Raperda Rzwp-3-k Jatim

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 109

GUBERNUR JAWA TIMUR

RANCANGAN
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR
NOMOR ... TAHUN 2018

TENTANG

RENCANA ZONASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL


PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2018-2038

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA TIMUR,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat


(5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,
perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil Provinsi Jawa Timur Tahun 2018-2038;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950
tentang Pembentukan Propinsi Djawa Timur
(Himpunan Peraturan-peraturan Negara
Tahun 1950), sebagaimana telah diubah
dengan Undang–Undang Nomor 18 Tahun
1950 tentang Perubahan Dalam Undang–
Undang Nomor 2 Tahun 1950 (Himpunan
Peraturan-Peraturan Negara Tahun 1950);

1
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725);
4. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4739) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5490);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011
tentang Informasi Geospasial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5214);
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234)
sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015

2
Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5679);
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014
tentang Kelautan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4161);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010
tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5103);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010
tentang Bentuk dan Tata Cara Peran
Masyarakat Dalam Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 118, Tambahan Lembaga Negara
Republik Indonesia Nomor 5160);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2013
tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5393);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4833) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017
tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

3
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6041;
14. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 228, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5941);
15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56
Tahun 2014 tentang Tata Cara Peran
Masyarakat Dalam Perencanaan Tata Ruang
Daerah;
16. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2016 tentang Tata Cara Evaluasi
Rancangan Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Daerah;
17. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 23/PERMEN-KP/2016 tentang
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil;
18. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor
5 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Jawa Timur Tahun 2011-
2031 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur
Tahun 2012 Nomor 3 Seri D, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur
Nomor 15);

4
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR


dan
GUBERNUR JAWA TIMUR

MEMUTUSKAN:

Menimbang : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA ZONASI


WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2018–2038.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:


1. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
2. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kelautan dan
perikanan.
3. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Daerah
Provinsi Jawa Timur.
4. Gubernur adalah Gubernur Jawa Timur.
5. Dinas adalah Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Jawa Timur.
6. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Timur.
7. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur.
8. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan
geografis beserta segenap unsur terkait padanya
yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek
fungsional.
9. Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara
ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan laut.

5
10. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang selanjutnya disingkat PWP-3-K adalah
suatu proses perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan, dan pengendalian sumberdaya
pesisir dan Pulau-Pulau kecil antar sektor, antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara
ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu
pengetahuan dan manajemen untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
11. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
selanjutnya disingkat WP-3-K adalah wilayah
pesisir dan Pulau-Pulau kecil Provinsi Jawa
Timur.
12. Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses
penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang
melibatkan berbagai unsur kepentingan di
dalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian
sumberdaya pesisir dan Pulau-Pulau kecil yang
ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
sosial dalam suatu lingkungan wilayah atau
daerah dalam jangka waktu tertentu.
13. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang selanjutnya disingkat dengan RZWP-3-
K adalah rencana yang menentukan arah
penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan
perencanaan disertai dengan penetapan struktur
dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang
memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak
boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat
dilakukan setelah memperoleh izin di wilayah
pesisir dan Pulau-Pulau kecil.
14. Kawasan adalah bagian Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang memiliki fungsi tertentu
dan ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik
fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk
dipertahankan keberadaannya.
15. Zona adalah ruang yang penggunaannya
disepakati bersama antara berbagai pemangku

6
kepentingan dan telah ditetapkan status
hukumnya.
16. Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-
tumbuhan, hewan, organisme dan non organisme
lain serta proses yang menghubungkannya dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas, dan
produktivitas.
17. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat,
ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di
dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah
tempat manusia dan makhluk lain hidup
melakukan kegiatan dan memelihara
kelangsungan hidupnya.
18. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa
Timur yang selanjutnya disingkat RTRW Provinsi
adalah rencana tata ruang yang bersifat umum
dari wilayah Provinsi Jawa Timur.
19. Kawasan Pemanfaatan Umum adalah bagian dari
wilayah laut yang ditetapkan peruntukkannya
bagi berbagai sektor kegiatan yang setara dengan
kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan dibidang
penataan ruang.
20. Kawasan Konservasi adalah kawasan laut dengan
ciri khas tertentu yang dilindungi untuk
mewujudkan pengelolaan ruang laut secara
berkelanjutan yang setara dengan kawasan
lindung sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan dibidang penataan ruang.
21. Kawasan Strategis Nasional Tertentu yang
selanjutnya disebut KSNT adalah kawasan yang
terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian
lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia,
yang pengembangannya diprioritaskan bagi
kepentingan nasional.
22. Kawasan Strategis Nasional yang selanjutnya
disebut KSN adalah wilayah penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh
sangat penting secara nasional terhadap

7
kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan
negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau
lingkungan, termasuk wilayah yang telah
ditetapkan sebagai warisan dunia.
23. Alur Laut merupakan perairan yang
dimanfaatkan, antara lain, untuk alur pelayaran,
pipa/kabel bawah laut, dan migrasi biota laut
pesisir dan Pulau-Pulau kecil secara
berkelanjutan bagi berbagai sektor kegiatan.
24. Alur-pelayaran adalah perairan yang terdiri dari
segi kedalaman, lebar dan bebas hambatan
pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat
untuk dilayari kapal angkutan laut.
25. Perlintasan adalah suatu perairan dimana
terdapat satu atau lebih jalur lalu lintas yang
saling berpotongan dengan satu atau lebih jalur
utama lainnya.
26. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil
atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer
persegi) beserta kesatuan ekosistemnya.
27. Pulau-Pulau Kecil adalah kumpulan beberapa
pulau kecil yang membentuk kesatuan ekosistem
dengan perairan disekitarnya.
28. Pulau-Pulau Kecil Terluar yang selanjutnya
disingkat PPKT adalah merupakan suatu pulau
yang memiliki letak strategis yang berbatasan
dan berhadapan langsung dengan negara lain
tanpa terhalangi oleh Pulau-Pulau lainnya serta
sangat berpengaruh pada kedaulatan Negara
Republik Indonesia.
29. Pemanfaatan Ruang adalah upaya untuk
mewujudkan struktur ruang dan pola ruang
sesuai dengan rencana zonasi melalui
penyusunan dan pelaksanaan program beserta
pembiayaannya.
30. Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah upaya
untuk mewujudkan tertib tata ruang sesuai
dengan rencana zonasi yang telah ditetapkan.

8
31. Penangkapan Ikan adalah kegiatan untuk
memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam
keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara
apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan
kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan,
mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau
mengawetkannya.
32. Pembudidayaan Ikan adalah kegiatan untuk
memelihara, membesarkan, dan/atau
membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam
lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan
yang menggunakan kapal untuk memuat,
mengangkut, menyimpan, mendinginkan,
menangani, mengolah, dan/atau
mengawetkannya.
33. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas
daratan dan/atau perairan dengan batas-batas
tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan
dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan
sebagai tempat kapal bersandar, naik turun
penumpang, dan/atau bongkar muat barang,
berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang
dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan
keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang
pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan
intra-dan antarmoda transportasi.
34. Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan
untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan
ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang
dan/atau barang, keselamatan dan keamanan
berlayar, tempat perpindahan intra dan/atau
antarmoda serta mendorong perekonomian
nasional dan daerah dengan tetap
memperhatikan tata ruang wilayah.
35. Daerah Lingkungan Kerja yang selanjutnya
disingkat DLKr adalah wilayah perairan dan
daratan pada pelabuhan atau terminal khusus

9
yang digunakan secara langsung untuk kegiatan
pelabuhan.
36. Daerah Lingkungan Kepentingan yang
selanjutnya disingkat DLKp adalah perairan di
sekeliling Daerah Lingkungan Kerja perairan
pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin
keselamatan pelayaran.
37. Wilayah Kerja dan Pengoperasian Pelabuhan
Perikanan yang selanjutnya disingkat WKOPP
adalah tempat yang terdiri atas bagian daratan
dan perairan yang dipergunakan secara langsung
untuk kegiatan kepelabuhanan perikanan.
38. Nomor Lembar Peta yang selanjutnya disingkat
NLP adalah nomor yang menjadi petunjuk
tentang kedudukan nomor lembar peta
bersangkutan dalam setiap seri peta yang
mempermudah pengguna peta di dalam mencari
letak suatu tempat dalam lembar peta secara
keseluruhan.
39. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
selanjutnya disebut AMDAL adalah kajian
mengenai dampak penting suatu Usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan.
40. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup, selanjutnya
disingkat UKL-UPL, adalah pengelolaan dan
pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan
yang tidak berdampak penting terhadap
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan
usaha dan/atau kegiatan.
41. Daya Dukung adalah kemampuan wilayah pesisir
dan Pulau-Pulau kecil untuk mendukung
perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
42. Mitigasi Bencana adalah upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik secara struktur

10
atau fisik melalui pembangunan fisik alami
dan/atau buatan maupun nonstruktur atau
nonfisik melalui peningkatan kemampuan
menghadapi bencana di wilayah pesisir dan
Pulau-Pulau kecil.
43. Kawasan Peruntukan Pertambangan adalah
wilayah yang memiliki potensi sumber daya
bahan tambang dan merupakan tempat
dilakukannya kegiatan pertambangan di wilayah
darat maupun perairan.
44. Kawasan Pertahanan Negara adalah wilayah yang
ditetapkan secara nasional yang digunakan
untuk kepentingan pertahanan.
45. Izin Lokasi Perairan Pesisir yang selanjutnya
disebut Izin Lokasi adalah izin yang diberikan
untuk memanfaatkan ruang dari sebagian
perairan pesisir yang mencakup permukaan laut
dan kolom air sampai dengan permukaan dasar
laut pada batas keluasan tertentu dan/atau
untuk memanfaatkan sebagian Pulau-Pulau
kecil.
46. Izin Pengelolaan Perairan Pesisir dan Perairan
Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut Izin
Pengelolaan adalah izin yang diberikan untuk
melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya
perairan pesisir dan perairan Pulau-Pulau kecil.
47. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh
setiap orang dalam rangka meningkatkan
manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut
lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara
pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
48. Setiap orang adalah orang perseorangan
dan/atau korporasi, baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum.
49. Pemangku Kepentingan Utama adalah para
pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang mempunyai kepentingan langsung
dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber
Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti

11
nelayan tradisional, nelayan modern, pembudi
daya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha
perikanan, dan Masyarakat.
50. Masyarakat Lokal adalah kelompok masyarakat
yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari
berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima
sebagai nilai-nilai yang berlaku umum tetapi
tidak sepenuhnya bergantung pada sumber daya
pesisir dan Pulau-Pulau kecil tertentu.
51. Masyarakat Tradisional adalah masyarakat
perikanan tradisional yang masih diakui hak
tradisionalnya dalam melakukan kegiatan
penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang
sah di daerah tertentu yang berada dalam
perairan kepulauan sesuai dengan kaidah
hukum laut internasional.
52. Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya
pemberian fasilitas, dorongan, atau bantuan
kepada masyarakat dan nelayan tradisional agar
mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam
memanfaatkan sumber daya pesisir dan Pulau-
Pulau kecil secara lestari.
53. Peran Masyarakat adalah partisipasi aktif
masyarakat dalam perencanaan zonasi,
pemanfaatan zona, dan pengendalian
pemanfaatan zona wilayah pesisir dan Pulau-
Pulau kecil.
54. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang
masih berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat.
55. Gugatan Perwakilan adalah gugatan yang berupa
hak kelompok kecil Masyarakat untuk bertindak
mewakili Masyarakat dalam jumlah besar dalam
upaya mengajukan tuntutan berdasarkan
kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan
tuntutan ganti kerugian.

12
BAB II
RUANG LINGKUP, ASAS DAN TUJUAN

Bagian Kesatu
Ruang Lingkup

Pasal 2

(1) Ruang lingkup pengaturan RZWP-3-K meliputi:


a. ke arah darat mencakup batas wilayah
administrasi kecamatan di wilayah pesisir;
dan
b. ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai pada saat pasang
tertinggi ke arah laut lepas dan/atau ke arah
perairan kepulauan.
(2) Pengaturan wilayah pesisir sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah dan/atau Rencana Detail Tata
Ruang yang berlaku.
(3) Pengaturan wilayah pesisir sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a yang
membutuhkan wilayah laut agar menyesuaikan
dengan ketentuan RZWP-3-K sebagaimana diatur
dalam Peraturan Daerah ini.
(4) Dalam hal terjadinya perubahan garis pantai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
secara alami, maka ukuran garis pantai yang
digunakan adalah ukuran garis pantai yang
ditetapkan oleh lembaga/instansi yang
berwenang sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 3

Pengaturan RZWP-3-K meliputi:


a. ruang lingkup, asas, dan tujuan;
b. jangka waktu, kedudukan, dan fungsi;

13
c. kebijakan dan strategi;
d. rencana alokasi ruang;
e. peraturan pemanfaatan ruang;
f. rencana pemanfaatan ruang;
g. mitigasi bencana;
h. pengawasan dan pengendalian;
i. reklamasi;
j. hak, kewajiban, dan peran serta masyarakat;
k. penyelesaian sengketa; dan
l. gugatan perwakilan.

Bagian Kedua
Asas

Pasal 4

Pengaturan RZWP-3-K berasaskan:


a. berkelanjutan;
b. keterpaduan;
c. berbasis masyarakat;
d. wilayah dan ekosistem;
e. keseimbangan dan berkelanjutan;
f. pemberdayaan masyarakat pesisir;
g. tanggunggugat dan transparan; dan
h. pengakuan terhadap masyarakat tradisional dan
masyarakat lokal.

Bagian Ketiga
Tujuan

Pasal 5

RZWP-3-K bertujuan untuk terwujudnya pengelolaan


sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi
Jawa Timur yang terintegrasi, aman, berdaya guna,
serta berkelanjutan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Jawa Timur dengan prinsip
partisipatif.

14
BAB III
JANGKA WAKTU DAN FUNGSI

Pasal 6

(1) RZWP-3-K berlaku selama 20 (dua puluh) tahun


dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun
sekali.
(2) Peninjauan kembali RZWP-3-K dapat dilakukan
lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun
apabila terjadi perubahan lingkungan strategis
berupa:
a. bencana alam skala besar yang ditetapkan
dengan peraturan perundang-undangan;
b. perubahan batas teritorial negara yang
ditetapkan dengan undang-undang; dan/
atau
c. perubahan batas wilayah Daerah yang
ditetapkan dengan undang- undang.
(3) Peninjauan kembali dan perubahan dalam waktu
kurang dari 5 (lima) tahun dilakukan apabila
terjadi perubahan kebijakan nasional dan strategi
yang mempengaruhi pemanfaatan ruang provinsi.

Pasal 7

RZWP-3-K berfungsi sebagai:


a. bahan pertimbangan bagi penyusunan rencana
struktur dan pola ruang dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah dan Rencana Rinci Tata Ruang
Provinsi dan Kabupaten/Kota pada wilayah
kecamatan pesisir;
b. bahan pertimbangan dalam penyusunan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah;
c. acuan dalam penyusunan Rencana Pengelolaan
dan Rencana Aksi WP-3-K;
d. instrumen penataan ruang di perairan laut WP-3-
K;
e. memberikan kekuatan hukum terhadap alokasi
ruang di perairan laut WP-3-K;

15
f. memberikan rekomendasi dalam pemberian
perizinan di perairan laut WP-3-K;
g. acuan dalam rujukan konflik di perairan laut WP-
3-K;
h. acuan dalam pemanfaatan ruang di perairan laut
WP-3-K; dan
i. acuan untuk mewujudkan keseimbangan
pembangunan di WP-3-K.

BAB IV
KEBIJAKAN DAN STRATEGI RZWP-3-K

Pasal 8

Kebijakan dan strategi dalam RZWP-3-K meliputi


pengembangan:
a. kawasan pemanfaatan umum;
b. kawasan konservasi;
c. kawasan strategis; dan
d. alur laut.

