Referat Trauma Medula Spinalis

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

TRAUMA MEDULA SPINALIS

Pembimbing :

dr. Mintarti, Sp.S

Disusun oleh :

Benita Arini Kurniadi

406162073

KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF


RSUD K.R.M.T. WONGSONEGORO SEMARANG
PERIODE 9 JULI-11 AGUSTUS 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
LEMBAR PENGESAHAN

Diajukan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik dan


melengkapi salah satu syarat menempuh Program Pendidikan
Profesi Dokter di bagian Ilmu Saraf Rumah Sakit Umum Daerah
K.R.M.T. Wongsonegoro Semarang periode 9 Juli-11 Agustus
2018.

Nama : Benita Arini Kurniadi


NIM : 406162073
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Tarumanagara
Bidang Pendidikan : Ilmu Saraf
Periode : 9 Juli-11 Agustus 2018
Judul : Trauma Medula Spinalis
Pembimbing : dr. Mintarti, Sp. S

Telah diperiksa dan disahkan tanggal :

Pembimbing,

dr. Mintarti, Sp. S


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berkat rahmat dan petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf, dengan judul Trauma
Medula Spinalis.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada pembimbing penulis, dr. Mintarti, Sp. S atas
bimbingannya selama ini, serta kepada seluruh dokter pengajar yang
telah bersedia memberikan kesempatan dan waktunya sehingga
makalah ini dapat terselesaikan. Selain itu penulis juga
mengucapkan terimakasih untuk teman – teman dan keluarga yang
selalu memberikan support kepada penulis.
Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat mengikuti
kepaniteraan di RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro Semarang. Penulis
sadar dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan sarannya agar
makalah ini dapat menjadi lebih baik. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Semarang, 2018
Benita Arini Kurniadi

406162073

BAB 1
PENDAHULUAN
Trauma atau cedera medulla spinalis merupakan salah satu
penyebab gangguan fungsi saraf yang sering menimbulkan
kecacatan permanen pada usia muda. Kelainan yang lebih banyak
dijumpai pada usia produktif ini sering kali mengakibatkan
penderita harus terbaring di tempat tidur atau duduk di kursi roda
karena kelumpuhan dari anggota gerak mereka. 1
Data epidemiologik dari berbagai negara menyebutkan bahwa
angka kejadian (insidensi) trauma ini sekitar 11,5 – 53,4 kasus per
100.000 penduduk tiap tahunnya. Trauma spinal meliputi 75% dari
seluruh cedera. Setengah dari kasus ini adalah akibat kecelakaan
kendaraan bermotor; jatuh (20%), luka tembak (25%), olahraga, dan
kecelakaan industri. Dari data yang terdapat pada Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam periode Januari-Juni
2003 terakhir terdapat 165 kasus trauma spinal.1,2
Dokter dan tim medis yang menolong penderita cedera tulang
belakang harus selalu berhati – hati bahwa manipulasi yang
berlebihan serta immobilisasi yang tidak adekuat akan menambah
kerusakan neurologik dan memperburuk prognosis penderita.
Cedera kolumna vertebralis, dengan atau tanpa defisit neurologis,
harus selalu dicari dan disingkirkan pada penderita yang mengalami
cedera multipel. Setiap cedera diatas tulang klavikula harus
dicurigai adanya cedera pada tulang leher sampai terbukti tidak
adanya keterlibatan medulla spinalis setelah trauma. 1
Kurang lebih 5% dari cedera spinal akan timbul gejala
neurologis lain atau memburuknya keadaan setalah penderita
mencapai UGD. Hal ini disebabkan karena iskemia atau edema
progresif pada sumsum tulang belakang atau akibat kegagalan
mempertahankan immobilisasi yang adekuat. Pergerakan penderita
dengan kolumna vertebralis yang tidak stabil akan memberikan
resiko kerusakan lebh lanjut sumsum tulang belakang.1,2
Oleh karena cedera ini bersifat sangat fatal dan dapat
menyebabkan penurunan kualitas hidup yang menetap, maka para
dokter maupun perawat membutuhkan cara diagnosis yang tepat dan
tatalaksana yang baik dalam menghadapinya.1,2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Medulla Spinalis1,3,4-6


