Pengaruh Hindu - Budha
Pengaruh Hindu - Budha
Pengaruh Hindu - Budha
Kebudayaan merupakan wujud dari peradaban manusia, sebagai hasil akal-budi manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya baik primer, sekunder, atau tersier. Wujud kebudayaan ini cukup
beragam, mencakup wilayah bahasa, adat-istiadat, seni (rupa, sastra, arsitektur), ilmu
pengetahuan, dan teknologi. Dan setiap kebudayaan yang lebih maju pasti mendominasi
kebudayaan yang berada di bawahnya. Begitu pula kebudayaan India yang dengan mudah
diterima masyarakat Indonesia.
Pengaruh Hindu dan Buddha terhadap kehidupan masyarakat Indonesia dalam bidang
kebudayaan, berbarengan dengan datangnya pengaruh dalam bidang agama itu sendiri. Pengaruh
tersebut dapat berwujud fisik dan nonfisik. Hasil kebudayaan pada masa Hindu-Buddha di
Indonesia yang berwujud fisik di antaranya: arca atau patung, candi (kuil), makara, istana, kitab,
stupa, tugu yupa, prasasti, lempengan tembaga, senjata perang, dan lain-lain. Sedangkan
peninggalan kebudayaan yang bersifat nonfisik di antaranya: bahasa, upacara keagamaan, seni
tari, dan karya sastra.
Wilayah India yang cukup banyak memberikan pengaruhnya terhadap Indonesia adalah India
Selatan, kawasan yang didiami bangsa Dravida. Ini terbukti dari penemuan candi-candi di India
yang hampir menyerupai candi-candi yang ada di Indonesia. Begitu pula jenis aksara yang
banyak ditemui pada prasasti di Indonesia, adalah jenis huruf Pallawa yang digunakan oleh
orang-orang India selatan.
Meskipun budaya India berpengaruh besar, akan tetapi masyarakat Indonesia tidak serta-merta
meniru begitu saja kebudayaan tersebut. Dengan kearifan lokal masyarakat Indonesia, budaya
dari India diterima melalui proses penyaringan (filtrasi) yang natural. Bila dirasakan cocok maka
elemen budaya tersebut akan diambil dan dipadukan dengan budaya setempat, dan bila tak cocok
maka budaya itu dilepaskan. Proses akulturasi budaya ini dapat dilihat pada model arsitektur,
misalnya, punden berundak (budaya asli Indonesia) pada Candi Sukuh di Jawa Tengah; atau
pada dinding-dinding Candi Prambanan yang memuat relief tentang kisah pewayangan yang
memuat tokoh Punakawan; yang dalam relief manapun di India takkan ditemui.
1. Praktik Peribadatan
Selain Bali, masyarakat di kaki Bukit Tengger di Malang, Jawa Timur, pun masih menjalani
keyakinan Hindu. Meski sebagian besar masyarakat Indonesia kini bukan penganut Hindu dan
Buddha, namun dalam menjalankan praktik keagamaannya masih terdapat unsur-unsur Hindu-
Buddha. Bahkan ketika agama Islam dan Kristen makin menguat, pengaruh tersebut tak hilang
malah terjaga dan lestari. Beberapa wilayah yang sebelum kedatangan Islam dikuasai oleh Hindu
secara kuat, biasanya tidak mampu dihilangkan begitu saja aspek-aspek dari agama sebelumnya
tersebut, melainkan malah agama barulah (Islam dan Kristen) mengadopsi beberapa unsur
kepercayaan sebelumnya. Gejala ini terlihat dari munculnya beberapa ritual yang merupakan
perpaduan antara Hindu-Buddha, Islam, bahkan animisme-dinamisme. Contohnya: ritual
Gerebeg Maulud yang setiap tahun diadakan di Yogyakarta, kepercayaan terhadap kuburan yang
mampu memberikan rejeki dan pertolongan, kepercayaan terhadap roh-roh, kekuatan alam dan
benda keramat seperti keris, patung, cincin, atau gunung.
