Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada Sistem Persyarafan
Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada Sistem Persyarafan
Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada Sistem Persyarafan
1. Pengertian
Stroke adalah gangguan neurologik fokal yang dapat timbul sekunder dari suatu proses patologi pada
pembuluh darah (Pricedan Wilson).
Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan berhentinya suplai darah kebagian otak (bruner
dan suddarth, 2000 : 2123).
Stroke adalah gangguan yang mempengaruhi aliran darah keotak dan mengakibatkan deficit neurologik
(lewis, etc, 2000 : 1645).
Stroke non hemorogik adalah bila gangguan peredaran darah otak ini berlangsung sementara, beberapa
detik hingga beberapa jam (kebanyakan 10 - 20 menit) tapi kurang dari 24jam.(AriefInansjoer, 2000 :
17).
Stroke non hemorogik adalah penyakit atau kelainan dan penyakit pembuluh darah otak, yang
mendasari terjadinya stoke misalnya arteriosclerosis otak, aneurisma, angioma pembuluh darah otak.
(dr. Harsono, 1996: 25).
Stroke non hemorogik adalah penyakit yang mendominasi kelompok usia menengah dan dewasa tua
yang kebanyakan berkaitan erat dengan kejadian arterosklerosis (trombosis) dan penyakit jantung
(emboli) yang dicetus oleh adanya faktor predisposisi hipertensi (Satyanegara, 1998 : 179).
2. Etiologi
Menurut Smeltzer & Bare (2002) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu empat kejadian yaitu:
a. Thrombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher.
b. Embolisme serebral yaitu bekuan darah atau material lain yang di bawa ke otak dari bagian tubuh
yang lain.
d. Hemoragi serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan
otak atau ruang sekitar otak.
Akibat dari keempat kejadian diatas maka terjadi penghentian suplai darah ke otak, yang
menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan, berpikir, memori, bicara, atau sensasi.
b. Yang dapat diubah: hipertensi, diabetes mellitus, merokok, penyalahgunaan alkohol dan obat,
kontrasepsi oral, dan hematokrit meningkat.
3. Patofisiologi
Otak sangat tergantung kepada oksigen, bila terjadi anoksia seperti yang terjadi pada stroke di otak
mengalami perubahan metabolik, kematian sel dan kerusakan permanen yang terjadi dalam 3 sampai
dengan 10 menit (non aktif total). Pembuluh darah yang paling sering terkena ialah arteri serebral dan
arteri karotis Interna.
Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cedera pada otak melalui
empat mekanisme, yaitu :
a. Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan sehingga aliran darah dan
suplainya ke sebagian otak tidak adekuat, selanjutnya akan mengakibatkan perubahan-perubahan
iskemik otak.
b. Pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan bocornya darah ke kejaringan (hemorrhage).
c. Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan jaringan otak.
d. Edema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang interstitial jaringan otak.
Konstriksi lokal sebuah arteri mula-mula menyebabkan sedikit perubahan pada aliran darah dan baru
setelah stenosis cukup hebat dan melampaui batas kritis terjadi pengurangan darah secara drastis dan
cepat. Oklusi suatu arteri otak akan menimbulkan reduksi suatu area dimana jaringan otak normal
sekitarnya yang masih mempunyai pendarahan yang baik berusaha membantu suplai darah melalui
jalur-jalur anastomosis yang ada. Perubahan awal yang terjadi pada korteks akibat oklusi pembuluh
darah adalah gelapnya warna darah vena, penurunan kecepatan aliran darah dan sedikit dilatasi arteri
serta arteriole. Selanjutnya akan terjadi edema pada daerah ini. Selama berlangsungnya perisriwa ini,
otoregulasi sudah tidak berfungsi sehingga aliran darah mengikuti secara pasif segala perubahan
tekanan darah arteri.. Berkurangnya aliran darah serebral sampai ambang tertentu akan memulai
serangkaian gangguan fungsi neural dan terjadi kerusakan jaringan secara permanen.
4. Manifestasi Klinik
Menurut Smeltzer & Bare (2002) dan Price & Wilson (2006) tanda dan gejala penyakit stroke
adalah kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh, hilangnya sebagian
penglihatan atau pendengaran, penglihatan ganda atau kesulitan melihat pada satu atau kedua mata,
pusing dan pingsan, nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang jelas, bicara tidak jelas (pelo), sulit
memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat, tidak mampu mengenali bagian dari tubuh,
ketidakseimbangan dan terjatuh dan hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih.
5. Penatalaksaan Medis
a. Diuretik untuk menurunkan edema serebral yang mencapai tingkat maksimum 3 sampai 5 hari
setelah infark serebral.
b. Antikoagulan untuk mencegah terjadinya thrombosis atau embolisasi dari tempat lain dalam
sistem kardiovaskuler.
c. Antitrombosit karena trombosit memainkan peran sangat penting dalam pembentukan thrombus
dan embolisasi.