Sumsum tulang belakang (medulla spinalis) adalah suatu kumpulan jaringan
syaraf yang panjang, tipis dan berbentuk tubular, terletak di dalam kolumna
vertebra dan membujur mulai dari otak (bagian medulla oblongata). Medulla
spinalis bersamaan dengan otak membentuk susunan syaraf pusat (SSP).
Sumsum tulang belakang mulai menjulur dari tulang oksipital bagian
tengkorak, turun ke bawah sepanjang tulang belakang hingga berada di
rongga antara tulang lumbar 1 dan 2. Panjang medulla spinalis berkisar antara
45 cm pada pria, 43 cm pada wanita. Lebarnya sangat bervariasi mulai dari
setengah inci pada bagian servikal dan lumbar, dan seperempat inci pada
bagian torakal. Struktur tulang belakang sangat beradaptasi untuk melindungi
medulla spinalis yang memiliki ukuran lebih pendek dan kecil.
Fungsi utama dari medulla spinalis adalah mentransmisikan sinyal
neural antara otak dan anggota tubuh lainnya. Sinyal ini dapat bersifat
motorik maupun sensorik. Selain itu juga dapat berfungsi sebagai suatu
komponen pusat dari refleks fisiologis.
2.1.1Struktur Medulla Spinalis
Medulla spinalis adalah jaras utama yang menghubungkan otak dengan
neuron perifer. Ukuran medulla spinalis lebih pendek dibandingkan dengan
panjangnya tulang belakang. Hal ini yang membuat medulla spinalis
membujur mulai dari foramen magnum, turun dan membentuk konus
medullaris di dekat tulang vertebra lumbal kedua.
Panjang medulla spinalis dapat mencapai 45 cm pada pria dan 43 cm
pada wanita, namun bervariasi seukuran dengan tinggi manusia. Bentuk
sumsum berupa ovoid, dengan diameter yang lebih lebar di bagian servikal
dan lumbar. Pelebaran medulla spinalis di daerah servikal terletak di C3
hingga T2, dimana terdapat pleksus brachialis yang berfungsi sebagai input
dan sensoris dan output motoris dari kedua lengan. Pelebaran di daerah
lumbar berlokasi di L1 hingga L3 dimana terdapat cabang pleksus
lumbosakralis.
Medulla spinalis dilindungi oleh 3 lapisan jaringan yang disebut selaput
spinal (spinal meninges). Lapisan ini menyelubungi kanal dengan urutan dari
luar berturut-turut adalah duramater, araknoidmater, dan piamater.
Duramater tersusun dari serat yang amat tangguh dan berfungsi sebagai
pelindung. Diantara duramater dan tulang belakang terdapat ruangan yang
disebut ruang epidural. Ruang ini dipenuhi oleh jaringan adiposa dan
mengandung banyak pembuluh darah. Lapisan araknoidmater terletak di
tengah dan memiliki gambaran seperti jaring laba-laba. Terdapat ruang
diantara araknoid dengan piamater, ruangan ini disebut ruang subaraknoid
yang mengandung cairan serebrospinal. (cerebrospinal fluid atau CSF).
Piamater adalah lapisan protektif terdalam, bersifat sangat melekat erat pada
permukaan medulla spinalis. Medulla spinalis disokong oleh jaringan ikat
yang disebut ligamen dentikulatum.
Gambar 1.Potongan Melintang Medula Spinalis
Pada potongan melintang, daerah perifer dari medulla spinalis
mengandung banyak serabut saraf sensorik dan motorik sehingga memiliki
warna putih dan disebut sebagai substansia alba. Sedangkan bagian dalamnya
mengandung banyak badan sel saraf sehingga berwarna abu-abu dan disebut
substansia grisea yang berbentuk seperti kupu-kupu. Struktur ini diselubungi
oleh kanal sentral, yang secara anatomis merupakan perpanjangan dari sistem
ventrikel pada otak, sehingga mengandung cairan serebrospinal.
Bentuk dari medulla spinalis adalah ovoid, dengan bagian dorsal dan
ventralnya memiliki cekungan yang dinamakan posterior median sulcus di
bagian dorsal dan anterior median fissure di bagian ventral.
2.1.2Segmen-Segmen Medulla Spinalis
Sumsum tulang belakang manusia terbagi atas 31 segmen yang berbeda. Pada
setiap segmennya terdiri dari pasangan neuron sensorik dan motorik yang
berada di bagian kiri dan kanannya. Sekitar enam hingga delapan akar saraf
kecil(radiks) bercabang dari medulla spinalis dengan urutan yang sangat rapi.
Radiks ini kemudian bergabung menjadi suatu akar saraf.

Gambar 2. Struktur Saraf Perifer sekitar Medula Spinalis


Saraf sensoris selalu berjalan dari bagian dorsal dan saraf motoris
berjalan dari bagian ventral. Kedua akar saraf ini kemudian bergabung lagi
menjadi saraf spinal (ramus) yang mana bagian sensorik dan motoriknya
berjalan bersamaan. Yang disebut susunan syaraf pusat hanyalah sebatas
medulla spinalis. Akar-akar syaraf ini sudah termasuk sebagai syaraf perifer.
Serabut masing-masing radiks terdistribusi ulang menjadi beberapa
saraf perifer setelah keluar dari tulang belakang, dan masing-masing saraf
mengandung serabut dari beberapa segmen radikular yang berdekatan.
Namun, serabut masing-masing segmen radikular kembali tergabung
membentuk kelompokan di bagian perifer untuk mempersarafi area
segmental kulit tertentu yang disebut sebagai dermatom. Masing-masing
dermatom mewakili sebuah segmen radikular, yang dengan demikian
mewakili juga sebuah segmen medula spinalis.

