REFERAT Hemoroid Ninda

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

HEMOROID

PEMBIMBING:
dr. Syamsul Bahri, Sp. B

Penyusun:
Ninda Pangestika Setyawan (030.14.141)

KEPANITRAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
PERIODE 27 AGUSTUS – 02 NOVEMBER 2018
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui oleh Dosen Pembimbing, referat dari:


Nama : Ninda Pangestika Setyawan
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Trisakti
Bagian : Ilmu Bedah
Judul : Hemoroid
Ditujukan untuk memenuhi nilai referat kepanitraan Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti di RSUD Karawang.

Karawang, 16 Oktober 2018


Mengetahui,

dr. Syamsul Bahri, Sp.B

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala nikmat,
rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Hemoroid” yang disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum Daerah
Karawang periode 27 Agustus – 02 November 2018. Referat ini juga ditujukan untuk
menambah pengetahuan bagi kita mengenai Hemoroid.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.
Syamsul Bahri, Sp.B selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini, serta kepada
dokter – dokter pembimbing lain yang telah membimbing penulis selama di
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Karawang. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman anggota Kepaniteraan Klinik
Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Karawang serta berbagai pihak yang telah
memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya kritik maupun saran yang
membangun. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih, semoga tugas ini dapat
memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Karawang, 11 Oktober 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN. .................................................................................. i


KATA PENGANTAR. ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN . .................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 3
2.1 Anatomi dan fisiologi. ................................................................... 3
2.2 Definisi . ........................................................................................ 6
2.3 Epidemiologi. ................................................................................ 7
2.4 Etiologi . ........................................................................................ 7
2.5 Faktor risiko. ................................................................................ 8
2.6 Klasifikasi. .................................................................................... 8
2.7 Patofisiologi. ................................................................................ 10
2.8 Gejala klinis. ................................................................................ 11
2.9 Penegakan diagnosis. ................................................................... 12
2.10 Diagnosis banding . ...................................................................... 14
2.11 Tatalaksana. .................................................................................. 15
2.12 Komplikasi . ................................................................................. 17
2.13 Pencegahan. .................................................................................. 18
2.14 Prognosis. ..................................................................................... 18
BAB III KESIMPULAN ......................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Hemoroid atau yang lebih dikenal di masyarakat sebagai penyakit wasir atau ambeien
bukan merupakan suatu keadaan yang patologis. Hemoroid adalah jaringan normal yang terdapat
pada semua orang yang terdiri atas pleksus arteri-vena, berfungsi sebagai katup didalam saluran
anorectal untuk membantu sistem sfingter anus, mencegah inkontinensia flatus dan cairan. Tetapi
jika terjadi pelebaran dan inflamasi dari pleksus arteri-vena di saluran anorectal tersebut dan
mulai menimbulkan keluhan maka sebaiknya segera dilakukan tindakan untuk mengatasinya.
Hemoroid merupakan kondisi anorektal yang sangat umum didefinisikan sebagai
pembesaran simptomatik dan pergeseran ke distal dari bantalan anus yang normal,
mempengaruhi jutaan orang di dunia. Beberapa faktor risiko dan etiologi diduga menjadi
penyebab terjadinya hal ini, seperti sembelit dan faktor mengejan berlebihan sehingga terjadinya
dilatasi abnormal dan distorsi pembuluh darah bersama dengan perubahan destruktif jaringan
ikat penyangga di bantalan anus dan temuan penting dari hemoroid adanya reaksi inflamasi dan
hiperplasia vaskular, kurangnya aktivitas fisik, pola makan yang rendah serat, konstipasi, kurang
mobilisasi, pekerjaan (terlalu lama duduk atau berdiri), anatomi, dan usia.
Secara epidemiologi, 10 juta orang di Amerika serikat yang mengeluhkan hemoroid
memiliki prevalensi 4,4%. Kejadian hemoroid cenderung meningkat seiring dengan
bertambahnya usia seseorang, dimana usia puncaknya adalah 45-65 tahun. Sekitar setengah dari
orang-orang yang berumur 50 tahun pernah mengalami hemoroid. Suatu penelitian yang
dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2010 menunjukkan bahwa tingkat
kejadian hemorrhoid lebih besar pada usia lebih dari 45 tahun. Hal tersebut dikarenakan orang
lanjut usia sering mengalami konstipasi, sehingga terjadi penekanan berlebihan pada pleksus
hemorrhoidalis karena proses mengejan.
Namun sekarang ini terjadi perubahan pola hidup manusia. Perubahan ini meliputi
perubahan pola makan yang cenderung lebih menyukai makanan siap saji yang tinggi lemak,
garam dan rendah serat serta kurangnya aktivitas fisik manusia, terlebih lagi pada usia produktif
(21-30 tahun). Hal tersebut tentunya juga dapat memicu terjadinya hemoroid.