Pasal 9

(1) Kebijakan pengembangan kawasan pemanfaatan


umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf a dilakukan melalui upaya pengembangan
zona budidaya yang mampu mengoptimalkan
potensi sektor produksi kawasan peisisir dengan
tetap memperhatikan keberlanjutan lingkungan
pesisir dan melibatkan masyarakat dalam
pengelolaannya sehingga dapat terwujudkan
peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir,
meliputi:
a. zona pariwisata;
b. zona pelabuhan;
c. zona perikanan tangkap;
d. zona perikanan budidaya;
e. zona industri;
f. zona pertambangan;

16
g. zona energi; dan
h. zona bandar udara.
(2) Strategi pengembangan zona pariwisata
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan dengan:
a. menetapkan dan mengembangkan zona
pariwisata menjadi sub zona wisata alam
pantai/pesisir dan pulau-pulau kecil dan sub
zona wisata alam bawah laut;
b. mengembangkan sarana dan prasarana
pendukung pariwisata bahari; dan
c. mengintegrasikan aktivitas wisata bahari
dengan pemanfaatan umum lainnya dan
kawasan konservasi.
(4) Strategi pengembangan zona pelabuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan dengan:
a. menetapkan dan mengembangkan zona
pelabuhan menjadi sub zona DLKr dan DLKp
dan sub zona Wilayah Kerja dan WKOPP;
b. mensinergiskan zona pelabuhan dengan
kawasan pemanfaatan lainnya, kawasan
konservasi, dan alur laut; dan
c. mengelola pencemaran di zona pelabuhan.
(5) Strategi pengembangan zona perikanan tangkap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dilakukan dengan:
a. menetapkan dan mengembangkan zona
perikanan tangkap menjadi sub zona pelagis
dan sub zona pelagis-demersal;
b. mensinergiskan zona perikanan tangkap
dengan kawasan pemanfaatan lainnya,
kawasan konservasi, dan alur laut; dan
c. melindungi nelayan tradisional dan kearifan
lokal.
(6) Strategi pengembangan zona perikanan budidaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dilakukan dengan:

17
a. menetapkan dan mengembangkan zona
perikanan budidaya;
b. mensinergiskan zona perikanan budidaya
dengan kawasan pemanfaatan lainnya,
kawasan konservasi, dan alur laut; dan
c. mengelola pencemaran di zona perikanan
budidaya.
(7) Strategi pengembangan zona industri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
dilakukan dengan:
a. menetapkan dan mengembangkan zona
industri menjadi sub zona industri maritim
dan sub zona industri manufaktur;
b. mensinergiskan zona industri dengan
kawasan pemanfaatan lainnya, kawasan
konservasi, dan alur laut; dan
c. mengelola pencemaran di zona industri.
(8) Strategi pengembangan zona pertambangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f
dilakukan dengan:
a. menetapkan dan mengembangkan zona
pertambangan menjadi sub zona pasir laut
dan sub zona minyak bumi;
b. mensinergiskan zona pertambangan dengan
kawasan pemanfaatan lainnya, kawasan
konservasi, dan alur laut; dan
c. mengelola pencemaran di zona
pertambangan.
(9) Strategi pengembangan zona energi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf g dilakukan
dengan:
a. mengembangkan zona energi;
b. mensinergiskan zona energi dengan kawasan
pemanfaatan lainnya, kawasan konservasi,
dan alur laut; dan
c. mengelola pencemaran di zona energi.
(10) Strategi pengembangan zona bandar udara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h
dilakukan dengan:

18
a. mensinergiskan zona bandar udara dengan
kawasan pemanfaatan lainnya, kawasan
konservasi, dan alur laut; dan
b. mengelola pencemaran di zona bandar udara.

Pasal 10

(1) Kebijakan pengembangan kawasan konservasi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dilakukan melalui upaya pengembangan zona
konservasi yang mampu mewujudkan
pengelolaan sumber daya ikan dan
lingkungannya secara berkelanjutan dengan
melibatkan masyarakat, meliputi:
a. Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil (KKP3K); dan
b. Kawasan Konservasi Perairan (KKP).
(2) Strategi pengembangan KKP3K sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
dengan:
a. menetapkan dan mengembangkan KKP3K ke
dalam zona inti dan zona pemanfaatan
terbatas;
b. melakukan perlindungan mutlak habitat dan
populasi ikan serta alur migrasi biota laut,
perlindungan ekosistem pesisir, dan
perlindungan situs budaya atau adat
tradisional;
c. mensinergikan KKP3K dengan kegiatan
tradisional masyarakat; dan
d. melakukan rehabilitasi terhadap KKP3K.
(3) Strategi pengembangan KKP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan
dengan:
a. menetapkan dan mengembangkan KKP ke
dalam zona inti, zona perikanan
berkelanjutan, zona pemanfaatan terbatas,
dan zona lainnya;

19
b. melalukan perlindungan terhadap kegiatan
pemijahan, pengasuhan, dan/atau alur ruaya
ikan;
c. mensinergikan KKP dengan kegiatan
tradisional masyarakat; dan
d. melakukan rehabilitasi terhadap KKP.

Pasal 11

(1) Kebijakan pengembangan kawasan strategis


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c,
meliputi:
a. KSNT; dan
b. KSN.
(2) Kebijakan pengembangan kawasan strategis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Pemerintah.

Pasal 12

(1) Kebijakan pengembangan alur laut sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 8 huruf d dilakukan
melalui upaya menjaga keselamatan pada
kawasan alur laut, meliputi:
a. alur-pelayaran dan perlintasan;
b. pipa dan kabel bawah laut; dan
c. migrasi biota laut.
(2) Strategi pengembangan alur pelayaran dan
perlintasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilakukan dengan:
a. menetapkan dan mengembangkan alur
pelayaran dan perlintasan menjadi alur
pelayaran dan perlintasan nasional, regional,
dan lokal; dan
b. mensinergikan alur-pelayaran dan
perlintasan dengan kegiatan pemanfaatan
umum, konservasi, dan alur lainnya

20
(3) Strategi pengembangan pipa dan kabel bawah
laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan dengan:
a. menetapkan dan mengembangkan pipa dan
kabel bawah laut menjadi pipa air bersih,
pipa minyak dan gas, kabel listrik, dan kabel
telekomunikasi; dan
b. mensinergikan pipa dan kabel bawah laut
dengan kegiatan pemanfaatan umum,
konservasi, dan alur lainnya.
(4) Strategi pengembangan migrasi biota laut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dilakukan dengan:
a. menetapkan dan mengembangkan alur
migrasi biota laut menjadi migrasi penyu dan
migrasi biota tertentu; dan
b. mensinergikan migrasi biota laut dengan
kegiatan pemanfaatan umum, konservasi,
dan alur lainnya.

BAB V
RENCANA ALOKASI RUANG

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 13

Rencana alokasi ruang WP-3-K terdiri atas:


a. kawasan pemanfaatan umum;
b. kawasan konservasi;
c. kawasan strategis; dan
d. alur laut.

Pasal 14

Rencana alokasi ruang zona di WP-3-K sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 13 dibuat dalam peta dengan
skala 1:250.000 (satu banding dua ratus lima puluh

21
ribu) dan rencana alokasi ruang sub zona WP-3-K
dalam peta dengan skala 1:50.000 (satu banding lima
puluh ribu) sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Kawasan Pemanfaatan Umum

Pasal 15

Rencana alokasi ruang untuk kawasan pemanfaatan


umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(1) huruf a terdiri atas:
a. zona pariwisata;
b. zona pelabuhan;
c. zona perikanan tangkap;
d. zona perikanan budidaya;
e. zona industri;
f. zona pertambangan;
g. zona energi; dan
h. zona bandar udara.

Paragraf 1
Zona Pariwisata

Pasal 16

(1) Zona pariwisata sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 15 huruf a meliputi:
a. sub zona wisata alam pantai/pesisir dan
Pulau-Pulau kecil;
b. sub zona wisata alam bawah laut; dan
c. sub zona wisata olahraga air.
(2) Sub zona wisata alam pantai/pesisir dan Pulau-
Pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a terletak di perairan:
a. Laut Jawa meliputi Pantai Boom di
Kabupaten Tuban (NLP 3502-03), Wisata

22
Bahari Lamongan di Kabupaten Lamongan
(NLP 3504-01), Pantai Delegan di Kabupaten
Gresik (NLP 3504-03), Pantai Batu Kerbuy di
Kabupaten Pamekasan (NLP 3504-16), Pantai
Slopeng di Kabupaten Sumenep (NLP 3507-
03), dan Pantai Lombang (NP 3507-08) di
Kabupaten Sumenep;
b. Selat Madura meliputi Pantai Ria Kenjeran
dan Taman Hiburan Pantai Kenjeran di Kota
Surabaya (NLP 3504-07), Pantai Rongkang di
Kabupaten Bangkalan (NLP 3504-07), Pantai
Camplong di Kabupaten Sampang (NLP 3504-
11), Pantai Talang Siring di Kabupaten
Pamekasan (NLP 3504-15), dan Pantai Pasir
Putih di Kabupaten Situbondo (NLP 3507-01);
c. Selat Bali meliputi Bangsring dan Pulau
Tabuhan di Kabupaten Banyuwangi (NLP
3506-08), Pantai Boom di Kabupaten
Banyuwangi (NLP 3506-07), dan konservasi
penyu di Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506-
06); dan
d. Samudera Hindia meliputi Pantai Pulau
Merah dan Green Bay di Kabupaten
Banyuwangi (NLP 3506-04), Pantai Pancur di
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506-05),
Pantai Bande Alit di Kabupaten Jember
(3506-02), Pantai Watu Ulo dan Pantai
Tanjung Papuma di Kabupaten Jember (NLP
3503-07), Pantai Dampar di Kabupaten
Lumajang (NLP 3503-03, 3503-06), Pantai
Ngliyep di Kabupaten Malang (NLP 3503-01),
Teluk Cinta, Pantai Sendang Biru, dan Pantai
Balekambang di Kabupaten Malang (NLP
3503-02), Pantai Lenggoksono di Kabupaten
Malang (NLP 3503-03), Pantai Popoh di
Kabupaten Tulungagung (NLP 3501-06),
Pantai Pasetran Gondomayit dan Pantai
Umbulwatu di Kabupaten Blitar (NLP 3501-
08), Pantai Peh Pulo, Pantai Banteng Mati,

23
Pantai Pudak, dan Pantai Keben di
Kabupaten Blitar (NLP 3503-01), Pantai
Karanggongso, Pantai Prigi, dan Pantai
Ngampiran di Kabupaten Trenggalek (NLP
3501-06), Pantai Teleng Ria di Kabupaten
Pacitan (NLP 3501-02), Pantai Klayar di
Kabupaten Pacitan (NLP 3501-04), dan Pantai
Watukarung di Kabupaten Pacitan (NLP
3501-01).
(3) Sub zona wisata alam bawah laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. Pulau Noko Gili, Pulau Gili, dan Pulau
Selayar di Kabupaten Gresik (NLP 3505-01);
b. Pulau Giliyang (NLP 3507-08), Pulau
Gililabak (NLP 3507-07), Pulau Sapeken (NLP
3509-07), Pulau Kangean (NLP 3509-02),
Pulau Raas (NLP 3507-15), dan Pulau Sapudi
(NLP 3507-12) di Kabupaten Sumenep;
c. Pantai Bentar di Kabupaten Probolinggo (NLP
3504-13);
d. Pantai Pasir Putih di Kabupaten Situbondo
(NLP 3507-01, 3507-10);
e. Bangsring Under Water dan Pulau Tabuhan di
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506-08);
f. Pantai Wisata Sendang Biru dan Pulau
Sempu di Kabupaten Malang (NLP 3503-02);
g. Pantai Prigi di Kabupaten Trenggalek (NLP
3501-04, 3501-06); dan
h. Pantai Siwil di Kabupaten Pacitan (NLP 3501-
02).
(4) Sub zona wisata olahraga air sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c terletak di
perairan Samudera Hindia berupa Pantai
Plengkung di Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506-
05).

24
Pasal 17

Arahan pengembangan zona pariwisata sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diarahkan untuk:
a. pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil
sebagai aktivitas pariwisata yang tidak
bertentangan dengan budaya dan kearifan
tradisional setempat;
b. pemantapan daya tarik wisata bahari untuk
meningkatkan perekonomian wilayah dan
menarik investasi sesuai dengan keberlanjutan
konservasi perairan;
c. pengembangan edukasi dan partisipasi untuk
wisatawan dan masyarakat setempat dalam
pemanfaatan kawasan pesisir sebagai daya tarik
wisata;
d. pengembangan sarana dan prasarana penunjang
kegiatan wisata bahari dengan aturan intensitas
bangunan sesuai syarat; dan
e. integrasi kegiatan wisata bahari dengan
pemanfaatan ruang yang memiliki potensi
strategis meliputi konservasi, perikanan budidaya,
perikanan tangkap, dan angkutan.

Paragraf 2
Zona Pelabuhan

Pasal 18

(1) Zona pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 15 huruf b meliputi:
a. sub zona DLKr dan DLKp; dan
b. sub zona WKOPP.
(2) Sub Zona DLKr dan DLKp sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a terletak di
perairan:
a. Laut Jawa meliputi DLKr dan DLKp
Pelabuhan Telaga Biru di Kabupaten
Bangkalan (NLP 3504-12), DLKr dan DLKp

25
Pelabuhan Gresik di Kabupaten Gresik dan
Kabupaten Bangkalan (NLP 3504, 3504-03
dan 3504-08), DLKr dan DLKp Pelabuhan
Brondong di Kabupaten Lamongan (NLP
3504-01), DLKr dan DLKp Pelabuhan
Keramaian di Kabupaten Sumenep (NLP
3508-03), DLKr dan DLKp Pelabuhan
Tanjung Perak di Kabupaten Gresik dan
Kabupaten Bangkalan (NLP 3504, 3504-03
dan 3504-08), dan DLKr dan DLKp
Pelabuhan Sepulu di Kabupaten Bangkalan
(NLP 3504-08);
b. Selat Madura meliputi DLKr dan DLKp
Pelabuhan Panarukan di Kabupaten
Situbondo (NLP 3507-01 dan 3507-05), DLKr
dan DLKp Pelabuhan Probolinggo di
Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo dan
Kabupaten Pasuruan (NLP 3504, 3504-05,
3504-09, 3504-13), DLKr dan DLKp
Pelabuhan Gilimandangin di Kabupaten
Sampang (NLP 3504-10), DLKr dan DLKp
Pelabuhan Branta di Kabupaten Pamekasan
(NLP 3504-15), DLKr dan DLKp Pelabuhan
Kalianget di Kabupaten Sumenep (NLP 3507-
02, 3507-03, 3507-07, 3507-08), DLKr dan
DLKp Pelabuhan Sapudi di Kabupaten
Sumenep (NLP 3507-11), DLKr dan DLKp
Pelabuhan Giliraja (NLP 3507-02), DLKr dan
DLKp Pelabuhan Pasuruan di Kota Pasuruan,
Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Pasuruan
(NLP 3504, 3504-05 dan 3504-06), DLKr dan
DLKp Pelabuhan Tanjung Perak di Kabupaten
Gresik, Kota Surabaya dan Kabupaten
Bangkalan (NLP 3504, 3504-02, 3504-07),
dan DLKr dan DLKp Pelabuhan Gresik di
Kabupaten Gresik dan Kabupaten Bangkalan
(NLP 3504, 3504-02);
c. Selat Bali meliputi DLKr dan DLKp Pelabuhan
Tanjung Wangi dan DLKr dan DLKp

26
Pelabuhan Boom Banyuwangi di Kabupaten
Banyuwangi (NLP 3506-07 dan 3506-08); dan
d. Samudera Hindia meliputi DLKr dan DLKp
Pelabuhan Prigi di Kabupaten Kabupaten
Trenggalek (NLP 3501-06).
(3) Sub Zona WKOPP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b terletak di perairan:
a. Laut Jawa meliputi WKOPP Pelabuhan
Perikanan Nusantara Brondong di Kabupaten
Lamongan (NLP 3504-01), dan WKOPP
Pelabuhan Perikanan Bulu Tuban di
Kabupaten Tuban (NLP 3502-01);
b. Selat Madura meliputi WKOPP Pelabuhan
Perikanan Pantai Mayangan di Kota
Probolinggo dan Kabupaten Probolinggo (NLP
3504-09); WKOPP Pelabuhan Perikanan
Paiton di Kabupaten Probolinggo (NLP 3504-
13), WKOPP Pelabuhan Perikanan Pantai
Lekok di Kabupaten Pasuruan (NLP 3504-05),
dan WKOPP Pelabuhan Perikanan Pantai
Pasongsongan di Kabupaten Sumenep (NLP
3507-03);
c. Selat Bali meliputi WKOPP Pelabuhan
Perikanan Muncar di Kabupaten Banyuwangi
(NLP 3506-06); dan
d. Samudera Hindia meliputi WKOPP Pelabuhan
Perikanan Pancer di Kabupaten Banyuwangi
(NLP 3506-04), WKOPP Pelabuhan Perikanan
Pondokdadap di Kabupaten Malang (NLP
3503-02 dan 3503-03), WKOPP Pelabuhan
Perikanan Tamperan di Kabupaten Pacitan
(NLP 3501-02), dan WKOPP Pelabuhan
Perikanan Nusantara Prigi di Kabupaten
Trenggalek (3501-06).
(4) Penambahan DLKr dan DLKp serta WKOPP baru
setelah diundangkannya Peraturan Daerah ini
wajib disesuaikan dengan ketentuan RZWP-3-K
sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.

