Referat Anestesi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ANESTESIOLOGI,TERAPI INTENSIF LAPORAN KASUS

DAN MANAJEMEN NYERI MARET 2018


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

TERAPI OKSIGEN PADA PASIEN SEPSIS

OLEH :

Angga Prasetya

C 111 11 905

PEMBIMBING :
dr. Miftatul Huda

KONSULEN :
dr. Faisal Muchtar, Sp.An-KIC

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN


ANESTESIOLOGI TERAPI INTENSIF DAN MANAJEMEN NYERI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Sepsis merupakan kondisi yang termasuk kedalam sepuluh besar penyebab kematian
terbanyak di amerika serikat melebihi dari total kematian yang disebabkan oleh kanker
prostat, kanker payudara, dan AIDS.1
Sepsis adalah suatu kondisi yang kompleks ditandai dengan aktivasi stimulus inflamasi
dan koagulasi sebagai respon terhadap serangan mikroba. Pada model hewan dan manusia
fase awal sepsis, hipoksia jaringan secara global terjadi sebagai akibat dari gangguan
hemodinamik yang membuat ketidakseimbangan antara distribusi oksigen ke sistemik dan
kebutuhannya. Gangguan ini dapat berupa hipovolemia, penurunan tonus vasomotor,
penurunan kandungan oksigen arteri, depresi miokard, peningkatan kebutuhan metabolisme,
dan kegagalan utilisasi oksigen sistemik via mikrosirkulasi atau gangguan mitokondria.2,3
Kegagalan perfusi jaringan yang menyebabkan hipoksia membuat pasien sepsis
membutuhkan bantuan untuk perbaikan hemodinamik agar oksigen dapat dihantarkan sampai
ke jaringan perifer. Telah banyak cara dilakukan untuk memperbaiki kelainan hemodinamik
ini seperti penggunaan vasopressor, antibiotik, dan resusitasi dengan cairan dan salah satu
cara yang masih menjadi perdebatan saat ini adalah dengan menggunakan terapi oksigen.
Terapi oksigen adalah suatu tindakan untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen pada
inspirasi, yang dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kadar oksigen inspirasi / FiO2
(Orthobarik), dan meningkatkan tekanan oksigen (Hiperbarik), tujuan dari terapi oksigen ini
adalah untuk meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke jaringan
untuk memfasilitasi metabolisme aerob, dan mempertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 >
90%.4 Tetapi hal ini masih diperbincangkan bagi penderita sepsis, akibat tingginya aliran
yang digunakan yang ditakutkan dapat memperparah kerusakan organ akibat barotrauma
pada paru-paru dan toksisitas dari oksigen itu sendiri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. SEPSIS
1. Definisi
Rapat satuan tugas pada tahun 2016 yang diadakan oleh perhimpunan-
perhimpunan negara termasuk the Society of Clinical Care Medicine (SCCM) dan
European Society of Intensive Care Medicine (ESICM) mengemukakan sebuah
definisi baru dari sepsis, yang disebut Sepsis – 3. Dalam definisi baru tersebut sepsis
sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh disregulasi
respon host terhadap infeksi. Sedangkan syok septic (septic shock) didefinisikan
sebagai keadaan sepsis dengan hipotensi persisten yang membutuhkan vasopressor
untuk mempertahankan MAP ≥65 mmHg dan kadar serum laktat >2 mmol/L
meskipun volume resusitasi adekuat. Definisi baru ini membuat ditinggalkannya
penggunaan host inflammatory response syndrome criteria (SIRS) dalam
mengidentifikasi sepsis dan mengeliminasi istilah sepsis berat (Severe Sepsis).5
Definisi sepsis pertama, sepsis-1, telah dikemukakan pada tahun 1991 pada
consensus conference yang mana kiriteria SIRS ditetapkan. Empat kriteria SIRS, yaitu
takikarida (heart rate > 90 kali permenit), takipneu (respiratory rate > 20 kali
permenit), demam atau hipotermia ( suhu >38oC atau <36oC), dan leukositosis,
leukopenia, atau bandemia ( sel darah putih > 12000/mm3, <4000/mm3, atau bandemia
≥10%). Pasien yang menderita dua atau lebih kriteria ini telah memenuhi definisi dari
SIRS, dan sepsis-1 didefinisikan sebagai infeksi atau suspek infeksi mengarah pada
onset dari SIRS. Sepsis yang berkomplikasi menjadi disfungsi organ disebut sebagai
sepsis berat (Severe sepsis), yang mana dapat berkembang kearah syok sepsis, yang
didefinisikan sebagai sepsis-induced hipotensi meskipun telah dilakukan resusitasi
cairan yang adekuat.5
Pada tahun 2001, satuan tugas menyadari keterbatasan dari definisi ini, tetapi
tidak menawarkan alternatif akibat kurangnya bukti. Bagaimanapun, mereka
memperluas daftar dari kriteria diagnosis, yang menghasilkan Sepsis-2. Karena itu,
dalam rangka mengdiagnosis sepsis berdasarkan definisi sepsis-2, sama seperti sepsis-
1, penderita harus memiliki setidaknya 2 kriteria SIRS dan telah terbukti atau masih
suspek infeksi. Ini menyebabkan, definisi dari sepsis dan syok sepsis tetap tidak
berubah selama lebih dari dua dekade.5
Pada tahun 2016, SCCM/ESICM mengevaluasi kriteria untuk mengidentifikasi
pasien sepsis, satuan tugas membandingkan kriteria SIRS tradisional ke metode lain,
termasuk Logistic Organ Dysfuction System (LODS) dan Sequential Organ Failure
Assessment (SOFA) score. Berdasarkan analisa ini, penulis merekomendasikan
penggunaan skor SOFA untuk menilai derajat keparahan dari disfungsi organ pada
pasien sepsis yang berpotensial. Validitas prediksi dari SIRS dan SOFA untuk
mortalitas pada pasien sepsis telah dibandingkan oleh analyzing health record data
dari Universitas Pittsburgh dan Kaiser Permanente databases. Diantara pasien dengan
penyakit kritis yang tersuspek sepsis, validitas prediksi dari SOFA untuk kematian
dirumah sakit lebih tinggi daripada SIRS ( 0,74 vs 0.64 ). Pasien yang memenuhi
kriteria SOFA telah diprediksi angka mortalitasnya sebesar ≥10%. Meskipun
kapasitas prediksi SOFA dan LODS sama, SOFA lebih mudah dikalkulasi sehingga
satuan tugas merekomendasikan untuk menggunakan SOFA score.5

