Makalah Teori Sastra
Makalah Teori Sastra
Makalah Teori Sastra
SOSIOLOGI SASTRA
MARXISME
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 8
ISTIQOMAH HUSNUN AFIFAH
ADZRA SALSABILA
M ANTON GUNARSO
AYU DIAH LESTARY
NANDA BAMBANG MURSALIM
SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS JAMBI
2018
SOSIOLOGI SASTRA
MARXISME
A. Pengertian Marxisme
Marxisme berasal dari dua kata, yaitu “Marx” diambil dari nama tokoh marxisme sendiri
yaitu Karl Marx. Dan “isme” berarti paham atau penganut, jadi Marxisme adalah paham yang
berpegang pada prinsip Marx (Penganut).
Marxisme adalah faham atau ideologi tentang kehidupan dengan kepercayaan bahawa
sosio ekonomi adalah penentunya. Teori ini memberi penekanan kepada kehidupan manusia
yang sangat bergantung dan ditentukan oleh sistem sosio ekonomi yang ada di dalamnya. Oleh
karena itu, Marxis melihat sejarah dan budaya serta kegiatan ekonomi masyarakat adalah sangat
relevan untuk memahami sesuatu masyarakat.
Sosio ekonomi sebagai penentu mutlak. Sebuah masyarakat ditentukan secara mutlak
oleh unsur sosio ekonomi. Sosio ekonomi dapat dirujuk kepada perhubungan dan perkaitan
pelbagai jenis pengeluaran ekonomi. Asas sosio ekonomi yang menentukan karya. Karya
kesusasteraan pula adalah gambaran (cerminan) tentang apa yang ada dalam sosio ekonomi.
Masyarakat dilihat sebagai berstruktur. Asas sosio ekonomi yang membentuk struktur.
Struktur yang paling tinggi ialah struktur agung. Struktur agung yang mempengaruhi perubahan
sejarah dan masyarakat. Kesusasteraan diletakkan dalam struktur agung. Struktur agung inilah
yang mencerminkan asas kaitan dengan kesusasteraan.
Bagi Marx, sastra dan semua gejala kebudayaan lainnya mencerminkan pola hubungan
ekonomi karena sastra terikat akan kelas-kelas yang ada di dalam masyarakatnya. Oleh karena
itu, karya sastra hanya dapat dimengerti jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut (Van
Luxemburg, 1986:24-25). Menurut Lenin, seorang tokoh yang dipandang sebagai peletak dasar
bagi kritik sastra Marxis, sastra (dan seni pada umumnya) merupakan suatu sarana penting dan
strategis dalam perjuangan proletariat melawan kapitalisme. (D.W Fokkema: )
Dalam konteks sastra, peran penulis atau sastrawan-sebagai kelompok intelektual tradisional-
dalam memproduksi karya sastra cukup sentral dan dominan karena dengan karya-karyanya itu
mereka dapat mempertahankan kondisi sosial masyarakatnya. Williams menawarkan
kemungkinan ketiga, yaitu ideology adalah proses umum produksi makna dan ide-ide.
Williams menyimpulkan bahwa meskipun kesulitan dalam membentuk definisi tunggal,
perlu untuk sampai pada istilah umum tidak hanya produk, tetapi proses juga penting, termasuk
pentingnya nilai-nilai. V.N. Volosinov menggunakan istilah "ideologis" dan "ideologi" yang
mengacu pada produksi tanda-tanda dan dimensi pengalaman sosial yang mendorong makna dan
nilai dihasilkan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ideologi pada prinsipnya merupakan
kristalisasi gagasan menjadi system yang bersifat universal tentang kehidupan sosial, terutama
suprastruktur masyarakat. Dalam penelitian sastra, di satu pihak peneliti dapat mengungkap
ideologi yang dominan dalam masyarakat melalui simbol-simbol bahasa yang digunakan oleh
tokoh utama dan tokoh bawahan dalam suatu cerita (novel atau cepen). Akan tetapi, di pihak lain
peneliti juga dapat mengungkap ideologi nondominan yang dimiliki oleh masyarakat masing-
masing.
D. Tokoh-tokoh Marxisme
1. Karl Marx
Karl Heinrich Marx adalah seorang filsuf, pakar ekonomi politik dan teori kemasyaraktan
dari prusia. Mark mengungkapkan analisisnya terhadap sejarah terutama mengenai
pertentangan kelas, yang dapat diringkas sebagai “sejarah dari berbagai masyarakat hingga
saat ini pada dasarnya adalah sejarah tentang pertentangan kelas”. Marx memandang sastra
sebagaimana politik, ideologi, dan agama adalah wilayah superstruktur, keberadaanya
bertumpu pada basis ekonomi(infrastruktur). Sastra haruslah berpijak pada realitas sosio
historis.
Realitas sosio historis ditandai oleh perjuangan kelas, maka sastra harus diletakkan dalam
kerangka perjuangan kelas proletar dalam rangka menghilangkan kelas. Karena kelas muncul
sebagai akibat dari pemilikan pribadi maka perjuangan kelar proletar lewat sastra juga dalam
rangka menghilangkan pemilikan pribadi.
2. Frederick engels
Menurut engels, sastra adalah cermin pemantul proses sosial, tetapi hubungan antara isi
sastra (dan filsafat) lebih kaya dan samar-samar dibandingkan dengan isi politik dan
ekonomi. Setiap novelis yang berusaha mencapai realism harus mampu menciptakan tokoh-
tokoh yang representasif dalam karyanya. Sebab realisme meliputi reproduksi tokoh-tokoh
yang merupakan tipe dalam peristiwa yang khas. Di samping itu menurut engels sastra
haruslah tetap menunjukkan keartistikannya, tidak semata-mata alat perjuangan kelas. Dari
pandangan tersebut tanpak bahwa hubungan antara sastra dengan infrastrukturnya tidak
bersifat langsung dan vulgar, tetapi bersifat simbolis (tersembunyi).
George Lukacs adalah seorang kritikus Marxis terkemuka yang berasal dari Hungaria dan
menulis dalam bahasa Jerman. Lukacs mempergunakan istilah "cermin" sebagai ciri khas
dalam keseluruhan karyanya. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan 'realitas' tetapi lebih
dari itu memberikan kepada kita "sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap,
lebih hidup, dan lebih dinamik" yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sastra tidak
mencerminkan realitas sebagai semacam fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk
khusus yang mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan realitas
secara jujur dan objektif dan dapat juga mencerminkan kesan realitas subjektif (Roman
Selden, 1991:27).