Sejarah Awal Adanya Suku Dayak Di Indonesia

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 29

Sejarah Awal Adanya Suku Dayak di Indonesia - Suku dayak,adalah suku yang sangat

fenomenal yang ada di negara Indonesia,karena terkenal akan kekuatan magisnya, Kata Dayak
berasal dari kata "Daya" yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di
pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat.

Asal Mula Adanya Suku Dayak

Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian
nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara
melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut
pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati.
Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka
makin lama makin mundur ke dalam.

Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan
Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang
waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan
kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-
masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.

Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut
”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit,
yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut
mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus
besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama
masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).

Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang
Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak
yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan
Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan
Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk
Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang
Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang
Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)

Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa
Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643.
Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah
Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin
(dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.

Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak
memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan
kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak.
Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen,
belanga (guci) dan peralatan keramik.

Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo
mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan
Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa,
Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-
orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut
membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring,
cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)

Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan
dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat
sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh
Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.

* Upacara Tiwah

Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan
untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung
adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah
meninggal dunia.

Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang
orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali
acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang
tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).

* Dunia Supranatural

Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas
kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai
pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat
cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural
Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan
cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di
temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari
pasti akan ditemukan.

Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah
beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering
suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok
merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-
hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia
mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai
ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.

Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus
membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam
acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima
tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan
perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti
panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.

Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga
biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak
pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan
upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah.
Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.

Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang
didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga
perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan
keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk
terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang
korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit
kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu
dan dibungkus dengan kain merah.

Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang
dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun
1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih
banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.

Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari
mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak
tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul
nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan
“Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci,
gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau
Kalangkang” ).

Referensi:
http://way4x.wordpress.com/cerita-tanah-leluhur/sejarah-suku-dayak/
http://terbeselung.blogspot.com/2012/02/inilah-sejarah-dan-asal-usul-suku-dayak.html
http://cahayametafisika.wordpress.com/2012/05/05/mengenal-kebudayaan-ilmu-ghoib-suku-
dayak/
Suku Dayak

Jumlah populasi

±6,9 juta (2010)

Kawasan dengan konsentrasi signifikan


Indonesia (Sensus 3.678.494 [1]
2010)
Kalimantan Barat 1.767.990
Kalimantan Tengah 1.002.817
Kalimantan Timur 707.598
Kalimantan Selatan 56.447
Kalimantan Utara 332.265 [2]
Malaysia (Sarawak 3.350.509 [3]
dan Sabah)
Brunei Darussalam 50.898
Bahasa
Dayak, Dayak Melayik, Dayak Barito, Dayak Borneo
Utara, Dayak Banuaka, Indonesia,Inggris dan Melayu.
Agama
Kristen (Katolik dan Protestan), Islam,Kaharingan dan Buddha
Kelompok etnik terdekat
Banjar, Kutai, Sambas
Suku Dayak[4][5][6][7][8][9] (Ejaan Lama: Dajak atau Dyak[10][11][12][13]) adalah nama yang oleh
penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman [14] yang mendiami
Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, sertaIndonesia yang
terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan).
Ada 5 suku atau 7 suku asli Kalimantan
[15]
yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, Paser, Berau dan Tidung Menurut sensus Badan Pusat
StatistikRepublik Indonesia tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia
dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar,suku Dayak Indonesia (268 suku bangsa) dan suku
asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar). Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah
Budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai
sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun
dan nama kekeluargaannya.
Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias
Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayanyaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun
Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat
5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di
luar pulau Kalimantan:[16]


"Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan
Sama-Bajau termasuk satu suku yang berdiri dengan nama sukunya sendiri yaitu Suku Paser.
[17][18][19]


"Dayak Darat" (13 bahasa)[20][21]

"Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina serta satu suku yang
berdiri dengan nama sukunya sendiri yaituSuku Tidung.[22]

"Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak
Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.[23][24]

"Melayik" dituturkan: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais), Dayak Iban (dan Saq
Senganan), Dayak Keninjal, Dayak Bamayoh (Malayic Dayak), Dayak
Kendayan (Kanayatn). Beberapa suku asal Kalimantan beradat Melayu yang terkait dengan
rumpun ini sebagai suku-suku yang berdiri sendiri yaitu Suku Banjar, Suku Kutai, Suku
Berau, Suku Sambas, dan Suku Kedayan.[25][26][27]
Etimologi[sunting | sunting sumber]
Masyarakat Dayak Barito beragama Islam yang dikenali sebagai suku Bakumpai disungai
Barito tempo dulu.

Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-
Melayu yang tinggal di pulau itu.[28][29] Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada
suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa di
antaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang
etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah,
yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin
juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia
juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang
berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.[30][31]
Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn: orang
daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu). [32] Jadi semula
istilah orang Daya (orang darat) ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun
Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun
Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan
Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan)
dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak
Besar dan Dayak Kecil, selanjutnya oleh pihak kolonial Belanda hanya kedua daerah inilah yang
kemudian secara administratif disebut Tanah Dayak. Sejak masa itulah istilah Dayak juga
ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak”
dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat yang
berbeda-beda bahasanya[33], khususnya non-Muslim atau non-Melayu.[34] Pada akhir abad ke-19
(pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudukan penguasa
kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman
Kalimantan.[35] Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan
Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang
ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam
pengertian di atas pada tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya,
menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang
lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang
paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai.[36] Dengan nama serupa, Lahajir et al.
melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia,
sementara orang-orang Tunjung dan Benuaqmengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga
menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik
personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet.
[37]
Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan
dalam literatur, yaitu Daya, Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu sendiri pada umumnya
tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi orang-orang di luar lingkup merekalah yang
menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.[38]
Asal Mula
Secara umum kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa
Austronesia. Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter
Bellwooddan Blust, yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4 000
tahun lalu, sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500 tahun
kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan Indonesia
sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60.000 dan
70.000 tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan
kepulauan Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut daratan ini "Sunda"), manusia
sempat bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang
saat itu tidak terlalu jauh dari daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan,
dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke
hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. [39] Tetek Tahtum menceritakan migrasi
suku Dayak Ngaju dari daerah perhuluan sungai-sungai menuju daerah hilir sungai-sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam
tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa[40][41], yakni kerajaan
Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi
antara tahun 1309-1389.[42] Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan
terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar
berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama
masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang
memeluk Islam keluar dari suku Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak,
tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang
menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-
daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Batang Amandit, Batang Labuan Amas dan Batang
Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan
berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu
yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak
(Ma’anyan atau Ot Danum).[43] Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang
memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai.[butuh rujukan] Tidak hanya dari
Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat mulai
datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam buku 323 Sejarah Dinasti
Ming (1368-1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang pertama
dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan bahwa seorang Pangeran yang
berdarah Biaju menjadi pengganti Sultan Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa Sultan
Hidayatullah I dan penggantinya yaituSultan Mustain Billah. Hikayat Banjar memberitakan
kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut
Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV).
Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada
tahun 1736.[44]
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan
penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang,
terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang
Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring
malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik. Tidak hanya itu, sebagian dari mereka juga ada
bangsa Eropa.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar
Yongle mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah
pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah
ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima
orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut
membawa juga barang dagangan di antaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring,
cangkir, mangkok dan guci.[45] Kerajaan Kutai Kartanegara yang berada di Kalimantan Timur
dulunya adalah kerajaan Suku Dayak.

Pembagian sub-sub etnis[sunting | sunting sumber]

Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan.

Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih
mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku
Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub
(menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai
adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan
perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini
disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman
mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam
Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub
suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.[46]

Dayak pada masa kini[sunting | sunting sumber]

Tradisi suku Dayak Kanayatn.

Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar,
yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut,Klemantan dan Punan.
Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan,
sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan
kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi
lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis
Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu
apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau tidak.
Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit,
beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan
seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu dan pada
Dayak lain sering disebut banua/benua/binua/benuo. Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan
yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau
dua suku Dayak yang berbeda.
Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, (orang Dayak Ngaju) menolak
anggapan Dayak berasal dari satu suku asal, tetapi hanya sebutan kolektif dari berbagai unsur
etnik, menurutnya secara "rasial", manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :

 Dayak Mongoloid,
 Malayunoid,

 Autrolo-Melanosoid,

 Dayak Heteronoid.

Namun di dunia ilmiah internasional, istilah seperti "ras Australoid", "ras Mongoloid dan pada
umumnya "ras" tidak lagi dianggap berarti untuk membuat klasifikasi manusia karena
kompleksnya faktor yang membuat adanya kelompok manusia.
Tradisi Penguburan[sunting | sunting sumber]
Peti kubur di Kutai. Foto tersebut merupakan foto kuburan DayakBenuaq di Kutai. Peti yang
dimaksud adalah Selokng(ditempatkan di Garai). Ini merupakan penguburan primer - tempat
mayat melalui Upacara/Ritual Kenyauw. Sementara di sebelahnya (terlihat sepotong)
merupakan Tempelaqyang merupakan tempat tulang si meninggal melalui
Upacara/RitualKwangkay.

Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam
hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia
di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :

 penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
 penguburan di dalam peti batu (dolmen)

 penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan
sistem penguburan yang terakhir berkembang.

Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :

1. wadah (peti) mayat--> bukan peti mati : lungun[47], selokng dan kotak
2. wadah tulang-beluang : tempelaaq[48] (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.

berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan)[49][50] Suku Dayak Benuaq :

1. lubekng (tempat lungun)


2. garai (tempat lungun, selokng)

3. gur (lungun)

4. tempelaaq dan kererekng

Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:

1. penguburan tahap pertama (primer)


2. penguburan tahap kedua (sekunder).

Penguburan primer[sunting | sunting sumber]

1. Parepm Api (Dayak Benuaq)


2. Kenyauw (Dayak Benuaq)

Penguburan sekunder[sunting | sunting sumber]


Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya
di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-
dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan
menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil
dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :

 dikubur dalam tanah


 diletakkan di pohon besar

 dikremasi dalam upacara tiwah.

Prosesi penguburan sekunder[sunting | sunting sumber]

1. Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol
pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun
atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
2. Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar
menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.

