Makalah Imobilisasi

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 26

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK

PADA KLIEN DENGAN IMMOBILITAS

Dosen Pembimbing:
Rista Fauziningtyas, S.Kep., Ners., M.Kep

Disusun oleh kelompok 3 (AJ-2/B20):

1. Vima Utya Cahyani 131711123015

2. Gaharuni Sahika Mutdinia 131711123038

3. Hasanudin 131711123072

4. Maria Evarista Sugo 131711123059

5. Dwi Astutik 131711123078

Program Studi S1 Pendidikan Ners


Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
Surabaya
2017
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan penyusun kemudahan sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun
tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam kami
sanjungkan kepada nabi tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang "Asuhan
Keperawatan Komunitas Pada Kelompok Khusus Balita", yang kami sajikan
berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Eka Misbahatul M.Has.,
S.Kep., Ners., M.Kep., selaku dosen mata kuliah Keperawatan Gerontik, yang
sudah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada
pembaca. Penyusun sadar makalah yang di kaji ini memiliki kelebihan dan
kekurangan, oleh karena itu penyusun membutuhkan kritik dan saran dari
pembaca yang membangun agar makalah ini lebih baik. Terima kasih.

Surabaya, 25 Oktober 2017

Penyusun

i
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat sering kali mendefinisikan kesehatan dan kebugaran
fisik mereka berdasarkan aktivitas mereka karena kesejahteraan mental
dan efektivitas fungsi tubuh sangat bergantung pada status mobilitas
mereka. Misalnya, saat seseorang berdiri tegak, paru lebih muda untuk
mengembang, aktivitas usus (peristaltik) menjadi lebih efektif, dan ginjal
mampu mengosongkan kemih secara komplet. Selain itu, pergerakan
sangat penting agar tulang dan otot befungsi sebagaimana mestinya.
Kemampuan untuk bergerak juga mempengaruhi harga diri dan
citra tubuh. Bagi sebagian besar orang, harga diri bergantung pada rasa
kemandirian atau perasaan berguna atau merasa dibutuhkan. Orang yang
mengalami gangguan mobilitas dapat merasa tidak berdaya dan
membebani orang lain. Citra tubuh dapat terganggu akibat paralisis,
amputasi, atau kerusakan motorik lain. Reaksi orang lain terhadap
gangguan mobilitas dapat juga mengubah atau mengganggu harga diri dan
citra tubuh secara bermakna. Ambulais adalah salah satu cara untuk
mencegah terjadinya gangguan mobilitas karena dengan ambulasi dapat
memperbaiki sirkulasi, mencegah flebotrombosis (thrombosis vena
profunda/DVT), mengurangi komplikasi immobilisasi pasca operasi,
mempercepat pemulihan peristaltic usus, mempercepat pasien pasca
operasi. (kozier, 2010).
Studi-studi tentang insidensi diagnosis keperawatan yang
digunakan untuk lansia mengungkapkan bahwa hambatan mobilitas fisik
adalah diagnosis pertama atau kedua yang paling sering muncul.
Prevalensi dari masalah ini meluas di luar institusi sampai melibatkan
seluruh lansia. Keletihan dan kelemahan penyebab paling umum kedua
yang paling sering terjadi yang menjadi keluhan pada lansia. Sekitar 43%
lansia telah didefinisikan memiliki gaya hidup kurang gerak. Akhirnya
sekitar 50% penurunan fungsional pada lansia telah dihubungkan dengan

2
desease. Penyebab imobilitas bermacam-maca,. Berbagai ancaman
imobilitas fisik dapat dikategorikan berhubungan dengan lingkungan
eksternal dan internal dengan kompetensi sumber-sumber eksternal dan
internal.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi imobilitas ?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya imobilitas ?
3. Apa saja jenis-jenis imobilitas ?
4. Bagaimana etiologi terjadinya imobilitas ?
5. Bagaimana patofisiologi dari imobilitas ?
6. Apa saja manifestasi klinis dari imobilitas ?
7. Bagaimana Web Of Caution (WOC) dari imobilitas ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui konsep dasar dari imobilitas.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui apa definisi imobilitas.
b. Mengetahui apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi imobilisasi.
c. Mengetahui jenis-jenis imobilitas.
d. Mengetahui bagaimana etiologi imobilitas.
e. Mengetahui bagaimana patofisiologi.
f. Mengetahui apa saja manifestasi klinis.
g. Mengetahui WOC imobilitas.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Imobilitas

1. Definisi Imobilitas
Imobilitas atau imobilisasi merupakan keadaan di mana seseorang
tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu

3
pergerakan (aktivitas), misalnya mengalami trauma tulang belakang,
cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas, dan sebagainya.
(Hidayat, 2009)
Perubahan dalam tingkat mobilitas fisik dapat mengakibatkan
instruksi pembatasan gerak dalam bentuk tirah baring, pembatasan
gerak fisik selama penggunaan alat bantu eksternal (mis. Gips atau
traksi rangka), pembebasan gerak volunter, atau kehilangan fungsi
motorik. (Potter & Perry, 2005)