Gambar 3. Pembagian Dermatom


Medulla spinalis berakhir sebagai konus medulla di daerah lumbar 1
atau lumbar 2. Disebut konus karena bentuknya yang menguncup merupai
kerucut. Setelah medulla spinalis berakhir, lapisan piamater mengalami
pemanjangan hingga mencapai bagian koksigeus, disebut sebagai filum
terminalis. Serabut syaraf yang terletak di bawah konus medullaris kemudian
membentuk kauda equina (buntut kuda) dan meneruskan jarasnya menuju ke
ekstremitas bagian bawah. Kauda equina terbentuk dari kenyataan bahwa
medulla spinalis berhenti bertambah panjang sejak umur 4 tahun, namun
demikian tulang vertebra terus bertambah panjang hingga usia remaja.

Gambar 4.Potongan Sagital Vertebra dan Medula Spinalis


Terdapat 33 segmen dari medulla spinalis manusia, kesemuanya
memiliki nama sesuai dengan tulang vertebranya. Pembagian segmennya
yaitu 8 segmen servikal, 12 segmen torakal, 5 segmen lumbar, dan 5 segmen
sakral. Semua serabut syaraf, kecuali syaraf C1 dan C2, keluar dari kolumna
spinalis melewati intravertebral foramen di vertebranya. Tulang belakang C1
disebut sebagai tulang atlas, dan C2 disebut tulang aksis.

Gambar 5. Segmen Vertebra


2.1.3Vaskularisasi Medulla Spinalis
Medulla spinalis selain mendapatkan suplai darah dari tiga arteri besar yang
berjalan secara longitudinal dari otak, juga mendapat dari arteri yang
mengalir dari sisi kolumna spinalis. Ketiga arteri besar tersebut adalah arteri
anterior spinalis, arteri posterior spinalis kiri dan kanan. Arteri-arteri ini
berjalan di dalam ruang sub-araknoid dan bercabang masuk ke dalam medulla
spinalis.
Kontribusi utama dari suplai darah pada medulla spinalis di bawah
bagian servikal berasal dari arteri radikular bagian anterior dan posterior.
Kedua arteri ini berjalan berdampingan dengan akar saraf dorsal dan ventral
untuk kemudian memperdarahi sumsum tulang belakang. Arteri radikular
merupakan suatu perpanjangan cabang dari aorta dan tidak berhubungan
secara langsung dengan ketiga arteri longitudinal. Arteri radikular terbesar
pada manusia terletak di L1 dan L2, disebut sebagai arteri anterior radikularis
magna. Kelainan aliran darah pada arteri magna ini, terutama dalam proses
pembedahan aneurisma aorta, dapat menyebabkan infark pada medulla
spinalis dan mengakibatkan paraplegia.
Gambar 6. Vaskularisasi Vertebra

2.1.4Traktus Somatosensorik Medulla Spinalis


Struktur somatosensori medulla spinalis dibagi menjadi 3, yaitu jaras
lemniscus bagian dorsal columna-medial (pengaturan
sentuhan/proprioseptif/getaran), jaras spinoserebelaris anterior posterior, dan
sistem spinotalamikkus anterolateral (pengaturan nyeri/temperatur). Ketiga
jaras sensorik ini memiliki 3 neuron yang berbeda untuk bekerja. Neuron-
neuron ini terbagi menjadi neuron sensorik primer, sekunder, dan tersier.
2.1.4.1 Traktus Lemniskus Dorsal Columna Medial
Pada jaras lemniscus bagian dorsal columna medial, akson neuron primernya
memasuki medulla spinalis dan menuju ke bagian dorsal dari kolumna.
Akson-akson pada medulla spinalis dibawah T6 akan memasuki jaras
fasciculus grasilis, sebaliknya bila akson terdapat setinggi T6 atau diatasnya,
maka akan memasuki jaras fasciculus cuneatus yang terletak di bagian lateral
fasciculus grasilis.
Setelah mencapai jaras masing-masing, akson primer menaiki medulla
spinalis hingga mencapai bagian bawah dari medulla oblongata, setelah itu
mencapai meninggalkan fasciculus dan bersinaps dengan neuron sekunder
pada salah satu dari nuclei kolumna dorsalis; antara nukleus gracilis atau
nukleus cuneatus.
Akson akan berjalan menuju anterior dan kemudian ke bagian
medial setelah meninggalkan nukleusnya, kumpulan akson yang serupa ini
disebut sebagai fiber internal arkuata. Persilangan jaras ke bagian
kontralateral terdapat pada titik ini. Setelah itu jaras terus naik ke bagian
medial lemniskus kontralateral hingga pada akhirnya berhenti di nukleus
ventral posterolateral di bagian thalamus dan bersinaps dengan neuron tersier.
Dari situ neuron tersier naik menuju ke kapsula interna dan berujung pada
korteks sensorik primer. Perlu diingat bahwa jaras ini disebut juga jaras
kolumna posterior dan menghantarkan rasa getar, perubahan posisi, raba dan
diskriminasi.
Serebelum menerima input proprioseptif aferen dari semua regio tubuh;
kemudian, output eferen polisinaptiknya mempengaruhi tonus otot dan
koordinasi kerja otot-otot antagonis dan agonis yang berperan saat berdiri,
berjalan, dan semua gerakan lain. Proses ini berjalan tanpa disadari.
Gambar 7. Kumpulan Traktus Medula Spinalis

