Mutu Pelayanan

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 9

1

Mutu Pelayanan Kesehatan &


Service Recovery
Oleh:
Agus Hendroyono

Zeithmalh, dkk (1990: 23) menyatakan bahwa dalam menilai kualitas jasa/
pelayanan, terdapat sepuluh ukuran kualitas jasa/ pelayanan, yaitu :
1) Tangible (nyata/berwujud)
2) Reliability (keandalan)
3) Responsiveness (Cepat tanggap)
4) Competence (kompetensi)
5) Access (kemudahan)
6) Courtesy (keramahan)
7) Communication (komunikasi)
8) Credibility (kepercayaan)
9) Security (keamanan)
10) Understanding the Customer (Pemahaman pelanggan)

Namun, dalam perkembangan selanjutnya dalam penelitian dirasakan adanya


dimensi mutu pelayanan yang saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya
yang dikaitkan dengan kepuasan pelanggan. Selanjutnya oleh Parasuraman et al.
(1990) dimensi tersebut difokuskan menjadi 5 dimensi (ukuran) kualitas jasa/
pelayanan, yaitu :
1) Tangible (berwujud); meliputi penampilan fisik dari fasilitas, peralatan,
karyawan dan alat-alat komunikasi.
2) Realibility (keandalan); yakni kemampuan untuk melaksanakan jasa yang telah
dijanjikan secara konsisten dan dapat diandalkan (akurat).
3) Responsiveness (cepat tanggap); yaitu kemauan untuk membantu pelanggan
(konsumen) dan menyediakan jasa/ pelayanan yang cepat dan tepat.
4) Assurance (kepastian); mencakup pengetahuan dan keramah-tamahan para
karyawan dan kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan
keyakinan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas
dari bahaya, risiko atau keragu-raguan.
5) Empaty (empati); meliputi pemahaman pemberian perhatian secara individual
kepada pelanggan, kemudahan dalam melakukan komunikasi yang baik, dan
memahami kebutuhan pelanggan.

Tjiptono (2000:54) menyebutkan bahwa kualitas memiliki hubungan yang erat


dengan kepuasan pelanggan. Kualitas memberikan suatu dorongan kepada
pelanggan untuk menjalin ikatan hubungan yang kuat dengan
perusahaan.Dalam jangka panjang, ikatan seperti ini memungkinkan perusahaan
untuk memahami dengan seksama harapan pelanggan serta kebutuhan mereka.
Dengan demikian perusahaan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan
Halaman 1
dengan cara memaksimumkan pengalaman pelanggan yang menyenangkan
dan meminimumkan atau meniadakan pengalaman pelanggan yang kurang
menyenangkan. Pada gilirannya kepuasan pelanggan dapat menciptakan
kesetiaan atau loyalitas pelanggan kepada perusahaan yang memberikan
kualitas yang memuaskan.

Perusahaan juga dapat meningkatkan pangsa pasarnya memenuhi pemenuhan


kualitas yang bersifat customer-driven. Hal ini akan memberikan keunggulan harga
dan customer value. Customer value merupakan kombinasi dari manfaat dan
pengorbanan yang terjadi apabila pelanggan menggunakan suatu barang atau
jasa guna memenuhi kebutuhan tertentu. Bila kualitas yang dihasilkan superior dan
pangsa pasar yang dimiliki besar, maka profitabilitasnya terjamin. Jadi, ada kaitan
yang erat antara kualitas dan profitabilitas.