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Imobilisasi


Beberapa faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya imobilisasi
menurut Tarwoto & Wartonah, 2011 yaitu :
a. Gangguan muskuloskeletal
1) Osteoporosis
2) Atrofi
3) Kontraktur
4) Kekakuan sendi
b. Gangguan kardiovaskular
1) Hipotensi postural
2) Vasodilatasi vena
3) Peningkatan penggunaan valsava manuver
c. Gangguan sistem respirasi
1) Penurunan gerak pernapasan
2) Bertambahnya sekresi paru
3) Atelektasis
4) Pneumonia hipostasis

3. Jenis Imobilitas
a. Imobilitas fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik
dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi
pergerakan, seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak
mampu mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga
tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.
b. Imobilitas intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang
mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.
c. Imobilitas emosional, merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan

4
secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan
stress berat dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika
seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau
kehilangan sesuatu yang paling dicintai.
d. Imobilitas sosial, keadaan idividu yang mengalami hambatan
dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya
sehingga dapat memengaruhi perannya dalam kehidupan sosial.

4. Etiologi Imobilitas
Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah,
kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis.
Osteoartritis merupakan penyebab utama kekakuan pada usia lanjut.
Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan
fungsi mental seperti pada depresi juga menyebabkan imobilisasi.
Kekhawatiran keluarga yang berlebihan dapat menyebabkan orangusia
lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik di rumah maupun
dirumah sakit (Kozier, 2010).
Penyebab secara umum:
a. Gaya hidup
Gaya hidup sesorang sangat tergantung dari tingkat
pendidikannya. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan di
ikuti oleh perilaku yang dapat meningkatkan kesehatannya.
Demikian halnya dengan pengetahuan kesehatan tetang mobilitas
seseorang akan senantiasa melakukan mobilisasi dengan cara yang
sehat misalnya; seorang ABRI akan berjalan dengan gaya berbeda
dengan seorang pramugari atau seorang pemambuk.
b. Proses penyakit dan injuri
Adanya penyakit tertentu yang di derita seseorang akan
mempengaruhi mobilitasnya misalnya; seorang yang patah tulang
akan kesulitan untukobilisasi secara bebas. Demikian pula orang
yang baru menjalani operasi. Karena adanya nyeri mereka
cenderung untuk bergerak lebih lamban. Ada kalanya klien harus
istirahat di tempat tidurkarena mederita penyakit tertentu misallya;

5
CVA yang berakibat kelumpuhan, typoid dan penyakit
kardiovaskuler.
c. Kebudayaan
Kebudayaan dapat mempengarumi poa dan sikap dalam
melakukan aktifitas misalnya; seorang anak desa yang biasa jalan
kaki setiap hari akan berebda mobilitasnya dengan anak kota yang
biasa pakai mobil dalam segala keperluannya. Wanita kraton akan
berbeda mobilitasnya dibandingkan dengan seorang wanita madura
dan sebagainya.
d. Tingkat energi
Setiap orang mobilisasi jelas memerlukan tenaga atau energi,
orang yang lagi sakit akan berbeda mobilitasnya di bandingkan
dengan orang sehat apalagi dengan seorang pelari.

e. Usia dan status perkembangan


Seorang anak akan berbeda tingkat kemampuan mobilitasny
dibandingkan dengan seorang remaja. Anak yang selalu sakit
dalam masa pertumbuhannya akan berbeda pula tingkat
kelincahannya dibandingkan dengan anak yang sering sakit.
f. Faktor resiko
Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat
menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. (Kozier, 2010)

5. Patofisiologi
Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi
sistem otot, skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot
Skeletal mengatur gerakan tulang karena adanya kemampuan otot
berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagai sistem pengungkit.
Ada dua tipe kontraksi otot: isotonik dan isometrik. Pada kontraksi
isotonik, peningkatan tekanan otot menyebabkan otot memendek.
Kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja
otot tetapi tidak ada pemendekan atau gerakan aktif dari otot,
misalnya, menganjurkan klien untuk latihan kuadrisep. Gerakan
volunter adalah kombinasi dari kontraksi isotonik dan isometrik.