2.1.4.2 Traktus Spinotalamikus


Jaras sensorik selanjutnya adalah jaras spinotalamikus yang merupakan jalur
untuk penghantaran beberapa jenis impuls lainnya. Stimulus nyeri dan suhu
akan melewati jaras spinotalamikus lateral, sedangkan sisanya (persepsi raba
kasar dan tekan) melewati jaras spinotalamikus anterior. Jaras ini juga
memiliki 3 neuron. Urutan perjalanannya dimulai dari reseptor perifer
bersinaps dengan neuron sensorik pertama yang melewati dorsal ganglion
dan menuju medulla spinalis. Setelah mencapai medulla spinalis, jaras
bersinaps dengan neuron kedua dan kemudian bersilang ke sisi sebelahnya
dan memasuki traktur spinothalamikus bagian anterior atau lateral. Jaras
menaiki medulla spinalis hingga mencapai thalamus dan kemudian bersinaps
dengan neuron ketiga dan kemudian menuju korteks sensorik.
Gambar 8. Traktus Lemniskus Medial dan Spinotalamikus Anterolateral

2.1.4.3 Traktus Spinoserebelaris


Traktus yang ketiga yang mengatur sistem somatosensorik adalah traktus
spinoserebelaris posterior dan anterior. Beberapa impuls aferen yang timbul
di organ sistem muskuloskeletal (otot, tendon dan sendi) berjalan melalui
traktus spinoserebelaris ke organ keseimbangan dan koordinasi, serebelum.
Ada dua traktus pada setiap sisi medulla spinalis, satu di bagian anterior dan
satu lagi di bagian posterior.
Pada traktus spinoserebelaris posterior, neuron primer menghantarkan
impuls dari spindel otot dan organ tendon. Traktus spinoserebelaris posterior
berjalan ke atas di dalam medulla spinalis sisi ipsilateral di bagian posterior
funikulus lateralis dan kemudian berjalan melalui pedunkulus serebelaris
inferior ke vermis cereberi. Serabut aferen yang muncul setingkat servikal
berjalan di dalam fasikulus kuneatus untuk membuat sinaps dengan neuron
kedua yang sesuai di nukleus kuneatus dan kemudian berjalan naik ke
serebelum.
Traktus spinoserebelaris anterior memiliki serabut aferen primer yang
memasuki medula spinalis membentuk sinaps dengan neuron funikularis di
kornu posterius dan di bagian sentral substansia grisea medula spinalis.
Neuron kedua ini, yang ditemukan setingkat segmen vertebra lumbalis
bawah, merupakan sel asal traktus spinosereblaris anterior, yang berjalan naik
di dalam medula spinalis baik di sisi ipsilateral maupun kontralateral dan
berakhir di serebelum. Kebalikan dengan traktus spinoserebelaris posterior,
traktus ini menyilang di dasar ventrikel ke empat ke otak tengah dan
kemudian berbelok ke arah posterior untuk mencapai vermis cerebeli.

Gambar 9. Traktus Spinoserebelaris


2.1.5Traktus Motorik Medulla Spinalis
2.1.5.1 Traktus Kortikospinalis (traktus piramidalis)
Traktus ini berasal dari korteks motorik dan berjalan melalui substansia alba
serebri (korona radiata), krus posterius kapsula interna, bagian sentral
pedunkulus serebri, pons dan basal medula. Tempat traktus ini terlihat
sebagai penonjolan kecil yang disebut sebagai piramid. Piramid medula
terdapat satu pada masing-masing sisi. Pada bagian ujung bawah medulla,
80-85% serabut piramidal menyilang ke sisi lain di dekusasio piramidum.
Traktus yang menyilang ini disebut sebagai traktus kortikospinalis lateralis.
Serabut yang tidak menyilang disini berjalan menuruni medula spinalis di
funikulus anterior ipsilateral sebagai traktus kortikospinalis anterior; serabut
ini menyilang lebih di bawah melalui komisura anterior medula spinalis. Pada
tingkat servikal dan torakal, kemungkinan juga terdapat beberapa serabut
yang tetap tidak menyilang dan mempersarafi neuron motorik ipsilateral di
kornu anterius, sehingga otot-otot leher dan badan mendapatkan persarafan
kortikal bilateral. Pada akhir jaras, serabut traktus piramidalis bersinaps
dengan interneuron, kemudian menghantarkan impuls ke saraf perifer.
2.1.5.2 Traktus Kortikonuklearis (Traktus Kortikobulbaris)
Beberapa serabut traktus piramidalis membentuk cabang dari massa utama
traktus ketika melewati otak tengah dan kemudian berjalan lebih ke dorsal
menuju nuklei nervi kranialis motorik. Serabut yang mempersarafi nuklei
batang otak ini sebagian menyilang dan sebagian lagi tidak menyilang.
Nuklei yang menerima input traktus piramidalis adalah nuklei yang
memediasi gerakan volunter otot-otot kranial melalui nervus kranialis V,
nervus kranialis VII, nervus kranialis IX, X, dan XI, serta XII. Traktus
kortikomesensefalikus berjalan bersamaan dengan traktus kortikonuklearis.
Traktus ini memediasi gerakan mata konjugat yang terdiri dari nervus
kranialis III, IV, dan VI.

