Sejarah Awal Adanya Suku Dayak Di Indonesia
Sejarah Awal Adanya Suku Dayak Di Indonesia
Sejarah Awal Adanya Suku Dayak Di Indonesia
fenomenal yang ada di negara Indonesia,karena terkenal akan kekuatan magisnya, Kata Dayak
berasal dari kata "Daya" yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di
pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat.
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian
nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara
melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut
pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati.
Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka
makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan
Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang
waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan
kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-
masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut
”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit,
yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut
mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus
besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama
masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang
Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak
yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan
Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan
Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk
Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang
Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang
Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa
Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643.
Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah
Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin
(dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak
memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan
kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak.
Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen,
belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo
mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan
Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa,
Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-
orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut
membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring,
cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan
dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat
sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh
Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.
* Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan
untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung
adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah
meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang
orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali
acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang
tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
* Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas
kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai
pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat
cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural
Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan
cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di
temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari
pasti akan ditemukan.
Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah
beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering
suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok
merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-
hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia
mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai
ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus
membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam
acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima
tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan
perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti
panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga
biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak
pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan
upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah.
Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang
didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga
perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan
keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk
terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang
korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit
kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu
dan dibungkus dengan kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang
dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun
1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih
banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari
mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak
tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul
nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan
“Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci,
gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau
Kalangkang” ).
Referensi:
http://way4x.wordpress.com/cerita-tanah-leluhur/sejarah-suku-dayak/
http://terbeselung.blogspot.com/2012/02/inilah-sejarah-dan-asal-usul-suku-dayak.html
http://cahayametafisika.wordpress.com/2012/05/05/mengenal-kebudayaan-ilmu-ghoib-suku-
dayak/
Suku Dayak
Jumlah populasi
"Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan
Sama-Bajau termasuk satu suku yang berdiri dengan nama sukunya sendiri yaitu Suku Paser.
[17][18][19]
"Dayak Darat" (13 bahasa)[20][21]
"Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina serta satu suku yang
berdiri dengan nama sukunya sendiri yaituSuku Tidung.[22]
"Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak
Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.[23][24]
"Melayik" dituturkan: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais), Dayak Iban (dan Saq
Senganan), Dayak Keninjal, Dayak Bamayoh (Malayic Dayak), Dayak
Kendayan (Kanayatn). Beberapa suku asal Kalimantan beradat Melayu yang terkait dengan
rumpun ini sebagai suku-suku yang berdiri sendiri yaitu Suku Banjar, Suku Kutai, Suku
Berau, Suku Sambas, dan Suku Kedayan.[25][26][27]
Etimologi[sunting | sunting sumber]
Masyarakat Dayak Barito beragama Islam yang dikenali sebagai suku Bakumpai disungai
Barito tempo dulu.
Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-
Melayu yang tinggal di pulau itu.[28][29] Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada
suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa di
antaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang
etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah,
yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin
juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia
juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang
berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.[30][31]
Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn: orang
daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu). [32] Jadi semula
istilah orang Daya (orang darat) ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun
Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun
Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan
Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan)
dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak
Besar dan Dayak Kecil, selanjutnya oleh pihak kolonial Belanda hanya kedua daerah inilah yang
kemudian secara administratif disebut Tanah Dayak. Sejak masa itulah istilah Dayak juga
ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak”
dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat yang
berbeda-beda bahasanya[33], khususnya non-Muslim atau non-Melayu.[34] Pada akhir abad ke-19
(pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudukan penguasa
kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman
Kalimantan.[35] Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan
Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang
ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam
pengertian di atas pada tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya,
menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang
lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang
paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai.[36] Dengan nama serupa, Lahajir et al.
melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia,
sementara orang-orang Tunjung dan Benuaqmengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga
menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik
personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet.