6
Meskipun kontraksi isometrik tidak menyebabkan otot memendek,
namun pemakaian energi meningkat. Perawat harus mengenal adanya
peningkatan energi (peningkatan kecepatan pernafasan, fluktuasi irama
jantung, tekanan darah) karena latihan isometrik.
Hal ini menjadi kontra indikasi pada klien yang sakit (infark
miokard atau penyakit obstruksi paru kronik). Postur dan Gerakan Otot
merefleksikan kepribadian dan suasana hati seseorang dan tergantung
pada ukuran skeletal dan perkembangan otot skeletal. Koordinasi dan
pengaturan dari kelompok otot tergantung dari tonus otot dan aktifitas
dari otot yang berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan gravitasi.
Tonus otot adalah suatu keadaan tegangan otot yang seimbang.
Ketegangan dapat dipertahankan dengan adanya kontraksi dan
relaksasi yang bergantian melalui kerja otot. Tonus otot
mempertahankan posisi fungsional tubuh dan mendukung kembalinya
aliran darah ke jantung. Immobilisasi menyebabkan aktifitas dan tonus
otot menjadi berkurang. Skeletal adalah rangka pendukung tubuh dan
terdiri dari empat tipe tulang: panjang, pendek, pipih, dan ireguler
(tidak beraturan). Sistem skeletal berfungsi dalam pergerakan,
melindungi organ vital, membantu mengatur keseimbangan kalsium,
berperan dalam pembentukan sel darah merah.
(Potter, 2010)
6. Manifestasi klinis
a. Perubahan metabolik
Sistem endokrin, merupakan produksi hormon-sekresi kelenjar,
membantu mempertahankan dan mengatur fungsi vital seperti :
1) respons terhadap stress dan cedera
2) pertumbuhan dan perkembangan
3) reproduksi
4) homeostasis ion
5) metabolisme energi.

Perubahan metabolisme imobilitas dapat mengakibatkan


proses anabolisme menurun dan katabolisme meningkat. Proses
imobilitas dapat juga menyebabkan penurunan eksresi urine dan
peningkatan nitrogen. Pada umumnya keadaan ini dapat dijumpai

7
pada pasien yang mengalami imobilitas pada hari kelima dan
keenam. Beberapa dampak perubahan metabolisme, diantaranya
adalah pengurangan jumlah metabolisme, atropi kelenjar dan
katabolisme protein, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit,
demineralisasi tulang, gangguan dalam mengubah zat gizi, dan
gangguan gastrointestinal.

b. Perubahan sistem respirasi


Klien yang mengalami imobilisasi berisiko tinggi pada
terjadinya komplikasi paru-paru. Komplikasi paru-paru yang paling
umum adalah atelektasis dan pneumonia hipostatik. Pada
atelektasis, bronkiolus menjadi tertutup oleh adanya sekresi dan
kolpas alveolus sistal karena udara yang diabsorbsi, sehingga
menghasilkan hipoventilasi. Bronkus utama atau beberapa
bronkiolus kecil dapat terkena. Luasnya atelektasis ditentukan oleh
bagian yang tertutup. Pneumonia hipostatik adalah peradangan
paru-paru akibat statisnya sekresi. Atelektasis dan pneumonia
hipostatik, keduanya sama-sama menurunkan oksigenasi,
memperlama penyembuhan, dan menambah ketidaknyamanan
klien
Klien pasca operasi dan imobilisasi berisiko tinggi mengalami
komplikasi paru-paru. Komplikasi paru-paru yang paling umum
adalah atelektasis dan pneumonia hipostatik. Pada atelektasis,
bronkiolus menjadi tertutup oleh adanya sekresi dan kolpas
alveolus sistal karena udara yang diabsorbsi, sehingga
menghasilkan hipoventilasi. Bronkus utama atau beberapa
bronkiolus kecil dapat terkena. Luasnya atelektasis ditentukan oleh
bagian yang tertutup. Pneumonia hipostatik adalah peradangan
paru-paru akibat statisnya sekresi. Atelektasis dan pneumonia
hipostatik, keduanya sama-sama menurunkan oksigenasi,

8
memperlama penyembuhan, dan menambah ketidaknyamanan
klien (Perry&Potter, 2005).
c. Perubahan sistem kardiovaskuler
Ada tiga perubahan utama yang dapat terjadi pada klien imobilisasi
terkait sistem kardiovaskuler, yaitu :
1) Hipotensi ortostatik, adalah penurunan tekanan darah sistolik 25
mmHg dan diastolik 10 mmHg ketika klien bangun dari posisi
berbaring atau duduk ke posisi berdiri. Pada klien imobilisasi,
terjadi penurunan sirkulasi volume cairan, pengumpulan darah
pada ekstremitas bawah, dan penurunan respons otonom.
Faktor- faktor tersebut mengakibatkan penurunan aliran balik
vena, diikuti oleh penurunan curah jantung yang terlihat pada
penurunan tekanan darah,
2) peningkatan beban kerja jantung,
3) pembentukan trombus.
d. Perubahan sistem muskuloskeletal
Pengaruh imobilisasi pada sistem muskuloskeletal meliputi
gangguan imobilisasi permanen. Keterbatasan mobilisasi
mempengaruhi otot klien melalui kehilangan daya tahan,
penurunan massa otot, atrofi, dan penurunan stabilitas. Pengaruh
lain dari keterbatasan mobilisasi yang mempengaruhi sitem
muskuloskeletal adalah gangguan metabolisme kalsium dan
gangguan mobilitas sendi.
Pengaruh Otot. Akibat pemecahan protein, klien mengalami
massa tubuh, yang membentuk sebagian otot. Oleh karena itu,
penurunan massa otot tidak mampu mempertahankan aktivitas
tanpa peningkatan kelelahan. Massa otot menurun akibat
metabolisme dan tidak digunakan. Jika imobilisasi berlanjut dan
otot tidak dilatih, maka akan terjadi penurunan massa yang
berkelanjutan.Penurunan mobilisasi dan gerakan mengakibatkan
kerusakan muskuloskeletal yang besar, yang perubahan
patofisiologi utamanya adalah atrofi. Penurunan stabilitas terjadi
akibat kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atrofi dan

