LP CA Paru
LP CA Paru
LP CA Paru
orang yang tidak merokok, tetapi mengisap asap dari orang lain, risiko mendapat
kanker paru meningkat dua kali (Wilson, 2005).
3. Polusi udara
Kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara, tetapi
pengaruhnya kecil bila dibandingkan dengan merokok kretek. Kematian akibat kanker
paru jumlahnya dua kali lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan
daerah pedesaan. Bukti statistik juga menyatakan bahwa penyakit ini lebih sering
ditemukan pada masyarakat dengan kelas tingkat sosial ekonomi yang paling rendah
dan berkurang pada mereka dengan kelas yang lebih tinggi. Hal ini, sebagian dapat
dijelaskan dari kenyataan bahwa kelompok sosial ekonomi yang lebih rendah
cenderung hidup lebih dekat dengan tempat pekerjaan mereka, tempat udara
kemungkinan besar lebih tercemar oleh polusi. Suatu karsinogen yang ditemukan
dalam udara polusi (juga ditemukan pada asap rokok) adalah 3,4 benzpiren (Wilson,
2005).
4. Paparan zat karsinogen
Beberapa zat karsinogen seperti asbestos, uranium, radon, arsen, kromium,
nikel, polisiklik hidrokarbon, dan vinil klorida dapat menyebabkan kanker paru
(Amin, 2006). Risiko kanker paru di antara pekerja yang menangani asbes kira-kira
sepuluh kali lebih besar daripada masyarakat umum. Risiko kanker paru baik akibat
kontak dengan asbes maupun uranium meningkat kalau orang tersebut juga merokok.
5. Diet
Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi terhadap
betakarotene, selenium, dan vitamin A menyebabkan tingginya risiko terkena kanker
paru (Amin, 2006).
6. Genetik
Terdapat bukti bahwa anggota keluarga pasien kanker paru berisiko lebih besar
terkena penyakit ini. Penelitian sitogenik dan genetik molekuler memperlihatkan
bahwa mutasi pada protoonkogen dan gen-gen penekan tumor memiliki arti penting
dalam timbul dan berkembangnya kanker paru. Tujuan khususnya adalah pengaktifan
onkogen (termasuk
3
juga gen-gen K-ras dan myc), dan menonaktifkan gen-gen penekan tumor (termasuk
gen rb, p53, dan CDKN2) (Wilson, 2005).
7. Penyakit paru
Penyakit paru seperti tuberkulosis dan penyakit paru obstruktif kronik juga
dapat menjadi risiko kanker paru. Seseorang dengan penyakit paru obstruktif kronik
berisiko empat sampai enam kali lebih besar terkena kanker paru ketika efek dari
merokok dihilangkan (Stoppler, 2010).
2. Adenokarsinoma
Memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat
mengandung mukus. Kebanyakan jenis tumor ini timbul di bagian perifer segmen
bronkus dan kadang-kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut lokal pada paru
dan fibrosis interstisial kronik. Lesi sering kali meluas ke pembuluh darah dan limfe
pada stadium dini dan sering bermetastasis jauh sebelum lesi primer menyebabkan
gejala-gejala.
3. Karsinoma bronkoalveolus
Dimasukkan sebagai subtipe adenokarsinoma dalam klasifikasi terbaru tumor
paru dari WHO. Karsinoma ini adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi
sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam-macam. Sel-sel
ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran
ekstensif dan cepat ke tempat-tempat yang jauh.
5
berlipatnya nukleus akibat letak sel tumor dengan sedikit sitoplasma yang saling
berdekatan (Kumar, 2007).
Bentuk lain dari kanker paru primer adalah adenoma, sarkoma, dan mesotelioma
bronkus. Walaupun jarang, tumor-tumor ini penting karena dapat menyerupai karsinoma
bronkogenik dan mengancam jiwa.
