serta rifampisin dan
dapson untuk penderita lepra tipe PB. Rifampisin ini adalah obat antilepra
yang paling penting dan termasuk dalam perawatan kedua jenis lepra.
Pengobatan lepra dengan hanya satu obat antilepra akan selalu
menghasilkan mengembangan resistensi obat, pengobatan dengan dapson
atau obat antilepra lain yang digunakan sebagai monoterapi dianggap
tidak etis.
Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk mencegah dan
mengobati resistensi, memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat
pemutusan mata rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perlu
diperhatikan efek terapeutik obat, efek samping obat, ketersediaan obat,
harga obat, dan kemungkinan penerapannya. Prosedur pemberian MDT
adalah sebagai berikut:
a. MDT untuk lepra tipe MB
Pada dewasa diberikan selama 12 bulan yaitu rifampisin 600 mg setiap
bulan, klofamizin 300 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, dan dapsone
100 mg setiap hari. Sedangkan pada anak-anak, diberikan selama 12 bulan

8
dengan kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan, klofamizin 150 mg
setiap bulan dan 50 mg setiap hari, serta dapsone 50 mg setiap hari. 19
b. MDT untuk lepra tipe PB
Pada dewasa diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin
600 mg setiap bulan dan dapsone 100 mg setiap bulan. Pada anak-anak
diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 450 mg setiap
bulan dan dapsone 50 mg setiap bulan.
Sedangkan pada anak-anak dengan usia dibawah 10 tahun, diberikan
kombinasi rifampisin 10 mg/kg berat badan setiap bulan, klofamizin 1
mg/kg berat badan diberikan pada pergantian hari, tergantung dosis, dan
dapsone 2 mg/kg berat badan setiap hari.
Untuk pengobatan timbulnya reaksi lepra adalah sebagai berikut:
c. Pengobatan reaksi reversal (tipe 1)
Pengobatan tambahan diberikan apabila disertai neuritis akut, obat
pilihan pertama adalahkorikosteroid. Biasanya diberikan prednison 40
mg/hari kemudian diturunkan perlahan. Pengobatan harus secepatnya dan
dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf
secara menndadak. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus
diistirahatkan. Apabila diperlukan dapat diberikan analgetik dan sedativa.
d. Pengobatan reaksi ENL (tipe 2)
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara lain
prednison dengan dosis yang disesuaikan berat ringannya reaksi, biasanya
diberikan dengan dosis 15-30 mg/hari. Dosis diturunkan secara bertahap
sampai berhenti sama sekali sesuai perbaikan reaksi. Apabila diperlukan
dapat ditambahkan analgetik-antipiretik dan sedativa. Ada kemungkinan
timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid, ENL akan timbul apabila
obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu sehingga
penderita harus mendapatkan kortikosteroid secara terus-menerus.
Penderita lepra dengan diagnosis terlambat dan tidak mendapat MDT
mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita
dengan reaksi lepra terutama reaksi reversal lesi kulit multipel dan dengan

9
saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki risiko tersebut. Kerusakan
saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan
berkurangnya kekuatan otot. Keluhan yang timbul berupa nyeri saraf atau
luka yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang
kehilangan sensibilitasnya, serta adanya kesulitan melakukan aktivitas
sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang benda kecil atau
kesulitan berjalan.
Pencegahan kecacatan yang terbaik atau prevention of disability (POD)
adalah dengan melaksanakan diagnosis dini lepra, pemberian pengobatan
MDT yang cepat dan tepat, mengenali gejala dan tanda reaksi lepra yang
disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid
secepatnya. Memberikan edukasi pada pasien tentang perawatan misalnya
memakai kacamata, merawat kulit supaya tidak kering dan lainnya apabila
terdapat gangguan sensibilitas.
2) Penatalaksanaan non medis
Terapi
Sesuai standar WHO, dengan prinsip MDT ( Multi Drug Treatment).
Terapi ini perlu ditunjanng dengan terapi okupasi, rehabilitasi mental,
rehabilitasi karya, rehabilitasi sosial, penganan lintas sektoral yang
terpadu, dan partisipasi masyarakat
Upaya pencegahan cacat berupa diagnosis dini, pengobatan secara
teratur dan adekuat, serta penatalaksanaan reaksi
Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka, fisioterapi, bedah
rekontruksi atau septik bila perlu, perawatan mata, tangan, dan/atau
kaki yang mati rasa atau mengalami kelumpuhan otot
Daerah yang mati rasa merupakan tempat risiko terjadi nyaluka,
sehingga harus dilindungi ( dengan kacamata, sarung tangan, sepatu
dan sebagainya)
Melakukan perawatan kulit ( merendam, menggosok, melumasi) dan
melatih sendi bila mulai kaku

