LP APPendiktomi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN


DIAGNOSA KEPERAWATAN APPENDICITIS
DI RSUD PASAR MINGGU
JAKARTA SELATAN

ARLINA ATIKAH
1810721015

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROFESI NERS
2018
A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan berurutan dengan penerimaan makanan dan mempersiapkannya untuk
diproses oleh tubuh. Makanan dalam arti “Biologis” adalah tiap zat atau bahan yang dapat
digunakan dalam metabolisme guna memperoleh bahan-bahan untuk membangun atau
memperoleh tenaga (Energi) bagi sel. Untuk dapat digunakan dalam metabolism, maka
makanan itu harus ke dalam sel (Irianto,kus.2005).
Fungsi utama sistem pencernaan adalah menyediakan zat nutrisi yang sudah dicerna secara
berkesinambungan untuk didistribusikan kedalam sel melalui sirkulasi dengan unsure – unsure
air, elektrolit, dan zat gizi. Sebelum zat ini diserap oleh tubuh, makanan harus bergerak
sepanjang saluran pencernaan ( Syafuddin. 2009 ).
Proses pencernaan dibagi menjad dua yaitu :
a. Pencernaan mekanis
Pencernaan mekanis yaitu proses pengubahan molekul kompleks menjadi molekul
sederhana secara mekanis, misalnya penghancuran makanan dengan gigi atau oleh otot
lambung.
b. Pencernaan kimiawi
Pencernaan kimiawi adalah proses pengubahan senyawa organic yang ada dalam bahan
makanan dari bentuk yang kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana dengan bantuan
enzim (Anonim, 2011).
Saluran pencernaan pada manusia dimulai dari rongga mulut dan diakhiri oleh anus ( lubang
pelepasan ). Adapun alat – alat dari system pencernaan yaitu terdiri dari :
1. Rongga Mulut
Rongga mulut dibagian depan dibatasi oleh bibir, dibagian belakang oleh dinding faring
posterior, dibagian lateral selaput lender bukalis dan tonsil, dibagian atas palatum durum
dan palatum molle dan dibagian bawah oleh dasar mulut. Didalam rongga mulut terdapat
gigi, lidah dan kelenjar pencernaan yaitu berupa kelenjar ludah. Gigi dan lidah berguna
untuk memecahkan makanan secara mekanik. Kelenjar ludah menghasilkan enzim
ptyalin yang mencerna hidrat arang. Rongga mulut ( mouth cavity ) mempunyai panjang
15 – 20 cm dengan diameter 10 cm. Didalam mulut sudah mulai terjadi proses penyerapan
dengan mekanisme difusi pasif ( transport pasif ) dan transport konvelisif ( pori ). Dalam
mulut terdapat enzim ptyalin, maltase, dan musin. Sekresi air ludah 500 – 1500 ml per
hari dengan pH 6,4.
2. Faring
Daerah faring merupakan persimpangan dari rongga mulut ke kerongkongan dan dari
rongga hidung ke tenggorok. Pada saat menelan makanan, maka lubang ke saluran napas
ditutup oleh anak tekak sehingga makanan akan terdorong ke kerongkongan.
3. Esofagus
Esofagus merupakan organ silindris berongga dengan panjang sekitar 25 cm dan diameter
2 cm. Esofagus terletak posterior terhadap jantung dan trakea, anterior terhadap
vertebrata, setinggi C6 menembus diafragma sampai torakal 11.Saluran pencernaan
sesudah mulut adalah kerongkongan ( esophagus ). Esofagus adalah saluran yang terdapat
dibelakang rongga mulut yang menghubungkan rongga mulut dengan lambung. Dinding
kerongkongan dibentuk oleh otot – otot melingkar yang bergerak tanpa kita sadari.
Gerakannya disebut gerak peristaltic, yaitu gerakan otot lingkar yang mengkerut – kerut
seperti meremas – remas sehingga makanan dapat masuk kedalam lambung. Esofagus
mempunyai Ph cairannya 5 – 6, tidak terdapat enzim maupun absorbs. Getah lambung
dihasilkan oleh kelenjar yang terdapat pada dinding lambung, dimana dinding lambung
menghasilkan asam lambung berupa asam klorida, pepsinogen, rennin lipase lambung,
dan mucin.
4. Lambung ( Ventrikulus )
Lambung atau perut besar merupakan organ yang terletak didalam rogga perut yaitu
terletak disebelah kiri atas, dibawah sekat rongga dada ( Diafragma ). Lambung
merupakan sebuah kantong muskuler yang letaknya antara esophagus dan usus halus,
sebelah kiri abdomen dan di bagian depan pancreas dan limpa yang dibentuk oleh otot
polos yang tersusun secara memanjang. Lambung merupakan saluran yang dapat
mengembang karena adanya gerakan peristaltic, terutama didareah epigaster. Variasi dari
bentuk lambung sesuai dengan jumlah makanan yang masuk, adanya gelombang
peristaltic tekanan organ lain dan postur tubuh. Lambung disebut juga gaster yang
panjangnya 20 cm dengan diameter 15 cm dan pHnya 1 – 3,5. Cairan lambung yang
disekresi sekitar 2000 – 3000 ml/hari. Kapasitas lambung kira – kira 1,2 liter dan bila
kosong 100 liter.
5. Usus halus ( Intestinum minor )
Usus halus merupakan bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada
pilorus dan berakhir pada sekum, panjangnya sekitar 6 meter dan merupakan saluran
pencernaan yang paling panjang. Usus halus merupakan kelanjutan dari saluran
pencernaan setelah lambung. Bentuk dan susunannya berupa pipa kecil yang berkelok –
kelok didalam rongga perut diantara usus besar dan dibawah lambung. Makanan dapat
masuk karena adanya gerakan yang memberikan permukaan yang lebih luas. Banyaknya
jonjot – jonjot pada tempat absorbsi memperluas permukaannya. Usus halus terdiri dari
usus dua belas jari ( duodenum ) panjangnya sekitar 25 cm dengan diameter 5 cm dan
pHnya 6,5 – 7,6, usus kosong ( jejunum ) panjangnya 300 cm diameter 5 cm dengan pH
6,3 – 7,3, usus penyerapan ( ileum ) panjangnya 300 cm diameter 2,5 – 5 cm dengan pH
6,3 – 7,3. Usus halus sebagai sistem pencernaan secara enzimatis menghasilkan enzim –
enzim yang diantaranya erepsin, maltase, sukrosa, dan laktase.
6. Usus besar ( Intestinum mayor )