Gambar 10. Traktus Motorik Medula Spinalis


2.2 Cedera Medulla Spinalis
2.2.1 Definisi7,8
Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke
susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk
oleh tulang vertebra. Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan
sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti
pernapasan dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan
sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula
spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis.
2.2.2 Epidemiologi2,7,8
Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu
mengalami cedera medula spinalis. Sampai tahun 1999, diperkirakan ada
sebanyak 183.000 sampai 203.000 orang yang hidup dengan cedera medula
spinalis di negara tersebut.
Cedera medula spinalis dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi,
ketidak berdayaan, rehabilitasi dan perawatan yang berkepanjangan, dan
beban ekonomi yang tinggi. Pada tahun 2004, Christopher & Dana Reeve
Foundation bekerja sama dengan Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) melakukan penelitian untuk mengetahui epidemiologi
penderita cedera medula spinalis dan yang mengalami paralisis di Amerika
Serikat.
Gambar 11.Diagram Penyebab Kelumpuhan dan Trauma Spinalis
Hasilnya yaitu sekitar 1,9% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar
5.596.000 orang melaporkan beberapa bentuk paralisis berdasarkan definisi
fungsional yang digunakan dalam survei tersebut. Sekitar 0,4% dari populasi
Amerika Serikat atau sekitar 1.275.000 orang dilaporkan mengalami paralisis
dikarenakan oleh cedera medula spinalis.
Menurut Dahlberg dkk. (2005), penyebab cedera medula spinalis yang
terbanyak di Helsinki, Finlandia adalah jatuh (43%) , diikuti dengan
kecelakaan lalu lintas (35%), menyelam (9%), kekerasan (4%) dan penyebab
lain (9%). Penyebab cedera medula spinalis di negara berkembang bervariasi
dari satu negara ke negara lain. Kecelakaan lalu lintas mencakup sebesar 49%
penyebab cedera medula spinalis di Nigeria, 48,8% di Turki dan 30% di
Taiwan.
2.2.3 Etiologi
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis7,8:
A. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal
seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau
kekerasan, merusak medula spinalis. Hagen dkk (2009) mendefinisikan
cedera medula spinalis traumatik sebagai lesi traumatik pada medula spinalis
dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan
American Board of Physical Medicine and Rehabilitation Examination
Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik
mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra.
B. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan
seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula
spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan
disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula
spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit
infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi
toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.
2.2.4 Patofisiologi7,8
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi
akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade
cedera berlanjut, kemungkinan penyembuhan fungsional semakin menurun.
Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada kebanyakan
kasus, window period untuk intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6
sampai 24 jam setelah cedera.
Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke
korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang
persisten. Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah
cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan
perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan.
Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan
berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan
kaskade yang kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan
serat traktus yang mana kesemuanya hanya dimengerti sebagian. Sangat jelas
bahwa peningkatan produksi radikal bebas dan opioid endogen, pelepasan
yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi inflamasi sangat
berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger Ribonucleic Acid)
menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula
spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik.
Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari
cedera sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari
penurunan kadar anti-oksidan yang cepat, oksigen radikal bebas
berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat yang cedera dan menyerang
membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini berakibat pada
dihasilkannya lipid peroxidase yang menyebabkan rusaknya membran sel.
Teori lain yaitu teori kalsium, teori reseptor opiate, dan lain sebagainya
Menyusul cedera medula spinalis, penyebab utama kematian sel adalah
nekrosis dan apoptosis. Walaupun mekanisme kematian sel yang utama
segera setelah terjadinya cedera primer adalah nekrosis, kematian sel
apoptosis yang terprogram mempunyai efek yang signifikan pada cedera
sekunder sub akut. Kematian sel oligodendrosit yang diinduksi oleh apoptosis
berakibat demyelinasi dan degenerasi aksonal pada lesi dan sekitarnya.
Proses cedera sekunder berujung pada pembentukan jaringan parut
glial, yang diperkirakan sebagai penghalang utama regenerasi aksonal di
dalam sistem saraf pusat. Pembentukan jaringan parut glial merupakan proses
reaktif yang melibatkan peningkatan jumlah astrosit. Menyusul terjadinya
nekrosis dari materi abu-abu dari korda sentral dan degenerasi kistik, jaringan
parut berkembang dan meluas sepanjang traktus aksonal. Pola dari
pembentukan jaringan parut dan infiltrasi sel inflamatori dipengaruhi oleh
jenis dari lesi medula spinalis.
2.2.5 Klasifikasi
Klasifikasi dari trauma medulla spinalis terbagi atas 2 kategori, yaitu
berdasarkan skala impairment scale, dan berdasarkan tipe/ lokasi trauma.
2.2.5.1 Klasifikasi Impairment Scale2
Menurut American Spinal Injury Association, trauma medulla spinalis
dikategorikan dalam 5 tingkatan yaitu tingkat A, B, C, D, dan E.
Pembagiannya adalah sebagai berikut :
Grade Tipe Gangguan Medulla Spinalis