9
kehilangan sendi yang aktual. Sehingga klien tersebut tidak mampu
bergerak terus-menerus dan sangat berisiko untuk jatuh.
Pengaruh Skelet. Imobilisasi menyebabkan dua perubahan
terhadap skelet, yaitu : gangguan metabolisme kalsium dan
kelainan sendi. Karena imobilisasi berakibat pada resorpsi tulang,
sehingga jaringan tulang menjadi kurang padat, dan terjadi
osteoporosis. Apabila ossteoporosis terjadi maka klien berisiko
terjadi fraktur patologis. Imobilisasi dan aktivitas yang tidak
menyangga tubuh meningkatkan kecepatan resorpsi tulang.
Resorpsi Tulang juga menyebabkan kalisium terlepas ke dalam
darah, sehingga menyebabkan terjadi hiperkalsemia.
Imobilisasi dapat mengakibatkan kontraktur sendi,
kontraktur sendi adalahkondisi abnormal dan biasa permanen yang
ditandai oleh sendi fleksidan terfikasi. Hal ini disebabkan tidak
digunakannya, atrofi, dan peendekan secara otot. Jika terjadi
kontraktur maka sendi tidak dapat mempertahankan rentang gerak
dengan penuh. Sayangnya kontraktur sering menjadikan sendi pada
posisiyang tidak berfungsi. Satu macam kontraktur umum dan
lemah yang terjadiadalah foot drop. Jika foot drop terjadi maka
kaki terfiksasi pada posisi plantarfleks secara permanen. Ambulasi
sulit pada kaki dengan posisi ini.
e. Perubahan sistem integumen
Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan
elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat
imobilisasi dan terjadinya inskemia, serta anoksia jaringan.
Jaringan yang tertekan, darah membelok, dan konstriksi kuat pada
pembuluh darah akibat tekanan persisten pada kulit dan struktur di
bawah kulit, sehingga respirasi selular terganggu, dan sel menjadi
mati.
f. Perubahan eliminasi urine
Pada keadaan imobilisasi, klien dalam posisi rekumben atau
datar, ginjal atau ureter membentuk garis datar seperti perawat
ginjal yang membentuk urine harus masuk ke dalam kandung

10
kemih melawan gravitasi. Akibat kontraksi peristaltik ureter yang
tidak cukup kuat melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal menjadi
terisi sebelum urine masuk ke dalam ureter. Kondisi ini disebut
stasis urine dan meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan
dan batu ginjal (Perry & Potter, 2005). Batu ginjal dapat
diakibatkan karena adanya gangguan metabolisme kalsium dan
akibat hiperkalsemia.
Sejalan dengan masa imobilisasi yang berlanjut, asupan cairan
yang terbatas, dan penyabab lain, seperti demam akan
meningkatkan risiko dehidrasi. Akibatnya haluaran urine menurun
sekitar pada hari kelima atau keenam (Perry & Potter, 2005).
Selain mengakibatkan perubahan pada sistem tubuh,
imobilisasi juga dapat menyebabkan terjadinya perubahan
perkembangan khususnya pada lansia. Pada umumnya lansia akan
mengalami kehilangan total masaa tulang progresif. Beberapa
kemungkinan yang dapat menyebabkan kondisi tersebut, meliputi
aktivitas fisik, perubahan hormonal, dan resorpsi tulang aktual.
Dampak dari kehilangga massa tulang adalah tulang menjadi lebih
lemah, tulang belakang lebih lunak, dan tertekan, tulang panjang
kurang resisten ketika membungkuk.
Lansia berjalan lebih lambat dan tampak kurang
terkoordinasi. Lansia juga membuat langkah yang lebih pendek,
menjaga kaki mereka lebih dekat bersamaan, yang mengurangi
dasar dukungan. Sehingga keseimbangan tubuh tidak stabil, dan
mereka sangat berisiko jatuh dan cedera.

