Evaluasi Klinis Dan Penatalaksanaan Ptosis
Evaluasi Klinis Dan Penatalaksanaan Ptosis
Evaluasi Klinis Dan Penatalaksanaan Ptosis
Penilaian Klinis
Tajam Penglihatan
Uji penglihatan dilakukan sesuai dengan metode menurut usia. Ptosis itu sendiri
tidak membuat amblyopia dan anisometropik atau strabismus selalu menjadi
penyebabnya. Namun kurangnya stimulus pada ptosis dapat menyebabkan
amblyopia. Masalah ini seharusnya perlu diperhatikan lebih jauh untuk diobat.
Refraksi
Uji refraksi menggunakan siklopegia pada semua anak dengan ptosis dilakukan
karena banyak diantara mereka yang memiliki kondisi anisometropia akibat
astigmatisme pada sisi mata yang mengalami ptosis. Gangguan refraksi yang
besar haruslah diperbaiki.
Pengukuran Ptosis
Tinggi fisure vertikal merupakan jarak antara kelopak mata atas dan kelopak
mata bawah yang diukur pada bidang papiler (bagian terlebar) pada tatapan
mata terfiksasi ke depan. Ukuran normal dari fisura vertikal palpebrae adalah 7-
10mm pada pria dan 8-12mm pada wanita. Ptosis pada kelopak mata bagian atas
dapat dibandingakan dengan sisi mata yang normal.
Ini merupakan penghitungan nilai ptosis pada posisi normal, dengan alis pasien
dalam kondisi tenang atau rileks. Kelopak mata bagian atas dapat digunakan
sebagai acuan untuk mengukur nilai ptosis. Kelopak mata bagian atas biasanya
melewati kornea sekitar 0,5-2mm tepat di bawah limbus bagian atas. Pada
situasi normal, kondisi didapatkan dengan secara melihat pandangan ke atas
atau ke bawah.
Berdasarkan dengan fisura palpebrae, ptosis dapat diklasifikasikan ringan,
sedang, dan berat (MRDI) margin reflex distance.
Ringan 2mm 2
Sedang 3mm 1
Berat >4mm 0
Fungsi Levator
Evaluasi fungsi levator merupakan hal yang penting dalam melakukan penilaian
terhadap kasus ptosis. Pada pasien dengan fungsi levator yang abnormal,
amplitudo aksi otot berkurang dan kelopak gagal untuk diangkat dan menganggu
pandangan bila melihat kebawah. Kelopak yang terkena dapat terbuka lebar
dibandingkan dengan kelopak yang tidak terkena pada pandangan ke bawah.
Pada pasien dengan ptosis karena dehisensi dari aponeurosis dari otot levator,
otot levator dalam kondisi normal, fungsinya masih baik dan jumlah ptosis tetap
sama pada pandangan ke atas dan ke bawah. Fungsi levator ditentukan dengan
cara memegang alis secara imobil atau tidak bergerak, kemudian menempatkan
penggaris milimeter di atas kelopak mata sejajar dengan bidang pupil dan
mengukur pergerakan levator secara tiba-tiba pada saat pandangan ke bawah
dan ke atas. Pada pasien dengan kongenital ptosis, ptosis ringan biasanya
disertai dengan fungsi levator yang baik dan sebaliknya pada kondisi ptosis
sedang dan berat.
Penghitungan derajat ptosis dan derajat fungsi levator membutuhkan kerja
sama dengan pasien, anak-anak harus diatas usia 2-3 tahun. Fungsi levator dapat
dinilai sesuai dengan Beard’s classification.
Normal: >15mm
Baik : 12-14mm
Cukup : 5-11mm
Buruk : <4mm
Nilai ptosis dapat juga ditentukan dengan MRD1.
MRD1
Posisi mata pasien dan pemeriksa berada pada level yang sama. Lampu
diarahkan di antara mata pasien. MRD1 adalah jarak dalam 1mm (nilai positif)
dari refleks cahaya pada kornea pasien hingga ke bagian tengah dari kelopak
mata bagian atas pasien (dengan pandangan pasien terfiksasi pada posisi lurus).
Bila nilai 0 pada mata dengan blepharoptotic terlihat, pengangkatan kelopak
mata direkam dalam nilai milimeter dan mendapatkan nilai negatif.
Nilai blepharoptosis pada pasien dengan unilateral ptosis merupakan perbedaan
antara MRD1 pada sisi yang mengalami ptosis dan MRD1 pada sisi yang normal.
Pada ptosis bilateral, MRD1 dikurangi dari nilai normal MRD1 yaitu 4,5.
MRD2
MRD 3
MRD3 merupakan jarak dari refleks okular hingga ke bagian tengah dari batas
kelopak mata bagian atas saat pasien melihat ke atas secara maksimal. Pada
ptosis unilateral, perbedaan antara nilai normal dan tidak normal MRD3
dikalikan 3 dan menunjukkan perkiraan nilai dari levator yang harus dipotong
atau dikurangi. Secara umum, MRD3 sama dengan MRD1 namun pada kasus
yang diasosiakan dengan kelemahan otot superior rektus atau palsy,
MRD3>MRD1. Pada bilateral ptosis, MRD3 dikurangi dari nilai normal MRD3
yaitu 7mm dan perbedaannya dikalikan 3 untuk menentukan perkiraan otot
levator dalam milimeter.
Bila ada cekungan kelopak mata pada salah satu mata, MCD harus dinilai
sebelum operasi. MCD merupakan jarak dari bagian tengah batas kelopak mata
hingga ke bagian tengah kulit cekungan pada kelopak mata bagain atas dengan
posisi mata melihat kebawah. Pada operasi, batas tengah kelopak mata bagian
atas diangkat dari bawah dengan menggunakan kapas dan cekungan ditentukan
pada pre-op dan dinilai setelah post-op.
Bell’s Phenomenon
Untuk menilai ini, pemeriksa mencoba untuk memisahkan kelopak mata saat
pasien berusaha keras untuk memejamkan mata. Mata dengan Bell’s
phenomenon yang normal akan terangkat keatas. Bila mata tidak melihat keatas
atau bila ke arah yang lain, seperti melihat kebawah (Bell’s phenomenon
terbalik) lagoftalmus setelah perbaikan operasi dari ptosis dapat diasosiasikan
dengan peningkatan insidens paparan keratopati.
Hering’s Law
Pada beberapa kondisi dengan ptosis bilateral, bila satu sisi memiliki ptosis yang
jelas dan sisi lain memiliki ptosis yang sedikit, sisi yang memiliki ptosis dengan
sedikit dapat turun atau lemah berlebih setelah sisi dengan ptosis yang lebih
jelas diperbaiki. Hal ini dikarenakan oleh hukum Hering. Pasien harus diingatkan
akan lemahnya bahkan menurunnya kelopak dengan ptosis minimal tersebut
bila sisi yang memiliki ptosis lebih besar diobati.
Strabismus
Pasien juga harus lakukan pemeriksaan terhadap strabismus. Bila ada hipotropia
pada sisi yang ptosis, pseudoptosis dapat terjadi sekunder terhadap penekanan
mata. Perbaikan strabismus dapat mengurangi blepharoptosis, otot mata harus
diuji sebelum pengobatan blepharoptosis. Pada pasien ptosis dengan strabismus
horizontal, operasi pada strabismus dan ptosis dapat dilakukan pada saat yang
bersamaan karena hasilnya jarang mengurangi hasil yang satunya lagi.
Fungsi otot muller dicoba dengan meneteskan 10% phenylephrine ke mata pada
sisi yang mengalami blepharoptosis. Bila kelopak mata atas berada dalam
kondisi normal setelah penetasan 10-15 menit kemudian, operasi untuk
memotong otot muller dan konjungtiva dapat mengobati kondisi blepharoptosis.
Phenylephrine menstimulasi saraf otot muller secara simpatetis dan
mempermudah dokter saat melakukan reseksi.
Uji lapang pandang dilakukan terhadap pasien yang dapat mengikuti perintah
sehingga dapat menganalisa restriksi lapang pandang perifer dan superior.
Uji dilakukan pada komponen anterior mata, tekanan dalam bola mata, dan
pemeriksaan fundus. Uji ini sangat penting dilakukan sebelum prosedur operasi
untuk menyingkirkan penyebab lain. Sensasi kornea dan pewarnaan harus
dilakukan untuk mendeteksi keberadaan hilangnya sensasi korena atau
kurangnya sensasi kornea yang merupakan hasil terhadap cedera post-op.
Observasi Tambahan
Bentuk kelopak dan bulu mata juga harus dievaluasi. Pada orang dewasa, kulit
yang berlebih pada kelopak mata, terutama pada di bagian bawah alis dapat
menyerupai ptosis atau menyebabkan ptosis akibat faktor mekanikal. Otot
orbikularis okuli harus diuji terlebih dahulu. Palpasi pada kelopak dan bola mata
merupakan hal yang penting karena dapat menentukan keberadaan massa atau
faktor lain yang menyebabkan ptosis yang didapat. Hasil dari operasi ptosis
ditentukan dari prosedur pre-op kelopak mata.
Fisura palpabrae yang normal adalah 26-30mm secara dimensi horizontal dan 8-
10mm secara tinggi (7-10mm laki-laki dan 8-12mm pada perempuan). Jarak dari
refleks cahaya pupil ke kelopak mata bagian atas (MRD1) berkisar antara 2-5mm
dan jarak dari refleks cahaya pupil ke kelopak mata bagian bawah antara 4,5-
5,5mm. Kelopak mata yang normal sekitar 1-2mm dibawah batas arah jam 12
dari limbus dan kelopak mata bagain bawah pada arah jam 6 batas dengan
limbus, namun itu dapat berada sedikit ke atas atau ke bawah dari biasanya.