3. Marabia

4. Mambatur (Dayak Maanyan)

5. Kwangkai[51][52][53][54]/Wara (Dayak Benuaq)

Agama[sunting | sunting sumber]

Bagian ini
memerlukanpengembangan dengan:
sumber terpercaya

Masyarakat rumpun Dayak Ngaju dan rumpun Dayak Ot Danum menganut agama leluhur yang
diberi nama oleh Tjilik Riwut sebagai agama Kaharingan yang memiliki ciri khas adanya
pembakaran tulang dalam ritual penguburan. Sedangkan agama asli rumpun Dayak Banuaka
tidak mengenal adanya pembakaran tulang jenazah. Bahkan agama leluhur masyarakat Dayak
Meratus di Kalimantan Selatan lebih menekankan ritual dalam kehidupan terutama upacara/ritual
pertanian maupun pesta panen yang sering dinamakan sebagai agama Balian.
Agama-agama asli suku-suku Dayak sekarang ini kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad
pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannyaCandi
Agung sebuah peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah
kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki
era sejarah yang ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang
beragama Hindu di Kalimantan Timur.[55]
Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan
Sribangun (di Kota Bangun, Kutai Kartanegara)[56] dan Kerajaan Wijayapura. Hal ini
menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan
budaya India yang menandai kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di
Kalimantan.
Penemuan Batu Nisan Sandai menunjukan penyebaran agama Islam di Kalimantan sejak abad
ke-7 mencapai puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi
pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan agama Hindu dan Buddha di Kalimantan.
Sejak itu mulai muncul hukum adat Banjar dan Melayu yang dipengaruhi oleh sebagian hukum
agama Islam (seperti budaya makanan, budaya berpakaian, budaya bersuci), namun umumnya
masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada hukum adat/kepercayaan
Kaharingan.
Sebagian besar masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kini
memilih Kekristenan, namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan.
Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu (baca: Hindu
Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian kecil
masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha
(Buddha versi Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku
dengan etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh
para Biksu di kalangan masyarakat Dayak misalnya terdapat pada masyarakat suku Dayak Dusun
Balangan yang tinggal di kecamatan Halong di Kalimantan Selatan.
Di Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim sebagai agama orang Dayak (sehingga Dayak
Muslim Kalbar terpaksa membentuk Dewan Adat Dayak Muslim tersendiri), tetapi hal ini tidak
berlaku di propinsi lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk agama Islam namun
tetap menyebut dirinya sebagai suku Dayak.
Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan berlaku
hukum adat Dayak. Wilayah-wilayah di pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan Islam,
masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Banjar/Melayu seperti suku Banjar, Melayu-
Senganan, Kedayan, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah
perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam pengaruh agama
Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat Dayak/Kaharingan. Di masa kolonial,
orang-orang bumiputera Kristen dan orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya
dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan penyebaran agama
Nasrani mampu menjangkau daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman sehingga
agama Nasrani dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang
Dayak.
Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal. Orang-orang dari Sriwijaya,
orang Melayu yang mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis
Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa Dinasti
Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Maynila,
Kiu kieng (Palembang) maupun ke Majapahit.[57] Banyak penjabat Dinasti Ming adalah
orang Hui Muslim yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Arab.
[58]
Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang mengunjungi
Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir mengenai aksi pemotongan kepala
yang dilakukan orang-orang Biaju di saat para pedagang sedang tertidur di atas kapal.
Agamawan Nasrani dan penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada
abad ke-14 dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropa.
Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani selalu mengalami kegagalan, karena pada dasarnya
pada masa itu masyarakat Dayak memegang teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga
kepada orang asing, seringkali orang-orang asing terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat sensitif
terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak laut dan kerajaan asing dari luar pulau
yang hendak menjajah mereka. Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC
Belanda dan serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan Makassar sangat
mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787, Belanda memperoleh
sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan Banten. Sekitar tahun 1835 barulah
misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia
Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar. Pada tanggal26 Juni 1835,
Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama
Kristen ke pedalaman Kalimantan Tengah. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi
upaya-upaya misionaris.[59][60][61][62][63]

Konflik[sunting | sunting sumber]


Keterlibatan[sunting | sunting sumber]
Dayak (istilah kolektif untuk masyarakat asli Kalimantan) telah mengalami peningkatan dalam
konflik antar etnis. Di awal 1997 dan kemudian pada tahun 1999, bentrokan-bentrokan brutal
terjadi antara orang-orang Dayak dan Madura di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Puncak dari konflik ini terjadi di Sampit pada tahun 2001. Konflik-konflik ini pun kemudian
menjadi topik pembicaraan di koran-koran di Indonesia. Sepanjang konflik tahun 1997, sejumlah
besar penduduk (baik Dayak maupun Madura) tewas. Muncul berbagai perkiraan resmi tentang
jumlah korban tewas, mulai dari 300 hingga 4.000 orang menurut sumber-sumber independen.
[64]
Pada tahun 1999, orang-orang Dayak, bersama dengan kelompok-
[65]
kelompok Melayu dan Cina memerangi para pendatang Madura; 114 orang tewas. Menurut
seorang tokoh masyarakat Dayak, konflik yang terjadi belakangan itu pada awalnya bukan antara
orang-orang Dayak dan Madura, melainkan antara orang-orang Melayu dan Madura.[66] Kendati
terdapat fakta bahwa hanya ada beberapa orang Dayak saja yang terlibat, tetapi media massa
membesar-besarkan keterlibatan Dayak. Sebagian karena orang-orang Melayu yang terlibat
menggunakan simbol-simbol budaya Dayak saat kerusuhan terjadi.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

 Rumpun Dayak
 Dayak Besar

 Tanah Dayak

 Tanah Dusun

 Seni Tradisional Dayak

 Partai Persatuan Dayak


 Partai Bansa Dayak Sarawak

 Kongres Dayak Malaysia

 Majelis Adat Dayak Nasional

 Daftar tokoh Dayak

Referensi[sunting | sunting sumber]

1. ^ Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk


Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik.
2011. ISBN 9789790644175. Diakses tanggal 27 Agustus 2012.
2. ^ Taburan Penduduk dan Ciri-ciri Asas Demografi (PDF). Jabatan Perangkaan
Malaysia. 2011. ISBN 9789839044548 Check |isbn= value (bantuan). Diakses tanggal 27
Agustus2012.
3. ^ http://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/bx.html
4. ^ Ethnicity and territory in the late colonial imagination
5. ^ Sellato, Bernard (2002). Innermost Bornéo: studies in Dayak cultures. NUS
Press. p. 19. ISBN 2914936028.ISBN 978-2-914936-02-6
6. ^ Davis, Joseph Barnard (1867). Thesaurus craniorum: Catalogue of the skulls of
the various races of man, in the collection of Joseph Barnard Davis. Printed for the
subscribers.
7. ^ Malayan miscellanies (1820). Malayan miscellanies. Malayan miscellanies.
8. ^ MacKinnon, Kathy (1996). The ecology of Kalimantan. Oxford University
Press.ISBN 9780945971733.ISBN 0-945971-73-7
9. ^ East India Company (1821). The Asiatic journal and monthly miscellany 12.
Wm. H. Allen & Co.
10. ^ University of Calcutta (1869). Calcutta review. 48-49. University of Calcutta.
p. 171.
11. ^ The London review of politics, society, literature, art, & science 11. J.K. Sharpe
(1865). p. 121.
12. ^ Wood, John George (1870). Uncivilized races of men in all countries of the
world: being a comprehensive account of their manners and customs, and of their
physical, social, mental, moral and religious characteristics 2. J. B. Burr & co. p. 1110.
13. ^ "The London Saturday journal (1841)". p. 80.
14. ^ ? Kata "daya" serumpun dengan misalnya kata "raya" dalam nama "Toraya"
yang berarti "orang (di) atas, orang hulu". Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang
ditemukan di Gua Niah (Sarawak) dan Gua Babi (Kalimantan Selatan), penghuni
pertama Kalimantan memiliki ciri-ciri Austro-Melanesia, dengan proporsi tulang
kerangka yang lebih besar dibandingkan dengan penghuni Kalimantan masa kini
15. ^ Haris, Syamsuddin (2004). Desentralisasi dan otonomi daerah: Naskah
akademik dan RUU usulan LIPI. Yayasan Obor Indonesia. p. 188. ISBN 979-98014-1-
9.ISBN 978-979-98014-1-8
16. ^ Indonesia, Kalimantan
17. ^ http://www.ethnologue.com/subgroups/greater-barito
18. ^ http://press.anu.edu.au//austronesians/austronesians/mobile_devices/ch04.html
19. ^ http://press.anu.edu.au//austronesians/austronesians/mobile_devices/ch04s02.ht
ml
20. ^ http://www.ethnologue.com/subgroups/land-dayak
21. ^ http://press.anu.edu.au//austronesians/austronesians/mobile_devices/ch04s05.ht
ml
22. ^ http://www.ethnologue.com/subgroups/north-borneo
23. ^ http://www.ethnologue.com/subgroups/tamanic
24. ^ http://press.anu.edu.au//austronesians/austronesians/mobile_devices/ch04s04.ht
ml
25. ^ http://www.ethnologue.com/subgroups/malayic
26. ^ http://press.anu.edu.au//austronesians/austronesians/mobile_devices/ch04s03.ht
ml
27. ^ Schulze, Fritz; Holger Warnk (2006). Insular Southeast Asia: linguistic and
cultural studies in honour of Bernd Nothofer. Otto Harrassowitz Verlag.
p. 47.ISBN 3447054778. ISBN 9783447054775
28. ^ King, 1993:29
29. ^ Leeming, David Adams (2010). Creation myths of the world: an
encyclopedia 1 (2 ed.). ABC-CLIO. p. 99. ISBN 1598841742.ISBN 978-1-59884-174-9
30. ^ King, 1993:30
31. ^ Maunati, Yekti. Identitas Dayak. PT LKiS Pelangi Aksara.
p. 8.ISBN 979949298X.ISBN 978-979-9492-98-2
32. ^ Tegg, Thomas (1829). London encyclopaedia; or, Universal dictionary of
science, art, literature and practical mechanics: comprising a popular view of the
present state of knowledge 4. Printed for Thomas Tegg. p. 338.
33. ^ Foreign missionary chronicle. s.n. (1838). p. 261.
34. ^ King, 1993.
35. ^ Rousseau, 1990
36. ^ Commans, 1987: 6
37. ^ Lahajir et al., 1993:4
38. ^ Lahajir et al., 1993:3
39. ^ Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-1978
40. ^ Nansarunai Usak Jawa
41. ^ Usak Jawa
42. ^ Fridolin Ukur, 1971
43. ^ Susanto, A. Budi (2007). Masihkah Indonesia. Kanisius.
p. 216.ISBN 9792116575.ISBN 978-979-21-1657-1
44. ^ http://eprints.lib.ui.ac.id/12976/1/82338-T6811-Politik%20dan-TOC.pdf
45. ^ Sarwoto Kertod ipoero, 1963
46. ^ Hukum Adat dan Istiadat Kalimantan Barat, J.U. Lontaan. 1975
47. ^ http://perpustakaan.kaltimprov.go.id/deposit-13-lungun-dan-upacara-adat-
kematian-suku-dayak-benuaq.html
48. ^http://berita.liputan6.com/read/42277/tempelaaq_tempat_tulang_belulang_leluh
ur_suku_dayak
49. ^ http://reverendum.blogspot.com/2011/06/6-kuburan-paling-aneh-di-
indonesia.html
50. ^http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1985/06/15/KRI/mbm.19850615.KR
I39073.id.html
51. ^ Lathief. H., Upacara adat kwangkay Dayak Benuaq Ohong di Mancong. Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1996 - Social Science - 220 pages
52. ^ http://catalogue.nla.gov.au/Record/1156006
53. ^ http://www.youtube.com/watch?v=kThegt6b3CE
54. ^ http://budimasnet.blogspot.com/2011/03/adat-kematian.html
55. ^ Kawi and Pallawa inscriptions, 4th-12th centuries
56. ^ Kerajaan Sri Bangun Kerajaan Bercorak Budha
57. ^ Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya
negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara.
p. 61. ISBN 9798451163.ISBN 978-979-8451-16-4
58. ^ Kong, Yuanzhi (2000). Hembing Wijayakusuma, ed. Muslim Tionghoa Cheng
Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara. Yayasan Obor Indonesia.
p. 54.ISBN 9794613614.ISBN 978-979-461-361-0
59. ^ Ukur, Fridolin (2000). Tuaiannya sungguh banyak: sejarah Gereja Kalimantan
Evanggelis sejak tahun 1835. BPK Gunung Mulia.
p. 42. ISBN 9789799290588. ISBN 979-9290-58-9
60. ^ Evangelical (1836). "Evangelical magazine and missionary chronicle," 14. s.n.
p. 578.
61. ^ End, Th. van den (1987). Ragi Carita 1, Jilid 1 dari Ragi carita: sejarah gereja
di Indonesia. BPK Gunung Mulia. ISBN 979-415-188-2.ISBN 978-979-415-188-4
62. ^ Foreign missionary chronicle 5. Board of Foreign Missions and of the Board of
Missions of the Presbyterian Church. p. 87.
63. ^ Steenbrink, Karel A. (2003). Catholics in Indonesia, 1808-1942: A modest
recovery 1808-1903. KITLV Press. p. 149. ISBN 9067181412.ISBN 978-90-6718-141-9
64. ^ MacDougall, 1999
65. ^ Mac Dougall, 1999
66. ^ lihat, misalnya Manuntung, 22 Maret 1999
SEJARAH KERAJAAN SIMPANG
Kerajaan Tanjungpura merupakan salah satu kerajaan tertua di Kepulauan Kalimantan yang kedudukannya disejajarkan
dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara.
Sumber yang menyatakan tentang keberadaannya dapat dibaca dalam Negarakartagama karangan Mpu Prapanca pada
masa Kertanagara (1268 – 1292) dari Singosari dan pada masa Kerajaan Majapahit dengan Sumpah Palapa Patih
Mangkubumi Gajah Mada (1258 Saka atau 1336 M).
Namun, para sejarahawan menghadapi kesulitan untuk mengungkap secara lengkap tentang Kerajaan Tanjungpura
tersebut. Hal ini disebabkan benda-benda peniggalan yang merupakan sumber yang dapat memberikan keterangan tidak
didapati lagi bekas bangunan kerajaan, monumen atau candi-candi, serta situs-situs lainnya, begitu pula dengan catatan-
catatan tertulis yang dapat mendukung kebenaran dari cerita-cerita rakyat yang dikisahkan secara turun temurun dari
mulut ke mulut.
P. J. Veth dalam bukunya Borneo’s Weater Afdeling, Eerste Deel, yang diterbitkan pada tahun 1854, mengalami kesulitan
pula dalam mendapatkan peninggalan sejarah yang banyak untuk memberikan pemahaman lengkap tentang Tanjungpura,
bahkan untuk menjelaskan tentang adanya hubungan Tanjungpura dengan keturunan Brawijaya, P. J. Veth mengambil
cerita rakyat, tanpa adanya bukti tertulis yang autentik, namun terus hidup dikalangan masyarakat (Tanjungpura
Berjuang, 1970:27).
Selain itu kurangnya pemeliharaan terhadap sisa-sisa peninggalan dan situs-situs yang masih ada menyebabkan banyaknya
benda-benda peninggalan yang rusak dan hilang, seperti yang terjadi pada situs Kerajaan Matan di Sungai Matan (hulu
Sungai Melano), yang sejak tahun tujuh puluhan menjadi sentralisasi pembalakan hutan.
Penyuntingan sekilas ini tidaklah mungkin dapat memaparkan semuanya secara keseluruhan baik tentang kerajaan, raja-
raja, maupun keturunannya. Namun, paling tidak hal ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang sejarah
yang ada di daerah Kalimantan Barat.