[37]
Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan
dalam literatur, yaitu Daya, Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya
tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang
menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.[38]
Asal Mula
Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa
Austronesia. Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter
Bellwooddan Blust, yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4 000
tahun lalu, sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun
kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia
sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60.000 dan
70.000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan
kepulauan Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut daratan ini "Sunda"), manusia
sempat bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang
saat itu tidak terlalu jauh dari daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan,
dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke
hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. [39] Tetek Tahtum menceritakan migrasi
suku Dayak Ngaju dari daerah perhuluan sungai-sungai menuju daerah hilir sungai-sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam
tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa[40][41], yakni kerajaan
Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi
antara tahun 1309-1389.[42] Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan
terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar
berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama
masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang
memeluk Islam keluar dari suku Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak,
tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang
menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-
daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Batang Amandit, Batang Labuan Amas dan Batang
Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan
berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu
yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak
(Ma’anyan atau Ot Danum).[43] Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang
memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai.[butuh rujukan] Tidak hanya dari
Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat mulai
datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam buku 323 Sejarah Dinasti
Ming (1368-1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang pertama
dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan bahwa seorang Pangeran yang
berdarah Biaju menjadi pengganti Sultan Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa Sultan
Hidayatullah I dan penggantinya yaituSultan Mustain Billah. Hikayat Banjar memberitakan
kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut
Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV).
Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada
tahun 1736.[44]
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan
penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang,
terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang
Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring
malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik. Tidak hanya itu, sebagian dari mereka juga ada
bangsa Eropa.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar
Yongle mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah
pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah
ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima
orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut
membawa juga barang dagangan di antaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring,
cangkir, mangkok dan guci.[45] Kerajaan Kutai Kartanegara yang berada di Kalimantan Timur
dulunya adalah kerajaan Suku Dayak.
Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih
mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku
Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub
(menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai
adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan
perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini
disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman
mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam
Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub
suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.[46]
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar,
yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut,Klemantan dan Punan.
Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan,
sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan
kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi
lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis
Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu
apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau tidak.
Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit,
beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan
seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu dan pada
Dayak lain sering disebut banua/benua/binua/benuo. Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan
yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau
dua suku Dayak yang berbeda.
Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, (orang Dayak Ngaju) menolak
anggapan Dayak berasal dari satu suku asal, tetapi hanya sebutan kolektif dari berbagai unsur
etnik, menurutnya secara "rasial", manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
Dayak Mongoloid,
Malayunoid,
Autrolo-Melanosoid,
Dayak Heteronoid.
Namun di dunia ilmiah internasional, istilah seperti "ras Australoid", "ras Mongoloid dan pada
umumnya "ras" tidak lagi dianggap berarti untuk membuat klasifikasi manusia karena
kompleksnya faktor yang membuat adanya kelompok manusia.
Tradisi Penguburan[sunting | sunting sumber]
Peti kubur di Kutai. Foto tersebut merupakan foto kuburan DayakBenuaq di Kutai. Peti yang
dimaksud adalah Selokng(ditempatkan di Garai). Ini merupakan penguburan primer - tempat
mayat melalui Upacara/Ritual Kenyauw. Sementara di sebelahnya (terlihat sepotong)
merupakan Tempelaqyang merupakan tempat tulang si meninggal melalui
Upacara/RitualKwangkay.
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam
hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia
di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
penguburan di dalam peti batu (dolmen)
penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan
sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
1. wadah (peti) mayat--> bukan peti mati : lungun[47], selokng dan kotak
2. wadah tulang-beluang : tempelaaq[48] (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
3. gur (lungun)
1. Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol
pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun
atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
2. Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar
menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
3. Marabia
Bagian ini
memerlukanpengembangan dengan:
sumber terpercaya
Masyarakat rumpun Dayak Ngaju dan rumpun Dayak Ot Danum menganut agama leluhur yang
diberi nama oleh Tjilik Riwut sebagai agama Kaharingan yang memiliki ciri khas adanya
pembakaran tulang dalam ritual penguburan. Sedangkan agama asli rumpun Dayak Banuaka
tidak mengenal adanya pembakaran tulang jenazah. Bahkan agama leluhur masyarakat Dayak
Meratus di Kalimantan Selatan lebih menekankan ritual dalam kehidupan terutama upacara/ritual
pertanian maupun pesta panen yang sering dinamakan sebagai agama Balian.