27
Pasal 19

(1) Arahan pengembangan sub zona DLKr dan DLKp


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2)
diarahkan untuk:
a. pengembangan rute pelayaran yang tidak
menganggu keberlangsungan kawasan
konservasi;
b. pencegahan dampak terhadap lingkungan
berupa penyediaan fasilitas pembuangan
limbah, limbah berminyak dan bahan kimia,
serta pengelolaan sampah secara terpadu
untuk menghindari pencemaran pada
kawasan pesisir;
c. perwujudan kepastian hukum terhadap DLKr
dan DLKp yang sudah ditetapkan oleh
Kementerian dan/atau Instansi yang
berwenang di bidang kepelabuhanan;
d. pengembangan rute pelayaran yang
mendukung konektivitas intra koridor
ekonomi dalam rangka mendukung
terintegrasinya penataan ruang wilayah
pesisir;
e. peningkatan kualitas dan kuantitas fasilitas
pendukung pelabuhan, meliputi fasilitas
pokok maupun fasilitas penunjang guna
pengembangan wilayah pesisir;
f. pengembangan transportasi laut dengan
mengembangkan pelabuhan umum dan
pelabuhan khusus dan meningkatkan kondisi
dan optimalisasi pelabuhan yang ada; dan
g. pendukung kebijakan pemerintah dalam
pembangunan pelabuhan bertaraf
Internasional yang berkapasitas besar dan
modern.
(2) Selain arahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), penetapan Rencana Induk Pelabuhan wajib
memperhatikan keberadaan sumberdaya pesisir

28
dan pulau-pulau kecil seperti mangrove, lamun,
dan terumbu karang dengan cara:
a. menjaga kelestariannya; dan/atau
b. melakukan relokasi atau pemindahan lokasi
mangrove, lamun, atau terumbu karang
sesuai dengan luasan aslinya dalam hal
adanya keharusan menggunakan lokasi
tersebut untuk keperluan pembangunan atau
pengembangan pelabuhan.
(3) Arahan pengembangan sub zona WKOPP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3)
diarahkan untuk:
a. pendukung kebijakan pemerintah dalam
pengembangan pelabuhan non-komersil yang
mampu bersinergi dengan tol laut dengan
tujuan untuk penguatan landasan hukum
dan kelembagaan dalam melakukan
koordinasi penyelenggaraan pelabuhan
perikanan dan pelabuhan penyeberangan,
serta untuk revitalisasi pelabuhan pelayaran
rakyat di Indonesia;
b. peningkatan kualitas fasilitas pelabuhan
perikanan pada seluruh wilayah kawasan
pesisir;
c. penetapan WKOPP pada masing-masing
wilayah pelabuhan perikanan;
d. penetapan landasan hukum pelabuhan
perikanan; dan
e. pengembangan dan peningkatan fasilitas
pada pelabuhan perikanan yang berfungsi
sebagai simpul-simpul pergerakan barang
dan manusia.
(4) Arahan pengembangan zona pelabuhan pada sub
zona DLKr dan DLKp serta WKOPP
diselenggarakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

29
Paragraf 3
Zona Perikanan Tangkap

Pasal 20

(1) Zona perikanan tangkap sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 15 huruf c meliputi:
a. sub zona perikanan pelagis; dan
b. sub zona perikanan pelagis-demersal.
(2) Sub zona perikanan pelagis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a terletak di
perairan:
a. Laut Jawa pada wilayah administrasi
Kabupaten Tuban (NLP 3502, 3502-01, 3502-
02, 3502-04, dan 3504), Kabupaten
Lamongan (NLP 3504 dan 3504-01),
Kabupaten Gresik (NLP 3504, 3504-01, 3504-
03, 3504-04, 3505, 3505-01, 3505-02, dan
3505-03), Kabupaten Bangkalan (NLP 3504,
3504-08, dan 3504-12), Kabupaten Sampang
(NLP 3504, 3504-12, dan 3504-16),
Kabupaten Pamekasan (NLP 3504, 3504-16,
dan 3507), dan Kabupaten Sumenep (NLP
3507, 3507-04, 3507-12, 3507-15, 3507-17,
3508, 3508, 3508-01, 3508-02, 4508-03,
3508-04, 3508-05, 3509, 3509-02, 3509-04,
3509-05, 3509-06, 3509-08, 3509-09, 3509-
10, 3509-11, dan 3509-12);
b. Selat Madura pada wilayah administrasi Kota
Surabaya (NLP 3504-06, dan 3504-07),
Kabupaten Sidoarjo (NLP 3504 dan 3504-06),
Kabupaten Pasuruan (NLP 3504, 3504-05,
dan 3504-09), Kota Pasuruan (NLP 3504),
Kabupaten Probolinggo (NLP 3504, 3504-09,
dan 3504-13), Kota Probolinggo (NLP 3504,
dan 3504-09), Kabupaten Situbondo (NLP
3504, 3506, 3506-08, 3506-11, 3507, 3507-
01, 3507-05, 3507-06, 3507-10, dan 3507-
13), Kabupaten Bangkalan (NLP 3504 dan

30
3504-07), Kabupaten Sampang (NLP 3504,
3504-07, 3504-10, 3504-11, dan 3504-15),
Kabupaten Pamekasan (NLP 3504, 3504-14,
dan 3504-15), dan Kabupaten Sumenep (NLP
3504, 3504-14, 3504-15, 3507, 3507-02,
3507-03, 3507-07, 3507-08, 3507-11, 3507-
14, 3507-16, 3509, 3509-01, 3509-03, dan
3509-07);
c. Selat Bali pada wilayah administrasi
Kabupaten Banyuwangi, (NLP 3506, 3506-09,
3506-10, dan 3506-11); dan
d. Samudera Hindia pada wilayah administrasi
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506, 3506-01,
3506-02, 3506-03, 3506-04, 3506-05, 3506-
06, 3506-07, dan 3506-08), Kabupaten
Jember (NLP 3503, 3503-05, 3503-07, dan
3506), Kabupaten Lumajang (NLP 3503,
3503-03, 3503-04, 3503-05, dan 3503-06),
Kabupaten Malang (NLP 3503, 3503-01,
3503-02, dan 3503-03), Kabupaten Blitar
(NLP 3501, 3501-07, 3501-08, 3503, dan
3503-01), Kabupaten Tulungagung (NLP
3501, 3501-05, 3501-06, 3501-07, dan 3501-
08), Kabupaten Trenggalek (NLP 3501, 3501-
03, 3501-04, 3501-05, dan 3501-06), dan
Kabupaten Pacitan (NLP 3501, 3501-01,
3501-02, 3501-03, dan 3501-04).
(3) Sub zona perikanan pelagis-demersal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terletak di perairan:
a. Laut Jawa pada wilayah administrasi
Kabupaten Tuban (NLP 3502, 3502-02, 3502-
03, 3502-04, 3504, dan 3504-01), Kabupaten
Lamongan (NLP 3504 dan 3504-01),
Kabupaten Gresik (NLP 3504-03 dan 3505-
01), Kabupaten Bangkalan (NLP 3504, 3504-
08 dan 3504-12), Kabupaten Sampang (NLP
3504, 3504-08, dan 3504-12), Kabupaten
Pamekasan (NLP 3504, 3504-16, 3507, dan

31
3507-04), Kabupaten Sumenep (NLP 3507,
3507-04, 3507-09, 3507-12, 3508, 3508-03,
3508-05, 3509-02, dan 3509-04);
b. Selat Madura pada wilayah administrasi Kota
Surabaya (NLP 3504-07), Kabupaten Sidoarjo
(NLP 3504-06), Kabupaten Pasuruan (NLP
3504-05 dan 3504-09), Kabupaten Situbondo
(NLP 3506, 3507, 3507-05, 3507-06, 3507-
10, dan 3507-13), Kabupaten Bangkalan (NLP
3504 dan 3504-07), Kabupaten Sampang
(NLP 3504, 3504-09, 3504-11, dan 3504-15),
Kabupaten Pamekasan (NLP 3504, 3504-15,
dan 3507), dan Kabupaten Sumenep (NLP
3504-15, 3507, 3507-02, 3507-03, 3507-07,
3507-08, 3507-11, 3509-01, dan 3509-03);
dan
c. Samudera Hindia pada wilayah administrasi
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506-02, 3506-
03, dan 3506-04), Kabupaten Jember (NLP
3503-07 dan 3506-02), Kabupaten Lumajang
(NLP 3503-06 dan 3503-07), Kabupaten
Malang (NLP 3503-03), Kabupaten
Tulungagung (NLP 3501-06 dan 3501-08),
dan Kabupaten Pacitan (NLP 3501-01, 3501-
02, dan 3501-04).

Pasal 21

Arahan pengembangan sub zona perikanan tangkap


pelagis dan sub zona perikanan tangkap pelagis-
demersal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(1) diarahkan untuk:
a. penangkapan ikan dengan mempertahankan,
merehabilitasi dan merevitalisasi ekosistem utama
pesisir;
b. pengembangan perikanan tangkap ke perairan
potensial;

32
c. penjagaan kelestarian sumber daya hayati
perairan pesisir terhadap pencemaran limbah
industri;
d. peningkatan produksi dengan memperbaiki
sarana dan prasarana perikanan;
e. peningkatan nilai ekonomi perikanan dengan
melakukan diversifikasi produk pengolahan dan
pemasaran hasil perikanan;
f. pemberdayaan kelompok produktif kelautan dan
perikanan serta pariwisata melalui pengembangan
usaha perikanan dan wisata dalam rangka
meningkatkan pendapatan;
g. penentuan kegiatan yang diperbolehkan meliputi
kegiatan wisata perairan, perlindungan
keanekaragaman hayati, dan kegiatan-kegiatan
pendukung usaha perikanan tangkap;
h. penentuan kegiatan yang tidak diperbolehkan
meliputi penggunaan alat-alat tangkap yang tidak
ramah lingkungan dan pembuangan limbah
industri, domestik, dan limbah Bahan Beracun
dan Berbahaya; dan
i. penangkapan ikan perlu memperhatikan area
penangkapan ikan tradisional.

Paragraf 4
Zona Perikanan Budidaya

Pasal 22

(1) Zona perikanan budidaya sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 15 huruf d meliputi sub zona
perikanan budidaya laut.
(2) Sub zona perikanan budidaya laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terletak di perairan:
a. Laut Jawa pada wilayah administrasi
Kabupaten Tuban (NLP 3502, 3502-01, 3502-
02, 3502-03, dan 3502-04), Kabupaten
Lamongan (NLP 3504-01), Kabupaten Gresik
(NLP 3504-01, 3504-03, 3505, 3505-01,

33
3503-02, dan 3505-03), Kabupaten
Bangkalan (NLP 3504-08), Kabupaten
Sampang (NLP 3504), Kabupaten Pamekasan
(NLP 3504 dan 3504-16), dan Kabupaten
Sumenep (NLP 3507, 3507-04, 3507-09,
3508, 3508-01, 3508-02, 3508-03, 3508-05,
3509, 3509-02, 3509-04, 3509-05, 3509-06,
3509-08, 3509-09, 3509-10, 3509-11, dan
3509-12);
b. Selat Madura pada wilayah administrasi
Kabupaten Probolinggo (NLP 3504 dan 3504-
13), Kabupaten Situbondo (NLP 3504, 3504-
13, 3506-08, 3507, 3507-01, 3507-05, dan
3507-10), Kabupaten Bangkalan (NLP 3504-
07 dan 3504-11), Kabupaten Sampang (NLP
3504, 3504-07, 3504-11, dan 350415),
Kabupaten Pamekasan (NLP 3504 dan 3504-
15), dan Kabupaten Sumenep (NLP 3507,
3507-02, 3507-03, 3507-11, 3507-16, 3507-
17, 3509, 3509-01, 3509-03, dan 3509-07);
c. Selat Bali pada wilayah admnistrasi
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506-09); dan
d. Samudera Hindia pada wilayah administrasi
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506-03 dan
3506-05), Kabupaten Jember (NLP 3503-05,
3503-07, dan 3506-02), Kabupaten Lumajang
(NLP 3503-03, 3503-04, dan 3503-06),
Kabupaten Malang (NLP 503-03), Kabupaten
Trenggalek (NLP 3501-03, 3501-04, 3501-05,
dan 3501-06), Kabupaten Tulungagung (NLP
3501-06), dan Kabupaten Pacitan (NLP 3501-
01 dan 3501-04).

Pasal 23

Arahan pengembangan sub zona perikanan budidaya


laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
diarahkan untuk:

34
a. peningkatan kegiatan usaha keramba dan jumlah
pembudidaya dengan dukungan kemudahan
permodalan, teknologi, dan pasokan benih, pada
lokasi budidaya laut yang sudah ada di
Kabupaten Situbondo, Banyuwangi dan Sumenep;
b. studi pengembangan dan sosialisasi terhadap
para pembudidaya pada lokasi yang memenuhi
persyaratan budidaya laut di Pulau Bawean
Kabupaten Gresik, Kabupaten Probolinggo, Kota
Probolinggo, Kabupaten Situbondo, Kabupaten
Blitar, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten
Trenggalek, Kabupaten Pacitan, dan wilayah
kepulauan Kabupaten Sumenep;
c. pengembangan kegiatan perikanan budidaya
diwajibkan memperhatikan keberlanjutan
lingkungan serta meminimalkan penggunaan
bahan kimia;
d. pembatasan aktivitas perikanan budidaya pada
daerah dekat dengan kawasan konservasi;
e. pengembangan kawasan budidaya yang
terintegrasi dengan usaha-usaha terkait lainnya,
baik di kawasan yang sudah ada maupun
kawasan pengembangan;
f. pengembangan sentra usaha budidaya laut sesuai
dengan rencana tata ruang wilayah
Kabupaten/Kota;
g. pengembangan budidaya perikanan meliputi
komoditas rumput laut, ikan pelagis, dan ikan
demersal;
h. pengembangan jenis kegiatan yang diperbolehkan
di zona perikanan budidaya meliputi kegiatan
konservasi maupun perlindungan
keanekaragaman hayati; dan
i. penentuan jenis kegiatan yang tidak
diperbolehkan di zona perikanan budidaya yang
bersifat mengganggu budidaya perikanan meliputi
pembuangan limbah bahan berbahaya dan
beracun dari kegiatan industri maritim.

35
Paragraf 5
Zona Industri

Pasal 24

(1) Zona industri sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 15 huruf e meliputi:
a. sub zona industri maritim; dan
b. sub zona industri manufaktur.
(2) Sub zona industri maritim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a terletak di
perairan Laut Jawa pada wilayah administrasi
Kabupaten Lamongan (NLP 3504-01).
(3) Sub zona industri manufaktur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b terletak di
perairan Laut Jawa pada wilayah administrasi
Kabupaten Tuban (NLP 3502, NLP 3502-03, dan
3502-04).

Pasal 25

(1) Arahan pengembangan sub zona industri maritim


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2)
diarahkan untuk:
a. pemantapan struktur industri dan
meningkatkan daya saing pada industri
maritim;
b. pengembangan iklim usaha pada industri
maritim;
c. peningkatan promosi industri dan jasa
industri, standarisasi industri, dan teknologi
industri pada industri maritim;
d. pengembangan industri strategis dan industri
hijau, serta peningkatan penggunaan produk
dalam negeri pada industri maritim;
e. pemantapan kemitraan antara industri hulu
dan hilir guna pemenuhan bahan baku
industri di hilir;

36
f. peningkatan sinergi antara Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, dunia usaha dan
Perguruan Tinggi dalam mendukung
pengembangan industri manufaktur;
g. diversifikasi produk industri manufaktur; dan
h. penerapan dan pengawasan Standar Nasional
Indonesia khususnya terkait kegiatan
pengolahan limbah dan sampah secara
terpadu.
(2) Pengembangan sub zona industri manufaktur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3)
harus memenuhi ketentuan:
a. untuk mendapatkan izin lingkungan kawasan
industri wajib diawali dengan kegiatan
AMDAL atau UKL-UPL;
b. pembangunan Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) terpadu yang dapat mengolah 4
parameter kunci, yaitu:
1. Biological Oksigen Demand (BOD);
2. Chemical Oksigen Demand (COD);
3. potential Hidrogen (pH); dan
4. Total Susppended Solid (TSS);
c. penerapan sistem zoning dalam perencanaan
bloknya;
d. pembangunan saluran buangan air hujan
(drainase) yang bermuara kepada saluran
pembuangan sesuai dengan ketentuan teknis
Pemerintah Kabupaten/Kota setempat; dan
e. pembangunan saluran buangan air kotor
(sewerage), yaitu saluran tertutup yang
dipersiapkan untuk melayani kapling-kapling
industri menyalurkan limbahnya yang telah
memenuhi standar influent ke IPAL terpadu.

37
Paragraf 6
Zona Pertambangan

Pasal 26

(1) Zona pertambangan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 15 huruf f meliputi:
a. sub zona pasir laut; dan
b. sub zona minyak bumi.
(2) Sub zona pasir laut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a terletak di perairan:
a. Laut Jawa pada wilayah administrasi
Kabupaten Gresik (NLP 3504, 3504-03, dan
3504-04) dan Kabupaten Bangkalan (NLP
3504-08); dan
b. Selat Madura pada wilayah administrasi Kota
Surabaya (NLP 3504, 3504-06, dan 3504-07)
dan Kabupaten Bangkalan (NLP 3504 dan
3504-07).
(3) Sub zona minyak bumi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b terletak di perairan:
a. Laut Jawa pada wilayah administrasi
Kabupaten Tuban (NLP 3502, 3502-03, dan
3502-04), Kabupaten Lamongan (NLP 3504),
Kabupaten Bangkalan (NLP 3504, 3504-08,
dan 3504-12), dan Kabupaten Sumenep (NLP
3509-08); dan
b. Selat Madura pada wilayah administrasi
Kabupaten Sampang (NLP 3504, 3504-10,
dan 3504-11) dan Kabupaten Sumenep (NLP
3507 dan 3509-07).

Pasal 27

Arahan pengembangan rencana sub zona pasir laut


dan sub zona minyak bumi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 diarahkan untuk:
a. pengembangan zona pertambangan dilakukan
dengan mempertimbangkan potensi bahan galian,

38
kondisi geologi dan geohidrologi dalam kaitannya
dengan kelestarian lingkungan fisik, lingkungan
hayati, dan lingkungan sosial ekonomi budaya;
b. pengembangan zona pertambangan mewajibkan
kepada setiap pelaku usaha pertambangan untuk
memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP)
Eksplorasi dan Operasi Produksi, serta Izin
Lingkungan yang berupa AMDAL atau UKL-UPL;
c. penerapan metode pengelolaan limbah hasil
pertambangan pasir laut dan minyak bumi yang
tepat guna;
d. pengembangan kegiatan penelitian dan teknologi
pengolahan migas dalam rangka peningkatan nilai
tambah terhadap produk-produk migas; dan
e. pemantapan kerjasama dalam pengelolaan
sumberdaya pasir laut dan minyak bumi antara
pemerintah, masyarakat, perusahaan, dan
pemangku kepentingan lainnya.

