Fix Revisi Dokter Armon Ok
Fix Revisi Dokter Armon Ok
Fix Revisi Dokter Armon Ok
PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh demam yang berkepanjangan, ditopang
dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus,
dan Peyer’s patch. Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid
dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan
demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya disebabkan oleh spesies
Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun
demam paratifoid.1
Istilah typhoid berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai pada
penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Penyakit ini juga
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat
dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang
buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Dengue adalah infeksi yang ditularkan oleh nyamuk dimana dalam dekade terakhir
menjadi masalah kesehatan publik secara internasional. Dengue ditemukan di daerah tropik
dan sub-tropik di seluruh dunia, secara predominan di daerah urban dan semi-urban.
Demam Berdarah Dengue (DBD), satu komplikasi potensial, pertama kali ditemukan
pada tahun 1950an dalam epidemi dengue di Filipina dan Tailand. Pada hari ini, DBD
ditemukan hampir di seluruh negara Asia dan telah menjadi penyebab utama perawatan di
rumah sakit dan kematian anak di daerah tersebut.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan
pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1
2.1.2 Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus
demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di
negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana
95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25
kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar
secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000
penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar
600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia
dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya
melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi.
Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu
apabila berada didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian.
2
Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan
mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).1
2.1.3 Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S.
paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H)
yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida.
Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar
dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh
plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1
2.1.4 Patogenesis
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan
menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer
Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening
mesenterika.1,4
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali
masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai
tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.1,4
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
4
teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada
anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang
terjadi dalam 3 hari berturut- turut.1
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor
sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.3
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk
memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil,
demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologis.1,4
5
Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid3
6
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi
terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai
korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status
imunologis penderita.1,4,5
Walaupun gejala demam tifoidlebih bervariasi, secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan :
Demam satu minggu atau lebih.
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
a) Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi
akut pada umumnya, seperti:
1) demam,
2) nyeri kepala,
3) anoreksia,
4) mual, muntah,
5) diare,
6) konstipasi.
7) Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang
meningkat.
b) Setelah minggu kedua gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa:
1) demam remiten,
2) bradikardi relatif
3) lidah tifoid(kotor di tengah, ujung merah dan tremor)
4) pembesaran hati dan limpa,
5) perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari somnolen
sampai koma.
Demam yang terjadi pada penderita tidak selalu tipikal seperti pada orang
dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat
pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna
merah pucat serta hilang pada penekanan.Roseola ini merupakan emboli kuman yang
7
didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut,
dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama
dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada
demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.1,3
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi
maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan
8
adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen
spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang
diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang
digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).6
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896.
Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita
dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang
sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer
antibodi dalam serum.
Uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai
beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang
telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul
lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak
dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk
menentukan pengidap S.typhi.3
9
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai
uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45
menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif,
96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak
menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan
pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada
deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan
bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif
palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.3
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan denganpenderita dan faktor teknis.
A. Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi
bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan
pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut
karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi
IgG dalam waktu beberapa menit.
Ada 4 interpretasi hasil :
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam
tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
12
pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang
didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan
sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial
serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel
urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100%
pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan
antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila
dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu
diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.6
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa
faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah
yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi
risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur
teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang
13
bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah
serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi
dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis
masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya
masih terbatas dalam laboratorium penelitian.6
2.1.8 Diagnosis
Demam tifoid biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah
inkubasi dapat dibagi dalam
(1) demam,
(2) gangguan saluran pencernaan, dan
(3) gangguan kesadaran.
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala
konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan
abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat
merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul
diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari orang yang terinfeksi, sedangkan sembelit
lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia,
penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi
mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi
pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm,
dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan
berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan
tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis
14
bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan
laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi
pemeriksaan darah tepi, serologis, danbakteriologis.3,4
2.1.9 Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,
penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit
dan kalori yang optimal.Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan
cairan rumatannya.1,4
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran
cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat
15
diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.1
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :
1. Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4
dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan
selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra
Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik
jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier. 1,4,5
2. Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan
sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari
dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian
secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari
diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika
golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia
megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara
antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.1
3. Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-
anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang
diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2
minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi
chloramphenicol.1
4. Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan
pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari
Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella
typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi
dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan
16
cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk
sediaan Peroral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.1
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai
syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit
untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
2.1.10 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4
I. Komplikasi pada intestinal
1. Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda
– tanda renjatan.
2. Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat
udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat
dalam keadaan tegak.
3. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang,
dan nyeri tekan.
17
II. Komplikasi ekstra intestinal
1. Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan
oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul
pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses
paru, efusi, dan empiema.
2. Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan
gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita
cenderung untuk menjadi seorang karier.
3. Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam
batas normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek
dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
4. Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas
sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella
havana dan Salmonella oranemburg.
5. Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak
khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering
terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara
lain : sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok
tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi.
1. Cuci tangan.
2. Hindari minum air yang tidak dimasak.
3. Pilih makanan yang masih panas.
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang.
Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu
57°C beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella
typhi. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu
aman, hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin
terkontaminasi.
Jika ada pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid,
berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
19
I. Pencegahan dengan menggunakan vaksinasidi Indonesia telah ada 3 jenis
vaksin tifoid, yakni:
1. Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a.
Diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari.
Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui, penderita
imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik, dan anak
kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun.
Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.1
3. Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella.
Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di
atas 5 tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL
yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin
diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster)
setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif,
hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.1
20
2.1.12 Prognosis
2.1.13 Edukasi
21
2.2 Demam Berdarah Dengue
2.2.1 Definisi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus
dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang
terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan
perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di
daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya.
Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.6
2.2.2 Epidemiologi
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18, seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi
virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari
(vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts).
Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai
dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus
dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah
menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan
penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila,
Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia,
dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta
dengan jumlah kematian yang sangat tinggi. [1]
22
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD
sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang
tidak terencana dan tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang
efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi.[1]Morbiditas dan
mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain status imunitas
pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus
dengue, dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan
virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah
penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah
ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya
kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada
tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk.6
2.2.3 Etiologi
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun
merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung
virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian
virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic
incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan
berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya
(transovanan transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting.
Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk
tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia,
virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila
nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum
panas sampai 5 hari setelah demam timbul.1
23
2.2.4 patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup.
Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai
pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut
sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi
penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan
penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.[2]
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan masalah
yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis
infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune
enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang
mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi
dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan
Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi
heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan
replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent
enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus
dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok. [2]
24
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma
dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura,
asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting
guna mencegah kematian. [2]
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain
dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan
replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari
perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus
dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah.
Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah
yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan
laboratoris.2
25
Secondary heterologous dengue infection
Kompleks virus-antibody
Permeabilitas kapiler ↑ Ht ↑
serosa
Syok
Anoksia Asidosis
Meninggal
26
Secondary heterologous dengue infection
Anafilatoksin
konsumtif
pembekuan kapiler
FDP meningkat
27
2.2.5 Manifestasi Klinis
peteki,purpura,ekimosis,epitaksis,perdarahangusi,hematemesis,melena
Uji provokatif: uji tourniquet + jika ditemui >10 peteki dalam ukuran diameter
5 cm.
5. Leukopenia <4000/mm3
6. Trombositopenia<100.000/mm3
7. Hepatomegali
hipoproteinemia (demam disertai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis + bukti perembesan plasma
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak
tampak gelisah.
28
Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan
2. Imunoserologi
Infeksi virus dengue akan mengakibatkan terbentuknya antibody. Antibody
yang pertama dibentuk ialah Neutralizing antibody (NT), yaitu pada hari kelima. Titer
antibody ini naik sangat cepat, kemudian menurun secara lambat untuk waktu yang
lama, biasanya seumur hidup. Antibody ini bersifat spesifik. Setelah pembentukan
NT, segera akan timbul Hemaglutination inhibition antibody (HI). Titer naik sejajar
dengan NT dan kemudian akan turun secara perlahan-lahan, lebih cepat daripada
antibody NT. Untuk waktu yang lama, tetapi lebih pendek daripada antibody NT.
Antibodi HI bersifat spesifik terhadap golongan tapi tidak terhadap tipe virus.
Dengan demikian dalam satu golongan dengan lebih dari satu tipe virus dapat terjadi
reaksi silang diantara masing-masing tipe virus.
Antibodi yang terakhir timbul adalah Complement fixing antibody (CF), yaitu
sekitar hari kedua puluh, titer naik setelah perjalanan penyakit mencapai maksimum
30
dalam waktu 1-2 bulan dan kemudian turun secara cepat dan menghilang setelah 1-2
tahun.
Dasar pemeriksaan serologis adalah membandingkan titer antibody pada masa
akut dan masa konvalesen. Pemeriksaan dapat berupa Neutralizing test, complement
fixation test atau hemagglutination inhibition test. Bergantung pada kebutuhannya.
Pemeriksaan serologis dapat membantu menegakkan diagnosis klinis. Untuk
pemeriksaan serologis ini dibutuhkan 2 contoh darah pada masa konvalesen yang
diambil 1-4 minggu setelah perjalanan penyakit. Dalam praktek sukar sekali
mendapatkan contoh darah kedua karena biasanya penderita setelah sembuh tidak
bersedia diambil darahnya.