Usus besar merupakan saluran pencernaan berupa usus berpenampang luas atau
berdiameter besar dengan panjang 1,5 – 1,7 meter dan penampang 5 – 6 cm. Usus besar
merupakan lanjutan dari usus halus yang tersusun seperti huruf U terbalik dan
mengelilingi usus halus dari valvula ileoskalis sampai keanus. Usus besar terdiri dari 3
bagian yaitu cecum, colon, dan rektum. Lapisan – lapisan usus besar terbagi atas beberapa
kolon yaitu asendens, transversum, desendens, dan sigmoid.
7. Rektum
Rektum terletak dibawah kolon signoid yang menghubungkan intestinum mayor dengan
anus, terletak dalam rongga pullvis didepan os sakrum dan os koksigis. Regtum
panjangnya 15 – 19 cm, diameter 2,5 cm dengan pH 7,5 – 8,0
8. Anus
Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan regtum dengan bagian
luar atau sebagai tempa keluarnya feses (Anonim,2013).
B. FISIOLOGI
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam
lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks
tampaknya berperan pada patogenesis Apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan
oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna
termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta
mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan
appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika
dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.
C. PENGERTIAN
 Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (94 inci),
melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi makanan dan
mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif
dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi.
(Brunner dan Sudarth, 2002).
 Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki
maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30
tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).
 Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu
feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab
utama Apendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit
seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, danEnterobius vermikularis (Ovedolf,
2006).
 Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang terpuntir,
appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan multiplikasi (Chang,
2010)
 Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab yang jelas,
setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh
darahya (Corwin, 2009).
D. KLASIFIKASI
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada dasarnya
adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
a. Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
b. Fekalit
c. Benda asing
d. Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat
keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga
menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan
menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan
supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks. Selain obstruksi,
apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang
kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
2. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya
aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat
iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke
dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena
dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia,
dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan
peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan
nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut
disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
3. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat : riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks,
sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa,
dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5 persen.
4. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut
kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan peradangan
akut. Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun,
apendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut.
Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens
biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada apendiktitis
rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan
akut.
5. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat adanya
obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen
steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang,mukokel dapat disebabkan oleh
suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas. Penderita sering datang dengan eluhan
ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di
regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut.
Pengobatannya adalah apendiktomi.
6. Tumor Apendiks
Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas
indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional,
dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih baik
dibanding hanya apendektomi.
7. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis
prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas spesimen
apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa rangsangan
kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya
ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin
yang menyebabkan gejala tersebut di atas. Meskipun diragukan sebagai keganasan,
karsinoid ternyata bisa memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan
opersai radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak
bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan

E. ETIOLOGI
Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi, terjadinya apendisitis ini
umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak faktor pencetus terjadinya penyakit ini
diantaranya sumbatan lumen apendiks, hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan
cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga
merupakan faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut
(Sjamsuhidayat, 2004).
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor prediposisi yaitu:
1. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena:
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks
c. Adanya benda asing seperti biji-bijian
d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus
3. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun (remaja
dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
4. Tergantung pada bentuk apendiks
a. Appendik yang terlalu panjang
b. Massa appendiks yang pendek
c. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
d. Kelainan katup di pangkal appendiks. (Nuzulul, 2009)
F. PATOFISIOLOGI
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel
limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau
neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.
Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan
ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan
nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu
pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak
ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis.
Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena
omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan
tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya
perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah (Mansjoer, 2007) .

G. MANIFESTASI KLINIS
1. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual, muntah dan
hilangnya nafsu makan.
2. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
3. Nyeri tekan lepas dijumpai.
4. Terdapat konstipasi atau diare.
5. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
6. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
7. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
8. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
9. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara paradoksial
menyebabkan nyeri kuadran kanan.
10. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen terjadi akibat
ileus paralitik.
11. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin tidak
mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.
Nama pemeriksaan Tanda dan gejala
Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada
kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi
kanan.
Psoas sign atau Obraztsova’s sign Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian
dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif jika
timbul nyeri pada kanan bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan
rotasi internal pada panggul. Positif jika timbul
nyeri pada hipogastrium atau vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah dengan
batuk
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut
pada korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s sign Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau
sekitar pusat, kemudian berpindah ke kuadran
kanan bawah.
Sitkovskiy (Rosenstein)’s sign Nyeri yang semakin bertambah pada perut kuadran
kanan bawah saat pasien dibaringkan pada sisi kiri
Aure-Rozanova’s sign Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit
triangle kanan (akan positif Shchetkin-
Bloomberg’s sign)
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada
kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan tiba-
tiba

H. PATHWAY

I. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor keterlambatan dapat
berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan dan biaya,
sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk
ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32%, paling
sering pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun
dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang
tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih pendek dan
belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua
terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran
kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang
menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau
mikroperforasi ditutupi oleh omentum
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga
perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam
sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran
klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik,
nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutamapolymorphonuclear (PMN). Perforasi,
baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat
terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang
semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai
32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam
setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7 oC atau lebih tinggi,
penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer dan Barre,
2002).

J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. LaboratoriumTerdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3
(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang
meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam
setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein.
Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
2. RadiologiTerdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography
Scanning(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat
yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan
bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami
inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka
sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat
akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
3. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran
kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati,
kandung empedu, dan pankreas.
5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya
kemungkinan kehamilan.
6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium enema
dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon.
7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi
mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau
batu ureter kanan.