Paragraf 7
Zona Energi

Pasal 28

(1) Zona energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal


15 huruf g meliputi Pembangkit Listrik Tenaga
Uap (PLTU) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas
dan Uap (PLTGU).
(2) PLTU dan PLTGU sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terletak di perairan:
a. Laut Jawa meliputi PLTU Tanjung Awar-awar
di Kabupaten Tuban (NLP 3502-03);
b. Selat Madura meliputi PLTU Gresik di
Kabupaten Gresik (NLP 3504-02), PLTU
Paiton di Kabupaten Probolinggo (NLP 3504-
13), PLTGU Grati di Kabupaten Pasuruan
(NLP 3504-05), dan PLTGU Sumenep di
Kabupaten Sumenep (NLP 3507-02); dan
c. Samudera Hindia meliputi PLTU Sudimoro di

39
Kabupaten Pacitan (NLP 3501-04).

Pasal 29

Arahan pengembangan rencana zona energi


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 diarahkan
untuk:
a. pengembangan usaha energi mewajibkan setiap
pelaku usaha untuk memiliki Izin Lingkungan
berupa AMDAL atau Rencana Pengelolaan
Lingkungan/Rencana Pemantauan Lingkungan
(RKL-RPL);
b. penerapan metode pengelolaan limbah yang tepat
guna untuk meminimalkan dampak pencemaran;
dan
c. pemantapan kerjasama pengelolaan PLTU dan
PLTGU antara pemerintah, masyarakat,
perusahaan, dan pemangku kepentingan lainnya.

Paragraf 8
Zona Bandar Udara

Pasal 30

(1) Zona bandar udara sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 15 huruf h berupa pengembangan
Bandar Udara Internasional Juanda.
(2) Zona bandar udara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terletak pada wilayah administrasi
Kabupaten Sidoarjo (NLP 3504-06) Perairan Selat
Madura.

Pasal 31

(1) Arahan pengembangan Bandar Udara


Internasional Juanda pada zona bandar udara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
diarahkan untuk:
a. pelaksanaan usaha untuk tetap

40
memperhatikan kelestarian ekosistem sekitar
dan seminimum mungkin mengkonversi area
mangrove;
b. penyediaan bangunan penunjang kawasan
bandar udara paling luas 40% (empat puluh
persen) dari total area;
c. pengembangan tapak (landasan pacu,
infrastruktur, ruang terbuka hijau/
taman/lansekap, ruang terbuka publik,
ruang terbuka biru/waterscape, jalan dan
parkir umum palig luas 60% (enam puluh
persen) dari total area;
d. pemanfaatan sebagian ruang kawasan
bandar udara sebagai lahan penunjang
seperti kawasan kargo, pergudangan,
perhotelan dan perkantoran yang menunjang
fungsi bandar udara;
e. pengembangan bandar udara diupayakan
berdekatan dengan kawasan industri dan
pusat distribusi barang;
f. pengembangan bandar udara didukung oleh
panjang landasan pacu (run way) lebih dari
1.800 (seribu delapan ratus) meter yang
dapat didarati pesawat berbadan besar;
g. pelestarian potensi lingkungan pantai;
h. penerapan metode pengelolaan limbah yang
tepat guna;
i. penyediaan kelengkapan koordinat, kajian
geoteknik, kajian studi kelayakan, dan
AMDAL; dan
j. perhitungan terhadap dampak peralihan
kegiatan sosial, budaya, dan ekonomi pada
perluasan kawasan bandar udara.
(2) Pengembangan Bandar Udara Internasional
Juanda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan kebutuhan pembangunan yang
sudah ada di sisi darat.

41
Paragraf 9
Luas dan Letak Geografis

Pasal 32

Luas dan letak geografis masing-masing zona pada


kawasan pemanfaatan umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16, Pasal 18, Pasal 20, Pasal 22, Pasal
24, Pasal 26, Pasal 28, dan Pasal 31 tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Ketiga
Kawasan Konservasi

Pasal 33

(1) Rencana alokasi ruang untuk kawasan


konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. KKP3K; dan
b. KKP.
(2) Selain kawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), kawasan konservasi juga meliputi
kawasan lindung lainnya sebagaimana diatur
dalam ketentuan perundang-undangan.

Paragraf 1
Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Pasal 34

(1) KKP3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33


ayat (1) huruf a meliputi:
a. zona inti; dan
b. zona pemanfaatan terbatas.
(2) KKP3K sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terletak di perairan:

42
a. Laut Jawa pada wilayah administrasi
Kabupaten Tuban (NLP 3502-01 dan 3502-
03), Kabupaten Lamongan (NLP 3504-01),
Kabupaten Gresik (NLP 3504-01, 3504-03,
3505, 3505-01, dan 3505-03), Kabupaten
Bangkalan (NLP 3504-03 dan 3504-08),
Kabupaten Sampang (NLP 3504-12 dan 3504-
16), Kabupaten Pamekasan (NLP 3504-16),
dan Kabupaten Sumenep (NLP 3508-03,
3508-05, 3509-02, 3509-04, dan 3509-08);
b. Selat Madura pada wilayah administrasi
Kabupaten Gresik (NLP 3504-02), Kota
Surabaya (NLP 3504-02, 3504-06, dan 3504–
07), Kabupaten Sidoarjo (NLP 3504-05 dan
3504-06), Kabupaten Pasuruan (NLP 3504,
3504-05, dan 3504-09), Kota Pasuruan (NLP
3504-05), Kabupaten Probolinggo (NLP 3504,
3504-09, dan 3504-13), Kota Probolinggo
(NLP 3504-09), Kabupaten Situbondo (NLP
3504-13, 3506-08, 3507-01 3507-05, dan
3507-10), Kabupaten Bangkalan (NLP 3504-
02, 3504-07, dan 3504-15), Kabupaten
Sampang (NLP 3504-10 dan 3504-11),
Kabupaten Pamekasan (NLP 3504-15), dan
Kabupaten Sumenep (NLP 3504-15, 3507-02,
3507-03, 3507-07, 3507-08, 3507-11, 3507-
14, 3507-15, 3509-01, 3509-03, dan 3509-
07);
c. Selat Bali pada wilayah administrasi
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506-06, 3506-
07, dan 3506-08); dan
d. Samudera Hindia pada wilayah administrasi
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506-03, 3506-
04, dan 3506-05), Kabupaten Jember (NLP
3503-05 dan 3503-07), Kabupaten Lumajang
(NLP 3503-03, 3503-05, dan 3503-06),
Kabupaten Malang (NLP 3503-02, 3503-03),
Kabupaten Blitar (NLP 3503-01), Kabupaten
Tulungagung (NLP 3501-06 dan 3501-08),

43
Kabupaten Trenggalek (NLP 3501-04, 3501-
05, dan 3501-06), dan Kabupaten Pacitan
(NLP 3501-01, 3501-02, dan 3501-04).
(3) Selain zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
area yang memiliki potensi untuk kegiatan
konservasi dapat dialokasikan sebagai zona
KKP3K.
(4) Rencana penetapan zona KKP3K sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 35

(1) Arahan pengembangan KKP3K sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) diarahkan
untuk:
a. perlindungan terhadap habitat dan populasi
ikan, serta alur migrasi biota laut;
b. perlindungan ekosistem pesisir unik
dan/atau rentan terhadap perubahan; dan
c. perlindungan situs budaya atau adat
tradisional, penelitian, dan pendidikan.
(2) Penentuan kegiatan sesuai arahan
pengembangan KKP3K sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) yaitu:
a. kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona
inti kawasan konservasi perairan adalah
kegiatan penelitian dan pendidikan;
b. kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona
pemanfaatan lainnya adalah kegiatan
pariwisata alam perairan dan rekreasi,
kegiatan penelitian dan pengembangan serta
pendidikan;
c. kegiatan pariwisata yang ramah lingkungan
serta memiliki desain dan tata letak
bangunan yang memadukan antara fungsi
konservasi, edukasi, wisata, dan ekonomi;
d. kegiatan penelitian yang mendukung upaya
pengelolaan KKP3K yang efektif; dan

44
e. kegiatan pendidikan yang ditujukan untuk
meningkatkan pemahaman, pengetahuan,
wawasan peserta didik tentang konservasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai arahan
pengembangan KKP3K sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
Gubernur.

Paragraf 2
Kawasan Konservasi Perairan

Pasal 36

(1) KKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat


(1) huruf b meliputi:
a. zona inti; dan
b. zona pemanfaatan terbatas.
(2) KKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terletak di perairan:
a. Laut Jawa pada wilayah administrasi
Kabupaten Sumenep (NLP 3509, 3509-03,
3509-04, dan 3509-08);
b. Selat Madura pada wilayah administrasi
Kabupaten Sumenep (NLP 3507-08 dan 3509-
07) dan Kabupaten Situbondo (NLP 3507-01);
c. Selat Bali pada wilayah administrasi
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506-06); dan
d. Samudera Hindia pada wilayah administrasi
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506-04),
Kabupaten Jember (NLP 3503-07), Kabupaten
Malang (NLP 3503-03), Kabupaten Trenggalek
(NLP 3501-03, 3501-04, dan 3501-06), dan
Kabupaten Pacitan (NLP 3501-01, 3501-02,
dan 3501-04).

Pasal 37

(1) Arahan pengembangan KKP sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 36 diarahkan untuk

45
kegiatan konservasi, penangkapan ikan,
pembudidayaan ikan, pariwisata alam perairan,
serta penelitian dan pendidikan, dengan
ketentuan:
a. kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona
inti KKP meliputi kegiatan penelitian dan
pendidikan;
b. kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona
perikanan berkelanjutan meliputi kegiatan
penangkapan ikan, pembudidayaan ikan,
pariwisata alam perairan, penelitian, dan
kegiatan pendidikan; dan
c. kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona
pemanfaatan terbatas meliputi kegiatan
pariwisata alam perairan, kegiatan penelitian
dan pendidikan.
(2) Kegiatan penangkapan ikan di kawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan dengan memperhatikan penggunaan
kapal berdasarkan ukurannya, jenis alat tangkap
serta batasan jumlah pengambilan sumber daya
ikan untuk melindungi keberlanjutan
keanekaragaman sumber daya ikan.
(3) Kegiatan pembudidayaan ikan yang dapat
dilakukan di kawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b harus memperhatikan jenis
ikan yang dibudidayakan, jenis pakan, teknologi,
jumlah unit serta daya dukung, dan kondisi
lingkungan sumber daya ikan.
(4) Kegiatan pariwisata alam perairan yang dapat
dilakukan di kawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan huruf c harus ramah
lingkungan serta desain dan tata letak bangunan
harus disesuaikan dengan ketentuan yang ada
untuk memadukan antara fungsi konservasi,
edukasi, wisata dan ekonomi di kawasan ini.
(5) Kegiatan penelitian yang dapat dilakukan dalam
kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf c adalah kegiatan penelitian

46
yang mendukung upaya pengelolaan KKP yang
efektif.
(6) Kegiatan pendidikan yang dapat dilakukan di
kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf c adalah kegiatan yang
ditujukan untuk meningkatkan pemahaman,
pengetahuan, wawasan peserta didik tentang
konservasi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai arahan
pengembangan KKP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.

Paragraf 3
Luas dan Letak Geografis

Pasal 38

Luas dan letak geografis KKP3K dan KKP


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 36
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Keempat
KSNT

Pasal 39

(1) KSNT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11


ayat (1) huruf a dan Pasal 14 ayat (1) huruf c
berupa pulau-pulau terluar yang meliputi:
a. Pulau Sekel di Kecamatan Watulimo
Kabupaten Trenggalek (NLP 3501-03);
b. Pulau Panekan di Kecamatan Munjungan
Kabupaten Trenggalek (NLP 3501-05); dan
c. Pulau Nusa Barong di Kecamatan Puger
Kabupaten Jember (NLP 3503-05 dan 3503-
07).

47
(2) Pemanfaatan KSNT sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 40

Luas dan titik koordinat KSNT sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 40 tercantum dalam Lampiran
II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

Bagian Kelima
KSN

Pasal 41

(1) KSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat


(1) huruf a dan Pasal 14 ayat (1) huruf c berupa
wilayah pertahanan negara meliputi:
a. Daerah Ranjau Area I di perairan Kabupaten
Sumenep (NLP 3507, 3507-07 dan 3507-08)
dan Kabupaten Tuban (NLP 3502 dan 3502-
03);
b. Daerah Ranjau Area I Pangkah Wetan di
perairan Kabupaten Gresik (NLP 3504, 3504-
02, dan 3504-03), Kota Surabaya (NLP 3504-
02), dan Kabupaten Bangkalan (NLP 3504-
02);
c. Daerah Ranjau Area I Tambak Wedi di
perairan Kota Surabaya (NLP 3504-06 dan
3504-07) dan Kabupaten Sidoarjo (NLP 3504-
06);
d. Daerah Ranjau Area II di perairan Kabupaten
Sumenep (NLP 3507, 3507-11 dan 3507-12),
Kabupaten Tuban (NLP 3502), dan Kabupaten
Lamongan (NLP 3504);
e. Daerah Ranjau Area II Labuan Barat Laut
Madura di perairan Kabupaten Gresik (NLP
3504, 3504-02, dan 3504-03) dan Kabupaten

48
Bangkalan (NLP 3504, 3504-02, 3504-03, dan
3504-08);
f. Daerah Ranjau Area II Perairan Tambak Wedi
di perairan Kota Surabaya (NLP 3504-06 dan
3504-07) dan Kabupaten Bangkalan (NLP
3504-07);
g. Daerah Ranjau Area III Perairan Timur Batu
Poron di perairan Kota Surabaya (NLP 3504
dan 3504-07), Kabupaten Bangkalan (NLP
3504, 3504-07, dan 3504-11), dan Kabupaten
Sampang (NLP 3504, 3504-07, 3504-10, dan
3504-11);
h. Daerah Ranjau Area IV di perairan Kabupaten
Sidoarjo (NLP 3504) dan Kabupaten Sampang
(NLP 3504);
i. Daerah Ranjau Area V di perairan Kabupaten
Sidoarjo (NLP 3504), Kota Pasuruan (NLP
3504 dan 3504-06), dan Kabupaten Pasuruan
(NLP 3504 dan 3504-06);
j. Daerah Ranjau Area VII Kampung Lohgung di
perairan Kabupaten Tuban (NLP 3504 dan
3504-01) dan Kabupaten Lamongan (NLP
3504 dan 3504-01);
k. Daerah Ranjau Area IX Perairan Pakis di
perairan Kabupaten Lamongan (NLP 3504
dan 3504-01) dan Kabupaten Gresik (NLP
3504, 3504-01, 3504-03, dan 35040-04);
l. Daerah Ranjau Area X Perairan Banyu Urip di
perairan Kabupaten Gresik (NLP 3504-03);
m. Daerah Ranjau Area XI Perairan Utara Banyu
Urip di perairan Kabupaten Gresik (NLP
3504, 3504-03, dan 3504-04);
n. Daerah Latihan Bom Laut di perairan Kota
Probolinggo (NLP 3504), Kabupaten
Probolinggo (NLP 3504), Kabupaten Sampang
(NLP 3504), Kabupaten Pamekasan (NLP
3504), dan Laut Lepas (NLP 3504);

49
o. Daerah Latihan Kapal Selam di perairan
Kabupaten Sumenep (NLP 3507 dan 3507-
11);
p. Daerah Latihan KRI TNI AL di perairan
Kabupaten Tuban (NLP 3502, 3502-01, 3502-
02, 3502-03, 3502-04, 3504, dan 3504-01),
Kabupaten Lamongan (NLP 3504 dan 3504-
01), Kabupaten Gresik (NLP 3504, 3504-01,
3504-02, 3504-03, dan 3504-04), Kota
Surabaya (NLP 3504, 3504-02, dan 3504-06),
Kabupaten Sidoarjo (NLP 3504, 3504-05, dan
3504-06), Kabupaten Bangkalan (NLP 3504,
3504-02, 3504-03, 3504-08, 3504-12, dan
3504-15), Kabupaten Sampang (NLP 3504,
3504-10, 3504-11, 3504-12, 3504-15, dan
3504-16), Kabupaten Pamekasan (NLP 3504,
3504-14, 3504-15, 3504-16, 3507, 3507-03,
dan 3507-04), Kabupaten Sumenep (NLP
3504, 3504-14, 3504-15, 3507, 3507-02,
3507-03, 3507-04, 3507-07, 3507-08, 3507-
09, 3507-11, 3507-12, 3509, 3509-01, dan
3509-03), Kota Pasuruan (NLP 3504-05 dan
3504-06), Kabupaten Pasuruan (NLP 3504,
3504-05, 3504-06, dan 3504-09), Kota
Probolinggo (NLP 3504 dan 3504-09),
Kabupaten Probolinggo (NLP 3504, 3504-09,
dan 3504-13), Kabupaten Situbondo (NLP
3504, 3504-13, 3506, 3506-08, 3506-11,
3507, 3507-01, 3507-05, 3507-06, 3507-10,
dan 3507-13), Kabupaten Banyuwangi (NLP
3506, 3506-08, dan 3506-11), dan Laut Lepas
(NLP 3504 dan 3507);
q. Daerah Latihan Menyelam TNI AL di perairan
Kota Probolinggo (NLP 3504-09);
r. Daerah Latihan Pendaratan Amphibi di
perairan Kabupaten Gresik (NLP 3505, 3505-
01, 3505-02, dan 3505-03) dan Kabupaten
Sumenep (NLP 3508, 3508-01, 3508-02,
3508-03, 3508-04, dan 3508-05);

50
s. Daerah Latihan Penembakan TNI AL di
perairan Kabupaten Situbondo (NLP 3504
dan 3504-13) dan Kabupaten Probolinggo
(NLP 3504 dan 3504-13); dan
t. Pengajuan Daerah Latihan Baru PER
KOARMATIM di perairan Kota Surabaya (NLP
3504-02 dan 3504-07) dan Kabupaten
Bangkalan (NLP 3504-02 dan 3504-07).
(2) Pemanfaatan KSN sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Keenam
Alur Laut

Pasal 42

Alur laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat


(1) huruf d terdiri atas:
a. alur pelayaran dan perlintasan;
b. pipa dan kabel bawah laut; dan
c. migrasi biota laut.