2. Invasi local :
a. Nyeri dada
b. Dispnea karena efusi pleura
c. Invasi ke pericardium terjadi temponade atau aritmia
d. Sindrom vena cava superior
e. Sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis)
f. Suara sesak, karena penekanan pada nervus laryngeal recurrent
g. Syndrome Pancoasta karena invasi pada pleksus brakialis dan saraf simpatis
servikalis
7
E. MANIFESTASI KLINIS KANKER PARU
Gejala-gejala kanker paru yaitu:
1. Gejala awal. Stridor lokal dan dispnea ringan yang mungkin disebabkan oleh obstruksi
pada bronkus.
2. Gejala umum.
a. Batuk : Kemungkinan akibat iritasi yang disebabkan oleh massa tumor. Batuk
mulai sebagai batuk kering tanpa membentuk sputum, tetapi berkembang sampai
titik dimana dibentuk sputum yang kental dan purulen dalam berespon terhadap
infeksi sekunder.
b. Hemoptisis : Sputum bersemu darah karena sputum melalui permukaan tumor yang
mengalami ulserasi.
c. Anoreksia, lelah, berkurangnya berat badan.
8
G. PATHWAY KANKER PARU
9
H. TINGKATAN KANKER PARU
Tingkatan (staging) Kanker paru ditentukan oleh tumor (T), keterlibatan kalenjer
getah bening (N) dan penyebaran jauh (M). Beberapa pemeriksaan tambahan harus
dilakukan dokter spesialis paru untuk menentukan staging penyakit. Pada pertemuan
pertama akan dilakukan foto toraks (poto polos dada). Jika pasien membawa foto yang
lebih dari 1 minggu pada umumnya akan dibuat foto yang baru. Foto toraks hanya dapat
menentukan lokasi tumor, ukuran tumor, dan ada tidaknya cairan. Foto toraks belum
dapat dirasakan cukup karena tidak dapat menentukan keterlibatan kalenjer getah bening
dan metastasis luar paru.
Bahkan pada beberapa kondisi misalnya volume cairan yang bnayak, paru kolaps,
bagian luas yang menutup tumor, dapat memungkinkan pada foto tidak terlihat. Sama
seperti pada pencarian jenis histologis Kanker, pemeriksaan untuk menentukan staging
juga tidak harus sama pada semua pasien tetapi masing-masing pasien mempunyai
prioritas pemeriksaan yang berbeda yang harus segera dilakukan dan tergantung
kondisinya pada saat datang.
I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Radiologi.
a. Foto thorax posterior – anterior (PA) dan leteral serta Tomografi dada.
Merupakan pemeriksaan awal sederhana yang dapat mendeteksi adanya
kanker paru. Menggambarkan bentuk, ukuran dan lokasi lesi. Dapat menyatakan
massa udara pada bagian hilus, effuse pleural, atelektasis erosi tulang rusuk atau
vertebra.
11
b. Bronkhografi.
Untuk melihat tumor di percabangan bronkus.
2. Laboratorium.
a. Sitologi (sputum, pleural, atau nodus limfe).
Dilakukan untuk mengkaji adanya/ tahap karsinoma.
b. Pemeriksaan fungsi paru dan GDA
Dapat dilakukan untuk mengkaji kapasitas untuk memenuhi kebutuhan ventilasi.
c. Tes kulit, jumlah absolute limfosit.
Dapat dilakukan untuk mengevaluasi kompetensi imun (umum pada kanker paru).
3. Histopatologi.
a. Bronkoskopi.
Memungkinkan visualisasi, pencucian bagian,dan pembersihan sitologi lesi
(besarnya karsinoma bronkogenik dapat diketahui).
b. Biopsi Trans Torakal (TTB).
Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi yang letaknya perifer dengan ukuran <
2 cm, sensitivitasnya mencapai 90 – 95 %.
c. Torakoskopi.
Biopsi tumor didaerah pleura memberikan hasil yang lebih baik dengan cara
torakoskopi.
d. Mediastinosopi.
Untuk mendapatkan tumor metastasis atau kelenjar getah bening yang terlibat.
e. Torakotomi.
Totakotomi untuk diagnostic kanker paru dikerjakan bila bermacam – macam
prosedur non invasif dan invasif sebelumnya gagal mendapatkan sel tumor.