10
Mengoleskan minyak zaitun karena berperan dalam menjaga,
meningkatkan elastisitas dan kelebaban kuli, melindungi kulit dari
kerusakan radiasi sinar UV, serta mempercepat proses penyembuhan
luka.
Melakukan senam kusta yang bertujuan untuk membantu latihan olah
gerak badan yang terganggu, dapat membantu mendeteksi kemunduran
saraf.
Mencegah timbulnya cidera dengan cara selalu memakai alas kaki saat
berdiri, dan berjalan
Menghindari berjalan terlalu lama, menghindari berpergian terlalu jauh
dengan berjalan kaki
Berhati-hati saatduduk bersila atau saat bersembahyang, karena mata
kaki dapat melepuh
Berhati-hati terhadap api, air panas, serta benda-benda panas dan tajam

H. Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien Morbus
Hansen baik akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis
sewaktu terjadi reaksi Morbus Hansen.

11
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas klien
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan,
anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan,
alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi, dan tingkat kebersihan
lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar
penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan
keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, kadang-kadang
gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya
Komplikasi pada organ tubuh dan gangguan perabaan ( mati rasa
pada daerah yang lesi).
2) Riwayat kesehatan masa lalu
Biasanya klien pernah menderita penyakit atau masalah dengan
kulit misalnya: penyakit panu.kurab. dan perawatan kulit yang
tidak terjaga atau dengan kata lain personal higine klien yang
kurang baik.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta (Mycrobacterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota
keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen lebih beresiko
tertular karna kontak yang langsung dan lama.
4) Riwayat Psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian
besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan
penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik

12
diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri
karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita
5) Riwayat Sosial Ekonomi
Biasanya klien yang menderita penyakit ini kebanyakan dari
golonganmenengah kebawah terutam apada daerah yang
lingkungannya kumuh dan sanitasi yang kurang baik
6) Pola hidup
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada
tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami
ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena
kondisinya yang tidak memungkinkan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem integumen
Adanya lesi (kelainan) kulit yang mati rasa: Kelainan kulit/lesi yang
dapat berbentuk bercak keputihan (hypopigmentasi) atau kemerahan
(erithematous) yang mati rasa (anaesthesia).
b. Sistem saraf
1) Gangguan fungsi sensoris: mati rasa. Pemeriksaan dengan
menggunakan tes sensoris atau pemeriksaan sensibilitas pada lesi
kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba), jarum pentul yang
tajam dan tumpul (rasa nyeri), air panas dan dingin dalam tabung
reaksi (rasa suhu).
2) Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau
kelumpuhan (paralise). Pemeriksaan dengan menggerakan
ekstremitas (misalnya: minta pasien menggerakkan salah satu jari
tangannya, sedangkan yang lain tidak)
3) Gangguan fungsi otonom: kulit kering. Adanya gangguan
berkeringat di makula anestesi. , kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras
dan akhirnya dapat pecah-pecah. Pemeriksaan dengan tes
anhidrosi yakni tes pilokarpin.

13
4) Pemeriksaan saraf tepi
Adanya pembengkakan pada nervus ulnaris, N medianus, N
radialis, N aulikularis magnus, N peroneus lateralis, N tibialis
posterior, dan N fasialis.
c. Sistem musculoskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
d. Sistem penglihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan
kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan
lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II
reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan
mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak
pada alis mata maka alis mata akan rontok
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan bakteriologik
Tujuan pemeriksaan ini adalah membantu menegakkan diagnosis;
membantu menemukan klasifikasi; menilai hasil pengobatan;
mencurigai resistensi terhadap obat.Pada pemeriksaan ini yang penting
adalan indeks bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM). IB adalah angka
yang menunjukkan banyaknya kuman yang hidup.Nilai (-) berarti tidak
ditemukan BTA pada 100 lapangan penglihatan (LP).Pada kusta tipe
TT, asupan kulit menunjukkan hasil negatif. Asupan kulit hanya akan
menunjukkan hasil positif, apabila pada setiap gram kulit terdapat
minimal 10.000 basil.
IM adalah angka yang menunjukkan persentasi basil kusta utuh
(solid) dalam semua basil yang dihitung. Kegunaannya yaitu manilai
kemajuan pengobatan/efektif obat kusta; serta membantu menentukan
kemungkinan resistensi obat.