1
Untuk melakukan penegakan diagnosis hemoroid diperlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan konfirmasi yang teliti serta perlu dievaluasi dengan seksama agar dapat
dicapai pendekatan terapeutik yang sesuai meliputi tindakan operatif maupun non-operatif.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi


Rectum adalah bagian terminal dari intestinum crasum yang merupakan kelanjutan dari
colon sigmoideum, panjangnya sekitar 15-20 cm dan berbentuk huruf S. Rectum terletak di linea
mediana sebelah anterior dari sacrum. Rectum dibagi menjadi 2 bagian, yaitu rectum propium
dan canalis analis. Canalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi ektoderm,
sedangkan rectum berasal dari entoderm. Karena perbedaan asal inilah maka vaskularisasi,
innervasi, dan pengaliran limfe berbeda juga, demikian pula epitel yang menutupinya.

Gambar 1. Anatomi rectum

Kanalis analis berada sepanjang 2-4 cm dari bagian terluar anus. Otot-otot kanalis analis
merupakan saluran otot terminal dari traktus gastrointestinal dan dapat dikonseptualisasikan
sebagai dua struktur tubular yang saling berlapis satu sama lain. Lapisan paling dalam
merupakan kelanjutan dari otot polos sirkuler rektum yang membentuk sfingter ani internus,
yang berakhir kira-kira 1,5 cm di bawah linea dentate. Lapisan terluar merupakan kelanjutan dari
otot lurik yang menyusun dasar panggul, yang terdiri dari otot levator ani, otot puborektal, dan

3
sfingter ani eksternus. Sfingter ani internus dipersarafi oleh persarafan otonom, sedangkan
sfingter ani eksternus mendapat persarafan cabang rektal inferior dari nervus pudendus internus
dan cabang perineal dari nervus S4, berada dalam kontrol volunter.
Mukosa bagian teratas dari kanalis anal berkembang sampai 6-10 lipatan longitudinal,
yang disebut columns of Morgagni, yang masing masing memiliki cabang terminal dari arteri
rektal superior dan vena. Lipatan-lipatan ini paling menonjol di bagian lateral kiri, posterior
kanan dan kuadran anterior kanan, dimana vena membentuk pleksus vena yang menonjol.
Epitel yang melapisi kanalis analis mengalami transisi dari epitel skuamosa menjadi
epitel kolumnar seperti pada saluran cerna. Di antara anus hingga linea dentate, area tersebut
dinamakan anoderm sedangkan area di atas linea dentate disebut zona transisional. Lapisan epitel
dari anorektum terdiri dari epitel kolumnar, yang melapisi bantalan hemoroid interna (mukosa),
dan epitel skuamosa, yang melanjutkan diri sampai ke anus (anoderm). Pertemuan dari kedua
jenis lapisan epitel ini dikenal sebagai linea dentate (linea pektinati) dan biasanya berada sekitar
3 cm di dalam anus. Linea dentate ini menjadi batas antara area tersebut dan membedakan
drainase vaskular dan persarafannya. Area distal dari linea dentate dipersarafi oleh saraf somatik
dan sensitif terhadap nyeri dibandingkan area proksimal karena dipersarafi oleh persarafan
viseral, baik simpatik maupun parasimpatik.
Hemoroid adalah bantalan jaringan submukosa yang mengandung venula, arteriol dan
serat otot polos. Hemoroid ditemukan di sekitar kanalis analis, biasanya ditemukan di tiga lokasi,
yaitu pada lateral kiri (arah jam 3), anterior kanan (arah jam 11), dan posterior kanan (arah jam
7), tetapi dapat pula ditemukan di tempat lain. Hemoroid sebenarnya adalah bagian normal dari
anorektum. Bantalan ini berada di bawah lapisan epitel kanalis analis dan menerima pendarahan
dari arteri hemoroidalis superior dan media. Vena hemoroidalis superior, media, dan inferior
berfungsi sebagai drainase vena. Pada bantalan vaskular ini terdapat komunikasi arteriovena.
Selain itu, bantalan hemoroid kaya akan serat otot, berasal dari sfingter ani internus. Serat otot
ini berfungsi untuk menyangga bantalan hemoroid dan kerusakan yang terjadi pada jaringan
penyangga ini dapat menimbulkan keluhan.
Rectum mendapat vaskularisasi dari arteri rectalis superior cabang dari arteri mesenterica
inferior, arteri rectalis media cabang arteri hipogastrica, dan arteri rectalis inferior cabang arteri
pudenda interna. Sedangkan aliran darah balik rectum terdiri dari 2 pleksus vena yaitu pleksus
hemoroidalis superior (interna) yang terletak di submukosa atas anorectal junction, dan pleksus

4
hemoroidalis inferior (eksterna) yang terletak di bawah anorectal junction dan di luar lapisan
otot.
Vena hemoroidalis superior berasal dari plexus hemoroidalis internus dan berjalan ke
arah cranial ke dalam vena mesenterica inferior dan seterusnya melalui vena lienalis ke vena
porta. Vena ini tidak berkatup sehingga tekanan rongga abdomen menentukan tekanan di
dalamnya. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke dalam vena pudenda interna dan ke
dalam vena iliaca interna dan sistem cava. Pembesaran vena hemoroidalis dapat menimbulkan
keluhan hemoroid.
Persarafan rektum terdiri atas sistem saraf simpatik dan parsimpatik. Serabut saraf
simpatik berasal dari pleksus mesentrikus inferior dan dari sistem parasakral yang terbentuk dari
ganglion simpatis lumbal ruas kedua, ketiga, dan keempat. Persarafan parasimpatik (nervi
erigentes) berasal dari saraf sakral kedua, ketiga, dan keempat.