6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit stroke menurut Smeltzer & Bare (2002) adalah:
a. Hipoksia serebral, diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak
bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan
mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam
mempertahankan oksigenasi jaringan.
b. Penurunan aliran darah serebral, bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas
pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intrvena) harus menjamin penurunan viskositas darah
dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi dan hipotensi ekstrim perlu dihindari untuk
mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
c. Embolisme serebral, dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau dapat berasal
dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya akan
menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan
penghentian trombus lokal. Selain itu, disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus
diperbaiki.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Doenges dkk, 1999) pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada penyakit stroke
adalah:
a. Angiografi serebral: membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan,
obstruksi arteri atau adanya titik oklusi/ ruptur.
c. Pungsi lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada thrombosis, emboli
serebral, dan TIA (Transient Ischaemia Attack) atau serangan iskemia otak sepintas. Tekanan meningkat
dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya hemoragik subarakhnoid atau perdarahan
intra kranial. Kadar protein total meningkat pada kasus thrombosis sehubungan dengan adanya proses
inflamasi.
d. MRI (Magnetic Resonance Imaging): menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik, dan
malformasi arteriovena.
g. Sinar X: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari massa
yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada thrombosis serebral.
8. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Pengkajian primer
· Airway: pengkajian mengenai kepatenan jalan. Kaji adanya obstruksi pada jalan napas karena
dahak, lendir pada hidung, atau yang lain.
· Breathing: kaji adanya dispneu, kaji pola pernapasan yang tidak teratur, kedalaman napas,
frekuensi pernapasan, ekspansi paru, pengembangan dada.
· Circulation: meliputi pengkajian volume darah dan kardiac output serta perdarahan. Pengkajian ini
meliputi tingkat kesadaran, warna kulit, nadi, dan adanya perdarahan.
· Disability: yang dinilai adalah tingkat kesadran serta ukutan dan reaksi pupil.
2) Pengkajian sekunder
Pengkajian sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe) termasuk reevaluasi
pemeriksaan TTV.
· Anamnesis
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat perlukaan. Riwayat
“AMPLE” (alergi, medikasi, past illness, last meal, event/environment) perlu diingat.
· Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan evaluasi kepala akan adanya luka, kontusio atau fraktuf. Pemeriksaan
maksilofasialis, vertebra sevikalis, thoraks, abdomen, perineum, muskuloskeletal dan pemeriksaan
neurologis juga harus dilakukan dalam secondary survey.
· Reevaluasi
Selama secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik seperti
foto tambahan dari tulang belakang serta ekstremitas, CT-Scan kepala, dada, abdomen dan prosedur
diagnostik lain.
Kriteria hasil tingkat kesadaran membaik, tanda-tanda vital stabil tidak ada tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial.
Intervensi;
Rasional: aktivitas/ stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan Tekanan Intra Kranial (TIK).
· Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikkan dan dalam posisi anatomis (netral).
Rasional: menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan sirkulasi/
perfusi serebral.
Rasional: meningkatkan/ memperbaiki aliran darah serebral dan selanjutnya dapat mencegah
pembekuan..
Kriteria hasil mempertahankan posisi yang optimal, meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh
yang terkena, mendemonstrasikan perilaku yang memungkinkan aktivitas.
Intervensi;
Rasional: mengidentifikasi kelemahan/ kekuatan dan dapat memberikan informasi bagi pemulihan
· Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas
· Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan menggunakan ekstremitas yang
tidak sakit.
Rasional: dapat berespons dengan baik jika daerah yang sakit tidak menjadi lebih terganggu.
· Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, latihan resistif, dan ambulasi pasien.
Rasional: program khusus dapat dikembangkan untuk menemukan kebutuhan yang berarti/ menjaga
kekurangan tersebut dalam keseimbangan, koordinasi, dan kekuatan.
Kriteria hasil; Klien dapat mengemukakan bahasa isyarat dengan tepat, terjadi kesapahaman bahasa
antara klien, perawat dan keluarga
Intervensi;
Rasional: Perubahan dalam isi kognitif dan bicara merupakan indikator dari derajat gangguan serebral
Rasional: bahasa isyarat dapat membantu untuk menyampaikan isi pesan yang dimaksud
Kriteria hasil mempertahankan tingkat kesadarann dan fungsi perseptual, mengakui perubahan dalam
kemampuan.
Intervensi;
· Kaji kesadaran sensorik seperti membedakan panas/ dingin, tajam/ tumpul, rasa persendian.
Rasional: penurunan kesadaran terhadap sensorik dan kerusakan perasaan kinetic berpengaruh buruk
terhadap keseimbangan.
Rasional: adanya agnosia (kehilangan pemahaman terhadap pendengaran, penglihatan, atau sensasi
yang lain)
· Berikan stimulasi terhadap rasa sentuhan seperti berikan pasien suatu benda untuk menyentuh
dan meraba.
Rasional: membantu melatih kembali jaras sensorik untuk mengintegrasikan persepsi dan interprestasi
stimulasi.
· Anjurkan pasien untuk mengamati kakinya bila perlu dan menyadari posisi bagian tubuh tertentu.\
· Bicara dengan tenang dan perlahan dengan menggunakan kalimat yang pendek.
· Rasional: pasien mungkin mengalami keterbatasan dalam rentang perhatian atau masalah
pemahaman.