Maksud diambil contoh darah yang kedua ialah selain untuk menjaga
kemungkinan tidak didapatkan contoh darah ketiga juga untuk mempercepat hasil
akan sudah cukup nyata sehingga dapat diinterpretasi. Apabila hanya diperoleh satu
contoh darah, penafsiran akan sulit atau bahkan sering tidak mungkin dilakukan.
III. Hemagglutination Inhibition Test
Pemeriksaan uji Hemagglutination inhibition antibody dapat dilakukan dengan 2
cara dalam bentuk serum dan kertas saring.
Interpretasi hasil pemeriksaan berdasarkan Kriteria WHO yaitu:
a. Pada infeksi primer, titer antibody HI pada masa akut, yaitu bila serum diperoleh
sebelum keempat sakit adalah kurang dari 1:20 dan titer anak naik 4 kali atau
lebih pada masa konvalesen, tetapi tidak akan melebihi 1:1280.
b. Pada infeksi sekunder, adanya infeksi baru (recent dengue infection) ditandai oleh
titer antibody HI kurang dari 1:20 pada masa akut, sedangkan pada masa
konvalesen titer bernilai sama atau lebih besar daripada 1:2560. Tanda lain
infeksi sekunder ialah apabila titer antibody akut sama atau lebih besar daripada
1:20 dan titer akan naik 4 kali atau lebih pada masa konvalesen.
c. Persangkaan adanya infeksi sekunder yang baru terjadi (presumptive diagnosis)
ditandai oleh titer antibody HI yang sama atau lebih besar daripada 1:280 pada
masa akut. Dalam hal ini tidak diperlukan kenaikan titer 4 kali atau lebih pada
masa konvalesen.
31
Tabel interpretasi hasil uji HI
Titer Ab Titer Ab konvalesen Interpretasi
akut
< 1:20 Naik 4x atau lebih (<1:1280) Infeksi primer
< 1:20 ≥ 1:2560 Infeksi sekunder baru
≥ 1:20 Naik 4x atau lebih Infeksi sekunder baru
≥ 1:1280 Tidak perlu naik 4x atau lebih Infeksi sekunder tersangka baru terjadi
2.2.9 Diagnosa
1.Anamnesa gejala klinis
-Demam tiba-tiba dengan pola pelana kuda
-Nyeri kepala retrorbital
-mual dan muntah
-gangguan pencernaan
2.Temuan klinis
-Gambaran perdarahan spontan
-Ptchie
-Splenomegali
-Mielena8
2.2.10 Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam berdarah dengue, prinsip utama
adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat
diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan
34
tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien
harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu
dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah
dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama
dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi
Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protocol
penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan criteria:
1. Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas
indikasi
2. Praktis dalam pelaksanaannya
3. Mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori:
Protokol 1
Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok
Keluhan DBD
(kriteria WHO)
35
Protokol 1 ini digunakan sebagai penunjuk dalam memberikan pertolongan
pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan
juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Protokol 2 (Gambar 5)
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Suspek DBD
Perdarahan spontan dan Masif (-)
Syok (-)
36
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok
maka di ruang gawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus
berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut:
1500 + {20 x (BB dalam kg – 20)}
Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg: 1500 + {20 x (55 – 20)} = 2200 ml.
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:
Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit <100.000 jumlah pemberian
cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombo dilakukan tiap 12
jam.
Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan
sesuai dengan protocol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%
Protokol 3 (Gambar 1)
KASUS DBD
perdarahan spontan masif:
-epistaksis tidak terkendali
-hematemesis
melena/hematoskezia
-perdarahan otak
SYOK (-)
Hb,Ht,Leuko<pemeriksaan
Hemostasis (KID) golongan
darah, uji cocok serasi
38
Protokol 4 (Gambar 2)
40
DBD std III,IV syok
Protokol 5
-RL 4-6Jam/kolf
-bila perlu
vasopresor(dopamine TD,nadi normal. deuresis
dobutamin epineprin)
-Hb,Ht tromb tiap
6jam(pasca syok)
-RL 4jam/kolf
-Hb.Ht,trombo tiap
6jam(pasca syok)
2.2.11 Prognosis
Kematian akibat demam dengue hamper tidak ada. Pada DBD/DSS mortalitas
cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta
menunjukkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan dari
pada anak-anak.
2.2.12 Komplikasi
1.Ensefalopati Dengue
Keadaan yang diakibatkan oleh syok yang tak tertangani dengan baik dimana
penggantian cairan intraselular idak dilkuakan secara adekuat, dapat dijumpai sinrom uremik.
43
3.Odem Paru
2.2.10 Pencegahan
1.Penggalahan hihdup sehat dengan cara 3M yaitu: menguras,mengubur,menutup
sarang perkembang biakan jentik nyamuk
2.Penaburan Abate
3.foging
4.perbaikan drainese8
2.2.11 Edukasi
1.DBD bisa dihindari dengan menerapkan pola gaya hidup sehat dan prilaku yang
baik.