Gambar 2. Vaskularisasi anus

Fungsi utama dari rektum dan kanalis anal ialah untuk mengeluarkan massa feses yang
terbentuk di tempat yang lebih tinggi dan melakukan hal tersebut dengan cara yang terkontrol.
Rektum dan kanalis anal tidak begitu berperan dalam proses pencernaan, selain hanya menyerap

5
sedikit cairan. Selain itu sel-sel Goblet mukosa mengeluarkan mukus yang berfungsi sebagai
pelicin untuk keluarnya massa feses.
Pada hampir setiap waktu rektum tidak berisi feses. Hal ini sebagian diakibatkan adanya
otot sfingter yang tidak begitu kuat yang terdapat pada rectosimoid junction, kira-kira 20 cm dari
anus. Terdapatnya lekukan tajam dari tempat ini juga memberi tambahan penghalang masuknya
feses ke rektum. Akan tetapi, bila suatu gerakan usus mendorong feses ke arah rektum, secara
normal hasrat defekasi akan timbul, yang ditimbulkan oleh refleks kontraksi dari rektum dan
relaksasi dari otot sfingter. Feses tidak keluar secara terus-menerus dan sedikit demi sedikit dari
anus berkat adanya kontraksi tonik otot sfingter ani interna dan eksterna.

2.2 Definisi Hemoroid


Menurut Dorland, Plexus hemoroid merupakan pembuluh darah normal yang terletak
pada mukosa rektum bagian distal dan anoderm. Gangguan pada hemoroid terjadi ketika plexus
vaskular ini membesar. Sehingga kita dapatkan pengertiannya dari “hemoroid adalah dilatasi
varikosus vena dari plexus hemorrhoidal inferior dan superior”.

Gambar 3. Hemoroid
Hemoroid bukan sekedar pelebaran vena hemoroidalis, tetapi bersifat lebih kompleks
yakni melibatkan beberapa unsur berupa pembuluh darah, jaringan lunak dan otot di sekitar
anorektal (kanalis anus). Dilatasi ini sering terjadi setelah usia 50 tahun yang berkaitan dengan
peningkatan tekanan vena di dalam pleksus hemoroidalis.

6
2.3 Epidemiologi
Walaupun hemoroid dikenal sebagai penyebab tersering terjadinya perdarahan rektal,
epidemiologi penyakit ini tidak diketahui karena pasien cenderung mengobati sendiri. Angka
kejadian prevalensi hemoroid sangat bervariasi. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Riss, et
al. (2012) hemoroid dialami oleh 38,9% orang dari 976 orang dewasa yang ditelitinya. Pada studi
tersebut didapatkan bahwa 72% di antara pasien yang mengalami hemoroid tergolong pada grade
1, 18% termasuk dalam grade 2, 8% pada grade 3, dan sebesar 0,5% yang termasuk dalam grade
4. Pada kedua jenis kelamin, prevalensi puncak terjadi antara usia 45-65 tahun dan angka
kejadian hemoroid sebelum usia 20 tahun jarang ditemukan. Ras kaukasian memiliki prevalensi
lebih banyak dibandingkan dengan orang kulit hitam.

2.4 Etiologi

Menurut literatur, ada beberapa teori yang mendeskripsikan penyebab hemoroid.


Beberapa memperkirakan hemoroid merupakan penyakit primer dari vena. Kegagalan fungsional
dan morfologikal mekanisme sfingter berkaitan dengan pengisian dan drainase bantalan vaskular
anorektal. Hipotesis lainnya adalah hemoroid disebabkan karena melemahnya jaringan
penyokong kolagen karena terjadi degenerasi. Hipotesis ketiga terjadinya hemoroid adalah
meningkatnya aliran arterial pada pleksus vaskular.

1. Idiopatik
Penyebabnya tidak jelas tetapi kemungkinan faktor yang berperan
 Herediter
Dalam hal ini kemungkinan lemahnya dinding pembuluh darah merupakan keturunan.
 Anatomi
Vena di daerah mesentrorium tidak memiliki katup sehingga darah mudah kembali
menyebabkan bertambahnya tekanan di pleksus hemoroidalis.
 Hal yang memungkinkan tekanan intra abdominal meningkat seperti pekerjaan, konstipasi,
gangguan miksi dsb.

7
2. Bendungan sirkulasi porta yang dapat disebabkan:
 Sirosis Hepatis
Fibrosis jaringan hepar akan meningkatkan resistensi aliran vena ke hepar sehingga terjadi
hipertensi portal. Maka akan terbentuk kolateral ke pleksus hemoroidalis.
 Bendungan vena porta,misalnya karena trombosis
 Tumor intra abdomen, terutama daerah pelvis yang menekan vena sehingga alirannya
terganggu seperti uterus gravida.