14
b. Pemeriksaan histopatologik
Pemeriksaan ini dengan sediaan biopsi kulit yang kemudian
dilakukan fiksasi bufer rormalin15% dan selanjutnya dilakukan
pewarnaan untuk imunohistokimia berupa: S-100 proten, PGL-1,
dan LAM-B (lipoarabinimannan).
c. Pemeriksaan imunologik
Pemeriksaan ini terdiri atas:
- Pemeriksaan lepromin : merupakan salah satu alat penunjang
diagnosis penyakit kusta yang menunjukkan seberapa besar
kemampuan individu bereaksi secara seluler terhadap kuman M
leprae yang masuk ke tubuh.
Caranya dengan menyuntikkan 0,1 ml lepromin secara interdermal
dilengan bawah, kira-kira 2-3 cm distal dari fossa kubiti dengan
alat suntik tuberkulit sehingga terbentuk benjolan iskemik dengan
diameter kurang lebih 8 mm. Reaksi kulit terhadap lepromin ada 2
macam, yaitu reaksi dini (reaksi Fernandez) dan reaksi lambat
(reaksi Mitsuda).
- Pemeriksaan Histamin :larutan 0,001 % histamin asam fsfat
diteteskan pada lesi yang dicurigai dan pada kulit normal sebagai
kontrol. Kemudian kulit ditusuk dengan jarum melalui tetesan
tersebut. Cara lain adalah injeksi interdermal 0,1 cc lautan 1:1000
histamin fosfat. Pada kulit normal akan timbul bintul merah dalam
waktu 1-2 menit. Pembacaan dilakukan setelah 10 menit. Pada
kusta indeterminate dan borderlinea timbul lambat sedangkan pada
tipe tuberkuloidjustru tidak ada.
1) Tes pengeluaran keringat

Tes ini merupakan cara lain untuk mengetahui integritas dari


saraf kulit, selain tes histamin. Proses berkeringat bergantung pada
integritas serabut saraf parasimpatik. Jika suatu makula
Hipopigmentasi disebabkan oleh kusta, maka respon dari kelenjar

15
keringat terhadap obat-obat kolinergikakan berkurang. Cara yang
paling praktis untuk mengetahui faal keringat adalah dengan
menyuruh penderita melakukan olah raga di bawah sinar matahari,
lalu dilihat apakah pada daerah yang dicurigai mengeluarkan
kerigat atau tidak

2) Tes pilokarpin

Tes pilokarpin dapat dilakukan dengan cara berikut. Diambil 0,1


cc larutan 0,06% pilokaprin nitrat, disuntikan intradermal pada
makula yang dicurigai dan kulit sehat sebagai kontrol. Kemudian
kulit diolesi dengan tinctura jodine, lalu diatasnya ditaburi dengan
tepung amilum. Jika faal keringat baik maka akan terjadi
perubahan warna amilum menjadi biru, sedangkan bila anhidrosis
seperti kusta, warna amilum tetap yang berarti ada kerusakan saraf.
Selain tinctura jodine dan amilum dapat pula dipakai bahan lain
yaitu quanizarin dengan interpretasi sama diatas.

3) Tes serologi

Salah satunya adalah polymerace chain reaction (PCR) merupakan


metode baru untuk mendeteksi adanya organisme yang cepat dan
tepat yaitu dengan amplifikasi DNA yang spesifik sampai tingkt
yang dapat dideteksi. Metode ini dapat mendeteksi M.leprae dengan
amplifikasi skuens 531 bp dari progennya dan terbukti sangat
bermanfaat untuk mendeteksi sejumlah kecil basil kusta dari biopsi
kulit penderita kusta, untuk melihat adanya kolonisasi adanya
M.leprae pada mukosa/apusan hidung penderita kusta maupun
orang sehat. (Dali Alimuddin, 2013)

16
B. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan Integritas kulit
2. Resiko Infeksi
3. Resiko cedera
4. Gangguan Citra Tubuh
5. Hambatan Mobilitas fisik
6. Hipertermi

17
C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional

1 Kerusakan integritas NOC NIC


kulit (00046) 1. Penyembuhan luka Perawatan luka Perawatan luka
Domain 11 : Keamanan primer Pengkajian Pengkajian
dan perlindungan 2. Integritas jaringan: 1. Periksa kulit untuk 1. untuk menilai keperahan
Kelas 2 : cedra Fisik kulit dan membrane mengetahui adanya iritasi, dari kerusakan kulit dan
Definisi : kerusakan pada mukosa retak, lesi, katimulmul, memaksimalkan tindakan
epidermis dan dermis 3. Perawatan diri : kapalan, kecatatan atau yang akan dilakukan
Batasan Karakteristik : kebersihan edema
1. Benda asing menusuk Setelah dilakukan tindakan 2. Monitor karakteristik luka 2. untuk mengetahui jenis
permukaan kulit keperawatan selama….x termasuk drainase, warna, kusta apa yang di derita
2. Kerusakan integritas 24jam, dengan ukuran dan bau klien
kulit Kriteria hasil : 3. Bandingkan dan catat 3. Untuk menilai
1. Memperkirakan kondisi setiap perubahan luka keberhasilan perawatan
Faktor yang Berhubungan : kulit baik luka yang telah di lakukan
a. Eksternal 2. Eritema dikulit sekitarnya
1. Agens farmaseutikal berkurang Mandiri Mandiri:
2. Cedera kimiawi kulit 3. Sensasi tidak terganggu 4. Bersikan dengan normal 4. Untuk mencegah
misalnya, luka bakar, 4. Pigmentasi abnormal meggunakan saline atau terjadinya iritasi pada area
kapsaisin, metilen ringan pembersih yang tidak luka
klorida, agen 5. Lesi pada membrane kulit beracun dengan tepat
mustard. tidak ad 5. Posisikan untuk 5. Untuk menghindari
3. Factor mekanik 6. Pengelupasan kulit ringan menghindari menempatkan tekanan yang berlebihan
misalnya, daya gesek, 7. Mempertahankan ketegangan pada luka pada luka