2.Penderita DBD perlu perhatian aktif dari diri sendiri pasien, keluarga dan
masyarakat.
3.Pasien harus didampingi oleh tim kesehatan dalam menuju perubahan perilaku sehat
agar tercapai keberhasilan perubahan perilaku serta mengedukasi pasien dalam
upaya meningkatkan motivasi.
44
BAB III
Identitas Pribadi
Nama : Rahmat Kurniawan
Umur : 17 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Status Kawin : Belum menikah
Agama / Suku : Islam
Pekerjaan : SMA
Alamat : DSN VIII Lau dendang
Anamnesa Penyakit
Keluhan Utama : Demam
Telaah : Pasien datang ke Rumah Sakit Haji Medan dengan keluhan
demam, demam sejak ± 7 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit.
Demam bersifat naik pada malam hari dan turun pada pagi hari.
Demam di sertai menggigil dan pusing. Pasien juga mengeluhkan
linu-linu pada sendi. Linu pada sendi dirasakan pasien sejak ± 3 hari
yang lalu.
Pasien mengeluhkan demam naik lagi ± 3 hari ini setelah
sempat turun demam bersifat mendadak dan dirasakan terus menerus
dan jika turun tidak tentu waktunya.
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah yang dialami sejak
3 hari yang lalu. Muntah sebanyak ± 3x/hari dengan volume kira-kira
1 gelas aqua, dan setiap muntah berisi apa yang pasien makan. Nyeri
pada perut di sangkal.
Pasien juga mengeluhkan pusing sejak 3 hari yang lalu, pusing
memberat pada saat berjalan dan mereda pada saat pasien duduk.
45
Pasien mengatakan terkadang pusing timbul pada saat demam
muncul.
Pasien juga mengeluhkan batuk sejak ± 2 hari terakhir ini.
Batuk disertai dahak, dahak berwarna putih dan sulit untuk di
keluarkan. Pasien juga mengeluhkan penurunan nafsu makan, namun
tidak disertai penurunan berat badan. Pasien merasa apa yang pasien
makan terasa pahit. Pasien juga mengeluhkan sering lemas akhir-
akhir ini.
Pasien juga mengatakan bahwa pasien mencret ± 7 hari yang
lalu sebelum masuk rumah sakit. Mencret berupa air lebih banyak
daripada ampas dan tidak disertai darah, namun sejak pasien masuk
rumah sakit pasien belum pernah buang air besar ± 5 hari terakhir ini.
Pasien juga mengatakan sebelum pasien sakit, pasien
berpergian ke berastagi.
Buang air kecil : 3-5x/hari, warna kuning pekat, nyeri saat BAK (-)
Buang air Besar :sudah tidak BAB sejak 5 hari terakhir
Riwayat penyakit terdahulu : tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada
Riwayat Penggunaan Obat : pasien lupa obat
Anamnesa Umum
- Badan kurang enak : ya - Tidur : terganggu
- Merasa Lemas : ya - Berat badan : normal
- Merasa kurang sehat : ya - Malas : tidak
- Menggigil : ya - Demam : ya
- Nafsu makan : menurun - Pening : ya
Anamnesa organ
1. Cor
- Dyspneu d’effort : tidak - Cyanosis : tidak
- Dyspnea d’repos : tidak - Angina pectoris : tidak
46
- Oedema : tidak - Palpitasi cordis : tidak
- Nokturia : tidak - Asma Cardiale : tidak
2. Sirkulasi perifer
- Claudicatio intermitten : tidak - Gangguan tropis : tidak
- Sakit waktu istirahat : tidak - Kebas- kebas : tidak
- Rasa mati Ujung jari : tidak
3. Traktus respiratorius
- Batuk : ya - Stidor : tidak
- Berdahak : ya - sesak nafas : tidak
- Haemoptoe : tidak - cuping hidung : tidak
- Sakit dada saat bernafas : tidak - Suara parau : tidak
4. Traktus digestivus
a. Lambung
- Sakit di epigastrium : tidak - Sendawa : tidak
- Rasa panas epigastrium : tidak - Anoreksia : ya
- Muntah :ya - Mual-mual : ya
- Hematemesis : tidak - Dysphagia : tidak
- Ructus : tidak - Feotor ex ore : tidak
- Pyrosis : tidak
b. Usus
- Sakit di abdomen : tidak - Melena : tidak
- Borborygmi : tidak - Tenesmi : tidak
