KKL Semarang-Karangsambung-Yogyakarta

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN

TANGGAL 3-6 Mei 2015

KARANGSAMBUNG
DALAM KAJIAN PEMBELAJARAN GEOGRAFI

Dilaporkan Oleh:
KELOMPOK 1
KETUA : DWI PARTINI S881408004
ANGGOTA : ARFITA RAHMAWATI S881408001
KHAIRUNNISA S881408006
M. DEDI RIAMAN S881408009
ROSI ELVIA S881408014

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015

i
PENGESAHAN LAPORAN

KARANGSAMBUNG
DALAM KAJIAN PEMBELAJARAN GEOGRAFI

Laporan Kuliah Kerja Lapangan di Karangsambung Kabupaten Kebumen


Pada Tangal 3-6 Mei 2015 telah disetujui oleh:

Dosen Pembimbing Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Setya Nugraha, M.Si.


NIP. ...................... ......... 2015
Pembimbing II

Ketua Program Studi PKLH


Program Pascasarjana UNS

Prof. Dr. Ch. Muryani, M.Si.


NIP. 195612231983032005

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya, akhirnya kami dapat menyelesaikan Laporan Kuliah Kerja Lapangan
(KKL) Pendidikan Geografi Pascasarjana UNS pada tahun 2015.
KKL ini sangat penting dalam menjembatani dasar-dasar teoretis
perkuliahan terhadap kondisi lapangan. Hal ini mengingat bahwa proses
perkuliahan tidak akan sempurna manakala tidak disertai dengan kunjungan atau
tinjauan langsung terhadap kondisi senyatanya. Program KKL ini sekaligus
menjadi sarana menemutunjukkan proses-proses fisikal dan sosial yang saling
berinteraksi dan saling pengaruh-mempengaruhi. Diharapkan pada fase
berikutnya, program KKL ini dapat menjadi main idea dan main concept bagi
masing-masing mahasiswa dalam mengaplikasikan konsep Kerja Lapangan ke
dalam kelas yang diampunya sehingga kedepannya dalam proses belajar mengajar
di kelas dapat berkesinambungan antara konsep teoretis dan fenomena praktis.
Penyusunan laporan ini penyusun mendapat bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak sehingga semuanya dapat berjalan lancar. Untuk itu kami
mengucapkan terima kasih, kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Joko Nurkamto, M.Pd selaku Dekan FKIP UNS
2. Ibu Prof. Dr. Ch. Muryani, M.Si selaku Ketua Program Studi PKLH Program
Pascasarjana Kependidikan UNS.
3. Bapak Setya Nugraha, M.Si selaku dosen pembimbing I KKL.
4. Rekan-rekan yang telah banyak membantu dalam KKL ini.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penyusun mengharapkan saran konstruktif demi kesempurnaan laporan
ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya mahasiswa
Program Studi PKLH Pascasarjana UNS.
Surakarta, 2 Juni 2015

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

JUDUL LAPORAN ......................................................................................... i


PENGESAHAN LAPORAN ........................................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... v
DAFTAR PETA ............................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ....................................................................... 1
C. Tujuan KKL ................................................................................... 1
BAB II. KAJIAN PUSTAKA
A. Iklim ............................................................................................... 2
B. Geologi ........................................................................................... 3
C. Geomorfologi ................................................................................. 5
D. Hidrologi ........................................................................................ 7
BAB III. METODOLOGI
A. Tempat dan Waktu .......................................................................... 9
B. Pendekatan Penelitian .................................................................... 9
C. Data dan Sumber Data ................................................................... 9
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Daerah Penelitian ........................................................... 11
1. Iklim ............................................................................................
2. Geologi ........................................................................................
3. Geomorfologi ..............................................................................
4. Hidrologi .....................................................................................
5. Tanah ...........................................................................................
6. Vegetasi .......................................................................................
B. Hasil dan Pembahasan.................................................................... 11

iv
1. Lembah Kali Muncar
2. Desa Pucangan
3. Formasi Totogan
4. Formasi Luk Ulo
C. Implementasi KKL dalam Pembelajaran Geografi ........................ 34
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ........................................................................................ 35
B. Saran ............................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 37
LAMPIRAN ..................................................................................................... 38

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Daerah Karangsambung yang terletak sekitar 19 km ke arah utara dari
Kota Kebumen merupakan daerah yang dikenal oleh para ahli Ilmu Kebumian
khususnya Geologi. Pada daerah ini tersingkap berbagai macam batuan yang
berumur jutaan tahun yang terbentuk dari dasar samudra hingga tepian benua.
Daerah Karangsambung merupakan rekaman evolusi pergerakan lempeng
bumi pada masa lampau sekitar 60 juta tahun yang lalu.
Ilmu geologi kurang berbobot bagi mahasiswa apabila hanya diisi
dengan materi di dalam kelas perkuliahan. Kuliah lapangan ini dilakukan di
daearah Karangsambung yang terkenal dengan berbagai jenis batuannya.
Daerah Karangsambung merupakan daerah yang unik keadaan geologinya,
mulai dari morfologinya, stratigafinya danlitologinya sehingga sering
dijadikan sebagai objek pembelajaran geologi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, penulis merumuskan masalah sebagai berikut
1. Bagaimana keadaan geologi daerah Karangsambung dilihat dari segi
stratigrafi, litologi dan morfologi?
2. Batuan apa saja yang ada di daerah Karangsambung?

C. Tujuan KKL
Tujuan dari kuliah lapangan ini adalah sebagai berikut
1. Untuk mengetahui keadaan geologi daerah Karangsambung dilihat dari
segi morfologi, stratigrafi dan litologi.
2. Untuk mengidentifikasi batuan didaerah Karangsambung.

1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Iklim
Menurut Threwartha dan Horn (1968), ITCZ adalah garis atau zona
yang berkaitan dengan pusat sirkulasi siklonik yang memiliki tekanan udara
yang sangat rendah dari daerah sekitarnya dan berada di antara dua cekungan
equatorial. ITCZ merupakan daerah pertemuan angin yang membentuk awan
penghasil hujan yang berada di sekitar wilayah itu sehingga hujan turun cukup
deras secara berkesinambungan. ITCZ adalah sumbu arus angin pasat di
daerah tropis yang memisahkan pasat timur laut dari pasat tenggara. Bisa juga
ITCZ merupakan pertemuan antara angin pasat dari belahan bumi utara (BBU)
dengan angin pasat dari belahan bumi selatan (BBS). Sistem perawanan dalam
ITCS yang terbentuk adalah cluster awan dengan pertumbuhan vertikal yang
luar biasa.
Seperti halnya konvergensi yang terjadi di atas Bali dan Nusa Tenggara
yang terjadi merupakan pemusatan pertumbuhan awan. Energi yang
dibutuhkan untuk mempertahankan keberadaan ITCZ diperoleh dari
penguapan di permukaan laut yang dibawa oleh konvergensi angin troposfer
bawah. Jadi ITCZ tidak lain adalah palung ekuatorial yang lokasinya berubah-
ubah sesuai dengan perubahan thernal ekuatorial dan tergantung pada gerak
matahari serta distribusi daratan dan lautan. Sabuk ITCZ pembawa hujan ini
terbentuk akibat konvergensi angin pasat dekat ekuator yang akan bergerak
melintasi ekuator dari utara ke selatan atau sebaliknya sesuai dengan
pergerakan semu matahari. Konvergensi pada ITCZ inilah yang dapat
menciptakan hujan deras di kawasan yang dilaluinya. Indonesia merupakan
salah satu negara yang berada di wilayah ekuator dan memiliki iklim tropis.
Wilayah ekuator pada umumnya merupakan wilayah pusat tekanan
rendah atau lebih dikenal dengan wilayah siklon. Wilayah siklon merupakan
m erupakan wilayah tempat berkembangnya awan-awan konvektif yang
menjadi sumber pertumbuhan badai dan cuaca buruk lainnya. Wilayah ini

2
3

lebih dikenal dengan nama Intertropical Convergence Zone (ITCZ). Wilayah


ini terletak antara lintang 5 o sampai 23 o baik utara maupun selatan.