Jarak antara dua akantus medialis adalah 30-34mm. Pungta memiliki jarak 6-
7mm dari sudut kantus medialis. Sudut kantus medialis berjarak 0-2mm dari
bawah sudut kantus lateral. Tarsus memiliki ketebalan 1mm dan 24-28mm
panjang. Tinggi dari tarsus kelopak mata bagian atas biasanya 10mm, dan rerata
tinggi dari tarsus kelopak mata bagian bawah adalah 3-7mm.
Evaluasi ptosis pada bayi hampir sama dengan dewasa, namun keterampilan
secara non-verbal harus dibutuhkan. Pada kasus ptosis pada bayi, fisura
palpebra, batas jarak refleks, lagoftalmus, dan fungsi levator harus dinilai.
Fenomena Bell dan integritas epitel kornea juga harus dinilai. Pergerakan juga
harus dinilai, terutama kelemahan otot rektus superior. Kepala dimiringkan dan
alis diangkat ke atas memiliki makna khusus. Refleks hisap dan mengunyah juga
digunakan untuk menentukan respon pergerakan rahang yang bermakan pada
kelopak mata. Fungsi levator diukur dalam milimeter dalam pergerakan penuh
dari kelopak mata saat mata melihat dari bawah ke atas. Fungsi levator dapat
diklasifikasikan baik, cukup, atau buruk. Milimeter merupakan satuan yang
digunakan.
Baik: <8mm
Cukup: 4-7mm
Buruk: <4mm
Pengukuran tepat pada bayi sulit untuk ditenukan dan hanya bisa diperkirakan.
Uji phenylephrine dan hydrochloride dilakukan untuk menentukan
pengangkatan kelopak mata bagian dalam. Fenilefrin 2,5% diteteskan ke mata
untuk menstimulasi respon simpatetik dari otot muller. Pada saat penetesan
fenilefrin membuat baik posisi kelopak mata, ada korelasi positif terhadap
respon operasi mulerektomi. Pada saat fungsi levator dalam kondisi baik atau
cukup, prosedur internal muller atau reseksi levator akan menyebabkan
pengangkatan kelopak mata.
Pengobatan Ptosis
Operasi sering menjadi pilihan utama dalam menatalaksana ptosis. Hasil yang
didapatkan dari prosedur operasi masih lebih baik dari pada medikamentosa.
Prosedur harus ditentukan dari setiap kasus ptosis, mana yang lebih baik.
Walaupun operasi merupakan pengobatan yang tetap, pasien tetap harus
diedukasi dengan pengobatan yang lainnya.
Pengobatan non-surgical
Operasi ptosis pada anak biasanya dilakukan apabila anak sudah lebih dewasa,
walaupun anak sudah mulai terganggu seperti mengangkat dagu untuk melihat
atau ptosis komplit. Secara umum, ptosis kongenital dioperasi setelah data
akurat didapat sebelum usia sekolah. Biasanya operasi ptosis pada anak
dilakukan pada usia 4-5 tahun. Ptosis berat dapat menyebabkan amblyopia, oleh
sebab itu operasi harus secepat mungkin dilakukan agar fungsi melihat anak
dapat dikembalikan ke kondisi senormal mungkin.
Ptosis yang didapat dari trauma atau kerusakan nervus optikus tidak boleh
dioperasi sebelum usia 6 bulan karena fungsi levator dapat kembali. Ptosis yang
disebabkan oleh kondisi lain dapat dioperasi bila penyebab sudah ditentukan.
Kontraindikasi
Hasil yang sempurna tidak dapat diprediksi pada kasus ptosis. Secara umum,
hasil akhir tergantung dari penyebab ptosis, tipe operasi dan keterampilan
dokter yang melakukan operasi. Reseksi otot levator dilakukan pada kasus
kongenital dengan gangguan perkembangan levator.
Operator lebih memilih melakukan tindakan secara berlebihan dari pada kurang.
Hal ini dilakukan untuk menghindari dilakukannya operasi yang kedua kalinya.
Operasi kedua biasanya sulit karena sudah ada jaringan parut, perdarahan,
sumbatan dan kerusakan anatomis yang dihasilkan dari operasi yang pertama.
Tujuan dari operasi ini adalah untuk mengangkat kelopak mata yang ptosis
diatas apartura papiler dengan posisi mata melihat ke depan. Tingginya kelopak
mata harus sama satu sama lain. Pergerakan kelopak mata harus normal saat
berkedip, menghasilkan lipatan mata dan tidak ada diplopia.
References
1. System of ophthalmology edited by Sur Stewart Duke
Elder. Congenital deformities Vol.3 part. 2