A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai


S4-S5

B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik


terganggu sampai segmen S4-S5

C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi


otot-otot motorik utama masih memiliki
kekuatan <3

D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-


otot motorik utama memiliki kekuatan >=3

E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal

Tabel 1. Klasifikasi Cedera Spinal Menurut ASIA


2.2.5.2 Klasifikasi Tipe dan Lokasi Trauma2
Terdapat beberapa pembagian untuk klasifikasi ini, diantaranya sebagai
berikut :
i) Complete spinal cord injury (Grade A)
a. Unilevel
b. Multilevel
ii) Incomplete spinal cord injury (Grade B, C, D)
Sindroma Kausa Utama Gejala Klinis

Brown-Sequard Trauma tembus, 1. Paresis UMN ipsilateral di bawah lesi dan


Syndrome Kompresi LMN setinggi lesi
2. Gangguan eksteroseptif (nyeri dan suhu)
kontralateral
3. Gangguan proprioseptif (raba dan tekan)
ipsilateral
Sindroma Spinalis Cedera yang 1. Paresis LMN setinggi lesi, UMN dibawah lesi
Anterior menyebabkan 2. Dapat disertai disosiasi sensibilitas
HNP pada T4-6 3. Gangguan eksteroseptif, proprioseptif normal
4. Disfungsi spinkter
Sindroma Spinalis Hematomielia, 1. Paresis lengan > tungkai
Sentral Servikal Trauma spinal 2. Gangguan sensorik bervariasi di ujung distal
lengan
3. Disosiasi sensibilitas
4. Disfungsi miksi, defekasi, dan seksual
Sindroma Spinalis Trauma, infark 1. Paresis ringan
Posterior arteri spinalis 2. Gangguan eksteroseptif punggung, leher, dan
posterior bokong
3. Gangguan propioseptif bilateral
Sindroma Konus Trauma lower 1. Gangguan motorik ringan, simetris
Medullaris sacral cord 2. Gangguan sensorik, bilateral, disosiasi
sensibilitas
3. Nyeri jarang, relative ringan, simetris,
bilateral pada perineum dan paha
4. Refleks Achilles -, patella +, bulbocavernosus
-, anal –
5. Disfungsi spinkter, ereksi, dan ejakulasi.
Sindroma Kauda Cedera akar saraf 1. Gangguan motorik sedang sampai berat,
Equina lumbosakral asimetris
2. Gangguan sensibilitas, asimetris, tidak ada
disosiasi sensibilitas
3. Nyeri sangat hebat, asimetris
4. Gangguan reflex bervariasi
5. Gangguan spinkter timbul lambat, ringan,
jarang terdapat disfungsi seksual

Tabel 2. Klasifikasi Menurut Tipe dan Lokasi Trauma2


Gambar 12. Sindrom Medula Spinalis
2.2.6 Diagnosis2,9

Diagnosis trauma medulla spinalis tentu dimulai dengan penilaian kondisi


jalan napas, pernapasan, dan peredaran darah. Setelah ketiga ABC tersebut
stabil, barulah dilakukan anamnesis mengenai kejadian trauma, tipe trauma,
keadaan pasien sebelum dan setelah trauma, gejala-gejala penyerta seperti
nyeri yang menjalar, kelumpuhan/hilangnya pergerakan, hilangnya sensasi
rasa, hilangnya kemampuan peristaltik usus, spasme otot, perubahan fungsi
otonom dan seksual. Perlu diingat bahwa penyebab trauma pasien juga harus
ditelusuri, misalkan pasien mengalami kelemahan terlebih dahulu baru
kemudian terjatuh. Setelah anamnesis, dilakukan penilaian generalis guna
mengetahui penyebab trauma dan apakah terdapat kelainan tulang dan
sebagainya. Pasien yang diduga mengalami cedera tulang servikal harus
diperlakukan sangat hati-hati. Pemeriksaan neurologis pada cedera medula
spinalis meliputi penilaian berikut seperti:

- Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)

- Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)

- Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)

- Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)

- Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti
disfagia)

Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan
completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan
neurologis lainnya seperti cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen
terakhir dari fungsi saraf spinal yang normal, seperti yang diketahui dari
pemeriksaan klinis, disebut sebagai level neurologis dari lesi tersebut. Hal ini
tidak harus sesuai dengan level fraktur, karena itu diagnosa neurologis dan
fraktur harus dicatat.

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan foto polos vertebra yang


merupakan langkah awal untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang
melibatkan medulla spinalis, kolumna vertebralis, dan jaringan di sekitarnya.
Pada trauma servikal digunakan foto AP, lateral, dan odontoid. Pada cedera
torakal dan lumbal, digunakan foto AP dan Lateral.

Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, urin lengkap, gula


darah, ureum dan kreatinin, fungsi hati, dan analisis gas darah kerap
dikerjakan guna mengetahui kondisi metabolik pasien. Pemeriksaan lain
seperti EKG juga dapat dilakukan dalam kondisi tertentu.