B. Geologi
Berdasarkan data stratigrafi daerah pemetaan, maka urutan satuan
batuan yang diendapkan dari tua ke muda adalah satuan Breksi perselingan
batupasir , satuan perselingan Batupasir Batulempung, Satuan Batugamping
perselingan Batupasir, Batulempung, Batulanau, dan Tufa, dan satuan endapan
aluvial. Berdasarkan urutan satuan batuan tersebut, maka dapat dianalisis
bagaimana sejarah geologi yang terjadi di daerah pemetaan. Pertama diawali
dengan pengendapan breksi dan batupasir yang terjadi di dasar laut, tepatnya
di daerah slope, yaitu dengan mekanisme sedimentasi arus turbidit. Hal ini
dapat terlihat dari pemilahan yang sangat buruk. Kemudian diperlukan energi
sedimentasi yang besar untuk mentransport fragmen-fragmen batuan yang
dimensinya sangat besar, sehingga kemungkinan energi tersebut dipengaruhi
oleh adanya gravity mass flow. Satuan batuan ini terbentuk dalam kondisi
magmatisme bawah laut yang aktif. Hal tersebut ditandai dengan terdapatnya
fragmen rijang di dalamnya. Rijang yang terbentuk tersebut kemungkinan
berasal dari larutan silika yang dikeluarkan selama aktivitas megmatisme
bawah laut. Kemudian diendapkan secara selaras satuan Batupasir
Batulempung di atasnya. Seiring dengan menurunnya aktivitas magmatisme,
maka energi yang berperan dalam proses sedimentasinya relatif lebih lemah
dibandingkan dengan satuan yang sebelumnya. Litologi yang menyusun
satuan batuan ini bersifat karbonatan, sehingga dapat diperkirakan bahwa
disekitar lingkungan pengendapannya berada di zona CCD dan juga terdapat
sumber bahan karbonat (CaCO3), yang kemudian bereaksi dengan batuan
sekitarnya dan menyebabkan batuan tersebut bersifat karbonatan. Satuan ini
masih terendapkan di zona laut dalam.
Kemudian disusul oleh pengendapan satuan Batugamping
Batulempung di atasnya secara selaras. Satuan ini ditandai oleh terbentuknya
batuan dengan ukuran butir yang sangat halus, yang menandakan bahwa
4

energi yang dibutuhkan untuk mengendapkannya relatif lemah dan sistem


pengendapan yang berperan saat itu adalah suspensi. Satuan ini terbentuk
dalam kondisi magmatisme yang sangat lemah dikarenakan terbentuknya
batugamping, karena salah satu syarat terbentuknya batugamping tersebut
adalah dalam lingkungan yang arusnya tenang. Lalu disusul oleh pengendapan
Tuff. Pada saat satuan batuan terbentuk kemungkinan pada saat aktivitas
magmatisme aktif kembali, karena adanya lapisan tuff. Di dalam satuan
batuan ini terdapat diantara batugamping. Pada saat tertentu, terjadi letusan
gunungapi yang menghasilkan debu-debu vulkanik yang kemudian
diendapkan di daerah sekitar sumber letusan tersebut. Di saat yang berikutnya,
yaitu saat tidak terjadi letusan, yang diendapkan adalah batugamping.
Kemudian terjadi lagi letusan, dan berulang lagi seperti yang sebelumnya.
Oleh karena itu, terbentuklah tuff yang diantara batugamping. Setelah Tuff
terbentuk, kemudian terjadi pengendapan satuan batuan berikutnya,
Setelah satuan-satuan batuan terbentuk, terjadi proses tektonik, dalam
rezim kompresi, dalam arah relatif utara-selatan. Kegiatan tektonik tersebut
mengakibatkan terbentuknya lipatan berupa sinklin dan antiklin yang
sumbunya memiliki arah relatif barat-timur dan menunjam ke arah barat.
Selain sinklin, terbentuk pula struktur berupa sesar-sesar yang diakibatkan
oleh tegasan yang sama, yaitu yang berarah utara-selatan. Sesar-sesar tersebut
merupakan jenis sesar strike-slip, dengan arah relatif utara-selatan. Sesar
tersebut menimbulkan zona lemah yang kemudian dialiri oleh air dan
membentuk sungai-sungai yang memiliki kelurusan, yang arahnya sesuai
dengan arah dari sesarnya itu sendiri. Berdasarkan pada analisis dari data yang
diperoleh di lapangan, maka diperkirakan lipatan terbentuk lebih dulu
daripada sesar yang berada di sepanjang Kali Kedungbener. Kemungkinan
besar sesar yang berada di daerah Kali Kedungbener tersebut adalah jenis
sesar mengiri.
Setelah semua proses yang disebut di atas terjadi, maka diendapkanlah
satuan batuan yang berumur paling muda yaitu satuan endapan aluvial.
Fragmen-fragmen batuan pada aluvial tersebut terdiri dari batupasir,
5

konglomerat, dan rijang, beku, dan sekis dan gneis, serta kuarsa susu. Akibat
terjadinya proses tektonik dan erosi yang terus berlangsung, maka terjadinya
proses transport material-material batuan tersebut di sepanjang Sungai Luk
Ulo. Batas satuan aluvial ini dengan satuan batuan di bawahnya adalah berupa
batas erosional.
C. Geomorfologi
Geomorfologi dapat didefinisikan sebagai Ilmu yang membicarakan
tentang bentuklahan yang mengukir permukaan bumi, Menekankan cara
pembentukannya serta konteks kelingkungannya (Dibyosaputro, 1998). Obyek
kajian geomorfologi adalah bentuklahan yang tersusun pada permukaan bumi
di daratan maupun penyusun muka bumi didasar laut, yang dipelajari dengan
menekankan pada proses pembentukan dan perkembangan pada masa yang
akan datang, serta konteksnya dengan lingkungan (Verstappen, 1983).
Permukaan bumi selalu mengalami perubahan bentuk dari waktu ke
waktu sebagai akibat proses geomorfologi, baik yang bersal dari dalam bumi
(endogen) maupun yang berasal dari luar bumi (eksogen). Dalam mempelajari
mengenai geomorfologi penekanan utamanya adalah mempelajari
bentuklahan/landform. Bentuklahan sendiri merupakan bentukan pada
permukaan bumi sebagai hasil perubahan bentuk permukaan bumi oleh
proses-proses geomorfologis yang beroperasi di permukaan bumi Proses
geomorfologis diakibatkan oleh adanya tenaga yang ditimbulkan oleh medium
alami yang berada di permukaan bumi.
Kondisi geomorfologi yang dimiliki suatu daerah merupakan
sumberdaya alam. Salah satu bagian dari sumberdaya alam adalah sumberdaya
lahan. Pemanfaatan sumberdaya lahan yang seoptimal mungkin menjadi suatu
keharusan agar mendapat hasil yang optimal, namun perlu diupayakan agar
tidak terjadi kerusakan pada lahan. Data mengenai sumberdaya lahan sangat
diperlukan untuk dapat memanfaatkan potensi sumberdaya lahan secara
optimal. Informasi mengenai kondisi geomorfologi pada suatu daerah
merupakan dasar utama dalam penyusunan pengelolaan lahan. Peta
geomorfologi yang memuat data tentang bentuklahan dan proses
6

geomorfologinya, merupakan salah satu bentuk data yang relatif lengkap


mengenai potensi sumberdaya lahan. Manfaat peta geomorfologi antara lain
untuk inventarisasi lahan pertanian, untuk mempelajari masalah-masalah
penggunaan lahan secara ekstensif, dan sebagai dasar untuk mengembangkan
peta terhadap penggunaan yang lebih bervariasi lagi. Peta geomorfologi juga
dapat berguna untuk penyusunan rencana tata ruang agar sesuai dengan
kondisi fisik lingkungan setempat, sehingga diharapkan dapat memberikan
kontribusi optimal bagi peningkatan kondisi kehidupan yang lebih baik bagi
masyarakat (Iskandar, 2008).
Klasifikasi bentuklahan didasarkan pada: genesis, proses, dan batuan.
Bentuklahan bentukan asal fluvial berhubungan dengan daerah-daerah
penimbunan (sedimentasi) seperti lembah-lembah sungai besar dan dataran
aluvial. Pada dasarnya bentuklahan ini disebabkan karena proses fluvial akibat
proses air yang mengalir baik yang memusat (sungai) maupun aliran
permukaan bebas (overlandflow). Ketiga aktivitas baik dari sungai maupun
aliran bebas mencakup Erosi, Transportasi, dan Sedimentasi.
Erosion merupakan pelepasan progresif material dasar dan tebing
sungai, yang diakibatkan karena proses menumbuk dan menggerus material
sungai sehingga material alluvial yang tidak kompak seperti krakal, kerikil,
pasir, dan lempung dapat terangkut. Transportasi pada sedimen yang terangkut
tergantung pada ; debit sungai, material sedimen, kecepatan aliran. Deposisi
merupakan suatu pengendapan dari material-material permukaan yang
terendapakan disuatu tempat dimana gaya yang bekerja sudah tidak aktif.
D. Hidrologi
Kecepatan sedimentasi pada sungai dilihat dari besarnya laju angkutan
sedimen. Besarnya laju angkutan sedimen pada sungai ditentukan oleh
besarnya debit sungai dan jumlah sedimen pada dasar sungai. Laju angkutan
sedimen akan berkurang sejalan dengan tingkat pengambilan sedimen dan
akan menimbulkan degradasi dasar sungai. Besarnya degradasi dasar sungai
yang ak an terjadi tergantung pada jumlah sedimen yang dipindahkan relatif
tehadap muatan sedimen tahunan dari sungai tersebut. Setiap pengambilan
7