K. PENATALAKSANAAN
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan
cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan
dilakukan. Analgetik dapat
diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk
mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal, secara terbuka ataupun
dengan cara laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi
terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang
diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium
dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila
terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera
menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C. Suzanne, 2002).
Menurut Arief Mansjoer (2000), penatalaksanaan apendisitis adalah sebagai berikut:
1. Tindakan medis
a. Observasi terhadap diagnosaDalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda
apendisitis, sering tidak terdiagnosa, dalam hal ini sangat penting dilakukan observasi
yang cermat. Penderita dibaringkan ditempat tidur dan tidak diberi apapun melalui
mulut. Bila diperlukan maka dapat diberikan cairan aperviteral. Hindarkan pemberian
narkotik jika memungkinkan, tetapi obat sedatif seperti barbitural atau penenang tidak
karena merupakan kontra indikasi. Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel darah putih dan
hitung jenis di ulangi secara periodik. Perlu dilakukan foto abdomen dan thorak posisi
tegak pada semua kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari tanda lokalisasi kuadran
kanan bawah dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.
b. IntubasiDimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau toksitas
yang menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat menggangu. Pada penderita ini
dilakukan aspirasi kubah lambung jika diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi
dengan pipa tetap terpasang.
c. AntibiotikPemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan
toksitas yang berat dan demam yang tinggi .
2. Terapi bedah
Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah terkontrol
ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan sistematik lainnya. Biasanya hanya
diperlukan sedikit persiapan. Pembedahan yang direncanakan secara dini baik
mempunyai praksi mortalitas 1 % secara primer angka morbiditas dan mortalitas penyakit
ini tampaknya disebabkan oleh komplikasi ganggren dan perforasi yang terjadi akibat yang
tertunda.
3. Terapi pasca operasi
Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan
didalam, syok hipertermia, atau gangguan pernapasan angket sonde lambung bila pasien
telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi
fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien
dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis
umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan minum
mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya
diberikan makan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan lunak. Satu hari pasca
operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari
kedua pasien dapat berdiri dan duduk diluar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan
pasien diperbolehkan pulang.

L. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Identitas (felyana, 2009).
a. Identitas klien post appendiktomi yang menjadi dasar pengkajian meliputi : nama, umur,
jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat, diagnosa medis, tindakan medis,
nomor rekam medis, tanggal masuk, tanggal operasi dan tanggal pengkajian.
b. Identitas penganggung jawab meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, agama, alamat, hubungan dengan klien dan sumber biaya.
2. Lingkup Masalah Keperawatan
Berisi keluhan utama klien saat dikaji, klien post appendiktomi biasanya mengeluh nyeri
pada luka operasi dan keterbatasan aktivitas
3. Riwayat Penyakit
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat penyakit sekarang ditemukan saat pengkajian, yang diuraikan dari mulai masuk
tempat perawatan sampai dilakukan pengkajian. Keluhan sekarang dikaji dengan
menggunakan PQRST (paliatif and provokatif, quality and quantity, region and radiasi,
severity scale dan timing). Klien yang telah menjalani operasi appendiktomi pada
umumnya mengeluh nyeri pada luka operasi yang akan bertambah saat digerakkan atau
ditekan dan umumnya berkurang setelah diberi obat dan diistirahatkan. Nyeri
digambarkan dengan (0-10). Nyeri akan terlokalisasi di area operasi dapat pula menyebar
di seluruh abdomen dan paha kanan dan umumnya menetap sepanjang hari. Nyeri
mungkin dapat mngganggu aktivitas sesuai rentang toleransi masing –masing klien.
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Berisi pengalaman penyakit sebelumnya, apakah memberi pengaruh pada penyakit yang
diderita sekarang serta apakah pernah mengalami pembedahan sebelumnya.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Perlu diketahui apakah ada anggota keluarga lainnya yang menderita sakit yang sama
seperti klien, dikaji pula mengenai adanya penyakit keturunan atau menular dalam
keluarga.
4. Riwayat Psikologis
Secara umum klien dengan post appendicitis tidak mengalami penyimpangan dalam fungsi
psikologis. Namun demikian tetap perlu dilakukan mengenai kelima konsep diri klien (citra
tubuh, identitas diri, fungsi peran, ideal diri dan harga diri.
5. Riwayat Sosial
Klien dengan post appendiktomi tidak mengalami gangguan dalam hubungan social dengan
orang lain, akan tetapi tetap harus dibandingkan hubungan social klien antara sebelum dan
setelah menjalani operasi.
6. Riwayat Spiritual
Pada umumnya klien yang menjalani perawatan akan mengalami keterbatasan dalam
aktivitas begitu pula dalam kegiatan ibadah. Perlu dikaji keyakinan klien terhadap keadaan
sakit dan motivasi untuk kesembuhannya.
7. Kebiasaan Sehari –hari
Klien yang menjalani operasi pengangkatan appendiks pada umumnya mengalami kesulitan
dalam beraktvitas karena nyeri yang akut dan kelemahan. Klien dapat mengalami gangguan
dalam perawatan diri (mandi, gosok gigi, keramas dan gunting kuku), karena adaanya
toleransi aktivitas yang mengalami gangguan.
Klien akan mengalami pembatasan masukan oral sampai fungsi pencernaan kembali ke
dalam rentang normalnya. Kemungkinan klien akan mengalami mual muntah dan konstipasi
pada periode awal post operasi karena pengaruh anastesi. Intake oral dapat mulai diberikan
setelah fungsi pencernaan kembali ke dalam rentang normalnya. Klien juga dapat mengalami
penurunan haluaran urine karena adanya pembatasan masukan oral. Haluaran urine akan
berangsur normal setelah peningkatan masukan oral. Pola istirahat klien dapat terganggu
ataupu tidak terganggu, tergantung toleransi klien terhadap nyeri yang dirasakan.
8. Pola fungsi kesehatan (Santi, 2012).
a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adakah kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol dan kebiasaan olahraga
(lama frekuensinya), bagaimana status ekonomi keluarga kebiasaan merokok dalam
mempengaruhi penyembuhan luka.
b. Pola tidur dan istirahat
Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat sehingga dapat menggganggu
kenyamanan pola tidur klien.
c. Pola aktivitas
Aktivitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak karena rasa nyeri luka operasi,
aktivitas biasanya terbatas karena harus badrest berapa waktu lama setelah pembedahan
d. Pola hubungan dan peran
Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa melakukan peran baik
dalam keluarganya dan dalam masyarakat.Penderita mengalami emosi yang tidak stabil.
e. Pola sensorik dan kognitif
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan, peran serta pendengaran,
kemampuan, berfikir, mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang tua, waktu dan
tempat.
f. Pola penanggulangan stress
Kebiasaan klien yang digunakan dalam mengatasi masalah.
g. Pola tata nilai dan kepercayaan
Bagaimana keyakinan klien pada agamanya dan bagaimana cara klien mendekatkan diri
dengan tuhan selama sakit
9. Pemeriksaan Fisik (felyana, 2009)
Pemeriksaan fisik ini mencakup :
a. Keadaan Umum
Klien post appendiktomi mencapai kesadaran penuh setelah beberapa jam kembali dari
meja operasi, penampilan menunjukkan keadaan sakit ringan sampai berat tergantung
pada periode akut rasa nyeri. Tanda vital pada umumnya stabil kecuali akan mengalami
ketidakstabilan pada klien yang mengalami perforasi appendiks.
b. Sistem Pernapasan
Klien post appendiktomi akan mengalai penurunan atau peningkatan frekuensi napas
(takipneu) serta pernapasan dangkal, sesuai rentang yang dapat ditoleransi oleh klien.
c. Sistem Kardiovaskuler
Umumnya klien mengalami takikardi (sebagai respon terhadap stres dan hipovolemia),
mengalami hipertensi (sebagai respon terhadap nyeri), hipotensi (kelemahan dan tirah
baring). Pengisian kapiler biasanya normal, dikaji pula keadaan konjunctiva, adanya
sianosis dan, auskultasi bunyi jantung.
d. Sistem Pencernaan
Saat di inspeksi akan tampak adanya luka operasi di abdomen kanan bawah bekas
sayatan operasi dan juga nyeri pada luka operasi. Pada saat auskultasi terjadi penurunan
bising usus. Klien post appendiktomi biasanya mengeluh konstipasi pada awitan awal
post operasi dan mual muntah.
e. Sistem Perkemihan
Awal post operasi klien akan mengalami penurunan jumlah output urine, hal ini terjadi
karena adanya pembatasan intak oral selama periode awal post appendiktomi. Output
urine akan berangsur normal seiring dengan peningkatan intake oral.
f. Sistem Muskuloskeletal
Secara umum, klien dapat mengalami kelemahan karena tirah baring post operasi dan
kekakuan . Kekuatan otot berangsur membaik seiring dengan peningkatan toleransi
aktivitas.
g. Sistem Integumen
Akan tampak adanya luka operasi di abdomen kanan bawah karena insisi bedah disertai
kemerahan (biasanya pada awitan awal). Turgor kulit akan membaik seiring dengan
peningkatan intake oral.
h. Sistem Persarafan
Umumnya klien dengan post appendiktomi tidak mengalami penyimpangan dalam
fungsi persarafan. Pengkajian fungsi persafan meliputi : tingkat kesadaran, saraf kranial
dan refleks.
i. Sistem Pendengaran
Pengkajian yang dilakukan meliputi : bentuk dan kesimetrisan telinga, ada tidaknya
peradangan dan fungsi pendengaran.
j. Sistem Endokrin
Umumnya klien post appendiktomi tidak mengalami kelainan fungsi endrokin. Akan
tetapi tetap perlu dikaji keadekuatan fungsi endrokin (thyroid dan lain–lain).
10. Diagnosa Keperawatan
 Pre operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal
oleh inflamasi)
2. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan peritaltik.
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
4. Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.
 Post operasi
1. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi appenditomi).
2. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post pembedahan).
3. Defisit self care berhubungan dengan nyeri.
4. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d
kurang informasi.