Paragraf 1
Alur Pelayaran dan Perlintasan

Pasal 43

(1) Alur pelayaran dan perlintasan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 42 huruf a meliputi alur
pelayaran dan perlintasan:
a. nasional;
b. regional; dan
c. lokal.
(2) Alur pelayaran dan perlintasan nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terletak di perairan:
a. Laut Jawa pada wilayah administrasi
Kabupaten Lamongan (NLP 3504 dan 3504-

51
01), Kabupaten Sumenep (NLP 3504, 3507,
3507-17, 3508, 3508-01, 3508-02, 3508-03,
3508-05, dan 3509); Kabupaten Pamekasan
(NLP 3504), Kabupaten Sampang (NLP 3504),
Kabupaten Bangkalan (NLP 3504), dan
Kabupaten Gresik (NLP 3504-03, 3505, dan
3505-01);
b. Selat Madura pada wilayah administrasi
Kabupaten Situbondo (NLP 3506 dan 3507),
Kabupaten Sumenep (NLP 3504, 3507, 3507-
02, 3507-03, 3507-07, 3507-08, dan 3509),
Kabupaten Sidoarjo (NLP 3504), Kabupaten
Sampang (NLP 3504, 3504-07, dan 3504-10),
Kabupaten Pamekasan (NLP 3504, 3504-14,
dan 3504-15), Kota Surabaya (NLP 3504-02
dan 3504-07), Kabupaten Bangkalan (NLP
3504-02 dan 3504-07), dan Kabupaten
Gresik (NLP 3504 dan 3504-02);
c. Selat Bali pada wilayah administrasi
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506, 3506-07,
3506-08 dan 3606-11); dan
d. Samudera Hindia pada wilayah administrasi
Kabupaten Jember (NLP 3503, 3506),
Kabupaten Lumajang (NLP 3503), Kabupaten
Malang (NLP 3503), Kabupaten Banyuwangi
(3506), Kabupaten Blitar (NLP 3501 dan
3503), Kabupaten Tulungagung (NLP 3501),
Kabupaten Trenggalek (NLP 3501, 3501-05,
dan 3501-06), dan Kabupaten Pacitan (NLP
3501, 3501-02, 3501-04 dan 3506).
(3) Alur pelayaran dan perlintasan regional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
terletak di perairan:
a. Laut Jawa pada wilayah administrasi
Kabupaten Sampang (NLP 3504), Kabupaten
Pamekasan (NLP 3504 dan 3507), Kabupaten
Sumenep (NLP 3504, 3507, 3507-15, 3507-
17, 3508, 3508-01, 3509, 3509-02, 3509-04,

52
dan 3509-08), dan Laut Lepas (NLP 3504 dan
3507);
b. Selat Madura pada wilayah administrasi
Kabupaten Situbondo (NLP 3507, 3507-01,
3507-05, dan 3507-06), Kota Probolinggo
(NLP 3504 dan 3504-09), Kabupaten
Sampang (NLP 3504), Kabupaten Pamekasan
(NLP 3504, 3504-14, dan 3504-15),
Kabupaten Sumenep (NLP 3507-02, 3507-03,
3507-07, 3507-11, 3507-14, 3509, 3509-03,
dan 3509-07), Kabupaten Probolinggo (NLP
3504, 3504-09, dan 3504-13);
c. Selat Bali pada wilayah administrasi
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506, 3506-08
dan 3606-11); dan
d. Samudera Hindia pada wilayah administrasi
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506).
(4) Alur pelayaran dan perlintasan lokal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
terletak di perairan:
a. Laut Jawa pada wilayah administrasi
Kabupaten Sumenep (NLP 3507, 3507-12,
3507-15, 3509, 3509-04, dan 3509-08),
Kabupaten Lamongan (NLP 3504 dan 3504-
01), Kabupaten Tuban (NLP 3502, 3502-01,
3502-03, 3504, 3504-01, 3505, 3505-01, dan
3505-02), dan Kabupaten Gresik (NLP 3505
dan 3505-01); dan
b. Selat Madura dengan pada wilayah
administrasi Kabupaten Sumenep (NLP,
3507, 3507-02, 3507-08, 3507-14, 3509,
3509-02, dan 3509-07) dan Kota Probolinggo
(NLP 3504-09).

Pasal 44

Arahan pengembangan alur pelayaran dan


perlintasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
ayat (1) diarahkan untuk:

53
a. pencegahan pencemaran lingkungan maritim
dengan tidak melakukan pembuangan limbah
(dumping) di perairan;
b. pemantapan alur untuk mendukung kebijakan
Pemerintah dalam pemeliharaan alur pelayaran
dan Perlintasan Timur Surabaya yang merupakan
alur pelayaran dan perlintasan yang melayani
pelayaran rakyat dari Pelabuhan Tanjung Perak
ke pelabuhan-pelabuhan di bagian Timur
Indonesia;
c. pemeliharaan alur pelayaran dan perlintasan
guna menjaga keselamatan berlayar, tata ruang
perairan, dan kelestarian lingkungan;
d. pengidentifikasian dimensi alur-pelayaran dan
perlintasan lokal di wilayah pesisir seluruh
kabupaten/kota;
e. pengidentifikasian penetapan lokasi sarana bantu
navigasi pelayaran untuk melakukan pemantauan
terhadap lalu lintas kapal asing yang melalui alur
pelayaran dan perlintasan; dan
f. peningkatan pelayanan angkutan laut di wilayah
pelayaran rakyat dengan perairan yang memiliki
alur kedalaman terbatas.

Paragraf 2
Pipa dan Kabel Bawah Laut

Pasal 45

(1) Pipa dan kabel bawah laut sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 42 huruf b terdiri atas:
a. pipa air bersih;
b. pipa minyak dan gas;
c. kabel listrik; dan
d. kabel telekomunikasi.
(2) Pipa air bersih sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a terletak di perairan Selat Madura pada
wilayah administrasi Kota Probolinggo (NLP 3504-
09) dan Kabupaten Sumenep (NLP 3507-08).

54
(3) Pipa minyak dan gas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b terletak di perairan:
a. Laut Jawa pada wilayah administrasi
Kabupaten Tuban (NLP 3502, 3502-01, 3502-
02, 3502-03, 3502-04, 3504, 3504-01),
Kabupaten Lamongan (NLP 3504), Kabupaten
Gresik (NLP 3504-03), Kabupaten Bangkalan
(NLP 3504, 3504-03, dan 3504-08), dan
Kabupaten Sumenep (NLP 3507-17, dan
3509-08); dan
b. Selat Madura pada wilayah administrasi
Kabupaten Gresik (NLP 3504 dan 3504-02),
Kabupaten Sidoarjo (NLP 3504 dan 3504-06),
Kabupaten Pasuruan (NLP 3504, 3504-05,
dan 3504-06), Kota Pasuruan (NLP 3504,
3504-05, dan 3504-06), Kabupaten
Probolinggo (NLP 3504), Kota Probolinggo
(NLP 3504), Kabupaten Situbondo (NLP 3504,
3507), Kabupaten Bangkalan (NLP 3504 dan
3504-02), Kabupaten Sampang (NLP 3504
dan 3504-10), Kabupaten Sumenep (NLP
3507, 3507-11, 3507-14, 3507-16, 3509,
3509-01, 3509-03, dan 3509-07), dan laut
lepas (NLP 3507).
(4) Kabel listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c terletak di perairan:
a. Selat Madura pada wilayah administrasi
Kabupaten Gresik dan Kabupaten Bangkalan
(NLP 3504-02); dan
b. Selat Bali pada wilayah administrasi
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506-07).
(5) Kabel telekomunikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d terletak di perairan:
a. Laut Jawa pada wilayah administrasi
Kabupaten Gresik (NLP 3504, 3504-03, dan
3504-04) dan Kabupaten Bangkalan (NLP
3504 dan 3504-12);

55
b. Selat Bali pada wilayah administrasi
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506-06 dan
3506-07); dan
c. Samudera Hindia pada wilayah administrasi
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506 dan 3506-
05).

Pasal 46

Arahan pengembangan pipa dan kabel bawah laut


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1)
diarahkan untuk:
a. penanaman atau pemancangan kabel dan tiang
serta sarana di laut memerlukan Surat Izin
Pemanfaatan Jasa Kelautan (SIPJK);
b. dalam pengelolaan dan perizinan kegiatan
pembangunan serta pemindahan dan/atau
pembongkaran bangunan atau instalasi di perairan
memerlukan penilaian analisa resiko;
c. pemasangan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran
pada setiap bangunan atau instalasi di laut oleh
pemilik bangunan; dan
d. pelarangan atas pembangunan pipa dan kabel
bawah laut yang memotong alur pelayaran pada
tikungan alur pelayaran.

Paragraf 3
Migrasi Biota Laut

Pasal 47

(1) Migrasi biota laut sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 42 huruf c meliputi:
a. migrasi biota tertentu; dan
b. migrasi penyu.
(2) Migrasi biota tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a terletak di perairan:
a. Laut Jawa pada wilayah administrasi
Kabupaten Gresik (NLP 3505), Kabupaten

56
Sumenep (NLP 3507, 3508, dan 3509),
Kabupaten Jember (NLP 3506);
b. Selat Madura pada wilayah administrasi
Kabupaten Situbondo (NLP 3506), Kabupaten
Sumenep (NLP 3507, 3509 dan 3509-07);
c. Selat Bali pada wilayah administrasi
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506 dan 3506-
09); dan
d. Samudera Hindia pada wilayah administrasi
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506, 3506-05,
3506-07, 3506-08, dan 3506-09), Kabupaten
Jember (NLP 3503 dan 3503-07), Kabupaten
Lumajang (NLP 3503), Kabupaten Malang
(NLP 3503 dan 3503-02), Kabupaten Blitar
(NLP 3501 dan 3503), Kabupaten
Tulungagung (NLP 3501), Kabupaten
Trenggalek (NLP 3501, 3501-03, 3501-05,
dan 3501-06), dan Kabupaten Pacitan (NLP
3501).
(3) Migrasi penyu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b terletak di perairan:
a. Laut Jawa pada wilayah administrasi
Kabupaten Gresik (NLP 3505) dan Kabupaten
Sumenep (NLP 3507, 3508, 3508-03, dan
3508-05);
b. Selat Madura pada wilayah administrasi
Kabupaten Probolinggo (NLP 3504), Kota
Probolinggo (NLP 3504), Kabupaten
Situbondo (NLP 3504, 3507, 3507-05, 3507-
06, dan 3507-10), dan Kabupaten Sumenep
(NLP 3507);
c. Selat Bali pada wilayah administrasi
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506); dan
d. Samudera Hindia pada wilayah administrasi
Kabupaten Banyuwangi (NLP 3506, 3506-02,
3506-04, dan 3506-08), Kabupaten Jember
(NLP 3503, 3503-05, 3503-07, dan 3506-02),
Kabupaten Lumajang (NLP 3503, 3503-03,
dan 3503-05), Kabupaten Malang (NLP 3503,

57
3503-01, 3503-02, dan 3503-03), Kabupaten
Blitar (NLP 3501, 3503, dan 3503-01),
Kabupaten Trenggalek (NLP 3501, 3501-03,
dan 3501-05), dan Kabupaten Pacitan (NLP
3501).

Pasal 48

Arahan pengembangan migrasi biota laut


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1)
diarahkan untuk:
a. perlindungan mutlak bagi biota laut dan kegiatan-
kegiatan yang berkaitan dengan perlindungan
keanekaragaman hayati;
b. pembatasan aktivitas-aktivitas yang berpotensi
mengganggu kelangsungan migrasi biota laut di
perairan:
1. Laut Jawa sebagai alur migrasi ikan lemuru
dan ikan layang dari Selat Makasar ke
Perairan Masalembo, Kabupaten Sumenep dan
ke Perairan Bawean, Kabupaten Gresik;
2. Selat Madura sebagai alur migrasi ikan pelagis
besar dari Samudera Hindia ke perairan
Kepulauan Sumenep;
3. Selat Bali sebagai alur migrasi ikan pelagis
besar dari perairan Kepulauan Sumenep ke
Selat Bali dan migrasi ikan lemuru dari
Samudera Hindia ke Selat Bali; dan
4. Samudera Hindia sebagai alur migrasi ikan
pelagis besar dari perairan Selat Bali ke
Samudera Hindia dan ikan lemuru dari Selat
Bali ke Samudera Hindia.

58
Paragraf 4
Luas dan Letak Geografis

Pasal 49

Luas dan letak geografis alur pelayaran dan


perlintasan, pipa dan kabel bawah laut, dan migrasi
biota laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43,
Pasal 45, dan Pasal 47 tercantum dalam Lampiran II
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

BAB VI
PERATURAN PEMANFAATAN RUANG

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 50

(1) Peraturan pemanfaatan ruang merupakan


ketentuan persyaratan pemanfaatan ruang dan
ketentuan pengendalian yang disusun untuk
setiap zona peruntukan dalam RZWP-3-K.
(2) Peraturan pemanfaatan ruang WP-3-K
merupakan ketentuan yang diperuntukkan
sebagai alat pengaturan pengalokasian ruang
WP-3-K meliputi:
a. peraturan pemanfaatan ruang dalam
kawasan/zona/sub zona
b. ketentuan perizinan;
c. arahan pemberian insentif;
d. arahan pemberian disinsentif; dan
e. arahan pengenaan sanksi.
(3) Peraturan pemanfaatan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk:
a. menjadi alat pengendali kegiatan
pemanfaatan zona/sub zona;

59
b. menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang
dengan rencana zonasi;
c. menjamin agar kegiatan pemanfaatan baru
tidak mengganggu kegiatan pemanfaatan
ruang yang telah berjalan dan sesuai dengan
rencana alokasi ruang; dan
d. mencegah dampak kegiatan pemanfaatan
yang merugikan.

Bagian Kedua
Peraturan Pemanfaatan Ruang dalam
Kawasan/Zona/Sub Zona

Pasal 51

(1) Peraturan pemanfaatan ruang dan ketentuan


pengendalian kegiatan merupakan peraturan
yang berisi kegiatan yang:
a. diperbolehkan;
b. diperbolehkan secara terbatas; dan
c. dilarang;
pada suatu zona.
(2) Peraturan pemanfaatan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa segala
kegiatan yang diizinkan dialokasikan pada suatu
ruang, tidak mempunyai pengaruh dan dampak
sehingga tidak mempunyai pembatasan dalam
implementasinya, karena baik secara fisik dasar
ruang maupun fungsi ruang sekitar saling
mendukung dan terkait.
(3) Peraturan pemanfaatan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa setiap
kegiatan yang diizinkan dialokasikan pada suatu
ruang, namun mempunyai pembatasan, sehingga
pengalokasiannya bersyarat.
(4) Peraturan pemanfaatan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa kegiatan
yang dilarang pada suatu ruang, karena dapat

60
merusak lingkungan dan mengganggu kegiatan
lain yang ada disekitarnya.

Pasal 52

(1) Dalam peraturan pemanfatan ruang, kegiatan


yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a ditandai dengan
tanda berbentuk huruf I.
(2) Dalam peraturan pemanfatan ruang, kegiatan
yang diperbolehkan secara terbatas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b
ditandai dengan tanda berbentuk huruf T.
(3) Dalam peraturan pemanfatan ruang, kegiatan
yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) huruf c ditandai dengan tanda
berbentuk huruf X.
(4) Peraturan pemanfaatan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
tercantum dalam Lampiran III yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah
ini.

Pasal 53

(1) Dalam hal terdapat perkembangan kegiatan guna


kebutuhan pembangunan dan kegiatan tersebut
tidak tercantum dalam Lampiran III sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4), Gubernur
dapat menambah jenis kegiatan baru yang
ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
(2) Kegiatan baru sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan jenis kegiatan yang diperbolehkan
dan/atau kegiatan diperbolehkan secara
terbatas.
(3) Jenis kegiatan baru sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak dapat merubah jenis kegiatan yang
dilarang pada suatu zona/subzona yang telah
ditetapkan dalam Lampiran III sebagaimana

61
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (4) serta tidak
dapat dilakukan di kawasan konservasi.

Pasal 54

(1) Penambahan jenis kegiatan baru sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) dilakukan
setelah adanya usulan tertulis kepada Gubernur
melalui Kepala Dinas.
(2) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dibentuk tim pengkajian
penambahan jenis kegiatan baru yang diketuai
oleh Kepala Dinas dengan Keputusan Gubernur.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penambahan jenis kegiatan baru diatur dalam
Peraturan Gubernur.

Bagian Ketiga
Ketentuan Perizinan

Paragraf 1
Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan

Pasal 55

(1) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b merupakan alat
pengendali pemanfaatan ruang yang menjadi
kewenangan Pemerintah Provinsi berdasarkan
peraturan perundang-undangan melalui proses
administrasi dan teknis yang wajib dipenuhi
sebelum kegiatan pemanfaatan WP-3-K
dilaksanakan, guna menjamin kesesuaian
pemanfaatan ruang WP-3-K yang ditetapkan
dalam Peraturan Daerah ini.
(2) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), terdiri atas:
a. Izin Lokasi; dan
b. Izin Pengelolaan.

62
Pasal 56

(1) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang


dari sebagian perairan pesisir dan pemanfaatan
sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib
memiliki Izin Lokasi.
(2) Izin lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. Izin Lokasi Perairan Pesisir, untuk
pemanfaatan ruang secara menetap di
sebagian perairan pesisir; dan
b. Izin Lokasi Pulau-Pulau Kecil, untuk
pemanfaatan ruang secara menetap di
sebagian pulau-pulau kecil.
(3) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan berdasarkan RZWP-3-K yang berlaku
dan menjadi dasar pemberian izin pengelolaan.
(4) Izin Lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti
di kawasan konservasi, alur laut, kawasan
pelabuhan, dan pantai umum.