sedimen akan menurunkan level dasar sungai tetapi bila persentasi jumlah
pasir yang ditambang lebih kecil dibandingkan terhadap muatan sedimen
tahunan, penurunan elevasi dasar sungai akan kecil. Bila lokasi penambangan
lebih jauh ke arah hulu dari mulut sungai atau titik pengontrolan dasar sungai
lainnya, maka penurunan elevasi dasar sungai menjadi lebih besar pada
tingkat penambangan pasir yang sama. Jadi untuk jumlah penambangan pasir
tertentu lebih dekat ke mu lut sungai akan menyebabkan penurunan yang lebih
kecil dari elevasi dasar sungai daripada bila penambangan beberapa kilometer
lebih ke hulu. Sedimen pada dasar sungai berasal dari hasil erosi yang terjadi
di hulu sungai. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa besarnya kecepatan
sedimen seiring dengan tingkat erosi pada sungai.
Aliran sungai pada perbukitan homoklin adalah sungai tipe trellis
dengan karakteristik tahapan sungai sungai muda. Tipe sungai pada satuan
perbukitan lipatan ini adalah sungai tipe paralel dan annular yang mengalir
dari barat ke timur dengan karakteristik tahapan sungai sungai muda. Sungai
Lok Ulo adalah sungai yang memiliki karakteristik tahapan sungai tua dengan
tingkat pelapukan yang sudah tinggi dan terdapat endapan aluvial pada
tepianya.
BAB III
METODOLOGI

A. Tempat dan Waktu


1. Tempat Kegiatan
Kuliah Kerja Lapangan Program Studi Pendidikan Geografi ini
dilaksanakan di :
 BIKK-LIPI yang berada di dalam Kawasan Cagar Alam Geologi
Karangsambung. Secara administratif tepatnya di wilayah Kecamatan
Karangsambung, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah, lebih
kurang 19 km utara kota Kebumen pada elevasi 0 – 997.5 meter dari
permukaan air laut.

2. Waktu Kegiatan
Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan Program Studi Pendidikan Geografi
Pascasarjana UNS dilaksanakan pada tanggal 3-6 Juni 2015

B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan pada kegiatan Kuliah Kerja Lapangan ini
bersifat komprehensif yaitu meliputi pendekatan spasial, ekologikal dan
kompleks wilayah

C. Data dan Sumber Data


1. Data
Data Penelitian pada kegiatan Kuliah Kerja Lapangan ini adalah:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek
penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan
data langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari. Data
primer ini disebut juga dengan data tangan pertama.

8
9

Data Primer pada penelitian lapangan ini adalah data yang


diambil langsung di lapangan baik berupa foto, catatan langsung
maupun catatan dari penjelasan instruktur lapangan.
b. Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak
langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya. Data
sekunder ini disebut juga dengan Data Tangan Kedua. Data Sekunder
biasanya berwujud data dokumentasi atau data laporan yang telah
tersedia. Data sekunder pada penelitian lapangan ini antara lain;
dokumentasi baik dari internet maupun dari lembaga, dalam hal ini
pihak LIPI Karangsambung
2. Sumber Data
Sumber data pada penelitian Kuliah Kerja Lapangan ini adalah:
a. Catatan lapangan
b. LIPI Karangsambung
c. Buku Referensi yang Relevan
d. Internet
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Daerah Penelitian


1. Iklim
Wilayah Kabupaten Kebumen mempunyai iklim tropis dengan dua
musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Tercatat curah hujan pada
tahun 2005 sebesar 3.062,00 mm, lebih tinggi daripada curah hujan tahun
sebelumnya dan hari hujan sebesar 113 hari. Suhu terendah terjadi di
stasiun pemantauan Wadaslintang bulan Agustus 2005 sebesar 14,50C.
Rata-rata kelembaban udara setahun 80,00% dan kecepatan angin 1,39
meter/detik. Stasiun pemantau Sempor suhu terendah 17,30C dan rata-rata
kelembaban udara setahun 83,00% dan kecepatan angin 0,53 meter/detik.
Iklim tropis di kawasan Karangsambung menyebabkan terjadinya
pelapukan yang intensif. Pada musim kemarau daerah ini sangat panas dan
banyak partikel-partikel tanah yang terurai sehinga ketika terjadi musim
penghujan partikel-partikel tanah tersebut tererosi dan terendapkan di
sungai Lukulo yang merupakan sungai utama di kawasan ini.
Bagian utara kawasan geologi Karangsambung merupakan bagian
dari Lajur Pegunungan Serayu Selatan. Pada umumnya daerah ini terdiri
atas dataran rendah hingga perbukitan menggelombang dan perbukitan tak
teratur yang mencapai ketinggian hingga 520 m. Musim hujan di daerah
ini berlangsung dari Oktober hingga Maret, dan musim kemarau dari April
hingga September. Masa transisi diantara kedua musim itu adalah pada
Maret-April dan September-Oktober. Tumbuhan penutup atau hutan sudah
agak berkurang, karena di beberapa tempat telah terjadi pembukaan hutan
untuk berladang atau dijadikan hutan produksi (jati dan pinus).
2. Geologi
Di Karangsambung terdapat berbagai jenis batuan beku seperti
peridotit, gabro, basalt, dacite, diabas dan andesit terdapat dii daerah ini.
Batuan sedimen klastik, bioklastik maupun non klastik yang terbentuk

10
11

pada dasar samudera hingga laut dangkal berumur 80 – 30 juta tahun lalu,
d i j u m p a i pula di Karangsambung. Rijang, lempung merah dan gamping
merah yang terbentuk pada dasar samudera dengan posisi lapisan hampir
vertikal membentuk fenomena yang sangat menarik. Rijang wring
berasosiasi dengan lava bantal yang terbentuk dari pembekuan magma
pada punggungan tengah samudera. Batulempung bersisik/scaly clay (hasil
proses pelongsoran berulang-ulang), batupasir, breksi vulkanik,
konglomerat kuarsa serta batugamping numulites jugs ditemukan. Batuan
metamorf seperti Filit, sekis hijau, sekis mika (berumur 117±5 juta tahun
lalu), sekis biru dan eklogite yang terbentuk dari metamorfosa regional
tingkat tinggi terjadi pula di Karangsambung. Morfologi Amphiteater
(teater alam terbuka) yang merupakan rangkaian gunung berbentuk tapal
kuda dengan lembah ditengahnya sebagai hasil proses geologi sehingga
terjadi pembalikan topografi dimana puncak antiklin berubah menjadi
lembah sementara lembah sinklin sekarang berupa puncak gunung.
Keanekaragaman batuan di Karangsambung dengan kenampakan
morfologi serta kekomplekan struktur geologinya menjadikan kawasan ini
sebagai Monumen Geologi yang layak untuk dikonservasi dan dijaga
kelestariannya. Berdasarkan Kepmen ESDM No.2817K/40/MEM/2006,
maka kawasan Karangsambung seluas kurang lebih 22.157 Ha yang
meliputi Kabupaten Kebumen, Banjarnegara dan Wonosobo telah
ditetapkan menjadi Cagar Alam Geologi Karangsambung.
Secara fisiografi Cagar Alam geologi Karangsambung termasuk
dalam Banyumas Sub-Basin yang merupakan salah satu cekungan di
bagian selatan Jawa, beberapa pengarang memasukkannya dalam
cekungan Jawa Selatan Banyak diskusi tentang posisi tektonik cekungan
ini, dan nampaknya belum terlalu jelas posisinya. Asikin S (1994)
menyatakan bahwa kawasan ini pada jaman Kapur Akhir – Eosen
merupakan daerah subduksi, pada Miosen awal–Tengah termasuk Fore-
Arc basin dan menjadi Back-Arc basin pada Miosen Tengah – Miosen
Akhir.
12

Kuliah Kerja Lapangan ini mengajak peserta untuk mengamati


batuan dasar berumur Kapur Akhir–Paleosen yang membentuk prisma-
prisma akresi dengan struktur geologi yang komplek serta batuan yang
terlipat dan terpatahkan yang merupakan endapan olistostrome hingga
turbidit. Batuan-batuan basement Pra Tertier terdeformasi sangat kuat
tersebar luas di sebelah utara kampus lapangan geologi sekitar 3 x10 km,
sementara itu batuan yang lebih muda dan mengalami perlipatan tersebar
dibagian selatan.