11
Gangguan
1. WOC muskuloskeletal
Gangguan kardiovaskular
Gangguan sistem respirasi

Imobilisasi

B1 B2 B3 B4 B5 B6

Kadar Hb turun Menurunnya Proses degenerasi Motilitas usus ↓ Asupan cairan Penurunan massa
kemampuan saraf saraf
otonom yang terbatas otot
Ekspansi paru ↓ Penyerapan usus
Kecemasan terganggu Dehidrasi Penurunan stabilitas
Meningkatnya
Lemah otot kerja jantung
Haluaran urin ↓
Mekanisme koping Frekuensi defekasi ↓ Kerusakan
Penurunan aliran O2
Hipotensi ortostatik menurun muskuloskeletal
Kesulitan BAB Urine pekat
Penurunan curah Ketidakefektifan Kekakuan otot
Ketidakefektifan jantung mekanisme koping Konstipasi Retensi urine
pola napas
Kontraktur sendi
Gangguan Gangguan
Hambatan mobilitas fisik
penurunan curah eliminasi urine
Sendi tidak dapat
jantung
mempertahankan
Intoleransi Aktivitas
rentang gerak
Ketidaktepatan dengan penuh
Risiko cedera mekanika tubuh
12
B. Konsep Range of Motion (ROM)
1. Definisi Latihan ROM
Latihan range of motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan
untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan
kemampuan menggerakan persendian secara normal dan lengkap
untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot. (Potter & Perry, 2005).
Sedangkan Menurut (Ni Made Suarti dkk, 2009:40) Latihan rentang
gerak sendi adalah latihan yang diberikan untuk mempertahankan dan
meningkatkan fungsi sendi yang berkurang karena berbagai macam
proses penyakit, kecelakaan, atau tidak digunakan untuk aktivitas.
Mobilisasi sendi disetiap potongan dibatasi oleh ligamen, otot, dan
konstruksi sendi. Beberapa gerakan sendi adalah spesifik untuk setiap
potongan. Pada potongan sagital, gerakannya adalah fleksi dan
ekstensi (jari-jari tangan dan siku) dan hiperekstensi (pinggul). Pada
potongan frontal, gerakannya adalah abduksi dan adduksi (lengan dan
tungkai) dan eversi dan inversi (kaki). Pada potongan transversal,
gerakannya adalah pronasi dan supinasi (tangan), rotasi internal dan
eksternal (lutut), dan dorsifleksi dan plantarfleksi (kaki).
2. Tujuan ROM
Adapun tujuan dari range of motion menurut Ni Made Suarti dkk,
2009, yaitu :
a. Mempertahankan fungsi mobilitas sendi.
b. Memulihkan atau meningkatkan fungsi sendi dan kekuatan otot.
c. Mencegah komplikasi dari imobilisasi, seperti atropi otot dan
kontraktur.
d. Melancarkan peredaran darah.
e. Mempersiapkan latihan lebih lanjut.
3. Manfaat ROM (Range Of Motion)
Adapun manfaat dari range of motion, yaitu :
a. Menentukan nilai kemampuan sendi tulang dan otot dalam
melakukan pergerakan.
b. Mengkaji tulang, sendi, dan otot.
c. Mencegah terjadinya kekakuan sendi.
d. Memperlancar sirkulasi darah.
e. Memperbaiki tonus otot.
f. Meningkatkan mobilisasi sendi.
g. Memperbaiki toleransi otot untuk latihan.

13
4. Prinsip Latihan ROM (Range Of Motion)
Adapun prinsip latihan range of motion, diantaranya :
a. ROM harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan minimal 1 kali
sehari
b. ROM di lakukan berlahan dan hati-hati sehingga tidak melelahkan
pasien.
c. Dalam merencanakan program latihan ROM, perhatikan umur
pasien, diagnosa, tanda-tanda vital dan lamanya tirah baring.
d. Bagian-bagian tubuh yang dapat di lakukan latihan ROM adalah
leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki.
e. ROM dapat di lakukan pada semua persendian atau hanya pada
bagian-bagian yang di curigai mengalami proses penyakit.
f. Melakukan ROM harus sesuai waktunya. Misalnya setelah mandi
atau perawatan rutin telah di lakukan.
5. Jenis-jenis Latihan ROM
Range of motion dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
a. Latihan Range Of Motion (ROM) Aktif
Range of motion (ROM) Aktif yaitu gerakan yang dilakukan oleh
seseorang (pasien) dengan menggunakan energi sendiri. Perawat
memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam
melaksanakan pergerakan sendiri secara mandiri sesuai dengan
rentang gerak sendi normal (klien aktif). Kekuatan otot 75%.
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi
dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif. Sendi yang
digerakkan pada ROM aktif adalah sendi di seluruh tubuh dari
kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendiri secara aktif.
b. Latihan Range Of Motion (ROM) Pasif
Latihan range of motion (ROM) Pasif yaitu energi yang
dikeluarkan untuk latihan berasal dari orang lain (perawat) atau alat
mekanik. Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai
dengan rentang gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan otot 50
%.
Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar,
pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan
beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien
tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total

14
(suratun, dkk, 2008). Rentang gerak pasif ini berguna untuk
menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan
menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat
mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Sendi yang
digerakkan pada ROM pasif adalah seluruh persendian tubuh atau
hanya pada ekstremitas yang terganggu dan klien tidak mampu
melaksanakannya secara mandiri.