Agama-agama asli suku-suku Dayak sekarang ini kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad
pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannyaCandi
Agung sebuah peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah
kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki
era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang
beragama Hindu di Kalimantan Timur.[55]
Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan
Sribangun (di Kota Bangun, Kutai Kartanegara)[56] dan Kerajaan Wijayapura. Hal ini
menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan
budaya India yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di
Kalimantan.
Penemuan Batu Nisan Sandai menunjukan penyebaran agama Islam di Kalimantan sejak abad
ke-7 mencapai puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi
pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan agama Hindu dan Buddha di Kalimantan.
Sejak itu mulai muncul hukum adat Banjar dan Melayu yang dipengaruhi oleh sebagian hukum
agama Islam (seperti budaya makanan, budaya berpakaian, budaya bersuci), namun umumnya
masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada hukum adat/kepercayaan
Kaharingan.
Sebagian besar masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kini
memilih Kekristenan, namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan.
Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu (baca: Hindu
Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian kecil
masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha
(Buddha versi Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku
dengan etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh
para Biksu di kalangan masyarakat Dayak misalnya terdapat pada masyarakat suku Dayak Dusun
Balangan yang tinggal di kecamatan Halong di Kalimantan Selatan.
Di Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim sebagai agama orang Dayak (sehingga Dayak
Muslim Kalbar terpaksa membentuk Dewan Adat Dayak Muslim tersendiri), tetapi hal ini tidak
berlaku di propinsi lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk agama Islam namun
tetap menyebut dirinya sebagai suku Dayak.
Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan berlaku
hukum adat Dayak. Wilayah-wilayah di pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan Islam,
masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Banjar/Melayu seperti suku Banjar, Melayu-
Senganan, Kedayan, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah
perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam pengaruh agama
Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat Dayak/Kaharingan. Di masa kolonial,
orang-orang bumiputera Kristen dan orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya
dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan penyebaran agama
Nasrani mampu menjangkau daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman sehingga
agama Nasrani dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang
Dayak.
Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal. Orang-orang dari Sriwijaya,
orang Melayu yang mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis
Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa Dinasti
Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Maynila,
Kiu kieng (Palembang) maupun ke Majapahit.[57] Banyak penjabat Dinasti Ming adalah
orang Hui Muslim yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Arab.
[58]
Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang mengunjungi
Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir mengenai aksi pemotongan kepala
yang dilakukan orang-orang Biaju di saat para pedagang sedang tertidur di atas kapal.
Agamawan Nasrani dan penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada
abad ke-14 dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropa.
Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani selalu mengalami kegagalan, karena pada dasarnya
pada masa itu masyarakat Dayak memegang teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga
kepada orang asing, seringkali orang-orang asing terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat sensitif
terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak laut dan kerajaan asing dari luar pulau
yang hendak menjajah mereka. Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC
Belanda dan serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan Makassar sangat
mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787, Belanda memperoleh
sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan Banten. Sekitar tahun 1835 barulah
misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia
Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar. Pada tanggal26 Juni 1835,
Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama
Kristen ke pedalaman Kalimantan Tengah. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi
upaya-upaya misionaris.[59][60][61][62][63]
Rumpun Dayak
Dayak Besar
Tanah Dayak
Tanah Dusun
KERAJAAN TANJUNGPURA
1. Sumber :
a). Mpu Prapanca dalam Negarakartagama menulis: pada masa Kertanagara dari Singosari dengan Maha Patih Aragani
dalam merencanakan sistem pertahanan menghadapi politik ekspansi Khu Bilai Khan, membentuk strategi pertahanan
Nusantaranya dengan memperluas daerah pengaruhnya atas daerah-daerah: Kerajaan Pahang, Gorong, Nusa Pemida (Bali
dan Lombok), dan Bakula Pura (Tanjungpura) dan menempatkan prajurit Singosari di sekitar Riau dan Jambi.
b). Mpu Prapanca dalam Negarakartagama mengenai Sumpah Nusantara Patih Mangkubumi Gajah Mada menyatakan
antara lain: “Lamun huwus kalah Nusantara, isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, ring Tanjungpura,
ring Maru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, sing Sunda, Palembang, Tumasik, sasana isun amukti palapa.”
c). Selanjutnya Mpu Prapanca menyebutkan pembagian Nusantara Majapahit atas 8 wilayah, Kalimantan masuk daerah III,
“Luwas lawan Samudra mwang I lanuri Batan lampung mwang I Barus Yekahhinyang watak bhumi Malaya setanah
kapwamateh anut Len tekang nusa Tanjungnegara ri Kapuhas lawan ri katingan Sampit mwang Kuta lingga mwang I Lawai.