KERAJAAN ULU AIK (HULU AIR)


Penduduk asli Kalimantan Barat ialah suku bangsa Dayak dan suku bangsa Melayu. Suku Dayak lebih dahulu menghuni
daerah ini bermukim di daerah pedalaman dan hulu anak-anak sungai. Kemudian datang suku Melayu dari Riau dan
Semenanjung Malaka menempati daerah-daerah pantai, pesisir, dan aliran-aliran sungai.
Di hulu Sungai Keriau di Beginci Hulu Air, bermula sebuah kerajaan suku Dayak yang bernama Kerajaan Ulu Aik dengan
rajanya yang bernama Siak Bulun (Siak Bahulun) yang mempunyai tujuh orang anak angkat, yang tertua bernama Putri
Dara Pelimbung, yang kedua Putri Dara Pengumpat, ketiga Putri Suwuk Palunyap, keempat Sadung (laki-laki), kelima Putri
Dayang Bepurung, keenam Putri Layung, dan yang terakhir bernama Putri Layang Putung, yang kemudian dialih namanya
menjadi Putri Junjung Buih. Dari keturunan Putri Junjung Buih inilah lahir raja-raja Kerajaan Tanjungpura dan raja-raja
di Kerajaan Kalimantan Barat.

KERAJAAN TANJUNGPURA
1. Sumber :
a). Mpu Prapanca dalam Negarakartagama menulis: pada masa Kertanagara dari Singosari dengan Maha Patih Aragani
dalam merencanakan sistem pertahanan menghadapi politik ekspansi Khu Bilai Khan, membentuk strategi pertahanan
Nusantaranya dengan memperluas daerah pengaruhnya atas daerah-daerah: Kerajaan Pahang, Gorong, Nusa Pemida (Bali
dan Lombok), dan Bakula Pura (Tanjungpura) dan menempatkan prajurit Singosari di sekitar Riau dan Jambi.
b). Mpu Prapanca dalam Negarakartagama mengenai Sumpah Nusantara Patih Mangkubumi Gajah Mada menyatakan
antara lain: “Lamun huwus kalah Nusantara, isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, ring Tanjungpura,
ring Maru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, sing Sunda, Palembang, Tumasik, sasana isun amukti palapa.”
c). Selanjutnya Mpu Prapanca menyebutkan pembagian Nusantara Majapahit atas 8 wilayah, Kalimantan masuk daerah III,
“Luwas lawan Samudra mwang I lanuri Batan lampung mwang I Barus Yekahhinyang watak bhumi Malaya setanah
kapwamateh anut Len tekang nusa Tanjungnegara ri Kapuhas lawan ri katingan Sampit mwang Kuta lingga mwang I Lawai.
Kadang danganI Landa Lenri Samedang (Simpang) Tirem tan kasah ri sedu Buruneng ri Tabalung ri Tanjung Kote Lawan ri
Malano maka pramuka ta ri Tanjung puri.” (Tanjungpura Berjuang, 1970:30-31)
Dari tiga sumber ini:
- Tanjungpura disebut dengan berbagai nama, yaitu: Bakula Pura, Tanjungpura, dan Tanjungnegara.
- Kerajaan yang masuk Daerah III .adalah : Tanjungpura. Kapuas. Landak, Samedang (Simpang) Malano.

2. Letak Kerajaan Tanjungpura


a). Negeri Baru
Dari beberapa peninggalan sejarah di Negeri Baru (disebut juga Benua Lama) nampaknya daerah tersebut adalah salah
satu pusat kerajaan di Ketapang yang dalam tulisan para sejarahwan disebut Tanjungpura atau Tanjung Negara atau
Bakulapura dengan ibu negerinya Tanjungpuri.

b). Kayong (Muliakerta)


Karena keadaan sudah berkembang dipilihlah suatu lokasi bernama Kayung sebagai ibukota Kerajaan Matan. Op raad
zijner beide vrouwen boude Brawijaya zich eene woning. Niet ver van de plaats waar thans Kayung. De hoopfdplaats van
het Matansche rijk (P,J,Veth 1854:187). Penulis Belanda menyebutnya Kerajaan Matan. Sesungguhnya itu Tanjungpura.
Nama Matan baru dipakai setelah Sultan Muhammad Zainuddin memindahkan pusat kerajaan dari Sukadana ke Sungai
Matan (Ansar Rahman:109-110).

3. Raja – Raja Tanjungpura


a). Brawijaya (1454 – 1472)
Dari Silsilah Kerajaan Simpang Matan yang aslinya ditulis dalam huruf Arab Melayu, disalin sebagiannya oleh Gusti Maerat
atas permintaan Gusti M. Saleh Wedana Sukadana tahun 1956, secara panjang lebar menceritakan tentang Raja Ulu Aik,
Putri Junjung Buih dan Brawijaya yang berasal dari Majapahit.
Brawijaya keturunan dari Damarwulan. Damarwulan beranakkan Sang Ratu Kencana, Ratu Kencana beranakkan Brawijaya
dengan enam saudaranya yang lain. Yang tertua bernama Lang Buana, kedua Jayapati, ketiga Lang Singapati, keempat
Jayawani, kelima Indra Wadana, keenam Wijaya Wani, dan yang ketujuh Indra Wijaya.
Karena sulitnya menentukan pilihan sebagai raja, maka diadakanlah ujian atau sayembara yang kemudian dimenangkan
oleh Indra Wijaya yang karena kedikdayaannya diberi nama Brawijaya. Timbullah iri hati kelima saudaranya yang tua yang
kemudian bersepakat untuk meracuni Brawijaya sehingga seluruh tubuhnya tokak/borok. Akibat racun inilah, Brawijaya
(berdasarkan mimpinya) minta dihanyutkan ke lautan besar dalam sebuah rakit. Di tengah rakit dibuatkan tempat untuk
berendam selama dalam pengembaraannya. Dia didampingi oleh dua orang patih yaitu Patih Banggi dan Patih Galagundir
dan dayang-dayang, dengan perlengkapan yang cukup. Selama berbulan-bulan dalam pelayaran itu, Brawijaya setiap
harinya berendam di air asin dan ikan paten belang ulin yang menjilati dan memakan keriping-keriping boroknya.
Akhirnya sampailah ia di pantai Selatan Borneo dengan penyakit yang mulai sembuh. Dari kisah inilah keturunan Brawijaya
dipantangkan makan ikan paten. Karena di pantai tiupan angin begitu kencang, sedangkan Brawijaya baru sembuh, maka
pelayaran dilanjutkan menyisir pantai melalui beberapa muara sungai dan akhirnya sampailah ia memasuki Sungai Pawan
dan berhenti di Kandang Kerbau (saat itu belum bernama).
Hampir setiap hari Brawijaya dan kedua patihnya menjala ikan, maka pada suatu ketika mereka mudik jauh kehulu.
Sampai pada suatu suak dikibarkannyalah jalanya, maka dirasanya ada ikan dalam jalanya itu, pelan-pelan diangkat
jalanya dan dilihatnya hanya sebutir buah kedondong, begitulah sampai tiga suak yang didapatinya hanya buah kedondong
itu, lalu dilemparkannya jauh kedarat. Karena sudah terasa jauh mudik kehulu, mereka memusing haluan kembali
kebagannya, namun tiba-tiba, patih Banggi yang berada di kemudi menoleh kebelakang melihat ada benda putih hanyut
diarus deras, setelah diperhatikan ternyata benda itu sebuah mundam (sejenis mangkok yang bertutup) yang berisi
sehelai rambut. Brawijaya mengatakan tentu ada orang dihulu ini. Keesokan harinya mereka melanjutkan mudik, sampai
di batang air tidak dapat lalu karena tumpat berisi kumpai (sejenis tumbuhan air), dan setelah direntas, di hulu kumpai
itu ada pula pupuk air (buih air) yang memenuhi permukaan sungai. Di dalam pupuk air itu ada putri Layang Putung
hanyut di dalam Gong yang hendak mencari rambutnya yang hanyut dalam Mudam ketika mandi di pangkalan. Kemudian
dengan izin ayah angkatnya Siak Bulun, Layang Putung di bawa Brawijaya ke tanah Jawa. Dengan takdir Allah, Layang
Putung yang kudung kaki tangannya sembuh setelah di-lamin tiga kali tujuh hari, maka dialihlah namanya menjadi Tuan
Putri Junjung Buih. Dari sinilah asalnya adat me-lamin anak perempuan setelah datang bulan.
Setelah diadakan pembagian kekuasaan dan harta kerajaan serta rakyatnya, Brawijaya menjadi Raja di Borneo,
membangun Kerajaan di Benua Lama, dan Wijaya Wani menjadi Raja Majapahit, sedangkan saudara-saudaranya yang
meracuni dihukum untuk mengabdi kepada Brawijaya dan tidak boleh durhaka. Kelimanya dihukum dengan hukuman Lima
Suku sepanjang keturunannya. Setiap suku itu diberi pangkat, yang tua Maya Agung yang berkewajiban menerima utusan
yang datang. Dia adalah hulubalang pertama, wakil raja, menangani hal-hal yang besar termasuk perang dan menggelar
raja. Kedua Mengkalang yang bertugas menalangi raja terhadap hal-hal yang tidak dapat dilakukan raja, dan menalangi
Maya. Ketiga Priyayi, rerahi-muka raja, menjadi raja sehari ketika raja wafat sedang belum ada penggantinya. Suku
keempat adalah Siring yang menjadi pengiring raja dan pemegang pusaka raja. Suku kelima diberi pangkat Mambal yang
bertugas menambal hal raja, menambal adat, menambal sarana yang rusak. Kelima suku inilah yang berhak dalam
menyelenggarakan prosesi pengangkatan dan penobatan raja.