a. Pemasaran Jasa

Dalam suatu penawaran perusahaan di pasaran, biasanya disertai beberapa


penawaran jasa dimana dalam penawaran tersebut komponen jasa bisa
merupakan komponen kecil atau sebaliknya. Menurut Kotler (2000: 429)
membedakan lima kategori dalam penawaran seperti yang disebutkan di atas,
yaitu :
1) Barang berwujud murni (a pure tangible good); disini penawaran utamanya
terdiri dari barang berwujud, seperti garam, pasta gigi atau sabun. Tidak ada
jasa yang menyertai produk ini.
2) Barang yang berwujud yang disertai jasa ( a tangible good with
accompanying services); dimana penawaran terdiri dari barang berwujud
disertai dengan satu atau lebih jasa untuk mempertinggi daya tarik
pelanggan (konsumen), seperti seorang produsen mobil tidak hanya menjual
mobil tetapi juga memberikan jasa servis mobil tersebut.
3) Campuran, penawaran terdiri dari barang dan jasa dengan proporsi yang
sama. Contoh: seseorang datang ke restoran tidak hanya untuk
mendapatkan makanan yang dan pelayanannya
4) Jasa utama yang disertai barang dan jasa tambahan (a major service with
accompanying minor goods and services); dimana penawaran terdiri dari
jasa utama dengan jasa tambahan dan atau barang pelengkap, misalnya
penumpang pesawat terbang membeli jasa transportasi, mereka sampai ke
tujuan tanpa sesuatu hal yang berwujud namun dalam perjalanan mereka
mendapatkan barang berwujud seperti makanan dan minuman.
5) Jasa murni (a pure service); dimana penawaran hanya terdiri dari jasa,
misalnya jasa penitipan anak, pendidikan.

Di dalam penawaran jasa, perusahaan harus memeriksa secara mendalam


terhadap masing- masing jasa yang dihasilkannya dibandingkan dengan tawaran
para pesaing dan melaksanakannya sesuai dengan kualitas yang dituntut oleh
pasar sasaran. Semakin banyak jasa yang dapat ditawarkan sebagai komoditi
khusus semakin ketat pula pengawasan yang harus dilakukan perusahaan terhadap
tingkatan, waktu, dan komposisi permintaan atas jasa mereka.

Halaman 2
3. Kepuasan Pelanggan (konsumen)

Secara umum pengertian kepuasan konsumen atau ketidakpuasan konsumen


merupakan perbedaan antara harapan (expectations) dan kinerja yang dirasakan
(perceived performance). Sehingga dapat dikatakan bahwa kepuasan konsumen
berarti kinerja suatu barang/jasa sekurang-kurangnya sama dengan yang
diharapkan. Kotler (2000: 36) mengemukakan bahwa tingkat kepuasan adalah:
“Satisfaction is a person’s feelings of pleasure or disapointment resulting from
comparing a product’s percieved performance (or outcome) in relation to his
or her expectations.”

Artinya, kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul
setelah membandingkan antara persepsi/kesannya terhadap kinerja (atau hasil)
suatu produk dan harapan-harapannya. Kepuasan seorang pembeli (konsumen)
setelah melakukan pembelian tergantung pada kesesuaian antara prestasi dari
produk yang dibeli dengan harapan dari pembelian tersebut.

Lupiyoadi (2001:158) menyatakan bahwa dalam menentukan tingkat kepuasan,


terdapat lima faktor utama yang harus diperhatikan oleh perusahaan, yaitu:
a. Kualitas produk; Pelanggan akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka
menunjukkan bahwa produk yang mereka gunakan berkualitas.
b. Kualitas pelayanan; Terutama untuk industri jasa, pelanggan akan merasa puas
bila mereka mendapatkan pelayanan yang baik atau yang sesuai dengan yang
diharapkan.
c. Emosional; Pelanggan akan merasa bangga dan mendapatkan keyakinan
bahwa orang lain akan kagum terhadap dia bila menggunakan produk dengan
merek tertentu yang cenderung mempunyai tingkat kepuasan lebih tinggi.
Kepuasan yang diperoleh bukan karena kualitas dari produk tetapi nilai sosial
atau self esteem yang membuat pelanggan menjadi puas terhadap merek
tertentu.
d. Harga; Produk yang mempunyai kualitas sama tetapi menetapkan harga yang
relatif murah akan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada pelanggannya.
e. Biaya; Pelanggan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu
membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk atau jasa cenderung puas
terhadap produk atau jasa itu.

