Bab II Gerd Refrakter

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 9

BAB II

GERD REFRAKTER

2.1. Definisi
Definisi GERD menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit
Refluks Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013 adalah suatu gangguan berupa
isi lambung mengalami refluks berulang ke dalam esofagus, menyebabkan gejala
dan/atau komplikasi yang mengganggu.2 GERD adalah suatu keadaan patologis
akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala
akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran napas.5 Sedangkan menurut
American College of Gastroenterology, GERD adalah kondisi yang
mengakibatkan asam dari lambung kembali ke atas menuju esofagus. Jadi, GERD
adalah suatu keadaan patologis yang mengakibatkan cairan asam lambung
mengalami refluks sehingga masuk ke dalam esofagus dan menyebabkan gejala di
esofagus maupun di ektraesofagus. GERD refrakter menurut Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013
adalah GERD yang tidak berespon terhadap terapi dengan penghambat pompa
proton (Proton Pump Inhibitor/PPI) dua kali sehari selama 4-8 minggu. GERD
refrakter harus menjalani endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA) untuk
mengeksklusi diagnosis penyakit ulkus peptik atau kanker dan mengidentifikasi
adanya esofagitis.2,6

2.2. Epidemiologi
Prevalensi GERD di Asia, termasuk Indonesia, relatif rendah dibanding
negara Barat. Di Indonesia, tercatat sebanyak 22,8% didapatkan kasus esogifagitis
dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dispepsi di
Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto
Mangunkusum Jakarta, sedangkan di Amerika, hampir 7% populasi mempunyai
keluhan heartburn dan atau regurgitasi, serta 20%-40% diantaranya diperkirakan
menderita GERD.

3
4

Prevalensi esofagitis di negara barat berkisar antara 10%-20%,


sedangkan di Asia hanya 3%-5%, terkecuali Jepang dan Taiwan (13-15%).5 Tidak
ada predileksi gender pada GERD, laki-laki dan perempuan mempunyai risiko
yang sama, namun insidens esofagitis dan esofagus Barret pada laki-laki lebih
tinggi (2-3:1 dan 10:1). GERD dapat terjadi di segala usia, namun prevalensinya
meningkat pada usia diatas 40 tahun.7
Indonesia sampai saat ini belum mempunyai data epidemiologi yang
lengkap mengenai kondisi ini. Laporan yang ada dari penelitian Lelosutan SAR
dkk di FKUI/RSCM-Jakarta menunjukkan bahwa dari 127 subyek penelitian yang
menjalani endoskopi SCBA, 22,8% (30%) subyek di antaranya menderita
esofagitis.8 Penelitian lain, dari Syam AF dkk, juga dari RSCM/FKUI-Jakarta,
menunjukkan bahwa dari 1718 pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi
SCBA atas indikasi dispepsia selama 5 tahun (1997-2002) menunjukkan adanya
peningkatan prevalensi esofagitis, dari 5,7% pada tahun 1997 menjadi 25,18%
pada tahun 2002 (rata-rata 13,13% per tahun).9

2.3. Faktor Risiko


Beberapa faktor risiko untuk kejadian GERD telah dievaluasi pada
populasi Asia-Pasifik, beberapa di antaranya termasuk usia lanjut, jenis kelamin
pria, ras, riwayat keluarga, status ekonomi tinggi, peningkatan indeks massa
tubuh, dan merokok. Bukti terkuat untuk keterkaitan faktor risiko tertentu dengan
kejadian GERD pada populasi Asia-Pasifik.
Beberapa faktor risiko GERD adalah:2,6,10
1. Obat-obatan, seperti teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat, calcium-
channel blocker.
2. Makanan, seperti cokelat, makanan berlemak, kopi, alkohol, dan rokok.
3. Hormon, umumnya terjadi pada wanita hamil dan menopause. Pada wanita
hamil, menurunnya tekanan LES terjadi akibat peningkatan kadar progesteron.
Sedangkan pada wanita menopause, menurunnya tekanan LES terjadi akibat
terapi hormon estrogen.
5

4. Struktural, umumnya berkaitan dengan hiatus hernia. Selain hiatus hernia,


panjang LES yang < 3 cm juga memiliki pengaruh terhadap terjadinya GERD.
5. Indeks Massa Tubuh (IMT); semakin tinggi nilai IMT, maka risiko terjadinya
GERD juga semakin tinggi.