18
tekanan, imobilitas kebersihan tubuh tidak 6. Riposisi pasien setidaknya 6. Untuk menghindari luka
fisik. terganggu setiap 2 jam decubitus akibat tekanan
4. Hipertermi terlalu lama
5. Hipotermi 7. Bersikan dengan sabun anti 7. Untuk membasmi
6. Kelembapan bakteri dengan tepat micobakterium lepra
7. Lembab dengan efektif
8. Terapi radiasi 8. Pakaikan pasien baju 8. Untuk mencegah gesekan
9. Usia eksterm longgar pakian dengan area luka
b. Internal
1. Gangguan 9. periksa kulit setiap hari 9. Untuk menghindari
metabolisme bagi pasien yang beresiko terjadinya kerusakan yang
2. Gangguan pigmentasi mengalami kerusakan kulit. lebih parah
3. Gangguan sensasi 10. Anjurkan pasien akan 10. Untuk memeriksa dan
(akibat cedera pentingnya pemeriksaan mengontrol lebih dini
medulla spinalis, kaki terutama ketika kerusakan saraf akibat
diabetes melitus dll. sensasi mulai terasa kusta
4. Gangguan sirkulasi berkurang
5. Gangguan turgor kulit 11. Berikan minyak zaitun 11. Minyak zaitun
6. Gangguan volume untuk kulit klien mengandung vitamin E
cairan karena berperan dalam
7. Imunodefisiensi menjaga, meningkatkan
8. Nutrisi tidak adekuat elastisitas dan kelebaban
9. Perubahan hormonal kuli, melindungi kulit dari
kerusakan radiasi sinar
UV, serta mempercepat
proses penyembuhan luka.

19
Health Education Health Education
12. Anjurkan pasien atau 12. Untuk mengatasi luka
anggota keluarga untuk yang dialami klien
melakukan prosedur
perawatan luka
13. Anjurkan pasien dan 13. Agar keluarga dan pasient
keluarga untuk mengenal dapat mengenali kusta
tanda dan gejala infeksi secara dini
14. Ajarkan pasien untuk tidak 14. Untuk mencegah
menggunakan alat kasur terjadinya iritasi akibat
bertekstur kasar gesekan
Kolaborasi Kolaborasi
15. Oleskan salep sesuai 15. Salep berfungsi untuk
dengan yang sudah penyembuhan luka dari
dianjurkan oleh dokter luar atau secara tropical
16. berikan antibiotic topical 16. Untuk membunuh bakteri
untuk daerah yang terkena yang ada di permikaan
luka kulit
17. kolaborasikan dengan 17. Untuk membunuh bakteri
dokter pemberian antibiotic penyebab kusta yaitu
yang tepat seperti mikrobakterium lepra
pemberian MDT (multi
drugs terapy)
2 Resiko infeksi (00004) NOC NIC
Domain : 11 keamanan/ 1. Keparahan infeksi Observasi: Obervasi:
perlindungan 2. Kontrol resiko 1. monitor adanya tanda dan 1. Untuk mengetahui
Kelas : 1 infeksi gejala infeksi sistemik dan tindakan yang bisa
Definisi : Rentan Setelah dilakukan tindakan local digunakan sebagai