Perusahaan jasa harus dapat mengetengahkan secara konsisten jasa yang


berkualitas lebih tinggi daripada para pesaingnya. Pelanggan (konsumen) memilih
penyedia jasa dengan membandingkan pelayanan yang dirasakan (perceived
services) dengan yang diharapkan (expected services). Jika pelayanan yang
dirasakan berada dibawah yang diharapkan, maka timbul suatu ketidak puasaan
pelanggan, rasa kepercayaan pelanggan terhadap penyedia jasa menjadi
berkurang (hilang), pendapatan perusahaan menurun dan akhirnya
membahayakan kelangsungan hidup usahanya. Sebaliknya jika pelayanan yang
dirasakan sama atau lebih besar dari yang diharapkan, maka pelanggan merasa
puas. Mereka akan menggunakan kembali jasa tersebut dan memberitahukan
kepada yang lain, sehingga menjadi alat promosi yang efektif, dan kelangsungan
hidup perusahaan menjadi lebih terjamin. Oleh karena itu penyedia jasa harus
Halaman 3
dapat mengidentifikasikan keinginan konsumen dalam hal kualitas pelayanan
secara umum maupun khusus.

Parasuraman, Zeithmal dan Berry (Walker et.al, 1992: 308–311) mengemukakan


bahwa perbedaan (kesenjangan) antara jasa pelayanan yang dirasakan dengan
yang diharapkan terjadi karena adanya :

1) Kesenjangan antara harapan konsumen dengan pandangan manajemen


(Gap between the customer’s expectations and the manajemen perceptions)

Pihak manajemen tidak selalu memiliki pemahaman yang tepat tentang apa
yang diinginkan oleh para pelanggan atau bagaimana penilaian pelanggan
terhadap usaha pelayanan yang diberikan oleh perusahaan. Sebagai contoh :
manajemen menganggap bahwa pelanggan menilai mutu pelayanan rumah
sakit dari kualitas (mutu) makanan yang diberikan, tetapi sebenarnya yang
diharapkan oleh pelanggan adalah cepat tanggap dan keramahan dari
tenaga medis. Oleh karena itu manajemen perlu mengumpulkan informasi untuk
menentukan atribut-atribut pelayanan apa yang dianggap penting oleh
pelanggan. Parasuraman et al (1990) dalam penelitiannya menyatakan ada
tiga faktor yang dapat mempengaruhi gap satu ini, yaitu:
a. Manajer sebagai pengambil keputusan kurang mempergunakan atau
bahkan tidak menggunakan hasil penelitian pasar terhadap produk yang
ditawarkannya.
b. Tidak adanya komunikasi yang efektif antara karyawan yang langsung
berhadapan dengan konsumen dengan pihak manajer sebagai penentu
kebijaksanaan.
c. Terlalu banyak tingkatan birokrasi yang ada antara karyawan yang langsung
berhadapan dengan konsumen dengan manajer sebagai penentu
kebijaksanaan.

2) Kesenjangan antara pandangan manajemen dengan spesifikasi kualitas


pelayanan
(Gap between management perceptions and service quality specification)
Manajemen mungkin tidak membuat standar kualitas yang jelas, atau standar
kualitas sudah jelas tetapi tidak realistik, atau standar kualitas sudah jelas dan
realistik namun manjemen tidak berusaha untuk melaksanakan standar kualitas
tersebut. Hal ini akan mengakibatkan karyawan tidak memahami tentang
kebijakan perusahaan dan ketidak percayaan terhadap sikap manajemen,
yang selanjutnya menurunkan prestasi kerja karyawan. Contoh : Adanya
keinginan manajemen untuk memberikan jawaban yang cepat terhadap
telepon yang masuk, namun tidak mempersiapkan operator telepon dalam
jumlah yang cukup; adanya kebijakan – kebijakan yang tidak jelas,
dikomunikasikan dengan buruk kepada karyawan. Gap ini dapat terjadi karena:
a. Tidak adanya atau kurangnya komitmen dari manajer bahwa kualitas
pelayanan merupakan kunci dari strategi mencapai tujuan.
b. Ketidakyakinan manajer bahwa harapan pelanggan tersebut dapat
dipenuhi
c. Kekurangan sumberdaya, baik peralatan maupun manusianya

Halaman 4
Perusahaan dalam menetapkan standar tidak memperkirakan apa yang
sekiranya menjadi standar konsumen terhadap jasa tersebut.