Ketika Islam masuk ke Indonesia, kebudayaan Hindu-Buddha telah cukup kuat dan mustahil
dapat dihilangkan. Yang terjadi kemudian adalah akulturasi antara kedua agama tersebut. Kita
bisa melihatnya pada acara kelahiran bayi, tahlilan bagi orang meninggal, dan nadran (ziarah).
Acara-acara berperiode seperti tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, tujuh bulanan
merupakan praktik kepercayaan yang tak terdapat dalam ajaran Islam atau Kristen.
Perbedaan antara unsur-unsur agama yang berbeda dan bahkan cenderung bertolak belakang itu,
bukanlah halangan bagi masyarakat Indonesia untuk menerima dan menyerap ajaran agama baru.
Melalui kearifan lokal (local genius) masyarakat Indonesia, agama yang asalnya dari luar
(Hindu, Buddha, Islam, Kristen) pada akhirnya diterima sebagai sesuatu yang tidak “asing” lagi.
Bila unsur agama tersebut dirasakan cocok dan tak menimbulkan pertentangan dalam
masyarakat, maka ia akan disaring terlebih dahulu lalu diambil untuk kemudian dipadukan
dengan budaya yang lama; dan bila tak cocok maka unsur tersebut akan dibuang.
Dengan demikian, yang lahir adalah agama sinkretisme, yaitu perpaduan antardua unsur agama
dan kebudayaan yang berbeda sehingga menghasilkan praktik agama dan kebudayaan baru tanpa
mempertentangkan perbedaan tersebut, malah mempertemukan persamaan antarkeduanya.
Jelaslah, dari dulu bangsa Indonesia telah mengenal keragaman agama dan budaya (pluralisme)
tanpa harus bertengkar.
1. Sistem Pendidikan
Sriwijaya merupakan kerajaan pertama di Indonesia yang telah menaruh perhatian terhadap
dunia pendidikan, khususnya pendidikan Buddha. Aktifitas pendidikan ini diadakan melalui
kerjasama dengan kerajaan-kerajaan di India. Hubungan bilateral dalam bidang pendidikan ini
dibuktikan melalui Prasasti Nalanda dan catatan I-Tsing.
Berdasarkan keterangan Prasasti Nalanda yang berada di Nalanda, India Selatan, terdapat banyak
pelajar dari Sriwijaya yang memperdalam ilmu pengetahuan. Catatan I-Tsing menyebutkan,
Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha yang cocok sebagai tempat para calon rahib untuk
menyiapkan diri belajar Buddha dan tata bahasa Sansekerta sebelum berangkat ke India. Di
Sriwijaya, menurut I-Tsing, terdapat guru Buddha yang terkenal, yaitu Sakyakerti yang menulis
buku undang-undang berjudul Hastadandasastra. Buku tersebut oleh I-Tsing dialihbahasakan ke
dalam bahasa Cina.
Selain Sakyakerti, terdapat pula rahib Buddha ternama di Sriwijaya, yaitu Wajraboddhi yang
berasal dari India Selatan, dan Dharmakerti. Menurut seorang penjelajah Buddha dari Tibet
bernama Atica, Dharmakerti memiliki tiga orang murid yang terpandang, yaitu Canti, Sri
Janamitra, dan Ratnakirti. Atica sempat beberapa lama tinggal di Sriwijaya karena ingin
menuntut ilmu Buddha. Ketika itu, agama Buddha klasik hampir lenyap disebabkan aliran Tantra
dan agama Islam mulai berkembang di India, sehingga ia memilih pergi ke Sriwijaya untuk
belajar agama.
Pada masa berikutnya, hampir di setiap kerajaan terdapat asrama-asrama (mandala) sebagai
tempat untuk belajar ilmu keagamaan. Asrama ini biasanya terletak di sekitar komplek candi.
Selain belajar ilmu agama, para calon rahib dan biksu belajar pula filsafat, ketatanegaraan, dan
kebatinan. Bahkan istilah guru yang digunakan oleh masyarakat Indonesia sekarang berasal dari
bahasa Sansekerta, yang artinya “kaum cendikia”.