20
mengalami invasi dan keperawatan selama….x penangan infeksi secara
multiplikasi organisme 24jam ……, dengan efekti karena infeksi
patogenik yang dapat Kriteria hasil : sistemik dan local
mengganggu kesehatan 1. kemerahan tidak ada berbeda.
2. vesikel yang tidak 2. monitor hitung mutlak 2. Setiap hasil laboratorium
Faktor resiko: mengeras permukaannya granulasit, WBC dan hasil– akan menentukan
1. Kurang pengetahuan tidak ada hasil diferensial diagnose, prognosis, atau
untuk menghindari 3. jaringan lunak tidak ada terapi
pemajanan pathogen 4. mengidentifikasi factor 3. monitor faktor-faktor 3. Biasanya lingkungan yang
2. gangguan integritas resiko secara konsisten lingkungan yang kotor, berdebu memiliki
kulit 5. mengembangkan strategi mempengaruhi penyebaran resiko tinggi menyebarkan
yang efektif dalam penyakit menular. penyakit dengan cepat.
mengontrol resiko 4. Amati warna, kehangatan, 4. Mengetahui apakah
6. mengenali status bengkak, pulsasi, teksur, infeksi yang terjadi
kesehatan secara edema, dan ulserasi pada apakah sudah semakin
konsisten ekstremias parah atau tidak
5. Monitor warna dan suhu 5. Melihat apakah terjadi
kulit peradangan pada kulit
yang luka.
6. Monitor kulit adanya 6. Untuk mencegah kulit
kekeringan yang berlebihan menjadi retak-retak dan
dan kelembapan terjadi infeksi sekunder.

Mandiri: Mandiri:
1. cuci tangan sebelum dan 1. Untuk mencegah
sesudah kegiatan perawatan terjadinya infeksi yang
pasien dibawa dari pasien yang
ditangani sebelumnya

21
2. pakai sarung tangan steril 2. Menghindari terjainya
dengan tepat kontak langsung pada
objek yang dapat
menyebabkan infeksi
3. pastikan tehnik perawatan 3. agar luka yang terdapat
luka yang tepat pada penderita dapat cepat
sembuh dan mengurangi
resiko infeksi
4. ikuti tindakan pencegahan 4. agar bakteri yang
neurotropenia yang sesuai menyebabkan kusta bisa
difagosit karena tingginya
SIS mempengaruhi proses
fagositt
5. batasi jumlah pengunjung 5. Untuk meminimalkan
yang sesuai infeksi yang akan terjadi
6. periksa kulit dan selaput 6. Untuk menentukan apakah
lendir untuk adanya infeksi yang terjadi parah
kemerahan, kehangatan
ekstrim, atau drainase
7. Berikan kamar terpisah, 7. Untuk mencegah
seperi diindikasikan terjadinya penularan pada
orang lain yang tidak
menderita kusta.
8. Sediakan tempat tidur dan 8. Agar kenyamanan dan
lingkungan yang bersih dan kebersihan tubuh dapat
nyaman terjaga
9. Fasilitasi penggunaan 9. Untuk mencegah penyakit
barang-barang pribadi tertular pada orang lain.

22
seperti piyama, jubbah, dan Untuk itu setiap barang
fasilitas mandi pribadi penderita harus
tersedia dan digunakan
sendiri
HE: HE:
1. Anjurkan pasien untuk 1. Antibiotic dapat
meminum antibiotik sesuai menghilangkn bakteri
yang diresepkan penyebab terjadinya
infeksi yang terjadi
2. Ajarkan pasien dan 2. Dengan cara melakukan
keluarga untuk perawatan kulit agar
menghindari infeksi selalu bersih sehingga
bakteri ataupun virus yang
terpapar dengan kulit tidak
langsung menuju luka.
3. Ajarkan pasien dan 3. Agar keluarga maupun
keluarga mengenai tanda pasien dapat mengatasi
dan gejala infeksi terjadinya infeksi secara
mandiri
4. Jelaskan patofisiologi 4. Agar pasien dan keluarga
penyakit dan bagaimana mengetahui kondisi
hubungannya dengan penyakit dan
anatomi dan fisiologi, kemungkinan banana yang
sesuai kebutuhan terjadi
5. Jelaskan komplikasi kronik 5. Agar klien dapat
yang mungkin ada, sesuai menangani penyakitnya
kebutuhan mulai dari dini. Dan
apabila terjadi komplikasi

23
klien tidak mengalami
masalah kejiwaan.
6. Ajarkan pasien mengenai 6. Agar gejalah yang muncul
tindakan untuk mengontrol/ tidak semakin parah dan
meminimalkan gejala, dapat memperparah
sesuai kebutuhan. kondisi klien.
Kolaborasi: Kolaborasi:
1. Oleskan obat topical 1. Obat topical diminum
(sitostatik antibiotic dan sesuai dengan resep dokter
analgetik) seperti yang untuk melawan bakteri
diinginkan

3 Resiko cedera (00035) NOC NIC


Domain 11: keamanan/ 1. Deteksi resiko Observasi Observasi
perlidungan 2. Fungsi sensori 1. Identifikasi hal-hal yang 1. Untuk mencegah
Kelas : 2 cedera fisik 3. Status perawatan membahayakan terjadinya luka yang tidak
Definisi : rentan diri dilingkungan (mis; bahaya diketahui yang dapat
mengalami cedera fisik 4. Keparahan cedera fisik, kimiawi dan biologi) memperburuk kondisi
akibat kondisi lingkungan fisik klien. Luka yang terjadi
yang berinteraksi dengan Setelah dilakukan tindakan bisa karena terbakar,
sumber adaptif dan sumber keperawatan selama….x terkena benda tajam yang
defensive individu yang 24jam ……, dengan tidak disadari klien karena
dapat mengganggu Kriteria hasil : mati rasa
kesehatan. 2. Monitor bentuk otot, 2. Untuk melihat apakah
Faktor resiko : 1. Mengenali tanda dan gerakan motoric, gaya terjadi gangguan saat klien
Eksternal gejala yang berjalan dan proprioception berjalan karena terjadi
1. Agens nasokomial mengindikasikan kekakuan sendi.

24
2. Gangguan fungsi risiko secara 3. Monitor gangguan visual: 3. Penyakit kusta dapat
kognitif konsisten diplopia, nistagmus menyeebabkan kelainan
3. Hambatan fisik 2. Persepsi stimulasi penyempitan lapang pada mata.
misalnya: desain, kulit tidak terganggu pandang, penglihatan kabur
struktur pengaturan 3. Mempertahankan , dan ketajaman visual
4. Hambatan sumber kebersihan diri 4. Monitor perbedaan 4. Untuk menilai seberapa
nutrisi. Misalnya: 4. Gangguan imobilitas terhadap tajam/tumpul atau besar mati rasa yang
vitamin dan tipe ringan panas/dingin terjadi pada klien yang
makanan. menderita lepra.
Internal 5. Monitor parathesia: mati 5. Bisa diperiksa
1. Disfungsi imun rasa dan kesemutan menggunakan jarum,
2. Disfungsi integrase kapas, air dingin dan air
sensori panas.
3. Gangguan mekanisme Mandiri: Mandiri:
pertahanan primer. 1. Singkirkan bahan 1. Bahan berbahaya yang
Misalnya: kulit robek. berbahaya dari lingkungan harus disingkirkan yaitu
4. Gangguan orientasi jika diperlukan benda-benda tajam yang
efektif dapat menyebabkan luka
5. Gangguan sensasi pada klien.
6. Hipoksia jaringan 2. Modifikasi lingkungan 2. Atur ruangan khusus
7. Profil darah yang untuk meminimalkan pasien dengan aman dan
abnormal banyak berbahaya dan nyaman. Area klien
beresiko penderita kusta harus jauh
dari benda-benda yang
menyebabkan luka pada
klien.
3. Gunakan peralatan 3. Untuk mencegah pasien
perlindungan (mis; jatuh ketika fungsi

25
pegangan pada sisi, kunci motoriknya berkurang.
pintu pagar dan gerbang) Dan membantu klien
untuk membatasi mobilitas berpindah tepat tanpa
fisik atau akses pada situasi harus membahayakan fisik
yang membahayakan klien seperti tergesek pada
benda kasar.
4. Sediakan lingkungan yang 4. Lingkungan yang tidak
tidak mengancam ada benda kasar, tajam
dan bersih.
HE HE:
1. Ajarkan individu dan 1. Agar klien dan keluarga
kelompok yang beresiko dapat mengantisipasi atau
tinggi terhadap bahan meminimalkan bahaya
berbahaya yang ada yang mungkin terjadi
dilingkungan 2. Untuk mencegah
2. Sarankan menggunakan terjadinya cedera akibat
alas kaki yang aman terinjaknya benda, karena
klien kusta mengalami
mati rasa yang
menyebabkan klien tidak
dapat merasakan benda
yang di injaknya

Kolaborasi Kolaborasi:
1. Kolaborasikan dengan 1. Dengan cara memfasilitasi
lembaga lain untuk bagi penderita kusta
meningkatkan keselamatan lingkungan yang nyaman

26
lingkungan (mis; dinas dan tidak berbahaya agar
kesehatan) klien betah walaupun
terisolasi
4 Gangguan Citra tubuh NOC Observasi: Observasi:
(00118) 1. Citra tubuh 1. kaji secara verbal dan non 1. Melihat apakah klien
Domain 6: persepsi diri 2. Kesadaran diri verbal respon klien merasa sedih ataupun
Kelas 3: citra Tubuh 3. Harga diri terhadap tubuhnya membenci tubuhnya
Definisi: Setelah dilakukan tindakan 2. Monitor kemampuan 2. Untuk melihat apakah
Konfusi dalam gambaran keperawatan selama….x perawatan diri secara klien dapat melakukan
mental tentang diri-fisik 24jam ……, dengan mandiri aktivitas normal tanpa
individu. Kriteria hasil : harus dibantu oleh orang
Batasan Karakterisik: 1. Gambaran internal lain
1. Berfokus pada fungsi diri sering positif 3. Identifikasi sumber daya 3. Untuk menunjang proses
masa lalu 2. Sikap terhadap yang tersedia terkait perawatan yang diberikan
2. Berfokus pada kekuatan penggunaan strategi dengan dukungan pemberi kepada klien
sebelumnya untuk meningkatkan perawatan
3. Berfokus pada fungsi tubuh secara Mandiri:
penampilan masa lalu konsisten 4. Menentukan harapan citra 4. Untuk memberikan
4. Gangguan fungsi tubuh 3. Mengenali pola diri pasien didasarkan pada semangat dan harapan
5. Gangguan pandangan kebiasaan pribadi tahap perkembangan kepada klien akan
tentang tubuh seseorang 4. Menerima perasaan kesembuhan penyakitnya
misalnya : penampilan, sendiri 5. Bantu pasien untuk 5. Untuk mengurangi beban
struktur, dan fungsi) 5. Mempertahankan mendiskusikan perubahan- pikiran klien akan
6. Gangguan struktur penampilan dan perubahan (bagian tubuh) penyakitnya
tubuh kebersihan diri disebabkan adanya
7. Menekankan pada 6. Tingkat kepercayaan penyakit atau pembedahan,
kekuatan yang tersisa diri sering positif dengan cara yang tepat
8. Persepsi yang 6. Menentukan persepsi 6. Untuk melihat apakah

27
merefleksikan pasien dan keluarga terkait keluarga dan klien
perubahan pandangan dengan perubahan citra diri menerima kondisi yang
tentang penampilan dan realitas. terjadi pada klien, apakah
tubuh seseorang kondisi klien berpengaruh
9. Menghindari melihat pada kejiwaan klien dan
ubuh seseorang keluarga
10. Menghindari 7. Berikan peralatan 7. Untuk menunjang
menyentuh tubuh kebersihan pribadi perawatan diri klien.
11. Menolak menerima (misalnya, deodorant, sikat Karena peralatan yang
perubahan gigi dan sabun mandi digunakan klien harus
12. Menyembunyikan digunakan secara pribadi.
bagian tubuh 8. Lakukan pengulangan yang 8. Untuk mengefektifkan
13. Perasaan negative konsisten terhadap rutinitas perawatan yang telah
tentang ubuh kesehatan yang dilakukan untuk
14. Perilaku memantau dimaksudkan untuk mempercepat proses
tubuh membangun (perawatan penyembuhan.
15. Perilaku mengenali diri)
tubuh 9. Ciptakan reunites aktivitas 9. Agar klien lebih berfokus
16. Perubahan gaya hidup perawatan diri pada perawatan diri klien.
17. Perubahan lingkungan
sosial
18. Perubahan pada
kemampuan
memperkirakan
hubungan spasial tubuh
dengan lingkungan
19. Preokupasi pada
kehilangan

28
20. Preokupasi pada
perubahan
21. Respon non verbal pada
perubahan tubuh
misalnya: penampilan,
struktur, fungsi.
22. Respon non verbal pada
perubahan yang
dirasakan pada tubuh
mis: penampilan,
struktur dan fungsi
23. Takut pada reaksi orang
lain
24. Terlalu terbuka tentang
bagian tubuh
25. Trauma terhadap
bagian tubuh yang idak
berfungsi

Resiko Yang
Berhubungan:
1. Penyakit
2. Perubahan Fungsi
kognitif
3. Perubahan fungsi tubuh
4. Perubahan persepsi diri

29
5 Hambatan Mobitas Fisik NOC NIC
(00085) 1. Adaptasi terhadap Observasi: Observasi:
Domain 4: aktivitas / disabilitas fisik 1. Identifikasi kekurangan 1. Untuk memantau terapi
istirahat 2. Pergerakan baik kognitif atau fisik dari yang harus dilakukan untuk
Kelas 2: aktivitas / 3. Penampilan pasien yang mungkin mengatasi kekurangan fisik
olahraga mekanik tubuh meningkatkan potensi jatuh klien
Definisi : keterbatasan Tujuhan : Setelah dilakukan pada lingkungan tertentu
dalam gerakan fisik atau tindakan keperawatan 2. Identifikasi perilaku dan 1. Untuk mencegah
satu atau lebih estremitas selama….x 24jam ……, faktor yang mempengaruhi kegiatan yang bisa
secara mandiri dan terarah. dengan risiko jatuh menyebabkan jatuh
Batasan karateristtik: Kriteria hasil : 3. Monitor kemampuan untuk 2. Untuk menilai apakah
1. Gangguan sikap 1. Sering beradaptasi berpindah dari tempat tidur klien membutuhkan
berjalan terhadap keterbatasan ke kursi dan sebaliknya alat bantu untuk
2. Gerakan lambat secara fungsional berpindah
3. Kesulitan 2. Menerima kebutuhan 4. Monitor kekuatan 3. Untuk mencegah
membola-balikan akan bantuan fisik pegangan resiko klien terjatuh
posisi 3. Menggunakan akibat hambatan
4. Keterbatasan strategi untuk mobilitas fisik
rentang gerak mengurangi stress 5. Monitor pharahesia: mati 4. Untuk menilai
5. Ketidaknyamanan yang berhubungan rasa dan kesemutan kemampuan mobilitas
6. Melakukan dengan disabilitas yang dapat dilakukan
aktivitas lain 4. Bergerak dengan klien guna perawatan
sebagai penggantti mudah Mandiri: Mandiri
pergerakan 5. Sering 1. Bantu ambulasi individu 1. Untuk memaksimalkan
misalnya mempertahankan yang memiliki mobilisasi pasien pada proses
meningkatkan kekuatan otot ketidakseimbangan perawatan
perhatian pada 2. Sediakan alat bantu( 2. Tongkat atau kursi
aktivitas orang lain, misalnya tongkat dan roda dapat membantu

30
mengendalikan wolker) untuk aktivitas klien dalam
perilaku, focus pada menyeimbangkan gaya proses penyembuhan
aktivitas sebelum berjalan klien kusta
sakit) 3. Letakkan benda-benda 3. Untuk mempermudah
7. Penurunan dalam jakauan yang mudah klien dalam
kemampuan bagi pasien mengambil sesuatu
melakukan yang diperlukan klien
keterampilan 4. Instruksikan keluarga 4. Karena klien kusta
motoric halus akan kepentingannya mengalami kelemahan
8. Penurunan pegangan tangan untuk otot maka diperlukan
kemampuan tangga, kamar mandi pegangan untuk
melakukan dan jalur untuk berjalan membantu mobilitas
keterampilan 5. Lakukan program klien
motoric kasar latihan fisik yang 5. Untuk merefleksi otot
9. Penurunan waktu meliputi berjalan otot klien
reaksi akibatgangguan saraf
Faktor yang 6. Bantu pasien mendapatkan 6. Untuk
berhubungan: posisi tubuh yang optimal memaksimalkan terapi
1. Fisik tidak bugar untuk pergerakan sendi yang dilakukan klien
2. Gangguan pasif maupun aktif
neuromuscular 7. Lakukan senam kusta 7. Senam kusta dapat
3. Gangguan meningkatkan
musculoskeletal kekuatan otot
4. Gangguan sensori
persetual
5. Gaya hidup kurang
sehat
6. Intoleran aktivitas

31
7. Kaku sendi
8. Keengganan
memulai
pergerakan
9. Kurang dukungan
lingkungan
misalnya fisik atau
sosial
10. Nyeri
11. Penurunan
kekuatan otot
12. Pengurangan
kendali otot
13. Penurunan
ketahanan tubuh
14. Penurunan masa
otot
15. Program
pembatasan gerak.

32
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Morbus Hansen adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman
kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan
tubuh lainnya. Dan bisa menyebabkan kecacatan. Dengan adanya pengetahuan
tentang penyakit ini kita diharapkan bisa melakukan pencegahan sebelum
benar benar terjadi.
B. Saran
Semoga Makalah ni dapat berguna bagi penyusun dan pembaca. Kritik dan
saran sangat diharapkan untuk pengerjaan berikutnya yang lebih baik

33
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2015).


Nursing Interventions Clasification (NIC). Indonesia: ELSEIVIER.
Djuanda, A. (2007). ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Fajriyah, N. N., Andriani, A., & Fatmawati. (Maret 2015). Efektivitas Minyak
Zaitun untuk Pencegahan Kerusakan Kulit pada Pasien Vol VII, No 1.
Jurnal Ilmiah Kesehatan (JIK).
Herdman, T., & Kamitsuru, S. (2015-1017). DIAGNOSA KEPERAWATAN.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2015). Nursing
Outcomes Classification (NOC). Indonesia: ELSEVIER.
Mufdilah, E. (Maret 2013). EFEKTIFITAS SENAM KUSTA TERHADAP
KEKUATAN OTOT TANGAN DAN KAKI PENDERITA KUSTA DI
UPTD KESEHATAN PUSKESMAS GRATI PASURUAN Vol 5. No. 1.
MEDICA MAJAPAHIT, 39-49.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis Dan NANDA (North American Nursing Diagnosis
Association). Yogyakarta: MediAction.
Nurkasanah, S., Wahyuni, C. U., & Wibowo, A. (September2013). FAKTOR
YANG BERPENGARUH TERHADAP KENAIKAN TITER. Jurnal
Berkala Epidemiologi, 213–223.

34

Anda mungkin juga menyukai