2.4. Etiologi dan Patogenesis


GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan
defensif dari sistem pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung. Yang
termasuk faktor defensif sistem pertahanan esofagus adalah LES, mekanisme
bersihan esofagus, dan epitel esofagus.2,8,9
LES merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan
esofagus dengan lambung. Pada keadaan normal, tekanan LES akan menurun saat
menelan sehingga terjadi aliran antegrade dari esofagus ke lambung. Pada GERD,
fungsi LES terganggu dan menyebabkan terjadinya aliran retrograde dari lambung
ke esofagus. Terganggunya fungsi LES pada GERD disebabkan oleh turunnya
tekanan LES akibat penggunaan obat-obatan, makanan, faktor hormonal, atau
kelainan struktural.
Mekanisme bersihan esofagus merupakan kemampuan esofagus
membersihkan dirinya dari bahan refluksat lambung; termasuk faktor gravitasi,
gaya peristaltik esofagus, bersihan saliva, dan bikarbonat dalam saliva. Pada
GERD, mekanisme bersihan esofagus terganggu sehingga bahan refluksat
lambung akan kontak ke dalam esofagus; makin lama kontak antara bahan
refluksat lambung dan esofagus, maka risiko esofagitis akan makin tinggi. Selain
itu, refluks malam hari pun akan meningkatkan risiko esofagitis lebih besar. Hal
ini karena tidak adanya gaya gravitasi saat berbaring.2,8,9
Mekanisme ketahanan epitel esofagus terdiri dari membran sel,
intercellular junction yang membatasi difusi ion H+ ke dalam jaringan esofagus,
aliran darah esofagus yang menyuplai nutrien-oksigen dan bikarbonat serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2, sel esofagus mempunyai kemampuan
mentransport ion H+ dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat
ekstraseluler.
6

Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah peningkatan asam


lambung, dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet, distensi lambung dan
pengosongan lambung yang terlambat, tekanan intragastrik dan intraabdomen
yang meningkat. Beberapa keadaan yang mempengaruhi tekanan intraabdomen
antara lain hamil, obesitas, dan pakaian terlalu ketat.2,8,9

Gambar 2.1. Patogenesis terjadinya GERD


(Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. 317-321)

Pada umumnya berlangsung kurang dari 3 menit, terjadi setelah makan,


dan menyebabkan beberapa gejala atau tanpa gejala. Hal ini disebabkan oleh
relaksasi sementara pada sfingter esofagus bawah atau inadekuatnya adaptasi
tonus sfingter terhadap perubahan tekanan abdominal.2,11
Gastroesophageal reflux terjadi secara pasif karena “katup” antara
lambung dan esofagus tidak berfungsi baik, baik karena hipotonia sfingter
esofagus bawah, maupun karena posisi sambungan esofagus dan kardia tidak
sebagaimana lazimnya yang berfungsi sebagai katup. Kemungkinan terjadinya
refluks juga dipermudah oleh memanjangnya waktu pengosongan lambung.
Jika sfingter esophagus bagian bawah tidak berfungsi baik, dapat timbul
refluks yang hebat dengan gejala yang menonjol. Meskipun dilaporkan bahwa
tekanan intraabdominal yang meninggi dapat menyebabkan refluks, tetapi
7