Gambar 1. Lokasi Karangsambung


Sumber : Raharjo, 2009
3. Geomorfologi
Karangsambung mempunyai tiga tipe morfologi yaitu bentuklahan
bentukan asal proses struktural (patahan dan lipatan), bentuklahan
bentukan proses denudasional (perbukitan sisa, terisolir), dan bentuklahan
bentukan asal proses fluvial (dataran banjir, daerah pengendapan, poin bar,
danau tapal kuda, gosong sungai). Secara umum wilayah Karangsambung
merupakan daerah perbukitan dengan kondisi aliran permukaan cepat dan
13

juga potensi air tanah yang sedikit. Pola dari keberadaan pemukiman
mengikuti jalur sungai sehingga menandakan bahwa masyarakat masih
tergantung dengan keberadaan sungai dalam memenuhi kebutuhan sehari-
hari.
Bentuk lahan asal struktural (endogen) pada kawasan ini meliputi 2
macam yaitu berupa daerah lipatan dan daerah patahan. Daerah lipatan
berupa suatu antiklinal yang telah mengalami erosi dan berubah menjadi
lembah antiklin yang memiliki material berupa batuan sedimen yaitu batu
pasir dan breksi. Daerah patahan terdapat di sebelah utara yang merupakan
daerah melange, material yang terdapat pada daerah tersebut meliputi
antara lain sekis, filit, grewake, serpentinit, gabro, batu gamping,
basalt. Bentuklahan denudasional merupakan suatu bentukan lahan
dipermukaan yang telah mengalami/terkena tenaga dari proses eksogen.
Pelapukan yang terjadi mengakibatkan proses gradasi dan agrasi
permukaan. Pada kawasan ini proses erosi sangat mudah terjadi walaupun
dalam ruang lingkup yang kecil, seperti pada daerah Waturanda perlapisan
batuan sangat terlihat dan tanah yang terjadi masih relatif tipis berada
diatas bidang batuan yang padu, ketika terjadi hujan maka longsoran-
longsoran tanah kerap terjadi. Pada daerah perbukitan terisolasi terjadi
pula longsoran tanah yang mengakibatkan wilayah disekitarnya tertimbun
material longsoran. Kebanyakan proses pelapukan ini merupakan
pelapukan fisika dan menyebabkan longsor akibat adanya tenaga grafitasi
oleh beban air pada waktu hujan.
Bentuklahan fluvial pada kawasan hanya sebagian kecil saja yaitu
hanya disekitar sungai. Bentuklahan fluvial dipengaruhi oleh adanya
tenaga air yang mengalir sehingga proses erosi, transportasi dan
sedimentasi dari material-material permukaan di proses pada zona ini.
Bentuklahan fluvial di kawasan meliputi daerah dataran aluvial yang
secara material penyusun merupakan daerah yang subur akan tetapi daerah
yang sering terkena dampak banjir pada saat sungai meluap. Gosong
sungai adalah dasar dari sungai tersebut, sungai yang melewati kawasan
14

Karangsambung ini merupakan sungai meander sehingga banyak


ditemukan poin bar-poin bar yang merupakan material yang terendapkan
oleh transportasi air. Proses hydrolic action yang berupa menumbuk,
menggerus dan menggendapkan sangat intensif terjadi. Selain banyak
terdapat endapan akibat hydrolic action tersebut maka semakin lama
sungai semakin tidak terkontrol, meandering yang terjadi semakin besar
dan akan memotong sungai mencari jalur yang lebih pendek. Daerah yang
dinggalkan akan membentuk seperti danau yang mirip dengan tapal kuda
dan juga terdapat sungai mati.
4. Hidrologi
Karangsambung dialiri beberapa sungai utama maupun anak sungai
yakni, sungai Luk Ulo dengan anak sungainya Kali Mandala, Kali Muncar,
Kali Brengkok, Kali Cacaban, selain itu terdapat juga sumber air panas,
sumber air panas Krakal. DAS Luk Ulo mempunyai luasan sebesar 676
Km2, curah hujan di daerah hulu mencapai 2500 – 3250 mm/tahun, dan
kurang dari 2600 mm/tahun di daerah hilir. Pada musim penghujan di DAS
Luk Ulo mempunyai debit yang sangat tinggi dan ketika musim kemarau
debit yang terjadi sangat kecil. DAS Luk Ulo ini berada di Jawa Tengah
yang merupakan salah satu DAS yang telah mengalami degradasi
lingkungan dan eksploitasi sedimen yang mengakibatkan
ketidakseimbangan DAS. Pada saat ini kondisi lingkungan hulu DAS Luk
Ulo telah mengalami degradasi. Tingkat degradasi tersebut ditandai oleh
besarnya fluktuasi debit sungai antara musim hujan dengan kemarau,
terjadinya perubahan tata guna lahan, menipisnya permukaan tanah,
terbentuknya selokan atau parit alami, perubahan vegetasi, kekeruhan dan
pengendapan sedimen di sungai, terjadinya gerakan tanah serta kurang
tersedianya sumber daya air pada musim kemarau. Tingginya
pengendapan pada Sungai Luk Ulo telah dimanfaatkan melalui aktivitas
penambangan pasir dan batu (sirtu), hal tersebut berakibat pada kerusakan
lingkungan terutama terjadinya erosi dan gerakan tanah pada tebing
sungai.
15

5. Tanah
Kondisi tanah di Karangsambung yang bermacam-macam jenisnya
dipengaruhi oleh jenis batuan yang ada di sekitar tanah tersebut. Tanah
senantiasa mengalami evolusi, pada saat terbentuk akan mengambil sifat-
sifat batuan induknya. Tetapi tanah akan senantiasa mengalami sirkulasi
pertumbuhan dengan stadia muda, dewasa dan tua. Pengaruh dari luar
akan mengubah keadaan asli dari masa tanah. Begitu kuatnya pengaruh
dari luar akan banyak menentukan ciri-ciri tanah, pengaruh luar yang
utama adalah iklim. Pengaruh yang lain adalah vegetasi yang sebenarnya
juga ditentukan oleh iklim. Faktor iklim yang menetukan adalah hujan
(presipitasi).
Adanya gerakan tanah disebabkan oleh adanya gerakan masa
batuan, misalnya yaitu terjadi debris avalance, hanging valley,
maupun soil creep. Tanah yang merayap (soil creep) ini merupakanm
gejala umum yang terjadi di permukaan bumi, karena gerakannya yang
lambat sehingga perubahan yang terjadi tidak dapat diamati secara
langsung, tetapi hanya bisa diamati gejala-gejalanya saja. Iklim tropis
dalam kawasan menyebabkan terjadinya pelapukan yang intensif.Pada
musim kemarau daerah ini sangat panas dan banyak partike-partikel tanah
yang terurai sehinga ketika terjadi musim penghujan partikel-partikel
tanah tersebut tererosi dan terendapkan di sungai Luk Ulo yang merupakan
sungai utama di kawasan ini.
6. Vegetasi
Vegetasi di lokasi Karangsambung adalah beraneka ragam sesuai
dengan kondisi tanah yang ada di daerah tersebut.Tanah yang terletak pada
daerah banjir relatif subur karena mengandung banyak materi dari aliran
air banjir yang melewati. Pada kawasan Karangsambung ini ditemukan
banyak vegetasi yaitu diantaranya padi, ketela pohon, kelapa, sengon,
kayu jati, bambu dll. Pola penyebaran vegetasi di daerah ini adalah
menyebar yang dipengaruhi oleh relief daerahnya yang tidak rata, berbatu,
dan berlapis-lapis.
16