Pasal 57

(1) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan


sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-
pulau kecil wajib memiliki Izin Pengelolaan untuk
kegiatan:
a. produksi garam;
b. biofarmakologi laut;
c. bioteknologi laut;
d. pemanfaatan air laut selain energi;
e. wisata bahari;
f. pemasangan pipa dan kabel bawah laut;
dan/atau
g. pengangkatan Benda Muatan Kapal
Tenggelam.
(2) Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterbitkan oleh Gubernur setelah

63
dipenuhinya syarat administratif, teknis, dan
operasional.

Pasal 58

(1) Dalam memberikan Izin Lokasi dan Izin


Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
56 dan Pasal 57, Gubernur wajib
mempertimbangkan:
a. kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau
kecil;
b. ketersediaan lokasi dan/atau akses bagi
Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional
untuk melakukan pemanfaatan ruang dan
sumber daya perairan pesisir dan perairan
pulau-pulau kecil;
c. nelayan kecil dan nelayan tradisional;
d. kepentingan nasional; dan
e. hak lintas damai bagi kapal asing.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan,
tata cara pemberian, pencabutan, jangka waktu,
luasan, dan berakhirnya Izin Lokasi dan Izin
Pengelolaan diatur dengan Peraturan Gubernur.

Paragraf 2
Pemanfaatan WP-3-K oleh Masyarakat Lokal dan
Masyarakat Tradisonal

Pasal 59

(1) Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional


dibebaskan dari Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan
sepanjang tidak melakukan kegiatan yang
dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (1) huruf c serta tidak melakukan kegiatan
pada lokasi yang telah memiliki Izin Lokasi dan
Izin Pengelolaan.
(2) Kriteria Masyarakat Lokal dan Masyarakat
Tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

64
ialah masyarakat yang melakukan kegiatan
pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan
pesisir dan perairan Pulau-Pulau kecil untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari yang
menghasilkan produksi setara dengan rata-rata
upah minimum provinsi yang berlaku di wilayah
Kabupaten/Kota setempat.

Pasal 60

(1) Pemerintah Provinsi melakukan pendataan


terhadap Masyarakat Lokal dan Masyarakat
Tradisional yang melakukan pemanfaatan ruang
dan sumber daya perairan pesisir dan perairan
pulau-pulau kecil.
(2) Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mengisi formulir yang memuat
antara lain:
a. lokasi kegiatan;
b. metode atau cara yang digunakan dalam
pengelolaan;
c. daftar sarana dan prasarana yang digunakan;
dan
d. waktu serta intensitas operasional.
(3) Dalam melakukan kegiatan pendataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Provinsi dapat menugaskan Pemerintah
Kabupaten/Kota berdasarkan asas Tugas
Pembantuan dan/atau menugaskan Desa.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan
pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan penugasan kepada desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan
Gubernur.

65
Paragraf 3
Pemanfaatan WP-3-K oleh Pemerintah Kabupaten/Kota

Pasal 61

(1) Pemerintah Kabupaten/Kota dapat melakukan


pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan
pesisir dan perairan pulau-pulau kecil setelah
mengajukan permohonan kepada Gubernur.
(2) Permohonan kepada Gubernur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan permohonan
untuk melakukan kegiatan pemanfaatan ruang
dan sumber daya perairan pesisir dan perairan
pulau-pulau kecil.
(3) Gubernur dapat menolak atau menyetujui
permohonan yang diajukan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota setelah mempertimbangkan
persyaratan permohonan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan,
tata cara pemberian persetujuan, pencabutan,
jangka waktu, dan luasan permohonan
pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan
pesisir dan perairan pulau-pulau kecil diatur
dalam Peraturan Gubernur.

Bagian Keempat
Arahan Pemberian Insentif

Pasal 62

(1) Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50


ayat (2) huruf c merupakan perangkat atau
upaya untuk memberikan imbalan terhadap
pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan
rencana zonasi.
(2) Arahan insentif berfungsi sebagai:
a. arahan penyusunan perangkat untuk
mendorong kegiatan yang sesuai dengan
rencana zonasi;

66
b. katalisator perwujudan pemanfaatan zonasi;
dan
c. stimulan untuk mempercepat perwujudan
rencana alokasi ruang.
(3) Arahan insentif diberikan dalam bentuk:
a. arahan insentif fiskal berupa keringanan atau
pembebasan pajak atau retribusi daerah; dan
b. arahan insentif non fiskal berupa arahan
penambahan dana alokasi khusus,
pemberian kompensasi, subsidi silang,
kemudahan prosedur perizinan, imbalan,
sewa ruang, urun saham, pembangunan dan
pengadaan infrastruktur, pengurangan
retribusi, prasarana dan sarana, penghargaan
dari pemerintah kepada masyarakat, swasta,
dan/atau Pemerintah Provinsi, dan /atau
publisitas atau promosi.
(4) Arahan insentif meliputi:
a. arahan insentif kepada pemerintah daerah
lainnya;
b. arahan insentif dari Pemerintah Provinsi
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota atau
pemerintah provinsi lainnya dalam bentuk
pemberian kompensasi dari Pemerintah
Kabupaten/Kota penerima manfaat kepada
Pemerintah Kabupaten/Kota pemberi
manfaat atas manfaat yang diterima oleh
pemerintah penerima manfaat, arahan
penyediaan sarana dan prasarana, serta
arahan pemberian publisitas atau promosi
daerah;
c. arahan insentif dari Pemerintah Provinsi
kepada masyarakat umum dalam bentuk
arahan untuk pemberian kompensasi
insentif; arahan untuk pengurangan
retribusi; arahan untuk pemberian imbalan,
pemberian sewa ruang dan urun saham,
penyediaan sarana dan prasarana, pemberian
kemudahan perizinan dari pemerintah

67
provinsi penerima manfaat kepada
masyarakat umum; dan
d. pemberian penghargaan kepada masyarakat,
swasta, Pemerintah Kabupaten/Kota,
dan/atau pemerintah daerah lainnya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian
insentif diatur dalam Peraturan Gubernur.

Bagian Kelima
Arahan Pemberian Disinsentif

Pasal 63

(1) Disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal


50 ayat (2) huruf d merupakan perangkat untuk
mencegah, membatasi pertumbuhan, atau
mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan
rencana zonasi.
(2) Arahan disinsentif berfungsi untuk mencegah,
membatasi pertumbuhan atau mengurangi
kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana
zonasi.
(3) Arahan disinsentif diberikan dalam bentuk:
a. arahan disinsentif fiskal berupa arahan
pengenaan pajak/retribusi daerah yang tinggi
yang disesuaikan dengan besarnya biaya
yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak
yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang;
dan
b. arahan disinsentif non fiskal berupa arahan
untuk pembatasan penyediaan infrastruktur,
pengenaan kompensasi, pemberian penalti,
pengurangan dana alokasi khusus,
persyaratan khusus dalam perizinan,
dan/atau pemberian status tertentu dari
Pemerintah atau Pemerintah Provinsi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian
disinsentif diatur dalam Peraturan Gubernur.

68
Bagian Keenam
Arahan Pengenaan Sanksi

Pasal 64

(1) Arahan pengenaan sanksi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf e
merupakan tindakan penertiban yang dilakukan
terhadap setiap orang yang melakukan
pelanggaran di bidang perencanaan zonasi WP-3-
K.
(2) Pelanggaran dalam penyelenggaraan perencanaan
zonasi WP-3-K sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), pihak yang melakukan penyimpangan
dikenakan sanksi meliputi sanksi administrasi
maupun sanksi pidana.
(3) Pengenaan sanksi diberikan kepada pemanfaat
ruang WP-3-K yang tidak sesuai dengan
ketentuan perizinan pemanfaatan ruang dan
Pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan
izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana zonasi.
(4) Arahan pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan
berdasarkan:
a. hasil pengawasan pemanfaatan ruang WP-3-
K;
b. tingkat simpangan implementasi RZWP-3-K;
c. kesepakatan antar instansi yang berwenang;
dan
d. peraturan perundang-undangan sektor
terkait lainnya.

Pasal 65

Pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir


dan pemanfaatan ruang dari sebagian pulau-
pulau kecil yang tidak sesuai dengan izin lokasi

69
yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 dikenai sanksi administratif, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan sementara; dan/atau
c. pencabutan izin lokasi.

Pasal 66

Pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan


perairan pulau-pulau kecil yang tidak sesuai
dengan izin pengelolaan yang diberikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dikenai
sanksi administratif, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. pembekuan izin; dan/atau
e. pencabutan izin.

Pasal 67
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
dan Pasal 66 diatur dalam Peraturan Gubernur.

BAB VII
RENCANA PEMANFAATAN RUANG

Pasal 68

(1) Rencana pemanfaatan ruang WP-3-K


berpedoman pada rencana alokasi ruang dan
peraturan pemanfaatan ruang.
(2) Rencana pemanfaatan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), mengacu pada fungsi
ruang yang ditetapkan dalam rencana zonasi,
dan dilaksanakan dengan menyelenggarakan
penatagunaan sumber daya WP-3-K.

70
(3) Rencana pemanfaatan ruang WP-3-K
dilaksanakan melalui penyusunan dan
pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta
sumber pendanaannya.
(4) Rencana pemanfaatan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disusun berdasarkan
indikasi program utama dengan waktu
pelaksanaan selama 20 (dua puluh) tahun yang
dirinci untuk setiap 5 (lima) tahun.
(5) Pendanaan indikasi program bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
investasi swasta, dan/atau kerjasama
pendanaan.
(6) Kerjasama pendanaan investasi swasta
sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(7) Prioritas pelaksanaan pembangunan WP-3-K
disusun berdasarkan atas perkiraan kemampuan
pembiayaan dan kegiatan yang mempunyai efek
mengganda sesuai arahan umum pembangunan
daerah.
(8) Rencana pemanfaatan ruang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam
Lampiran IV yang menjadi bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

BAB VIII
MITIGASI BENCANA

Bagian Kesatu
Pengelolaan Risiko Bencana

Pasal 69

(1) Bencana di perairan pesisir merupakan suatu


kejadian yang terkonsentrasi di wilayah perairan

71
dan/atau mempengaruhi kondisi wilayah
perairan antara lain:
a. terjadi pada waktu tertentu;
b. mengakibatkan bahaya yang besar;
c. membuat terganggunya fungsi vital
kehidupan yang bergantung pada perairan
tersebut; dan/atau
d. menimbulkan kerugian maupun korban pada
komunitas tertentu.
(2) Kegiatan pengelolaan risiko bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
segala kegiatan pada tahap mitigasi,
kesiapsiagaan, kedaruratan dan pemulihan.
(3) Pengelolaan risiko bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh
Pemerintah Provinsi.
(4) Pengelolaan risiko bencana bertujuan untuk
membangun ketahanan komunitas terhadap
bencana sekaligus mengurangi dampaknya.
(5) Masyarakat dan/atau badan usaha melalui
koordinasi dengan Pemerintah Provinsi dapat
berperan serta dalam melakukan pengelolaan
risiko bencana.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan
pengelolaan risiko bencana diatur dalam
Peraturan Gubernur.

Bagian Kedua
Perubahan Iklim

Pasal 70

(1) Perubahan iklim di perairan pesisir merupakan


perubahan kondisi iklim tidak normal akibat
meningkatnya emisi gas rumah kaca yang
menyebabkan timbulnya fenomena dan dampak
perubahan iklim di perairan serta menyebabkan
kerugian dan korban pada komunitas tertentu
baik dalam jangka waktu pendek maupun

72
sehingga diperlukan pengelolaan risiko
perubahan iklim.
(2) Pemerintah Provinsi wajib menyelenggarakan
kegiatan pengelolaan risiko perubahan iklim.
(3) Pengelolaan risiko perubahan iklim sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi kegiatan mitigasi
dan adaptasi.
(4) Mitigasi perubahan iklim sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) merupakan kegiatan pergurangan
emisi dari kegiatan-kegiatan yang berada di
wilayah perairan.
(5) Adaptasi perubahan iklim sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) merupakan kegiatan
penyesuaian system kehidupan yang dilakukan
dalam mengurangi dampak dari perubahan iklim
di perairan.
(6) Masyarakat dan/atau badan usaha melalui
koordinasi dengan Pemerintah Provinsi dapat
berperan serta dalam melakukan pengelolaan
risiko perubahan iklim.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan
pengelolaan risiko perubahan iklim diatur dalam
Peraturan Gubernur.

BAB IX
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 71

(1) Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan


WP-3-K secara terpadu dan berkelanjutan,
dilakukan pengawasan dan/atau pengendalian
terhadap pelaksanaan ketentuan pengelolaan
WP-3-K oleh pejabat tertentu yang berwenang
sesuai dengan sifat pekerjaaannya dan diberikan

73
wewenang kepolisian khusus yang selanjutnya
disebut Polisi Khusus dan/atau oleh pengawas
sumber daya kelautan dan perikanan di
lingkungan Pemerintah Provinsi.
(2) Masyarakat dapat berperan serta dalam
pengawasan dan/atau pengendalian pengelolaan
WP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Bagian Kedua
Pengawasan

Pasal 72

(1) Pengawasan RZWP-3-K meliputi perencanaan


dan pelaksanaan pengelolaan WP-3-K.
(2) Pengawasan terhadap perencanaan dan
pelaksanaan RZWP-3-K sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi
dengan instansi terkait sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Pengawasan secara terkoordinasi dengan instansi
terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dalam hal:
a. pengumpulan dan perolehan dokumen
rencana pengelolaan;
b. pertukaran data dan informasi;
c. tindak lanjut laporan/pengaduan;
d. pemeriksaan sampel; dan
e. kegiatan lain dalam menunjang pelaksanaan
pengawasan WP-3-K.
(4) Pengawasan terhadap pemanfaatan WP-3-K
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan alokasi ruang yang telah ditetapkan
dalam peraturan ini serta kegiatan lain seperti
rehabilitasi, reklamasi, dan mitigasi bencana di
WP-3-K.
(5) Pengawasan di WP-3-K harus memperhatikan
kearifan lokal.

74
(6) Pengawasan oleh masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) dilakukan
melalui penyampaian laporan dan/atau
pengaduan kepada pihak yang berwenang.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan
RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Gubernur.

Bagian Ketiga
Pengendalian

Pasal 73

Pengendalian WP-3-K dilaksanakan melalui:


a. akreditasi; dan
b. rehabilitasi.

Paragraf 1
Akreditasi

Pasal 74

(1) Gubernur dapat menyelenggarakan akreditasi


program pengelolaan WP-3-K, kecuali pada:
a. kawasan strategis nasional tertentu; dan
b. pulau-pulau kecil terluar.
(2) Penyelenggaraan akreditasi program program
pengelolaan WP-3-K sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi program rehabilitasi, konservasi,
reklamasi, mitigasi bencana dan/atau
pengembangan ekonomi.
(3) Hasil penilaian akreditasi program pengelolaan
WP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bahan pertimbangan tim akreditasi
dalam menentukan penerima insentif yang
didasarkan kemampuan keuangan daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan
dan mekanisme pengajuan akreditasi diatur
dalam Peraturan Gubernur.

75
Paragraf 2
Rehabilitasi WP-3-K

Pasal 75

(1) Rehabilitasi dilakukan oleh Pemerintah,


Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/
Kota, dan orang yang memanfaatkan secara
langsung atau tidak langsung WP-3-K.
(2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilakukan apabila pemanfaatan WP-3-K
mengakibatkan kerusakan ekosistem atau
populasi yang melampaui kriteria kerusakan
ekosistem atau populasi.
(3) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan terhadap:
a. terumbu karang;
b. mangrove;
c. lamun;
d. estuari;
e. laguna;
f. teluk;
g. delta;
h. gumuk pasir;
i. pantai; dan/atau
j. populasi ikan.
(4) Dalam hal di WP-3-K terdapat kawasan hutan
maka rehabilitasi terhadap kawasan hutan
dimaksud dilakukan dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan di bidang
kehutanan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi WP-
3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan
Gubernur.

76
Bagian Ketiga
Larangan

Pasal 76

Setiap orang dilarang:


a. melakukan pemanfaatan ruang laut yang tidak
sesuai dengan peraturan pemanfaatan ruang;
b. melakukan pemanfaatan ruang laut yang tidak
sesuai dengan izin yang diberikan;
c. mengalihkan izin yang diberikan kepada pihak
lain;
d. melakukan pemanfaatan ruang pada kawasan
konservasi kecuali ditentukan lain dalam
peraturan perundang-undangan dan Peraturan
Daerah ini.

BAB X
REKLAMASI

Pasal 77

(1) Pelaksanaan reklamasi WP-3-K wajib menjaga


dan memperhatikan:
a. keberlanjutan kehidupan dan penghidupan
masyarakat;
b. keseimbangan antara kepentingan
pemanfatan dan kepentingan pelestarian
fungsi lingkungan pesisir dan pulau-pulau
kecil; dan
c. persyaratan teknis pengambilan, pengerukan,
dan penimbunan material.
(2) Reklamasi yang dilakukan di wilayah perairan
pesisir dan pulau-pulau kecil bertujuan untuk:
a. mengubah perairan pesisir menjadi daratan
untuk memenuhi kebutuhan lahan daratan;
b. meningkatkan kualitas dan nilai ekonomi
kawasan pesisir;

77
c. memperbaiki lingkungan pesisir yang
mengalami degradasi; dan
d. mengatasi kenaikan paras muka air laut.
(3) Reklamasi hanya dapat dilakukan untuk
pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan/atau
Pemerintah Kabupaten/Kota.
(4) Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, dan/atau swasta dapat melakukan
reklamasi sepanjang untuk melaksanakan Proyek
Strategis Nasional sesuai peraturan perundang-
undangan.
(5) Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, dan/atau swasta
yang akan melaksanakan reklamasi wajib
membuat perencanaan reklamasi.
(6) Perencanaan reklamasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan melalui kegiatan:
a. penentuan lokasi;
b. penyusunan rencana induk;
c. studi kelayakan; dan
d. penyusunan rancangan detail.

