Referat Trauma Medula Spinalis
Referat Trauma Medula Spinalis
Referat Trauma Medula Spinalis
Pembimbing :
Disusun oleh :
406162073
Pembimbing,
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berkat rahmat dan petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf, dengan judul Trauma
Medula Spinalis.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada pembimbing penulis, dr. Mintarti, Sp. S atas
bimbingannya selama ini, serta kepada seluruh dokter pengajar yang
telah bersedia memberikan kesempatan dan waktunya sehingga
makalah ini dapat terselesaikan. Selain itu penulis juga
mengucapkan terimakasih untuk teman – teman dan keluarga yang
selalu memberikan support kepada penulis.
Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat mengikuti
kepaniteraan di RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro Semarang. Penulis
sadar dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan sarannya agar
makalah ini dapat menjadi lebih baik. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua yang membacanya.
Semarang, 2018
Benita Arini Kurniadi
406162073
BAB 1
PENDAHULUAN
Trauma atau cedera medulla spinalis merupakan salah satu
penyebab gangguan fungsi saraf yang sering menimbulkan
kecacatan permanen pada usia muda. Kelainan yang lebih banyak
dijumpai pada usia produktif ini sering kali mengakibatkan
penderita harus terbaring di tempat tidur atau duduk di kursi roda
karena kelumpuhan dari anggota gerak mereka. 1
Data epidemiologik dari berbagai negara menyebutkan bahwa
angka kejadian (insidensi) trauma ini sekitar 11,5 – 53,4 kasus per
100.000 penduduk tiap tahunnya. Trauma spinal meliputi 75% dari
seluruh cedera. Setengah dari kasus ini adalah akibat kecelakaan
kendaraan bermotor; jatuh (20%), luka tembak (25%), olahraga, dan
kecelakaan industri. Dari data yang terdapat pada Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam periode Januari-Juni
2003 terakhir terdapat 165 kasus trauma spinal.1,2
Dokter dan tim medis yang menolong penderita cedera tulang
belakang harus selalu berhati – hati bahwa manipulasi yang
berlebihan serta immobilisasi yang tidak adekuat akan menambah
kerusakan neurologik dan memperburuk prognosis penderita.
Cedera kolumna vertebralis, dengan atau tanpa defisit neurologis,
harus selalu dicari dan disingkirkan pada penderita yang mengalami
cedera multipel. Setiap cedera diatas tulang klavikula harus
dicurigai adanya cedera pada tulang leher sampai terbukti tidak
adanya keterlibatan medulla spinalis setelah trauma. 1
Kurang lebih 5% dari cedera spinal akan timbul gejala
neurologis lain atau memburuknya keadaan setalah penderita
mencapai UGD. Hal ini disebabkan karena iskemia atau edema
progresif pada sumsum tulang belakang atau akibat kegagalan
mempertahankan immobilisasi yang adekuat. Pergerakan penderita
dengan kolumna vertebralis yang tidak stabil akan memberikan
resiko kerusakan lebh lanjut sumsum tulang belakang.1,2
Oleh karena cedera ini bersifat sangat fatal dan dapat
menyebabkan penurunan kualitas hidup yang menetap, maka para
dokter maupun perawat membutuhkan cara diagnosis yang tepat dan
tatalaksana yang baik dalam menghadapinya.1,2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
- Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)
- Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti
disfagia)
Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan
completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan
neurologis lainnya seperti cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen
terakhir dari fungsi saraf spinal yang normal, seperti yang diketahui dari
pemeriksaan klinis, disebut sebagai level neurologis dari lesi tersebut. Hal ini
tidak harus sesuai dengan level fraktur, karena itu diagnosa neurologis dan
fraktur harus dicatat.
2.2.7 Tatalaksana2
2.2.7.1 Tatalaksana Pre Hospital
Untuk mendukung tujuan penyembuhan yang optimal, maka perlu
diperhatikan tatalaksana di saat sebelum masuk rumah sakit seperti halnya
melakukan stabilisasi secara manual, membatasi gerakan fleksi dan lainnya,
menenangkan pasien dan memberikan penanganan mobilitasi vertebra
dengan kolar leher atau brace vertebral.
2.2.7.2Tatalaksana di Unit Gawat Darurat
Saat pasien sampai di UGD, wajib diperiksa ABC (airway, breathing,
circulation), bila pernafasan terganggu dapat dipasang intubasi endotrakeal
atau pemasangan alat bantu nafas lainnya supaya oksigenasi adekuat. Perlu
dinilai juga apabila pasien memiliki kemungkinan fraktur servikal, maka
kerah fiksasi leher harus terpasang terlebih dahulu.
Bila mendapatkan tanda-tanda hipotensi, harus segera dibedakan antara
syok hipovolemik dan syok neurogenik. Pada syok hipovolemik didapati
tanda hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin. Sedangkan pada syok
neurogenik didapati tanda hipotensi, bradikardia, ekstremitas hangat. Pada
syok hipovolemik harus dipertimbangkan untuk pemberian cairan kristaloid
(NaCl 0,9% / Ringer Laktat), bila perlu diberikan koloid. Pada syok
neurogenik, pemberian cairan tidak akan menaikkan tensi, maka harus
diberikan obat vasopressor seperti dopamine, adrenalin 0,2 mg subkutis, dan
boleh diulangi setiap 1 jam.
Selanjutnya dapat dipasang foley kateter untuk memonitor hasil urin
dan mencegah retensi urin. Pemasangan pipa naso-gastrik juga dapat
dilakukan dengan tujuan untuk dekompresi lambung pada distensi dan demi
kepentingan nutrisi secara enteral.
Segera lakukan pemeriksaan status generalis dan neurologis guna
membuat diagnosis dan menentukan tatalaksana selanjutnya. Bila terdapat
kelainan tulang servikal, pasang collar neck. Korset torakolumbal atau
lumbal juga dapat dipasang pada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis
bagian torakal dan lumbal. Pemeriksaan penunjang dapat segera dilakukan
setelah keseluruhan hal tersebut diatas telah dilakukan.
Bila diagnosis ditegakkan kurang dari 3 jam pasca trauma, dapat
diberikan kortikosteroid metilprednisolon 30 mg/KgBB intravena bolus
selama 15 menit, ditunggu selama 45 menit, kemudian diberikan infuse terus
menerus metilprednisolon selama 24 jam dengan dosis 5.4 mg/KgBB/jam.
Bila diagnosis baru ditegakkan dalam 3-8 jam, maka cukup diberikan
metilprednisolon dalam infuse untuk 48 jam. Bila diagnosis baru diketahui
setelah 8 jam, maka pemberian metilprednisolon tidak dianjurkan.
2.2.7.3 Tatalaksana di Ruang Rawat
Prinsip utama dalam perawatan pasien dengan trauma servikal adalah dengan
terus menjaga terapi ABC. Perawatan umum lain seperti penjagaan suhu
tubuh dan mengenai miksi juga perlu diperhatikan.
Untuk terapi medikamentosa, metilprednisolon dapat terus diberikan
guna mencegah proses kerusakan sekunder. Obat-obatan penunjang lain
seperti anti spastisitas otot dapat diberikan sesuai keadaan klinis. Pasien yang
mengeluh kesakitan dapat juga diberi obat analgetik. Pemberian antikoagulan
dapat diberikan untuk mencegah adanya thrombosis vena dalam. Untuk
kasus-kasus dengan infeksi, antibiotik perlu dipertimbangkan. Antioksidan
dapat diberikan pada setiap pasien trauma spinalis.
Tindakan operasi dapat dilakukan dalam 24 jam sampai dengan 3
minggu pasca trauma. Tindakan operatif awal (kurang dari 24 jam) lebih
bermakna menurunkan perburukan neurologis, komplikasi, dan keluaran skor
motorik satu tahun pasca trauma. Terapi bedah bertujuan untuk
mengeluarkan fragmen tulang, benda asing, reparasi hernia diskus, dan
menstabilisasi vertebra guna mencegah nyeri kronis.
Indikasi untuk operasi adalah adanya fraktur, pecahan tulang yang
menekan medulla spinalis, gambaran neurologis yang progresif memburuk,
fraktur atau dislokasi yang labil, terjadinya herniasi diskus intervertebralis
yang menekan medulla spinalis.
2.2.8 Neurorestorasi dan Neurorehabilitasi
Rehabilitasi dan pemulihan fungsi gerak tubuh sangat penting setelah masa
akut dari cedera lewat. Rehabilitasi adalah suatu proses progresif, dinamis,
dalam waktu yang terbatas bertujuan untuk meningkatkan kualitas individu
yang mengalami gangguan secara optimal dalam bidang mental, fisik,
kognitif, dan sosial. Tindakan yang dapat dilakukan berupa fisioterapi, terapi
okupasi, latihan miksi dan defekasi secara rutin, serta tidak lupa untuk aspek
psikologis penderita.
Tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk memberikan penerangan dan
pendidikan kepada pasien dan keluarga mengenai trauma medulla spinalis,
memaksimalkan kemampuan mobilisasi dan latihan mandiri, serta mencegah
adanya kelainan komorbiditi seperti kontraktur, dekubitus, infeksi paru, dan
lain sebagainya. Rehabilitasi ditargetkan agar pasien dapat kembali kedalam
lingkungan komunitasnya dan dapat berperan sesuai dengan keadaan fisiknya
yang baru.
Rehabilitasi cedera medulla spinalis merupakan suatu pelayanan
kesehatan professional yang bersifat multi-disiplin, yang dimulai sejak fase
akut, secara terus menerus dan ekstensif, lalu melakukan pelayanan khusus
selama fase sub-akut yang meliputi perawatan, terapi fisik, terapi kerja,
menjaga pernafasan dan obat-obatan, istirahat dan rekreasi, psikologi,
pelayanan nutrisi, latihan wicara, pekerjaan sosial, sampai dengan konseling
kesehatan seksual.
2.2.9 Prognosis9
Pasien dengan cedera medulla spinalis komplit hanya mempunyai harapan
untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72
jam, maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi
sensorik masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat
berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita cedera medulla
spinalis dapat sembuh dan mandiri.
BAB 3
PENUTUP
1. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, et al. The Human Nervous
System Structure and Function. 6th Edition. New Jersey : Humana Press Inc.
2005.
2. Perdossi. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal. Jakarta : Perdossi ; 2006.
3. Lumbangtobing S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta ; Badan Penerbit FKUI ; 2013.
4. Baehr M, Frotscher M. DUUS Diagnosis Topik Neurologi Edisi 4. Jakarta
: EGC ; 2012.
5. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. Germany : Thieme Flexibook ;
2004.
6. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
9. Jakarta : EGC; 1997.
7. Ropper H.A, Brown R H. Adam’s and Victor Principles of Neurology.
USA ; McGrawHill : 2005.
8. Mumenthaler M, Mattle H. Neurology 4th edition. Germany : Thieme
Flexibook ; 2004.