Untuk menegakkan diagnosis pasti dapat dilakukan pemeriksaan CT-


scan dan MRI vertebra. CT-scan dapat lebih jelas memperlihatkan jaringan
lunak, struktur tulang, dan kanalis spinalis dalam potongan aksial. Sedangkan
MRI dapat memperlihatkan keseluruhan struktur internal medulla spinalis
dalam sekali pemeriksaan. Selain imaging, pemeriksaan neurofisiologi klinik
seperti SSEP juga dapat dianjurkan.

2.2.7 Tatalaksana2
2.2.7.1 Tatalaksana Pre Hospital
Untuk mendukung tujuan penyembuhan yang optimal, maka perlu
diperhatikan tatalaksana di saat sebelum masuk rumah sakit seperti halnya
melakukan stabilisasi secara manual, membatasi gerakan fleksi dan lainnya,
menenangkan pasien dan memberikan penanganan mobilitasi vertebra
dengan kolar leher atau brace vertebral.
2.2.7.2Tatalaksana di Unit Gawat Darurat
Saat pasien sampai di UGD, wajib diperiksa ABC (airway, breathing,
circulation), bila pernafasan terganggu dapat dipasang intubasi endotrakeal
atau pemasangan alat bantu nafas lainnya supaya oksigenasi adekuat. Perlu
dinilai juga apabila pasien memiliki kemungkinan fraktur servikal, maka
kerah fiksasi leher harus terpasang terlebih dahulu.
Bila mendapatkan tanda-tanda hipotensi, harus segera dibedakan antara
syok hipovolemik dan syok neurogenik. Pada syok hipovolemik didapati
tanda hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin. Sedangkan pada syok
neurogenik didapati tanda hipotensi, bradikardia, ekstremitas hangat. Pada
syok hipovolemik harus dipertimbangkan untuk pemberian cairan kristaloid
(NaCl 0,9% / Ringer Laktat), bila perlu diberikan koloid. Pada syok
neurogenik, pemberian cairan tidak akan menaikkan tensi, maka harus
diberikan obat vasopressor seperti dopamine, adrenalin 0,2 mg subkutis, dan
boleh diulangi setiap 1 jam.
Selanjutnya dapat dipasang foley kateter untuk memonitor hasil urin
dan mencegah retensi urin. Pemasangan pipa naso-gastrik juga dapat
dilakukan dengan tujuan untuk dekompresi lambung pada distensi dan demi
kepentingan nutrisi secara enteral.
Segera lakukan pemeriksaan status generalis dan neurologis guna
membuat diagnosis dan menentukan tatalaksana selanjutnya. Bila terdapat
kelainan tulang servikal, pasang collar neck. Korset torakolumbal atau
lumbal juga dapat dipasang pada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis
bagian torakal dan lumbal. Pemeriksaan penunjang dapat segera dilakukan
setelah keseluruhan hal tersebut diatas telah dilakukan.
Bila diagnosis ditegakkan kurang dari 3 jam pasca trauma, dapat
diberikan kortikosteroid metilprednisolon 30 mg/KgBB intravena bolus
selama 15 menit, ditunggu selama 45 menit, kemudian diberikan infuse terus
menerus metilprednisolon selama 24 jam dengan dosis 5.4 mg/KgBB/jam.
Bila diagnosis baru ditegakkan dalam 3-8 jam, maka cukup diberikan
metilprednisolon dalam infuse untuk 48 jam. Bila diagnosis baru diketahui
setelah 8 jam, maka pemberian metilprednisolon tidak dianjurkan.
2.2.7.3 Tatalaksana di Ruang Rawat
Prinsip utama dalam perawatan pasien dengan trauma servikal adalah dengan
terus menjaga terapi ABC. Perawatan umum lain seperti penjagaan suhu
tubuh dan mengenai miksi juga perlu diperhatikan.
Untuk terapi medikamentosa, metilprednisolon dapat terus diberikan
guna mencegah proses kerusakan sekunder. Obat-obatan penunjang lain
seperti anti spastisitas otot dapat diberikan sesuai keadaan klinis. Pasien yang
mengeluh kesakitan dapat juga diberi obat analgetik. Pemberian antikoagulan
dapat diberikan untuk mencegah adanya thrombosis vena dalam. Untuk
kasus-kasus dengan infeksi, antibiotik perlu dipertimbangkan. Antioksidan
dapat diberikan pada setiap pasien trauma spinalis.
Tindakan operasi dapat dilakukan dalam 24 jam sampai dengan 3
minggu pasca trauma. Tindakan operatif awal (kurang dari 24 jam) lebih
bermakna menurunkan perburukan neurologis, komplikasi, dan keluaran skor
motorik satu tahun pasca trauma. Terapi bedah bertujuan untuk
mengeluarkan fragmen tulang, benda asing, reparasi hernia diskus, dan
menstabilisasi vertebra guna mencegah nyeri kronis.
Indikasi untuk operasi adalah adanya fraktur, pecahan tulang yang
menekan medulla spinalis, gambaran neurologis yang progresif memburuk,
fraktur atau dislokasi yang labil, terjadinya herniasi diskus intervertebralis
yang menekan medulla spinalis.
2.2.8 Neurorestorasi dan Neurorehabilitasi
Rehabilitasi dan pemulihan fungsi gerak tubuh sangat penting setelah masa
akut dari cedera lewat. Rehabilitasi adalah suatu proses progresif, dinamis,
dalam waktu yang terbatas bertujuan untuk meningkatkan kualitas individu
yang mengalami gangguan secara optimal dalam bidang mental, fisik,
kognitif, dan sosial. Tindakan yang dapat dilakukan berupa fisioterapi, terapi
okupasi, latihan miksi dan defekasi secara rutin, serta tidak lupa untuk aspek
psikologis penderita.
Tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk memberikan penerangan dan
pendidikan kepada pasien dan keluarga mengenai trauma medulla spinalis,
memaksimalkan kemampuan mobilisasi dan latihan mandiri, serta mencegah
adanya kelainan komorbiditi seperti kontraktur, dekubitus, infeksi paru, dan
lain sebagainya. Rehabilitasi ditargetkan agar pasien dapat kembali kedalam
lingkungan komunitasnya dan dapat berperan sesuai dengan keadaan fisiknya
yang baru.
Rehabilitasi cedera medulla spinalis merupakan suatu pelayanan
kesehatan professional yang bersifat multi-disiplin, yang dimulai sejak fase
akut, secara terus menerus dan ekstensif, lalu melakukan pelayanan khusus
selama fase sub-akut yang meliputi perawatan, terapi fisik, terapi kerja,
menjaga pernafasan dan obat-obatan, istirahat dan rekreasi, psikologi,
pelayanan nutrisi, latihan wicara, pekerjaan sosial, sampai dengan konseling
kesehatan seksual.
2.2.9 Prognosis9
Pasien dengan cedera medulla spinalis komplit hanya mempunyai harapan
untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72
jam, maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi
sensorik masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat
berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita cedera medulla
spinalis dapat sembuh dan mandiri.
BAB 3
PENUTUP