12
4. Pencitraan.
a. CT-Scanning, untuk mengevaluasi jaringan parenkim paru dan pleura.
b. MR
13
4. Supotif.
Menunjang pengobatan kuratif, paliatif dan terminal sepertia pemberian nutrisi,
tranfusi darah dan komponen darah, obat anti nyeri dan anti infeksi. (Ilmu Penyakit
Dalam, 2001 dan Doenges, rencana Asuhan Keperawatan, 2000)
5. Pembedahan.
Tujuan pada pembedahan kanker paru sama seperti penyakit paru lain, untuk
mengankat semua jaringan yang sakit sementara mempertahankan sebanyak mungkin
fungsi paru –paru yang tidak terkena kanker.
6. Toraktomi eksplorasi.
Untuk mengkomfirmasi diagnosa tersangka penyakit paru atau toraks khususnya
karsinoma, untuk melakukan biopsy.
7. Pneumonektomi (pengangkatan paru).
Karsinoma bronkogenik bilaman dengan lobektomi tidak semua lesi bisa
diangkat.
8. Lobektomi (pengangkatan lobus paru).
Karsinoma bronkogenik yang terbatas pada satu lobus, bronkiaktesis bleb atau
bula emfisematosa; abses paru; infeksi jamur; tumor jinak tuberkulois.
9. Resesi segmental.
Merupakan pengankatan satau atau lebih segmen paru.
10. Resesi baji.
Tumor jinak dengan batas tegas, tumor metas metik, atau penyakit peradangan
yang terlokalisir. Merupakan pengangkatan dari permukaan paru – paru berbentuk
baji (potongan es).
11. Dekortikasi.
Merupakan pengangkatan bahan – bahan fibrin dari pleura viscelaris)
12. Radiasi
Pada beberapa kasus, radioterapi dilakukan sebagai pengobatan kuratif dan bisa
juga sebagai terapi adjuvant/ paliatif pada tumor dengan komplikasi, seperti
mengurangi efek obstruksi/ penekanan terhadap pembuluh darah/ bronkus.
14
13. Kemoterafi.
Kemoterapi digunakan untuk mengganggu pola pertumbuhan tumor, untuk
menangani pasien dengan tumor paru sel kecil atau dengan metastasi luas serta untuk
melengkapi bedah atau terapi radiasi.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan kelainan-kelainan berupa
perubahan bentuk dinding toraks dan trakea, pembesaran kelenjar getah bening dan
tanda-tanda obstruksi parsial, infiltrat dan pleuritis dengan cairan pleura.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk :
a. Menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru. Kerusakan
pada paru dapat dinilai dengan pemeriksaan faal paru atau pemeriksaan analisis
gas.
b. Menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru pada organ-
organ lainnya.
c. Menilai seberapa jauh kerusakan yang ditimbulkan oleh kanker paru pada jaringan
tubuh baik oleh karena tumor primernya maupun oleh karena metastasis.
15
4. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi adalah pemeriksaan yang paling utama dipergunakan
untuk kanker paru. Kanker paru memiliki gambaran radiologi yang bervariasi.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan keganasan tumor dengan melihat
ukuran tumor, kelenjar getah bening, dan metastasis ke organ lain.
Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan metode tomografi komputer. Pada
pemeriksaan tomografi komputer dapat dilihat hubungan kanker paru dengan dinding
toraks, bronkus, dan pembuluh darah secara jelas. Keuntungan tomografi komputer
tidak hanya memperlihatkan bronkus, tetapi juga struktur di sekitar lesi serta invasi
tumor ke dinding toraks. Tomografi komputer juga mempunyai resolusi yang lebih
tinggi, dapat mendeteksi lesi kecil dan tumor yang tersembunyi oleh struktur normal
yang berdekatan.
5. Sitologi
Sitologi merupakan metode pemeriksaan kanker paru yang mempunyai nilai
diagnostik yang tinggi dengan komplikasi yang rendah. Pemeriksaan dilakukan
dengan mempelajari sel pada jaringan. Pemeriksaan sitologi dapat menunjukkan
gambaran perubahan sel, baik pada stadium prakanker maupun kanker. Selain itu
dapat juga menunjukkan proses dan sebab peradangan.
