Laporan Pendahuluan CVD

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


STROKE/ CEREBROVASCULER DISEASES (CVD)

Dosen Pembimbing :
Ns. Tri Mochartini S. kep M. Kep

Disusun Oleh :
Nurkholis Wadud
1032161045

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


JURUSAN SARJANA KEPERAWATAN
FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS MH THAMRIN
TAHUN AJARAN 2018/2019
LAPORAN PPENDAHULUAN
STROKE/ CEREBROVASCULER DISEASES (CVD)

A. Definisi
Penyakit serebrovaskuler (stroke) adalah cedera pada otak akibat dari perubahan
aliran darah yang dapat dikelompokkan berdasarkan etiologinya menjadi iskemik dan
hemoragik. Stroke hemoragik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah pada sistem saraf
pusat (Kumar, Abbas, & Aster [Eds], 2015). Pada stroke ini, integritas pembuluh darah
terganggu dan terjadi pendarahan ke dalam jaringan otak atau ke dalam ruang yang
mengelilingi otak (biasanya intraserebral atau subarachnoid).

Menurut Iskandar, J (2004 : 4) stroke dibagi dalam 2 golongan yaitu stroke perdarahan
dan stroke non perdarahan (infark/iskemik). Berdasarkan perjalanan klinisnya stroke iskemik
(non hemoragik) dikelompokkan menjadi:
1. Transient ischemic Attack (TIA) yaitu serangan stroke sementara yang berlengsung
kurang dari 24 jam
2. Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND) : gejala neurologist akan menghilang
antara lebih dari 24 jam sampai dengan 21 hari
3. Progressing stroke atau stroke in evolution yaitu kelainan atau defisit neurologik yang
berlangsung secara bertahap dari yang ringan sampai menjadi berat
4. Stroke komplit atau comoplicata stroke yaitu kelainan neurologist sudah lengkap dan
tidak berkembang lagi.
Stroke perdarahan dibagi lagi menjuadi perdarahan subarahnoid (PSA) dan
perdarahan intraserebral (PIS).

B. Anatomi dan Fisiologi


1. Otak
Otak manusia kira-kira merupakan 2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 3 pon
(Price & Wilson, 2005). Otak terdiri dari empat bagian besar yaitu serebrum (otak besar),
serebelum (otak kecil), brainstem (batang otak), dan diensefalon (Black, 2005). Serebrum
terdiri dari dua hemisfer serebri, korpus kolosum dan korteks serebri. Masing-masing
hemisfer serebri terdiri dari lobus frontalis yang merupakan area motorik primer yang
bertanggung jawab untuk gerakan-gerakan voluntar, lobus parietalis yang berperanan
pada kegiatan memproses dan mengintegrasi informasi sensorik yang lebih tinggi
tingkatnya, lobus temporalis yang merupakan area sensorik untuk impuls pendengaran
dan lobus oksipitalis yang mengandung korteks penglihatan primer, menerima informasi
penglihatan dan menyadari sensasi warna (Price & Wilson, 2005). Serebelum terletak di
dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh duramater yang menyerupai atap tenda yaitu
tentorium, yang memisahkannya dari bagian posterior serebrum. Fungsi utamanya adalah
sebagai pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta
mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan sikap
tubuh (Price & Wilson, 2005).

Struktur batang otak dan diensefalon

Bagian-bagian batang otak dari bawah ke atas adalah medula oblongata, pons dan
mesensefalon (otak tengah). Medula oblongata merupakan pusat refleks yang penting
untuk jantung, vasokonstriktor, pernafasan, bersin, batuk, menelan, pengeluaran air liur
dan muntah. Pons merupakan mata rantai penghubung yang penting pada jaras