Bahasa merupakan unsur budaya yang pertama kali diperkenalkan bangsa India kepada
masyarakat Indonesia. Bahasalah yang digunakan untuk menjalin komunikasi dalam proses
perdagangan antarkedua pihak, tentunya masih dalam taraf lisan. Bahasa yang dipraktikkan pun
adalah bahwa Pali, bukan Sansekerta karena kaum pedagang mustahil menggunakan bahasa
kitab tersebut.
Bahasa Pali atau Pallawa merupakan aksara turunan dari aksara Brahmi yang dipakai di India
selatan dan mengalami kejayaan pada masa Dinasti Pallawa (sekitar Madras, Teluk Benggali)
abad ke-4 dan 5 Masehi. Aksara Brahmi juga menurunkan aksara-aksara lain di wilayah India,
yaitu Gupta, Siddhamatrka, Pranagari, dan
Dewanagari. Aksara Pallawa sendiri kemudian menyebar ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia,
dan tertulis pada prasasti-prasasti berbahasa Melayu Kuno zaman Sriwijaya. Istilah pallawa
pertama kali dipakai oleh arkeolog Belanda, N.J. Krom; sarjana lain menyebutnya aksara
grantha.
Praktik bahasa Sansekerta pertama kali di Indonesia bisa dilacak pada yupa-yupa peninggalan
Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Huruf yang dipakai adalah Pallawa. Dikatakan bahwa di
kerajaan tersebut terdapat seorang raja bernama Kudungga, memiliki anak yang bernama
Aswawarman, dan juga memiliki cucu Mulawarman. Menurut para ahli bahasa, Kudungga
dipastikan merupakan nama asli Indonesia, sedangkan Aswawarman dan Mulawarman sudah
menggunakan bahasa India. Penggantian nama tersebut biasanya ditandai dengan upacara
keagamaan.
Pengaruh agama Hindu dalam aspek bahasa akhirnya menjadi formal dengan munculnya bahasa
Jawa dan Melayu Kuno serta bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia yang banyak sekali
menyerap bahasa Sansekerta. Beberapa karya sastra Jawa ditulis dalam bahasa Jawa Kuno
dengan cara mengonversikan atau menambahkan (menggubah) karya sastra yang dibuat di India.
Selain Sansekerta, bahasa Pali, Tamil, dan Urdu atau Hindustani (digunakan di Pakistan dan
sebagain India) pun memperkayai kosakata penduduk Indonesia. Namun, pada
perkembangannya Sansekertalah bahasa yang paling berpengaruh dan dipakai hingga kini oleh
orang Indonesia. Bahasa Sansekerta merupakan bahasa tulisan. Bahasa ini tertulis dalam prasasti,
yupa, kitab suci, kitab undang-undang (hukum), karya sastra. Maka dari kata-katanya dapat lebih
abadi dan dipertahankan.
Pengaruh tersebut kemudian dilanjutkan dengan proses penyerapan bunyi. Kadang kita tidak
menyadari bahwa bahasa yang kita gunakan tersebut merupakan serapan dari bahasa Sansakerta.
Perubahan bunyi pada serapan ini terjadi karena logat dan dialek setiap suku-bangsa berbeda.
Makna awalnya pun sebagian telah mengalami perubahan: ada yang meluas dan ada yang
menyempit.
Namun, adapula beberapa kata yang maknanya belum bergeser, contohnya: tirta berarti air; eka,
dwi, tri berarti satu, dua, tiga; kala berarti waktu atau bisa juga bencana.
Mengenai perkembangan aksara, di Indonesia terdapat beberapa jenis aksara yang merupakan
turunan dari aksara Pallawa. Di Jawa ada aksara Kawi, aksara Kawi ini pada perkembangan
selanjutnya menurunkan aksara Hanacaraka atau Ajisaka yang digunakan untuk bahasa Jawa,
Sunda, dan Bali. Adapula prasasti zaman Mataram di Jawa Tengah bagian selatan yang
menggunakan aksara Pranagari yang umurnya lebih tua dari aksara Dewanagari.