2.5 Faktor risiko


1. Umur : pada umur tua terjadi degenerasi dari seluruh jaringan tubuh, juga otot sfingter
menjadi tipis dan atonis.
2. Keturunan : dinding pembuluh darah lemah dan tipis
3. Pekerjaan : orang yang harus berdiri , duduk lama, atau harus mengangkat barang berat
mempunyai predisposisi untuk hemoroid.
4. Mekanis : semua keadaan yang menyebabkan meningkatnya tekanan intra abdomen,
misalnya penderita hipertrofi prostat, konstipasi menahun dan sering mengejan pada waktu
defekasi.
5. Anatomik : vena daerah anorektal tidak mempunyai katup dan pleksus hemoroidalis kurang
mendapat sokongan dari otot dan fascia sekitarnya.
6. Endokrin : pada wanita hamil ada dilatasi vena ekstremitas dan anus oleh karena ada
sekresi hormone relaksin.
7. Fisiologi : bendungan pada peredaran darah portal, misalnya pada penderita sirosis
hepatis.

2.6 Klasifikasi

Diagnosa hemoroid dapat ditegakkan salah satunya dengan anoskopi. Anoskopi


adalah pemeriksaan pada anus dan rektum dengan menggunakan sebuah spekulum. Pemeriksaan
ini dapat menentukan letak dari hemorrhoid tersebut. Hemoroid diklasifikasikan berdasarkan
asalnya, dimana linea dentate menjadi batas histologis. Klasifikasi hemoroid yaitu:

8
 Hemorrhoid interna
Merupakan pelebaran dan penonjolan vena hemorrhoidalis superior dan media yang
timbul di sebelah proksimal dari musculus sphincter ani. Hemoroid interna terjadi di atas
linea dentate dan dipersarafi oleh persarafan visceral sehingga jarang sekali menimbulkan
keluhan nyeri.
Hemorrhoid interna dikelompokkan ke dalam 4 derajat, yakni:
 Derajat I : bila terjadi pembesaran hemorrhoid yang tidak prolaps ke luar kanalis analis
yang hanya dapat dilihat dengan anorektoskop.
 Derajat II : pembesaran hemorrhoid yang prolaps dan menghilang atau dapat masuk
kembali ke dalam anus secara spontan.
 Derajat III : pembesaran hemorrhoid yang prolaps dimana harus dibantu dengan
dorongan jari untuk memasukkannya kembali ke dalam anus.
 Derajat IV : prolaps hemorrhoid yang yang permanen. Prolaps ini rentan dan cenderung
mengalami trombosis dan infark.

Derajat I Derajat II Derajat III Derajat IV

 Hemorrhoid eksterna
Merupakan pelebaran dan penonjolan vena hemorrhoidalis inferior yang timbul di sebelah
luar musculus sphincter ani. Hemoroid eksterna terjadi di bawah linea dentate dan dipersarafi
oleh persarafan somatis sehingga dapat menimbulkan keluhan nyeri. Hemorrhoid eksterna
diklasifikasikan sebagai bentuk akut dan kronis.
 Akut
Bentuk akut berupa pembengkakan bulat kebiruaan pada pinggir anus dan sebenarnya
adalah hematom.

9
 Kronik
Hemoroid eksterna kronik terdiri atas satu lipatan atau lebih dari kulit anus yang berupa
jaringan penyambung dan sedikit pembuluh darah.

 Hemoroid internal-eksternal dilapisi oleh mukosa di bagian superior dan kulit pada bagian
inferior serta memiliki serabut saraf nyeri.

2.7 Patofisiologi
Hemoroid dikatakan sebagai penyakit keturunan. Namun sampai saat ini belum terbukti
kebenarannya. Akhir-akhir ini, keterlibatan bantalan anus (anal cushion) makin dipahami sebagai
dasar terjadinya penyakit ini. Bantalan anus merupakan jaringan lunak yang kaya akan pembuluh
darah. Agar stabil, kedudukannya disokong oleh ligamentum Treitz dan lapisan muskularis
submukosa. Bendungan dan hipertrofi pada bantalan anus menjadi mekanisme dasar terjadinya
hemoroid.
Teori sliding anal lining canal diterima secara luas. Ini mengusulkan bahwa hemoroid
berkembang ketika jaringan penyokong bantal anal hancur atau memburuk. Oleh karena itu
hemoroid merupakan istilah patologis untuk menggambarkan perpindahan bantal anal ke bawah
abnormal menyebabkan dilatasi vena. Selain itu, trombosis pembuluh darah, proses degeneratif
di serat kolagen dan jaringan fibroelastik, distorsi dan pecahnya otot subepitel anal dan reaksi
inflamasi parah yang melibatkan dinding pembuluh darah dan sekitarnya jaringan ikat telah
dibuktikan dalam spesimen hemoroid, dengan terkait ulserasi mukosa, iskemia dan trombosis.

Efek degenerasi akibat penuaan dapat memperlemah jaringan penyokong dan bersamaan
dengan usaha pengeluaran feses yang keras secara berulang serta mengedan akan meningkatkan
tekanan terhadap bantalan tersebut yang akan mengakibatkan prolapsus. Bantalan yang
mengalami prolapsus akan terganggu aliran balik venanya. Bantalan menjadi semakin membesar
dikarenakan mengedan, konsumsi serat yang tidak adekuat, berlama-lama ketika buang air besar,
serta kondisi seperti kehamilan yang meningkatkan tekanan intra abdominal. Perdarahan yang
timbul dari pembesaran hemoroid disebabkan oleh trauma mukosa lokal atau inflamasi yang
merusak pembuluh darah di bawahnya.

10
Sel mast memiliki peran multidimensional terhadap patogenesis hemoroid, melalui
mediator dan sitokin yang dikeluarkan oleh granul sel mast. Pada tahap awal vasokonstriksi
terjadi bersamaan dengan peningkatan vasopermeabilitas dan kontraksi otot polos yang diinduksi
oleh histamin dan leukotrin. Ketika vena submukosal meregang akibat dinding pembuluh darah
pada hemoroid melemah, akan terjadi ekstravasasi sel darah merah dan perdarahan. Sel mast
juga melepaskan platelet-activating factor sehingga terjadi agregasi dan trombosis yang
merupakan komplikasi akut hemoroid.

Pada tahap selanjutnya hemoroid yang mengalami trombosis akan mengalami


rekanalisasi dan resolusi. Proses ini dipengaruhi oleh kandungan granul sel mast. Termasuk
diantaranya tryptase dan chymase untuk degradasi jaringan stroma, heparin untuk migrasi sel
endotel dan sitokin sebagai TNF-α serta interleukin 4 untuk pertumbuhan fibroblas dan
proliferasi. Selanjutnya pembentukan jaringan parut akan dibantu oleh basic fibroblast growth
factor dari sel mast.

2.8 Gejala klinis


Tanda utama biasanya adalah perdarahan. Darah yang keluar berwarna merah segar, tidak
bercampur dengan feses, dan jumlahnya bervariasi. Bila hemoroid bertambah besar maka dapat
terjadi prolaps. Pada awalnya biasanya dapat tereduksi spontan. Pada tahap lanjut, pasien harus
memasukkan sendiri setelah defekasi. Dan akhirnya sampai pada suatu keadaan dimana tidak
dapat dimasukkan. Kotoran di pakaian dalam menjadi tanda hemoroid yang mengalami prolaps
permanen. Kulit di daerah perianal.

a). Hemorrhoid Eksterna


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hemoroid eksterna dipersarafi oleh persarafan
somatik sehingga sering menimbulkan keluhan nyeri yang signifikan terutama bila terjadi
thrombosis. Trombosis terjadi ketika vena rupture dan/ terbentuk bekuan darah. Hal tersebut juga
menjadi alasan mengapa ligasi atau eksisi hemoroid eksterna memerlukan anestesi lokal yang
adekuat. Hemoroid eksterna juga menimbulkan keluhan rasa tidak nyaman pada daerah anus
akibat adanya benjolan di daerah tersebut. Rasa tidak puas setelah defekasi juga dirasakan pada
pasien dengan hemoroid yang besar. Skin tag adalah jaringan kulit fibrotik yang berlebih pada

11
daerah anus, sering bertahan sebagai residua dari hemoroid eksterna yang mengalami
thrombosis. Skin tag dan hemoroid eksterna dapat menimbulkan keluha gatal. Terapi untuk
hemoroid eksterna dan skin tag hanya diindikasikan untuk menghilangkan gejala.

b). Hemoroid interna


Menimbulkan keluhan berupa perdarahan atau prolaps, namun jarang menimbulkan
keluhan nyeri kecuali terjadi thrombosis dan nekrosis. Nekrosis dapat terjadi pada hemoroid
yang mengalami prolaps yang berat, inkarserasi, dan atau strangulasi. Perdarahan yang terjadi
berwarna merah segar. Perdarahan yang terjadi bisa hanya berupa tetesan hingga perdarahan
yang cukup masif yang dilihat di toilet. Prolaps hingga melewati linea dentate dapat terjadi,
terutama bila mengejan. Walaupun tidak selalu disertai keluarnya darah, secret yang menjadi
lembab sehingga rawan untuk terjadinya infeksi ditimbulkan akan menganggu kenyamanan
penderita dan menjadikan suasana lembab di daerah anus.

c). Hemoroid kombinasi


Menimbulkan gejala pada hemoroid interna dan hemoroid eksterna.