b). Bapurung (1472 – 1487)


Putri Junjung Buih melahirkan dua putra, Bapurung dan Brangga Sentap. Pada zaman Raja Bapurung, Kerajaan
Tanjungpura seperti bunga mawar yang harum baunya, negeri yang makmur dengan penduduk yang ramai dan menguasai
daerah yang luas di Kalimantan Barat. Pada masanyalah kisah Kedondong yang menutupi sebagian wilayah kerajaan
sehingga menjemur padi sampai ke Batu Ampar dan Padang Tikar. Kedondong ini ditebang oleh Brangga Sentap dengan
Beliung Timah yang menjadi landasannya adalah tujuh orang perempuan hamil bungas (hamil pertama). Itulah pohon
kedondong yang berasal dari buah kedondong yang tiga kali masuk dalam jala Brawijaya dan dilemparkannya kedarat.
Raja Bapurung menikah dengan Putri Banjar bernama Dayang Silor. Dari Dayang Silor ini lahirlah empat orang anak, tiga
laki-laki dan satu perempuan, yaitu: Karang Tunjung (Junjung), Pangeran Sedang Mandap, Pangeran Purba, dan Ratu
Sinuhun.

c). Panembahan Karang Tunjung (1487 – 1504)


Karang Tunjung kawin dengan Putri Kilang dari Brunei, mempunyai anak yang bergelar Sang Ratu Agung. Pada zaman
Penembahan Karang Tunjung inilah Kerajaan Tanjungpura di Benua Lama dialihkan ke Sukadana yang letaknya sangat
strategis, ditepi pantai yang terbuka, hubungan komunikasi dan perdagangan akan lebih berkembang sehingga menjadikan
Sukadana Bandar perniagaan yang ramai.

KERAJAAN SUKADANA
1. Sumber:
Dalam Negarakartagama, pada masa Kerajaan Singosari dan Majapahit dengan Sumpah Palapa, belum ada menyebutkan
Sukadana, yang ada hanya Landak Kendawangan, Kapuas, Simpang Melano. Sejarah Indonesia mulai banyak menyebut
Sukadana ketika dihubungkan dengan kerajaan Islam Makasar. Dengan jatuhnya Kerajaan Islam Makasar (1669), maka
Sukadana menjadi Bandar perniagaan yang ramai dan menjadi salah satu pusat perdagangan, sehingga mulai banyak
dikenal.

2. Raja – Raja Sukadana


a). Penembahan Karang Tunjung (1487 – 1504)
Dinasti Brawijaya beragama Budha, dan gelar Penembahan baru dimulai pada masa Raja Pertama Karang Tunjung sekitar
abad 15 dimana saat itu Sukadana mulai berkembang menjadi kota perniagaan yang ramai, sehingga perekonomian dan
kemakmuran rakyatnya semaking meningkat. Menurut cerita Karang Tunjung itu apabila malam dia tidur didalam kelopak
bunga Tunjung (Tanjung) maka namanya Karang Tunjung.

b). Gusti Syamsudin/Pundong Prasap bergelar Penembahan Sang Ratu Agung (1504 – 1518)
Pada masa kekuasaan Sang Ratu Agung (putra Penembahan Karang Tunjung) Sukadana semakin maju dan berkembang. Dia
dinamai Pundong Prasap karena waktu pagi dan sore hari badannya mengeluarkan asap. Pada masa Panembahan ini Gelar
Gusti mulai dipakai.
Gelar di lingkungan Kerajaan bukanlah menunjukkan kasta, tapi berupa ikatan kekerabatan, menganut garis lurus/garis
laki-laki atau garis Bapak (Patria Chard). Sebagai contoh ;
- Bapak bergelar Gusti; anak laki-laki bergelar Gusti, yang perempuan bergelar Utin.
- Bapak bergelar Uti; anak laki-laki bergelar Uti, yang perempuan bergelar Utin.
- Bapak bergelar Raden; anak laki-laki bergelar Raden, yang perempuan bergelar Tiak.
- Bapak bergelar Mas; anak bergelar Mas, yang perempuan bergelar Mas.
Itulah gelar kekerabatan di lingkungan istana kerajaan.

c). Gusti Abdul Wahab Bergelar Penembahan Bendala (1518 – 1526)


Penembahan Bendala adalah anak Sang Ratu Agung yang bergelar Penembahan Air Mala. Penembahan Bendala seperti
raja-raja sebelumnya memajukan dan memakmurkan Sukadana. Hampir semua bidang kehidupan rakyat mendapat
perhatiannya, seperti dalam bidang pertanian, perdagangan, dan kelautan.

d). Penembahan Pangeran Anom ( 1526 - 1533)


Sewaktu Panembahan Bendala yang masih muda itu meninggal dunia, putra mahkota yang bakal menjadi penggantinya
masih kecil, pemerintahan dipangku oleh adiknya Pangeran Anom. Pangeran Anom bergelar Panembahan Sukadana,
setelah ia meninggal terkenal sebagai Marhum Ratu. (Ansar Rahman, 2000:114).

e). Penembahan Baroh (1533-1590)


Panembahan Baroh atau dikenal dengan panggilan Pangeran di Baroh. Kata Baroh atau di Baroh bukanlah nama, tapi gelar
atau panggilan. Kata ‘di’ menunjukkan tempat. Kata Baroh artinya tempat yang rendah/dibawah. Penembahan Baroh
merupakan pendiri Kerajaan Matan yang berada di hulu Sungai Melano di Sungai Matan.
Menurut P. J. Veth, sisa reruntuhan Kota Matan yang dibangun oleh Penembahan Baroh terdapat di daerah Simpang
(Tanjungpura Berjuang, 1970:35). Di bekas reruntuhan Kerajaan Matan terdapat “Laut Ketinggalan” yang kiranya
berhubungan dengan gelar Penembahan di Baroh. Alkisah ketika lahir putra raja, dikumpulkanlah ahli-ahli Nujum untuk
melihat nasib putranya. Menurut ramalan, putra raja ini akan meninggal disebabkan oleh binatang air. Menjelang umur
tiga atau empat tahun, Sang Putra ingin melihat laut, maka dibuatkanlah laut (kolam). Di baruh ditempat yang agak
rendah sehingga mudah mengalirkan air ke dalam kolam Kemudian dimintanya pula agar lautnya itu diisi dengan binatang
air, maka diisilah dengan berbagai jenis ikan dan sebagainya. Akhirnya dimintanya pula buaya. Dibuatkanlah buaya dari
kayu persis seperti buaya yang sebenarnya dengan sisik dan taringnya. Betapa senangnya dia berhari-hari bermain dengan
buaya kayu itu. Takdir menentukan terlukalah dia terkena taring buaya itu dan meninggal karenanya. Laut itu kemudian
dinamai “Laut Ketinggalan”.
Pada masa Penembahan Baroh, agama Islam sudah mulai berkembang yang dibawa oleh orang Arab dari Palembang pada
permulaan tahun 1550, tetapi Panembahan sendiri belum memeluk Islam.
Agaknya pendirian kerajaan Matan merupakan strategi penyelamatan dan pengamanan kedudukannya di Sukadana,
apabila suatu ketika Sukadana semakin lemah pertahanannya akibat peperangan, perebutan hegonomi dan persaingan
ekonomi perdagangan.

f). Gusti Aliuddin/ Giri Kesuma bergelar Panembahan Sorgi (1590-1604)


Setelah meninggalnya Penembahan Baroh, diangkatlah Giri Kesuma yang juga disebut Penembahan Sorgi. Dia adalah
Penembahan yang pertama kali menganut agama Islam. Sejak itu dia sering berhalwat mendekatkan dirinya kepada Allah
karena itu beliau bergelar Panembahan Sorgi. Pada zamannya datang utusan dari Makatulmasyrafah Syech Syamsudin,
Imam Kari dan Kadi Jamal yang membawa bingkisan sebuah Alqur’an, sebentuk cincin permata yakkut merah dan baju
kebesaran. (Gusti Maerat:1956:51).
Panembahan Sorgi menikah dengan Putri Mas Jaintan, anak Pangeran Purba Jayakesuma–Raja Landak. Penembahan Giri
Kesuma memakai gelar Giri, mungkin pengaruh dari Jawa (Sunan Giri). Penembahan Giri juga dikenal dengan Raja Matan.
Jadi, Matan sudah mulai berperan sebagai kerajaan disamping Sukadana seperti yang dikemukakan oleh H. J. De Graaf
dan Pigeaud dalam bukunya “Kerajaan Islam Pertama di Jawa” (Grafiti : Jakarta, 1989:172) menyebutkan “… adanya
perkawinan antara pangeran-pangeran Giri dengan putri setempat. Karena Raja Matan dari Sukadana yang mulai
memerintah tahun 1590 memakai nama Giri Kesuma diduga ada pula pengaruh dari Giri di sana” (Ansar Rachman, Bab
IV:118).
Perkawinan Giri Kesuma dengan Putri Mas Jaintan, melahirkan :
1. Gusti Kesuma Matan/Giri Mustika (bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin)
2. Ratu Surya Kesuma, menikah dengan Raja Tengah dari Brunei, berputrakan Raden Sulaiman, dia kawin
dengan Mas Ayu Bungsu putri Ratu Sepudak Raja Sambas. Setelah menjadi Sultan Sambas, Raden
Sulaiman bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin, mengambil nama pamannya. Raden Sulaiman lahir di
Sukadana.
3. Raden Lekar kawin dengan Utin Periuk dari Meliau menjadikan keturunan Raja-Raja di sebelah Kapuas.
(Silsilah Mempawah : 4)

g). Ratu Mas Jaintan (1604 – 1622)


Setelah mangkatnya Penembahan Giri Kesuma, sedang Putra Mahkota Giri Mustika masih kecil, maka oleh Majelis
Kerajaan ditunjuklah Permaisuri Ratu Mas Jaintan sebagai Mangku Bumi dengan gelar Ratu Diatas Negeri. Pada masa Ratu
Mas Jaintan terjadi perang Kendal. Sultan Agung dari Mataram mengirim armada yang dipimpin Bupati Kendal Baurekso
(Baraksya) dan Irasyasa dengan tujuan memutuskan hubungan Sukadana – Surabaya (1622). Ratu Mas Jaintan akhirnya
ditangkap dan diasingkan ke Mataram (Tanjungpura Berjuang, 1970:36).

h). Gusti Kesuma Matan/Giri Mustika (Sultan Muhammad Syafiuddin) 1622 – 1665
Gusti Kesuma Matan/Giri Mustika putra Mas Jaintan, bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin adalah raja pertama yang
menggunakan gelar Sultan, gelar yang bernuansakan Islam. Pada masa Sultan Muhammad Syafiuddin terjadi perang
Sanggau. Gusti Kesuma Matan mempunyai 3 orang anak :
1. Gusti Jakar Negara (bergelar Sultan Muhammad Zainuddin) Raja Matan yang pertama.
2. Pangeran Agung.
3. Putri Indra Mirupa (Indra Kesuma).