Kadang danganI Landa Lenri Samedang (Simpang) Tirem tan kasah ri sedu Buruneng ri Tabalung ri Tanjung Kote Lawan ri
Malano maka pramuka ta ri Tanjung puri.” (Tanjungpura Berjuang, 1970:30-31)
Dari tiga sumber ini:
- Tanjungpura disebut dengan berbagai nama, yaitu: Bakula Pura, Tanjungpura, dan Tanjungnegara.
- Kerajaan yang masuk Daerah III .adalah : Tanjungpura. Kapuas. Landak, Samedang (Simpang) Malano.
KERAJAAN SUKADANA
1. Sumber:
Dalam Negarakartagama, pada masa Kerajaan Singosari dan Majapahit dengan Sumpah Palapa, belum ada menyebutkan
Sukadana, yang ada hanya Landak Kendawangan, Kapuas, Simpang Melano. Sejarah Indonesia mulai banyak menyebut
Sukadana ketika dihubungkan dengan kerajaan Islam Makasar. Dengan jatuhnya Kerajaan Islam Makasar (1669), maka
Sukadana menjadi Bandar perniagaan yang ramai dan menjadi salah satu pusat perdagangan, sehingga mulai banyak
dikenal.
b). Gusti Syamsudin/Pundong Prasap bergelar Penembahan Sang Ratu Agung (1504 – 1518)
Pada masa kekuasaan Sang Ratu Agung (putra Penembahan Karang Tunjung) Sukadana semakin maju dan berkembang. Dia
dinamai Pundong Prasap karena waktu pagi dan sore hari badannya mengeluarkan asap. Pada masa Panembahan ini Gelar
Gusti mulai dipakai.
Gelar di lingkungan Kerajaan bukanlah menunjukkan kasta, tapi berupa ikatan kekerabatan, menganut garis lurus/garis
laki-laki atau garis Bapak (Patria Chard). Sebagai contoh ;
- Bapak bergelar Gusti; anak laki-laki bergelar Gusti, yang perempuan bergelar Utin.
- Bapak bergelar Uti; anak laki-laki bergelar Uti, yang perempuan bergelar Utin.
- Bapak bergelar Raden; anak laki-laki bergelar Raden, yang perempuan bergelar Tiak.
- Bapak bergelar Mas; anak bergelar Mas, yang perempuan bergelar Mas.
Itulah gelar kekerabatan di lingkungan istana kerajaan.
h). Gusti Kesuma Matan/Giri Mustika (Sultan Muhammad Syafiuddin) 1622 – 1665
Gusti Kesuma Matan/Giri Mustika putra Mas Jaintan, bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin adalah raja pertama yang
menggunakan gelar Sultan, gelar yang bernuansakan Islam. Pada masa Sultan Muhammad Syafiuddin terjadi perang
Sanggau. Gusti Kesuma Matan mempunyai 3 orang anak :
1. Gusti Jakar Negara (bergelar Sultan Muhammad Zainuddin) Raja Matan yang pertama.
2. Pangeran Agung.
3. Putri Indra Mirupa (Indra Kesuma).
KERAJAAN MATAN
Raja – Raja Matan:
a). Gusti Jakar Negara (Sultan Muhammad Zainuddin) 1665-1724
Putra mahkota Gusti Jakar Negara bergelar Sultan Muhammad Zainuddin merupakan Raja Matan pertama. Dia telah
mengalami beberapa peristiwa dalam pemerintahan di Sukadana. Sejak diserang oleh Sultan Agung dari Mataram tahun
1622 kekacauan demi kekacauan terjadi, dan gangguan bajak laut semakin merajalela sepanjang perairan pantai dan
Selat Karimata, yang mengakibatkan semakin lemahnya pertahanan Sukadana sehingga membuat Sultan Muhammad
Zainuddin mengalihkan pusat pemerintahannya ke Matan.