Sementara itu, di wilayah Sumatera Utara (dengan dialek Toba, Dairi, Karo, Mandailing, dan
Simalungun) ada aksara Batak, sedangkan di daerah Kerinci, Lampung, Pasemah, Serawai, dan
Rejang terdapat aksara Rencong. Sementara itu, di daerah Sulawesi bagian selatan ada aksara
Bugis dan Makassar. Dari perkembangan aksara-aksara turunan Pallawa, kita dapat
memperkirakan wilayah mana saja di Indonesia yang pengaruh budaya Indianya lebih kental,
yakni Jawa, Sumatera, dan sebagian Sulawesi. Sedangkan daerah-daerah lainnya di Indonesia tak
begitu dipengaruhi budaya India, bahkan ada daerah yang sama sekali tak tersentuh budaya
Hindu-Buddhanya.
Mengenai aksara Hanacaraka, terdapat sebuah legenda yang berkaitan dengan nama Ajisaka.
Ajisaka merupakan cerita rakyat yang berkembang secara lisan, terutama hidup di masyarakat
Jawa dan Bali. Tokoh, Ajisaka, berkaitan dengan bangsa Saka dari India barat laut. Sebagian
masyarakat Jawa percaya bahwa Ajisaka dahulu pernah hidup di Jawa dan berasal dari India.
Mereka juga percaya bahwa Ajisakalah yang menciptakan aksara Jawa dan kalender Saka.
Candi berasal dari frase candika graha yang berarti kediaman Betari Durga. Durga ini disembah
terutama oleh umat Buddha. Dalam dunia pewayangan di Indonesia, Durga merupakan istri
Dewa Siwa yang dikutuk dari berwajah cantik menjadi raksasa. Yang pertama mendirikan candi
di India diduga adalah umat Buddhis. Ini terlihat dari temuan candi tertua di sana yang dibangun
pada abad ke-3 SM. Pada perkembangan berikutnya, candi pun didirikan oleh umat Hindu.
Awalnya, candi didirikan sebagai tempat penyimpanan abu hasil pembakaran jenazah raja.
Karena itu, di candi yang disebut pripih sering ditemukan sebuah wadah penyimpanan abu
jenazah. Di atas abu jenazah tersebut terpampang arca raja bersangkutan. Disimpan pula patung
dewa tertentu, biasanya dewa ini dipuja oleh almarhum yang bersangkutan. Pada dinding-
dinding candi biasanya terdapat deretan relief yang mengisahkan cerita-cerita Mahabharata atau
Ramayana atau kisah sastra lainnya. Pada candi Buddhis biasanya terdapat relief seputar
kehidupan Siddharta.
Fungsi candi selanjutnya berkembang menjadi tempat sembahyang (berasal dari frase “sembah
hyang”) untuk dewa-dewi. Jawa adalah tempat yang paling banyak terdapat candi, disusul oleh
Sumatera. Ini menandakan bahwa perkembangan agama dan kebudayaan Hindu-Buddha
berlangsung lebih pesat di Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pusat-pusat
pemerintahan pada masanya. Berdasarkan arsitektur dan tempat dibangunnya, candi-candi di
Indonesia dapat dibagi atas: candi yang terletak di Jawa Tengah (bagian selatan dan utara), Jawa
Timur, dan lain-lainnya seperti di Sumatera, Bali, dan Jawa Barat.
Bentuk candi-candi di Jawa Tengah di bagian selatan berbeda dengan yang ada di bagian utara.
Namun demikian, secara umum (Soetarno, 2003) candi-candi yang ada di kedua wilayah tersebut
memiliki kesamaan, yaitu:
(1) Bentuk bangunan tampak lebih gemuk, terbuat dari batu andesit.
(2) Atapnya berbentuk undak-undakan dan puncaknya berbentuk stupa atau ratna.
(3) Pada pintu dan relung terdapat hiasan bermotif makara.
(4) Reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya bercorak naturalis (dua dimensi).
(5) Letak candi utama terletak di tengah-tengah halaman komplek candi muka candi
menghadap ke arah timur.