Gambar 1. Kriteria Sepsis

2. Etiologi
a. Non Infeksi
Istilah SIRS diperuntukkan untuk pasien yang memunculkan gejala klinis
dari sepsis tanpa adanya infeksi yang terdeteksi. Banyak pasien kemudian akan
memunculkan tanda-tanda dari infeksi, tetapi beberapa juga terjadi kondisi
inflamasi steril yang dapat berkembang menjadi syok dan kegagalan multiorgan.
Hal ini termasuk, pankreatitis, iskemia jaringan, trauma dan cedera jaringan post
operasi, terbakar, tromboembolisme, vaskulitis, reaksi obat ( termasuk neuroleptic
malignant syndrome ), dan autoimun dan proses neoplasia seperti limfoma dan
hemophagocytic lymphohistiocytosis.6

b. Infeksi
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan presentase 60%
sampai 70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel
imun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk
yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau
endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar
dari bakteri gram negatif.7
LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang
terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam
tubuh penderita. Staphylococci, Pneumococci, Sterptococci dan bakteri gram
positif lainnya jarang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20% sampai
40% dari keseluruhan kasus.7

3. Patogenesis
Sepsis dikatakan sebagai suatu proses peradangan intravaskular yang berat. Hal
ini dikatakan berat karena sifatnya yang tidak terkontrol dan berlangsung terus
menerus dengan sendirinya, dikatakan intravaskular karena proses ini
menggambarkan penyebaran infeksi melalui pembuluh darah dan dikatakan
peradangan karena semua tanda respon sepsis adalah perluasan dari peradangan
biasa.6
Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi perlepasan mediator-mediator
inflamasi termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam proinflamasi dan
antiinflamasi. Sitokin yang termasuk proinflamasi seperti TNF, IL-1, interferon γ
yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi. Sedangkan sitokin antiinflamasi yaitu IL-1-reseptor antagonis
(IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi
terhadap respon yang berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon ini bertujuan
untuk melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dan terjadi proses
penyembuhan. Namun ketika keseimbangan ini hilang maka respon proinflamasi akan
meluas menjadi respon sistemik. Respon sistemik ini meliputi kerusakan endothelial,
disfungsi mikrovaskuler dan kerusakan jaringan akibat gangguan oksigenasi dan
kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi. Sedangkan konskuensi dari kelebihan
respon antiinfalmasi adalah alergi dan immunosupressan. Kedua proses ini dapat
imunologi yang merusak. 6,8
Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika bakteri
gram negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan endotoksin dengan
lipopolisakarida (LPS) yang secara langsung dapat mengikat antibodi dalam serum
darah penderita sehingga membentuk lipo-polisakarida antibody (LPSab). LPSab
yang beredar didalam darah akan bereaksi dengan perantara reseptor CD 14+ dan
akan bereaksi dengan makrofag dan mengekspresikan imunomodulator.6,7
Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus atau parasit. Mereka dapat
berperan sebagai superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang
berperan sebagai antigen processing cell yang kemudian ditampilkan sebagai APC
(Antigen Presenting Cell). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang
berasal dari MHC (Major Histocompatibility Complex). Antigen yang bermuatan
MHC akan berikatan dengan CD 4+ (Limfosit Th1 dan Limfosit Th2) dengan
perantara T-cell Reseptor. 6,7
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai immodulator
akan mengeluarkan IFN-γ, IL2 dan M-CSF (Macrophage Colony Stimulating Factor),
sedangkan Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IFN-g, IFN 1β dan
TNF α yang merupakan sitokin proinflamantori. IL-1β yang merupakan sebagai
imuno regulator utama juga memiliki efek pada sel endothelial termasuk didalamnya
terjadi pembentukkan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang menyebabkan neutrofil
tersensitisasi oleh GM-CSF mudah mengadakan adhesi. Neutrofil yang beradhesi
akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding endotel lisis sehingga endotel
akan terbuka dan menyebabkan kebocoran kapiler. Neutrofil juga membawa
superoksidan yang termasuk kedalam radikal bebas (nitrat oksida) sehingga
mempengaruhi oksigenisasi pada mitokondria sehingga endotel menjadi nekrosis dan
terjadilah kerusakan endotel pembuluh darah. Adanya kerusakan endotel pembuluh
darah menyebabkan gangguan vaskuler dan hipoperfusi jaringan sehingga terjadi
hipoksia pada jaringan dan sebagai hasilnya adalah peningkatan produksi asam laktat
akibat metabolism anaerob pada sel. Peningkatan laktat pada pasien mengindikasikan
peningkatan dari risiko kematian. Hipoksia jaringan yang berkepanjangan akhirnya
akan berakhir kepada kerusakan organ multipel.6,7
Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-α, IL-8, IL-6
menimbulkan respon fase akut dan permeabilitas epitel. Setelah terjadi reperfusi pada
jaringan iskemik, terbentuklah ROS (Spesifik Oksigen Reaktif) sebagai hasil
metabolisme xantin dan hipoxantin oleh xantin oksidase dan hasil metabolisme asam
amino yang turut menyebabkan kerusakan jaringan. ROS penting artinya bagi
kesehatan dan fungsi tubuh yang normal dalam memerangi peradangan, membunuh
bakteri, dan mengendalikan tonus otot polos pembuluh darah, Namun bila dihasilkan
melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka dia akan menyerang isi
sel itu sendiri sehingga menambah kerusakan jaringan dan bisa menjadi disfungsi
organ multipel yang meliputi disfungsi neurologi, kardiovaskuler, respirasi, hati,
ginjal dan hematologi.6,7