Pada masa pemerintahan Panembahan Baruh (1548-1550) telah merintis perluasan kekuasaannya ke daerah pedalaman
sungai Melano, yaitu di Desa Matan, sekarang disebut Desa Batu Barat. Pengembangan pusat kekuasaan ke Matan ini,
adalah juga dalam usaha mengembangkan agama Islam yang telah masuk di Sukadana.
Dengan pindahnya kerajaan ke Matan maka kosonglah Sukadana lebih 100 tahun lamanya. Penduduk migrasi ke
pedalaman, menyusuri sungai Melano, Sungai Matan, sungai Bayeh dan bermukim di kampung Bukang, Banjor, Kembereh,
Gerai, Kalam, Simpang Dua, Balaiberkuak dan sebagainya. Ketika penyunting tulisan ini, mengadakan perjalanan ke
daerah pedalaman tahun 1967, bertemu dengan Pateh, Temegung, mereka menyatakan bahwa nenek moyangnya itu
berasal dari Sukadana.
Di Matan agama Islam berkembang pesat dan syariat Islam dilaksana oleh rakyat. Sisa-sisa situs di Matan terdapat makam
Syarif Qubra, Kari Jamal, Kolam Pemandian Putri Raja dan sebuah makam berhajrat tahun 11 Hijriyah. Ini kiranya tidak
mungkin, karena Islam belum berkembang sampai kesini. Kemungkinan tahun itu bukan 11 tapi 110 atau 1100 Hijriyah
sekitar abad ke 13 atau 14 Masehi. Ada dua pemakaman yang besar, pertama Pemakaman Raja-Raja di Matan itu sendiri
dan kedua dibukit Sekusur penuh dengan makam, ini menandakan bahwa Kerajaan Matan itu adalah Kerajaan yang ramai
dan besar, sayangnya karena sudah ratusan tahun lamanya tidak terpelihara sehingga kembali menjadi hutan belukar.
Makam di Sekusur itu sampai sekarang dikeramatkan oleh penduduk setempat dan diabadikan dalam pantun “Sumpah
Orang Matan”:
"Sekusur dipagar bukit – Bisik (berisi) keramat didaratnya. Hatiku bujur (lurus-ikhlas) dibuat sakit – Ndak (tidak) selamat
pendapatnya".
Ketika pemerintahan di Matan inilah terjadinya peristiwa perpecahan dengan adiknya Pangeran Agung yang berusaha
untuk merebut kekuasaan dan menyingkirkan Sultan Muhammad Zainuddin.
Atas bantuan lima bersaudara Daeng Menambun anak dari Opu Daeng Ralaka (Opu Daeang Perani, Opu Daeng Manambon,
Opu Daeng Naraweh, Opu Daeng Kemasih, dan Opu Daeng Calak) yang datang dengan penjajab dan pencalangnya
memasuki Sungai Melano sampai ke negeri Simpang. Berceritalah orang Simpang tentang hal ihwal Sultan Muhammad
Zainuddin, maka merekapun segera berlayar dari Simpang ke Matan, mudiklah mereka di Sungai Matan ( batang Pawan ? )
sampai kepangkalan panembahan Agung di Matan.
Terjadilah perdebatan dengan menantu Panembahan Agung orang Bugis Daeng Mateku dan Haji Hafiz yang masih sepupu
dua kali dengan lima bersaudara Daeng Menambun. Akhirnya Daeng Mateku dan Haji Hafiz bersedia mengundurkan diri
keluar dari Matan. Kemudian masuklah lima bersaudara Daeng Menambun berhasil menangkap Pangeran Agung dan
mengembalikan Sultan Muhammad Zainuddin ke tahta kerajaannya. (Silsilah Kerajaan Mempawah:23).
Sultan Muhammad Zainuddin mempunyai istri bernama Nyai Kendi, anak-anak mereka :
1. Gusti Kesuma Bandan bergelar Sultan Muhammad Muazzuddin
2. Nyai Tua (Utin Kabanat) kawin dengan Syarif Husin melahirkan Syarif Abdurrahman kelak menjadi
Sultan di Pontianak. Gelar Nyai merupakan gelar isteri orang yang ternama atau gelar isteri raja. Nyai Tua
adalah isteri gahara, istri yang tua, nama sebenarnya adalah Utin Kabanat.