7. Sosial
Kerusakan sumberdaya lahan dapat menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan lahan sehingga akan menyebabkan kerugian-kerugian
dalam masyarakat, seperti misalnya banjir, kekeringan, tanah longsor,
pendangkalan sungai. Wilayah Karangsambung merupakan wilayah yang
fenomenal dimana daerah tersebut terdapat berbagai macam jenis batuan,
yaitu kelompok batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf yang
tersingkap di daerah ini.
Selain faktor fisik kerusakan lahan juga disebabkan oleh faktor
sosial budaya masyarakat, ketika masyarakat sudah terbentur dengan
kebutuhan maka sumberdaya alam yang ada (bahan galian) di eksploitasi
baik penambangan batuan ataupun penambangan-penambangan dari
material endapan sungai. Desakan kondisi sosial masyarakat juga
mempengaruhi desakan lahan, salah satunya ditujukan adanya perubahan
peruntukan penggunaan lahan yang berkaitan dengan vegetasi. Semakin
lama kerapatan vegetasi semakin berkurang sehingga akan menyebabkan
peningkatan aliran permukaan dan penurunan air tanah. Tujuan penelitian
ini adalah melakukan diskripsi mengenai inventarisasi batuan lindung
dalam kaitannya dengan jenis penggunaan lahan dan kebencanaan gerakan
tanah.
Masyarakat Karangsambung menggunakan bahasa jawa dengan
dialek yang khas (Banyumasan), namun pada umumnya mereka mengerti
bahasa Indonesia. Budaya masyarakat Karangsambung menyerupai ciri
budaya Jawa Tengah pada umumnya. Pada acara-acara perayaan
perkawinan, khitanan atau perayaaan lainnya, masyarakat biasa
merayakannya dengan acara pengajian. Pada acara seperti ini ada pula
yang memeriahkannya dengan mengadakan pertunjukan wayang kulit atau
kudalumping – yang di daerah ini disebut Ebek. Sedangkan bentuk budaya
yang dapat disebut mencerminkan kekhasan budaya Karangsambung
17

adalah Janeng, yaitu pengekspresian alunan lagu – bernuansa agama Islam


– yang diiringi dengan alat tabuh rebana.
8. Kependudukan
Sebagian besar penduduk di daerah Karangsambung beragama
Islam. Pada umumnya penduduk bekerja sebagai petani (mengolah sawah,
berkebun, berladang, menyadap getah pinus). Mereka biasa menyelingi
pekerjaan bertani dengan menambang kerikil dan pasir di sungai, atau
membuat batu bata. Sebagian kecil bekerja sebagai pedagang, pegawai
pemerintahan atau merantau ke luar daerah. Hasil pertanian selain padi
adalah, tembakau, ubi kayu, petai, kelapa, jagung, pisang dan sedikit
sayur-mayur. Sebagian penduduk memelihara ternak seperti ayam,
kambing atau sapi. Makanan utama penduduk adalah nasi dan sebagian
kecil lainnya mengkonsumsi oyek yang terbuat dari ubi kayu.
Kecamatan Karangsambung adalah salah satu dari 26 kecamatan di
Kabupaten Kebumen. Wilayah berpenduduk 44.993 jiwa tersebar di 14
desa dengan luas wilayah 6.597 Ha ini terletak di Propinsi Jawa Tengah
Bagian Selatan Jawa Tengah, lebih kurang perjalanan 4-5 jam arah Barat
dari Yogyakarta. Mata pencaharian penduduk di dominasi sektor pertanian
(39,47%) dan PDRB urutan kedua di sektor pertambangan/ galian yaitu
sebesar 23,44%, kemudian diikuti sektor jasa 16,58%, perdagangan
9,71%, angkutan 5,57% dan sektor lainnya.
Fasilitas pendidikan formal yang ada di daerah Karangsambung
dan sekitarnya terbatas hanya sampai pada jenjang setingkat SLTP. Di
daerah ini terdapat 7 sekolah setingkat SLTP yang setiap tahunnya
meluluskan sekitar 600 siswa. Dari jumlah itu sebagian kecil saja yang
melanjutkan ke jenjang SLTA di Kota Kebumen. Bagi siswa yang tinggal
di desa-desa di Kecamatan Sadang, mereka menempuh perjalanan sejauh
30 km ke Kebumen. Walaupun pendidikan adalah salah satu masalah di
daerah Karangsambung, bagi mereka yang berkesempatan melanjutkan
pendidikan hingga ke perguruan tinggi, tercatat beberapa orang putra
daerah Karangsambung berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana S1.
18

9. Ekonomi
Permasalahan alam terjadi tidak hanya disebabkan oleh faktor fisik
lahan, akan tetapi sosial juga mempengaruhi keadaan tersebut. Akibat
permasalahan ekonomi kondisi masyarakat semakin terdesak, sehingga
keadaan alam terganggu keseimbangannya.
Kondisi sosial ekonomi penduduk disekitar daerah pemetaaan
banyak bermata pencaharian di bidang agraris, perdagangan, buruh dan
para pegawai sipil pemerintahan, tetapi mayoritas para penduduk sekitar
bermata pencaharian sebagai petani dan penambang pasir di sekitar sungai
luk ulo, untuk yang bekerja sebagai petani, biasanya mereka melakukan
aktivitas dengan menanam padi, jagung, singkong, kelapa serta tembakau,
dan tanaman palawija lainya.
Fungsi-fungsi lahan sudah tidak pada tempat yang sesuai.
Masyarakat mulai menggunakan tempat-tempat yang tidak dianjurkan
untuk pemukiman, seperti bantaran sungai, dan juga menebangi hutan
secara besar sehingga ekosistem berubah fungsi dan menimbulkan dampak
lingkungan.

B. Hasil dan Pembahasan


1. Stop Site I
Lokasi : Lembah Kali Muncar, Desa Sadang
Letak Astronomis : 07o 31’49,6’’LU dan 109o 42’29,2’’
Untuk mencapai lokasi ini perlu jalan kaki sekitar 25 menit dari
depan Masjid Seboro melalui sisi timur kali Paladipa ke arah utara,
kemudian berbelok kekiri melawati persawahan dan turun di kali Muncar.
Pada stop site ini ditemukan beberapa jenis batuan sedimen (batu
gamping numulites, batu gamping merah, batu rijang) dan batuan basalt.
a. Batu Sedimen
1) Batugamping Numulites
Pada titik pengamatan pertama dijumpai batu gamping
Numulites yang hanya ada satu bongkah saja dilokasi ini. Batu
19

gamping numulites ini dicirikan dengan adanya fosil didalam


batuan dan mempunyai komposisi utama karbonat. Terbukti dari
pengecekan dengan HCL, batuan tersebut berbuih. Batuan tersebut
dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2. Batugamping Numulites


Batu gamping umumnya berupa perbukitan seperti yang
terdapat di daerah gunung kidul, namun disini hanya satu
bongkahan. Jika dilihat dari sejarahnya fosil makroskopis yang
terdapat pada batuan terbentuk dilaut dangkal kedalaman sekitar
200 meter. Namun tidak jauh dari lokasi ditemukan fosil batuan
dalam. Maka diperkirakan adanya batugamping ini disebabkan
karena zona ini merupakan zona subduksi, pertemuan lempeng
eurasia dan lempeng indo-australia yang sampai arah Meratus di
Kalimantan.
2) Batugamping Merah dan Batu Rijang
Pada dinding Kali Muncar terlihat batuan sedimen berwarna
merah memanjang sekitar 100 meter laksana kelir atau layar
pertunjukan wayang dengan batuan beku pada bagian atasnya
20

seperti kenong dan gongnya. Masyarakat sekitar menamakan


singkapan batuan ini dengan nama watu kelir. Batuan sedimen laut
berwarna merah ditemukan melampar selaras di atas batuan lava
bantal. Batuan sedimen ini merupakan perlapisan selang-seling
antara rijang (chert) dan lempung merah karbonatan. Batuan rijang
lazimnya diendapkan pada lantai samudera (laut dalam), sedangkan
lapisan lempung merah gampingan lazim diendapkan pada laut
dangkal.

