Referat Anestesi
Referat Anestesi
Referat Anestesi
OLEH :
Angga Prasetya
C 111 11 905
PEMBIMBING :
dr. Miftatul Huda
KONSULEN :
dr. Faisal Muchtar, Sp.An-KIC
Sepsis merupakan kondisi yang termasuk kedalam sepuluh besar penyebab kematian
terbanyak di amerika serikat melebihi dari total kematian yang disebabkan oleh kanker
prostat, kanker payudara, dan AIDS.1
Sepsis adalah suatu kondisi yang kompleks ditandai dengan aktivasi stimulus inflamasi
dan koagulasi sebagai respon terhadap serangan mikroba. Pada model hewan dan manusia
fase awal sepsis, hipoksia jaringan secara global terjadi sebagai akibat dari gangguan
hemodinamik yang membuat ketidakseimbangan antara distribusi oksigen ke sistemik dan
kebutuhannya. Gangguan ini dapat berupa hipovolemia, penurunan tonus vasomotor,
penurunan kandungan oksigen arteri, depresi miokard, peningkatan kebutuhan metabolisme,
dan kegagalan utilisasi oksigen sistemik via mikrosirkulasi atau gangguan mitokondria.2,3
Kegagalan perfusi jaringan yang menyebabkan hipoksia membuat pasien sepsis
membutuhkan bantuan untuk perbaikan hemodinamik agar oksigen dapat dihantarkan sampai
ke jaringan perifer. Telah banyak cara dilakukan untuk memperbaiki kelainan hemodinamik
ini seperti penggunaan vasopressor, antibiotik, dan resusitasi dengan cairan dan salah satu
cara yang masih menjadi perdebatan saat ini adalah dengan menggunakan terapi oksigen.
Terapi oksigen adalah suatu tindakan untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen pada
inspirasi, yang dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kadar oksigen inspirasi / FiO2
(Orthobarik), dan meningkatkan tekanan oksigen (Hiperbarik), tujuan dari terapi oksigen ini
adalah untuk meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke jaringan
untuk memfasilitasi metabolisme aerob, dan mempertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 >
90%.4 Tetapi hal ini masih diperbincangkan bagi penderita sepsis, akibat tingginya aliran
yang digunakan yang ditakutkan dapat memperparah kerusakan organ akibat barotrauma
pada paru-paru dan toksisitas dari oksigen itu sendiri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SEPSIS
1. Definisi
Rapat satuan tugas pada tahun 2016 yang diadakan oleh perhimpunan-
perhimpunan negara termasuk the Society of Clinical Care Medicine (SCCM) dan
European Society of Intensive Care Medicine (ESICM) mengemukakan sebuah
definisi baru dari sepsis, yang disebut Sepsis – 3. Dalam definisi baru tersebut sepsis
sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh disregulasi
respon host terhadap infeksi. Sedangkan syok septic (septic shock) didefinisikan
sebagai keadaan sepsis dengan hipotensi persisten yang membutuhkan vasopressor
untuk mempertahankan MAP ≥65 mmHg dan kadar serum laktat >2 mmol/L
meskipun volume resusitasi adekuat. Definisi baru ini membuat ditinggalkannya
penggunaan host inflammatory response syndrome criteria (SIRS) dalam
mengidentifikasi sepsis dan mengeliminasi istilah sepsis berat (Severe Sepsis).5
Definisi sepsis pertama, sepsis-1, telah dikemukakan pada tahun 1991 pada
consensus conference yang mana kiriteria SIRS ditetapkan. Empat kriteria SIRS, yaitu
takikarida (heart rate > 90 kali permenit), takipneu (respiratory rate > 20 kali
permenit), demam atau hipotermia ( suhu >38oC atau <36oC), dan leukositosis,
leukopenia, atau bandemia ( sel darah putih > 12000/mm3, <4000/mm3, atau bandemia
≥10%). Pasien yang menderita dua atau lebih kriteria ini telah memenuhi definisi dari
SIRS, dan sepsis-1 didefinisikan sebagai infeksi atau suspek infeksi mengarah pada
onset dari SIRS. Sepsis yang berkomplikasi menjadi disfungsi organ disebut sebagai
sepsis berat (Severe sepsis), yang mana dapat berkembang kearah syok sepsis, yang
didefinisikan sebagai sepsis-induced hipotensi meskipun telah dilakukan resusitasi
cairan yang adekuat.5
Pada tahun 2001, satuan tugas menyadari keterbatasan dari definisi ini, tetapi
tidak menawarkan alternatif akibat kurangnya bukti. Bagaimanapun, mereka
memperluas daftar dari kriteria diagnosis, yang menghasilkan Sepsis-2. Karena itu,
dalam rangka mengdiagnosis sepsis berdasarkan definisi sepsis-2, sama seperti sepsis-
1, penderita harus memiliki setidaknya 2 kriteria SIRS dan telah terbukti atau masih
suspek infeksi. Ini menyebabkan, definisi dari sepsis dan syok sepsis tetap tidak
berubah selama lebih dari dua dekade.5
Pada tahun 2016, SCCM/ESICM mengevaluasi kriteria untuk mengidentifikasi
pasien sepsis, satuan tugas membandingkan kriteria SIRS tradisional ke metode lain,
termasuk Logistic Organ Dysfuction System (LODS) dan Sequential Organ Failure
Assessment (SOFA) score. Berdasarkan analisa ini, penulis merekomendasikan
penggunaan skor SOFA untuk menilai derajat keparahan dari disfungsi organ pada
pasien sepsis yang berpotensial. Validitas prediksi dari SIRS dan SOFA untuk
mortalitas pada pasien sepsis telah dibandingkan oleh analyzing health record data
dari Universitas Pittsburgh dan Kaiser Permanente databases. Diantara pasien dengan
penyakit kritis yang tersuspek sepsis, validitas prediksi dari SOFA untuk kematian
dirumah sakit lebih tinggi daripada SIRS ( 0,74 vs 0.64 ). Pasien yang memenuhi
kriteria SOFA telah diprediksi angka mortalitasnya sebesar ≥10%. Meskipun
kapasitas prediksi SOFA dan LODS sama, SOFA lebih mudah dikalkulasi sehingga
satuan tugas merekomendasikan untuk menggunakan SOFA score.5
2. Etiologi
a. Non Infeksi
Istilah SIRS diperuntukkan untuk pasien yang memunculkan gejala klinis
dari sepsis tanpa adanya infeksi yang terdeteksi. Banyak pasien kemudian akan
memunculkan tanda-tanda dari infeksi, tetapi beberapa juga terjadi kondisi
inflamasi steril yang dapat berkembang menjadi syok dan kegagalan multiorgan.
Hal ini termasuk, pankreatitis, iskemia jaringan, trauma dan cedera jaringan post
operasi, terbakar, tromboembolisme, vaskulitis, reaksi obat ( termasuk neuroleptic
malignant syndrome ), dan autoimun dan proses neoplasia seperti limfoma dan
hemophagocytic lymphohistiocytosis.6
b. Infeksi
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan presentase 60%
sampai 70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel
imun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk
yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau
endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar
dari bakteri gram negatif.7
LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang
terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam
tubuh penderita. Staphylococci, Pneumococci, Sterptococci dan bakteri gram
positif lainnya jarang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20% sampai
40% dari keseluruhan kasus.7
3. Patogenesis
Sepsis dikatakan sebagai suatu proses peradangan intravaskular yang berat. Hal
ini dikatakan berat karena sifatnya yang tidak terkontrol dan berlangsung terus
menerus dengan sendirinya, dikatakan intravaskular karena proses ini
menggambarkan penyebaran infeksi melalui pembuluh darah dan dikatakan
peradangan karena semua tanda respon sepsis adalah perluasan dari peradangan
biasa.6
Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi perlepasan mediator-mediator
inflamasi termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam proinflamasi dan
antiinflamasi. Sitokin yang termasuk proinflamasi seperti TNF, IL-1, interferon γ
yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi. Sedangkan sitokin antiinflamasi yaitu IL-1-reseptor antagonis
(IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi
terhadap respon yang berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon ini bertujuan
untuk melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dan terjadi proses
penyembuhan. Namun ketika keseimbangan ini hilang maka respon proinflamasi akan
meluas menjadi respon sistemik. Respon sistemik ini meliputi kerusakan endothelial,
disfungsi mikrovaskuler dan kerusakan jaringan akibat gangguan oksigenasi dan
kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi. Sedangkan konskuensi dari kelebihan
respon antiinfalmasi adalah alergi dan immunosupressan. Kedua proses ini dapat
imunologi yang merusak. 6,8
Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika bakteri
gram negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan endotoksin dengan
lipopolisakarida (LPS) yang secara langsung dapat mengikat antibodi dalam serum
darah penderita sehingga membentuk lipo-polisakarida antibody (LPSab). LPSab
yang beredar didalam darah akan bereaksi dengan perantara reseptor CD 14+ dan
akan bereaksi dengan makrofag dan mengekspresikan imunomodulator.6,7
Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus atau parasit. Mereka dapat
berperan sebagai superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang
berperan sebagai antigen processing cell yang kemudian ditampilkan sebagai APC
(Antigen Presenting Cell). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang
berasal dari MHC (Major Histocompatibility Complex). Antigen yang bermuatan
MHC akan berikatan dengan CD 4+ (Limfosit Th1 dan Limfosit Th2) dengan
perantara T-cell Reseptor. 6,7
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai immodulator
akan mengeluarkan IFN-γ, IL2 dan M-CSF (Macrophage Colony Stimulating Factor),
sedangkan Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IFN-g, IFN 1β dan
TNF α yang merupakan sitokin proinflamantori. IL-1β yang merupakan sebagai
imuno regulator utama juga memiliki efek pada sel endothelial termasuk didalamnya
terjadi pembentukkan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang menyebabkan neutrofil
tersensitisasi oleh GM-CSF mudah mengadakan adhesi. Neutrofil yang beradhesi
akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding endotel lisis sehingga endotel
akan terbuka dan menyebabkan kebocoran kapiler. Neutrofil juga membawa
superoksidan yang termasuk kedalam radikal bebas (nitrat oksida) sehingga
mempengaruhi oksigenisasi pada mitokondria sehingga endotel menjadi nekrosis dan
terjadilah kerusakan endotel pembuluh darah. Adanya kerusakan endotel pembuluh
darah menyebabkan gangguan vaskuler dan hipoperfusi jaringan sehingga terjadi
hipoksia pada jaringan dan sebagai hasilnya adalah peningkatan produksi asam laktat
akibat metabolism anaerob pada sel. Peningkatan laktat pada pasien mengindikasikan
peningkatan dari risiko kematian. Hipoksia jaringan yang berkepanjangan akhirnya
akan berakhir kepada kerusakan organ multipel.6,7
Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-α, IL-8, IL-6
menimbulkan respon fase akut dan permeabilitas epitel. Setelah terjadi reperfusi pada
jaringan iskemik, terbentuklah ROS (Spesifik Oksigen Reaktif) sebagai hasil
metabolisme xantin dan hipoxantin oleh xantin oksidase dan hasil metabolisme asam
amino yang turut menyebabkan kerusakan jaringan. ROS penting artinya bagi
kesehatan dan fungsi tubuh yang normal dalam memerangi peradangan, membunuh
bakteri, dan mengendalikan tonus otot polos pembuluh darah, Namun bila dihasilkan
melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka dia akan menyerang isi
sel itu sendiri sehingga menambah kerusakan jaringan dan bisa menjadi disfungsi
organ multipel yang meliputi disfungsi neurologi, kardiovaskuler, respirasi, hati,
ginjal dan hematologi.6,7
4. Diagnosis
c. Gastrointestinal
Pada pasien sepsis di mana pasien dalam keadaan tidak sadar dan terpasang
intubasi dan tidak dapat makan, maka bakteri akan berkembang dalam saluran
pencernaan dan mungkin juga dapat menyebabkan suatu pneumonia nosokomial
akibat aspirasi. Abnormalitas sirkulasi pada sepsis dapat menyebabkan penekanan
pada barier normal dari usus, yang akan menyebabkan bakteri dalam usus
translokasi ke dalam sirukulasi (mungkin lewat saluran limfe).6,7
d. Gagal ginjal akut
e. Syok septik
b. Resuscitation
Syok septik, ketika muncul, menuntut segera dan agresif resusitasi.
Percobaan pada 263 pasien di unit gawat darurat menyarankan resusitasi dini,
dititrasi sampai batas akhir fisiologis, memperbaiki angka kematian pada syok
sepsis. Pada percobaan yang sama, volume awal dari kristaloid (̴ 5 liter ) pada
enam jam pertama penting untuk memperbaiki syok.8
Patofisiologi dari syok sepsis termasuk perubahan dari cardiac preload,
afterload, contractility, dan kebocoran kapiler. Vasoplegia merupakan inti dari
respon ini. Untuk beberapa pasien dengan syok sepsis, volume infus kurang,
sebab itu penggunaan vasokonstriktor dapat berguna. Beberapa rekomendasikan
untuk mengobati vasoplegia dengan norepinefrin, menggunakan vasopressin dan
epinefrin sebagai agen kedua, dan menggunakan dobutamin pada keadaan
kelemahan kontraktilitas miokard. Dopamine sudah tidak digunakan lagi secara
rutin karena berpotensi untuk menyebabkan disaritmia.8
B. TERAPI OKSIGEN
1. Definisi Terapi Oksigen
Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen sebagai suatu intervensi medis,
dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibanding yang terdapat dalam udara untuk
terapi dan pencegahan terhadap gejala dan menifestasi dari hipoksia. Oksigen sangat
penting untuk metabolisme sel, dan lebih dari itu, oksigenasi jaringan sangat penting
untuk semua fungsi fisiologis normal.9
Rebreathing mask
Suatu teknik pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi yaitu 35 –
60% dengan aliran 6 – 15 liter/mnt , serta dapat meningkatkan nilai PaCO2.
Udara ekspirasi sebagian tercampur dengan udara inspirasi, sesuai dengan
aliran O2, kantong akan terisi saat ekspirasi dan hampir menguncup waktu
inspirasi. Sebelum dipasang ke pasien isi O2 ke dalam kantong dengan cara
menutup lubang antara kantong dengan sungkup minimal 2/3 bagian kantong
reservoir. Memasang kapas kering pada daerah yang tertekan sungkup dan tali
pengikat untuk mencegah iritasi kulit.13
Keuntungan
Konsentrasi oksigen lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak
mengeringkan selaput lendir.
Kerugian
Tidak dapat memberikan oksigen konsentrasi rendah, kantong
oksigen bisa terlipat atau terputar atau mengempes, apabila ini terjadi dan
aliran yang rendah dapat menyebabkan pasien akan menghirup sejumlah
besar karbondioksida.
Selain itu pasien jug tidak memungkinkan makan minum atau batuk
dan menyekap, bisa terjadi aspirasi bila pasien muntah, serta perlu segel
pengikat
Transtracheal Oxygen.
Mengalirkan oksigen secara langsung melalui kateter ke dalam trakea.
Oksigen transtrakea dapat meningkatkan kesetiaan pasien menggunakan
oksigen secara kontinyu selama 24 jam, dan sering berhasil bagi pasien
hipoksemia yang refrakter. Dari hasil studi, dengan oksigen transtrakea ini
dapat menghemat penggunaan oksigen 30-60%. Keuntungan dari pemberian
oksigen transtrakea yaitu tidak menyolok mata, tidak ada bunyi gaduh, dan
tidak ada iritasi muka/hidung. Rata-rata oksigen yang diterima mencapai 80-
96%. Kerugian dari penggunaan oksigen transtrakea adalah biaya tinggi dan
resiko infeksi lokal. Komplikasi yang biasa terjadi pada pemberian oksigen
transtrakea ini adalah emfisema subkutan, bronkospasme, dan batuk
paroksismal. Komplikasi lain diantaranya infeksi stoma, dan mucus ball yang
dapat mengakibatkan fatal. 13
Gambar. 10. Transtracheal Oxygen
a. Kebakaran
Oksigen bukan zat pembakar tetapi dapat memudahkan terjadinya
kebakaran, oleh karena itu klein dengan terapi pemberian oksigenharus
menghindari : Merokok, membuka alat listrik dalam area sumber oksigen,
menghindari penggunaan listrik tanpa “Ground”.15
b. Depresi Ventilasi
Pemberian oksigen yang tidak dimonitor dengan konsentrasi dan aliran yang
tepat pada klien dengan retensi CO2 dapat menekan ventilasi. Penderita PPOK
dengan retensi CO2 sering bergantung pada “hypoxic drive” untuk
mempertahankan ventilasinya. Konsentrasi O2 yang tinggi dapat mengurangi
“drive” ini. Oksigen sebaiknya hanya diberikan dengan persentase rendah dan
pasien diobservasi secara ketat untuk menilai adanya retensi CO2.15
c. Keracunan Oksigen
Dapat terjadi bila terapi oksigen yang diberikan dengan konsentrasi tinggi
dalam waktu relatif lama. Keadaan ini dapat merusak struktur jaringan paru
seperti atelektasis dan kerusakan surfaktan. Akibatnya proses difusi di paru akan
terganggu.15
Sepsis adalah suatu kondisi yang kompleks ditandai dengan aktivasi stimulus inflamasi
dan koagulasi sebagai respon terhadap serangan mikroba. Pada model hewan dan manusia
fase awal sepsis, hipoksia jaringan secara global terjadi sebagai akibat dari gangguan
hemodinamik yang membuat ketidakseimbangan antara distribusi oksigen ke sistemik dan
kebutuhannya. Gangguan ini dapat berupa hipovolemia, penurunan tonus vasomotor,
penurunan kandungan oksigen arteri, depresi miokard, peningkatan kebutuhan metabolisme,
dan kegagalan utilisasi oksigen sistemik via mikrosirkulasi atau gangguan mitokondria.
Kegagalan perfusi jaringan yang menyebabkan hipoksia membuat pasien sepsis
membutuhkan bantuan untuk perbaikan hemodinamik agar oksigen dapat dihantarkan sampai
ke jaringan perifer.
Penggunan terapi oksigen pada sebagian besar pasien mungkin akan berhasil untuk
mengembalikan keadaan hipoksia jaringan yang terjadi. Namun, adanya efek samping
terhadap penggunaan aliran tinggi oksigen (Hiperoksia) kepada pasien sepsis masih menjadi
perdebatan. Hal ini terjadi akibat efek peningkatan radikal bebas yang dapat terjadi jika kita
memberikan pasien dosis oksigen yang tinggi. Oleh sebab itu pengawasan yang baik
diantaranya pengecekan dengan analisa gas darah 5 menit setelah terapi sangat baik untuk
berhasilnya terapi ini dan sebagai pencegahan jika keadaan seperti keracuan oksigen yang
tidak kita inginkan terjadi.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Banerjee D, Levy MM. 2017. Sepsis Definition. USA : Springer International
Publishing AG
2. Polat, G. et.al. 2017. Sepsis and Septic Shock : Current Treatment Strategies and
New Approaches. The Eurasian Journal of Medicine pg53-58
3. NICE. 2016 . Sepsis : recognition, diagnosis, and early management. NICE Guideline
2017
4. Swidarmoko dan Agus Dwi Susanto. 2010. Pulmonologi Intervensi Dan Gawat
Darurat Napas. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Paul. E. Taeb AM. 2017. SIRS,qSOFA and New Sepsis Definition. Eastern Virginia
Medical School Norfolk. USA
6. Gotts JE, Matthay MA. 2016. Sepsis : Pathophysiology and Clinical Management.
State of the Art Review CrossMark. USA
7. Hermawan, G. 2014. Sepsis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1 Edisi VI.
Jakarta: FK UI
8. Nunnally, ME. 2016. Sepsis for the anaesthetist. British Journal of Anaesthesia
9. Singh. CP. Brar. Gurmeet, K. et.al. 2001. Emergency Medicine Oxygen Therapy.
Journal Indian Academy of Clinical Medicine Vol 2. No 3.
10. Guyton, Arthur, C.Hall. John E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta : ECG
11. Astowo, Pudio. 2005. Terapi Oksigen. Ilmu Penyakit Paru. Bagian Pulmonologi
Kedokteran Respirasi. Jakarta : FK UI.
12. Ganong, F. William. 2003. Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta :EGC.
13. South Durham Health Care NHS, 2000. Guidline for the Management of Oxygen
Therapy. Diakses dari www.ndhd.com/nhs.uk.content.clinicguide
14. Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang, dkk. 2008. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi ke VI. Jilid 1. Jakarta : FK UI.
15. Clausen T, Khaldi A, Zauner A, et al. Cerebral acid–base homeostasis after severe
traumatic brain injury. J Neurosurg 2005; 103:597–607
16. Stolmeijer R. et.al. 2013. Oxygen Therapy for Sepsis Patient in the Emergency
Department : a little less?. European Journal of Emergency Medicine.
17. Vincent JL. Et.al. 2017. Harmful Effect of Hyperoxia in Postcardiac Arrest, Sepsis,
Traumatic Brain Injury, or Stroke : the Importance of Individualized Oxygen Therapy
in Critically Ill Patients. Canadian Respiratory Journal. Canada