RENCANA KEPERAWATAN
PRE OPERASI
DIAGNOSA
NO KEPERAWATA NOC NIC RASIONAL
N
1. Nyeri akut Setelah 1. Kaji tingkat nyeri, 1. Untuk mengetahui
berhubungan dilakukan lokasi dan sejauh mana tingkat
dengan agen injuri asuhan karasteristik nyeri. nyeri dan merupakan
biologi (distensi keperawatan, 2. Jelaskan pada pasien indiaktor secara dini
jaringan intestinal diharapkan nyeri tentang penyebab untuk dapat
oleh inflamasi) klien berkurang nyeri memberikan tindakan
dengan kriteria 3. Ajarkan tehnik untuk selanjutnya
hasil: pernafasan 2. Informasi yang tepat
dapat menurunkan
1. Klien mampu diafragmatik lambat tingkat kecemasan
mengontrol / napas dalam pasien dan menambah
nyeri (tahu 4. Berikan aktivitas pengetahuan pasien
penyebab hiburan (ngobrol tentang nyeri.
nyeri, dengan anggota 3. Tarik nafas dalam dapat
mampu keluarga) menghirup O2 secara
menggunaka 5. Observasi tanda- adequate sehingga otot-
n tehnik tanda vital otot menjadi relaksasi
nonfarmakol 6. Kolaborasi dengan sehingga dapat
ogi untuk tim medis dalam mengurangi rasa nyeri.
mengurangi pemberian analgetik 4. Meningkatkan relaksasi
nyeri, dan dapat meningkatkan
mencari kemampuan koping.
bantuan) 5. Deteksi dini terhadap
2. Melaporkan perkembangan
bahwa nyeri kesehatan pasien.
berkurang 6. Sebagai profilaksis
dengan untuk dapat
menggunaka menghilangkan rasa
n manajemen nyeri.
nyeri
3. Tanda vital
dalam
rentang
normal TD
(systole 110-
130mmHg,
diastole 70-
90mmHg),
HR(60-
100x/menit),
RR (16-
24x/menit),
suhu (36,5-
37,50C)
4. Klien tampak
rileks mampu
tidur/istirahat
2. Perubahan pola Setelah 1. Pastikan kebiasaan 1. Membantu dalam
eliminasi dilakukan defekasi klien dan pembentukan jadwal
(konstipasi) asuhan gaya hidup irigasi efektif
berhubungan keperawatan, sebelumnya. 2. Kembalinya fungsi
dengan penurunan diharapkan 2. Auskultasi bising gastriintestinal mungkin
peritaltik. konstipasi klien usus terlambat oleh inflamasi
teratasi dengan 3. Tinjau ulang pola intra peritonial
kriteria hasil: diet dan jumlah / tipe 3. Masukan adekuat dan
1. BAB 1-2 masukan cairan. serat, makanan kasar
kali/hari 4. Berikan makanan memberikan bentuk dan
2. Feses lunak tinggi serat. cairan adalah faktor
3. Bising usus 5. Berikan obat sesuai penting dalam
5-30 indikasi, contoh : menentukan konsistensi
kali/menit pelunak feses feses.
4. Makanan yang tinggi
serat dapat
memperlancar
pencernaan sehingga
tidak terjadi konstipasi.
5. Obat pelunak feses
dapat melunakkan feses
sehingga tidak terjadi
konstipasi.
3. Kekurangan Setelah 1. Monitor tanda-tanda 1. Tanda yang membantu
volume cairan dilakukan vital mengidentifikasikan
berhubungan asuhan 2. Kaji membrane fluktuasi volume
dengan mual keperawatan mukosa, kaji tugor intravaskuler.
muntah. diharapkan kulit dan pengisian 2. Indikator keadekuatan
keseimbangan kapiler sirkulasi perifer dan
cairan dapat 3. Awasi masukan dan hidrasi seluler.
dipertahankan haluaran, catat warna 3. Penurunan haluaran urin
dengan kriteria urine/konsentrasi, pekat dengan peningkatan
hasil: berat jenis berat jenis diduga
1. kelembaban 4. Auskultasi bising dehidrasi/kebutuhan
membrane usus, catat peningkatan cairan.
mukosa kelancaran flatus, 4. Indikator kembalinya
2. turgor kulit gerakan usus peristaltik, kesiapan
baik 5. Berikan perawatan untuk pemasukan per
3. Haluaran mulut sering dengan oral.
urin adekuat: perhatian khusus 5. Dehidrasi mengakibatkan
1 cc/kg pada perlindungan bibir dan mulut kering
BB/jam bibir dan pecah-pecah
4. Tanda-tanda 6. Pertahankan 6. Selang ngt biasanya
vital dalam penghisapan dimasukkan pada
batas normal gaster/usus. praoperasi dan
TD (systole 7. Kolaborasi dipertahankan pada fase
110- pemberiancairan IV segera
130mmHg, dan elektrolit pascaoperasi untuk
diastole 70- dekompresi usus,
90mmHg), meningkatkan istirahat
HR(60- usus, mencegah mentah.
100x/menit), 7. Peritoneum bereaksi
RR (16- terhadap iritasi/infeksi
24x/menit), dengan menghasilkan
suhu (36,5- sejumlah besar cairan
37,50C) yang dapat menurunkan
volume sirkulasi darah,
mengakibatkan
hipovolemia. Dehidrasi
dapat terjadi
ketidakseimbangan
elektrolit
4. Cemas berhubunga Setelah 1. Evaluasi tingkat 1. Ketakutan dapat terjadi
n dengan akan dilakukan ansietas, catat verbal karena nyeri hebat,
dilaksanakan asuhan dan non verbal penting pada prosedur
operasi. keperawatan, pasien diagnostik dan
diharapkan 2. Jelaskan dan pembedahan
kecemasab klien persiapkan untuk 2. Dapat meringankan
berkurang tindakan prosedur ansietas terutama ketika
dengan kriteria sebelum dilakukan pemeriksaan tersebut
hasil: 3. Jadwalkan istirahat melibatkan
1. Melaporkan adekuat dan periode pembedahan.
ansietas menghentikan tidur 3. Membatasi kelemahan,
menurun 4. Anjurkan keluarga menghemat energi dan
sampai untuk menemani meningkatkan
tingkat disamping klien kemampuan koping.
teratasi 4. Mengurangi kecemasan
2. Tampak klien
rileks
POST OPERASI
DIAGNOSA
NO NOC NIC RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan Setelah dilakukan 1. Kaji skala nyeri 1. Berguna dalam
dengan agen injuri asuhan lokasi, pengawasan dan
fisik (luka insisi post keperawatan, karakteristik dan keefesien obat,
operasi diharapkan nyeri laporkan kemajuan
appenditomi). berkurang dengan perubahan nyeri penyembuhan,perubaha
kriteria hasil: dengan tepat. n dan karakteristik nyeri
1. Melaporkan 2. Monitor tanda- 2. Deteksi dini terhadap
nyeri tanda vital perkembangan
berkurang 3. Pertahankan kesehatan pasien.
2. Klien tampak istirahat dengan 3. Menghilangkan
rileks posisi semi powler. tegangan abdomen
3. Dapat tidur 4. Dorong ambulasi yang bertambah dengan
dengan tepat dini. posisi terlentang
4. Tanda-tanda 5. Berikan aktivitas 4. Meningkatkan
vital dalam hiburan. kormolisasi fungsi
batas normal 6. Kolaborasi tim organ
TD (systole dokter dalam 5. Meningkatkan
110- pemberian relaksasi.
130mmHg, analgetika. 6. Menghilangkan nyeri
diastole 70-
90mmHg),
HR(60-
100x/menit),
RR (16-
24x/menit),
suhu (36,5-
0
37,5 C)

