Laporan Pendahuluan CVD
Laporan Pendahuluan CVD
Laporan Pendahuluan CVD
Dosen Pembimbing :
Ns. Tri Mochartini S. kep M. Kep
Disusun Oleh :
Nurkholis Wadud
1032161045
A. Definisi
Penyakit serebrovaskuler (stroke) adalah cedera pada otak akibat dari perubahan
aliran darah yang dapat dikelompokkan berdasarkan etiologinya menjadi iskemik dan
hemoragik. Stroke hemoragik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah pada sistem saraf
pusat (Kumar, Abbas, & Aster [Eds], 2015). Pada stroke ini, integritas pembuluh darah
terganggu dan terjadi pendarahan ke dalam jaringan otak atau ke dalam ruang yang
mengelilingi otak (biasanya intraserebral atau subarachnoid).
Menurut Iskandar, J (2004 : 4) stroke dibagi dalam 2 golongan yaitu stroke perdarahan
dan stroke non perdarahan (infark/iskemik). Berdasarkan perjalanan klinisnya stroke iskemik
(non hemoragik) dikelompokkan menjadi:
1. Transient ischemic Attack (TIA) yaitu serangan stroke sementara yang berlengsung
kurang dari 24 jam
2. Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND) : gejala neurologist akan menghilang
antara lebih dari 24 jam sampai dengan 21 hari
3. Progressing stroke atau stroke in evolution yaitu kelainan atau defisit neurologik yang
berlangsung secara bertahap dari yang ringan sampai menjadi berat
4. Stroke komplit atau comoplicata stroke yaitu kelainan neurologist sudah lengkap dan
tidak berkembang lagi.
Stroke perdarahan dibagi lagi menjuadi perdarahan subarahnoid (PSA) dan
perdarahan intraserebral (PIS).
Bagian-bagian batang otak dari bawah ke atas adalah medula oblongata, pons dan
mesensefalon (otak tengah). Medula oblongata merupakan pusat refleks yang penting
untuk jantung, vasokonstriktor, pernafasan, bersin, batuk, menelan, pengeluaran air liur
dan muntah. Pons merupakan mata rantai penghubung yang penting pada jaras
Selain itu terdapat faktor risiko yang dapat diubah melalui manajemen kolaboratif, yaitu:
1. Tekanan darah tinggi (HBP): HBP dapat dikelola dengan kombinasi terapi obat, diet, dan
olahraga.
2. Kadar kolesterol yang tinggi: Pasien dengan kolesterol tinggi dapat mengurangi risiko
stroke sebesar 30% melalui perubahan gaya hidup dan terapi obat.
3. Serangan iskemik transien (TIA): Ketika pasien memiliki gejala TIA, mereka harus
mencari perhatian medis segera untuk terapi antikoagulan untuk mencegah kemungkinan
stroke.
4. Penyakit jantung: Aterosklerosis dan fibrilasi atrium adalah faktor risiko utama untuk
stroke, tetapi jika didiagnosis dini, mereka dapat dikontrol dengan terapi obat.
5. Diabetes: kontrol diabetes Konsisten sangat penting untuk menurunkan risiko stroke.
6. Gangguan pembekuan darah: Pasien dengan masalah pembekuan berada pada risiko
tinggi untuk stroke trombotik dan memerlukan antikoagulan preventif.
7. Sleep apnea: Pasien dengan sleep apnea memiliki 3-6 kali risiko stroke. Penurunan berat
badan dan / atau menggunakan perangkat pernapasan di malam hari disebut mesin
continuous positive airway pressure (CPAP) dapat mengelola masalah ini.
Arteri Carotis
Arteri
A. Oftalmika A. Cerebri A. Cerebri A. Cerebri
Vertebrobasiler
media anterior poterior
Kebutaan Hemiparese/ Hemiparese Koma Kelumpuhan
satu mata monoparese (tungkai lebih Hemiparese disatu sampai
amaurosis kontralateral lemah kontralateral ke-4 ekstremitas
fugak (lengan lebih daripada Afasia visual Meningkatnya
(sementara) sering tangan) (buta kata) refleks tendon
Buta warna/ daripada Defisit Kelumpuhan Ataksia
penglihatan tungkai) sensori syaraf Tanda babinski
kabur Hemianastesia, kontralateral kranialis 3: bilateral
Shade kadang Demensia, Disfagia
hemianopsia,
hemiopsia gerakan Disathria
koreoatosis
(kebutaan) menggengga Tremor,
kontralateral m, reflek intention, dan
E. Patofisiologi
Perdarahan intraserebral (Intracerebral hemorrhage
[ICH]) menggambarkan perdarahan ke dalam
jaringan otak umumnya dihasilkan dari hipertensi
berat. Tekanan darah tinggi menyebabkan
perubahan dalam dinding arteri yang meninggalkan
kemungkinan pecah. Kerusakan otak terjadi akibat
pendarahan, menyebabkan edema, distorsi, dan
perpindahan, yang mengiritasi langsung jaringan
otak. Stroke hemoragik lebih sering terjadi dengan
peningkatan tekanan darah yang drastis dan tiba-tiba, seperti yang terlihat pada
penyalahgunaan kokain (Ignatavicius & Workman, 2013).