Pemeriksaan sputum adalah salah satu teknik pemeriksaan yang dipakai untuk
mendapatkan bahan sitologik. Pemeriksaan sputum adalah pemeriksaan yang paling
sederhana dan murah untuk mendeteksi kanker paru stadium preinvasif maupun
invasif. Pemeriksaan ini akan memberi hasil yang baik terutama untuk kanker paru
yang letaknya sentral. Pemeriksaan ini juga sering digunakan untuk skrining terhadap
kanker paru pada golongan risiko tinggi.
6. Bronkoskopi
Setiap pasien yang dicurigai menderita tumor bronkus merupakan indikasi
untuk bronkoskopi. Dengan menggunakan bronkoskop fiber optik, perubahan
mikroskopik mukosa bronkus dapat dilihat berupa nodul atau gumpalan daging.
Bronkoskopi akan
16
lebih mudah dilakukan pada tumor yang letaknya di sentral. Tumor yang letaknya di
perifer sulit dicapai oleh ujung bronkoskop.
7. Biopsi Transtorakal
Biopsi aspirasi jarum halus transtorakal banyak digunakan untuk mendiagnosis
tumor pada paru terutama yang terletak di perifer. Dalam hal ini diperlukan peranan
radiologi untuk menentukan ukuran dan letak, juga menuntun jarum mencapai massa
tumor. Penentuan letak tumor bertujuan untuk memilih titik insersi jarum di dinding
kulit toraks yang berdekatan dengan tumor.
8. Torakoskopi
Torakoskopi adalah cara lain untuk mendapatkan bahan guna pemeriksaan
histopatologik untuk kanker paru. Torakoskopi adalah pemeriksaan dengan alat
torakoskop yang ditusukkan dari kulit dada ke dalam rongga dada untuk melihat dan
mengambil sebahagian jaringan paru yang tampak. Pengambilan jaringan dapat juga
dilakukan secara langsung ke dalam paru dengan menusukkan jarum yang lebih
panjang dari jarum suntik biasa kemudian dilakukan pengisapan jaringan tumor yang
ada
b. Manajemen Nutrisi
1. Kaji apakah pasien ada alergi makanan
2. Kerjasama dengan ahli gizi dalam
menentukan jumlah kalori, protein dan
lemak secara tepat sesuai dengan
kebutuhan pasien
3. Anjurkan masukan kalori sesuai
kebutuhan
4. Ajari pasien tentang diet yang benar
sesuai kebutuhan tubuh
5. Monitor catatan makanan yang masuk
atas kandungan gizi dan jumlah kalori
6. Timbang berat badan secara teratur
7. Anjurkan penambahan intake protein, zat
besi dan vit C yang sesuai
8. Pastikan bahwa diet mengandung
makanan yang berserat tinggi untuk
mencegah sembelit
9. Beri makanan protein tinggi , kalori tinggi
dan makanan bergizi yang sesuai
10. Pastikan kemampuan pasien untuk
memenuhi kebutuhan gizinya.
c. Manajemen hiperglikemia
1. Monitor Gula darah sesuai indikasi
2. Monitor tanda dan gejala poliuri,
polydipsi, poliphagia, keletihan,
pandangan kabur atau sakit kepala.
3. Monitor tanda vital sesuai indikasi
4. Kolaborasi dokter untuk pemberian
insulin
5. Pertahankan terapi IV line
6. Berikan IV fluids sesuai kebutuhan
7. Konsultasi dokter jika ada tanda
hiperglikemi menetap atau memburuk
8. Bantu ambulasi jika terjadi hipotensi
9. Batasi latihan ketika gula darah >250
mg/dl khususnya adanya keton pada urine
DAFTAR PUSTAKA
Price, Sylvia A and Wilson, Lorraine M. 1988. Patofisiologi. Konsep Klinik Proses-proses
Penyakit. Jakarta : EGC.
Suryo, Joko. 2010. Herbal Penyembuhan Gangguan Sistem Pernapasan. Yogyakarta: B First
Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3. Balai Penerbit FKUI :
Jakarta.