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas pasien
Anamnesa identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur, status
perkawinan, agama, alamat, tanggal masuk rumah sakit.
2. Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi alasan pasien yang
menyebabkan terjadi keluhan atau gangguan dalam imobilitas, seperti
adanya nyeri, kelemahan otot, kelelahan, tingkat imobilitas, daerah
terganggunya karena imobilitas, dan lama terjadinya gangguan
mobilitas.
3. Riwayat penyakit yang pernah diderita

15
Pengkajian riwayat penyakit yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan mobilitas, misalnya adanya riwayat penyakit sistem
neurologis (kecelakaan cerebrovaskular, trauma kepala, peningkatan
tekanan intrakranial, miastenia gravis, guillain barre, cedera medula
spinalis, dan lain-lain), riwayat penyakit sistem kardiovaskular (infark
miokard, gagal jantung kongestif), riwayat penyakit sistem
muskuloskeletal (osteoporosis, fraktur, artritis), riwayat penyakit
sistem pernapasan (penyakit paru obstruksi menahun, pneumonia, dan
lain-lain), riwayat pemakaian obat seperti sedativa, hipnotik, depresan
sistem saraf pusat, laksansia, dan lain-lain.
4. Pemeriksaan fisik
a. Sistem metabolik
Ketika mengkaji fungsi metabolik, perawat menggunakan
pengukuran antropometrik untuk mengevaluasi atrofi otot,
menggunakan pencatatan asupan dan haluaran serta data
laboratorium untuk mengevaluasi status cairan, elektrolit maupun
kadar serum protein, mengkaji penyembuhan luka untuk
mengevaluasi perubahan transport nutrien, mengkaji asupan
makanan dan pola eliminasi klien untuk menentukan perubahan
fungsi gastrointestinal.
Pengukuran asupan dan haluaran membantu perawat untuk
menentukan apakah terjadi ketidakseimbnagan cairan. Dehidrasi
dan edema dapat meningkatkan laju kerusakan kulit pada klien
imobilisasi. Pengukuran laboratorium terhadap kadar elektrolit
darah juga mengindikasikan ketidakseimbangan elektrolit.
Apabila klien imobilisasi mempunyai luka, maka cepatan
penyembuhan menunjukkan indikasi nutrien yang di bawa ke
jaringan. Kemajuan penyembuhan yang normal mengindikasikan
kebutuhan metabolik jaringan luka terpenuhi.
Pada umumnya anoreksi terjadi pada klien imobilisasi. Asupan
makanan klien harus dikaji terlebih dahulu sebelum nampan
diberikan, untuk menentukan jumlah yang dimakan.
Ketidakseimbangan nutrisi dapat dihidari apabila perawat mengkaji

16
pola makan klien dan makanan yang disukai sebelum keadaan
imobilisasi.
b. Sistem respiratori.
Pengkajian sistem respiratori harus dilakukan minimal setiap 2 jam
pada klien yang mengalami keterbatasan aktivitas. Pengkajian pada
sistem respiratori meliputi :
- Inspeksi : pergerakan dinding dada selama sikus inspirasi-
ekspirasi penuh. Jika klien mempunyai area atelektasis,
gerakan dadanya menjadi asimetris.
- Auskultasi : seluruh area paru-paru untuk mengidentifikasi
gangguan suara napas, crackles, atau mengi. Auskultasi harus
berfokus pada area paru-paru yang tergantung karena sekresi
paru cenderung menumpuk di area bagian bawah.

c. Sistem kardiovaskuler.
Pengkajian sistem kardiovaskular yang harus dilakukan pada
pasien imobilisasi, meliputi :
- memantau tekanan darah, tekanan darah klien harus diukur,
terutama jika berubah dari berbaring (rekumben) ke duduk atau
berdiri akibat risiko terjadinya hipotensi ortostatik.
- mengevaluasi nadi apeks maupun nadi perifer, berbaring dalam
posisi rekumben meningkatkan beban kerja jantung dan
mengakibatkan nadi meningkat.
d. Sistem Muskuloskeletal.
Kelainan musculoskeletal utama dapat diidentifikasi selama
pengkajian meliputi penurunan tonus otot, kehilangan massa otot,
dan kontraktur. Gambaran pengukuran antropometrik
mengidentifikasi kehilangan tonus dan massa otot.
Pengkajian rentang gerak adalah penting data dasar yang
mana hasil hasil pengukuran nantinya dibandingkan untuk
mengevaluasi terjadi kehilangan mobilisasi sendi. Rentang gerak di
ukur dengan menggunakan geniometer. Pengkajian rentang gerak
dilakukan pada daerah seperti bahu, siku, lengan, panggul, dan
kaki.
e. Sistem Integumen