Perdarahan subarachnoid (SAH) jauh lebih umum dan hasil dari pendarahan ke dalam ruang
subarachnoid, ruang antara pia mater dan lapisan arachnoid dari meninges yang menutupi
otak. Jenis perdarahan biasanya disebabkan oleh ruptur aneurisma atau arteriovenous
malformation (Mink & Miller, 2011).
Pathway :
Peningkatan tekanan
sistemik
Gangguan perfusi
jaringan serebral
Aneurisma / APM
Vasospasme Arteri
serebral
Perdarahan
Arakhnoid/ventrikel
Iskemik/infark
otak
Deficit neurologi
Hematoma serebral
Penekanan saluran
pernafasan Defisit perawatan Hambatan
diri Mobilitas fisik
Bersihan jalan
Risiko gangguan Risiko
nafas tidak efektif
integritas kulit ketidakseimbangan
nutrisi
Kerusakan fungsi N
VII dan N XII Kontrol spingter ani
menhilang
Hambatan
Inkontinensia
komunikasi verbal
urine/retensi urine
Gangguan
Risiko jatuh Eliminasi Urine
F. Diagnostik penunjang
Setiap pasien dengan dugaan stroke yang harus menjalani CT scan atau MRI untuk
menentukan jenis stroke, ukuran dan lokasi hematoma, dan ada atau tidak adanya ventrikel
darah dan hidrosefalus. Cerebral angiography mengkonfirmasi diagnosis aneurisma
intrakranial atau AVM. Tes ini menunjukkan lokasi dan ukuran lesi dan memberikan
informasi tentang arteri yang terkena, vena, pembuluh sebelah, dan cabang pembuluh darah.
Pungsi lumbal dilakukan jika tidak ada bukti peningkatan ICP, hasil CT scan negatif, dan
untuk konfirmasi perdarahan subarachnoid. Pungsi lumbal dengan adanya peningkatan ICP
bisa mengakibatkan otak herniasi batang atau perdarahan ulang. Ketika mendiagnosis stroke
hemoragik pada pasien yang lebih muda dari 40 tahun, beberapa dokter melakukan skrining
toksikologi untuk penggunaan narkoba.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT Scan
Memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya infark
2. Angiografi serebral
membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi
arteri
3. Pungsi Lumbal
- menunjukan adanya tekanan normal
- tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya
perdarahan
4. MRI : Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik.
5. EEG: Memperlihatkan daerah lesi yang spesifik
6. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena
7. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal
(DoengesE, Marilynn,2000 hal 292)
H. PENATALAKSANAAN
J. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, status, suku, agama, alamat, pendidikan, diagnosa
medis, tanggal MRS, dan tanggal pengkajian diambil.
2. Keluhan utama
Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan
penurunan tingkat kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien
sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang
sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separoh badan atau gangguan fungsi
otak yang lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan di
dalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan
penyakit, dapat terjadi latergi, tidak responsif, dan koma.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma
kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat – obat antib koagulan, aspirin,
vasodilator, obat – obat adiktif, kegemukan. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering
digunakan klien, seperti pemakaian antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan
lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi
oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang
dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau adanya
riwayat stroke dan generasi terdahulu.
6. Data Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
1) Bernafas
2) Nutrisi
3) Eliminasi
4) Aktivitas
5) Istirahat
6) Pengaturan Suhu
7) Kebersihan/Hygiene
8) Rasa aman
9) Rasa Nyaman
10) Sosial
11) Pengetahuan/Belajar
12) Rekreasi
13) Prestasi
14) Spiritual
7. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
2) Sistem integument
3) Kepala
4) Muka
5) Mata
6) Telinga
7) Hidung
9) Leher
10) Thoraks
11) Jantung
12) Abdomen
13) Genitalia-Anus
14) Ekstremitas
K. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut b.d peningkatan tekanan intrakranial
2. Kerusakan mobilitas fisik b.d kelemahan neuromuskuler
3. Defisit perawatan diri b.d menurunnya kekuatan otot dan kehilangan kontrol otot
akibat terganggunya neuromuskular.