2. Resiko infeksi Setelah dilakukan 1. Kaji adanya tanda- 1. Dugaan adanya infeksi
berhubungan dengan asuhan tanda infeksi pada 2. Dugaan adanya
tindakan invasif keperawatan area insisi infeksi/terjadinya
(insisi post diharapkan infeksi 2. Monitor tanda- sepsis, abses, peritonitis
pembedahan). dapat diatasi tanda vital.
Perhatikan demam,
dengan kriteria menggigil, 3. Mencegah transmisi
hasil: berkeringat, penyakit virus ke orang
1. Klien bebas perubahan mental lain
dari tanda- 3. Lakukan teknik 4. Mencegah meluas dan
tanda infeksi isolasi untuk membatasi penyebaran
2. Menunjukkan infeksi enterik, organisme infektif /
kemampuan termasuk cuci kontaminasi silang.
untuk tangan efektif 5. Menurunkan resiko
mencegah 4. Pertahankan teknik terpajan.
timbulnya aseptik ketat pada 6. Terapi ditunjukkan
infeksi perawatan luka pada bakteri anaerob
3. Nilai leukosit insisi / terbuka, dan hasil aerob gra
(4,5-11ribu/ul) bersihkan dengan negatif.
betadine.
5. Awasi / batasi
pengunjung dan
siap kebutuhan.
6. Kolaborasi tim
medis dalam
pemberian
antibiotik
3. Defisit self care Setelah dilakukan 1. Mandikan pasien 1. Agar badan menjadi
berhubungan dengan asuhan setiap hari sampai segar, melancarkan
nyeri. keperawatan klien mampu peredaran darah dan
diharapkan melaksanakan meningkatkan
kebersihan klien sendiri serta cuci kesehatan
dapt rambut dan potong 2. Untuk melindungi klien
dipertahankan kuku klien. dari kuman dan
dengan kriteria 2. Ganti pakaian yang meningkatkan rasa
hasil: kotor dengan yang nyaman
1. Klien bebas bersih. 3. Agar klien dan keluarga
dari bau badan 3. Berikan dapat termotivasi untuk
2. Klien tampak hygiene edukasi menjaga personal
bersih pada klien dan hygiene.
3. ADLs klien keluarganya 4. Agar klien merasa
dapat mandiri tentang pentingnya tersanjung dan lebih
kebersihan diri.
atau dengan 4. Berikan pujian kooperatif dalam
bantuan pada klien tentang kebersihan
kebersihannya. 5. Agar keterampilan
5. Bimbing keluarga dapat diterapkan
klien memandikan 6. Klien merasa nyaman
/ menyeka pasien dengan tenun yang
6. Bersihkan dan atur bersih serta mencegah
posisi serta tempat terjadinya infeksi.
tidur klien.