17
Perawat harus terus menerus mengkaji kulit klien terhadap
tanda-tanda kerusakan. Kulit harus diobservasi ketika klien
bergerak, diperhatikan higienisnya, atau dipenuhi kebutuhan
eliminasinya. Pengkajian minimal harus dilakukan 2 jam.
f. Sistem Eliminasi
Status eliminasi klien harus dievaluasi setiap shift, dan total
asupan dan haluaran dievaluasi setiap 24 jam. Perawat harus
menentukan bahwa klien menerima jumlah dan jenis cairan melalui
oral atau parenteral dengan benar.
Tidak adekuat asupan dan haluaran atau ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit meningkatkan resiko gangguan sistem ginjal,
bergeser dari infeksi berulang menjadi gagal ginjal. Dehidrasi juga
meningkatkan resiko kerusakan kulit, pembentukan trombus,
infeksi pernafasan, dan konstipasi. Pengkajian status eliminasi juga
meliputi frekuensi dan konsistensi pengeluaran feses.
5. Pengkajian kesehatan lansia Imobilitas
a. Refleks Ekstermitas

Refleks Kanan Kiri


Biceps + +
Triceps + +
Knee + -
Achiles + +

Keterangan :
Refleks (+) : normal
Refleks (-) : menurun/meningkat

b. Pengkajian INDEKS KATZ (Indeks Kemandirian Pada


Aktivitas Kehidupan Sehari-hari)

(Indeks kemandirian pada aktivitas kehidupan sehari – hari )

skore Kriteria
A Kemandirian dalam hal makan, kontinen, berpindah, ke
kamar kecil, berpakaian dan mandi.
B Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari, kecuali

18
satu dari fungsi tersebut
C kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari, kecuali
mandi dan dan satu fungsi tambahan.
D Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari, kecuali
mandi, berpakaian, dan satu fungsi tambahan.
E Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari, kecuali
mandi, berpakaian, ke kamar kecil dan satu fungsi tambahan.
F Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari, kecuali
mandi, berpakaian, ke kamar kecil, berpindah dan satu fungsi
tambahan.
G Ketergantungan pada ke enam fungsi tersebut.
Lain-Lain Tergantung pada sedikitnya dua fungsi, tetapi tidak dapat
diklasifikasikan sebagai C,D,E atau F.

Dari hasil pengkajian INDEKS KATZ pasien dapat diambil


kesimpulan bahwa pasien berada pada skore E yaitu pasien dapat
melakukan semua aktivitas kehidupan sehari-hari, kecuali mandi,
berpakaian, ke kamar kecil, dan fungsi tambahan.

B. Diagnosa keperawatan
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang
gerak.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan imobilisasi.
3. Gangguan penurunan curah jantung berhubungan dengan imobilitas.
4. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru.

C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
Hambatan NOC : NIC :
mobilitas fisik - Joint Movement : Active
berhubungan - Mobility Level Exercise therapy :
dengan - Self care : ADLs ambulation
penurunan Transfer performance  Monitoring
rentang gerak Setelah dilakukan tindakan vital sign
keperawatan selamA 2 X 24 sebelm/sesudah
jam gangguan mobilitas fisik latihan dan lihat

19
teratasi dengan kriteria hasil: respon pasien
 Klien meningkat saat latihan
dalam aktivitas fisik  Konsultasikan
 Mengerti tujuan dari dengan terapi
peningkatan mobilitas fisik tentang
 Memverbalisasikan rencana
perasaan dalam ambulasi sesuai
meningkatkan dengan
kekuatan dan kebutuhan
kemampuan berpindah  Bantu klien
 Memperagakan untuk
penggunaan alat menggunakan
tongkat saat
berjalan dan
cegah terhadap
cedera
 Ajarkan pasien
atau tenaga
kesehatan lain
tentang teknik
ambulasi
 Kaji
kemampuan
pasien dalam
mobilisasi
 Latih pasien
dalam
pemenuhan
kebutuhan
ADLs secara
mandiri sesuai
kemampuan
 Dampingi dan
Bantu pasien
saat mobilisasi
dan bantu
penuhi
kebutuhan
ADLs ps.