4. Diagnosis

Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat medis


yang cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut status
hemodinamik.7
a. Riwayat
Membantu menentukan apakah infeksi didapatkan dari komunitas atau
nosokomial dan apakah pasien imunokompromis. Rincian yang harus diketahui
meliputi paparan pada hewan, perjalanan, gigitan tungau, bahaya di tempat kerja,
penggunaan alkohol, seizure, hilang kesadaran, medikasi dan penyakit dasar yang
mengarahkan pasien kepada agen infeksius tertentu.7
Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi :
1. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau
instrumentasi
2. Hipotensi, oligouria atau anuria
3. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab jelas
4. Perdarahan
b. Pemeriksaan Fisik
Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada semua pasien
neutropenia dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis, pemeriksaan fisik harus
meliputi pemeriksaan rectum, pelvis dan genital. Pemeriksaan tersebut akan
mengungkap abses rektal, perirectal, dan/atau perineal, penyakit dan/atau abses
inflamasi pelvis atau prostatitis.
c. Data laboratorium
Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung
diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen,
kreatinin, elektrolit, fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri,
elektrokardiogram, dan foto dada.

Gambar 2. Tabel Indikator Laboratorium untuk Sepsis


d. SOFA Score
Seperti yang telah dijelaskan diatas, berdasrkan definisi Sepsis-3 yang
digunakan saat ini indikator penilaian untuk sepsis adalah dengan menggunakan
SOFA score.

Gambar 3. SOFA Score

Namun, akibat kompleksnya metode ini, kurangnya data yang dibutuhkan


untuk banyak pasien dan diperhatikan bahwa hal ini dapat mengakibatkan
lambatnya identifikasi daripada metode lain meningkatkan kemungkinan bahwa
menggunakan metode sepsis-3 tidaklah praktis digunakan pada praktek sehari-
hari. Menyadari kekurangan tersebut, satuan tugas 2016 SCCM/ESICM
mengembangkan metode sederhana yang dinamakan quick SOFA (qSOFA) untuk
memudahkan identifikasi pasien dengan risiko kematian akibat sepsis. qSOFA
hanya terdiri dari tiga komponen yang terdiri dari satu poin. Skor qSOFA yang ≥2
poin mengindikasikan disfungsi organ.5

Gambar 4. qSOFA Score


5. Komplikasi

Komplikasi yang diakibatkan oleh sepsis adalah sebagai berikut : 6,7

a. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)


b. Adult Respiratory Disease Syndrome (ARDS)
c. Acute Renal Failure (ARF)
d. Gastrointestinal bleeding
e. Gagal hati
f. Disfungsi sistem saraf pusat
g. Gagal jantung
h. Kematian

Sepsis dapat menyebabkan Multiple organ dysfunctions (MODS). MODS


disebabkan oleh adanya gangguan perfusi jaringan yang mengalami hipoksia sehingga
terjadi nekrosis dan gangguan fungsi ginjal dimana pembuluh darah memiliki andil
yang cukup besar dalam patogenesis ini.6,7

a. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)


Sepsis akan mengaktifkan Tissue Factor yang memproduksi trombin yang
merupakan suatu substansi proinflamasi. Trombin akhirnya menghasilkan suatu
gumpalan fibrin di dalam mikrovaskular. Sepsis selain mengaktifkan tissue factor
juga menggangu proses fibrinolisis melalui pengaktifan IL-1 dan TNFα dan
memproduksi suatu plasminogen activator inhibitor-1 yang kuat menghambat
fibrinolisis. Sitokin proinflamasi juga mengaktifkan activated protein C (APC)
dan antitrombin. Protein C sebenarnya bersirkulasi sebagai zimogen yang inaktif
tetapi karena adanya trombin dan trombomodulin, protein C berubah menjadi
enzyme-activated protein C. Sedangkan APC dan co-factor protein S mematikan
produksi trombin dengan menghancurkan kaskade faktor Va dan VIIIa sehingga
tidak terjadi suatu koagulasi. APC juga menghambat kerja plasminogen activator
inhibitor-1 yang menghambat pembentukkan plasminogen menjadi plasmin yang
sangat penting dalam mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Semua proses ini
menyebabkan kelainan faktor koagulasi yang bermanisfestasi perdarahan yang
dikenal dengan Disseminta Intravascular Coagulation (DIC) yang merupakan
salah satu kegawatan sepsis yang mengancam jiwa. 6,7
b. Acute Respiratory Disease Syndrome (ARDS).