Pasal 78

(1) Lokasi reklamasi sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 77 dapat dilakukan pada:
a. zona industri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24;
b. zona bandar udara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30; dan
c. sub zona WKOPP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (3).
(2) Pengambilan sumber material reklamasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaksanakan pada:
d. sub zona pasir laut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (2); dan/atau

78
e. zona yang ditetapkan dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah dan/atau Rencana Detail Tata
Ruang.

Pasal 79

(1) Reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal


77 ayat (2) wajib memiliki izin lokasi dan izin
pelaksanaan reklamasi.
(2) Perencanaan reklamasi, perizinan reklamasi, dan
pelaksanaan reklamasi wajib mendasarkan pada
ketentuan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan
reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Gubernur.

Pasal 80

Kegiatan reklamasi pada zona dan sub zona


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) harus
memperhatikan:
a. aksesibilitas, alur laut, dan alur aliran air antar
zona atau pulau buatan hasil reklamasi sesuai
dengan karakteristik lingkungan;
b. pemanfaatan ruang laut yang tidak mengganggu
keberlanjutan fungsi sistem Daerah Aliran Sungai;
c. rencana induk pembangunan pelabuhan;
d. rencana induk pelabuhan perikanan;
e. keberlanjutan fungsi jaringan energi dan air;
f. kewajiban pengalokasian ruang untuk untuk
pantai umum dan mitigasi bencana;
g. pengaturan konfigurasi, tata letak, bentuk, dan
luasan kawasan reklamasi ditentukan
berdasarkan hasil kajian lingkungan;
h. kewajiban memberikan Ruang Penghidupan dan
akses bagi nelayan kecil, nelayan tradisional, dan
pembudidaya ikan;

79
i. keberlanjutan fungsi kawasan lindung dan/atau
Kawasan Konservasi di sekitar zona atau pulau
buatan hasil reklamasi;
j. kewajiban pendalaman bagian-bagian tertentu
dari kanal di sekitar zona atau pulau buatan hasil
reklamasi dalam rangka menjaga fungsi kawasan;
k. kewajiban memberikan jaminan alokasi ruang
bagi keselamatan, keamanan, operasional, fungsi,
serta pemeliharaan sarana dan prasarana publik
dan objek vital nasional;
l. pengurangan dampak perubahan hidro-
oceanografi yang meliputi arus, gelombang, dan
kualitas sedimen dasar laut;
m. pengurangan dampak perubahan sistem aliran air
dan drainase;
n. pengurangan dampak peningkatan
volume/frekuensi banjir dan/atau genangan;
o. pengurangan perubahan morfologi dan tipologi
pantai;
p. penurunan kualitas air dan pencemaran
lingkungan hidup;
q. penurunan kuantitas air tanah;
r. pengurangan dampak degradasi ekosistem pesisir;
dan
s. ketentuan perencanaan, pemanfaatan, dan
pengendalian pemanfaatan ruang untuk kegiatan
reklamasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB XI
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN SERTA MASYARAKAT

Bagian Kesatu
Hak Masyarakat

Pasal 81

Dalam zonasi WP-3-K, setiap orang berhak untuk:


a. mengetahui rencana zonasi;

80
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai
akibat zonasi;
c. memperoleh penggantian yang layak atas
kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan rencana
zonasi;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang
terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana zonasi di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan
penghentian pembangunan yang tidak sesuai
dengan rencana zonasi kepada pejabat
berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada
pemerintah dan/atau pemegang izin apabila
kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana zonasi menimbulkan kerugian.

Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat

Pasal 82

Dalam pemanfaatan zonasi setiap orang wajib:


a. menaati rencana zonasi yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan zonasi sesuai dengan izin
pemanfaatan zonasi dari pejabat yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam
persyaratan izin pemanfaatan zonasi; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai milik umum.

Bagian Ketiga
Peran Serta Masyarakat

Pasal 83

(1) Penyelenggaraan zonasi WP-3-K dilakukan oleh

81
pemerintah dengan melibatkan peran serta
masyarakat.
(2) Peran serta masyarakat dalam zonasi WP-3-K
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan,
antara lain, melalui:
a. partisipasi dalam penyusunan rencana
zonasi;
b. partisipasi dalam pemanfaatan zonasi; dan
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan
zonasi.

Pasal 84

Bentuk peran serta masyarakat sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) huruf a pada tahap
perencanaan zonasi dapat berupa:
a. memberikan masukan mengenai:
1. penentuan arah pengembangan wilayah;
2. potensi dan masalah pembangunan;
3. perumusan rencana zonasi; dan
4. penyusunan rencana struktur dan pola ruang.
b. menyampaikan keberatan terhadap rancangan
rencana zonasi; dan
c. melakukan kerja sama dengan Pemerintah,
Pemerintah Kabupaten/Kota dan/atau sesama
unsur masyarakat.

Pasal 85

Bentuk peran serta masyarakat sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) huruf b dalam
pemanfaatan zonasi dapat berupa:
a. melakukan kegiatan pemanfaatan zonasi yang
sesuai dengan kearifan lokal dan rencana zonasi
yang telah ditetapkan;
b. menyampaikan masukan mengenai kebijakan
pemanfaatan zonasi;
c. memberikan dukungan bantuan teknik, keahlian,
dan/atau dana dalam pengelolaan pemanfaatan

82
zonasi;
d. meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan
keserasian dalam pemanfaatan zonasi darat, dan
ruang laut, dengan memperhatikan kearifan lokal
serta sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
e. melakukan kerjasama pengelolaan zonasi dengan
Pemerintah, Pemerintah Kabupaten/Kota,
pemerintah daerah lainnya, dan/atau dan pihak
lainnya secara bertanggung jawab untuk
pencapaian tujuan zonasi WP-3-K;
f. menjaga fungsi pertahanan serta memelihara dan
meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan dan
sumber daya alam; dan
g. melakukan usaha investasi dan/atau jasa
keahlian.

Pasal 86

Bentuk peran serta masyarakat sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) huruf c dalam
pengendalian pemanfaatan zonasi dapat berupa:
a. memberikan masukan mengenai arahan zonasi,
perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta
pengenaan sanksi;
b. turut serta memantau dan mengawasi
pelaksanaan kegiatan pemanfaatan zonasi,
rencana zonasi yang telah ditetapkan, dan
pemenuhan standar pelayanan minimal di bidang
zonasi WP-3-K;
c. melaporkan kepada instansi atau pejabat yang
berwenang dalam hal menemukan kegiatan
pemanfaatan zonasi yang melanggar rencana
zonasi yang telah ditetapkan dan adanya indikasi
kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan,
tidak memenuhi standar pelayanan minimal
dan/atau masalah yang terjadi di masyarakat
dalam penyelenggaraan zonasi WP-3-K; dan/atau
d. mengajukan keberatan terhadap keputusan

83
pejabat publik yang dipandang tidak sesuai
dengan rencana zonasi.

Pasal 87

(1) Peran serta masyarakat di bidang zonasi WP-3-K


dapat disampaikan secara langsung dan/atau
tertulis.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dapat disampaikan kepada
Gubernur atau kepada Gubernur melalui Kepala
Dinas dan Bupati/Walikota.

Pasal 88

Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat,


Pemerintah Provinsi membangun sistem informasi
dan dokumentasi zonasi WP-3-K yang dapat diakses
dengan mudah oleh masyarakat.

Pasal 89

Pelaksanaan tata cara peran serta masyarakat dalam


zonasi WP-3-K dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.

BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 90

(1) Penyelesaian sengketa dalam PWP-3-K ditempuh


melalui pengadilan dan/atau di luar pengadilan.
(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku terhadap tindak pidana PWP-3-K
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah
ini.

84
Pasal 91

(1) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan


dilakukan para pihak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian
dan/atau mengenai tindakan tertentu guna
mencegah terjadinya atau terulangnya dampak
besar sebagai akibat tidak dilaksanakannya PWP-
3-K.
(3) Dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
digunakan jasa pihak ketiga.
(4) Hasil kesepakatan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan harus dinyatakan secara tertulis dan
bersifat mengikat para pihak.

Pasal 92

(1) Setiap orang dan/atau penanggung jawab


kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar
hukum dan mengakibatkan kerusakan WP-3-K
wajib membayar ganti kerugian kepada negara
dan/atau melakukan tindakan tertentu
berdasarkan putusan pengadilan.
(2) Tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa kewajiban untuk melakukan
rehabilitasi dan/atau pemulihan kondisi WP-3-K.
(3) Pelaku perusakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib membayar biaya rehabilitasi
lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada
negara.
(4) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
hakim dapat menetapkan sita jaminan dan
jumlah uang paksa (dwangsom) atas setiap hari
keterlambatan pembayaran.

85
Pasal 93

(1) Setiap orang dan/atau penanggung jawab


kegiatan yang mengelola WP-3-K bertanggung
jawab secara langsung dan seketika pada saat
terjadinya pencemaran dan/atau perusakan
dengan kewajiban mengganti kerugian sebagai
akibat tindakannya.
(2) Pengelola WP-3-K dapat dibebaskan dari
kewajiban membayar ganti kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang
bersangkutan dapat membuktikan bahwa
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
WP-3-K disebabkan oleh salah satu alasan
berikut:
a. bencana alam;
b. peperangan; atau
c. keadaan terpaksa di luar kemampuan
manusia (force majeure).
(3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan
kesengajaan oleh pihak ketiga, yang
bersangkutan bertanggung jawab membayar
ganti kerugian.

BAB XIII
GUGATAN PERWAKILAN

Pasal 94

(1) Organisasi Masyarakat berhak mengajukan


gugatan perwakilan ke pengadilan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab PWP-
3-K, organisasi masyarakat berhak mengajukan
gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi
lingkungan.

86
(3) Organisasi Masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan
berikut:
a. merupakan organisasi resmi di wilayah
tersebut atau organisasi nasional;
b. berbentuk badan hukum;
c. memiliki anggaran dasar yang dengan tegas
menyebutkan dengan tujuan didirikannya
organisasi untuk kepentingan pelestarian
lingkungan; dan
d. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan
anggaran dasar dan anggaran rumah
tangganya.
(4) Hak mengajukan gugatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terbatas pada tuntutan
untuk melakukan tindakan tertentu tanpa
adanya tuntutan ganti kerugian kecuali
penggantian biaya atau pengeluaran yang nyata-
nyata dibayarkan.

BAB XIV
PENYIDIKAN

Pasal 95

(1) Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan


Pemerintah Provinsi diberikan wewenang untuk
melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah
ini.
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan
meneliti keterangan atau laporan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang zonasi WP-3-
K agar keterangan atau laporan tersebut
menjadi lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan
keterangan mengenai orang pribadi atau

87
badan tentang kebenaran perbuatan yang
dilakukan sehubungan di bidang zonasi WP-
3-K;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari
pribadi atau badan sehubungan dengan
tindak pidana di bidang zonasi WP-3-K;
d. memeriksa buku-buku catatan-catatan dan
dokumen–dokumen lain berkenaan tindak
pidana di bidang zonasi WP-3-K;
e. melakukan penggeledahan untuk
mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta
melakukan penyitaan terhadap bahan bukti
tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
di bidang zonasi WP-3-K;
g. menyuruh berhenti dan atau melarang
seseorang meninggalkan ruangan atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang
berlangsung dan memeriksa identitas orang
dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana
dimaksud pada huruf e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan
tindak pidana di bidang zonasi WP-3-K;
i. memanggil orang untuk didengar
keterangannya dan diperiksa sebagai saksi
atau tersangka;
j. menghentikan penyidikan; dan
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk
kelancaran penyidikan tindak pidana di
bidang zonasi WP-3-K menurut hukum yang
dapat dipertanggung jawabkan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada
penuntut umum sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.

88
BAB XV
KETENTUAN PIDANA

Pasal 96

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 76 dipidana kurungan
dan/atau denda sesuai dengan peraturan perundang
undangan.

BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 97

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini:


a. izin yang telah dikeluarkan dan telah sesuai
dengan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai
dengan jangka waktu masa berlakunya;
b. izin yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini,
berlaku ketentuan:
1. untuk yang belum dilaksanakan
pembangunannya, izin tersebut disesuaikan
dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan
Daerah ini;
2. untuk yang sudah dilaksanakan
pembangunannya, pemanfaatan WP-3-K
dilakukan sampai izin operasional terkait habis
masa berlakunya dan dilakukan penyesuaian
dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan
Daerah ini;
3. untuk yang sudah dilaksanakan
pembangunannya dan tidak memungkinkan
untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi
kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini,
izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan
dan terhadap kerugian yang timbul sebagai

89
akibat pembatalan izin tersebut dapat
diberikan penggantian yang layak; dan
4. penggantian yang layak sebagaimana
dimaksud pada angka 3 (tiga) dilaksanakan
dengan mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. pemanfaatan WP-3-K yang izinnya sudah habis
dan tidak sesuai dengan Peraturan Daerah ini
dilakukan penyesuaian berdasarkan Peraturan
Daerah ini;
d. pemanfaatan WP-3-K yang diselenggarakan tanpa
izin ditentukan sebagai berikut:
1. yang bertentangan dengan ketentuan dalam
Peraturan Daerah ini, pemanfaatan WP-3-K
yang bersangkutan ditertibkan dan
disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini; dan
2. yang sudah sesuai ketentuan Peraturan
Daerah ini, di percepat untuk mendapatkan
izin yang diperlukan.

BAB XVII
KETENTUAN LAIN LAIN

Pasal 98

Dalam hal terdapat penetapan/pencadangan kawasan


konservasi oleh Menteri terhadap bagian perairan
Provinsi Jawa Timur yang belum disepakati pada saat
Peraturan Daerah ini ditetapkan, rencana kawasan
konservasi disesuaikan dengan hasil penetapan/
pencadangan kawasan konservasi berdasarkan hasil
penetapan Menteri.

90
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 99

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku,


Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 6
Tahun 2012 tentang Pengelolaan dan Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tahun 2012-2032
(Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2008
Nomor 4 Seri D) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

Pasal 100

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal


diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi
Jawa Timur.

Ditetapkan di Surabaya
pada tanggal 2018

GUBERNUR JAWA TIMUR,

Dr. H. SOEKARWO

91
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR
NOMOR … TAHUN 2018

TENTANG

RENCANA ZONASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL


PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2018 – 2038

I. UMUM
WP-3-K merupakan bagian dari sumberdaya alam dan
merupakan kekayaan yang perlu dijaga kelestariannya serta
dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, generasi
sekarang dan yang akan datang. Potensi demikian memberikan
kontribusi terhadap perekonomian daerah, seperti potensi
perikanan, potensi jasa lingkungan, potensi energi kelautan dan
pertambangan. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan Pulau-Pulau
kecil memerlukan perencanaan sehingga pengelolaan dan
pemanfaatannya tidak berdampak terhadap perubahan ekosistem
dan menurunnya mutu lingkungan.
Terdapat kecenderungan WP-3-K mengalami kerusakan
akibat aktivitas pemanfaatan oleh masyarakat atau akibat bencana
alam, ditambah akumulasi berbagai kegiatan eksploitasi bersifat
parsial/ sektoral ataupun dampak kegiatan lain di hulu wilayah
pesisir Sementara itu, kesadaran nilai strategis pengelolaan
berkelanjutan, terpadu, berbasis masyarakat serta relatif kurang
dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir dan Pulau-Pulau kecil, menyebabkan pola
tersebut belum mampu mengeliminasi faktor-faktor penyebab
kerusakan dan belum memberi kesempatan sumberdaya hayati
pulih secara alami, atau sumberdaya non-hayati disubstitusi
dengan sumberdaya lain.
Kurangnya tingkat kesadaran semua pihak yang terkait
(stakeholders) dengan pelestarian sumberdaya alam (SDA)
khususnya di daerah pesisir dan Pulau-Pulau kecil serta
kelangsungan pelaksanaan pembangunan masa lalu,
menyebabkan terjadinya perusakan SDA sehingga memerlukan
waktu lama serta biaya sangat besar untuk memulihkannya.
Menghindari terulangnya pengalaman pengelolaan sumberdaya

92
alam pesisir dan Pulau-Pulau kecil yang kurang memperhatikan
kelestarian dan keberlanjutan, perlu pendekatan pengelolaan dan
perencanaan WP-3-K terarah dan terpadu. Wilayah pesisir
memiliki arti penting dan strategis karena merupakan peralihan
(interface) antara ekosistem darat dan laut, memiliki potensi
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan; menimbulkan daya
tarik memanfaatkan serta niatan berbagai instansi meregulasinya.
Paradoksi pengelolaan WP-3-K harus segera di akhiri, dimulai
dengan mengembangkan sistem pengelolaan secara terpadu;
diharapkan akan terwujud sistem pengelolaan wilayah pesisir yang
optimal, efisien, terkoordinasi, dan berkelanjutan.
Pengelolaan WP-3-K sebagai satu kesatuan wilayah
memberikan peluang banyak hal, khususnya keterpaduan
perencanaan serta perkembangan kawasan yang lebih cepat
didukung potensi masing-masing sumberdaya. Perpaduan
kewilayahan akan membuka peluang tumbuh dan berkembangnya
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi serta peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Provinsi Jawa Timur memiliki 446 Pulau-Pulau kecil yang
terpusat di wilayah Madura Kepulauan atau sekitar 0,44% jumlah
pulau di Indonesia yang mencapai 17.000 buah. Secara ekologi,
Pulau-Pulau kecil sangat rentan, sebagian belum didiami
penduduk, memiliki keanekaragaman hayati yang perlu dilindungi.
Wilayah pesisir Jawa Timur mempunyai peran sangat penting bagi
kesejahteraan masyarakat pedesaan pantai dan pembangunan
ekonomi wilayah secara keseluruhan. Wilayah ini mengandung
berbagai sumberdaya dan potensi ekonomi seperti aneka jenis
ikan, obyek wisata dan potensi geografis yang mendu¬kung jalur
lalulintas angkutan laut. Selain daripada itu wilayah perairan
pantai secara ekologis sangat kompleks dan rumit serta peka
terhadap berbagai macam gangguan alam dan gangguan oleh
manusia.
Guna mewujudkan sistem pengelolaan dan perencanaan
zonasi terpadu perlu landasan hukum tersendiri berupa Peraturan
Daerah yang mengacu Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Hal ini berguna untuk memberikan kepastian hukum kepada
pengguna atau pemanfaatan sumberdaya melalui pendekatan