KERAJAAN MATAN
Raja – Raja Matan:
a). Gusti Jakar Negara (Sultan Muhammad Zainuddin) 1665-1724
Putra mahkota Gusti Jakar Negara bergelar Sultan Muhammad Zainuddin merupakan Raja Matan pertama. Dia telah
mengalami beberapa peristiwa dalam pemerintahan di Sukadana. Sejak diserang oleh Sultan Agung dari Mataram tahun
1622 kekacauan demi kekacauan terjadi, dan gangguan bajak laut semakin merajalela sepanjang perairan pantai dan
Selat Karimata, yang mengakibatkan semakin lemahnya pertahanan Sukadana sehingga membuat Sultan Muhammad
Zainuddin mengalihkan pusat pemerintahannya ke Matan.
Pada masa pemerintahan Panembahan Baruh (1548-1550) telah merintis perluasan kekuasaannya ke daerah pedalaman
sungai Melano, yaitu di Desa Matan, sekarang disebut Desa Batu Barat. Pengembangan pusat kekuasaan ke Matan ini,
adalah juga dalam usaha mengembangkan agama Islam yang telah masuk di Sukadana.
Dengan pindahnya kerajaan ke Matan maka kosonglah Sukadana lebih 100 tahun lamanya. Penduduk migrasi ke
pedalaman, menyusuri sungai Melano, Sungai Matan, sungai Bayeh dan bermukim di kampung Bukang, Banjor, Kembereh,
Gerai, Kalam, Simpang Dua, Balaiberkuak dan sebagainya. Ketika penyunting tulisan ini, mengadakan perjalanan ke
daerah pedalaman tahun 1967, bertemu dengan Pateh, Temegung, mereka menyatakan bahwa nenek moyangnya itu
berasal dari Sukadana.
Di Matan agama Islam berkembang pesat dan syariat Islam dilaksana oleh rakyat. Sisa-sisa situs di Matan terdapat makam
Syarif Qubra, Kari Jamal, Kolam Pemandian Putri Raja dan sebuah makam berhajrat tahun 11 Hijriyah. Ini kiranya tidak
mungkin, karena Islam belum berkembang sampai kesini. Kemungkinan tahun itu bukan 11 tapi 110 atau 1100 Hijriyah
sekitar abad ke 13 atau 14 Masehi. Ada dua pemakaman yang besar, pertama Pemakaman Raja-Raja di Matan itu sendiri
dan kedua dibukit Sekusur penuh dengan makam, ini menandakan bahwa Kerajaan Matan itu adalah Kerajaan yang ramai
dan besar, sayangnya karena sudah ratusan tahun lamanya tidak terpelihara sehingga kembali menjadi hutan belukar.
Makam di Sekusur itu sampai sekarang dikeramatkan oleh penduduk setempat dan diabadikan dalam pantun “Sumpah
Orang Matan”:
"Sekusur dipagar bukit – Bisik (berisi) keramat didaratnya. Hatiku bujur (lurus-ikhlas) dibuat sakit – Ndak (tidak) selamat
pendapatnya".
Ketika pemerintahan di Matan inilah terjadinya peristiwa perpecahan dengan adiknya Pangeran Agung yang berusaha
untuk merebut kekuasaan dan menyingkirkan Sultan Muhammad Zainuddin.
Atas bantuan lima bersaudara Daeng Menambun anak dari Opu Daeng Ralaka (Opu Daeang Perani, Opu Daeng Manambon,
Opu Daeng Naraweh, Opu Daeng Kemasih, dan Opu Daeng Calak) yang datang dengan penjajab dan pencalangnya
memasuki Sungai Melano sampai ke negeri Simpang. Berceritalah orang Simpang tentang hal ihwal Sultan Muhammad
Zainuddin, maka merekapun segera berlayar dari Simpang ke Matan, mudiklah mereka di Sungai Matan ( batang Pawan ? )
sampai kepangkalan panembahan Agung di Matan.
Terjadilah perdebatan dengan menantu Panembahan Agung orang Bugis Daeng Mateku dan Haji Hafiz yang masih sepupu
dua kali dengan lima bersaudara Daeng Menambun. Akhirnya Daeng Mateku dan Haji Hafiz bersedia mengundurkan diri
keluar dari Matan. Kemudian masuklah lima bersaudara Daeng Menambun berhasil menangkap Pangeran Agung dan
mengembalikan Sultan Muhammad Zainuddin ke tahta kerajaannya. (Silsilah Kerajaan Mempawah:23).
Sultan Muhammad Zainuddin mempunyai istri bernama Nyai Kendi, anak-anak mereka :
1. Gusti Kesuma Bandan bergelar Sultan Muhammad Muazzuddin
2. Nyai Tua (Utin Kabanat) kawin dengan Syarif Husin melahirkan Syarif Abdurrahman kelak menjadi
Sultan di Pontianak. Gelar Nyai merupakan gelar isteri orang yang ternama atau gelar isteri raja. Nyai Tua
adalah isteri gahara, istri yang tua, nama sebenarnya adalah Utin Kabanat.
Isteri Gahara (Permaisuri) Panembahan Simpang Gusti Rum dipanggil “Nyai Ratu” nama yang sebenarnya
Tiak Aisyah. Jadi panggilan Nyai itu adalah sebutan untuk isteri orang yang terpandang pada umumnya
isteri raja.
Dari istrinya yang lain Mas Inderawati berputra 6 orang :
1. Utin Kesumba bergelar Ratu Agung Senuhun kawin dengan Opu Daeng Menambun.
2. Pangeran Ratu.
3. Pangeran Mangkurat
4. Pangeran Agung Martadipura
5. Utin Kerupus
6. Utin Kerupis
Putri Kesumba anak tertua Sultan Muhammad Zainuddin yang kawin dengan Daeng Menambun beranak 10 orang :
1. Utin Damawan kawin dengan raja Landak.
2. Gusti Jamril bergelar panembahan Adijaya Kesumajaya jadi Raja Mempawah.
3. Gusti Jamadin bergelar Pangeran Cakra .
4. Utin Cenderasari jadi Ratu di Simpang.
5. Gusti Jadri bergelar Pangeran Mangku di Mempawah.
6. Ratu Surya Kesuma.
7. Gusti Jamal bergelar Gusti Panglima di Mempawah..
8. Utin Canderamidi kawin dengan Syarif Abdurrahman (Sultan Pontianak).
9. Gusti Sina – Gusti Bendara bergelar Pangeran Jaya Putra.
10.Utin Tawang. (Silsilah Kerajaan Mempawah : 4).

b). Gusti Kesuma Bandan (Sultan Muhammad Muazzudin) 1724 – 1738


Sultan Muhammad Zainuddin digantikan oleh putranya Gusti Kesuma Bandan yang bergelar Sultan Muhammad Muazzudin
dan mempunyai tiga orang anak:
1 Gusti Bendung (Pangeran Agung) bergelar Sultan Muhammad Tajuddin.
2 Gusti Irawan, bergelar Sultan Mangkurat (Raja Kayong).
3 Gusti Muhammad Ali (bergelar Pangeran Mas). Gusti Muhammad Ali bertugas memungut hasil (upeti) dari daerah-daerah
yang berada di bawah kekuasaan Matan.

c). Gusti Bendung (Pangeran Ratu Agung) bergelar Sultan Muhammad Tajuddin 1738-1749
Pada masa Gusti Bendung yang bergelar Sultan Muhammad Tajuddin, Gusti Muhammad Ali tetap bertugas sebagai
pemungut upeti. Dia menikah dengan Puteri Penembahan Sanggau, dan kemudian menjadi Raja Sanggau dengan gelar
Penembahan Sanggau Surya Negara. Sultan Muhammad Tajuddin mempunyai lima orang anak: Gusti Kencuran, Gusti Lekar
(Mekar), Gusti Tuntung, Gusti Kenkunang, dan Utin Lahang. Gusti Lekar (Mekar) menikah dengan anak Kiyai Meliau dan
beranakkan tujuh orang, lima laki-laki dan dua perempuan. Dari keturunan Gusti Lekar inilah terlahir raja-raja di Meliau,
Sekadau, Sintang, Belitang. (Gusti Maerat:1956:58).
d). Gusti Kencuran (Sultan Ahmad Kamaluddin) 1749 – 1762
Gusti Kencuran bergelar Sultan Ahmad Kamaluddin, mempunyai empat orang anak yang bernama: Gusti Asma, Gusti
Bengkok, Utin Santan, dan Utin Belang.
Pada masa Sultan Ahmad Kamaludin, pamannya yang bernama Gusti Irawan (anak Sultan Muhammad Muazzudin)
memohon kembali ke Muliakarta menjadi raja di sana dan diberi gelar oleh Sultan Achmad Kamaludin dengan gelar Sultan
Mangkurat Raja Kayong (Matan). Kemudian terjadilah pembagian wilayah antara Simpang dan Kayong dengan batas Sungai
Pawan. Sebelah kiri Sungai Pawan adalah wilayah Simpang, dan sebelah kanan Sungai Pawan adalah wilayah Kayong.
Sedangkan, batas daratnya adalah:
1. Di daerah Kubing Sei. Laur (Penggenting Asah)
2. Di desa Baya (Kematanan Agol)
3. Di hulu Sei. Laur (Temberenang Pantap)
Kedua kerajaan ini dikenal dengan panggilan Kerajaan Simpang dan Kerajaan Kayong

e). Gusti Asma (Sultan Muhammad Jamaluddin) 1762 – 1814


Sultan Ahmad Kamaluddin digantikan anaknya yaitu Gusti Asma bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin yang kemudian
mengalihkan kekuasaannya dari Matan ke Simpang, maka berakhirlah Dinasti Matan.

KERAJAAN SIMPANG MATAN


Kerajaan Simpang dinamakan demikian karena letaknya yang berada dicabang dipersimpangan dua sungai, satu cabang di
sebelah kanan Sungai Matan, dan cabang sebelah kiri Sungai Pagu di Lubuk Batu. Jadi nama SIMPANG itu karena letaknya
dipersimpangan dua sungai. Kerajaan Simpang tidak jauh dari Kerajaan Matan, hanya setengah hari perjalanan mudik dari
Simpang sampailah ke Matan.
Karena hubungan emosional dan kedekatannya dengan Matan, maka Kerajaan Simpang mencantumkan nama Matan
sehingga dikenal dengan Kerajaan Simpang Matan.
Kerajaan Simpang merupakan salah satu kerajaan yang terkenal di Nusantara sejak zaman Majapahit. Dalam Negara
Kertagama, Mpu Prapanca menyebut pembagian Nusantara Majapahit atas 8 wilayah. Kalimantan masuk dalam Daerah III :
… Len tekang nusa Tanjungnegara ri Kapuhas … Kadang mwang i Landak Lenri Samedang (Simpang) … ri Malano maka
pramuka ta ri Tanjung puri. (Anshar Rahman:Tanjungpura Berjuang, 1970)
Kerajaan di Kalimantan Barat yang termasuk dalam wilayah Majapahit adalah Tanjungnegara (Tanjungpura, Kapuhas,
Kandawangan, Landak, Simpang, Melano).

Raja-Raja Simpang Matan:


a). Gusti Asma (Sultan Muhammad Jamaluddin) 1762 – 1814
Sultan Ahmad Kamaluddin digantikan anaknya yaitu Gusti Asma bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin yang kemudian
mengalihkan kekuasaannya dari Matan ke Simpang, maka berakhirlah Dinasti Matan.
Raja pertama Kerajaan Simpang Matan ini mempunyai empat orang anak, yaitu:
1. Gusti Mahmud, bergelar Panembahan Anom Suryaningrat.
2. Gusti Asfar, bergelar Pangeran Adipati. Dia kawin di Landak, melahirkan Gusti Arif yang menurunkan
keturunan Raja Landak. Kemudian dia kawin lagi di Tayan melahirkan Gusti Hasan yang menurunkan
keturunan Raja Tayan.
3. Gusti Jamiril, dan
4. Utin Upih.
Pada masa pemerintahannya, Belanda sudah mulai masuk. Ajidan (William Adrian Palm?) wakil Belanda (VOC) di Betawi
datang ke Pontianak hendak meminjam tanah untuk mendirikan kantor dagangnya. Melalui Syarif Abdurahman mengirim
surat kepada Sultan Simpang-Matan memberitahukan maksud tersebut. Dalam balasan suratnya Sultan Muhammad
Jamaluddin meminjamkan tanah seluas 1000 m2 dengan sewa per bulannya sebesar ƒ250 (uang waktu itu), dan apabila
Ajidan (Adrian) pulang ke Belanda, maka tanah itu harus dikembalikan kepada Kerajaan Simpang. Kemudian Ajidan
(Adrian) diantar Syarif Kasim menghadap Sultan Muhammad Jamaluddin di Simpang-Matan. Tahun 1779 Kantor Dagang
VOC didirikan di Pontianak. Sebelumnya, pada tahun 1771 Syarif Abdurachman Alqadrie mendirikan pemukiman di
Pontianak setelah mendapat restu dari Sultan Jamaluddin, dan tahun 1778 menyatakan dirinya sebagai Sultan Kerajaan
Pontianak. Ajidan (Adrian) digantikan oleh Residen Suhar (Walter Markus Stuart). Melalui Residen Suhar (Stuart), Belanda
menawarkan persahabatan dengan Sultan Simpang. Dia menghadap Sultan Muhammad Jamaluddin menyampaikan
perintah dari Raja Belanda dan Gubernur Jenderal VOC di Betawi (Renier de Klerk) : Kata Rasiden Suhar kepada Sultan
“Raja, adapun saya datang ini menghadap Raja, membawa perintah dari Raja saya yaitu Raja Belanda serta Jenderal VOC
di Betawi hendak bersahabat kepada Raja disini” Maka dijawab Sultan “boleh bangsa engkau bersahabat dengan aku
tetapi jika dapat bangsa engkau orang Belanda memaklumkan musuh dilaut itu” Bertanya Residen Suhar “musuh apa
Raja, dilaut itu? ’Di jawab Sultan ‘Adapun musuh dilaut itu bangsa Lanun, bangsa bajak namanya. Jika engkau bangsa
Belanda dapat memaklumkan, menangkapnya, mengamankan perairan pesisir pantai Simpang dan selat Karimata dari
gangguan Lanun, bajak laut itu.
Salah satu sebab mengapa Sultan Muhammad Zainuddin memindahkan pusat pemerintahannya dari Sukadana ke Matan
adalah serangan dan gangguan lanun, bahkan ketika pindah ke Matan pun Lanun pernah menyerang sampai masuk jauh ke
sungai Melano, namun mereka terkecoh oleh Bukit Penggalang yang nampak melintang ditengah sungai, dikiranya sungai
itu tidak ada hulunya (sungai buntu) akhirnya karena mengira terjebak dan takut diserang balik mereka tergesa-gesa
mundur dengan membuang muatan peluru dan senjatanya ke sebuah lubuk di sungai Simpang, lubuk itu dinamai “lubuk
senjata”
Kemudian setelah Residen Suhar pulang melaporkan hasil pertemuannya dengan Sultan Simpang kepada Jenderal di
Betawi, dia datang kembali membawa perintah lagi dari Raja Belanda dan Jenderal di Betawi menawarkan jasanya untuk
menolong Sultan Simpang dalam menjalankan pemerintahan, karena terlalu luasnya wilayah kerajaan, sehingga dengan
bantuan itu Sultan tinggal menerima keputusan saja. Tawaran itu diterima Sultan dengan ketentuan harus menurut
pemerintah Sultan dan tidak boleh berkuasa sendiri. Begitulah perjanjian dahulu dengan Sultan Muhammad Jamaluddin
tidak ada Belanda berkuasa di Simpang ini karena bedil peluru dan meriamnya tetapi dengan segala tipu muslihatnya.
Percaya dengan janji dan persahabatan, maka Sultan mengirim sepucuk surat kepada Raja Belanda dan mengirimkan
“Intan Sejima” yang diserahkan kepada Residen Suhar. Jenderal di Betawipun pergi ke negeri Belanda membawa surat
serta Intan Sejima itu kepada Raja Belanda Willem. Setelah tiga bulan kemudian Residen Suhar membawa balasannya
berupa uang harga Intan itu dan diserahkan kepada Sultan.
Pada zaman Sultan Muhammad Jamaluddin Belanda belum menguasai Kerajaan Simpang baru dalam batas perjanjian-
perjanjin saja.

b). Gusti Mahmud (Panembahan Anom Suriyaningrat) 1814 – 1829


Gusti Mahmud adalah Raja pertama yang menggunakan gelar Panembahan karena gelar Sultan tidak diperbolehkan oleh
Belanda untuk dipakai lagi “… te benoemen inlandschen vosrt, onder den title van panembahan….” (J.P.J.Barth 1879:17).
Di awal pemerintahan Gusti Mahmud, Belanda belum menguasai sepenuhnya kerajaan Simpang, masih terbatas dalam
pelaksanaan perjanjian-perjanjian di masa Sultan Muhammad Jamaluddin: berupa perjanjian persahabatan, pengamanan
perairan pesisir pantai dan Selat Karimata, serta bantuan dalam pengelolaan pemerintahan.
Pada zaman Pangeran Anom Suryaningrat ini telah terjadi perjanjian antara Kerajaan Simpang dan Kerajaan Matan
(Kayong?) dengan Belanda oleh Komissaris Tobias yang ditandatangani tanggal 14 Juni 1823 di Simpang. Diperbaharui lagi
tahun 1837 dan 1845.
Bermula penguasaan Kerajaan Simpang ini oleh Belanda, ditandai dengan penggantian residen dari Residen Suhar
digantikan oleh Residen Litter. Dia menghadap Gusti Mahmud diperintahkan Jenderal di Betawi untuk meminta tanah di
Sukadana dan Karimata. Berkata Gusti Mahmud bahwa tanah di Sukadana dan Karimata tidak boleh diminta, jika dipinjam
boleh selama 4 turunan dan dibayar kerugiannya (sewanya) setahun ƒ4500 Setelah mendapat pinjaman Belanda berjanji di
Sukadana dan Karimata itu hanya untuk mendirikan kantor (loji) sebagai pusat pengendalian pemberantasan lanun/bajak
laut, namun ternyata yang dibangunnya tangsi-tangsi dan penjara untuk menempatkan serdadunya yang bertujuan
sebagai basis untuk menguasai dan pengendalian daerah jajahannya. Dari tangsi inilah Belanda memerangi perlawanan
rakyat Kerajaan Simpang dalam perang Belangkait dan perang Tumbang Titi dihulu Ketapang. Setelah mendapat pinjaman
tanah Sukadana dan Karimata, Belanda mengganding Raja Akil dari Siak (Riau) yang juga sering disebut sebagai mayor
Akil. Iapun diangkat sebagai Raja Sukadana. Nama Sukadana diganti dengan Niew Brussel (lidah Melayu menyebutnya
Beresol). Setelah Raja Akil diangkat menjadi Sultan dengan gelar Abdul Jalil Yang Dipertuan Syah tahun 1828, hanya
Sukadana sajalah yang boleh menggunakan gelar Sultan dan yang lainnya bergelar Panembahan (J. P. J. Barth, 1879:17).
Karena Raja Akil tidak disenangi dan disetujui oleh rakyat, maka timbullah perselisihan dengan Residen Belanda, maka
setelah meninggal tahun 1849, jabatan Sultan dihapuskan dan penggantinya hanya bergelar Panembahan. (Ansar
Rachman, Bab V:8)
Raja-raja Sukadana selanjutnya adalah sebagai berikut :
1. Panembahan Tengku Besar Anom (1849-1878)
2. Panembhan Tengku Putra (1878-1910)
3. Panembahan Tengku Andut (1910-1939)
4..Panembahan Tengku Abdul Hamid (1939-1940)
5. Panembahan (Dokoh) Muhammad Idris (1940-1943)
6. Panembahan Tengku Muhammad (1943-1946)
7. Panembahan Tengku Adam
Tahun 1959 Kerajaan/Swapraja Sukadana dihapuskan, sementara itu saudara dari Raja Akil diangkat menjadi penguasa di
Kepulauan Karimata:
1. Kepala Kepulauan Karimata Tengku Ja`far (1833) kawin dengan cucu Batin Galang Setia Raja.
2. Kepala Kepulauan Karimata Tengku Bujang (1863)
3. Kepala Kepulauan Karimata Tengku Panglima Abdul Jalil (1866)
Begitulah akhirnya Kerajaan Simpang dikuasai oleh Belanda dan gelar keSultanan dihapuskan dan hanya boleh
menggunakan gelar Panembahan, maka Gusti Mahmud Raja Simpang yang pertama memakai gelar Panembahan, dengan
gelar Panembahan Anom Suriyaningrat. (Gusti Maerat 1956:64).
Gusti Mahmud mempunyai sembilan orang anak dari beberapa isterinya, yaitu:
- Gusti Muhammad Roem bergelar Pangeran Kesumayuda.
- Gusti Madina bergelar Pangeran Nataningrat
- Gusti Nalar bergelar Pangeran Suria.
- Gusti Kupah bergelar Pangeran Putera.
- Gusti Pandang bergelar Pangeran Perdana Menteri, kawin di Kayong dengan Utin Ayu anak Sultan Anom.
- Gusti Makrifat, Gusti Mengkaning, Gusti Agus tidak berpangkat\ bergelar, Utin Majelis (Gusti Maerat, 1956:64).
Pada akhir pemerintahan Gusti Mahmud Residen Belanda yang bernama Suhar digantikan Residen Litir.

c). Gusti Muhammad Roem (Panembahan Anom Kesumaningrat) 1829 - 1874


Gusti Muhammad Roem (Pangeran Kesumayuda) setelah naik tahta bergelar Panembahan Anom Kesumaningrat
mempunyai anak 39 orang dari beberapa isterinya diantaranya :
- Gusti Panji setelah menjadi raja bergelar Panembahan Suryaningrat.
- Gusti Roem setelah menjadi raja bergelar Panembahan Gusti Roem
- Gusti Rajuna, bergelar Pangeran Mangku.
- Gusti Itam
- Gusti Merkum,
- Gusti Kalayumdan,
- Gusti Mursal

d). Gusti Panji ( Panembahan Suryaningrat ) 1874 - 1919


Diawal pemerintahan Panembahan Suryaningrat agaknya Belanda menaruh perhatian yang besar karena tentunya
berdasarkan kepentingannya sehingga perlu mengadakan pendekatan untuk mempererat persahabatan yang nantinya
menerapkan perjanjian-perjanjian. Mungkin dalam usaha yang demikianlah sehingga Belanda menganggap perlu
menyampaikan berita kematian Willem III kepada Panembahan Suryaningrat dengan Surat Khusus dari Gubernur Jenderal
Mr. Cornelis Pijnacker hordijn (1889-1893) tertanggal 14 Januari 1891 yang merupakan berita dukacita memberi tahukan
bahwa Raja Belanda Willem III telah meninggal pada tanggal 23 Nopember 1890 dalam usia 73 tahun 9 bulan 4 hari.
Surat yang telah dialih aksarakan dari tulisan Arab Melayu ke Latin selengkapnya adalah sebagai berikut :

KAUKULHAK.
“Bahwa inilah warkatul ikhlas wa tahkatul ijjenas yang terbit daripada pusat kita yang termaktub didalamnya dengan
beberapa tabik dan selamat. Yaitu dengan kita Seri Paduka Yang Dipertuan Besar Gubernur Jenderal atas tanah air Hindia
Nederland Mr. Cornelis Pijnacker Hordijn dari yang terhias dengan bintang besar Komanda Singa Nederland yang
bersemayam diatas tahta kerajaan serta kemuliaan dan kebesaran di dalam Betawi. Apalah kiranya diusulkan oleh Tuhan
Seru Sekalian Alam kehadapan Paduka Tuan Panembahan Suryaningrat yang beristirahat alhariri di dalam negeri Simpang.
Mudah-mudahan dilanjutkan Allah seumur zaman di dalam sehat wal afiat. Wabadu kemudian daripada itu maka adalah
kita mengirimkan warkatullah ini kepada Paduka sahabat kita akan memaklumkan kabar dari negeri Nederland yang
menjadikan dukacita yaitu Maha Baginda Raja Olanda yang Maha Mulia Wilhelm Yang Ketiga. 23 hari bulan Nopember 1890
dengan takdir Tuhan Yang Maha Tinggi telah meninggal didalam umur 73 tahun 9 bulan 4 hari. Sesudah gering beberapa
lama ialah bagi kita dikasihani dan dicintai oleh segala masyarakat memegang pemerintahan dengan adil dan penuh kasih
sayang kepada sekalian anak buah dan dengan bijaksana yang sekarang sangat berdukacita karena sebab kematiannya.
Bahwa karena Seri Paduka yang Dipertuan Puteri anakanda baginda itu yang tua yang bernama Wilhelmina Helena Maria
yang sekarang jadi gantinya baginda, bahwa pada umur 10 tahun, maka selama tuan puteri belum berakil baliq maka yang
memerintah Kerajaan Belanda dan pejabat wakil raja yaitu Yang Dipertuan Permaisuri isteri baginda marhum Wilhelm
yang ketiga yaitu Athalia Wilhelmina Theresia. Oleh karena mangkat ….baginda dengan dukacita yang amat sangat
besarnya.
Termaktub dinegeri Olanda pada 14 hari bulan Januari tahun 1891”.(Ansar Rahman, 2000:285).

Begitulah ikatan persahabatan yang ditunjukkan oleh Belanda.


Gusti Panji mempunyai 21 anak, 13 laki-laki dan 8 orang perempuan diantaranya, yaitu ;
1. Gusti Mansur (berpangkat Pangeran Ratu), mempunyai anak; Gusti Kencana, Gusti Mahmud, Gusti
Achyar, Utin Mina, Utin Tahara, Utin Karyasin.
2. Gusti Samba (berpangkat Pangeran Kesumayuda), mempunyai anak; Gusti Kintil, Gusti Jamadin, Gusti
Bandan, Gusti Usman, Utin Ranas, Utin Ubit, Utin Ucil, Utin Perak, dan Utin Ating.
3. Gusti Ismail (berpangkat Pangeran Kesumayadi), mempunyai anak; Gusti Nabat, Gusti Hamzah, Gusti
Maskat, Utin Serkaya, Utin Bedarih.
4. Gusti Tamjid (berpangkat Pangeran Kesuma Anom), mempunyai anak; Gusti Mahira (Maerat), Utin Sila,
Utin Sinar Midi, Utin Mahrani, Utin Bugur, Utin Jematin, Utin Mahniaran.
5. Gusti Muhammad Kasim (berpangkat Pangeran Adi), mempunyai anak; Gusti Jelma, Gusti Hidayat, Gusti
Citil, Gusti Mekah, Gusti Abdulhamid, Gusti Man, Utin Selindit, Utin Ranik, Utin Kuna, Utin Sibar, Utin
Fatimah, Utin Ayu.
6. Gusti Mahdewa, tidak berpangkat mempunyai anak; Gusti Busri, Gusti Lanang, Gusti Baguk, Utin
Sitimanya, Utin Unung.
7. Gusti Masdar, tidak berpangkat mempunyai anak; Gusti Basuni, Gusti Abdulwahab, Gusti Arif, Utin Ayu.
8. Gusti Cerana,
9. Gusti Muskan,
10. Gusti Megat,
11. Gusti Dahlan,
12. Gusti Serban,
13. Gusti Sendang.
Pada masa Panembahan Gusti Panji terjadi Perang Belangkait yang terjadi akibat adanya pertentangan dengan
penjajahan Belanda. Bermula dari gagalnya Belanda membujuk Panembahan untuk menandatangani Kontrak Pendek
(Korte Verklaring). Kemudian Panembahan ditangkap namun kapal yang penuh dengan tentara itu berjalan miring
sebelah, dan akhirnya kapal tersebut mendarat dekat sebatang pohon dungun yang besar. Pohon dungun itu disebut
penduduk dengan “Dungun Kapal”.
Karena tidak berhasil membujuk dan menawan Panembahan, maka Belanda memaksakan sendiri isi Kontrak Pendek itu
dengan memaksa rakyat unruk membayar pajak (blasting). Pemaksaan inilah yang membangkitkan semangat rakyat untuk
menentang penjajahan yang dipimpin oleh Patih Kampung Sepucuk bergelar Hulubalang I yang bernama Abdusamad dan
terkenal dengan panggilan “Ki Anjang Samad” dengan semboyannya “Daripada membayar blasting dengan Belanda lebih
baik mati”. Panembahan Gusti Panji sendiri turun ke kampung-kampung membakar semangat rakyatnya untuk melawan
penjajahan.
Dalam keadaan yang sudah siap perang datanglah sepasukan suku Dayak dari hulu Tumbang Titi utusan dari Uti Usman
(pemimpin perang Tumbang Titi di hulu Ketapang). Pasukan itu dipimpin Panglima Ropa dengan panglima-panglima: Ida,
Gani, Enteki, Etol, dan Panglima Gecok. Dengan 20 panglima dan banyak prajurit, mereka menyerang Sukadana. Akan
tetapi tangsi Sukadana telah kosong, jadi mereka melanjutkan menyerang Loji (Kantor Belanda) di Pulau Datok. Namun
disana juga kosong karena Belanda mengosentrasikan pasukannya di Tumbang Titi untuk menghadapi Uti Usman.
Beberapa hari kemudian, datanglah sepasukan Belanda dengan Kapal Bukat yang dipimpin oleh Letnan Obos dan Tuan
Sepak. Terjadilah pertempuran berseberangan sungai di Kampung Belangkait. Setelah terbunuhnya Ki Anjang Samad di
hari pertama dan Patih Kembereh di hari kedua, dan tertangkapnya lima orang panglima yang kemudian di tawan di
Sukadana, akan tetapi panglima lainnya tetap
melanjutkan perang gerilya. Empat dari lima panglima yang dipenjara meninggal di penjara Sukadana tinggal Panglima
Enteki setelah beberapa tahun kemudian dibebaskan (Gusti Mulia, 1967:3).
Pada masa Panembahan Gusti Roem di Kerajaan Simpang Teluk Melano, ada yang bergerak melanjutkan perang Belangkait
dengan tidak secara fisik berhadapan langsung dengan penjajah Belanda, tetapi dengan cara sosial dan politik seperti
yang dilakukan oleh Gusti Hamzah. Gusti Hamzah adalah anak Gusti Ismail, cucu dari Gusti Panji. Ia meneruskan cita-cita
perjuangan dengan teman-temannya dari daerah lain yang aktif dalam organisasi Syarikat Islam yang dibekukan Belanda
pada tahun 1919. Kemudian dengan dipelopori oleh Gusti Sulung Lelanang mendirikan Syarikat Rakyat (1923).
Pada tahun 1926 atas perintah Gubernur Jendral D. Fock mengadakan penangkapan dan pembunuhan terhadap anggota
organisasi yang dianggap berbahaya, termasuk Gusti Hamzah yang kemudian dijebloskan ke penjara, dan diasingkan ke
Boven Digul. Gusti Hamzah baru dibebaskan 11 tahun kemudian dan dipulangkan pada tahun 1938, dan ditahan di penjara
Sukadana (Ansar Rachman:291).

e). Gusti Roem (Panembahan Gusti Roem/Panembahan Anom Kusumangrat ) 1911 – 1942
Gusti Roem mempunyai delapan orang anak perempuan dan enam anak laki-laki dari enam orang istrinya, yaitu: Gusti
Umar (Menteri Polisi), Gusti Mesir (Panembahan Simpang), Gusti Tawi (Menteri Tani) ketiganya ini menjadi korban fasisme
Jepang pada tahun 1943. Anaknya yang lain, yaitu : Gusti Bujang, Gusti Ja’far, Gusti Abdurrahman (Monel), Utin Baiduri
(Otek) kawin dengan Tengku Idris/Tengku Betong Panembahan Sukadana korban fasisme Jepang tahun 1943. Utin Aminah
(Are) kawin dengan Tengku Ismail, Utin Syaidah (Ayu Moceh) kawin dengan Jidi, Utin Halijah (Ijon), Utin Jamilah (Entol)
kawin dengan Tengku Muhtar, Utin Epot kawin Raden Saleh, Utin Temah kawin dengan Tengku Ajong jadi korban fasisme
Jepang tahun 1943, dan Utin Ayu. Kawin dengan Daeng Dolek.
Gusti Roem diangkat Belanda menjadi Panembahan Simpang sehubungan dengan Perang Belangkait yang berakhir pada
tahun 1913. Semula Gusti Roem menolak untuk diangkat menjadi Panembahan Simpang, namun Belanda mengancam akan
menyerahkan Kerajaan Simpang kepada keturunan Raja Akil di Sukadana yang berarti lenyaplah keturunan raja-raja
Tanjungpura, Sukadana, Matan, dan Simpang, dan berarti pula wilayah kerajaan akan menjadi kekuasaan keturunan Raja
Akil. Dengan rasa berat, Gusti Roem menyampaikan hal ini kepada Panembahan Gusti Panji dengan mengutus Kiyai Na’im
dari Pulau Kumbang. Sejak diangkatnya Gusti Roem, maka terjadilah dua Panembahan kembar di Kerajaan Simpang
dengan membiarkan Gusti Panji mengakhiri kekuasaannya sampai ia meninggal dunia pada tahun 1920 di istana Kerajaan
Simpang, dan di makamkan di pemakaman Raja-Raja di Simpang.
Kemudian Gusti Roem membangun kedudukan di Telok Melano. Nama Melano sudah terkenal sejak masa Singosari dan
Majapahit dalam Babad Negarakartagama Mpu Prapanca. Gusti Roem menandatangani Korte Verklaring yang berarti
menyerahkan penyelenggaraan pemerintahan kepada Belanda. Pada Cap Kerajaan tercantum kata “HET NENERLANDSCH
INDISCH GOUVERNEMENT AAN DEA PANEMBAHAN VAN SIMPANG”
Dalam usahanya mengikat kembali wilayah Kerajaan yang lepas dari kekuasaannya yang dahulu dipinjamkan kepada
Belanda yaitu Sukadana dan Karimata, Panembahan Gusti Roem menggunakan pendekatan Politik Perkawinan. Beliau
kawin dengan Tengku Sariah keturunan Raja Akil di Sukadana dan kawin dengan Tengku Sa’diyah dari Karimata keturunan
Kepala Kepulauan Karimata Tengku Ja’far.
Kemudian Beliau kawinkan puterinya Utin Baiduri dengan Tengku Idris (Tengku Betung) Panembahan Sukadana yang
menjadi korban fasisme Jepang. Dan mengawinkan Utin Aminah dengan Tengku Ismail dari Sukadana.
Dengan sistem perkawinan ini terikat kembali dalam hubungan kekeluargaan dari wilayah yang pernah lepas dari Kerajaan
Simpang. Beliau meninggal sebagai korban fasisme Jepang pada tahun 1943.