 Berikan alat
Bantu jika klien
memerlukan.
 Ajarkan pasien
bagaimana

20
merubah posisi
dan berikan
bantuan jika
diperlukan
Intoleransi NOC : NIC :
aktivitas § - Self Care : ADLs  Observasi
berhubungan § - Toleransi aktivitas adanya
dengan § - Konservasi eneergi pembatasan
penurunan Setelah dilakukan tindakan klien dalam
imobilisasi. keperawatan selama 2 x 24 melakukan
jam Pasien bertoleransi aktivitas
terhadap aktivitas dengan  Kaji adanya
Kriteria Hasil : faktor yang
 Berpartisipasi dalam menyebabkan
aktivitas fisik tanpa kelelahan
disertai peningkatan  Monitor nutrisi
tekanan darah, nadi dan dan sumber
RR energi yang
 Mampu melakukan adekuat
aktivitas sehari hari  Monitor pasien
(ADLs) secara mandiri akan adanya
 Keseimbangan aktivitas kelelahan fisik
dan istirahat dan emosi
secara
berlebihan
 Monitor respon
kardivaskuler
terhadap
aktivitas
(takikardi,
disritmia, sesak
nafas,
diaporesis,
pucat,
perubahan
hemodinamik)
 Monitor pola
tidur dan
lamanya
tidur/istirahat
pasien
 Kolaborasikan
dengan Tenaga
Rehabilitasi
Medik dalam
merencanakan

21
progran terapi
yang tepat.
 Bantu klien
untuk
mengidentifika
si aktivitas
yang mampu
dilakukan
 Bantu untuk
memilih
aktivitas
konsisten yang
sesuai dengan
kemampuan
fisik, psikologi
dan sosial
 Bantu untuk
mengidentifika
si dan
mendapatkan
sumber yang
diperlukan
untuk aktivitas
yang
diinginkan
 Bantu untuk
mendpatkan
alat bantuan
aktivitas seperti
kursi roda, krek
 Bantu untuk
mengidentifika
si aktivitas
yang disukai
 Bantu klien
untuk membuat
jadwal latihan
diwaktu luang
 Bantu
pasien/keluarga
untuk
mengidentifika
si kekurangan
dalam
beraktivitas
 Sediakan

22
penguatan
positif bagi
yang aktif
beraktivitas
 Bantu pasien
untuk
mengembangka
n motivasi diri
dan penguatan
 Monitor respon
fisik, emosi,
sosial dan
spiritual

23
BAB 4

PENUTUP

A. Kesimpulan
Imobilitas atau imobilisasi merupakan keadaan di mana seseorang tidak
dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan
(aktivitas), misalnya mengalami trauma tulang belakang, cedera otak berat
disertai fraktur pada ekstremitas, dan sebagainya (Hidayat, 2009). Faktor-
faktor yang mempengaruhi imobilisasi adalah gangguan muskuloskeletal,
gangguan kardiovaskular dan gangguan sistem respirasi (Tarwoto &
Wartonah, 2011). Jenis imobilitas adalah imobilitas fisik, imobilitas
intelektual, imobilitas emosional dan imobilitas sosial. Penyebab utama
imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Osteoartritis merupakan
penyebab utama kekakuan pada usia lanjut. Gangguan fungsi kognitif
berat seperti pada demensia dan gangguan fungsi mental seperti pada
depresi juga menyebabkan imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang
berlebihan dapat menyebabkan orangusia lanjut terus menerus berbaring di
tempat tidur baik di rumah maupun dirumah sakit (Kozier, 2010). Dampak
yang terjadi selain mengakibatkan perubahan pada sistem tubuh,
imobilisasi juga dapat menyebabkan terjadinya perubahan perkembangan
khususnya pada lansia. Pada umumnya lansia akan mengalami kehilangan
total masaa tulang progresif. Beberapa kemungkinan yang dapat
menyebabkan kondisi tersebut, meliputi aktivitas fisik, perubahan
hormonal, dan resorpsi tulang aktual. Dampak dari kehilangga massa
tulang adalah tulang menjadi lebih lemah, tulang belakang lebih lunak, dan
tertekan, tulang panjang kurang resisten ketika membungkuk.
B. Saran
Diharapkan perawat lebih optimal dalam memberikan pelayanan terhadap
kebutuhan dasar mobilisasi sehingga dapat mencegah masalah kebutuhan
dasar imobilisasi yang lebih buruk dengan gangguan mobilisasi.
DAFTAR PUSTAKA

24
Aziz, Alimul Hidayat. (2009). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia (Aplikasi
Konsep dan Proses Keperawatan). Jakarta : Salemba Medika.

Kozier, dkk. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Jakarta: EGC

Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawaran. Edisi 4. Jakarta:
EGC

Potter & Perry. 2010. Fundamental keperawatan. Edisis 7. Jakarta: Elsevier

Tarwoto dan Wartonah. (2011). Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses


Keperawatan Edisi 4. Jakarta : Salemba Medika.

Ni Made Suarti, et al. 2009. Panduan Praktik Keperawatan. Yogyakarta: PT.

Citra Aji Parama

25

Anda mungkin juga menyukai