kortikosereberalis yang menyatukan hemisfer serebri dan serebelum. Mesensefalon


merupakan bagian pendek dari batang otak yang berisi aquedikus sylvius, beberapa
traktus serabut saraf asenden dan desenden dan pusat stimulus saraf pendengaran dan
penglihatan (Price & Wilson, 2005). Diensefalon di bagi empat wilayah yaitu talamus,
subtalamus, epitalamus dan hipotalamus. Talamus merupakan stasiun penerima dan
pengintegrasi subkortikal yang penting. Subtalamus fungsinya belum dapat dimengerti
sepenuhnya, tetapi lesi pada subtalamus akan menimbulkan hemibalismus yang ditandai
dengan gerakan kaki atau tangan yang terhempas kuat pada satu sisi tubuh. Epitalamus
berperanan pada beberapa dorongan emosi dasar seseorang. Hipotalamus berkaitan
dengan pengaturan rangsangan dari sistem susunan saraf otonom perifer yang menyertai
ekspresi tingkah dan emosi. (Price & Wilson, 2005).
2. Sirkulasi darah otak
Otak menerima sekitar 20% curah jantung dan memerlukan 20% pemakaian oksigen
tubuh dan sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya (Price & Wilson, 2005). Otak
diperdarahi oleh dua pasang
arteri yaitu arteri karotis
interna dan arteri
vertebralis. Dari dalam
rongga kranium, keempat
arteri ini saling
berhubungan dan
membentuk sistem
anastomosis, yaitu sirkulus
Willisi. Sirkulasi Willisi
adalah area dimana
percabangan arteri basilar dan karotis internal bersatu. Sirkulus Willisi terdiri atas dua
arteri serebral,
arteri komunikans anterior, kedua arteri serebral posterior dan kedua arteri komunikans
anterior. Jaringan sirkulasi ini memungkinkan darah bersirkulasi dari satu hemisfer ke
hemisfer yang lain dan dari bagian anterior ke posterior otak. Ini merupakan sistem yang
memungkinkan sirkulasi kolateral jika satu pembuluh darah arteri mengalami penyumbatan.
Darah vena dialirkan dari otak melalui dua sistem: kelompok vena interna yang
mengumpulkan darah ke vena galen dan sinus rektus, dan kelompok vena eksterna yang
terletak di permukaan hemisfer otak yang mencurahkan darah ke sinus sagitalis superior dan
sinus-sinus basalis lateralis, dan seterusnya ke vena-vena jugularis, dicurahkan menuju ke
jantung.

C. Etiologi dan Faktor Risiko


Stroke dapat disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor risiko stroke sendiri
terbagi menjadi dua yaitu yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.
Contoh faktor risiko yang dapat dimodifikasi diantaranya: merokok, penyalahgunaan zat
(terutama kokain), obesitas, gaya hidup monoton, penggunaan kontrasepsi oral, alkoholik,
dan penggunaan phenylpropanolamine (PPA) yang ditemukan pada obat-obatan antihistamin.
Sementara itu, faktor risiko stroke yang tidak dapat diubah atara lain:
1. Umur: Risiko stroke meningkat seiring bertambahnya usia seseorang.
2. Seks: Pria memiliki insiden 30% lebih tinggi dari stroke, tapi wanita postmenopause juga
pada risiko lebih tinggi secara signifikan.
3. Riwayat keluarga: Jika seseorang memiliki stroke, meningkatkan risiko stroke pada
anggota keluarga lainnya.
4. Ras: Afrika-Amerika memiliki risiko lebih tinggi untuk stroke karena insiden meningkat
dari tekanan darah tinggi, obesitas, dan diabetes.
5. Infark miokard (MI): Riwayat MI menempatkan pasien pada peningkatan risiko untuk
stroke.
6. Sejarah sakit kepala migrain: Pasien yang menderita migrain mungkin beresiko lebih
tinggi untuk stroke iskemik.
7. Stroke sebelum: Pasien yang memiliki stroke berada pada risiko stroke yang lain.
8. Penyakit sel sabit: Pasien dengan jenis gangguan beresiko untuk stroke di usia muda.
9. Aneurisma Berry: Ini adalah daerah kantung-seperti kecil di dinding arteri di otak dan
umumnya ditemukan di persimpangan pembuluh di dasar otak; mereka bisa pecah tanpa
peringatan, menyebabkan perdarahan di dalam otak.