2.9 Diagnosis
 Anamnesis
Anamnesis yang lengkap sangat penting dalam proses penegakan diagnosis hemoroid karena
beberapa kondisi anorektal dapat menyebabkan keluhan yang sama seperti pada hemoroid. Faktor
yang mengindikasikan kondisi yang jauh lebih serius, misalnya kanker, inflammatory bowel disease,
dan memerlukan tindakan kolonoskopi, apabila ditemukan gejala seperti perubahan pada pola
defekasi (change in bowel habit), nyeri perut, penurunan berat badan, perdarahan rektal dengan darah
yang bercampur pada feses atau riwayat keluarga dengan kanker kolon.
Pasien biasanya mengeluhkan hematochezia (sekitar 60%), gatal (sekitar 55%), rasa tidak
nyaman pada anus (sekitar 20%), atau kombinasi beberapa gejala. Perdarahan rektal biasanya
terjadi segera setelah defekasi. Pasien harus ditanya mengenai asupan serat dan cairannya, pola
defekasi, kebiasaan di kamar mandi (misalnya membaca ketika sedang duduk di toilet), dan
kebutuhan reduksi manual jaringan prolaps.

12
Adanya keluhan nyeri yang hebat dapat mendukung kondisi lainnya, termasuk fisura ani,
infeksi perirektal atau perivaginal, abses, dan proses inflamasi lainnya walaupun nyeri hebat juga
dapat terjadi ketika terjadi komplikasi hemoroid (misalnya prolaps dengan inkarserasi dan iskemi
atau thrombosis). Perdarahan, iritasi atau nyeri dapat terjadi pada pasien dengan perianal
dermatitis, kanker kolorektal, inflammatory bowel disease, divertikulitis, warts, polip ani atau
ulserasi rektum

 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang teliti pada anus dan area di sekitar regio pelvis penting untuk
menegakkan diagnosis akurat. Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu pemeriksaan abdomen,
inspeksi perineum dan daerah sekitarnya, rectal toucher dan anoskopi pada posisi lateral kiri.
Area perianal harus dilakukan inspeksi apakah ditemukan skin tag, hemoroid eksterna, fistula-in-
ano, dan fisura ani. Walaupun hemoroid interna tidak dapat dipalpasi, pemeriksaan rectal
toucher digunakan untuk mendeteksi massa anorektal, stenosis anal dan jaringan parut,
mengevaluasi tonus sfingter ani, dan menentukan hipertrofi prostat yang dapat menjadi penyebab
hemoroid karena pasien akan cenderung mengejan selama miksi.
Anoskopi dapat mengidentifikasi lebih dari 99% penyakit anorektal dan harus dilakukan pada
pasien yang diduga mengalami hemoroid. Pada anoskopi, hemoroid interna tampak sebagai vena
yang mengalami dilatasi dan berwarna biru keunguan, dan hemoroid interna yang prolaps tampak
sebagai massa lembut, berwarna merah muda gelap, berkilat di daerah anus. Hemoroid eksterna
tampak berwarna pucat dan bila mengalami thrombosis, secara akut berwarna keunguan. Ukuran
hemoroid, lokasi, keparahan inflamasi dan perdarahan harus dicatat selama anoskopi.

 Pemeriksaan penunjang

American Society of Colon and Rectal Surgeons merekomendasikan untuk melakukan


anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap dengan anoskopi dan evaluasi endoskopi bila dicurigai
adanya inflammatory bowel disease atau kanker.
Pemeriksaan lengkap kolon direkomendasikan pada kelompok di bawah ini:
1. Pasien berusia ≥ 50 tahun dan belum pernah melakukan pemeriksaan lengkap pada kolon
dalam waktu 10 tahun.

13
2. Pasien berusia ≥ 40 tahun yang belum pernah melakukan pemeriksaan lengkap pada kolon
dalam waktu 10 tahun, dan memiliki seorang relatif tingkat pertama yang terdiagnosis kanker
kolorektal pada usia ≤ 60 tahun.

3. Pasien berusia ≥ 40 tahun yang belum pernah melakukan pemeriksaan lengkap pada kolon
dalam waktu 5 tahun, dan memiliki lebih dari seorang relatif tingkat pertama yang terdiagnosis
kanker kolorektal pada usia ≤ 60 tahun.

4. Pasien dengan anemia defisiensi besi.

5. Pasien yang memiliki hasil positif pada tes darah samar.

2.10 Diagnosis banding

14
2.11 Tatalaksana
Terdiri dari Konservatif, Medikamentosa, dan Operatif definitif. Sebagian besar kasus
hemoroid derajat I dapat ditatalaksana dengan pengobatan konservatif. Tatalaksana tersebut
antara lain koreksi konstipasi jika ada, meningkatkan konsumsi serat, laksatif, dan menghindari
obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi. Perubahan gaya hidup lainnya seperti
meningkatkan konsumsi cairan, menghindari konstipasi, dan mengurangi mengejan saat buang
air besar dilakukan pada penatalaksanaan awal dan dapat membantu pengobatan serta
pencegahan hemoroid.
Prinsip medikamentosa pada hemoroid antara lain :
a. Obat-obatan yang dapat memperbaiki defekasi. Serat bersifat laksatif memperbesar
volume tinja dan meningkatkan peristaltik.
b. Obat simptomatik yang mengurangi keluhan yang ada, bentuk suppositoria untuk
hemoroid interna dan salep untuk hemoroid eksterna. Atau dapat diberikan
antiinflammasi yang biasanya digabungkan dengan anestesi lokal, vasokonstriktor,
lubricant, emollient dan zat pembersih perianal.
c. Obat untuk menghentikan perdarahan dapat diberikan campuran diosmin dan
hesperidin.
d. Terapi topikal dengan nifedipine dan krim lidokain lebih efektif untuk menghilangkan
rasa sakit daripada lidokain (Xylocaine). Pada pasien hemoroid eksternal berat,
pengobatan dengan eksisi atau insisi dan evakuasi dari trombus dalam waktu 72 jam
dari onset gejala lebih efektif daripada pengobatan konservatif.

Prinsip dari tindakan invasif ada 2 yaitu fiksasi dan eksisi. Fiksasi dilakukan pada Derajat
I dan II. Eksisi dilakukan pada Derajat III dan IV.
Tindakan Fiksasi terdiri dari:.
1. Skleroterapi = Teknik ini dilakukan menginjeksikan 5 mL oil phenol 5 %, vegetable oil,
quinine, dan urea hydrochlorate atau hypertonic salt solution. Lokasi injeksi adalah
submukosa hemoroid. Efek injeksi sklerosan tersebut adalah edema, reaksi inflamasi
dengan proliferasi fibroblast, dan trombosis intravaskular. Reaksi ini akan menyebabkan
fibrosis pada sumukosa hemoroid.

15
2. Rubber band ligation = Ligasi jaringan hemoroid dengan Rubber band yang akan
menyebabkan nekrosis iskemia, ulserasi dan scarring yang menghasilkan fiksasi jaringan
ikat ke dinding rektum. Komplikasi prosedur ini adalah nyeri dan perdarahan.
Mekanisme teknik tersebut dengan mengabliterasi lokal vena hemoroidalis sampai terjadi
ulserasi (7-10 hari) yang diikuti terjadinya jaringan parut (3-4 minggu).
3. Infrared thermocoagulation = Sinar infra merah masuk ke jaringan dan berubah menjadi
panas. Manipulasi instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengatur banyaknya jumlah
kerusakan jaringan. Prosedur ini menyebabkan koagulasi, oklusi, dan sklerosis jaringan
hemoroid. Teknik ini singkat dan dengan komplikasi yang minimal. Mendenaturasi
protein melalui efek panas dari infrared.
4. Laser haemorrhoidectomy
5. Doppler ultrasound guided haemorrhoid artery ligation. = Teknik ini dilakukan dengan
menggunakan proktoskop yang dilengkapi dengan doppler probe yang dapat melokalisasi
arteri. Kemudian arteri yang memperdarahi jaringan hemoroid tersebut diligasi
menggunakan absorbable suture. Pemotongan aliran darah ini diperkirakan akan
mengurangi ukuran hemoroid.
6. Cryotherapy = Teknik ini dilakukan dengan menggunakan temperatur yang sangat rendah
untuk merusak jaringan. Kerusakan ini disebabkan kristal yang terbentuk di dalam sel,
menghancurkan membran sel dan jaringan. Namun prosedur ini menghabiskan banyak
waktu dan hasil yang cukup mengecewakan. Cryotherapy adalah teknik yang paling
jarang dilakukan untuk hemoroid.
7. Stappled Hemorrhoidopexy. Teknik dilakukan dengan mengeksisi jaringan hemoroid
pada bagian proksimal dentate line. Keuntungan pada stappled hemorrhoidopeksi adalah
berkurangnya rasa nyeri paska operasi selain itu teknik ini juga aman dan efektif sebagai
standar hemorrhoidektomi.

Ada 2 variasi daras tindakan bedah hemorrhoidectomy, yaitu:


1. Open hemorrhoidectomy
2. Closed hemorrhoidectomy

16
 Open Hemorrhoidectomy
Dikembangkan oleh Milligan-Morgan, dilakukan apabila terdapat hemorrhoid yang telah
mengalami gangrenous atau meliputi seluruh lingkaran ataupun bila terlalu sempit untuk masuk
retractor.

Teknik Open Hemorrhoid (Miligan-Morgan)


1. Posisi lithotomy
2. Infiltrasi kulit perianal dan submukosa dengan larutan adrenalin: saline = 1 : 300.000
3. Kulit diatas tiap jaringan hemorrhoid utama dipegang dengan klem arteri dan ditarik
4. Ujung mukosa setiap jaringan hemorrhoid diperlakukan serupa diatas.
5. Insisi bentuk V pada anoderma dipangkal hemorrhoid kira-kira 1,5 – 3 cm dari anal verge.
6. Jaringan hemorrhoid dipisahkan dari spincter interna dengan jarak 1,5 – 2 cm
7. Dilakukan diatermi untuk menjamin hemostasis
8. Dilakukan transfixion dengan chromic/catgut 0 atau 1-0 pada pangkal hemorrhoid.
9. Eksisi jaringan hemorrhoid setelah transfiksi dan ligasi pangkal hemorrhoid

 Closed Hemorrhoidectomy
Dikembangkan oleh Ferguson dan Heaton. Ada 3 prinsip pada teknik ini, yaitu:
1. Mengangkat sebanyak mungkin jaringan vaskuler tanpa mengorbankan anoderm.
2. Memperkecil serous discharge post op dan mempercepat proses penyembuhan dengan cara
mendekatkan anal kanal dengan epitel berlapis gepeng (anoderm)
3. Mencegah stenosis sebagai komplikasi akibat komplikasi luka terbuka luas yang diisi jaringan
granulasi.

2.12 Komplikasi
Perdarahan akut pada umumnya jarang, hanya terjadi apabila yang pecah adalah pembuluh
darah besar. Hemoroid dapat membentuk pintasan portal sistemik pada hipertensi portal, dan
apabila hemoroid semacam ini mengalami perdarahan maka darah dapat sangat banyak.
Yang lebih sering terjadi yaitu perdarahan kronis dan apabila berulang dapat menyebabkan
anemia karena jumlah eritrosit yang diproduksi tidak bisa mengimbangi jumlah yang keluar.
Anemia terjadi secara kronis, sehingga sering tidak menimbulkan keluhan pada penderita

17
walaupun Hb sangat rendah karena adanya mekanisme adaptasi. Apabila hemoroid keluar, dan
tidak dapat masuk lagi (inkarserata/terjepit) akan mudah terjadi infeksi yang dapat menyebabkan
sepsis dan bisa mengakibatkan kematian.

2.13 Pencegahan
1. Hindari mengedan terlalu kuat saat buang air besar.
2. Cegah konstipasi dengan banyak mengonsumsi makanan kaya serat (sayur dan buah serta
kacang-kacangan) minimal 25-30 gram sehari.
3. Banyak minum air putih minimal enam sampai delapan gelas sehari untuk melancarkan
defekasi.
4. Jangan menunda-nunda jika ingin buang air besar sebelum feses menjadi keras.
5. Istirahat yang cukup.
6. Jangan duduk terlalu lama.
7. Senam/olahraga rutin.
8. Hindari anal seksual.

2.14 Prognosis
Dengan terapi yang sesuai, hemoroid simptomatis dapat dibuat menjadi asimptomatis.
Pendekatan konservatif hendaknya diusahakan terlebih dahulu pada semua kasus.
Hemoroidektomi pada umumnya memberikan hasil yang baik.

18
BAB III
KESIMPULAN

Hemoroid adalah pelebaran jaringan vaskular submukosa pada daerah distal anus yang
sering disertai komplikasi seperti inflamasi, thrombosis, dan perdarahan. Beberapa kondisi dapat
meningkatkan risiko terjadinya hemoroid, di antaranya konstipasi, mengejan, peningkatan
tekanan intraabdomen, kehamilan, dan lain sebagainya.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang adekuat penting untuk mendiagnosis hemoroid
karena terdapat beberapa penyakit yang memiliki keluhan yang hampir serupa dengan hemoroid.
Pemeriksaan penunjang lebih lanjut seperti barium enema dan kolonoskopi dilakukan apabila
memenuhi indikasi tertentu.
Tatalaksana pada kasus hemoroid tergantung jenis dan derajat hemoroid tersebut. Terdapat
tatalaksana non-invasif dan invasif. Peningkatan asupan serat dan cairan serta modifikasi gaya
hidup penting dalam tatalaksana hemoroid berbagai derajat dan untuk pencegahan. Tatalaksana
pembedahan tersedia dalam berbagai cara dan efektifitasnya tergantung dari derajat hemoroid.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Gami B. Hemorrhoids – A common ailment among adults, causes & treatrment: a review. Int
J Pharm Pharm Sci. 2011;3(5):5-12.
2. Mounsey AL, Halladay J, Sadiq TS. Hemorrhoids. Am Fam Physic. 2011 Jul 15;84(2): 204-
10.
3. Lohsiriwat V. Hemorrhoids: From basic pathophysiology to clinical management. World J
Gastroenterol. 2012 May 7;18(17):2009-17.
4. Syamsuhidayat R, Jong W.D, Buku Ajar Bedah, EGC,Jakarta, pemeriksaan penunjang: 910-
912.
5. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston Textbook of Surgery. 19th
ed. Philadelphia: Elsevier; 2012.p.1381-2, 1387-91.
6. Brunicardi FC, Adersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthew JB et al. Schwartz’s
Principles of Surgery. 10th ed. New York: McGraw-Hill; 2015.p.1222-5.
7. Jacobs D. Hemorrhoids. N Engl J Med. 2014 Sept 4; 371:944-51.
8. Buntzen S, Christensen P, Khalid A, Ljungmann K, Lindholt J, Lundby L et al. Diagnosis
and treatment of haemorrhoids. Dan Med J. 2013;60(12):C4754.
9. Chugh A, Singh R, Agarwal PN. Management of Hemorrhoids.Indian J Clin Pract. 2014
Nov;25(6):577-80.

20

Anda mungkin juga menyukai