Isteri Gahara (Permaisuri) Panembahan Simpang Gusti Rum dipanggil “Nyai Ratu” nama yang sebenarnya
Tiak Aisyah. Jadi panggilan Nyai itu adalah sebutan untuk isteri orang yang terpandang pada umumnya
isteri raja.
Dari istrinya yang lain Mas Inderawati berputra 6 orang :
1. Utin Kesumba bergelar Ratu Agung Senuhun kawin dengan Opu Daeng Menambun.
2. Pangeran Ratu.
3. Pangeran Mangkurat
4. Pangeran Agung Martadipura
5. Utin Kerupus
6. Utin Kerupis
Putri Kesumba anak tertua Sultan Muhammad Zainuddin yang kawin dengan Daeng Menambun beranak 10 orang :
1. Utin Damawan kawin dengan raja Landak.
2. Gusti Jamril bergelar panembahan Adijaya Kesumajaya jadi Raja Mempawah.
3. Gusti Jamadin bergelar Pangeran Cakra .
4. Utin Cenderasari jadi Ratu di Simpang.
5. Gusti Jadri bergelar Pangeran Mangku di Mempawah.
6. Ratu Surya Kesuma.
7. Gusti Jamal bergelar Gusti Panglima di Mempawah..
8. Utin Canderamidi kawin dengan Syarif Abdurrahman (Sultan Pontianak).
9. Gusti Sina – Gusti Bendara bergelar Pangeran Jaya Putra.
10.Utin Tawang. (Silsilah Kerajaan Mempawah : 4).
c). Gusti Bendung (Pangeran Ratu Agung) bergelar Sultan Muhammad Tajuddin 1738-1749
Pada masa Gusti Bendung yang bergelar Sultan Muhammad Tajuddin, Gusti Muhammad Ali tetap bertugas sebagai
pemungut upeti. Dia menikah dengan Puteri Penembahan Sanggau, dan kemudian menjadi Raja Sanggau dengan gelar
Penembahan Sanggau Surya Negara. Sultan Muhammad Tajuddin mempunyai lima orang anak: Gusti Kencuran, Gusti Lekar
(Mekar), Gusti Tuntung, Gusti Kenkunang, dan Utin Lahang. Gusti Lekar (Mekar) menikah dengan anak Kiyai Meliau dan
beranakkan tujuh orang, lima laki-laki dan dua perempuan. Dari keturunan Gusti Lekar inilah terlahir raja-raja di Meliau,
Sekadau, Sintang, Belitang. (Gusti Maerat:1956:58).
d). Gusti Kencuran (Sultan Ahmad Kamaluddin) 1749 – 1762
Gusti Kencuran bergelar Sultan Ahmad Kamaluddin, mempunyai empat orang anak yang bernama: Gusti Asma, Gusti
Bengkok, Utin Santan, dan Utin Belang.
Pada masa Sultan Ahmad Kamaludin, pamannya yang bernama Gusti Irawan (anak Sultan Muhammad Muazzudin)
memohon kembali ke Muliakarta menjadi raja di sana dan diberi gelar oleh Sultan Achmad Kamaludin dengan gelar Sultan
Mangkurat Raja Kayong (Matan). Kemudian terjadilah pembagian wilayah antara Simpang dan Kayong dengan batas Sungai
Pawan. Sebelah kiri Sungai Pawan adalah wilayah Simpang, dan sebelah kanan Sungai Pawan adalah wilayah Kayong.
Sedangkan, batas daratnya adalah:
1. Di daerah Kubing Sei. Laur (Penggenting Asah)
2. Di desa Baya (Kematanan Agol)
3. Di hulu Sei. Laur (Temberenang Pantap)
Kedua kerajaan ini dikenal dengan panggilan Kerajaan Simpang dan Kerajaan Kayong
KAUKULHAK.