Selain itu terdapat faktor risiko yang dapat diubah melalui manajemen kolaboratif, yaitu:
1. Tekanan darah tinggi (HBP): HBP dapat dikelola dengan kombinasi terapi obat, diet, dan
olahraga.
2. Kadar kolesterol yang tinggi: Pasien dengan kolesterol tinggi dapat mengurangi risiko
stroke sebesar 30% melalui perubahan gaya hidup dan terapi obat.
3. Serangan iskemik transien (TIA): Ketika pasien memiliki gejala TIA, mereka harus
mencari perhatian medis segera untuk terapi antikoagulan untuk mencegah kemungkinan
stroke.
4. Penyakit jantung: Aterosklerosis dan fibrilasi atrium adalah faktor risiko utama untuk
stroke, tetapi jika didiagnosis dini, mereka dapat dikontrol dengan terapi obat.
5. Diabetes: kontrol diabetes Konsisten sangat penting untuk menurunkan risiko stroke.
6. Gangguan pembekuan darah: Pasien dengan masalah pembekuan berada pada risiko
tinggi untuk stroke trombotik dan memerlukan antikoagulan preventif.
7. Sleep apnea: Pasien dengan sleep apnea memiliki 3-6 kali risiko stroke. Penurunan berat
badan dan / atau menggunakan perangkat pernapasan di malam hari disebut mesin
continuous positive airway pressure (CPAP) dapat mengelola masalah ini.

D. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala pada pasien stroke bergantung pada area yang terkena. Berikut adalah
contoh perubahan yang terjadi pada pasien stroke.

Arteri Carotis
Arteri
A. Oftalmika A. Cerebri A. Cerebri A. Cerebri
Vertebrobasiler
media anterior poterior
 Kebutaan  Hemiparese/  Hemiparese  Koma Kelumpuhan
satu mata monoparese (tungkai lebih  Hemiparese disatu sampai
amaurosis kontralateral lemah kontralateral ke-4 ekstremitas
fugak (lengan lebih daripada  Afasia visual Meningkatnya
(sementara) sering tangan) (buta kata) refleks tendon
 Buta warna/ daripada  Defisit  Kelumpuhan Ataksia
penglihatan  tungkai) sensori syaraf Tanda babinski
kabur  Hemianastesia, kontralateral  kranialis 3: bilateral
 Shade kadang  Demensia, Disfagia
 hemianopsia,
hemiopsia gerakan Disathria
koreoatosis
(kebutaan) menggengga Tremor,
kontralateral m, reflek intention, dan

 Afasia global patologik vertigo(gejala

 disfasia (disfungsi serebellum)


lobus frontal) Sinkop, stupor,
koma, pusing,
dan gg. daya
ingat
Diplopia,
nistagmus
Tinitus dan
gg.pendengaran
Arteri Carotis
Arteri
A. Oftalmika A. Cerebri A. Cerebri A. Cerebri
Vertebrobasiler
media anterior poterior
Rasa baal di
wajah, mulut
atau lidah

Fitur Hemisfer kiri Hemisfer kanan


Bahasa Aphasia Gangguan rasa humor
Agraphia
Alexia
Memori Kemungkinan defisit Disorientasi WTO, Ketidakmampuan
mengenali wajah
Penglihatan Ketidakmampuan membedakan Defisit spasial pandangan,
kata dan huruf, masalah pengabaian lapang pandang kiri,
membaca, penurunan lapang hilangnya persepsi kedalaman
pandang kanan
Perilaku Kelambatan, kehati-hatian, Impulsive, kurang sadar terhadap
kecemasan saat mencoba tugas gangguan neurologi, konfabulasi,
baru, depresi atau respon euphoria, tersenyum terus menerus,
katastropik terhadap penyakit, penyangkalan terhadap penyakit,
rasa bersalah, merasa tidak penilaian yang buruk, memiliki
berharga, khawatir terhadap masa estimasi berlebihan terhadap
depan, mudah marah dan frustasi, kemampuan.
gangguan intelektual
Pendengara Tidak ada gangguan Hilangnya kemampuan untuk
n mendengar variasi nada