Gambar 3. Batuan di Kalimuncar

Batu rijang yaitu sedimen pelagik laut dalam ini terbentuk di


bawah batas lapisan Carbonate Compensation Depth (CCD), atau
pada kedalaman laut lebih dari 4200 meter, karena pada kedalaman
ini bahan kimia yang mengandung karbonat atau kalsit (CaCO3)
akan terlarut seluruhnya sehingga batuan sedimen yang terbentuk
tidak bersifat karbonatan. Umumnya, sedimen yang terbentuk pada
kedalaman di bawah CCD ini bersifat silikaan (SiO2).
21

Rijang yang ditemukan ini umumnya berwarna merah gelap


karena mengandung unsur besi dan dominan berisi fosil radiolaria,
diperkirakan berumur 80 juta tahun atau terbentuk pada zaman
Kapur Akhir. Sebetulnya, batuan lantai samudera ini pada saat
terbentuknya melampar horizontal, tetapi karena telah mengalami
pengangkatan dan pensesaran akibat kompresi gaya tektonik yang
cukup kuat maka posisinya saat ini membentuk dinding tegak
(vertikal). Batu lempung karbonatan berwarna merah terang
tersusun oleh dominan cangkang radiolaria, bersifat karbonatan,
keras dan memperlihatkan struktur laminasi.

Gambar 4. Batugamping Merah


b. Batuan Basalt (Pilow Lava)
Pada bagian atas perlapisan batugamping merah dan batu rijang
terdapat batuan beku yang tampak bulat memanjang merupakan lava
basal berstruktur bantal. Lazimnya, lava bantal terbentuk akibat dari
erupsi atau lelehan lava (eruptions with relatively low effusion rates)
yang bersentuhan langsung dengan media air laut. Proses pembekuan
yang tiba-tiba akibat kontak langsung dengan masa air laut ini,
menyebabkan bentukan mineral-mineralnya tidak terpilah dengan
22

baik, namun tubuh lavanya membentuk geometri mirip bantal


sehingga disebut lava bantal (pillow lava).
Proses terbentuknya lava bantal adalah saat mengalir dan
mengalami pendinginan serentak oleh air laut, selanjutnya bagian
kulitnya langsung membeku dan tertahan tekanan hidrostatis sehingga
membentuk batuan beku membulat atau melonjong. Bentuknya bulat
lonjong inilah yang disebut lava bantal dan pada umumnya
berkomposisi basalt yang bersifat asam.

Gambar 5. Pillow Lava (Batuan Beku Basal) yang terdapat di atas


perlapisan batugamping merah dan batu rijang

Berdasarkan ciri-ciri fisiknya, lava bantal ini terbentuk pada


zona pemekaran lantai samudera (sea floor spreading) sebagai bagian
kegiatan vulkanik bawah laut. Ciri fisik batuan ini adalah membentuk
pola bantal, berwarna hitam, keras, bertekstur afanitik. Saat ini,
singkapan batuan lava bantal di kali Muncar berwujud dinding lava
hampir tegak karena telah mengalami pengangkatan dan pensesaran
yang dicirikan adanya kekar dan cermin sesar sebagai konsekuensi
dari aktifitas tektonik yang cukup kuat.
23

Menurut pakar geologi Prof. Emmy Suparka (1988) dalam pusat


penelitian dan pengembangan geologi kelautan 2012, berdasarkan
pentarikhan penentuan umur absolut menggunakan metoda
radiometrik K/Ar, batuan ini berumur 81 juta tahun atau terbentuk
pada zaman Kapur Akhir. Batuan ini lebih muda dari batuan tertua
yang ditemukan di pulau Jawa yaitu batuan metamorfik batu sekis
mika di Kompleks Melange Luk Ulo yang berumur 117 juta tahun
atau terbentuk pada zaman Kapur Awal (Ketner, dkk, 1976).
2. Stop Site II
Lokasi : Desa Pucangan
Letak Astronomis : 07o 31’34,3’’LU dan 109o40’37,5’’ LS
Lokasi kedua di Desa Pucangan, Kecamatan Karangsambung. Pada
lokasi ini dijumpai batuan metamorf serpentinit. Batuan ini berwarna
kehijauan dan berasal dari perut bumi di bawah lantai samudera. Batuan
ini merupakan batu basa hingga ultrabasa hasil pembentukan magma pada
kerak samudera. Tekstur batuan ini tergolong masif dan berkilap dengan
struktur slincken side, nonfoliasi. Batuan ini berasal dari batuan beku
ultramafik yang telah mengalami proses methamorfosis yang berhubungan
dengan air laut.

Gambar 6. Batuan Serpentinit di Desa Pucangan


24

Batuan serpentinit merupakan batuan metamorf yang terbentuk dari


mineral serpentin akibat perubahan basalt dasar laut yang bertekanan
tinggi pada temperatur rendah. Mineral serpentin tergolong dalam kelas
mineral silikat yaitu phyllosilicates. Kemudian batu ultrabasa bergerak
bersama lempeng samudra yang kemudian masuk zona subduksi sehingga
terjadi proses penujaman disertai metamorfosa kedua menjadi batu
supertinit dan terakhir muncul ke luar perut bumi disertai retak-retak
dikarenakan tekanan. Formasi batu ini berubah saat bersentuhan dengan air
laut dan dapat berubah lagi ketika masuk zona tunjaman dan terangkat ke
permukaan bumi.
Pada batuan ini terdapat goresan teratur berwarna putih. Warna
putih pada batuan ini menandakan bahwa batuan ini mengandung mineral
talk dan asbes, sehingga batuan ini sering digunakan sebagai sumber
mineral karena mengandung talk dan asbes. Namun, sekarang ini asbes
tidak laku lagi di pasaran karena mengandung zat yang bisa menyebabkan
kanker. Sifat dari batuan ini rapuh (kekar) dan magnetis (nonfoliasi), yang
dibuktikan ketika kita menggoreskan kuku pada batuan ini, batuan ini
mudah lepas.
Mineral Serpentin mengandung chrysotile yaitu mineral serpentin
yang mengkristal membentuk serat tipis yang panjang. Mineral serpentin
memiliki beberapa senyawa kimia antara lain:
- Antigorite; (Mg, Fe)3 Si2 O5 (OH)4
- Clinochrysotile; Mg3 Si2 O5 (OH)4
- Lizardite; Mg3 Si2 O5 (OH)4
- Orthochrysotile; Mg3 Si2 O5 (OH)4
- Parachrysotile; (Mg,Fe)3 Si2 O5 (OH)4
Berikut karakteristik Batu Serpentinit:
- Warna Hijau kehitaman, cokelat, merah dan hitam
- Kekerasan 2,5-5
- Bidang Belahan (Cleavage) Tidak ada
- Kilauan (Luster) Berminyak atau lilin
25

- Bentuk Kristal Ortorombik, monoklin, dan heksagonal


- Berat Jenis 2,5-2,6
- Goresan Putih
3. Stop Site III
Lokasi : Totogan
Letak Astronomis : 07o 31’ 30,0” LS dan 109o 40’ 30.1” BT
Pada stop site ini dapat dijelaskan bahwa secara garis besar,
geologi Karangsambung tersusun oleh berbagai macam jenis batuan
dengan lingkungan pembentukan dan umur yang berbeda-beda serta
struktur geologi yang komplek. Kekomplekkan kondisi geologi
disebabkan karena daerah ini merupakan tempat penunjaman/subduksi
antara lempeng samudera Hindia Australia dengan lempeng benua Eurasia
pada jaman Kapur – Eosen. Stratigrafi daerah ini dimulai dari batuan
tertua di Jawa yang mengalami pengangkatan dan erosi maksimal
sehingga muncul di kawasan Karangsambung ini. Menurut Asikin (1994)
stratigrafi daerah ini meliputi Komplek Melange Luk Ulo, Formasi
Totogan-Karangsambung, Formasi Waturanda, dan Formasi Penosogan.

Batuan Batuan
Campur
Patahan Sejenis
Luk Ulo

Gambar 7. Formasi Totogan


26

Menurut Asikin (1974), Formasi Karangsambung-Totogan tersusun


oleh kelompok sedimen yang tercampur aduk karena proses pelongsoran
gaga berat yang sering dikenal dengan istilah Olistostrome. Bongkah-
bongkah batuan sedimen berukuran centimeter hingga ratusan meter
tersebar secara acak dalam masa dasar lempung hitam bersisik (scaly
clay). Jenis fragmen yang dijumpai bermacam-macam. Pada bagian
bawah, variasi fragmenya sangat heterogen yang menyangkut lebih dari 6
(enam) jenis fragmen seperti batulempung, batupasir, konglomerat,
sekis, filit, batugamping berfosil, kuarsit, basalt, marmer, rijang dan breksi
polimik. Pada bagian atas variasi fragmennya bersifat homogen. Diameter
fragmen sangat bervariasi, sebagian besar kurang dari 30 cm, sebagian
kecil mencapai ratusan meter. Fragmen berukuran besar dijumpai pada
bagian bawah sampai tengah formasi, fragmen lebih kecil dijumpai pada
bagian atas formasi, sebaran fragmen tidak terpola.
Berdasarkan ukuran dan variasi fragmen, diperkirakan bahwa
tingkat gangguan tektonik lebih kuat pada awal sedimentasi, yang
kemudian melemah pada akhir proses sedimentasi. Seluruh satuan
olistostrome pada awalnya diendapkan pada cekungan labil dekat komplek
melange yang kemudian semakin menjauh dari komplek melange. Masa
dasar berupa batu lempung bersisik, berwarna abu-abu gelap hingga cerah.
Bagian bawah formasi scaly clay sangat intensif terbentuk namun pada
bagian atas tidak. Perbedaan intensitas pembentukan lempung
bersisik disebabkan karena proses pelongsoran kuat yang berulangulang
namun kekuatannya semakin berkurang ke arah atas, (Raharjo, 2009).