Kerusakan endotel pada sirkulasi paru menyebabkan gangguan pada aliran


darah kapiler dan perubahan permebilitas kapiler, yang dapat mengakibatkan
edema interstitial dan alveolar. Neutrofil yang terperangkap dalam mirosirkulasi
paru menyebabkan kerusakan pada membran kapiler alveoli. Edema pulmonal
akan mengakibatkan suatu hipoksia arteri sehingga akhirnya akan menyebabkan
Adult Respiratory Disease Syndrome (ARDS).6,7

Gambar 5. Patofisiologi sepsis menyebabkan ARDS

c. Gastrointestinal

Pada pasien sepsis di mana pasien dalam keadaan tidak sadar dan terpasang
intubasi dan tidak dapat makan, maka bakteri akan berkembang dalam saluran
pencernaan dan mungkin juga dapat menyebabkan suatu pneumonia nosokomial
akibat aspirasi. Abnormalitas sirkulasi pada sepsis dapat menyebabkan penekanan
pada barier normal dari usus, yang akan menyebabkan bakteri dalam usus
translokasi ke dalam sirukulasi (mungkin lewat saluran limfe).6,7
d. Gagal ginjal akut

Pada hipoksia/iskemi di ginjal terjadi kerusakan epitel tubulus ginjal,


vaskular dan sel endotel ginjal sehingga memicu terjadinya proses inflamasi yang
menyebabkan gangguan fungsi organ ginjal.6,7

Gambar. 6. Patogenesis sepsis menyebabkan gagal ginjal akut

e. Syok septik

Sepsis dengan hipotensi dan gangguan perfusi menetap walaupun telah


dilakukan terapi cairan yang adekuat karena maldistribusi aliran darah karena
adanya vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang bersirkulasi secara efektif
tidak memadai untuk perfusi jaringan sehingga terjadi hipovelemia relative.6,7

Hipotensi disebabkan karena Endotoksin dan sitokin (khususnya IL-1, IFN-


γ, dan TNF-α) menyebabkan aktivasi reseptor endotel yang menginduksi influx
kalsium ke dalam sitoplasma sel endotel, kemudian berinteraksi dengan
kalmodulin membentuk NO dan melepaskan Endothelium Derived
Hyperpolarizing Factor (EDHF) yang meyebabkan hiperpolarisasi, relaksasi dan
vasodilatasi otot polos yang diduga menyebabkan hipotensi.6,7
6. Tatalaksana
a. Recognition
Landasan untuk pengobatan sepsis yang efektif adalah pengenalan dini.
Walaupun demikian kewaspadaan terhadap perubahan yang tidak terlihat, seperti
hiperglikemia, ileus, dan perubahan status mental, dan kewaspadaan terhadap
sumber potensial infeksi ( infeksi iatrogenic, seperti kateter vena sentral atau
urin) dapat membantu klinisi untuk mendiagnosis infeksi sebelum terjadinya
onset dari respon disregulasi dan selanjutnya kerusakan jaringan.8

b. Resuscitation
Syok septik, ketika muncul, menuntut segera dan agresif resusitasi.
Percobaan pada 263 pasien di unit gawat darurat menyarankan resusitasi dini,
dititrasi sampai batas akhir fisiologis, memperbaiki angka kematian pada syok
sepsis. Pada percobaan yang sama, volume awal dari kristaloid (̴ 5 liter ) pada
enam jam pertama penting untuk memperbaiki syok.8
Patofisiologi dari syok sepsis termasuk perubahan dari cardiac preload,
afterload, contractility, dan kebocoran kapiler. Vasoplegia merupakan inti dari
respon ini. Untuk beberapa pasien dengan syok sepsis, volume infus kurang,
sebab itu penggunaan vasokonstriktor dapat berguna. Beberapa rekomendasikan
untuk mengobati vasoplegia dengan norepinefrin, menggunakan vasopressin dan
epinefrin sebagai agen kedua, dan menggunakan dobutamin pada keadaan
kelemahan kontraktilitas miokard. Dopamine sudah tidak digunakan lagi secara
rutin karena berpotensi untuk menyebabkan disaritmia.8

c. Source Control and Antibiotics


Tanpa mengetahui sumber penyebab, sepsis dan syok sepsis tidak dapat
secara efektif diobati. Untuk alasan ini, mencari sumber infeksi dan
mengobatinya dengan antibiotic dan debridemen sangat penting sebagai
diagnosis dini dan penanganan syok.8
Berdasarkan bukti yang ada, disarankan untuk terapi dini dengan
antibiotik yang mengobati organisme penyebab sepsis meningkatkan angka
bertahan hidup. Antibiotik broadspectrum dan penggunaan dua antibiotik dengan
kelas yang berbeda berguna untuk meningkatkan angka bertahan hidup pada
pasien syok sepsis jika bakteri penyebabnya tidak diketahui tetapi belum terbukti
pada pasien dengan sepsis tanpa syok.8

d. Avoiding Iatrogenic Injuries


Menghindari cedera iatrogenik seperti ventilator yang dapat
menyebabkan cedera paru adalah jalan untuk meminimalisis cedera jaringan dan
sangat penting untuk merawat pasien sepsis setelah source control,
antimicrobial, dan resuscitation.8

e. Goal – directed Therapy


Resuscitation end point penting untuk memastikan adekuatnya resusitasi
dan meminimalisir cedera dari akumulasi akibat kelebihan cairan pada jaringan.9

B. TERAPI OKSIGEN
1. Definisi Terapi Oksigen
Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen sebagai suatu intervensi medis,
dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibanding yang terdapat dalam udara untuk
terapi dan pencegahan terhadap gejala dan menifestasi dari hipoksia. Oksigen sangat
penting untuk metabolisme sel, dan lebih dari itu, oksigenasi jaringan sangat penting
untuk semua fungsi fisiologis normal.9

2. Manfaat Terapi Oksigen


Tujuan terapi oksigen adalah mengoptimalkan oksigenasi jaringan dan
meminimalkan asidosis respiratorik. Ada beberapa keuntungan dari terapi oksigen
seperti dapat mengurangi sesak nafas saat aktivitas, dapat meningkatkan kemampuan
beraktifitas dan dapat memperbaiki kualitas hidup.9
Manfaat lain dari terapi oksigen adalah memperbaiki hemodinamik paru,
kapasitas latihan, kor pulmonal, menurunkan cardiac output, meningkatkan fungsi
jantung, memperbaiki fungsi neuropsikiatrik, mengurangi hipertensi pulmonal, dan
memperbaiki metabolisme otot.10

3. Indikasi Terapi Oksigen


Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar
membutuhkan oksigen, apakah dibutuhkan terapi oksigen jangka pendek (Short-term
oxygen therapy) atau terapi oksigen jangka panjang (Long term oxygen therapy).11
Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus
diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi
dan menghindari toksisitas.11

a. Terapi Oksigen Jangka Pendek


Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada
pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut, diantaranya pneumonia, PPOK
dengan eksaserbasi akut, asma bronkial, gangguan kardiovaskular, emboli paru.
Pada keadaan tersebut, oksigen harus segera diberikan secara adekuat. Pemberian
oksigen yang tidak adekuat akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada
kondisi ini, oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek
sampai kondisi membaik dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen
diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi
efek samping. Bila diperlukan, oksigen harus diberi secara terus-menerus.12

b. Terapi Oksigen Jangka Panjang


Banyak pasien hipoksemia membutuhkan terapi oksigen jangka panjang. Pasien
dengan PPOK merupakan kelompok yang paling banyak menggunakan terapi oksigen
jangka panjang. 12
Berdasarkan beberapa penelitian didapatkan bahwa terapi oksigen jangka
panjang dapat memperbaiki harapan hidup. Karena adanya perbaikan dengan terapi
oksigen jangka panjang, maka direkomendasikan untuk pasien hipoksemia (PaO2 < 55
mmHg atau saturasi oksigen < 88%) oksigen diberikan secara terus-menerus 24 jam
dalam sehari. Pasien dengan PaO2 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 88%, kor
pulmonal atau polisitemia juga memerlukan terapi oksigen jangka panjang.11
Pada keadaan ini, awal pemberian oksigen harus dengan konsentrasi rendah
(FiO224-28%) dan dapat ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil pemeriksaan analisis
gas darah, dengan tujuan mengoreksi hipoksemia dan menghindari penurunan pH
dibawah 7,26. 11
Pasien yang menerima terapi jangka panjang harus dievaluasi ulang dalam 2
bulan untuk menilai apakah hipoksemia menetap atau ada perbaikan dan apakah
masih dibutuhkan terapi oksigen. Hingga 40% pasien yang mendapat terapi oksien
mengalami perbaikan setelah 1 bulan dan tidak perlu lagi meneruskan suplemen
oksigen. 11

4. Kontraindikasi Terapi Oksigen


Suplemen oksigen tidak direkomendasi pada : 13
a. Pasien dengan keterbatasan jalan nafas seperti obstruksi nasal, fraktur dasar
tengkorak kepala, trauma maksilofasial.
b. Pasien yang meneruskan merokok, karena kemungkinan prognosis yang buruk
dan dapat meningkatkan resiko kebakaran.
c. Pasien yang tidak menerima terapi adekuat.

5. Teknik Pemberian Oksigen


Cara pemberian oksigen dibagi dua jenis, yaitu sistem arus rendah dan sistem arus
tinggi, keduanya masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian.
Alat oksigen arus rendah diantaranya kanul nasal, topeng oksigen, reservoir
mask,kateter transtrakheal, dan simple mask.
Alat oksigen arus tinggi diantaranya venturi mask, dan reservoir nebulizer
blenders.13
a. Alat pemberian oksigen dengan arus rendah
 Kateter nasal dan kanul nasal
Merupakan alat dengan sistem arus rendah yang digunakan secara luas.
Kanul nasal terdiri dari sepasang tube dengan panjang ± 2 cm, dipasangkan
pada lubang hidung pasien dan tube dihubungkan secara langsung ke oxygen
flow meter. Alat ini dapat menjadi alternatif bila tidak terdapat masker,
terutama bagi pasien yang membutuhkan suplemen oksigen rendah. Kanul
nasal arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/m,
dengan FiO2 antara 24-40%. Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan
FiO2 secara bermakna diatas 44% dan akan menyebabkan mukosa membran
menjadi kering. Kanul nasal merupakan pilihan bagi pasien yang mendapatkan
terapi oksigen jangka panjang.13
 Keuntungan
Pemberian oksigen stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan
teratur, pemasangannya mudah dibandingkan kateter nasal, murah, disposibel,
klien bebas makan, minum, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir klien
dan terasa nyaman. Dapat digunakan pada pasien dengan pernafasan mulut,
bila pasien bernapas melalui mulut, menyebabkan udara masuk pada waktu
inhalasi dan akan mempunyai efek venturi pada bagian belakang faring
sehingga menyebabkan oksigen yang diberikan melalui kanula hidung
terhirup melalui hidung.
 Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen lebih dari 44%, suplai
oksigen berkurang bila klien bernafas melalui mulut, mudah lepas karena
kedalaman kanul hanya 1/1.5 cm, tidak dapat diberikan pada pasien dengan
obstruksi nasal. Kecepatan aliran lebih dari 4 liter/menit jarang digunakan,
sebab pemberian flow rate yang lebih dari 4 liter tidak akan menambah FiO2,
bahkan hanya pemborosan oksigen dan menyebabkan mukosa kering dan
mengiritasi selaput lendir. Dapat menyebabkan kerusakan kulit diatas telinga
dan di hidung akibat pemasangan yang terlalu ketat.

Gambar. 7. Nasal Kanul


 Simple oxygen mask
Dapat menyediakan 40-60% FiO2, dengan aliran 5-10L/m. aliran dapat
dipertahankan 5L/m atau lebih dengan tujuan mencegah CO2 yang telah
dikeluarkan dan tertahan di masker terhirup kembali. Penggunaan alat ini
dalam jangka panjang dapat menyebabkan iritasi kulit dan pressure sores. 13
 Keuntungan
Konsentrasi oksigen yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau
kanula nasal, sistem humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan
sungkup berlubang besar, dapat digunakan dalam pemberian terapi
aerosol.
 Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen kurang dari 40%, dapat
menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah. Menyekap, tidak
memungkinkan untuk makan dan batuk.Bisa terjadi aspirasi bila pasien
mntah. Perlu pengikat wajah, dan apabila terlalu ketat menekan kulit dapat
menyebabkan rasa pobia ruang tertutup, pita elastik yang dapat
disesuaikan tersedia untuk menjamin keamanan dan kenyamanan.

Gambar. 8. Simple Mask

 Rebreathing mask
Suatu teknik pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi yaitu 35 –
60% dengan aliran 6 – 15 liter/mnt , serta dapat meningkatkan nilai PaCO2.
Udara ekspirasi sebagian tercampur dengan udara inspirasi, sesuai dengan
aliran O2, kantong akan terisi saat ekspirasi dan hampir menguncup waktu
inspirasi. Sebelum dipasang ke pasien isi O2 ke dalam kantong dengan cara
menutup lubang antara kantong dengan sungkup minimal 2/3 bagian kantong
reservoir. Memasang kapas kering pada daerah yang tertekan sungkup dan tali
pengikat untuk mencegah iritasi kulit.13
 Keuntungan
Konsentrasi oksigen lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak
mengeringkan selaput lendir.
 Kerugian
Tidak dapat memberikan oksigen konsentrasi rendah, kantong
oksigen bisa terlipat atau terputar atau mengempes, apabila ini terjadi dan
aliran yang rendah dapat menyebabkan pasien akan menghirup sejumlah
besar karbondioksida.
Selain itu pasien jug tidak memungkinkan makan minum atau batuk
dan menyekap, bisa terjadi aspirasi bila pasien muntah, serta perlu segel
pengikat

Gambar. 8. Re Breathing Mask

 Non rebreathing mask


Teknik pemberian oksigen dengan konsentrasi oksigen yang tinggi
mencapai 90 % dengan aliran 6 – 15 liter/mnt. Pada prinsipnya udara inspirasi
tidak bercampur dengan udara ekspirasi, udara ekspirasi dikeluarkan langsung
ke atmosfer melalui satu atau lebih katup, sehingga dalam kantong konsentrasi
oksigen menjadi tinggi. Sebelum dipasang ke pasien isi O2 ke dalam kantong
dengan cara menutup lubang antara kantong dengan sungkup minimal 2/3
bagian kantong reservoir. Memasang kapas kering pada daerah yang tertekan
sungkup dan tali pengikat untuk mencegah iritasi kulit.13
 Keuntungan :
Konsentrasi oksigen yang diperoleh dapat mencapi 90%, tidak
mengeringkan selaput lendir.
 Kerugian :
Tidak dapat memberikan oksigen konsentrasi rendah. Kantong
oksigen bisa terlipat atau terputar, menyekap, perlu segel pengikat, dan
tidak memungkinkan makan, minum atau batuk, bisa terjadi aspirasi bila
pasien muntah terutama pada pasien tidak sadar dan anak-anak

Gambar. 9. Rebreathing Mask

 Transtracheal Oxygen.
Mengalirkan oksigen secara langsung melalui kateter ke dalam trakea.
Oksigen transtrakea dapat meningkatkan kesetiaan pasien menggunakan
oksigen secara kontinyu selama 24 jam, dan sering berhasil bagi pasien
hipoksemia yang refrakter. Dari hasil studi, dengan oksigen transtrakea ini
dapat menghemat penggunaan oksigen 30-60%. Keuntungan dari pemberian
oksigen transtrakea yaitu tidak menyolok mata, tidak ada bunyi gaduh, dan
tidak ada iritasi muka/hidung. Rata-rata oksigen yang diterima mencapai 80-
96%. Kerugian dari penggunaan oksigen transtrakea adalah biaya tinggi dan
resiko infeksi lokal. Komplikasi yang biasa terjadi pada pemberian oksigen
transtrakea ini adalah emfisema subkutan, bronkospasme, dan batuk
paroksismal. Komplikasi lain diantaranya infeksi stoma, dan mucus ball yang
dapat mengakibatkan fatal. 13
Gambar. 10. Transtracheal Oxygen

b. Alat pemberian oksigen dengan arus tinggi


Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi adalah pasien
dengan hipoksia yang memerlukan pengendalian FiO2, dan pasien hipoksia dengan
ventilasi abnormal. Alat oksigen arus tinggi diantaranya venture mask dan bag and
mask / resuscitator manual. 14
 Venturi mask
Alat venture mask menggunakan prinsip jet mixing (efek Bernoulli). Jet
mixing mask, mask dengan arus tinggi, bermanfaat untuk mengirimkan secara
akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35%). Alat tersebut terasa lebih nyaman
dipakai, dan masalah rebreathing diatasi melalui proses pendorongan dengan arus
tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40L/menit
oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi. 14
 Keuntungan
Konsentrasi oksigen yang diberikan konstan / tepat sesuai dengan petunjuk
pada alat. FiO2 tidak dipengaruhi oleh pola ventilasi, serta dapat diukur
dengan O2 analiser. Temperatur dan kelembaban gas dapat dikontrol. Tidak
terjadi penumpukan CO2.
 Kerugian
Harus diikat dengan kencang untuk mencegah oksigen mengalir kedalam
mata. Tidak memungkinkan makan atau batuk, masker harus dilepaskan bila
pasien makan, minum, atau minum obat. Bila humidifikasi ditambahkan
gunakan udara tekan sehingga tidak mengganggu konsentrasi O2.
Gambar. 11. Venturi Mask

 Bag and Mask / resuscitator manual


Digunakan pada pasien Cardiac arrest, Respiratory failure, sebelum, selama
dan sesudah suction Gas flows 12 – 15 liter, selama resusitasi buatan, hiperinflasi/
bagging, kantong resusitasi dengan reservoir harus digunakan untuk memberikan
konsentrasi oksigen 74 % - 100 %. Dianjurkan selang yang bengkok tidak
digunakan sebagai reservoir untuk kantong ventilasi. Kantong 2.5 liter dengan
kecepatan 15 liter/menit telah ditunjukkan untuk pemberian oksigen yang konsisten
dengan konsentrasi 95 % - 100 %. Penggunaan kantong reservoar 2.5 liter juga
memberikan jaminan visual bahwa aliran oksigen utuh dan kantong menerima
oksigen tambahan.

6. Komplikasi Terapi Oksigen


Pemberian oksigen bukan hanya memberikan efek terapi tetapi juga dapat
menimbulkan efek merugikan, antara lain :

a. Kebakaran
Oksigen bukan zat pembakar tetapi dapat memudahkan terjadinya
kebakaran, oleh karena itu klein dengan terapi pemberian oksigenharus
menghindari : Merokok, membuka alat listrik dalam area sumber oksigen,
menghindari penggunaan listrik tanpa “Ground”.15
b. Depresi Ventilasi
Pemberian oksigen yang tidak dimonitor dengan konsentrasi dan aliran yang
tepat pada klien dengan retensi CO2 dapat menekan ventilasi. Penderita PPOK
dengan retensi CO2 sering bergantung pada “hypoxic drive” untuk
mempertahankan ventilasinya. Konsentrasi O2 yang tinggi dapat mengurangi
“drive” ini. Oksigen sebaiknya hanya diberikan dengan persentase rendah dan
pasien diobservasi secara ketat untuk menilai adanya retensi CO2.15

c. Keracunan Oksigen
Dapat terjadi bila terapi oksigen yang diberikan dengan konsentrasi tinggi
dalam waktu relatif lama. Keadaan ini dapat merusak struktur jaringan paru
seperti atelektasis dan kerusakan surfaktan. Akibatnya proses difusi di paru akan
terganggu.15

3. TERAPI OKSIGEN PADA PASIEN SEPSIS


Kegagalan penghantaran oksigen pada pasien sepsis dan pasien dengan penyakit
kritis telah berhubungan dengan peningkatan angka kematian. Oleh karena itu resusitasi
penghantaran oksigen menjadi point inti dari resusitasi. Berdasarkan protokol yang
digunakan, pada pasien sepsis diberikan oksigen tambahan sebesar 15 liter/menit dengan
menggunakan masker non-rebreathing, yang mengarah pada fraksi oksigen (FiO2) kurang
lebih 0,6-0,8. Besarnya Aliran oksigen yang diberikan membuat teknik ini masih
kontroversial sampai sekarang. Alasannya karena pada sepsis telah terjadi peningkatan
produksi dari ROS, yang dipercaya menjadi penyebab kerusakan jaringan dan fungsi
organ. Pemberian aliran yang tinggi (Hiperoksia) dapat menstimulasi pelepasan dari ROS
dan jika berlanjut dapat memperparah fungsi organ dari pasien.16,17
Oleh sebab itu, pada tahun 2014 Renate dkk, dari Universitiy Medical Center
Groningen di Belanda, membuat percobaan tentang terapi oksigen pada pasien sepsis di
Instalasi Gawat Darurat (IGD). Mereka melakukan perbandingan tentang angka kematian
pada pasien yang memerlukan oksigen 15 liter per menit ( hiperoksia ) dan hanya 10 liter
per menit ( normoxia ) selama 28 hari. Dari penelitian ini, mereka mendapatkan bahwa
pemberian 15 liter per menit dengan masker non-rebreathing hanya diperuntukkan pada
pasien dengan usia tua, sepsis berat atau syok sepsis, adanya kelainan paru pada riwayat
medis, dan saturasi rendah atau skor GCS rendah. Dalam penelitian ini juga didapatkan
pasien dengan hiperoksia (15 liter per menit ) memiliki angka kematian lebih tinggi
daripada pasien dengan normoksia (10 liter per menit ). Hal ini terjadi karena penggunaan
hiperoksia dapat meningkatkan produksi dari radikal bebas yang dapat memperparah
kerusakan organ. Oleh sebab itu Renate dkk menyarankan untuk menggunakan terapi
oksigen 10 liter per menit pada pasien sepsis di susul pemeriksaan Analisa Gas darah 5
menit setelah dilakukan terapi.16
BAB III
KESIMPULAN

Sepsis adalah suatu kondisi yang kompleks ditandai dengan aktivasi stimulus inflamasi
dan koagulasi sebagai respon terhadap serangan mikroba. Pada model hewan dan manusia
fase awal sepsis, hipoksia jaringan secara global terjadi sebagai akibat dari gangguan
hemodinamik yang membuat ketidakseimbangan antara distribusi oksigen ke sistemik dan
kebutuhannya. Gangguan ini dapat berupa hipovolemia, penurunan tonus vasomotor,
penurunan kandungan oksigen arteri, depresi miokard, peningkatan kebutuhan metabolisme,
dan kegagalan utilisasi oksigen sistemik via mikrosirkulasi atau gangguan mitokondria.
Kegagalan perfusi jaringan yang menyebabkan hipoksia membuat pasien sepsis
membutuhkan bantuan untuk perbaikan hemodinamik agar oksigen dapat dihantarkan sampai
ke jaringan perifer.
Penggunan terapi oksigen pada sebagian besar pasien mungkin akan berhasil untuk
mengembalikan keadaan hipoksia jaringan yang terjadi. Namun, adanya efek samping
terhadap penggunaan aliran tinggi oksigen (Hiperoksia) kepada pasien sepsis masih menjadi
perdebatan. Hal ini terjadi akibat efek peningkatan radikal bebas yang dapat terjadi jika kita
memberikan pasien dosis oksigen yang tinggi. Oleh sebab itu pengawasan yang baik
diantaranya pengecekan dengan analisa gas darah 5 menit setelah terapi sangat baik untuk
berhasilnya terapi ini dan sebagai pencegahan jika keadaan seperti keracuan oksigen yang
tidak kita inginkan terjadi.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Banerjee D, Levy MM. 2017. Sepsis Definition. USA : Springer International
Publishing AG
2. Polat, G. et.al. 2017. Sepsis and Septic Shock : Current Treatment Strategies and
New Approaches. The Eurasian Journal of Medicine pg53-58
3. NICE. 2016 . Sepsis : recognition, diagnosis, and early management. NICE Guideline
2017
4. Swidarmoko dan Agus Dwi Susanto. 2010. Pulmonologi Intervensi Dan Gawat
Darurat Napas. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Paul. E. Taeb AM. 2017. SIRS,qSOFA and New Sepsis Definition. Eastern Virginia
Medical School Norfolk. USA
6. Gotts JE, Matthay MA. 2016. Sepsis : Pathophysiology and Clinical Management.
State of the Art Review CrossMark. USA
7. Hermawan, G. 2014. Sepsis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1 Edisi VI.
Jakarta: FK UI
8. Nunnally, ME. 2016. Sepsis for the anaesthetist. British Journal of Anaesthesia
9. Singh. CP. Brar. Gurmeet, K. et.al. 2001. Emergency Medicine Oxygen Therapy.
Journal Indian Academy of Clinical Medicine Vol 2. No 3.
10. Guyton, Arthur, C.Hall. John E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta : ECG
11. Astowo, Pudio. 2005. Terapi Oksigen. Ilmu Penyakit Paru. Bagian Pulmonologi
Kedokteran Respirasi. Jakarta : FK UI.
12. Ganong, F. William. 2003. Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta :EGC.
13. South Durham Health Care NHS, 2000. Guidline for the Management of Oxygen
Therapy. Diakses dari www.ndhd.com/nhs.uk.content.clinicguide
14. Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang, dkk. 2008. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi ke VI. Jilid 1. Jakarta : FK UI.
15. Clausen T, Khaldi A, Zauner A, et al. Cerebral acid–base homeostasis after severe
traumatic brain injury. J Neurosurg 2005; 103:597–607
16. Stolmeijer R. et.al. 2013. Oxygen Therapy for Sepsis Patient in the Emergency
Department : a little less?. European Journal of Emergency Medicine.
17. Vincent JL. Et.al. 2017. Harmful Effect of Hyperoxia in Postcardiac Arrest, Sepsis,
Traumatic Brain Injury, or Stroke : the Importance of Individualized Oxygen Therapy
in Critically Ill Patients. Canadian Respiratory Journal. Canada

Anda mungkin juga menyukai