E. Patofisiologi
Perdarahan intraserebral (Intracerebral hemorrhage
[ICH]) menggambarkan perdarahan ke dalam
jaringan otak umumnya dihasilkan dari hipertensi
berat. Tekanan darah tinggi menyebabkan
perubahan dalam dinding arteri yang meninggalkan
kemungkinan pecah. Kerusakan otak terjadi akibat
pendarahan, menyebabkan edema, distorsi, dan
perpindahan, yang mengiritasi langsung jaringan
otak. Stroke hemoragik lebih sering terjadi dengan
peningkatan tekanan darah yang drastis dan tiba-tiba, seperti yang terlihat pada
penyalahgunaan kokain (Ignatavicius & Workman, 2013).

Perdarahan subarachnoid (SAH) jauh lebih umum dan hasil dari pendarahan ke dalam ruang
subarachnoid, ruang antara pia mater dan lapisan arachnoid dari meninges yang menutupi
otak. Jenis perdarahan biasanya disebabkan oleh ruptur aneurisma atau arteriovenous
malformation (Mink & Miller, 2011).
Pathway :

Peningkatan tekanan
sistemik
Gangguan perfusi
jaringan serebral
Aneurisma / APM
Vasospasme Arteri
serebral
Perdarahan
Arakhnoid/ventrikel
Iskemik/infark
otak

Deficit neurologi
Hematoma serebral

Hemisfer Kanan Hemisfer Kiri


Peningkatan
TIK/herniasis serebral
Hemiparase/plegi Hemiparase/plegi
kiri kanan
Penurunan Kesadaran

Penekanan saluran
pernafasan Defisit perawatan Hambatan
diri Mobilitas fisik

Bersihan jalan
Risiko gangguan Risiko
nafas tidak efektif
integritas kulit ketidakseimbangan
nutrisi

Area Gocca Kerusakan kontrol


syaraf motorik

Kerusakan fungsi N
VII dan N XII Kontrol spingter ani
menhilang

Hambatan
Inkontinensia
komunikasi verbal
urine/retensi urine

Gangguan
Risiko jatuh Eliminasi Urine
F. Diagnostik penunjang
Setiap pasien dengan dugaan stroke yang harus menjalani CT scan atau MRI untuk
menentukan jenis stroke, ukuran dan lokasi hematoma, dan ada atau tidak adanya ventrikel
darah dan hidrosefalus. Cerebral angiography mengkonfirmasi diagnosis aneurisma
intrakranial atau AVM. Tes ini menunjukkan lokasi dan ukuran lesi dan memberikan
informasi tentang arteri yang terkena, vena, pembuluh sebelah, dan cabang pembuluh darah.
Pungsi lumbal dilakukan jika tidak ada bukti peningkatan ICP, hasil CT scan negatif, dan
untuk konfirmasi perdarahan subarachnoid. Pungsi lumbal dengan adanya peningkatan ICP
bisa mengakibatkan otak herniasi batang atau perdarahan ulang. Ketika mendiagnosis stroke
hemoragik pada pasien yang lebih muda dari 40 tahun, beberapa dokter melakukan skrining
toksikologi untuk penggunaan narkoba.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. CT Scan
Memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya infark
2. Angiografi serebral
membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi
arteri
3. Pungsi Lumbal
- menunjukan adanya tekanan normal
- tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya
perdarahan
4. MRI : Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik.
5. EEG: Memperlihatkan daerah lesi yang spesifik
6. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena
7. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal
(DoengesE, Marilynn,2000 hal 292)

H. PENATALAKSANAAN

1) Diuretika : untuk menurunkan edema serebral .