4. Kurang pengetahuan Setelah dilakukan 1. Kaji ulang 1. Memberikan informasi


tentang kondisi asuhan pembatasan pada pasien untuk
merencanakan kembali
prognosis dan keperawatan aktivitas
rutinitas biasa tanpa
kebutuhan diharapkan pascaoperasi
menimbulkan masalah
pengobatan b.d pengetahuan 2. Anjuran
2. Membantu kembali ke
kurang informasi. bertambah dengan menggunakan fungsi usus semula
kriteria hasil: laksatif/pelembek mencegah ngejan saat
1. menyatakan feses ringan bila defekasi
pemahaman perlu dan hindari 3. Pemahaman
proses enema meningkatkan kerja
penyakit, 3. Diskusikan sama dengan terapi,
pengobatan perawatan insisi, meningkatkan
dan termasuk penyembuhan
4. Upaya intervensi
berpartisipasi mengamati
menurunkan resiko
dalam program balutan,
komplikasi lambatnya
pengobatan pembatasan mandi,
penyembuhan
dan kembali ke peritonitis.
dokter untuk
mengangkat
jahitan/pengikat
4. Identifikasi gejala
yang memerlukan
evaluasi medic,
contoh peningkatan
nyeri
edema/eritema
luka, adanya
drainase, demam

Anda mungkin juga menyukai