4. Stop Site IV
Lokasi : Sungai Luk Ulo, Kaki Bukit Sipako

Letak astronomis : 07º 32’ 47,3” LU dan 109º 39’ 59,6”

Pada stop site keempat ini dapat dijelaskan singkapan batuan di


Luk Ulo. Batuan tertua di Jawa yang merupakan dasar cekungan
27

tersingkap disini, yang merupakan inti pegunungan Serayu. Daerah ini


berjarak sekitar 20 km utara kota Kebumen. Lokasi ini merupakan satu dari
3 lokasi dimana batuan Pra Terrier tersingkap, yaitu Ciletuh Jawa barat dan
Bayat di Jawa Tengah.
Derah Luk Ulo merupakan bagian Pegunungan Serayu Selatan
yang tererosi paling dalam, tersusun oleh batuan dan struktur geologi yang
komplek, dimana batuan terdeformasi kuat dengan lingkungan
pembentukan yang berbeda-beda, fasies dan umur berbeda tersingkap
secara secara berganti dalam jarak yang dekat. Kelompok batuan ini
merupakan kumpulan aneka batuan dengan struktur dan startigrafi yang
tidak teratur, tersusun oleh fragmen dan blok batuan ofiolit,
metamorfosa derajat rendahtinggi, batuan meta sedimen, batuan sedimen
laut dalam yang berada di dalam kepungan batu lempung bersisik.
Kelompok batuan semacam ini disebut sebagai batuan bancuh (tectonic
melange). Fragmen dan blok batuan tersebut umumnya berbentuk angular –
sub angular dengan ukuran beberapa sentimeter hingga kilometer. Nama
Komplek Melange Luk Ulo diusulkan untuk kelompok batuan ini yang
merupakan tectono-stratigraphic unit (Asikin, 1974).
Komplek Melange Luk Ulo merupakan hasil subduksi antara,
lempeng samudera Hindia–Australia yang bergerak kearah Utara dengan
lempeng Eurasia. Arah umum kecenderungan struktur geologinya adalah
timur laut – barat daya yang sejajar dengan tinggian dan rendahan pada
daerah cekungan Jawa Utara serta pegunungan Meratus di Kalimantan.
Korelasi lebih lanjut dengan kelompok batuan di Meratus dan Pulau Laut
menunjukkan bahwa penunjaman melewati Kalimantan. Mulai Ciletuh
Jawa Barat pola strukturnya barat – timur, di Pegunugan Serayu Selatan
strukturnya berubah berubah kerah timur laut di Laut Jawa dan menerus di
Pegunungan Meratus di Kalimantan.
Komplek Melang Luk Ulo ditutupi oleh endapan olistostrome dari
Formasi Karangsambung dan Totogan yang tersusun oleh campuran fosil
Peleosen, Eosen dan Oligosen. Asosiasi batuan dan struktur geologinya
28

menandakan bahwa Formasi ini dihasilkan dari proses peluncuran gaya


berat pada prisma akresi yang merupakan endapan syn tektonic. Selama
pengisian cekungan yang kecil ini batuan mengalami proses
deformasi secara menerus. Berdasarkan asumsi terdapatnya di atas batuan
melange, maka umur Formasi ini tidak lebih muda dari Paleosen.
Olistostrome ini ditutupi secara tidak selaras oleh endapan klastika vulkanik
dan endapan turbit berumur Oligosen – Miosen Tengah berupa Formasi
waturanda dan Penosogan yang merupakan endapan fore – arc basin.
Pada Miosen Akhir batas lempeng bergerak kearah selatan yang
menghasilkan pergeseran sumbu magmatik kearah selatan dan
menghasilkan batuan vulkanik kalk – alkalin di daearah Karangbolong.
Pada saat itu cekungan Banyumas mengalami penurunan dan terisi
sedimen dari sumbu magmatik di selatan serta dari tepi benua di
utaranya yang menghasilkan Formasi Halang.
Setidaknya terdapat 2 (dua) patahan utama melalui daerah ini, yaitu
berarah barat laut tenggara dan utara. – selatan. Patahan barat laut- tenggara
merupakan sisa patahan naik pada zone imbrikasi dari prisma akresi yang
dihasilkan selama proses penunjaman yang kemudian diaktifkan
kembali oleh tektonik berikutnya. Sedangkan patahan utara – selatan
dihasilkan oleh gaya kompresi yang sekaligus menghasilkan lipatan berarah
barat-timur.
29

Gambar 8. Perkembangan Tektonik P. Jawa Antara Jaman Kapur - Kuarter


Sumber : Hamiljon, 1979

Gambar 9. Peta Geologi Kawasan Karangsambung dan Lokasi Pengamatan


Sumber : Asikin S, 1994
30

Komplek Melange Luk Ulo merupakan satuan batuan bancuh


(chaotic) dari berbagai macam batuan sedimen, batuan beku dan batuan
metamorf pada masa dasar lempung yang tergerus kuat (pervasively
sheared). Kenampakan, struktur boudinage dengan kekar genus dan
cermin sesar merupakan hal yang umum dijumpai pada permukaan batuan.
Blok-blok batuan berupa exotic block maupun native block berukuran
centimeter hingga ratusan meter yang mengambang di atas lempung
hitam tersebar luas dengan pola penyebaran sejajar arch gerusan.
Komponen Melange Luk Ulo meliputi :
a. Batuan Metamorfik, merupakan batuan tertua yang dijumpai dan
terdiri dari genes, sekis hijau, sekis mika, sekis biro, filit,
amphibolite, eklogit dan marmer. P en guk uran radi om et ri c
K-Ar pad a seki s m i ka menunjukkan umur 117 Ma, Ketner, et.al
(1976).
b. Batuan beku, berupa batuan ultra mafik yang merupakan serf batuan
ofiolit dijumpai sangat bagus di daerah ini. Peridotit, serpentinit, gabro
dan basalt yang sering membentuk struktur bantal. Basalt berstruktur
bantal umumnya berasosiasi dengan sedimen laut dalam.
Sedimen laut dalam, berupa selang sering rijang dengan lempung
merah atau lempung merah gampingan.
c. Batuan sedimen, umumnya berupa perselingan batuan pelitik dengan
batupasir, disamping itu dijumpai greywacke dan metagreywacke yang
sering membentuk struktur boudinage
Berdasarkan penanggalan radiometric K-Ar maka umur
metamorfisme sekitar Kapur akhir (117 Ma), sedangkan dari fosil
radiolaria menghasilkan kapur awal hingga akhir, Wakita et al (1991).
Asikin (1974) dan Sapri, H., dkk. (1998) berdasarkan nano fosil
dari sedimen di atas melange menemukan percampuran fauna
Paleosen dengan Eosen. Dari data ini maka diduga umur Komplek
Melange berkisar Kapur Akhir hingga Paleosen.
Sungai Luk Ulo ini termasuk sungai pendahulu, yaitu jenis sungai
31

yang memotong struktur geologi utama dan termasuk ke dalam umur


dewasa. Tingkat kedewasaan sungai ini terlihat dari bentuknya yang
berkelok-kelok dan adanya keterdapatan meander pada sisi-sisi
belokannya sertaterbentuknya deposit pada teras sungai. Di sungai Luk
Ulo terdapat singkapan batuan berwarna hitam pada dinding sungai yang
terjal. Batuan ini dikenal dengan nama “filit”. Batuan ini terbentuk selama
proses penunjaman serta merupakan batuan metamorf. Proses tektonik dan
deformasi lebih lanjut berupa patahan geser searah aliran sungai,
membentuk lipatan-lipatan kecil serta struktur gores garis pada batuan filit.
Batu filit ini merupakan hancuran batu pasir dengan komponen greywacke
yang mengalami proses metamorfisme dengan tekanan tinggi dan
temperature rendah. Derajat metamorfismenya Rendah-intermediet.
Berwarna hitam, abu-abu, berekstur lapidoblastik (terdiri dari
mineralmineral tabular). Strukturnya Filitik, terlihat rekristalisasi yang
lebih kasardari slaty cleavage, sudah mulai terjadi pemisahan mineral
granular (segresi) tetapi belum sempurna. Ukuran butirnya halus.