93
sektoral yang menguntungkan instansi sektor dan dunia usaha
terkait,
Jawa Timur merupakan provinsi yang memiliki kawasan laut
hampir empat kali luas daratannya dengan garis pantai kurang
lebih 3.498 kilometer. memiliki kawasan pesisir dan laut yang luas
beserta kandungan kekayaan sumberdaya hayati laut melimpah,
seperti ikan, rumput laut, hutan mangrove, terumbu karang, dan
biota lainnya. Sumberdaya hayati laut ini merupakan sumber
pangan masa depan yang wajib dikembangkan dan dilestarikan
agar tetap menjadi penunjang utama bagi kesejahteraan
masyarakat.
Usaha peningkatan pendayagunaan sumberdaya hayati laut
berperan ganda; selain meningkatkan lapangan kerja dan
pendapatan masyarakat nelayan, penyediaan pangan khusus
protein hewani, dan dapat meningkatkan pendapatan negara.
Berbagai permasalahan dapat muncul oleh pemanfaatan pesisir
dan lautan yang mengabaikan prinsip-prinsip lingkungan. Laut
sering diperlakukan sebagai penampung sampah, limbah industri
dan limpasan bahan kimia pertanian. Eksploitasi WP-3-K kian
meluas, sehingga mempunyai dampak negatif terhadap
sumberdaya hayati laut.
Permasalahan yang dihadapi pengelolaan WP-3-K dewasa ini
adalah adanya pemanfaatan ganda, pemanfaatan yang tak
seimbang, pengaruh kegiatan manusia, dan pencemaran. Konsep
pemanfaatan ganda perlu memperhatikan keterpaduan dan
keserasian berbagai macam kegiatan, sisi lain batas kegiatan perlu
ditentukan secara terukur. Dengan cara demikian pertentangan
antar kegiatan dalam jangka panjang dapat dihindari atau
dikurangi. Salah satu contoh misalnya penggunaan wilayah pesisir
untuk pertanian, kehutanan, perikanan, alur pelayaran, rekreasi,
pemukiman, lokasi industri bahkan sebagai tempat pembuangan
sampah maupun air limbah. Pemanfaatan ganda dapat berjalan
untuk jangka waktu tertentu, namun demikian persaingan dan
pertentangan mulai timbul dengan berjalannya waktu,
pemanfaatan sumber daya yang melampaui daya dukung
lingkungan. Keadaan seperti ini dapat diatasi dengan teknologi
mutakhir, yang dibarengi dengan perencanaan zonasi yang tepat
dan akurat, sehingga pada gilirannya pemanfaatan lahan menjadi
lebih baik dan terukur.
Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir
Provinsi Jawa Timur menghendaki adanya keberlanjutan

94
(sustainability), mengingat wilayahnya terdapat beraneka ragam
sumberdaya yang memungkinkan pemanfaatan secara berganda.
Oleh karena itu pengelolaan harus secara terpadu dan
berkesinambungan (sustainable) karena memiliki nilai strategis
yakni potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang
kaya dan beragam. Besar serta beragamnya potensi tersedia
memberikan motivasi kepada para pemangku kepentingan
(stakeholders) untuk mengoptimalisasi secara rasional dan
bertanggung jawab dalam pemanfaatannya. Oleh karena itu perlu
ada kesatuan wawasan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
pesisir melalui perencanaan yang rasional dan terintegrasi antara
sektor dan pemangku kepentingan, diwujudkan dalam rencana
zonasi yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap
satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola
ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang
boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang
hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin. Serta pemberian
sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan dalam
pemanfaatannya.
Perubahan kebijakan nasional dalam bidang otonomi daerah
melalui penggantian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 berimplikasi pada
kewenangan dalam pengelolaan perairan. Kebijakan sebelumnya
menetapkan bahwa wilayah laut 1-4 mil atau sepertiga wilayah
pengelolaan provinsi adalah kewenangan kabupaten/kota.
Sedangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
mengamanatkan kewenangan pengelolaan sumber daya alam di
laut hingga sejauh 12 mil diukur dari garis pantai ke arah laut
lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan menjadi kewenangan
daerah provinsi. Hal ini menyebabkan daerah kabupaten/kota
tidak lagi memiliki kewenangan dalam mengelola perairan dan
Pulau-Pulau kecilnya.
Kegiatan pemanfaatan sumber daya pesisir di Provinsi Jawa
Timur dinaungi oleh Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor
6 Tahun 2012 tentang Pengelolaan dan Rencana Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Tahun 2012–2032.
Perubahan substansial terhadap peraturan perundangan
berimplikasi terhadap relevansi peraturan daerah tersebut.
Beberapa perubahan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
mengindikasikan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 6

95
Tahun 2012 tentang Pengelolaan dan Rencana Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tahun 2012-2032 sudah tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum sebagai
akibat dari perubahan kebijakan nasional dalam bidang otonomi
daerah, sehingga perlu diganti dalam sebuah peraturan yang baru.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Yang dimaksud “secara alami” adalah perubahan garis
pantai yang disebabkan oleh abrasi dan sedimentasi atau
akresi.
Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Asas berkelanjutan” adalah
pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini
tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “Asas keterpaduan” adalah:
a. Keterpaduan antara pertimbangan ekonomi dengan
pertimbangan ekologi;
b. Keterpaduan antara ekosistem darat dengan
ekosistem laut;
c. Keterpaduan antara ilmu pengetahuan dengan
manajemen;

96
d. Keterpaduan perencanaan sektor secara horizontal,
dengan mengintegrasikan kebijakan dan perencanaan
dari sektor dan instansi terkait;
e. Keterpaduan perencanaan secara vertikal, dengan
mengintegrasikan kebijakan dan perencanaan dari
level pemerintahan yang berbeda, seperti pusat,
provinsi dan kabupaten/kota;
f. Keterpaduan antar pemangku kepentingan dari
berbagai lapisan masyarakat;
g. Keterpaduan antar negara di wilayah pesisir, laut dan
Pulau-Pulau kecil yang bertetangga;
h. Keterpaduan perencanaan Tata Ruang dilakukan
secara partisipatif dan transparan, yang
mengakomodir kepentingan arus bawah.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “Asas berbasis masyarakat”
adalah proses pengelolaan sumberdaya pesisir dan Pulau-
Pulau kecil melalui desentralisasi pengelolaan
sumberdaya yang menjadi penopang masyarakat
setempat dan melalui pemberian suara yang efektif pada
masyarakat itu mengenai penggunaan sumberdaya
tersebut, dengan prinsip-prinsip: sukarela bukan
persyaratan atau keharusan; insentif, bukan sanksi;
penguatan, bukan birokrasi; proses, bukan substansi;
dan, penunjuk arah, bukan jalan spesifik.

Huruf d
Yang dimaksud dengan “Asas wilayah dan ekosistem”
adalah wilayah dan ekosistem merupakan dua pokok
yang menyatu (convergent), di mana secara yuridis
berlakunya Peraturan Daerah ini terbatas pada Wilayah
Daerah Provinsi Jawa Timur tetapi karena pencemaran
dan perusakan di suatu tempat akan langsung memiliki
dampak terhadap lokasi yang berdekatan maka sekalipun
bukan merupakan hak pengelolaan namun Daerah
memiliki hak untuk setidaknya mengetahui dan
mengawasi kegiatan di lokasi yang kemungkinan besar
akan berdampak pada Daerah.

Huruf e
Yang dimaksud dengan “Asas keseimbangan dan
berkelanjutan” adalah tiap kegiatan yang dijalankan
harus memperhatikan pemulihan fungsi ekosistem

97
sehingga pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya
mempertimbangkan kelestarian sumberdaya yang ada.

Huruf f
Yang dimaksud dengan “Asas Pemberdayaan masyarakat
pesisir” adalah kegiatan dijalankan bertujuan untuk
membangun kapasitas dan kemampuan masyarakat
melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan kegiatan
sehingga masyarakat memiliki akses yang adil dalam
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir.

Huruf g
Yang dimaksud dengan “Asas tanggunggugat dan
transparan” adalah mekanisme kegiatan ditetapkan
secara transparan, demokratis, dapat dipertanggung-
jawabkan, menjamin kesejahteraan masyarakat, serta
memenuhi kepastian hukum, dijalankan oleh Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota,
masyarakat, sektor swasta serta berbagai pihak lain yang
berkepentingan.

Huruf h
Yang dimaksud dengan “Asas pengakuan terhadap
kearifan lokal tradisional masyarakat lokal dalam
pengelolaan sumberdaya pesisir dan Pulau-Pulau kecil”
adalah penerimaan oleh pemerintah tentang kenyataan
adanya ketentuan-ketentuan memelihara lingkungan
alam sekitar oleh kelompok masyarakat yang telah
dijalani turun-temurun dan telah menunjukkan adanya
manfaat yang diterima masyarakat maupun lingkungan.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bencana alam skala besar”
adalah bencana nasional sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan berdasarkan besaran jumlah korban jiwa,
kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan

98
sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana,
dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “perubahan batas wilayah
daerah” berupa pemekaran wilayah atau
penggabungan wilayah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Ayat (3)
Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan pada ayat (2)
memungkinkan peninjauan kembali RZWP-3-K Daerah
dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima)
tahun, sedangkan yang dimaksud dengan “kurang dari 5
(lima) tahun” dalam ketentuan ini ialah peninjauan
kembali dan perubahan tersebut hanya dapat dilakukan 1
(kali) dalam kurun waktu kurang dari 5 (lima) tahun.

Perubahan kebijakan nasional dapat disebabkan oleh:


1. perubahan kebijakan nasional yang ditetapkan dalam
undang-undang dan/atau disepakati dalam Rapat
Terbatas Presiden;
2. perubahan kebijakan dalam pengembangan wilayah
laut dan pembangunan sektor-sektor terkait yang
berskala besar;
3. penemuan ilmiah yang penting; dan/atau
4. kegiatan pembangunan penting lainnya yang tidak
dapat ditampung dalam struktur ruang laut dan pola
ruang laut pada rencana tata ruang laut/rencana
zonasi kawasan laut dan mengakibatkan perlunya
dilakukan penyesuaian.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

99
Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
DLKr dan DLKp yang dimaksud merupakan wilayah kerja
pelabuhan yang melayani angkutan laut dan angkutan
penyeberangan.

Ayat (3)
WKOPP yang dimaksud meliputi wilayah kerja Pelauhan
Perikanan Nasional (PPN), Pelabuhan Perikanan Pantai
(PPP), dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Provinsi
Jawa Timur.

Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.

100
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “menjaga kelestariannya”
adalah tidak melakukan perubahan fungsi area
mangrove, lamun, dan/atau terumbu karang menjadi
wilayah pembangunan atau pengembangan
pelabuhan.

Huruf b
Ketentuan ini dimaksudkan agar ekosistem utama
yang ada di wilayah pesisir tetap terjaga sehingga
mewajibkan pemrakarsa yang melakukan
pembangunan dan/atau pengembangan pelabuhan
untuk merelokasi area mangrove, lamun, dan terumbu
karang ke lokasi terdekat, jika berdasarkan kajian
yang memadai bahwa pembangunan atau
pengembangan pelabuhan memang harus dilakukan
di area mangrove, lamun, atau terumbu karang sesuai
dengan luasan area mangrove, lamun, atau terumbu
karang yang digunakan.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “ekosistem utama pesisir”
adalah mangrove, lamun, dan terumbu karang.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

101
Huruf g
Cukup jelas.

Huruf h
Cukup jelas.

Huruf i
Area penangkapan ikan tradisional diperuntukkan
untuk perairan tertentu di Kabupaten Situbondo,
Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Tuban,
Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sumenep,
Kabupaten Gresik, dan Kabupaten Lamongan.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Yang dimaksud dengan Ikan pelagis (pelagic fish) adalah
ikan yang hidup di permukaan laut sampai kolom perairan
laut. Ikan pelagis biasanya membentuk gerombolan
(schooling) dan melakukan migrasi/ruaya sesuai dengan
daerah migrasinya. Kelompok ikan pelagis pada umumnya
dibedakan menjadi dua jenis yaitu: ikan pelagis kecil dan
ikan pelagis besar. Contoh Ikan pelagis kecil adalah Ikan
Selar (Selaroides leptolepis) dan Sunglir (Elagastis
bipinnulatus), Klupeid Teri (Stolephorus indicus), Japuh
(Dussumieria spp), Tembang (Sadinella fimbriata), Lemuru
(Sardinella Longiceps) dan Siro (Amblygaster sirm), dan
kelompok Scrombroid seperti Kembung (Rastrellinger spp)

102
dan lain-lain. Kelompok ikan pelagis kecil ditangkap
menggunakan alat penangkap berupa jaring, seperti jaring
insang (gillnet), jaring lingkar, pukat cincin (purse seine),
payang, dan bagan. Contoh Ikan pelagis besar meliputi
adalah kelompok Tuna (Thunidae) dan Cakalang
(Katsuwonus pelamis), kelompok Marlin (Makaira sp),
kelompok Tongkol (Euthynnus spp) dan Tenggiri
(Scomberomorus spp), dan cucut ditangkap dengan cara
dipancing menggunakan pancing trolling atau tonda (pole
and line), rawai (longline).
Yang dimaksud dengan Ikan demersal adalah jenis ikan
yang habitatnya berada di bagian dasar perairan, alat
tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan demersal
adalah trawl dasar (bottom trawl), jaring insang dasar
(bottom gillnet), rawai dasar (bottom long line), bubu dan
lain sebagainya. Contoh Ikan demersal adalah: kakap
merah/bambangan (Lutjanus spp), peperek (Leiognatus
spp), tiga waja (Epinephelus spp), bawal (Pampus spp) dan
lain-lain.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

103
Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Ayat (1)
Huruf a
Zona inti merupakan bagian dari Kawasan Konservasi
di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
dilindungi, yang ditujukan untuk perlindungan habitat
dan populasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil serta pemanfaatannya hanya terbatas untuk
penelitian

Huruf b
Zona pemanfaatan terbatas merupakan bagian dari
zona konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
pemanfaatannya hanya boleh dilakukan untuk
budidaya pesisir, ekowisata, dan perikanan tradisional.

Ayat (2)
Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor Per.02/MEN/2009 tentang Tata Cara Penetapan
Kawasan Konservasi Perairan, tahapan pengadaan
kawasan konservasi meliputi: usulan inisiatif calon
kawasan konservasi perairan dengan persyaratan tertentu
diajukan kepada Menteri atau Gubernur, identifikasi dan
inventarisasi calon kawasan konservasi perairan,
pencadangan kawasan dan penetapan kawasan. Kawasan
lindung lainnya di WP-3-K yang ditetapkan sebagai
kawasan konservasi setelah Peraturan Daerah ini
ditetapkan, diakui sebagai kawasan konservasi dan diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.
Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

104
Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Cukup jelas.

105
Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Masyarakat Lokal” adalah
kelompok masyarakat yang menjalankan tata kehidupan
sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima
sebagai nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak
sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil tertentu dan yang melakukan kegiatan
pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan
perairan Pulau-Pulau kecil untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari yang menghasilkan produksi setara
dengan rata-rata upah minimum provinsi yang berlaku di
wilayah Kabupaten/Kota setempat.

Yang dimaksud dengan “Masyarakat Tradisional” adalah


masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak
tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan
ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu
yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan
kaidah hukum laut internasional dan yang melakukan
kegiatan pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan
pesisir dan perairan Pulau-Pulau kecil untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari yang menghasilkan

106
produksi setara dengan rata-rata upah minimum provinsi
yang berlaku di wilayah Kabupaten/Kota setempat.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 60
Cukup jelas.

Pasal 61
Cukup jelas.

Pasal 62
Cukup jelas.

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.

Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67
Cukup jelas.

Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70
Cukup jelas.

Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup jelas.

107
Pasal 73
Cukup jelas.

Pasal 74
Cukup jelas.

Pasal 75
Cukup jelas.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Cukup jelas.

Pasal 78
Cukup jelas.

Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Cukup jelas.

Pasal 81
Cukup jelas.

Pasal 82
Cukup jelas.

Pasal 83
Cukup jelas.

Pasal 84
Cukup jelas.

Pasal 85
Cukup jelas.

Pasal 86
Cukup jelas.

Pasal 87
Cukup jelas.

108
Pasal 88
Cukup jelas.

Pasal 89
Cukup jelas.

Pasal 90
Cukup jelas.

Pasal 91
Cukup jelas.

Pasal 92
Cukup jelas.

Pasal 93
Cukup jelas.

Pasal 94
Cukup jelas.

Pasal 95
Cukup jelas.

Pasal 96
Cukup jelas.

Pasal 97
Cukup jelas.

Pasal 98
Cukup jelas.

Pasal 99
Cukup jelas.

Pasal 100
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR …

109

Anda mungkin juga menyukai