Kriteria hasil klien bersih dan klien dapat melakukan kegiatan personal hygiene secara minimal
Intervensi;
Rasional: Jika klien tidak mampu perawatan diri perawat dan keluarga membantu dalam perawatan diri
Rasional: Klien terlihat bersih dan rapi dan memberi rasa nyaman pada klien
· Rapikan klien jika klien terlihat berantakan dan ganti pakaian klien setiap hari
Rasional: Memberi kesan yang indah dan klien tetap terlihat rapi
Rasional: ukungan keluarga sangat dibutuhkan dalam program peningkatan aktivitas klien
Rasional: memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana terapi dan
6) Diagnosa keperawatan keenam: gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan biofisik,
psikososial, perseptual kognitif.
Kriteria hasil mau berkomunikasi dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang terjadi,
mengungkapkan penerimaan pada diri sendiri dalam situasi.
Intervensi;
Rasional: membantu peningkatan rasa harga diri dan kontrol atas salah satu bagian kehidupan.
· Berikan dukungan terhadap perilaku/ usaha seperti peningkatan minat/ partisipasi dalam kegiatan
rehabilitasi.
Rasional: mengisyaratkan kemampuan adaptasi untuk mengubah dan memahami tentang peran diri
sendiri dalam kehidupan selanjutnya.
· Dorong orang terdekat agar member kesempatan pada melakukan sebanyak mungkin untuk
dirinya sendiri.
Rasional: membangun kembali rasa kemandirian dan menerima kebanggan diri dan meningkatkan
proses rehabilitasi.
Rasional: dapat memudahkan adaptasi terhadap perubahan peran yang perlu untuk perasaan/ merasa
menjadi orang yang produktif.
7) Diagnosa keperawatan ketujuh: resiko tinggi kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler/ perseptual.
Kriteria hasil mendemonstrasikan metode makan tepat untuk situasi individual dengan aspirasi
tercegah, mempertahankan berat badan yang diinginkan.
Intervensi;
Rasional: intervensi nutrisi/ pilihan rute makan ditentukan oleh faktor-faktor ini.
· Letakkan pasien pada posisi duduk/ tegak selama dan setelah makan
Rasional: menggunakan gravitasi untuk memudahkan proses menelan dan menurunkan resiko
terjadinya aspirasi.
Rasional: menguatkan otot fasiel dan otot menelan dan menurunkan resiko terjadinya aspirasi.
Rasional: meningkatkan pelepasan endorphin dalam otak yang meningkatkan perasaan senang dan
meningkatkan nafsu makan.
· Berikan cairan melalui intra vena dan/ atau makanan melalui selang.
Rasional: memberikan cairan pengganti dan juga makanan jika pasien tidak mampu untuk memasukkan
segala sesuatu melalui mulut.
Intervensi;
Rasional: untuk mendorong kepatuhan terhadap program teraupetik dan meningkatkan pengetahuan
keluarga klien
· Beri kesempatan kepada klien dan keluarga untuk menanyakan hal- hal yang belum jelas.
· Beri feed back/ umpan balik terhadap pertanyaan yang diajukan oleh keluarga atau klien.\
· Sarankan pasien menurunkan/ membatasi stimulasi lingkungan terutama selama kegiatan berfikir
1. Pengertian
Trauma kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai
perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Trauma kepala merupakan salah satu penyebab utama kecatatan dan kematian. Lebih dari 50%
trauma kepala disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, selebihnya disebabkan karena factor lain
seperti terjatuh, terpukul, kecelakaan industry dan lain-lain. (Daniel Tjen, 1999).
Trauma kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Secara anatomis otak dilindungi
dari cedera oleh rambut, kulit kepala, serta tulang dan tentorium (helm) yang membungkusnya.
Berdasarkan GCS, trauma kepala atau cedera otak dapat dibagi menjadi 3 gradasi, yaitu :
2. Etiologi
Trauma kepala dapat disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh, kecelakaan industri, kecelakaan
olahraga, luka pada persalinan.
3. Mekanisme Cedera
Trauma kepala disebabkan karena adanya daya/kekuatan yang mendadak dikepala. Ada 3 mekanisme
yang berpengaruh dalam trauma kepala yaitu akselerasi, deselerasi, dan deformitas.
· Akselerasi yaitu jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang
diam kemudian dipukul atau terlempar batu.
· Deselerasi yaitu jika kepala bergerak membentur benda yang diam misalnya pada saat kepala
terbentur.
· Deformitas yaitu perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma,
misalnya adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau pemotongan pada jaringan otak.
Pada saat terjadinya deselerasi ada kemungkinan terjadi rotasi kepala sehingga dapat menambah
kerusakan. Mekanisme cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan pada daerah dekat benturan
(kup) dan kerusakan pada daerah yang berlawanan dengan benturan (kontra kup).
4. Patofisiologi
Adanya trauma kepala dapat mengakibatkan gangguan atau kerusakan struktur misalnya kerusakan
pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak
seperti penurunan adenosine tripospat dalam mitokondria, perubahan permeabilitas vaskuler.
Patofisiologi trauma kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses yaitu cedera kepala otak primer dan
cedera kepala otak sekunder. Cedera kepala otak primer merupakan suatu proses biomekanik yang
dapat terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan berdampak cedera jaringan otak. Cedera kepala
sekunder terjadi akibat cedera primer misalnya adanya hipoksia, iskemia, dan perdarahan.
Perdarah serebral menimbulkan hematoma, misalnya pada epidural hematoma, yaitu berkumpulnya
darah antara lapisan periosteum tengkorak dengan dura meter, subdural hematoma diakibatkan
berkumpulnya darah pada ruang antara dura meter dengan subarahnoid dan intracerebral hematoma
adalah berkumpunya darahpada jaringan serebral.
Kematian pada trauma kepala banyak disebabkan karena hipotensi karena gangguan pada autoregulasi.
Ketika terjadi gangguan autoregulasi akan menimbulkan hipoperfusi jaringan serebral dan berakhir pada
iskemia jaringan otak. Karena otak sangat sensitive terhadap oksigen dan glukosa.
5. Klasifikasi Trauma Kepala
· Komosio serebri (gegar otak) : gangguan fungsi neurologi ringan tanpa adanya kerusakan struktur
otak, terjadi hilangnya kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa disertai amnesia, retrograde, mual,
muntah, nyeri kepala.
· Kontusio serebri (memar) :gangguan fungsi neurologi disertai kerusakan jaringan otak tetapi
kontinuitas otak masih utuh, hilangnya kesdaran lebih dari 10 menit.
· Laserasio serebri : gangguan fungsi neurologi disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur
tengkorak terbuka. Massa otak terkelupas, keluar dari rongga intracranial.
· Cedera kepala ringan : jika GCS antara 15-13, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30
menit, tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau hematoma.
· Cedera kepala sedang : jika nilai GCS antara 9-12, hilang kesadaran antara 30 menit sampai 24 jam,
dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan.
· Cedera kepal berat : jika nilai GCS antara 3-8, hilang kesdaran lebih dari 24 jam, biasanya disertai
kontusio, laserasi atau adanya hematoma, edema serebral.
Secara umum tanda dan gejala pada trauma kepala meliputi ada atau tidaknya fraktur tengkorak,
tingkat kesadaran dan kerusakan jaringan otak.
a. Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf-saraf otak, merobek duramater yang
mengakibatkan perembesan cairan serebrospinalis. Jika terjadi fraktur tengkorak kemungkina yang
terjadi adalah :
· Keluarnya cairan serebrospinalis atau cairan lain dari hidung (rhinorrhoe) dan telinga (otorrhoe).
· Kerusakan saraf cranial
Jika terjadi fraktur basiler, kemungkinan adanya gangguan pada saraf cranial dan kerusakan bagian
dalam telinga. Sehingga kemungkinan tanda dan gejalanya adalah :
· Dilatasi pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan beberapa otot mata karena kerusakan nervus
okulomotorius.
b. Kesadaran
Tingkat kesadaran pasien tergantung dari berat ringannya cedera kepala, ada atau tidaknya amnesia
retrograt, mual dan muntah.
Manifestasi klinik kerusakan jaringan otak bervariasi tergantung dariu cedera kepala. Untuk melihat
adanya kerusakan cedera kepala perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau MRI.
7. Komplikasi
· Pneumonia
· Perdarahan gastrointestinal
· Disritmia jantung
· Hidrosefalus
8. Test Diagnostik
· Foto tengkorak : mengetahui adanya fraktur tengkorak (simpel, depresi, kommunit), fragmen
tulang
· Serum alkohol :mendeteksi penggunaan alkohol sebelum cedera kepala, dilakukan terutama pada
cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas.
9. Penatalaksanaan Medik
a) Penatalaksanaan Umum
· Monitor respirasi : bebaskan jalan napas, monitor keadaan ventilasi, periksa AGD, berikan oksigen
jika perlu.
b) Operasi
Dilakukan untuk mengeluarkan darah pada intraserebral, debridemen luka, kranioplasti, prosedur
shunting pada hidrocepalus, kraniotomi.
c) Pengobatan
· Diuretik : untuk mengurangi edema serebral misalnya manitol 20%, furosemid (lasic).
· Antagonis histamin : mencegah terjadinya iritasi lambung karena hipersekresi akibat efek trauma
kepala misalnya dengan cemetidin, ranitidin.
a. Pengkajian
1) Pengkajian Primer
· Breathing
· Circulation
· Disability
Ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil anisokor dan nilai GCS.
Menurut Arif Mansjoer. Et all. 2000 penilaian GCS beerdasarkan pada tingkat keparahan cidera :
ü Konkusi
ü Muntah
· Exposure of extermitas
2) Pengkajian Sekunder
Data pengkajian secara umum tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin
diperlukan oleh cedera tambahan pada organ-organ vital (Marilyn, E Doengoes. 2000)
· Aktivitas/ Istirahat
Tanda :
ü Hemiparase, quadrepelgia
· Sirkulasi
Gejala :
· Integritas Ego
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung depresi dan impulsif.
· Eliminasi
· Makanan/ cairan
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), Gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia).
· Neurosensoris
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus
kehilangan pendengaran, fingking, baal pada ekstremitas.
Tanda :
· Nyeri/ Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya koma.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat, merintih.
· Pernapasan
Tanda :
ü Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Nafas berbunyi stridor, terdesak
ü Gangguan penglihatan
ü Gangguan kognitif
ü Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan secara umum mengalami paralisis
· Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang.
2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan, penggunaan otot
aksesori
3) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas, peningkatan
jumlah sekret.
1. Pengertian
Cedera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada
daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001)
Cedera medulla spinalis adalah buatan kerusakan tulang dan sumsum yang mengakibatkan gangguan
sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang diklasifikasikan sebagai :
- komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)
- tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik)
Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan sering kali oleh
kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai
mata penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan
buatan, sebelum alat pernafasan mekanik dapat digunakan.
2. Etiologi
3. Patofisiologi
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien sembuh sempurna) sampai
kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla, (lebih salah satu atau dalam kombinasi) sampai
transaksi lengkap medulla (membuat pasien paralisis).
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradul subdural atau
daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera,
serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi
terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cidera
medulla spinalis akut.
Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi, hemorargi.
4. Manifestasi Klinis
a. nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
b. paraplegia
c. tingkat neurologic
h. gagal nafas
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran, reduksi setelah
dilakukan traksi atau operasi
b. Skan ct
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun structural
c. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
d. Mielografi.
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak jelas atau
dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan
setelah mengalami luka penetrasi).
e. Foto ronsen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma, atelektasis)
f. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi maksimal
khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan
gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).
6. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan Kedaruratan
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena penatalaksanaan yang
tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi neurologik.Korban kecelakaan kendaraan
bermotor atau kecelakaan berkendara , cedera olahraga kontak, jatuh,atau trauma langsung pada
kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami cedera medula spinalis sampai bukti
cedera ini disingkirkan.
1) Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal( punggung) ,dengan kepala dan
leher dalam posisi netral, untuk mencegah cedera komplit.
2) Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk mencegah fleksi, rotasi atau
ekstensi kepala.
3) Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk mempertahankan traksi dan kesejajaran
sementara papan spinalatau alat imobilisasi servikal dipasang.
4) Paling sedikit empat orangharus mengangkat korban dengan hati- hati keatas papan untuk
memindahkan memindahkan kerumah sakit. Adanya gerakan memuntir dapat merusak medula spinais
ireversibel yang menyebabkan fragmen tulang vertebra terputus, patah, atau memotong medula
komplit.
Sebaiknya pasien dirujuk kecedera spinal regional atau pusat trauma karena personel multidisiplin dan
pelayanan pendukung dituntut untuk menghadapi perubahan dekstruktif yang tejadi beberapa jam
pertama setelah cedera.
Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi,pasien
dipertahankan diatas papan pemindahan . Pemindahan pasien ketempat tidur menunjukkan masalah
perawat yang pasti. Pasien harus dipertahankan dalam posisi eksternal . Tidak ada bagian tubuh yang
terpuntir atau tertekuk, juga tidak boleh pasien dibiarkan mengambil posisi duduk.
Pasien harus ditempatkan diatas sebuah stryker atau kerangka pembalik lain ketika merencanakan
pemindahan ketempat tidur. Selanjutnya jika sudah terbukti bahwa ini bukan cedera medula, pasien
dapat dipindahkan ketempat tidur biasa tanpa bahaya.Sebaliknya kadang- kadang tindakan ini tidak
benar. Jika stryker atau kerangka pembalik lain tidak tersedia pasien harus ditempatkan diatas matras
padat dengan papan tempat tidur dibawahnya.
c. Farmakoterapi
Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema medulla.
d. Tindakan Respiratori
2) Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau eksistensi leher bila
diperlukan inkubasi endrotakeal.
3) Pertimbangan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk pasien dengan lesi servikal
yang tinggi.
1) Cedera medulla spinalis membutuhkan immobilisasi, reduksi, dislokasi, dan stabilisasi koluma
vertebrata.
2) Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu bentuk traksi skeletal, yaitu
teknik tong /capiller skeletal atau halo vest.
4) Status Neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau
dekompres medulla.
7. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Pengkajian Primer
· Airway
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi
jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing,
muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan
napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi,
fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust
sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat
dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi
jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu
bantuan napas.
· Breathing
Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam
jumlah yang memadai. Jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat,
bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal1,3,5,6,7,8.
· Circulation
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi
Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna
serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan
lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
· Dissability
· Exposure
Melihat secara keseluruhan keadaan pasien. Pasien dalam keadaan sadar (GCS 15) dengan :Simple head
injury bila tanpa deficit neurology
o Pemeriksaan radiology
o Pasien dipulangkan dan keluarga diminta untuk observasi bila terjadi penurunan kesadaran segera
bawa ke rumah sakit
2) Pengkajian Sekunder
· Aktivitas/Istirahat
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi. Kelemahan umum /kelemahan otot
(trauma dan adanya kompresi saraf).
· Sirkulasi
· Eliminasi
Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis berwarna seperti kopi tanah
/hematemesis.
· Integritas Ego
· Makanan/cairan
· Higiene
· Neurosensori
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok spinal).
Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinal sembuh).
Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon dalam.
Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma
spinal.
· Nyeri/kenyamanan
· Pernapasan
Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat, sianosis.
· Keamanan
Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
· Seksualitas
1) Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan /paralisis otot-otot
abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.
· Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan kenyamanan pasien.
Rasional : Mencegah terjadinya dekubitus.\
· Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah cedera 4-5 kali /hari
Rasional : Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur.
· Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot seperti splints
Rasional : Memberikan pancingan yang sesuai.
3) Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan immobilitas,
penurunan sensorik.
Rencana Tindakan
· Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam dengan
gerakan memutar.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi darah
· Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein
Rasional : Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan
· Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
Rasional : Mempercepat proses penyembuhan
4) Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih secara spontan.
5) Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan autonomik.
6) Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan alat traksi
· Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri, misalnya lokasi,
tipe nyeri, intensitas pada skala 0 – 1-
Rasional : Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat cedera misalnya dada / punggung atau
kemungkinan sakit kepala dari alat stabilizer
· Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase, kompres hangat / dingin
sesuai indikasi.
Rasional : Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan emosionlan, selain
menurunkan kebutuhan otot nyeri / efek tak diinginkan pada fungsi pernafasan.
· Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi visualisasi, latihan nafas dalam.
Rasioanl : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat meningkatkan
kemampuan koping
· Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya dontren (dantrium); analgetik;
antiansietis.misalnya diazepam (valium)
Rasional : Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri otot atau untuk menghilangkan-ansietas dan
meningkatkan istrirahat.
1. Pengertian
Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh
kekerasan. (E. Oerswari, 1989 : 144).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 : 347).
Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah tulang dengan dunia luar. Fraktur terbuka adalah
fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi infeksi (Sjamsuhidajat,
1999 : 1138).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung
(kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa.
Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan pendertia
jatuh dalam syok (FKUI, 1995:543)
Fraktur olecranon adalah fraktur yang terjadi pada siku yang disebabkan oleh kekerasan langsung,
biasanya kominuta dan disertai oleh fraktur lain atau dislokasi anterior dari sendi tersebut (FKUI,
1995:553).
2. Etiologi
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata secara spontan.
Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya jatuh
dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat
mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif.
2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai
salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi
semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat
disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio
dan orang yang bertugas dikemiliteran.
3. Patofisiologi
a. Fase hematum
d. Fase ossificasi
2) Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan endapan garam kalsium yang
menyatukan tulang yang patah
Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus terbentuk dengan oksifitas osteoblast dan
osteuctas (Black, 1993 : 19 ).
a. Deformitas
Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya perubahan
keseimbangan dan contur terjadi seperti :
2) Penekanan tulang
b. Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang
berdekatan dengan fraktur
e. Tenderness/keempukan
f. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan
struktur di daerah yang berdekatan.
g. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/perdarahan)
h. Pergerakan abnormal
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto Rontgen
Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung-
Mengetahui tempat dan type fraktur-
Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses penyembuhan secara
periodic
b. Skor tulang tomography, skor C1, Mr1 : dapat digunakan mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak.
e. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau cedera hati
(Doenges, 1999 : 76 ).
6. Penatalaksanaan
a. Fraktur Reduction
- Manipulasi atau penurunan tertutup, manipulasi non bedah penyusunan kembali secara manual dari
fragmen-fragmen tulang terhadap posisi otonomi sebelumnya.
Penurunan terbuka merupakan perbaikan tulang- terusan penjajaran insisi pembedahan, seringkali
memasukkan internal viksasi terhadap fraktur dengan kawat, sekrup peniti plates batang intramedulasi,
dan paku. Type lokasi fraktur tergantung umur klien.
Peralatan traksi :
o Traksi kulit biasanya untuk pengobatan jangka pendek
o Traksi otot atau pembedahan biasanya untuk periode jangka panjang.
b. Fraktur Immobilisasi
Pembalutan (gips)-
Eksternal Fiksasi-
Internal Fiksasi-
Pemilihan Fraksi-
c. Fraksi terbuka
Pembedahan debridement dan irigrasi-
Imunisasi tetanus-
Terapi antibiotic prophylactic-
Immobilisasi (Smeltzer, 2001).-
7. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Pengkajian Primer
· Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk
· Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak
teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
· Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal
pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
2) Pengkajian Sekunder
· Aktivitas/istirahat
ü Keterbatasan mobilitas
· Sirkulasi
ü Tachikardi
ü Neurosensori
ü Kesemutan
ü Kelemahan
· Kenyamanan
· Keamanan
ü laserasi kulit
ü perdarahan
ü perubahan warna
ü pembengkakan local
1) Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan
cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas
· Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
· Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan
plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
· Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan, prosedur
invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
· Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
· Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
5) Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan, prosedur invasif
dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
· Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses
infeksi.
6) Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.
Kriteria Hasil : - melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan.
- memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen perawatan.
Intervensi dan Implementasi:
· Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.
R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari tindakan
yang dilakukan.
1. Pengertian
Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara
anatomis (tulang lepas dari sendi) (Brunner&Suddarth)
Dislokasi adalah keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya, dislokasi merupakan suatu
kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. (Arif Mansyur, dkk. 2000)
2. Etiologi
Etiologi tidak diketahui dengan jelas tetapi ada beberapa faktor predisposisi, diantaranya :
3. Patofisiologi
Penyebab terjadinya dislokasi sendi ada tiga hal yaitu karena kelainan congenital yang mengakibatkan
kekenduran pada ligamen sehingga terjadi penurunan stabilitas sendi. Dari adanya traumatic akibat dari
gerakan yang berlebih pada sendi dan dari patologik karena adanya penyakit yang akhirnya terjadi
perubahan struktur sendi. Dari 3 hal tersebut, menyebabkan dislokasi sendi. Dislokasi mengakibatkan
timbulnya trauma jaringan dan tulang, penyempitan pembuluh darah, perubahan panjang ekstremitas
sehingga terjadi perubahan struktur. Dan yang terakhir terjadi kekakuan pada sendi. Dari dislokasi sendi,
perlu dilakukan adanya reposisi dengan cara dibidai.
4. Klasifikasi
a. Dislokasi congenital
b. Dislokasi patologik
Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi.
c. Dislokasi traumatic
Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian
jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan)
5. Manifestasi Klinis
a. Nyeri
f. Deformitas
g. Kekakuan
6. Pemeriksaan Fisik
a. Tampak adanya perubahan kontur sendi pada ekstremitas yang mengalami dislokasi
7. Pemeriksaan diagnostic
a. foto X-ray
b. foto rontgen
c. Pemeriksaan radiologi
Darah lengkap dapat dilihat adanya tanda-tanda infeksi seperti peningkatan leukosit
8. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pengkajian primer
· AirwayØ
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek
batuk.
· BreathingØ
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak
teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
· CirculationØ
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal
pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut.
b. Pengkajian sekunder
· Aktivitas/istirahatØ
ü Keterbatasan mobilitas
· SirkulasiØ
ü Tachikardi
· NeurosensoriØ
ü Kesemutan
ü Kelemahan
ü Deformitas lokal, agulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi berderit), spasme otot,
terlihat kelemahan / hilang fungsi.
ü Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan / kerusakan tulang,
dapat berkurang deengan imobilisasi) tak ada nyeri akibat keruisakan syaraf.
a. Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera pada
jaringan lunak, pemasangan alat / traksi.
Tujuan : Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan.
Kriteria Hasil :
- Klien menyatakan nyeri berkurang.
- Klien menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas terapetik sesuai indikasi untuk
situasi individual.
- Edema berkurang / hilang.
- Tekanan darah normal.
- Tidak ada peningkatan nadi dan pernapasan.
Intervensi :
· Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, lamanya, dan intensitas (skala 0 – 10). Perhatikan petunjuk
verbal dan non-verbal
Rasional :
Membantu dalam mengidentifikasi derajat ketidaknyamanan dan kebutuhan untuk / keefektifan
analgesic.
· Pertahankan immobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, pembebat, dan traksi.
Rasional :
Meminimalkan nyeri dan menvegah kesalahan posisi tulang / tegangan jaringan yang cedera.
· Tinggikan dan sokong ekstremitas yang terkena.
Rasional :
Menurunkan aliran balik vena, menurunkan edema, dan rasa nyeri
· Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contohnya relaksasi progresif, latihan nafas dalam,
imajinasi visualisasi dan sentuhan terapeutik.
Rasional :
Meningkatkan sirkulasi umum, mengurangi area tekanan dan kelelahan. otot.
· Lakukan kompres dingin/es selama 24-48 jam pertama dan sesuai indikasi.
Rasional :
Menurunkan udema/ pembentukan hematoma, menurunkan sensasi nyeri.
b. Kerusakan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka : bedah permukaan ;
pemasangan kawat, perubahan sensasi, sirkulasi, akumulasi eksresi atau sekret / immobilisasi fisik.
Tujuan : Kerusakan integritas jaringan dapat diatasi.
Kriteria Hasil :
- Penyembuhan luka sesuai waktu.
- Tidak ada laserasi, integritas kulit baik.
Intervensi :
· Massage kulit dan tempat yang menonjol, pertahankan tempat tidur yang kering dan bebas
kerutan.
Rasional :
Menurunkan tekanan pada area yang peka dan resiko abrasi/kerusakan kulit.
· Rubah posisi selang seling sesuai indikasi.
Rasional :
Mengurangi penekanan yang terus-menerus pada posisi tertentu.
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan sekitar fraktur dan kerusakan
rangka neuromuskuler.
Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik dapat berkurang.
Kriteria Hasil :
- Klien akan meningkat/ mempertahankan mobilitas pada tingkat kenyamanan yang lebih tinggi.
- Klien mempertahankan posisi /fungsional.
- Klien meningkatkan kekuatan /fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.
- Klien menunjukkan teknik yang mampu melakukan aktifitas.
Intervensi :
· Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera/pengobatan dan perhatikan persepsi pasien
terhadap imobilisasi.
Rasional :
Mengetahui persepsi diri pasien mengenai keterbatasan fisik aktual, mendapatkan informasi dan
menentukan informasi dalam meningkatkan kemajuan kesehatan pasien.
· Instruksikan dan bantu pasien dalam rentang gerak aktif/pasif pada ekstremitas yang sakit dan
yang tak sakit.
Rasional :
Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak
sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan respon kalsium karena tidak digunakan.
· Tempatkan dalam posisi telentang secara periodik bila mungkin, bila traksi digunakan untuk
menstabilkan fraktur tungkai bawah.
Rasional :
Menurunkan resiko kontraktur fleksi panggul.
· Bantu/dorong perawatan diri/kebersihan (contoh mandi dan mencukur).
Rasional :
Meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan kontrol pasien dalam situasi dan
meningkatkan kesehatan diri langsung.
· Berikan/bantu dalm mobilisasi dengan kursi roda, kruk dan tongkat sesegera mungkin. Instruksikan
keamanan dalam menggunakan alat mobilisasi.
Rasional :
Mobilisasi dini menurunkan komplikasi tirah baring (contoh flebitis) dan meningkatkan penyembuhan
dan normalisasi fungsi organ.
· Ubah posisi secara periodik dan dorong untuk latihan batuk/napas dalam.
Rasional :
Mencegah/menurunkan insiden komplikasi kulit/pernapasan (contoh dekubitus, atelektasis dan
pneumonia).
d. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan aliran darah; cedera
vaskuler langsung, edema berlebih, hipovolemik dan pembentukan trombus.
Tujuan : Disfungsi neurovaskuler perifer tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
- Mempertahankan perfusi jaringan yang ditandai dengan terabanya pulsasi.
- Kulit hangat dan kering.
- Perabaan normal.
- Tanda vital stabil.
- Urine output yang adekuat
Intervensi :
· Kaji kembalinya kapiler, warna kulit dan kehangatan bagian distal dari fraktur.
Rasional :
Pulsasi perifer, kembalinya perifer, warna kulit dan rasa dapat normal terjadi dengan adanya syndrome
comfartemen syndrome karena sirkulasi permukaan sering kali tidak sesuai.
· Monitor vital sign, pertahanan tanda-tanda pucat/cyanosis umum, kulit dingin, perubahan mental.
Rasional :
In adekuat volume sirkulasi akan mempengaruhi sistem perfusi jaringan.
· Pertahankan elevasi dari ekstremitas yang cedera jika tidak kontraindikasidengan adanya
compartemen syndrome.
Rasional :
Mencegah aliran vena / mengurangi edema.
e. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer, kerusakan kulit dan
trauma jaringan.
Tujuan : Resiko infeksi tidak terjadi dan tidak menjadi actual.
Kriteria Hasil :
- Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.
- Bebas drainase purulen, eritema dan demam.
- Tidak ada tanda-tanda infeksi.
Intervensi :
· Inspeksi kulit untuk mengetahui adanya iritasi atau robekan kontinuitas.
Rasional :
Pen atau kawat yang dipasang masuik melalui kulit dapat memungkinkan terjadinya infeksi tulang.
· Kaji sisi pen/kulit perhatikan keluhan peningkatan nyeri/rasa terbakar atau adanya edema,
eritema, drainase/bau tak enak.
Rasional :
Dapat mengindikasi timbulnya infeksi lokal/nekrosis jaringan dan dapat menimbulkan osteomielitis.
· Berikan perawatan pen/kawat steril sesuai protokol dan latihan mencuci tangan.
Rasional :
Dapat mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi.
· Observasi luka untuk pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau
drainase yang tak enak/asam.
Rasional :
Tanda perkiraan infeksi gangren.
· Kaji tonus otot, refleks tendon dalam dan kemampuan untuk berbicara.
Rasional :
Kekakuan otot, spasme tonik otot rahang dan disfagia menunjukkan terjadinya tetanus.
· Berikan obat sesuai indikasi seperti antibiotik IV/topikal dan Tetanus toksoid.
Rasional :
Antibiotik spektrum luas dapat digunakan secara profilaktik atau dapat ditujukan pada mikroorganisme
khusus.
f. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang
informasi, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.
Tujuan : Pemahaman dan pengetahuan klien dan keluarga bertambah.
Kriteria Hasil :
- Menyatakan pehaman kondisi, prognosis dan pengobatan.
- Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi :
· Beri penguatan metode mobilitas dan ambulasi sesuai instruksi dengan terapis fisik bila
diindikasikan.
Rasional :
Banyak fraktur memerlukan gips, bebat atau penjepit selama proses penyembuhan. Kerusakan lanjut
dan pelambatan penyembuhan dapat terjadi sekunder terhadap ketidaktepatan pengguanaan alat
ambulasi.
· Buat daftar aktivitas dimana pasien dapat melakukannya secara mandiri dan yang memrlukan
bantuan.
Rasional :
Penyusunan aktivitas sekitar kebutuhan dan yang memerlukan bantuan.
· Dorong pasien untuk melanjutkan latihan aktif untuk sendi di atas dab di bawah fraktur.
Rasional :
Mencegah kekakuan sendi, kontraktur dan kelelahan otot, meningkatkan kembalinya aktivitas sehari-
hari secara dini.
· Informasikan pasien bahwa otot dapat tampak lembek dan atrofi (massa otot kurang). Anjurkan
untuk memberikan sokongan pada sendi di atas dan di bawah bagian yang sakit dan ginakan alat bantu
mobilitas, contoh verban elastis, bebat, penahan, kruk, walker atau tongkat.
Rasional :
Kekuatan otot akan menurun dan rasa sakit yang baru dan nyeri sementara sekunder terhadap
kehilangan dukungan.
DAFTAR PUSTAKA
3. http://akhmadrapiuddin.blogspot.com/2009/06/makalah-medula-spinalis.html.
4. http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/17/trauma-medula-spinalis
5. Carpenito, L.J & Moyet. (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 10. Jakarta: EGC.
7. Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal BedahEdisi 8 vol 3. Jakarta: EGC