Cedera medulla spinalis merupakan suatu kejadian yang umum dijumpai di


masyarakat, dengan penyebab utamanya merupakan suatu kejadian
kecelakaan. Di Indonesia didapati insidens trauma medulla spinalis
diperkirakan mencapai 8.000-10.000 kasus per tahunnya. Cedera ini juga
dapat merupakan cedera traumatik (primer) ataupun akibat penyakit lain
(sekunder) seperti infeksi atau tumor. Mekanisme dari cedera ini dapat
terbagi menjadi 2 fase yaitu fase primer dan fase sekunder. Kedua fase ini
memiliki window periode hanya sekitar 6 – 24 jam. Oleh karena itu diagnosis
dan tatalaksana tepat diperlukan dalam menangani kasus cedera medulla
spinalis guna mencegah perburukan kualitas hidup pasien dan mortalitas.
Diagnosis pada umumnya meliputi anamnesa yang baik dan
pemeriksaan neurologik untuk mengetahui perkiraan lokasi lesi, klasifikasi
cedera, dan menentukan tatalaksana selanjutnya. Pemeriksaan penunjang
seperti imaging sangat membantu dalam mendiagnosis secara akurat.
Prinsip utama tatalaksana yaitu dengan menjaga saluran pernapasan,
pernapasan, dan sirkulasi yang adekuat. Pemberian obat kortikosteroid telah
terbukti memperbaiki kondisi pasien pasca trauma. Medikamentosa lain
dapat diberikan sesuai dengan indikasi pasien. Operasi dapat dianjurkan bila
terdapat indikasi.
Pasien dengan cedera medulla spinalis dapat membaik kondisinya
sehingga dapat kembali seperti semula, namun ada pasien yang memiliki
kerusakan parah dan tidak dapat berjalan lagi. Kesemua pasien ini perlu
mendapatkan terapi neurorehabilitasi guna meningkatkan kualitas hidup
pasien setelah keluar dari rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, et al. The Human Nervous
System Structure and Function. 6th Edition. New Jersey : Humana Press Inc.
2005.
2. Perdossi. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal. Jakarta : Perdossi ; 2006.
3. Lumbangtobing S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta ; Badan Penerbit FKUI ; 2013.
4. Baehr M, Frotscher M. DUUS Diagnosis Topik Neurologi Edisi 4. Jakarta
: EGC ; 2012.
5. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. Germany : Thieme Flexibook ;
2004.
6. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
9. Jakarta : EGC; 1997.
7. Ropper H.A, Brown R H. Adam’s and Victor Principles of Neurology.
USA ; McGrawHill : 2005.
8. Mumenthaler M, Mattle H. Neurology 4th edition. Germany : Thieme
Flexibook ; 2004.

9. Jacob A, Weinshenker B. An Approach to the Diagnosis of Acute


Transverse Myelitis. Semin Neurol 2008;28:105-120.

10. Dewanto G, dkk. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit


Saraf. Jakarta : EGC ; 2013.

Anda mungkin juga menyukai