“Bahwa inilah warkatul ikhlas wa tahkatul ijjenas yang terbit daripada pusat kita yang termaktub didalamnya dengan
beberapa tabik dan selamat. Yaitu dengan kita Seri Paduka Yang Dipertuan Besar Gubernur Jenderal atas tanah air Hindia
Nederland Mr. Cornelis Pijnacker Hordijn dari yang terhias dengan bintang besar Komanda Singa Nederland yang
bersemayam diatas tahta kerajaan serta kemuliaan dan kebesaran di dalam Betawi. Apalah kiranya diusulkan oleh Tuhan
Seru Sekalian Alam kehadapan Paduka Tuan Panembahan Suryaningrat yang beristirahat alhariri di dalam negeri Simpang.
Mudah-mudahan dilanjutkan Allah seumur zaman di dalam sehat wal afiat. Wabadu kemudian daripada itu maka adalah
kita mengirimkan warkatullah ini kepada Paduka sahabat kita akan memaklumkan kabar dari negeri Nederland yang
menjadikan dukacita yaitu Maha Baginda Raja Olanda yang Maha Mulia Wilhelm Yang Ketiga. 23 hari bulan Nopember 1890
dengan takdir Tuhan Yang Maha Tinggi telah meninggal didalam umur 73 tahun 9 bulan 4 hari. Sesudah gering beberapa
lama ialah bagi kita dikasihani dan dicintai oleh segala masyarakat memegang pemerintahan dengan adil dan penuh kasih
sayang kepada sekalian anak buah dan dengan bijaksana yang sekarang sangat berdukacita karena sebab kematiannya.
Bahwa karena Seri Paduka yang Dipertuan Puteri anakanda baginda itu yang tua yang bernama Wilhelmina Helena Maria
yang sekarang jadi gantinya baginda, bahwa pada umur 10 tahun, maka selama tuan puteri belum berakil baliq maka yang
memerintah Kerajaan Belanda dan pejabat wakil raja yaitu Yang Dipertuan Permaisuri isteri baginda marhum Wilhelm
yang ketiga yaitu Athalia Wilhelmina Theresia. Oleh karena mangkat ….baginda dengan dukacita yang amat sangat
besarnya.
Termaktub dinegeri Olanda pada 14 hari bulan Januari tahun 1891”.(Ansar Rahman, 2000:285).
e). Gusti Roem (Panembahan Gusti Roem/Panembahan Anom Kusumangrat ) 1911 – 1942
Gusti Roem mempunyai delapan orang anak perempuan dan enam anak laki-laki dari enam orang istrinya, yaitu: Gusti
Umar (Menteri Polisi), Gusti Mesir (Panembahan Simpang), Gusti Tawi (Menteri Tani) ketiganya ini menjadi korban fasisme
Jepang pada tahun 1943. Anaknya yang lain, yaitu : Gusti Bujang, Gusti Ja’far, Gusti Abdurrahman (Monel), Utin Baiduri
(Otek) kawin dengan Tengku Idris/Tengku Betong Panembahan Sukadana korban fasisme Jepang tahun 1943. Utin Aminah
(Are) kawin dengan Tengku Ismail, Utin Syaidah (Ayu Moceh) kawin dengan Jidi, Utin Halijah (Ijon), Utin Jamilah (Entol)
kawin dengan Tengku Muhtar, Utin Epot kawin Raden Saleh, Utin Temah kawin dengan Tengku Ajong jadi korban fasisme
Jepang tahun 1943, dan Utin Ayu. Kawin dengan Daeng Dolek.
Gusti Roem diangkat Belanda menjadi Panembahan Simpang sehubungan dengan Perang Belangkait yang berakhir pada
tahun 1913. Semula Gusti Roem menolak untuk diangkat menjadi Panembahan Simpang, namun Belanda mengancam akan
menyerahkan Kerajaan Simpang kepada keturunan Raja Akil di Sukadana yang berarti lenyaplah keturunan raja-raja
Tanjungpura, Sukadana, Matan, dan Simpang, dan berarti pula wilayah kerajaan akan menjadi kekuasaan keturunan Raja
Akil. Dengan rasa berat, Gusti Roem menyampaikan hal ini kepada Panembahan Gusti Panji dengan mengutus Kiyai Na’im
dari Pulau Kumbang. Sejak diangkatnya Gusti Roem, maka terjadilah dua Panembahan kembar di Kerajaan Simpang
dengan membiarkan Gusti Panji mengakhiri kekuasaannya sampai ia meninggal dunia pada tahun 1920 di istana Kerajaan
Simpang, dan di makamkan di pemakaman Raja-Raja di Simpang.