f). Gusti Mesir (Panembahan Gusti Mesir) 1942 – 1944


Gusti Roem mengangkat penggantinya Gusti Mesir dari putra Ratu yang bungsu. Pada masa Panembahan Gusti Mesir
keadaan perekonomian mengalami masa yang cerah dengan sumber utama dari hasil hutan dan kebun, terutama karet.
Berakhirnya kemakmuran rakyat Simpang dengan datangnya Jepang pada tahun 1942. Rakyat mengalami penderitaan
yang berat, kesulitan sandang dan pangan, sehingga rakyat makan ubi, sagu, dan berkain/celana goni dan berbaju kapuak
(kulit kayu) ditambah dengan teror yang dilakukan Jepang dan kaki tangannya. Pada peristiwa penangkapan raja-raja
tanggal 23 Desember 1943 yang datang diundang Jepang untuk menghadiri suatu pertemuan di Pontianak kesemuanya
dibunuh Jepang, kecuali Gusti Mesir yang waktu itu dibebaskan atas bantuan Tuan Siama Kepala Maskapai Durian
Sebatang. Ketika memenuhi undangan ke Pontianak itu, Gusti Mesir berangkat bersama Mas Raijin iparnya yang selalu
diikut sertakan sebagai pembantunya untuk mempersiapkan semua keperluan selama berpergian. Begitu dia dibebaskan
dimintanya pula iparnya Mas Raijin agar dibebaskan. Namun sulit sekali untuk mencari Mas Raijin dari semua tawanan
yang banyak itu yang disungkup dengan karung selipi dan hanya dilobangi sekedar untuk dapat melihat saja. Untunglah
dia akhirnya dapat ditemukan, karena ketika dalam barisan yang panjang, tawanan yang disungkup itu sedang berjalan,
maka tampaklah seorang diantaranya yang berjalan pincang. Itulah keberuntungan Mas Raijin karena kakinya pincang,
selamat ia dari samurai Kempetai Jepang.
Setelah beberapa hari dibebaskan, berkumpullah semua penggawa, patih, demong, para kiyai serta kerabat kerajaan
untuk bermusyawarah di istana Panembahan yang dipimpin oleh Penggawa Uti Hamzah. Pertemuan itu dimaksudkan untuk
mencari jalan bagaimana menyelamatkan Panembahan. Ada yang menyarankan agar melawan Jepang, ada yang
mengusulkan supaya diisukan meninggal karena ditangkap buaya – sebab waktu itu buaya sedang mengganas sehingga
banyak penduduk menjadi korban. Ada pula yang mengusulkan agar lari bersembunyi ke pedalaman. Semua alternatif itu
dengan halus ditolak Panembahan karena semuanya tidak rasional dan bakal mengorbankan rakyat sendiri. Beliau
menyatakan: “Biarlah aku yang menjadi korban, asal jangan rakyat”.
Dalam keadaan seperti itu, ada berita tentang pelarian dari Pontianak – Kepala Staatwach (mata-mata) Belanda. Maka,
datanglah Jepang dari Ketapang dan Sukadana mencarinya dan penduduk diminta membantu penangkapan pelarian
tersebut. Akhirnya pelarian itu tertangkap di Rantau Panjang dan langsung dibawa ke Ketapang. Selang beberapa hari
setelah ditangkapnya staatwach itu, datanglah ‘motor cabang’ dengan dua orang Kempetai yang ternyata bertugas untuk
membawa menangkap Panembahan Gusti Mesir. Kemudian ikut dibawa pula Gusti Tawi. Dari Telok Melano terus ke hulu
Sungai Mata – Mata mengambil Gusti Roem (Panembahan Tua), terus mudik lagi ke Sungai Pinang mengambil Gusti Umar.
Supir Gusti Roem yang bernama Dolah, Bujang Kerepek, dan Tengku Ajung (menantu Gusti Roem) juga ditangkap.
Menurut cerita Utin Tahara (istri dari Gusti Mesir semasa hidup tahun 1950-an) setelah Gusti Mesir kembali dari Pontianak
pada waktu penangkapan pertama itu, dia berkata bahwa Jepang nanti pasti akan datang lagi untuk menagkapnya. Itulah
sebabnya beliau pada waktu itu selalu dalam keadaan siap dan tidak melepaskan pakaiannya baik siang maupun malam,
bahkan tidurpun beliau masih mengenakan sepatu.
Seminggu kemudian setelah Panembahan Gusti Mesir ditangkap untuk kedua kalinya itu kempetai-kempetai Jepang itu
datang lagi ke istana dan langsung memeriksa semua bagian-bagian rumah, setiap kamar, lorongan, bahkan kamar mandi.
Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa dan merekapun tidak menyatakan sesuatu apapun. Beredar isu bahwa Jepang
mencari dua orang tawanan yang hilang yang dimaksud adalah Panembahan Gusti Mesir dan Panembahan Saunan.
Gusti Mesir memiliki lima orang anak yang kesemuanya laki-laki, yaitu: Gusti Ibrahim, Gusti Abdulmuthalib, Gusti
Muhammad Mulia, Gusti Mahmud, dan Gusti Mastur.

g). Gusti Ibrahim


Sebagai pengganti Panembahan Gusti Mesir, putra mahkota Gusti Ibrahim sesuai dengan adat kerajaan yang berlaku
diangkat melalui musyawarah lima suku, yaitu: Maya, Mengkalang, Siring, Priyayi, Mambal dan dilengkapi pula dengan
keturunan dari Panca.
Pengangkatan Panembahan ini atas perintah dari Tuan Bunkenkanrikan Sukadana yang dilaksanakan pada 1 Kugatau 2605.
Oleh karena Gusti Ibrahim baru berusia 14 tahun dan masih sekolah, maka ditunjuklah Gusti Mahmud (Pangeran Ratu) bin
Gusti Mansur sebagai Mangkubumi. Sampai sekarang Gusti Ibrahim belum dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Simpang
Matan.
Selengkapnya pengangkatan Gusti Ibrahim sebagai berikut :

CATATAN HASIL
PENUNJUKKAN DOKOH KERAJAAN SIMPANG

Pada hari ini Sabtu tanggal 1 Kugatau 2605, saya Mastart Dingang, Simpang Zitiryo Yogikai Gityo, menurut perintah dari
paduka Tuan Sukadana Bunkenkanrikan telah membuat rapat Yogikai dengan cepat sehingga tidak sempat dilakukan
menurut syarat-syarat peraturan Majelis Kerajaan Simpang. Berhadir :

Gusti Intan, Yogikai Giin.


Uti Hamzah, Ketua Komisi.
Lim Tek Sun, Lothay.
Busu, Syonco Kota.

Menurut adat istiadat penunjukkan Raja-Raja Simpang dilakukan oleh wakil-wakil dari golongan turunan-turunan Siring,
Mambal, Mengkalang, Maya, Periyai dan Panca.

Selaku wakil-wakil tersebut berkhadir:

Wakil Siring : Adikasuma Manteri Perawat.


Wakil Mambal : S a h m i n .
Wakil Mengkalang : ……………………………..
Wakil M a y a : Johan Syonco II Penjalaan Hulu.
Wakil Priyai : Raden Gondel Syonco Rangkap.
Wakil Panca : Rasip Syonco II Sungai Padu.
Maka dengan memperhatikan dari turunan yang lurus, telah ditunjukkan sebagai Simpang Syuco :

GUSTI IBRAHIM BIN GUSTI MESIR

Dan oleh karena Gusti Ibrahim baru berumur 14 tahun dan masih bersekolah, ditunjukkan juga dia punya Mangku Bumi
bernama :

GUSTI MAHMUD BIN GUSTI MANSUR (Pangeran Ratu)

Telok Melano, 1 Kugatau 2605

Syanco Kota dtt. BUSU a.n. Simpang Zitiryo Yogikai Gityo,

Lothay dtt. Lim Tek Sun d.t.t.

Ketua Komisi dtt. Uti Hamzah MASTERT DINGANG

h). Gusti Mahmud (Mangku Bumi) 1945 – 1952


Kekosongan jabatan Panembahan Simpang dikarenakan Panembahan Gusti Mesir menjadi korban fasisme Jepang dari
tahun 1943 sanpai 1945. Diakhir kekuasaan Jepang tahun 1945 diangkatlah Gusti Ibrahim sebagai Panembahan Kerajaan
Simpang dengan Mangku Bumi Gusti Mahmud. Gusti Mahmud menjalankan pemerintahan sebagai Kepala Swapraja Simpang
sampai meninggal dunia tahun 1952.

PENGHAPUSAN SWAPRAJA
Setelah berlakunya Undang-Undang No.27 tahun 1959 semua Swapraja di Kalimantan Barat telah lebur, dan pada tanggal
4 Juli 1959 pemerintahan tersebut beralih kepada Pemerintahan Daerah. Berdasarakan Instruksi Gubernur KDH. Propinsi
Kalimantan Barat tertanggal 29 Februari 1960 No. 376/Pem-A/1-6 Pemerintahan Swapraja diserah terimakan pada
Pemerintah Daerah, dengan ketentuan
- Bekas wakil Panembahan Sukadana dibantukan pada Kantor Wedana Sukadana.
- Anggota-anggota Majlis Swapraja Matan dibantukan pada Kantor Pemerintah Daerah tingkat II
Ketapang.
- Semua pegawai-pegawai bekas Swapraja dialihkan menjadi Pegawai Daerah Tingkat II Ketapang.
- Semua inventaris Swapraja menjadi inventaris Pemerintah Daerah Tingkat II Ketapang.
- Swapraja Simpang tidak mengalami kesulitan, karena sebelumnya terlebih dahulu menyerahkan kekuasaannya kepada
pemerintah daerah Kabupaten Ketapang sedang personilnya diperbantukan pada Kantor Camat Simpang Hilir di Telok
Melano.

(Disunting dari Buku Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura, Gusti Mhd. Mulia)
di 11.35

Anda mungkin juga menyukai