Gambar 10. Singkapan Batuan Filith di tebing bukit sikopa tepi


Luk Ulo

Batu ini, lebih tepatnya untuk jenis batu filit warna hitam, berasal
32

dari lempung hitam yang sudah kaya akan karbon (C). Bertekstur
Lepidoblastik (Terdiri dari mineral – mineral yangtabular). Prosesnya
berawal dari daerah palung , kemudian masuklah mineralmineral organic
terutama karbon, kemudian lempeng samudera masuk zona subduksi,
kemudian menerima panas dan tekanan, kemudian berubah menjadi filit.
Batuan ini memiliki microfault (sesar minor) yaitu adanya garis lekukan-
lekukan pada batuan berukuran kecil.

C. Implementasi KKL dalam Pembelajaran Geografi


Implementasi KKL di Karangsambung ini dalam Pembelajarn Geografi
yaitu dapat dijadikan sebagai bahan ajar baik untuk tingkatan SMP, SMA
maupun di Perguruan Tinggi. Pada Tingkatan SMP, materi ini sesuai dengan
pokok bahasan Pembentukan Muka Bumi. Pada Tingkatan SMA sesuai
dengan materi Dinamika Litosfer. Pada Tingakat Perguruan Tinggi sesuai
sekali dengan Mata Kuliah Geologi dan Geomorfologi. Gambar arupun video
mengenai Karangasambung sangat bagus jika disertakan sebagai media dalam
mengajarkan materi yang sesuai, karena dapat memberikan contoh real di
lapangan dengan jelas. Untuk rancangan materi dan RPP pada berbagai tingkat
pembelajaran dapat dilihat pada lampiran.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
Kawasan Cagar Alam Karangsambung merupakan salah satu titik di muka
bumi yang memiliki singkapan-singkapan batuan terlengkap dan terbaik
sehingga dapat digunakan untuk mempelajari sejarah perkembangan bumi.
Pada wilayah banyak ditemukan beragam jenis batuan, baik batuan beku,
sedimen, maupun metamorfik, dengan umur beragam dan proses pembentukan
yang berbeda. Berdasarkan sebaran jenis dan umur batuan tersebut, menurut
Asikin (1974) stratigrafi daerah ini meliputi Komplek Melang Lok Ulo,
Formasi Totogan-Karangsambung, Formasi Waturanda, dan Formasi
Penosogan.
Keunikan wilayah Cagar Alam Geologi Karangsambung terbentuk
karena tumbukan antar lempeng samudera Hindia-Australia dengan lempeng
benua Eurasia yang terjadi pada jaman kapur (sekitar 121-60 juta tahun yang
lalu). Oleh sebab itu kawasan ini menjadi salah satu kunci dalam mempelajari
proses evolusi lempeng di Asia Tengggara. Jejak tumbukan ke dua lempeng
ini dapat di temukan dalam bentuk singkapan-singkapan berbagai jenis batuan.
Batuan-batuan beku seperti peridotit, gabro, basalt, andesit, decite, dan diabas
dijumpai di daerah ini. Batuan sedimen klastik, bioklastik maupun non-klastik
yang terbentuk di dasar samudera yang dalam hingga laut dangkal berumur
80-30 juta tahun yang lalu dijumpai juga di Karangsambung. Rijang (chert),
batu liat merah dan batu gamping merah yang terbentuk di dasar samudera
kini bisa dilihat dengan posisi hampir vertikal membentuk fenomena yang
sangat menarik. Rijang sendiri berasosiasii dengan lava bantal yang terbentuk
dari pembekuan magma dan punggungan tengah samudra. Batuliat bersisik
(scaly clay) hasil pelongsoran berulang-ulang, batu pasir, breksi vulkanik,
konglomerat kuarsa, dan batu gamping numulites juga ditemukan. Batuan
metamorfik, saperti filit, sekis hijau, sekis mika (berumur 121 tahun yang

33
34

lalu), sekis biru dan eklogit yang terbentuk dari metamorfosa regional tingkat
tinggi terbentuk pula di Karangsambung.

B. Saran
Mengingat pentingnya Cagar Alam Geologi Karangsambung demi
kegiatan penelitian keilmiahan terutama penelitian tentang geologi maka
perlunya kami memberikan saran antara lain:
1. Menjaga kelestarian kawasan Cagar Alam Geologi Karangsambung ini,
sehingga kemanfaatannya bisa berkelanjutan dalam kaitannya dengan
perkembangan/ dinamisasi ilmu pengetahuan.
2. Menjadikan Kawasan Cagar Alam Geologi Karangsambung sebagai
Kiblatnya pembelajaran tentang kebumian utamanya kajian geologi baik
untuk tingkatan SMP, SMA maupun Tingkatan Mahasiswa.
35

DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Chusni. 2010. Tinjauan Tektonik Kawasan Cagar Alam Geologi


Karangsambung; Panduan Ekskursi Karangsambung. BIKK-LIPI:
Kebumen
----------------------, Sapri, H. 2002. Karakteristik Fragmen Endapan Olistostrome
di Karangasmbung, Kebumen; Buku Geologi Jawa Tengah-Yogyakarta,
Publikasi Khusus IAGI Komda Jateng-DIY: Yogyakarta
----------------------. 1994. Panduan Geowisata Karangasmbung. UPT BIKK-LIPI:
Kebumen
Asikin, S. 1974. Evolusi Geologi Jawa Tengah dan Sekitarnya, Ditinjau dari Segi
Teori Tektonik Dunia yang Baru. Disertasi Doktor. Departemen Teknik
Geologi ITB.
Asikin, S. 1994. IPA Post Covention Field Trip, Banyumas Basin, Central Java;
Field trip Guide Book
Asikin, S., Harsolumakso, A.H., Busono, H., Gafoer,S. 1992. Peta Geologi
Lembar Kebumen: P3G Bandung
Asikin, S. 1990. Buku Penuntun Geologi Lapangan. Teknik Geologi ITB;
Bandung
Bemmelen, Van, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Martinus Nyhoff, The
Haque, Nederland.
Hadiwisastra, Sapri. 1994. Penelitian Nannoplangton dan Biostratigrafi Tersier di
Indonesia. Prosiding Tridasawarta Puslitbang Geoteknologi LIPI. Hal. II-
46 – II-63.
Menteri ESDM. 2006. Penetapan Kawasan Cagar Alam Geologi
Karangsambung. Keputusan Menteri ESDM Nomor: 1817
k/40/MEM/2006.
Nur, AM. 2009. Sungai Meander Luk Ulo Antara Kondisi Ideal dan Kenyataan.
Jurnal Geografi. Volume 6 No. 2 Juli 2009.
Raharjo, PG. dan Ansori, C. 2009. Kajian Penggunaan Lahan Pada Kawasan
Cagar Alam Geologi Karangsambung Dengan Menggunakan Sistem
Informasi Geografis. International Conference Earth Science And
Technology. Yogyakarta 6-7 August 2009. Balai Informasi dan Konservasi
Kebumian Karangsambung, LIPI.
Raharjo, PG. dan Saifudin. 2008. Pemetaan Erosi DAS Lukulo Hulu Dengan
Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi.
Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 8, No. 2 (2008) p: 103-113. Balai
Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung, LIPI.
36

Sukendar, A. 1974. Evolusi Geologi Jawa Tengah dan Sekitarnya Ditinjau dari
Segi Teori Tektonik Dunia yang Baru. Thesis Doktor. Tidak
dipublikasikan.
Wakita, K.et al. 1991. Nature and Age Sedimentary of Luk Ulo Melange Complex
in Karangasmbung Area, Central Java, Indonesia: Symposium on Dynamic
of Subduction and Its Product : Yogyakarta.
Yuwono, YS. 1997. The Occurance of Submarine Arch-Vocanism in the
Accretionary Complex of The Luk Ulo Area, Central Java. Buletin
Geologi, Vol 27. ITB: Bandung
37

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai