Hukum Merupakan Bagian Yang Tidak Dapat Dipisahkan Dari Masyarakat
Hukum Merupakan Bagian Yang Tidak Dapat Dipisahkan Dari Masyarakat
Hukum Merupakan Bagian Yang Tidak Dapat Dipisahkan Dari Masyarakat
Rasjidi, Lili, Prof. DR. SH, S.Sos, LLM dan Rasjidi Thania, SH, MH,2004, Dasar-dasar
Filsafat Dan Teori Hukum, Bandung, Penerbit PT. CitraAditya Bakti,
Hukum merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Keberadaan hukum
di dalam masyarakat bagaikan udara bagi kehidupan manusia. Adagium yang menyatakan
bahwa di mana ada masyarakat di situ ada hukum1 belum bisa terbantahkan hingga saat ini.
Pertentangan antara kepentingan manusia dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat
sehingga dibuat suatu petunjuk hidup agar perdamaian dalam masyarakat tetap ada. Petunjuk
hidup, yang biasanya disebut kaidah atau norma, terdapat dalam hukum itu sendiri. Hakikat
hukum ialah membawa aturan yang adil dalam masyarakat
Hukum merupakan deskripsi ilmu yang sudah sudah dewasa sangat berkembang
dewasa ini. Penelaahan hukum secara Sosiologis menunjukkan bahwa hukum merupakan
refleksi dari kehidupan masyarakat.
Hukum mempunyai peranan sangat besar dalam pergaulan hidup di tengah – tengah
masyarakat. Hal ini dapat di lihat dari ketertiban, ketentraman, dan tidak terjadinya
ketegangan di dalam masyarakat, karena hukum mengatur menentukan hak dan kewajiban
serta melindungi kepentingan individu dan kepentingan sosial.
Hukum sebagai social engineering atau social planning berarti bahwa hukum sebagai alat yang
digunakan oleh agent of change atau pelopor perubahan yang diberi kepercayaan oleh masyarakat
sebagai pemimpin untuk mengubah masyarakat seperti yang dikehendaki atau direncanakan.
Hukum sebagai tatanan perilaku yang mengatur manusia dan merupakan tatanan pemaksa, maka
agar hukum dapat berfungsi efektif mengubah perilaku dan memaksa manusia untuk melaksanakan
nilai-nilai yang ada dalam kaedah hukum, maka hukum tersebut harus disebarluaskan sehingga
dapat melembaga dalam masyarakat.
Penegakan hukum dilakukan oleh institusi yang diberi wewenang untuk itu,
seperti polisi, jaksa, dan pejabat pemerintahan. Sejak hukum itu mengandung perintah
dan pemaksaan (Coercion), maka sejak semula hukum membutuhkan bantuan untuk
mewujudkan perintah tersebut.
Hukum menjadi tidak ada artinya bila perintahnya tidak (dapat) dilaksanakan.
Diperlukan usaha dan tindakan manusia agar perintah dan paksaan yang secara potensial
ada didalam peraturan itu menjadi manifest.(Ibid.Raharjo Satjipto,192). Penegakan
hukum yang di lakukan harus ada perintah dan paksaan agar penegakan hukum tersebut
menjadi sesuai dengan kaidah, karena apabila tidak maka penegakan hukum tidak
sesuaidengan maksud dan tujuannya .
Jadi, pernasalahan penegakan hukum di Indonesia terletak pada faktor integritas
aparat penegak hukum, aturan hukum yang tidak responsif, serta tidak dilakukan
berdasarkan nilai-nilai pancasila, khususnya nilai kemanusiaan, nilai musyawarah untuk
mufakat, dan nilai keadilan dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum. Akan
tetapi kepercayaan masyarakat tidak lari dari situasi dan kondisi dimana penegakan
hukum berlangsung, dan tergantug kepercayaan di setiap daerah tertentu.
Masyarakat hukum adalah sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah tertentu
dimana di dalam kelompok tersebut berlaku suatu rangkaian peraturan yang menjadi tingkah
laku bagi setiap kelompok dalam pergaulan hidup mereka(Soeroso, 2009:298).
Peraturan-peraturan itu dibuat oleh kelompok itu sendiri dan berlaku bagi mereka sendiri.
Suatu aturan tersebut kadang-kadang diciptakan dan dikehendaki oleh para anggota
masyarakat, adakalanya disebabkan oleh kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang dan
masyarakat lainnya mengikutinya, karena mereka yakin bahwa yang dilakukannya tersebut
memang seharusnya demikian, yang dikenal dengan sebutan masyarakat adat.
Hal ini sesuai dengan pandangan Roscou Pound yang menyatakan bahwa hukum yang
baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Sesuai disini
bahwa hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat(Rasjidi,2004:66).
Penegak hukum merupakan aparatur yang menjadi panutan bagi masyarakat yang
seharusnya mampu memberikan contoh dan pengertian pada masyarakat sehingga
mampu berkomunikasi dengan baik. Namun sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa
salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah masih rendahnya
moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat ) serta judicial
corruption yang sudah terlanjur mendarah daging sehingga sampai saat ini sulit sekali
diberantas. Adanya judicial corruption jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia
karena para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek
korupsi, sehingga sulit diharapkan bisa ikut menciptakan pemerintahan yang baik atau
good governance. Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga
hukum (hakim, jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan
prinsip-prinsip good governance.
Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya
mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi,
proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas
bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam menjalankan fungsi
hukum. Kondisi riil yang terjadi saat ini di Indonesia mengindikasikan adanya
kegagalan aparat-aparat penegak hukum dalam menegakan hukum. Kegagalan
penegakan hukum secara keseluruhan dapat dilihat dari kondisi ketidakmampuan
(unability) dan ketidakmauan (unwillingness) dari aparat penegak hukum itu sendiri.
Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu
atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan
mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum
Bagi Ewick dan Silbey, “kesadaran hukum” terbentuk dalam tindakan dan
karenannya merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris. Dengan kata lain,
kesadaran hukum adalah persoalan “hukum sebagai perilaku”, dan bukan “hukum
sebagai aturan norma atau asas” (Achmad, 2009:511)