mekanisme yang lebih penting adalah peran tonus sfingter yang berkurang, baik
dalam keadaan akut maupun menahun.6
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) terjadi jika isi lambung
refluks ke esofafus atau orofaring dan menimbulkan gejala. Petogenesis GERD ini
multifaktorial dan kompleks, melibatkan frekuensi refluks, asiditas lambung,
pengosongan lambung, mekanisme klirens esofagus, barier mukosa esofagus,
hipersensitivitas visceral, dan respon jalan napas.11
Refluks paling sering terjadi saat relaksasi sementara dari sfingter
esofagus bawah tidak bersamaan dengan menelan, yang memungkinkan isi
lambung mengalir ke esofagus. Proporsi minor episode refluks terjadi ketika
tekanan sfingter esofagus bawah gagal meningkat saat peningkatan mendadak
tekanan intraabdominal atau ketika tekanan sfingter esofagus bawah saat istirahat
berkurang secara kronis. Perubahan pada beberapa mekanisme proteksi
memungkinkan refluks fisiologis menjadi Gastroesophageal Reflux Disease:
klirens dan pertahanan refluks yang tidak memadai, lambatnya pengosongan
lambung, kelainan pada pemulihan dan perbaikan epitel, dan menurunnya reflex
protektif neural pada saluran aerodigestif.2
Kandungan isi lambung yang menambah potensi daya rusak bahan
refluksat di antaranya adalah: asam lambung, pepsin, garam empedu, dan enzim
pankreas. Dari semua itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah
asam lambung. Beberapa hal yang berperan dalam patogenesis GERD, di
antaranya adalah: peranan infeksi Helicobacter pylori, peranan kebiasaan/gaya
hidup, peranan motilitas, dan hipersensitivitas viseral.
8

Gambar 2.2. Etiopatogenesis terjadinya GERD


(Sumber: Revisi Konsensus Nasional Penatalaksanaan GERD di Indonesia.
Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia; 2013)

a. Peranan infeksi Helicobacter pylori (H. pylori)


Peranan infeksi H. pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan
kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian, ada hubungan terbalik
antara infeksi H. pylori dengan strain virulen (Cag A positif) dengan kejadian
esofagitis, esofagus Barrett dan adenokarsinoma esofagus. H. pylori tidak
menyebabkan atau mencegah penyakit refluks dan eradikasi dari H. pylori
tidak meningkatkan risiko terjadinya GERD.
b. Peranan gaya hidup
Peranan alkohol, diet serta faktor psikis tidak bermakna dalam
patogenesis GERD, namun demikian khusus untuk populasi Asia-Pasifik ada
kemungkinan alkohol mempunyai peranan lebih penting sebagaimana
ditunjukkan dalam studi epidemiologi terkini dari Jepang.14,15 Beberapa studi
observasional telah menunjukkan bahwa pengaruh rokok dan berat badan
berlebih sebagai faktor risiko terjadinya GERD. Beberapa obat-obatan seperti
bronkodilator juga dapat mempengaruhi GERD.
9

c. Peranan motilitas
Pada pasien GERD, mekanisme predominan adalah transient lower
esophageal spinchter relaxation (TLESR). Beberapa mekanisme lain yang
berperan dalam patogenesis GERD antara lain menurunnya bersihan esofagus,
disfungsi sfingter esofagus, dan pengosongan lambung yang lambat.11,12
d. Hipersensitivitas viseral
Akhir-akhir ini diketahui peranan refluks non-asam/gas dalam patogenesis
GERD yang didasarkan atas hipersensitivitas viseral. Sebagaimana telah
dijelaskan di atas, hipersensitivitas viseral memodulasi persepsi neural sentral
dan perifer terhadap rangsangan regangan maupun zat non-asam dari
lambung.11,12

2.5. Manifestasi Klinis


a. Gejala Atipikal Pada Esofagus
Heartburn atau rasa terbakar ada dada adalah gejala khas GERD yang
paling umum. Hal ini dirasakan sebagai sensasi retrosternal dari rasa terbakar
atau ketidaknyamanan yang biasanya terjadi setelah makan atau saat berbaring
terlentang atau membungkuk. Regurgitasi adalah kembalinya isi lambung dan /
atau esofagus ke dalam pharynx. Regurgitasi dapat menyebabkan komplikasi
pernapasan jika isi lambung masuk ke traktus trakeobronkial. Disfagia terjadi
pada sekitar sepertiga pasien. Penderita disfagia merasakan sensasi bahwa
makanan terjebak, terutama di daerah retrosternal. Disfagia dapat menjadi
gejala lanjutan dan dapat disebabkan oleh gangguan motilitas esofagus primer,
kelainan motilitas akibat esofagitis, atau pembentukan striktur.6
b. Gejala Atipikal Ekstraesofagus
Batuk dan / atau mengi adalah gejala pernafasan akibat aspirasi isi
lambung ke traktus trakeobronkial atau dari refleks vagal yang menghasilkan
bronkokonstriksi. Sekitar 50% pasien yang menderita asidosis akibat GERD
tidak mengalami heartburn. Suara serak akibat iritasi pita suara oleh refluks
lambung sering dialami oleh pasien di pagi hari. Reflux adalah penyebab
paling umum dari nyeri dada noncardiac, terhitung sekitar 50% kasus. Pasien
10

yang datang ke gawat darurat biasanya mengeluh dengan rasa sakit yang
menyerupai infark miokard. Refluks harus dikesampingkan (menggunakan
manometri esofagus dan pengujian pH 24 jam jika perlu) setelah penyebab
jantung untuk nyeri dada telah dikecualikan. Sebagai alternatif, percobaan
terapeutik penghambat pompa proton dosis tinggi (PPI) dapat dicoba. Gejala
atipikal tambahan dari refluks abnormal meliputi kerusakan paru-paru
(misalnya pneumonia, asma, fibrosis paru idiopatik), pita suara (misalnya
radang tenggorokan, kanker), telinga (misalnya otitis media), dan gigi
(misalnya peluruhan email).6

2.6. Komplikasi
Refluks esofagus dapat menimbulkan komplikasi esofagus maupun
ekstra esofagus. Salah satunya adalah Barrett's esophagus didefinisikan sebagai
adanya epitel kolumnar yang dicurigai pada pemeriksaan endoskopi dan terbukti
dengan histologi yang membutuhkan adanya metaplasia intestinal. Konsensus
Asia Pasifik untuk GERD menekankan pentingnya konfirmasi histologis yang
menunjukkan epitel kolumnar dengan metaplasia intestinal dan tidak hanya
berdasarkan diagnosis endoskopi, juga digarisbawahi bahwa biopsi yang secara
akurat merefleksikan perubahan Barrett harus dilakukan setelah GERD diterapi
secara adekuat. Untuk kondisi-kondisi di mana ada kecurigaan metaplasia
esofagus dari pemeriksaan endoskopi, namun masih menungggu konfirmasi
histopatologi, maka dapat digunakan istilah kecurigaan endoskopi ada perubahan
epitel toraks, sedangkan komplikasi ekstra esofagus: asma, bronkospasme, batuk
kronik atau suara serak, masalah gigi.2,6,13

2.7. Prognosis
Sebagian besar pasien dengan GERD akan membaik dengan pengobatan,
namun kekambuhan mungkin akan muncul setelah terapi dan memerlukan terapi
medis yang lebih lama. Apabila kasus GERD ini disertai komplikasi struktural
biasanya memerlukan terapi pembedahan. Prognosis untuk pembedahan biasanya
11

baik. Meskipun begitu, mortalitas dan morbiditas adalah tinggi pada pasien
pembedahan dengan masalah medis yang kompleks.
Pengobatan dengan penghambat sekresi asam lambung dapat mengurangi
keluhan, derajat esofagitis dan perjalanan penyakit. Risiko dari striktur menjadi
Barrett's esophagus atau adenokarsinoma yaitu 60% dalam 2-20 tahun pada
kasus.13

Anda mungkin juga menyukai