2) Anti koagulan: Mencegah memberatnya trombosis dan embolisasi.
(Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)
I. KOMPLIKASI

Setelah mengalami stroke pasien mungkin akan mengalmi komplikasi,


komplikasi ini dapat dikelompokan berdasarkan:
1. Berhubungan dengan immobilisasi  infeksi pernafasan, nyeri pada daerah
tertekan, konstipasi dan thromboflebitis.
2. Berhubungan dengan paralisis  nyeri pada daerah punggung, dislokasi
sendi, deformitas dan terjatuh
3. Berhubungan dengan kerusakan otak  epilepsi dan sakit kepala.
4. Hidrocephalus
Individu yang menderita stroke berat pada bagian otak yang mengontrol respon
pernapasan atau kardiovaskuler dapat meninggal.

J. Pengkajian

1. Identitas klien
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, status, suku, agama, alamat, pendidikan, diagnosa
medis, tanggal MRS, dan tanggal pengkajian diambil.
2. Keluhan utama
Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan
penurunan tingkat kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien
sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang
sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separoh badan atau gangguan fungsi
otak yang lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan di
dalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan
penyakit, dapat terjadi latergi, tidak responsif, dan koma.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma
kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat – obat antib koagulan, aspirin,
vasodilator, obat – obat adiktif, kegemukan. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering
digunakan klien, seperti pemakaian antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan
lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi
oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang
dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau adanya
riwayat stroke dan generasi terdahulu.
6. Data Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
1) Bernafas
2) Nutrisi
3) Eliminasi
4) Aktivitas
5) Istirahat
6) Pengaturan Suhu
7) Kebersihan/Hygiene
8) Rasa aman
9) Rasa Nyaman
10) Sosial
11) Pengetahuan/Belajar
12) Rekreasi
13) Prestasi
14) Spiritual
7. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
2) Sistem integument
3) Kepala

4) Muka

5) Mata

6) Telinga

7) Hidung

8) Mulut dan faring

9) Leher

10) Thoraks

11) Jantung

12) Abdomen

13) Genitalia-Anus

14) Ekstremitas

K. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut b.d peningkatan tekanan intrakranial
2. Kerusakan mobilitas fisik b.d kelemahan neuromuskuler
3. Defisit perawatan diri b.d menurunnya kekuatan otot dan kehilangan kontrol otot
akibat terganggunya neuromuskular.