3) Kesenjangan antara penyajian pelayanan dan komunikasi eksternal (Gap


between service quality specifications and service delivery)
Standar-standar yang tinggi harus didukung oleh sumber-sumber daya, program-
program dan imbalan yang diperlukan untuk mendorong karyawaan dalam
memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan. Banyak faktor yang
mempengaruhi pemberian pelayanan, seperti ketrampilan dan kompetensi
karyawan, moral karyawan, peralataan yang digunakan, pemberian
penghargaan. Gap ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Karyawan tidak mengerti apa yang diharapkan oleh manajer atau atasan
mereka dari pelayanan yang mereka berikan serta bagaimana cara
memenuhi harapan tersebut.
b. Adanya standar yang saling bertentangan satu dengan lainnya.
c. Ketidakcocokan antara ketrampilan atau keahlian karyawan dengan
pekerjaan/tugas yang diembannya.
d. Ketidaksesuaian antara peralatan yang disediakan dengan pekerjaan.
e. Ketidakjelasan dari sistem penilaian pekerjaan serta sistem bonus.
f. Ketidakmampuan karyawan untuk fleksibel terhadap situasi yang ada (rule
by the book)
Manajer dan karyawan tidak mampu bekerja sebagai suatu tim yang solid.

4) Kesenjangan antara penyajian pelayanan dan komuniksi eksternal (Gap


between service delivery and external communications)
Harapan pelanggan dipengaruhi oleh janji-janji yang disampaikan penyedia
jasa melalui komunikasi eksternal seperti para wiraniaga, brosur- brosur, iklan, dan
lain-lain. Hasil pelayanan yang baik dapat mengecewakan pelanggan jika
komunikasi pemasaran perusahaan menyebabkan mereka memiliki harapan
yang terlalu tinggi sehingga tidak tidak realistis lagi. Contoh brosur hotel
memperlihatkan ruangan yang indah dan kenyataannya pada saat tamu
datang ke hotel tersebut, mereka menemukan ruangan yang sederhana. Gap
ini terjadi karena beberapa faktor, antara lain:
a. Tidak jalannya hubungan antar departemen, yakni antara bagian periklanan
dengan bagian pelayanan, antara sales dengan pelayanan, antara bagian
SDM, pemasaran dan pelayanan.
b. Memberikan janji yang terlalu berlebihan.

5) Kesenjangan antara pelayanan yang dirasakan dengan pelayanan yang


diharapkan (Gap between perceived service and expected service)
Perbedaan ini terjadi jika pihak manajemen gagal menutup salah satu atau lebih
dari empat kesenjangan tersebut di atas. Perbedaan inilah yang menimbulkan
rasa ketidak puasan pelanggan.

Dari faktor-faktor yang telah diuraikan di atas, selanjutnya Zeithaml, Parasuraman


dan Berry (1988:36) membuat visualisasi tentang Konsep Model Kualitas
Pelayanan (Conceptual Model of Service Quality – The Gap Analysis Model)
sebagaimana terlihat pada gambar 1.

Halaman 5
Gambar 1.
Conceptual Model of Service Quality – The Gap Analysis Model

Word of Mouth Personal Needs Past Experience


Communication

Expected Service

Gap 5

Perceived Service

Consumer

Marketer Service delivery Gap 4 External


Comunication to
Consumers
Gap 3

Translation of Perception
Gap 1 into Service Quality Specs.

Gap 2

Management Perceptions of
Consumer Expectaion

Sumber: Parasuraman, Zitham dan Berry, 1988

4. Service Recovery

Armistead et al., (1995:5) dalam Lewis (2001) mendefinisikan service recovery


merupakan tindakan spesifik yang dilakukan untuk memastikan bahwa pelanggan
mendapatkan tingkat pelayanan yang pantas setelah terjadi masalah-masalah
dalam pelayanan secara normal.

Zemke dan Bell (1990:43) dalam Lewis (2001) menyebutkan bahwa service recovery
merupakan suatu hasil pemikiran, rencana, dan proses untuk menebus kekecewaan
pelanggan menjadi puas terhadap organisasi setelah pelayanan yang diberikan
mengalami masalah (kegagalan) .

Dari berbagai definisi tersebut di atas dapat diambil beberapa key-term yang
menjadi perhatian dalam melakukan service recovery, yaitu service recovery
merupakan tindakan, pemikiran, rencana, dan proses untuk memperbaiki
pelayanan bila terjadi kesalahan atau kekecewaan pelanggan dengan menebus
kesalahan atau kekecewaan, sehingga pelanggan menjadi puas.

Halaman 6
Service recovery bukan hanya sekedar penanganan terhadap keluhan dan
interaksi antara penyedia layanan dan pelanggan. Sebuah sistem service recovery
yang baik juga mendeteksi dan memecahkan masalah, mencegah kekecewaan
dan didisain untuk mengakomodasi keluhan.

Banyak pakar yang menyatakan bahwa hukum pertama kualitas adalah


“melakukan segala sesuatu secara benar sejak awal”. Bila hal itu tercapai, maka
akan terwujud kepuasan pelanggan. Meskipun demikian, dalam suatu perusahaan
yang telah menyampaikan jasanya dengan baik, tetap saja akan ada pelanggan
yang tidak puas atau kecewa. Tjiptono (2000:159) menyatakan bahwa penyebab
ketidak puasan itu ialah:
a. Faktor internal yang relatif dapat dikendalikan perusahaan, misalnya karyawan
yang kasar, karyawan yang tidak tepat waktu, kesalahan pencatatan transaksi,
dan lain-lain.
b. Faktor eksternal yang diluar kendali perusahaan, seperti cuaca, bencana alam,
gangguan pada infrastruktur umum (listrik padam, jalan longsor), aktivitas
kriminal, dan masalah pribadi pelanggan, misalnya dompet hilang.

Service recovery berkaitan erat dengan kepuasan pelanggan dan secara umum
dapat diwujudkan dengan tiga cara pokok. Pertama, memperlakukan para
pelanggan yang tidak puas dengan sedemikian rupa sehingga bisa
mempertahankan loyalitas mereka. Kedua, penyedia jasa memberikan jaminan
yang luas dan tak terbatas pada ganti rugi yang dijanjikan saja. Ketiga, Penyedia
jasa memenuhi atau melebihi harapan para pelanggan yang mengeluh dengan
cara menangani keluhan mereka.

Berdasarkan hasil beberapa observasi terhadap perusahaan-perusahaan jasa yang


unggul, Heskett, Sasser dan Hart (1990) merangkum hal-hal yang banyak diterapkan
untuk menangani service recovery, yaitu:
1. Melakukan aktivitas rekrutmen, penempatan, pelatihan, dan promosi yang
mengarah pada keunggulan service recovery secara keseluruhan.
2. Secara aktif mengumpulkan atau menampung keluhan pelanggan yang
dipandang sebagai peluang pelasaran dan penyempurnaan proses.
3. Mengukur biaya primer dan sekunder dari pelangga yang tidak puas, lalu
melakukan penyesuaian investasi terhadap tingkat biaya tersebut.
4. Memberdayakan karyawan lini depan untuk mengambil tindakan tepat dalam
rangka service recovery.
5. Mengembangkan jalur komunikasi yang singkat antara pelanggan dan manajer
6. Memberikan penghargaan kepada setiap karyawan yang menerima dan
memecahkan masalah keluhan pelanggan, serta memperbaiki sumber-sumber
masalahnya.
7. Memasukkan keunggulan pelayanan dan recovery sebagai bagian dari strategi
bisnis perusahaan.
8. Komitmen manajer puncak terhadap dua hal utama, yaitu melakukan segala
sesuatu secara benar sejak awal dan mengembangkan program service
recovery yang efektif.

Halaman 7
Mudie dan Cottam (1993) menyatakan bahwa upaya mewujudkan kepuasan
pelanggan total bukanlah hal yang mudah. Kepuasan pelanggan total tidak
mungkin tercapai, sekalipun hanya untuk sementara waktu. Namun, upaya
perbaikan atau penyempurnaan kepuasan dapat dilakukan dengan berbagai
strategi. Tjiptono (1995) menyebutkan bahwa ada beberapa strategi yang dapat
dipadukan untuk meraih dan meningkatkan kepuasan pelanggan, diantaranya:

1. Relationship Marketing.
Dalam strategi ini, hubungan transaksi antara penyedia jasa dan pelanggan
berkelanjutan, tidak berakhir setelah penjualan selesai. Salah satu faktor yang
dibutuhkan untuk mengembangkan strategi ini ialah dengan membentuk
customer database, yaitu daftar nama pelanggan yang perlu dibina hubungan
jangka panjang. Data base ini tidak hanya berisi nama pelanggan, tetapi juga
mencakup hal-hal penting lainnya, misalnya frekuensi dan jumlah pembelian,
apa yang menjadi kesukaan pelanggan, dan sebagainya.

2. Strategi Superior Service


Strategi ini berusaha menawarkan pelayanan yang lebih unggul daripada
pesaingnya. Untuk mewujudkannya diperlukan dana yang besar, kemampuan
sumber daya manusia, dan usaha yang gigih. Meskipun demikian, melalui
pelayanan yang lebih unggul, perusahaan dapat membebankan harga yang
lebih tinggi pada jasa yang ditawarkan. Akan ada konsumen yang tidak
berkeberatan dengan harga yang lebih mahal tersebut.

3. Strategi Unconditional Guarantees/Extraordinary Guarantees


Strategi dengan memberikan jaminan terhadap jasa yang ditawarkan atau
memberikan pelayanan purnajual yang baik menjadi penting bagi penyedia
layanan untuk menjaga loyalitas konsumen. Pelayanan purnajual ini juga harus
menyediakan media yang efisien dan efektif untuk menangani keluhan.
Perusahaan juga harus mau mengakui kesalahannya dan menyampaikan
permohonan maaf, serta memberikan ganti rugi yang berharga bagi konsumen
apabila terjadi kesalahan yang dilakukan.

4. Strategi Penanganan Keluhan yang Efektif.


Penanganan keluhan yang baik memberikan peluang mengubah seorang
pelanggan yang tidak puas menjadi pelanggan yang puas. Mudie dan Cottam
(1993) menyatakan bahwa menangani keluhan pelanggan dapat memberikan
manfaat antara lain:
a. Penyedia jasa memperoleh kesempatan lagi memperbaiki hubungannya
dengan pelanggan yang kecewa.
b. Penyedia jasa bisa terhindar dari publisitas yang negatif.
c. Penyedia jasa akan mengetahui aspek-aspek yang perlu dibenahi dalam
pelayanan saat ini.
d. Penyedia jasa akan mengetahui sumber masalah operasinya.
e. Karyawan dapat termotivasi untuk memberikan pelayanan yang berkualitas
lebih baik.

Halaman 8
DAFTAR PUSTAKA

1. Kotler, Phillip. Marketing Management, The Millenium Edition. New Jersey :


Prentice- Hall, 2000.
2. Lewis, Barbara R., and Sotiris Spyrakopoulos. “Service failures and recovery in
retail banking : the customer’s perspective”, International Journal of Bank
Marketing, Vol. 19/2001 p.34-47.
3. Lim, Puay Cheng and Nelson K.H. Tang. “A Studi of patien’s expectations and
satisfaction in Singapore hospitals”, International Journal of Health Care
Quality Assurance, Vol. 13/2002 p.1-16.
4. Lovelock, Christopher H. Sevices Marketing : Text, Cases, and Reading, . New
Jersey : Prentice- Hall, 1984.
5. Mudie, Peter and Angela Cottam, The Management and Marketing of Services,
Butterworth-Heinemann Ltd, Oxford, 1993.
6. Stanton, William J. Fundamentals of Marketing, 9th ed. Mc Graw Hill, 1991.
7. Tjiptono, Fandy., Manajemen Jasa, Penerbit Andi , Yogyakarta, 2000.
8. Walker, Jr at.al. Marketing Strategy : Planning and Implementation. International
Student Edition. USA : D. Irwin Inc, 1992.
9. Zeithaml, Valarie A., A. Parasuraman, and Leonard L. Barry, “Communication and
Control Processes in the Delivery of Service Quality”, Journal of Marketing,
American Marketing Association, April, 1988.

Halaman 9

Anda mungkin juga menyukai