c. Letakkan pasien pada posisi tengkurap satu-dua kali dalam 24 jam jika pasien dapat
mentoleransi. (Rasional : membantu mempertahankan ekstensi pinggul fungsional,
tetapi penting kita kaji kemampuan pasien akan bernapas).
d. Sokong ekstremitas dalam posisi fungsionalnya, gunakan papan kaki (foot board)
selama periode paralysis flaksid. (Rasional : mencegah kontraktur/foot drop dan
memfasilitasi kegunaannya jika berfungsi kembali. Paralysis flaksid dapat
mengganggu kemampuan untuk menyangga kepala, dilain pihak paralysis spastic
dapat mengarah pada deviasi kepala ke salah satu sisi [Lewis, Heitkemper, dan
Dirksen, 2000]).
e. Bila pasien ditempat tidur, lakukan tindakan untuk mempertahankan posisi kelurusan
postur tubuh seperti ; hindari duduk/berbaring dalam waktu lama pada posisi yang
sama, ubah posisi send bahu tiap 2-4 jam, gunakan bantal kecil atau tanpa bantal
dalam posisi fowler, sangga tangan dan pergelangan pada kelurusan alamiah, gunakan
bebat pergelangan tangan. (Rasional : imobilisasi dan kerusakan fungsi neurosensori
yang berkepanjangan dapat menyebabkan kontraktur permanent, hindari posisi
duduk/berbaring yang lama dimaksudkan untuk mencegah kontraktur fleksi panggul,
ubah posisi bahu mencegah kontraktur bahu, sangga tangan mencegah edema
dependen dan kontraktur fleksi pada pergelangan, dan bebat tangan mencegah
kontraktur fleksi/ekstensi jari [www.neuro.wust.edu, 2006]).
f. Siapkan pasien untuk mobilisasi progresif. Pertahankan bagian kepala tempat tidur
sedikitnya 30 derajat kecuali ada indikasi, Bantu pasien secara bertahap dari
berbaring ke posisi duduk dan biarkan paisen menjuntaikan kaki disamping tempat
tidur untuk beberapa saat sebelum berdiri. Saat latihan awal batasi latiha turun dari
tempat tidur tidak lebih dari 15 menit 3 kali sehari, motivasi pasien untuk berjalan
singkat tapi sering dengan bantuan bila belum stabil, tingkatkan jarak berjalan tiap
hari. (Rasional : tirah baring lama menyebabkan penurunan volume darah yang dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah secara tiba-tiba. Peningkatan aktivitas secara
bertahap akan menurunkan keletihandan meningkatkan ketahanan. Secara bertahap
Bantu pasien maju dari ROM aktif ke aktifitas fungsional, sesuai indikasi dan
anjurkan orang terdekat untuk berpartisipasi atau kita sebut sebagai terapi kerja.
Dengan latihan ini pasien diharapkan dapat beradaptasi dengan kondisinya
(Rasional : mendorong pasien untuk melakukan aktivitas secara teratur. Terapi kerja
berfokus pada latihan aktivitas sehari-hari seperti makan, mandi, dll. Terapi kerja
mengembangkan alat dan teknik khusus yang mengijinkan perawatan sendiri yang
dapat memberikan motivasi bahwa pasien dengan kelemahannya bisa hidup normal
(www.strokecenter.com, 2006). Terapi keperawatan ini berlandaskan pada teori
keperawatan Sister Calista Roy (Adaptation Model). Di mana teori ini
mengemukakan bahwa individu sebagai mahluk biopsikososial dan spiritual sebagai
satu kesatuan yang utuh memiliki mekanisme koping untuk beradaptasi terhadap
perubahan lingkungan. Tujuan terapi ini pasien mampu beradaptasi dengan
kemungkinan handicap yang akan dialami paska stroke. Kolaborasi dengan
fisioterapi. Jelaskan pada pasien dan keluarga adanya terapi khusus bagi pasien pasca
stroke seperti constrainit induced treatment program yaitu cara penatalaksanaan pada
paralysis yang terjadi setelah terkena stroke dan cedera otak. Cara ini menjanjikan
dapat meningkatkan fungsi tubuh pada seseorang rata-rata setahun setelah stroke).
3. Defisit perawatan diri b.d menurunnya kekuatan otot dan kehilangan kontrol otot akibat
terganggunya neuromuskular.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, kebutuhan ADL
terpenuhi dan terjadi peningkatan kemampuan untuk memenuhinya sampai mandiri.
Kriteria evaluasi : kebutuhan makanan dan minuman terpenuhi, badan bersih, pakaian
bersih dan rapi, berangsur-angsur mendemonstrasikan perubahan tingkah laku dalam
merawat diri, menampilkan aktivitas perawatan diri secara mandiri, mengidentifikasi
sumber-sumber bantuan.
Intervensi Keperawatan :
a. Kaji kemampauan ADL pasien (Rasional : membantu menentukan/merencanakan
intervensi sesuai kebutuhan).
b. Bantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan makan, minum, mandi, berpakaian,BAK,
dan BAB. (Rasional : karena pasien mengalami penurunan kekuatan otot sehingga
tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka perawat harus membantu
pemenuhan kebutuhan tersebut. Hal ini bertujuan untuk mencegah erjadinya masalah
lanjut bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, seperti; gangguan nutrisi, gangguan
eleminasi, gangguan integritas kulit dll. Intervensi ini berlandaskan pada teori
Virginia Henderson (14 Human Needs) karena perawat berupaya memenuhi
kebutuhan nutrisi, eleminasi, berpakaian, kebersihan diri pasien).
c. Libatkan keluarga dalam pemenuhan ADL pasien jika memungkinkan.
d. Hindari mengerjakan sesuatu yang dapat dikerjakan pasien dan berikan bantuan bila
diperlukan. (Rasional : penting bagi pasien untuk melakukan kegiatan sebanyak
mungkin yang dia bisa untuk mempertahankan harga diri dan meningkatkan
pemulihan).
e. Waspadai terhadap tingkah laku impulsive karena gangguan dalam pengambilan
keputusan. (Rasional : Mengidentifikasi perlunya intervensi tambahan untuk
meningkatkan keamanan). Pertahankan dukungan, sikap tegas, beri pasien waktu
yang cukup untuk mengerjakan tugasnya. Dan berikan umpan balik positif atas usaha
pasien yang telah dilakukan (Rasional : Pasien membutuhkan perasaan empati, tetapi
perlu mengetahui bahwa pemberi asuhan bersifat konsisten. Intervensi ini
menggunakan teori keperawatan Jean Watson (Phyloshopy and Science of Caring)
dimana perawat harus bersikap memahami apa yang dirasakan pasien dan menghargai
f. kemampuan yang dimiliki pasien, serta memperhatikan kewajiban-kewajiaban yang
harus dilakukan oleh pasien jangan sampai terlupakan).
g. Kaji kemampuan pasien untuk mengkomunikasikan kebutuhannya, misal; lapar,
mengosongkan kandung kemih dll. (Rasional : mengetahui kebutuhan pasien yang
belum terpenuhi, sehingga perawat dapat membantu pasien dalam memenuhi
kebutuhannya).
h. Dekatkan makanan dan peralatan yang dibutuhkan pasien di sisi tempat tidur yang
mudah di jangkau dan motivasi pasien untuk memenuhi kebutuan ADL nya secara
bertahap. (Rasional : Membantu memudahkan pasien untuk menggunakannya.
Intervensi ini berlandaskan pada teori keperawatan Dorothea Orem (self care model)
dalam teori ini perawat memberikan pelayanan langsung pada pasien dalam bentuk
intervensi keperawatan, memberikan arahan dan memfasilitasi kemampuan pasien
dalam memenuhi kebutuhannya secara mandiri, dan memberikan dorongan secara
fisik dan psikologis agar pasien dapat mengembangkan potensinya sehingga dapat
melakukan perawatan mandiri. Tujuan pada intervensi ini adalah perawat ingin
melatih pasien mandiri dalam memenuhi kebutuhan ADL nya).
Referensi
Ignatavicius, D.D. & Workman, M.L. (2013) Medical-surgical nursing: Patient-centered
collaborative care. (7th ed.). St. Louis: Elsevier Saunders.
Kumar, V., Abbas, A.K., & Aster, J.C. (Eds). (2015). Robbins and Cotran pathologic basis of
disease. ( 9th ed.).
Lewis, Sharon, M., Heitkemper, Margaret, M., & Direksen, S. (2000). Medical Surgical
Nursing; assessment and management of clinical problem. Fifth edition. St. Louis : Cv.
Mosby.
Mink J., Miller J. Opening the window of opportunity for treating acute ischemic stroke.
Nursing2011. 2011;41(1):24–32.
Price, S.A., & Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2010). Brunner and Suddarth’s
textbook of medical-surgical nursing. (12th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer Health /
Lippincott Williams & Wilkins.