Kemudian Gusti Roem membangun kedudukan di Telok Melano. Nama Melano sudah terkenal sejak masa Singosari dan
Majapahit dalam Babad Negarakartagama Mpu Prapanca. Gusti Roem menandatangani Korte Verklaring yang berarti
menyerahkan penyelenggaraan pemerintahan kepada Belanda. Pada Cap Kerajaan tercantum kata “HET NENERLANDSCH
INDISCH GOUVERNEMENT AAN DEA PANEMBAHAN VAN SIMPANG”
Dalam usahanya mengikat kembali wilayah Kerajaan yang lepas dari kekuasaannya yang dahulu dipinjamkan kepada
Belanda yaitu Sukadana dan Karimata, Panembahan Gusti Roem menggunakan pendekatan Politik Perkawinan. Beliau
kawin dengan Tengku Sariah keturunan Raja Akil di Sukadana dan kawin dengan Tengku Sa’diyah dari Karimata keturunan
Kepala Kepulauan Karimata Tengku Ja’far.
Kemudian Beliau kawinkan puterinya Utin Baiduri dengan Tengku Idris (Tengku Betung) Panembahan Sukadana yang
menjadi korban fasisme Jepang. Dan mengawinkan Utin Aminah dengan Tengku Ismail dari Sukadana.
Dengan sistem perkawinan ini terikat kembali dalam hubungan kekeluargaan dari wilayah yang pernah lepas dari Kerajaan
Simpang. Beliau meninggal sebagai korban fasisme Jepang pada tahun 1943.
CATATAN HASIL
PENUNJUKKAN DOKOH KERAJAAN SIMPANG
Pada hari ini Sabtu tanggal 1 Kugatau 2605, saya Mastart Dingang, Simpang Zitiryo Yogikai Gityo, menurut perintah dari
paduka Tuan Sukadana Bunkenkanrikan telah membuat rapat Yogikai dengan cepat sehingga tidak sempat dilakukan
menurut syarat-syarat peraturan Majelis Kerajaan Simpang. Berhadir :
Menurut adat istiadat penunjukkan Raja-Raja Simpang dilakukan oleh wakil-wakil dari golongan turunan-turunan Siring,
Mambal, Mengkalang, Maya, Periyai dan Panca.
Dan oleh karena Gusti Ibrahim baru berumur 14 tahun dan masih bersekolah, ditunjukkan juga dia punya Mangku Bumi
bernama :
PENGHAPUSAN SWAPRAJA
Setelah berlakunya Undang-Undang No.27 tahun 1959 semua Swapraja di Kalimantan Barat telah lebur, dan pada tanggal
4 Juli 1959 pemerintahan tersebut beralih kepada Pemerintahan Daerah. Berdasarakan Instruksi Gubernur KDH. Propinsi
Kalimantan Barat tertanggal 29 Februari 1960 No. 376/Pem-A/1-6 Pemerintahan Swapraja diserah terimakan pada
Pemerintah Daerah, dengan ketentuan
- Bekas wakil Panembahan Sukadana dibantukan pada Kantor Wedana Sukadana.
- Anggota-anggota Majlis Swapraja Matan dibantukan pada Kantor Pemerintah Daerah tingkat II
Ketapang.
- Semua pegawai-pegawai bekas Swapraja dialihkan menjadi Pegawai Daerah Tingkat II Ketapang.
- Semua inventaris Swapraja menjadi inventaris Pemerintah Daerah Tingkat II Ketapang.
- Swapraja Simpang tidak mengalami kesulitan, karena sebelumnya terlebih dahulu menyerahkan kekuasaannya kepada
pemerintah daerah Kabupaten Ketapang sedang personilnya diperbantukan pada Kantor Camat Simpang Hilir di Telok
Melano.
(Disunting dari Buku Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura, Gusti Mhd. Mulia)
di 11.35