- Defekasi : tidak, sejak 5 hari - Flatulensi : ya
- Obstipasi : tidak - Haemorrhoid : tidak
- Diare : tidak
c. Hati dan Saluran empedu
- Sakit perut kanan : tidak - Gatal dikulit : tidak
- Kolik : tidak - Asites : tidak
- Icterus : tidak - Oedema : tidak
- Berak dempul : tidak
5. Ginjal dan saluran kencing
- Muka sembab : tidak - Sakit pinggang : tidak
47
- Kolik : tidak - Oligouria : tidak
- Miksi : ya, 3-5x kuningpekat- Anuria : tidak
- Poliuria : tidak - Polakisuria : tidak
6. Sendi
- Sakit : ya - Sakit digerakan : tidak
- Sendi kaku : tidak - Bangkak : tidak
- Merah : tidak - Stand abnormal : tidak
7. Tulang
- Sakit : tidak - Fraktur spontan : tidak
- Bengkak : tidak - Deformasi : tidak
8. Otot
- Sakit : tidak - kejang-kejang : tidak
- Kebas-kebas : tidak - Atrofi : tidak
9. Darah
- Sakit dimulut dan lidah : tidak - Muka pucat : ya
- Mata berkunang-kunang : tidak - Bengkak : tidak
- Pembengkakan kelenjar : tidak - Penyakit darah : tidak
- Merah dikulit : tidak - Perdarahan subkutan : tidak
10. Endokrin
- Polidipsi : tidak - Pruritus : tidak
- Polifagi : tidak - Pyorrhea : tidak
- Poliuri : tidak
11. Fungsi genital
- Menarche :- - Ereksi :-
- Siklus Haid :- - Libido sexual :-
- Menopause :- - Coitus :-
- G/P/A :-
12. Susunan syaraf
- Hipoastesia : tidak - Sakit kepala : ya
- Parastesia : tidak - Gerakan tics : tidak
- Spasme : tidak –Paralisis : tidak
48
13. Panca indra
- Penglihatan : Normal
- Pengecapan : Normal
- Pendengaran : Normal
- Perasa : Normal
- Penciuman : Normal
14. Psikis
- Mudah tersinggung : tidak - Pelupa : tidak
- Takut : tidak - Lekas marah : tidak
- Gelisah : ya
15. Keadaan sosial
- Pekerjaan : Pelajar SMA
- Hygiene : Baik
Anamnesa Intoksikasi
Tidak ada
Anamnesa Makanan
- Nasi : frek 2 x/ Hari - Sayur sayuran : ya
- Ikan : ya - Daging : ya
Anamnesa Family
- Penyakit-penyakit family : tidak ada
- Penyakit seperti orang sakit : tidak ada
- Anak: -, Hidup: -, Mati: -
Status Present
Keadaan Umum
49
- Sensorium : compos mentis
- Tekanan Darah : 120/70 mmHg
- Temperatur : 40⁰ C
- Pernafasan : 20 x/ menit, reguler, abdominalthoracal
- Nadi : 88x/ menit, equal,sedang
Keadaan Penyakit
- Anemi : ya - Eritema : tidak
- Ikterus : tidak - Turgor :kembali cepat
- Sianosis : tidak - Gerakan Aktif : ya
- Dispnoe : ya - Sikap tidur paksa : ya
- Edem : tidak
Keadaan Gizi
BB : 49 Kg
TB : 167 cm
RBW : 167 49 x 100% = 73% ( Underweight )
Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
- Pertumbuhan rambut : Hitam, merata, tebal, tidak mudah dicabut
- Sakit kalau dipegang : tidak
- Perubahan lokal : tidak
a. Muka
- Sembab : tidak Parese : tidak
- Pucat : tidak gangguan lokal : tidak
- Kuning : tidak
b. Mata
- Stand Mata : normal - Ikterus : tidak
- Gerakan : kesegala arah - Anemia : tidak
- Reaksi pupil : RC +/+, isokor - Eksoftalmos : tidak
50
- Ptosis : tidak - Gangguan lokal : tidak
c. Telinga
- Sekret : tidak - Bentuk : normal
- Radang : tidak - Atrofi : tidak
d. Hidung
- Sekret : tidak - Benjolan-benjolan : tidak
- Bentuk : normal
e. Bibir
- Sianosis : tidak - Kering : tidak
- Pucat : tidak - Radang : tidak
f. Gigi
- Karies : tidak
- Jumlah : tidak di hitung
- Pertumbuhan : normal
- Pyorroe alveolaris : tidak
g. Lidah
- Kering : tidak - Beslag : ya
- Pucat : tidak - Tremor : tidak
h. Tonsil
- Merah : ya - Membran : tidak
- Bengkak : tidak - Angina lacunaris : tidak
- Beslag : tidak
2. Leher
Inspeksi :
- Struma : tidak - Torticolis : tidak
- Kelenjar bengkak : tidak - Venektasi : tidak
- Pulsasi Vena : tidak
Palpasi
- Posisi trachea : Medial
- TVJ : R-2 cm H2O
- Sakit/ nyeri tekan : tidak
51
- Kosta servikalis : tidak
3. Torax depan
Inspeksi
- Bentuk : Fusiformis - Venektasi : tidak
- Simetris/asimetris : simetris - Pembengkakan : tidak
- Bendungan Vena : tidak - Pulsasi verbal : tidak
- Ketinggalan bernafas : tidak - Mammae : tidak
Palpasi
- Nyeri tekan : tidak - Iktus : tidak teraba
- Fremitus suara : kanan = kiri a. Lokasi :-
- Fremissemen : tidak b. Kuat angkat :-
Perkusi
- Suara perkusi paru : Sonor di 2 lapang paru - Gerakan bebas : 2 cm
- Batas Jantung : - Batas paru hati :
- A. Atas : ICS III linea parasternalis sinistra a. Relatif : ICS V dextra
- B. Kanan : ICS IV linea midsternalis dextra b. Absolut : ICS VI dextra
- C. Kiri : ICS V 2cm medial linea Midclavicularis sinistra
Auskultasi
- Paru –paru
o Suara pernafasan : Vesikuler dikedua lapang paru
o Suara Tambahan : Tidak ada
- Cor :
o Heart Rate : 88 x/i
o Suara katup : (M1 > M2), (A2>A1), (P2 > P1), (A2>P2)
o Suara tambahan : Tidak ada
4. Thorax belakang
Inspeksi
- Bentuk : Fusiformis Scapulae alta : tidak
- Simetris/tidak : simetris Ketinggalan bernafas : tidak
- Benjolan : tidak Venektasi : tidak
52
Palpasi
- Nyeri tekan : tidak Penonjolan : tidak
- Fremitus suara : kanan = kiri
Perkusi
- Suara perkusi paru : sonor dikedua lapang paru
- Gerakan bebas : 2 cm
- Batas bawah paru :
- A. Kanan : Proc. Spinosus Vertebra IX
- B. Kiri : Proc. Spinosus Vertebra X
Aukultasi
- Pernafasan : Vesikuler dikedua lapang paru
- Suara tambahan : Tidak ada
5. Abdomen
Inspeksi
- Bengkak : tidak
- Venektasi : tidak
- Gembung : tidak
- Sirkulasi Collateral : tidak
- Pulsasi : tidak
53
Palpasi
- Defens muskular : tidak
- Nyeri tekan : tidak
- Lien : tidak teraba
- Ren : tidak teraba
- Hepar : tidak teraba
Perkusi
- Pekak hati : ya
- Pekak beralih : tidak
Auskultasi
- Peristaltik usus : normal (8 x/ menit)
6. Genitalia
7. Extremitas
a. Atas Kanan Kiri
- Bengkak : tidak tidak
- Merah : tidak tidak
- Stand abnormal : tidak tidak
- Gangguan fungsi : tidak tidak
- Tes Rumpelit : tdilakukan ( Negatif)
- Refleks :
o Bisep : ++ ++
o Trisep : ++ ++
- Radio periost :+ +
b. Bawah
- Bengkak : tidak tidak
- Merah : tidak tidak
54
- Eodema : tidak tidak
- Pucat : tidak tidak
- Gangguan fungsi : tidak tidak
- Varises : tidak tidak
- Refleks
o KPR : ++ ++
o APR : ++ ++
o Struple :+ +
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal : 02/09/2017
Nama : Rahmat Kurniawan
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Darah Rutin
Haemoglobin 13 g/dl 13-18
Hitung Eritrosit *4,3 106/ul 4.5-6.5
Hitung Leukosit 4.700 /ul 4.000-11.000
hematokrit *37,8 % 40-54
Hitung trombosit *74.000 /ul 150.000-450.000
Index Eritrosit
MCV 87,5 Fl 80-96
MCH 27,7 Pg 27-31
MCHC *31,7 % 32-36
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 1 % 1-3
Basofil 1 % 0-1
N. Stab *0 % 2-6
N. Seg 54 % 53-75
Limfosit 40 % 20-45
Monosit 5 % 4-8
LED *27 mm/jam 0-10
FAAL HATI
55
Bilirubin total 0,42 mg/dl 0,3-1
Bilirubin direct 0,24 mg/dl < 0,25
SGOT/ASAT *84 U/L <40
SGPT/ALAT *73 U/L <40
TEST WIDAL
S. typhi O 1/40
S.paratyphi A.O 1/160
S. paratyphi B.O 1/320
S. paratyphi C.O 1/40
S. typhi H 1/320
S. paratyphi A.H 1/40
S. paratyphi B.H 1/40
S. paratyphi C.H 1/40
RESUME
Anamnesis
Keluhan utama : Demam
Telaah : Pasien datang ke Rumah Sakit Haji Medan dengan keluhan demam,
demam sejak ± 7 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Demam
bersifat naik pada malam hari dan turun pada pagi hari. Demam di
sertai menggigil dan pusing. Pasien juga mengeluhkan linu-linu pada
sendi. Linu pada sendi dirasakan pasien sejak ± 3 hari yang lalu.
Pasien mengeluhkan demam naik lagi ± 3 hari ini setelah
sempat turun demam bersifat mendadak dan dirasakan terus menerus
dan jika turun tidak tentu waktunya.
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah yang dialami sejak
3 hari yang lalu. Muntah sebanyak ± 3x/hari dengan volume kira-kira
1 gelas aqua, dan setiap muntah berisi apa yang pasien makan. Nyeri
pada perut di sangkal.
Pasien juga mengeluhkan pusing sejak 3 hari yang lalu, pusing
memberat pada saat berjalan dan mereda pada saat pasien duduk.
Pasien mengatakan terkadang pusing timbul pada saat demam
muncul.
56
Pasien juga mengeluhkan batuk sejak ± 2 hari terakhir ini.
Batuk disertai dahak, dahak berwarna putih dan sulit untuk di
keluarkan. Pasien juga mengeluhkan penurunan nafsu makan, namun
tidak disertai penurunan berat badan. Pasien merasa apa yang pasien
makan terasa pahit. Pasien juga mengeluhkan sering lemas akhir-
akhir ini.
Pasien juga mengatakan bahwa pasien mencret ± 7 hari yang
lalu sebelum masuk rumah sakit. Mencret berupa air lebih banyak
daripada ampas dan tidak disertai darah, namun sejak pasien masuk
rumah sakit pasien belum pernah buang air besar ± 5 hari terakhir ini.
Pasien juga mengatakan sebelum pasien sakit, pasien
berpergian ke berastagi.
Buang air kecil : 3-5x/hari, warna kuning pekat, nyeri saat BAK (-)
Buang air Besar :sudah tidak BAB sejak 5 hari terakhir
Riwayat penyakit terdahulu : tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada
Riwayat Penggunaan Obat : pasien lupa obat
Status Present
Keadaan umum Keadaan penyakit Keadaan gizi
Sens : Compos Mentis Anemia : tidak TB : 167 cm
TD : 120/70 mmHg Ikterus : tidak BB : 49 kg
Nadi : 88 x/ menit Sianosis : tidak RBW = 49 x 100%
Nafas : 20 x/ menit Dyspnea : tidak 167 - 100
Suhu : 40,0 C Edema : tidak = 73%
Eritema : tidak Kesan: Underweight
Turgor : baik IMT = 49
Gerakan aktif : ya (167) 2
Sikap tidur paksa : tidak = 17,62 % kg/m2
Kesan: Underweight
57
Pemeriksaan Fisik
Kepala :Beslag (+), tonsil hiperemis,
Leher : Dalam Batas Normal
Thorax : Dalam Batas Normal
Abdomen : Dalam Batas Normal
Extremitas : Dalam Batas Normal
Pemeriksaan laboratorium
Hitung Eritrosit :4,3 u/l
Hematokrit :37,8%
Hitung Trombosit :74.000 u/l
MCHC : 31,7%
N.stab : 0%
LED : 27 mm/jam
SGOT/ASAT :84 u/l
SGPT/ALAT :73 u/l
Test Widal
S. paratyphi B.O: 1/320
S. typhi H : 1/320
Diagnosa Banding
1) Demam berdarah dengue + demam typhoid
2) Chikungunya
3) Malaria
4) Leptospirosis
Diagnosis Sementara
Demam berdarah dengue+ demam typhoid
Terapi
58
1. Aktivitas tirah baring
2. Diet Diet M II
3. Medikamentosa
- IVFD RL 20gtt/menit
- Inj. Ranitidin 1 ampl 50mg/12 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj. Novalgin 1 amp (KP)
- Paracetamol 3x 500mg/hari
- Curcuma 3x1
Pemeriksaan Anjuran/ Usul
- Darah rutin
- Ig M anti dengue, Ig G anti dengue
- Tubex test
- USG abdomen
- Apusan darah tepi
- Feses rutin
59
Pemeriksaan Fisik3 Pemeriksaan Fisik
1.Suhu badan meningkat 1.Suhu badan meningkat 38,5oc
2.Lidah typhoid tongue (beslag) 2.Lidah typhoid tongue (beslag)
ditemukan pada pasien.
3.Bradikardi relatif 3.Bradikardi relatif tidak ditemukan pada
pasien
4.Konjungtiva anemis 4.Konjungtiva anemis ditemukan pada
pasien
Tatalaksana1,3 Tatalaksana
Pengobatan pada demam typhoid : Pengobatan pada demam typhoid
II.Medikamentosa : II.Medikamentosa
61
2.Vaksin polisakarida1
Prognosis1 Prognosis
-Dubia adbonam (Baik) - Dubia adbonam (Baik)
Jika mendapat terapi antibiotik mendapatkan terapi antibiotik yang
yang adekuat. adekuat
-Dubia admalam (buruk)
Jikapasien tidak mendapat
terapi antibiotik yang adekuat
dan telah terjadi komplikasi
serta pertolongan medis yang
terlambat
Edukasi8 Edukasi
1.pengobatan berupa penggunaan 1. Demam tifoid bisa dihindari dengan
antibiotik yang harus di patuhi, menerapkan pola gaya hidup sehat dan
prilaku yang baik.
2.Pemilihan diet selama penderita 2. Penyandang tifoid perlu perhatian aktif
sakit dari diri sendiri pasien, keluarga
3.tanda dan gejala pada individu 3. Pasien diharapkan mengetahui dan
yang terkena demam tifoid menyadari diet yang harus diikuti
4.penjelasan komplikasi yang terhindar dari keadaan yang
mungkin diakibakan demam tifoid.8 memperburuk penyakit.
4. Pasien harus didampingi oleh tim
kesehatan dalam menuju perubahan
perilaku sehat agar tercapai
keberhasilan perubahan perilaku serta
mengedukasi pasien dalam upaya
meningkatkan motivasi serta
mengetahui komplikasi dari demam
tifoid..
62
DISKUSI KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE
Teori Kasus
Anamnesa2 Anamnesa
2.Ig M anti dengue, dan Ig G anti dengue 2.Ig M anti dengue, dan Ig G anti dengue tidak
dilakukan
3.Rumpleed test atau uji tourniquet (+) jika 3. Rumpleed test atau uji tourniquet (-) pada
ditemui >10 peteki dalam ukuran diameter pasien
5 cm.
63
Diagnosa banding6 Diagnosa banding
1. DBD 1. DBD
2. Chikungunya 2. Chikungunya
3. Demam Tifoid 3. Demam Tifoid
4. Malaria 4. Malaria
Diagnosa5 Diagnosa
Demam Berdarah Dengue Demam Berdarah Dengue
Tatalaksana7 Tatalaksana
Pengobatan pada demam berdarah dengue: Pengobatan pada demam berdarah dengue:
1.Tirah baring 1.Tirah baring
2.IVFD RL 20gtt/i 2.IVFD RL 20gtt/i
3.IVFD Koloid 3.IVFD HES 10gtt/i
4.Paracetamol 3 x 500mg 4.Paracetamol 3 x 500mg
Komplikasi8 Komplikasi
1.Ensefalopati Dengue 1.Tidak dijumpaiEnsefalopati Dengue
2.Gagal ginjal akut 2.Tidak dijumpai Gagal ginjal akut
3.Odem Paru 3.Tidak dijumpai Odem Paru
.
Pencegahan8 Pencegahan
1.Penggalahan hihdup sehat dengan cara 1.Penggalahan hihdup sehat dengan cara 3M
3M yaitu: menguras,mengubur,menutup yaitu: menguras,mengubur,menutup sarang
sarang perkembang biakan jentik nyamuk perkembang biakan jentik nyamuk
64
Edukasi2,8 Edukasi
1.DBD bisa dihindari dengan 1.DBD bisa dihindari dengan menerapkan
menerapkan pola gaya hidup sehat dan pola gaya hidup sehat dan prilaku yang
prilaku yang baik. baik dengan lingkungan sekitar yang
dibersihkan.
2.Penderita DBD perlu perhatian aktif 2.Penderita DBD perlu perhatian aktif dari
dari diri sendiri pasien, keluarga dan diri sendiri pasien, keluarga dan masyarakat
masyarakat. apa bila dilingkungan sudah ditemui orang
dengan gejala yang mengarah ke dbd segera
melapor ke petugas kesehatan.
3.Pasien harus didampingi oleh tim 3.Pasien harus didampingi oleh tim
kesehatan dalam menuju perubahan kesehatan dalam menuju perubahan perilaku
perilaku sehat agar tercapai sehat agar tercapai keberhasilan perubahan
keberhasilan perubahan perilaku serta perilaku serta mengedukasi pasien dalam
mengedukasi pasien dalam upaya upaya meningkatkan motivasi.
meningkatkan motivasi..
65
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis.
2. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demem Berdarah Dengue. Dalam: Sudoyo A,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiatiti S (Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
Ed. Ilmu Penyakit dalam : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika, 2002:1-43.
4. Saleha Sungkar Pemberantasan Demam Berdarah Dengue. Dalam: Andi A (Editor). Demam
Berdarah Dengue. Edisi 5. Jakarta: Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia; 2002 .p. 31-43
Dokter Indonesia. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta, Agustus 2002.
6. World Health Organization. Dengue and dengue haemorrhagic fever. Terdapat di:
66