L. Rencana Asuhan Keperawatan Pasien dengan Stroke Hemoragik


1. Nyeri akut b.d peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama 3x24 jam, mengatakan nyeri
hilang atau berkurang.
Kriteria Hasil : Klien mengungkapkan rasa nyeri berkurang, Tanda-tanda vital normal,
pasien tampak tenang dan rileks.
Intervensi Keperawatan
a. Pantau tanda-tanda vital, intensitas/skala nyeri, lokasinya, lamanya, faktor yang
memperburuk atau meredakan. (Rasional: Mengenal & memudahkan dalam
melakukan tindakan keperawatan. Nyeri merupakan pengalaman subjektif dan
dijelaskan oleh pasien. Identifikasi karakteristik nyeri dan faktor berhubungan
merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memilih intervensi yang tepat dan
untuk mengevaluasi keefektifan dari yang diberikan).
b. Anjurkan klien istirahat ditempat tidur. (Rasional: istirahat untuk mengurangi
intesitas nyeri).
c. Atur posisi pasien senyaman mungkin. (Rasional: posisi tepat mengurangi penekanan
& mencegah ketegangan otot serta mengurangi nyeri).
d. Ajarkan teknik relaksasi & napas dalam. (Rasiona: relaksasi mengurangi ketegangan
& membuat perasaan lebih nyaman).
e. Berikan kompres dingin. (Rasional : Meningkatkan sirkulasi pada otot yang
meningkatkan relaksasi dan mengurangi ketegangan).
f. Hindari valsava maneuver (misal mengejan saat BAB, membungkuk,batuk).
(Rasional : Aktivitas yang meningkatkan vasokontriksi menyebabkan sakit kepala
pada adanya peningkatan tekanan vaskuler serebral.
g. Kolaborasi buat pemberian analgetik. (Rasional : analgetik berguna buat mengurangi
nyeri sehingga pasien menjadi lebih nyaman).
2. Kerusakan mobilitas fisik b.d kelemahan neuromuskuler
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5x24 jam, mobilitas fisik
meningkat secara bertahap
Kriteria Evaluasi : mempertahankan posisi yang optimal ditandai dengan tidak adanya
tanda kontraktur, footdrop (-), mempertahankan kekuatan otot, mampu melakukan ROM,
aktif dan pasif secara bertahap.
Intervensi Keperawatan :
a. Kaji kemampuan fungsional/luasnya gangguan sejak awal, klasifikasikan dalam skala
0-4. (Rasional: mengidentifikasikan kekuatan/defisiensi dan dapat memberikan
informasi terhadap usaha penyembuhan. Pada stroke akan terjadi peningkatan
kemampuan motorik setelah 3-5 hari paska serangan, hal ini disebabkan karena pada
hari tersebut telah dimulai proses absorbsi edema yang dapat meningkatkan sirkulasi
serebral dan mengurangi tekanan serebral (Hickey, 1997).
b. Lakukan terapi fisik yang di fokuskan pada latihan gerak pasif dan aktif (jika pasien
sadar) minimal 4 kali dalam sehari. (Rasional : latihan gerak aktif meningkatkan
massa otot, tonus otot dan kekuatan otot serta memperbaiki fungsi jantung akibat
tirah baring. Bila otot-otot volunter tidak digunakan makan akan kehilangan
kekuatannya sehingga perlu dilakukan latihan gerak pasif. Hal ini dapat mengimbangi
paralysis melalui penggunaan otot yang masih mempunyai fungsi normal, membantu
mempertahankan dan membentuk adanya kekuatan dan mengontrol otot-otot yang
mengalami gangguan serta mempertahankan kemampuan ROM sehingga tercegah
dari kontraktur dan atropi (www.healtoz.com, 2006). Terapi ini merupakan terapi
keperawatan berdasarkan teori keperawatan Florence Nightingale (Modern Nursing),
karena dalam teori ini bertujuan memberikan kondisi alamiah yang baik bagi pasien
sehingga tulang, otot-otot serta syaraf dapat berfungsi kembali. Terapi tersebut
bertujuan untuk mengembalikan kondisi tubuh dalam keadaan mampu
berakomodasi/bergerak seperti sebelum sakit.

c. Letakkan pasien pada posisi tengkurap satu-dua kali dalam 24 jam jika pasien dapat
mentoleransi. (Rasional : membantu mempertahankan ekstensi pinggul fungsional,
tetapi penting kita kaji kemampuan pasien akan bernapas).
d. Sokong ekstremitas dalam posisi fungsionalnya, gunakan papan kaki (foot board)
selama periode paralysis flaksid. (Rasional : mencegah kontraktur/foot drop dan
memfasilitasi kegunaannya jika berfungsi kembali. Paralysis flaksid dapat
mengganggu kemampuan untuk menyangga kepala, dilain pihak paralysis spastic
dapat mengarah pada deviasi kepala ke salah satu sisi [Lewis, Heitkemper, dan
Dirksen, 2000]).
e. Bila pasien ditempat tidur, lakukan tindakan untuk mempertahankan posisi kelurusan
postur tubuh seperti ; hindari duduk/berbaring dalam waktu lama pada posisi yang
sama, ubah posisi send bahu tiap 2-4 jam, gunakan bantal kecil atau tanpa bantal
dalam posisi fowler, sangga tangan dan pergelangan pada kelurusan alamiah, gunakan
bebat pergelangan tangan. (Rasional : imobilisasi dan kerusakan fungsi neurosensori
yang berkepanjangan dapat menyebabkan kontraktur permanent, hindari posisi
duduk/berbaring yang lama dimaksudkan untuk mencegah kontraktur fleksi panggul,
ubah posisi bahu mencegah kontraktur bahu, sangga tangan mencegah edema
dependen dan kontraktur fleksi pada pergelangan, dan bebat tangan mencegah
kontraktur fleksi/ekstensi jari [www.neuro.wust.edu, 2006]).
f. Siapkan pasien untuk mobilisasi progresif. Pertahankan bagian kepala tempat tidur
sedikitnya 30 derajat kecuali ada indikasi, Bantu pasien secara bertahap dari
berbaring ke posisi duduk dan biarkan paisen menjuntaikan kaki disamping tempat
tidur untuk beberapa saat sebelum berdiri. Saat latihan awal batasi latiha turun dari
tempat tidur tidak lebih dari 15 menit 3 kali sehari, motivasi pasien untuk berjalan
singkat tapi sering dengan bantuan bila belum stabil, tingkatkan jarak berjalan tiap
hari. (Rasional : tirah baring lama menyebabkan penurunan volume darah yang dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah secara tiba-tiba. Peningkatan aktivitas secara
bertahap akan menurunkan keletihandan meningkatkan ketahanan. Secara bertahap
Bantu pasien maju dari ROM aktif ke aktifitas fungsional, sesuai indikasi dan
anjurkan orang terdekat untuk berpartisipasi atau kita sebut sebagai terapi kerja.
Dengan latihan ini pasien diharapkan dapat beradaptasi dengan kondisinya
(Rasional : mendorong pasien untuk melakukan aktivitas secara teratur. Terapi kerja
berfokus pada latihan aktivitas sehari-hari seperti makan, mandi, dll. Terapi kerja
mengembangkan alat dan teknik khusus yang mengijinkan perawatan sendiri yang
dapat memberikan motivasi bahwa pasien dengan kelemahannya bisa hidup normal
(www.strokecenter.com, 2006). Terapi keperawatan ini berlandaskan pada teori
keperawatan Sister Calista Roy (Adaptation Model). Di mana teori ini
mengemukakan bahwa individu sebagai mahluk biopsikososial dan spiritual sebagai
satu kesatuan yang utuh memiliki mekanisme koping untuk beradaptasi terhadap
perubahan lingkungan. Tujuan terapi ini pasien mampu beradaptasi dengan
kemungkinan handicap yang akan dialami paska stroke. Kolaborasi dengan
fisioterapi. Jelaskan pada pasien dan keluarga adanya terapi khusus bagi pasien pasca
stroke seperti constrainit induced treatment program yaitu cara penatalaksanaan pada
paralysis yang terjadi setelah terkena stroke dan cedera otak. Cara ini menjanjikan
dapat meningkatkan fungsi tubuh pada seseorang rata-rata setahun setelah stroke).
3. Defisit perawatan diri b.d menurunnya kekuatan otot dan kehilangan kontrol otot akibat
terganggunya neuromuskular.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, kebutuhan ADL
terpenuhi dan terjadi peningkatan kemampuan untuk memenuhinya sampai mandiri.
Kriteria evaluasi : kebutuhan makanan dan minuman terpenuhi, badan bersih, pakaian
bersih dan rapi, berangsur-angsur mendemonstrasikan perubahan tingkah laku dalam
merawat diri, menampilkan aktivitas perawatan diri secara mandiri, mengidentifikasi
sumber-sumber bantuan.
Intervensi Keperawatan :
a. Kaji kemampauan ADL pasien (Rasional : membantu menentukan/merencanakan
intervensi sesuai kebutuhan).
b. Bantu pasien dalam pemenuhan kebutuhan makan, minum, mandi, berpakaian,BAK,
dan BAB. (Rasional : karena pasien mengalami penurunan kekuatan otot sehingga
tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka perawat harus membantu
pemenuhan kebutuhan tersebut. Hal ini bertujuan untuk mencegah erjadinya masalah
lanjut bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, seperti; gangguan nutrisi, gangguan
eleminasi, gangguan integritas kulit dll. Intervensi ini berlandaskan pada teori
Virginia Henderson (14 Human Needs) karena perawat berupaya memenuhi
kebutuhan nutrisi, eleminasi, berpakaian, kebersihan diri pasien).
c. Libatkan keluarga dalam pemenuhan ADL pasien jika memungkinkan.
d. Hindari mengerjakan sesuatu yang dapat dikerjakan pasien dan berikan bantuan bila
diperlukan. (Rasional : penting bagi pasien untuk melakukan kegiatan sebanyak
mungkin yang dia bisa untuk mempertahankan harga diri dan meningkatkan
pemulihan).
e. Waspadai terhadap tingkah laku impulsive karena gangguan dalam pengambilan
keputusan. (Rasional : Mengidentifikasi perlunya intervensi tambahan untuk
meningkatkan keamanan). Pertahankan dukungan, sikap tegas, beri pasien waktu
yang cukup untuk mengerjakan tugasnya. Dan berikan umpan balik positif atas usaha
pasien yang telah dilakukan (Rasional : Pasien membutuhkan perasaan empati, tetapi
perlu mengetahui bahwa pemberi asuhan bersifat konsisten. Intervensi ini
menggunakan teori keperawatan Jean Watson (Phyloshopy and Science of Caring)
dimana perawat harus bersikap memahami apa yang dirasakan pasien dan menghargai
f. kemampuan yang dimiliki pasien, serta memperhatikan kewajiban-kewajiaban yang
harus dilakukan oleh pasien jangan sampai terlupakan).
g. Kaji kemampuan pasien untuk mengkomunikasikan kebutuhannya, misal; lapar,
mengosongkan kandung kemih dll. (Rasional : mengetahui kebutuhan pasien yang
belum terpenuhi, sehingga perawat dapat membantu pasien dalam memenuhi
kebutuhannya).
h. Dekatkan makanan dan peralatan yang dibutuhkan pasien di sisi tempat tidur yang
mudah di jangkau dan motivasi pasien untuk memenuhi kebutuan ADL nya secara
bertahap. (Rasional : Membantu memudahkan pasien untuk menggunakannya.
Intervensi ini berlandaskan pada teori keperawatan Dorothea Orem (self care model)
dalam teori ini perawat memberikan pelayanan langsung pada pasien dalam bentuk
intervensi keperawatan, memberikan arahan dan memfasilitasi kemampuan pasien
dalam memenuhi kebutuhannya secara mandiri, dan memberikan dorongan secara
fisik dan psikologis agar pasien dapat mengembangkan potensinya sehingga dapat
melakukan perawatan mandiri. Tujuan pada intervensi ini adalah perawat ingin
melatih pasien mandiri dalam memenuhi kebutuhan ADL nya).
Referensi
Ignatavicius, D.D. & Workman, M.L. (2013) Medical-surgical nursing: Patient-centered
collaborative care. (7th ed.). St. Louis: Elsevier Saunders.
Kumar, V., Abbas, A.K., & Aster, J.C. (Eds). (2015). Robbins and Cotran pathologic basis of
disease. ( 9th ed.).
Lewis, Sharon, M., Heitkemper, Margaret, M., & Direksen, S. (2000). Medical Surgical
Nursing; assessment and management of clinical problem. Fifth edition. St. Louis : Cv.
Mosby.
Mink J., Miller J. Opening the window of opportunity for treating acute ischemic stroke.
Nursing2011. 2011;41(1):24–32.
Price, S.A., & Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2010). Brunner and Suddarth’s
textbook of medical-surgical nursing. (12th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer Health /
Lippincott Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai