Pastoral Konseling PDF
Pastoral Konseling PDF
Pastoral Konseling PDF
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
1.2 Rumusan Masalah Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
1.3 Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
1.3.1 Tujuan Umum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
1.3.2 Tujuan Khusus . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
1.4 Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
1.4.1 Manfaat Teoritis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
1.4.2 Manfaat Praktis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
1.5 Batasan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
1.5.1 Batasan Narasumber . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
1.5.2 Batasan Teori . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
1.6 Sistematika Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
2 Landasan Teori 7
2.1 Definisi Konseling . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7
2.1.1 Pastoral Konseling . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
2.1.1.1 Kelebihan utama dan batasan – batasan pas-
toral konseling . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
2.1.1.2 Batasan-batasan tertentu dalam pastoral kon-
seling: . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
2.1.2 Tujuan Konseling . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
2.1.3 Fungsi Konseling . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14
2.1.4 Tahapan-Tahapan Layanan Konseling Pastoral . . . . . 15
2.1.5 Konsele Profile . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
2.1.6 Keterampilan-Keterampilan Konselor Kristen . . . . . . 18
2.1.7 Kepribadian Konselor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 23
2.2 Definisi Biseksual . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25
2.2.1 Perkembangan Identitas Pada Biseksual . . . . . . . . 26
1
Daftar Isi 2
3 Penjelasan Kasus 28
5 Penutup 33
5.1 Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 33
5.2 Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 33
Bab 1
PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang 2
orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diper-
lihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya
disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekat-
an dan kedekatan dengan orang lain. Genbeck dan Patherick (2006) menya-
takan bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam berpacaran yaitu keintiman
dengan pasangan dan berbagi dengan orang lain yang merefleksikan tugas
perkembangan pada masa ini.
Individu dewasa awal atau dewasa dini mencari keintiman emosional dan
fisik kepada pasangan romantis. Hubungan ini mensyaratkan keterampil-
an seperti kesadaran diri, empati, kemampuan mengkomunikasikan emosi,
pembuatan keputusan seksual, penyelesaian konflik dan kemampuan mem-
pertahankan komitmen. Keterampilan tersebut sangat penting ketika indivi-
du dewasa awal atau dewasa dini memutuskan untuk menikah, membentuk
pasangan yang tidak terikat pernikahan, atau hidup seorang diri, atau memi-
liki atau tidak memiliki anak (Lambeth & Hallet dalam Papalia, 2008). Hal
ini jugalah yang terjadi pada individu biseksual.
Biseksual merupakan sebuah istilah yang merupakan salah satu dari ti-
ga klasifikasi utama orientasi seksual manusia disamping homoseksual dan
heterogenitas. Orientasi seksual dapat dilihat sebagai salah satu dari empat
komponen yaitu identitas seksual, jenis kelamin secara biologis, identitas
gender, dan peran seks secara sosial (Shively & De Cecco dalam Fox, 2000).
Suatu literatur penelitian telah mengemukakan secara jelas berbagai macam
kriteria untuk mendefinisikan orientasi seksual, termasuk di antaranya per-
ilaku seksual, affectional attachment (close relationships) , fantasi-fantasi
erotis, arousal, erotic preference, dan identifikasi diri sebagai biseksual, he-
teroseksual, atau homoseksual (Shively, Jones & De Cecco dalam Fox, 2000).
Seksologis Jerman, Krafft-Ebing me nyebut biseksual dengan sebutan
psychosexual hermaphroditism , yaitu merujuk pada eksistensi dua seks bi-
ologis dalam satu spesies atau kejadian yang merupakan ke betulan dari ka-
rakteristik pria dan wanita dalam satu tubuh (Bowie dalam Storr, 1999). Na-
mun, penggunaan dari biseksual telah mengalami perubahan. Ellis (dalam
Sto rr, 1999) kemudian meninggalkan istilah psychosexual hermaphroditism
dan memperluas makna dari biseksual sebagai hasrat seksual untuk pria ma-
upun wanita yang dialami oleh individu. Menurut Freud (1905), biseksual
merupakan kombinasi dari maskulinitas dan feminitas sedangkan menurut
Stekel (1920) dan Klein (1978), biseksual bukanlah merupakan kombinasi
dari maskulinitas dan femininitas melainkan heteroseksualitas dan homosek-
1.1. Latar Belakang 3
Percakapan menjadi salah satu faktor penting dalam kegiatan konseling. Pe-
layanan konseling tidak sama dengan khotbah atau pemberian nasihat. Be-
lajar konseling tidak sama dengan belajar menjadi penasihat (advisor), guru
atau seorang pemberi resep (recipe giver). Karena pelayanan konseling yang
utama adalah justru menolong konsele (klien atau penerima bimbingan) un-
tuk bertanggung jawab penuh dalam hidupnya, dan di bawah terang firman
Tuhan menolong dia menemukan sendiri jawaban atas pertanyaan dan per-
soalan hidupnya.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui
lebih mendalam tentang orientasi seks biseksual dan bagaimana membantu,
menangani serta memotivasi individu yang memiliki orientasi seks biseksual
agar kembali memiliki kehidupan dengan orientasi seks yang normal.
2. Dapat menjadi masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk me-
neliti lebih jauh mengenai penyimpangan seks berorientasi biseksual.
• Bab II: Landasan Teori, bab ini berisi tentang teori-teori yang menjadi
acuan dalam penulisan karya ilmiah ini.
• Bab III: Penjelasan Kasus, bab ini berisi tentang penjelasan dan pe-
nanganan pada kasus individu yang mengalami penyimpangan seks
berorientasi biseksual.
• Bab IV: Analisis dan Pembahasan, bab ini berisi analisis dan pemba-
hasan mengenai data-data yang telah dianalis berdasarkan teori pada
teori bab II.
• Bab IV: Penutup, bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran-saran
yang diperoleh dari pembahasan dalam penulisan ini untuk penyem-
purnaan dan pengembangan selanjutnya.
Bab 2
Landasan Teori
Tuhan Yesus kepada manusia sebagai Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa
dan Raja Damai. Tuhan Yesus adalah konselor yang sejati, kita sebagai pesu-
ruh dari konsulor yang sejati. Tanamkan dalam diri anda pengakuan bahwa
Tuhan Yesus yang mau bekerja dalam diri anda untuk menasehati sesama
anda, karenanya sandarkan diri anda pada pimpinan Roh Kudus.
Roh Kudus sebagai Penolong yang menyertai dan Pengingat atas pernyataan-
pernyataan Yesus kepada kita. Roh Kudus adalah suatu Pribadi yang mem-
7
2.1. Definisi Konseling 8
1. Alasan mengapa hubungan timbal balik ini harus merupakan suatu di-
alog.
3. Memakai sarana dan jalan yang sesuai dengan iman Kristen dalam
mencapai tujuan yang benar.
2. Ketajaman rohani.
1. Waktu.
Hanya sedikit pendeta yang memiliki waktu bagi semua jemaatnya yang
membutuhkan konseling. Bahkan pendeta yang tanggung jawab utama-
nya adalah memelihara dan memberikan konseling pun merasa kekurangan
waktu; tekanan dari tanggung jawab lain seringkali memungkinkan untuk
melihat bahwa seseorang mengalami krisis yang parah. Namun sayangnya
hal ini merusak kelebihan pastoral yang unik dari konseling intervensi awal
yang potensial dan berorientasi-prevensi. Meskipun demikian, seperti yang
diketahui banyak pendeta, permintaan pelayanan adalah tekanan yang kon-
stan, mengurangi waktu yang tersedia untuk konseling dan, dalam beberapa
kasus, membatasi konseling untuk intervensi-intervensi yang jelas.
2.1. Definisi Konseling 11
2. Pelatihan
Dalam beberapa kasus, pelatihan ini hanya bersifat sementara dan mempu-
nyai implikasi untuk jenis konseling yang perlu ditangani. Beberapa model
pastoral konseling memisalkan pengetahuan yang lebih maju tentang teori
kepribadian dan psikoterapi dan merupakan pertanyaan-pertanyaan bergu-
na bagi para pendeta yang hanya mengikuti satu atau dua kursus psikologi
atau konseling. Sebagian besar pendeta tidak memiliki latar belakang yang
dibutuhkan dalam teori kepribadian dan psikologi psychotherapeutic untuk
memberikan psikoterapi rekonstruktif yang intensif. Atau mereka juga tidak
memiliki pra-syarat pelatihan mengenai psikodiagnostik dan psikopatologi
untuk memberikan perawatan total bagi beberapa individu yang bermasa-
lah.
Para pendeta, sama seperti konselor profesional lainnya, harus secara
jelas menyadari keterbatasan mereka dalam bersaing dan siap serta berse-
dia mengalihkannya kepada orang lain ketika keterbatasan-keterbatasan itu
dicapai. Banyak hal yang bisa dilakukan dalam keterbatasan ini. Namun
pastoral konseling seharusnya tidak dipandang sebagai suatu pengganti ba-
gi terapi medis atau terapi psikologi lainnya. Ketika terapi lain dibutuhkan,
pastoral konseling masih merupakan sumber pertolongan tambahan yang
khusus dan berguna.
3. Konflik
Tidak sama seperti para profesional konseling lainnya, pendeta tidak me-
miliki batasan kontak yang istimewa dengan para klien-nya di luar kantor
konseling. Alasan mengapa para psikoterapis membatasi kontak adalah jika
kontak tersebut menyulitkan terapi, kadang-kadang meng- kontaminasi per-
awatan secara menyeluruh sehingga kontak ini harus dihentikan. Aturan-
aturan yang mengatur pelaksanaan pertemuan- pertemuan psikoterapi pas-
sien dan ahli terapinya dibuat untuk memfasilitasi tugas ’psychotherapeutic’.
Aturan-aturan ini berbeda dengan aturan yang terkait dengan masalah
sosial, bisnis, atau hubungan kekeluargaan. Namun, pendeta secara rutin
bertemu dengan mereka yang terlibat dalam konseling melalui berbagai per-
an mereka. Hal ini seringkali membuat baik pendeta maupun jemaatnya
dalam situasi yang janggal, terutama dalam hubungan konseling jangka pan-
jang.
2.1. Definisi Konseling 12
4. Pembayaran
Meskipun hal ini merupakan kelebihan yang membuat bantuan pendeta ter-
sedia bagi mereka yang terbatas sumber keuangannya, tidak adanya pemba-
yaran akan menurunkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab dalam proses
konseling. Hal ini juga meningkatkan kemungkinan bahwa seseorang meng-
ambil keuntungan dari waktu pelayanan, menggunakannya dengan cara-
cara yang tidak produktif. Tidak adanya pembayaran, bagaimanapun juga,
bisa merupakan kelebihan maupun kekurangan dari pastoral konseling yang
biasa dilakukan.
Pastoral konseling tampaknya, sesuai dengan uraian di atas, menempa-
ti posisi terbaik sebagai konseling yang terfokus dan berani. Terapi intensif
jangka panjang tampaknya tidak sesuai dengan terbatasnya waktu dari se-
bagian besar pendeta, atau sebagian besar pendeta tidak pernah mengikuti
pelatihan yang penting dan tidak memiliki latar belakang psikologi sehingga
tidak memiliki pengalaman yang sesuai ataupun produktif. Konseling jangka
pendek juga membuat para pendeta dapat menghindari beberapa pemindah-
an komplikasi yang digolongkan sebagai bagian utama dari pertemuan kon-
seling jangka panjang. Secara ringkas, pastoral konseling harus benar-benar
terfokus, dan fokus yang sarankan sebaiknya berhubungan dengan tujuan
utama dari pertumbuhan rohani.
Hampir semua para ahli dalam bidang konseling akan menyetujui bahwa
tujuan suatu konseling adalah membawa klien agar terjadi perubahan yang
memungkinkan klien hidup sesuai dengan pembatasan- pembatasan yang
ada dalam masyarakat.
Tujuan konseling harus jelas, jadi perubahan perilaku yang dikehenda-
ki ialah perubahan yang bagaimana dan selanjutnya bagaimana melakuk-
2.1. Definisi Konseling 13
Dalam batas tertentu, konseling diarahkan agar seseorang bisa membuat se-
suatu keputusan pada saat penting dan benar-benar dibutuhkan. Keputusan
yang diambil pada akhirnya harus merupakan keputusan yang diambil pa-
da akhirnya harus merupakan keputusan yang ditentukan oleh klien sendiri
dengan bantuan dari konselor.
Konseling bertujuan membantu klien memperoleh informasi dan kejelas-
an di luar pengaruh emosi dan cirri kepribadiannya yang bisa mengganggu
pengambilan keputusan. Dengan konseling klien dibantu memperoleh pe-
mahaman bukan saja mengenai kemampuan , minat dan kesempatan yang
ada, melainkan juga mengenai emosi dan sikap yang bisa mempengaruhi
dalam menentukan pilihan dan pengambilan keputusan.
1. Tahapan awal
2. Tahapan inti
3. Tahapan penutup
Pada tahap ini konselor berusaha untuk mengakhiri proses KP dengan Res-
pons Action (A). Maksudnya, konselor membantu konseli untuk membuat
tindakan konret. Supaya proses ini dapat berjalan baik, pentingnya memiliki
kebiasaan berdoa perlu digaris bawahi.
Menurut Alastair V.Campbell (1987:198-199), KP dapat berlangsung de-
ngan menggunakan tahap-tahap tersebut apabila konselor menjalankan fungsi-
fungsi berikut:
1. Orang duniawi
Orang yang bukan Kristen dan tidak menerima Kristus sebagai juru selamat.
2.1. Definisi Konseling 17
Orang Kristen lahir baru (bayi rohani) yang memiliki ciri-ciri sering berteng-
kar seperti kanak-kanak.
Melalui kelahiran baru, Yesus sudah berdiam di hatinya. Ia kini sering
berdoa dan meminta pimpinanNya. Tetapi pada keadaan-keadaan terten-
tu ketika lengah, sejumlah kudeta sering terjadi, misalnya kudeta menteri
emosi. Itu sebabnya Paulus berkata: Bukankah hal itu menunjukkan bahwa
kamu manusia duniawi dan bahwa kamu hidup secara duniawi? (I Kor 3:3)
Mengapa? Karena raja ego masih duduk di takhtanya. Hanya saat-saat ter-
tentu saja ego meminta pertolongan Tuhan. Hasilnya adalah orang rohani
yang hidup dalam tabiat duniawi. Orang ini tahu bahwa jalan keluar dari
kesukaran adalah Yesus. Ini membedakannya dari orang duniawi yang tidak
mengetahui jalan keluar dan jalan yang benar.
dali pemerintahan. Semua menteri tetap ada dan berfungsi tetapi tunduk
kepada Yesus dan tidak memerintah lagi. Ciri orang Kristen yang matang
adalah segala sesuatu (menteri) diatur seimbang (balance).
Langkah yang perlu diambil agar menjadi orang Kristen dewasa adalah:
Harus menyerahkan diri dan menyerahkan pimpinan hidup kepada Yesus.
Akui Yesus sebagai Raja hidupmu. Dengan sikap: Kendalikan cita-citaku,
kemauanku ... emosiku, maka anda akan tumbuh menjadi Kristen dewasa.
Gantungkan cita-cita anda lebih tinggi dari bintang di langit, yaitu di hati-
Nya.
Anda harus mengerti dari golongan manakah konsele yang anda layani
itu. Jangan terkecoh oleh usia dan penampilan seseorang. Ada perbedaan
antara usia rohani dan usia jasmani. Seorang konselor harus bermata jeli.
Jangan heran jika anda bertemu dengan rohaniwan yang belum lahir baru.
Jika seorang konselor ingin berhasil, dia harus mampu memperoleh cukup
data untuk membuat penilaian mengenai akar dari permasalahan dan tera-
pi yang sesuai. Yang menjadi intinya adalah observasi yang tajam terhadap
setiap gejala yang ditunjukkan oleh konsele. Selain dari penampilan secara
umum, ketidakwajaran apapun seperti disorientasi, delusi, halusinasi, obse-
si, fobia, atau gangguan pikiran, harus diperhatikan. Konselor akan mencoba
memahami suasana hati konsele dan hubungan antar pribadinya.
Untuk memperoleh perspektif yang benar dari klien-nya, sangat penting
untuk mengembangkan seni "mengajukan pertanyaan yang tepat". Hal ini
mencakup pengetahuan tentang bagaimana mengungkap dan menangani
hasil dari pertanyaan-pertanyaan provokatif yang menimbulkan kegelisah-
an. Begitu pula bagaimana beralih dari pertanyaan-pertanyaan yang umum
2.1. Definisi Konseling 19
Memilih di antara berbagai cara pendekatan dan rencana tindakan yang bi-
sa diadopsi sesuai dengan setiap kepribadian klien merupakan salah satu
hal paling sulit yang dihadapi oleh seorang konselor. Bagaimana seorang
konselor dapat mengetahui cara untuk memulainya? Nasehat kami adalah
supaya dia menggunakan beberapa teknik dasar pada saat dia memulai tu-
gasnya. Dia akan belajar untuk membuat beragam pendekatan untuk me-
menuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu dari para konselenya seiring dengan
meningkatnya pengalaman, pengetahuan, dan sensitivitas yang dimilikinya.
Dia harus bersabar dengan dirinya sendiri saat mencoba untuk menguasai
dunia konseling yang kompleks dengan berbagai dimensinya. Seiring de-
ngan berjalannya waktu, dia akan belajar kapan saatnya memberikan wa-
wasan/pengertian dan menawarkan dukungan, kapan saatnya menekankan
tingkah laku dan kapan saatnya untuk memfokuskan pada perasaan, kap-
an saatnya bertindak langsung dan kapan saatnya bertindak tidak langsung,
kapan saatnya menggali masa lalu dan kapan saatnya berkonsentrasi pada
masa sekarang. Dia juga belajar pentingnya menjadi diri sendiri – konsele
akan percaya pada konselor hanya jika dia bersikap spontan/apa adanya dan
nondefensif.
Kesulitan untuk mengetahui bagaimana memilih pendekatan yang tepat
menjadi bertambah lagi dengan adanya sejumlah besar pilihan yang tersedia.
Berikut ini adalah suatu daftar umum yang singkat mengenai apa yang dapat
dilakukan oleh seorang konselor :
Sampai di bagian ini, kita hanya menyentuh bagian permukaan saja. Di an-
tara rencana-rencana tindakan lain yang bisa diterapkan oleh seorang kon-
selor adalah pemurnian melalui meditasi, menasehati (1Tesalonika 5:14),
konfrontasi, dan mendesak konsele untuk melakukan refleksi atau membu-
ka diri.
Dalam banyak kejadian, seorang konselor akan menemukan bahwa satu
metode pendekatan saja tidaklah cukup. Dukungan saja tidak cukup. Pe-
ngertian/wawasan saja tidak cukup (Salomo punya banyak pengertian/ wa-
wasan tetapi masih tetap jatuh dalam dosa). Begitu pula, mendengarkan
atau melepaskan tekanan semata akan memiliki pengaruh yang kecil pada
kehidupan konsele. Perlu ada perubahan-perubahan tingkah laku yang lebih
spesifik. Alkitab berulangkali menekankan pentingnya aktivitas Kristen yang
benar (Matius 7:24, Filipi 2:13; 4:13). Jika hanya ada sedikit atau tidak ada
perubahan ke arah yang lebih baik dari tingkah laku konsele dalam batas
waktu yang masuk akal, beberapa cara pendekatan tambahan harus dite-
rapkan. Dalam kasus seperti itu kita sering menemukan bahwa akan sangat
membantu bagi konsele untuk memeriksa rencana hidupnya sendiri (con-
tohnya mengamati bagaimana sebenarnya ia menjalani hidup). Kemudian
kita membantunya membuat perubahan-perubahan yang tepat. Kita sebut
cara ini bergerak dari rencana "A" ke rencana "B". Rencana "B" menganjurk-
an aktivitas-aktivitas harian spesifik yang akan menghasilkan kesehatan. Di
antara anjuran-anjuran tersebut adalah interaksi sosial, olahraga, rekreasi,
dan saat teduh. Rencana ini perlu dinyatakan secara terbuka dan dievaluasi
ulang secara berkala.
Jika ternyata semua ini terbukti tidak mencukupi, seorang konselor akan
menyadari bahwa faktor-faktor lainnya mungkin terlibat dan bahwa evaluasi
lebih lanjut diperlukan. Mungkin perlu mengadakan pemeriksaan kejiwaan
secara khusus. Atau menganjurkan konsele untuk mengadakan pemeriksaan
fisik yang ekstensif, atau pengobatan oleh psikiater, atau mungkin perawatan
rumah sakit.
Sangat penting bahwa seorang konselor Kristen berupaya secara sadar untuk
menjadi seperti Kristus. Semakin dekat sang konselor menyamakan caranya
berhubungan dengan konsele seperti cara Yesus berhubungan dengan orang-
orang yang dilayani-Nya, ia akan makin berhasil. Satu ciri yang menyolok
dalam pelayanan Yesus adalah Ia memperlihatkan berbagai sikap. Ada saat-
2.1. Definisi Konseling 22
nya Ia lemah lembut dan pasif. Di saat lain Ia aktif dan penuh keramahan,
atau baik tetapi tegas. Jika diperlukan, Ia bisa benar-benar bersikap ke-
ras. Dengan kata lain, Yesus menempatkan diri-Nya pada situasi yang spesi-
fik. Demikian juga seharusnya seorang konselor Kristen. (Lihat 1Tesalonika
5:14).
Bercermin dari pelayanan Yesus, poin-poin utama dari konseling Kristen
adalah kebaikan hati dan kelemahlembutan (2Korintus 1:3-4; 10:1; Gala-
tia 6:1; 1Tesalonika 2:7,11; 2Timotius 2:24; Titus 3:2). Tanda paling jelas
dari pelayanan Kristus dan yang terlihat melalui konselor Kristen adalah ka-
sih yang ia tunjukkan kepada konselenya. Ingatlah bahwa kasih adalah hal
utama yang ditekankan dalam Alkitab: "Sekalipun aku dapat berkata-kata
dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak
mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang
yang gemerincing." (1Korintus 13:1) "Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukaci-
ta, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah-
lembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu."
(Galatia 5:22-23).
Upaya seorang konselor untuk meneladani sikap Kristus akan terlihat je-
las dari kontak awal hingga melalui semua aspek dari proses konseling. De-
ngan menerapkan teladan pendekatan Kristus, seorang konselor akan mam-
pu memberikan rasa nyaman kepada konsele, membina hubungan, mem-
bentuk suasana penuh kejujuran untuk wawancara, dan menunjukkan kasih,
perhatian, dan empati. Konselor yang demikian akan menjadi peka terhadap
perubahan-perubahan suasana hati konsele. Dia akan fleksibel dalam meng-
hadapi berbagai situasi yang sulit (misalnya, jika konsele menolak untuk
berbicara atau jelas-jelas paranoid), mencoba tidak memperlihatkan keter-
kejutan besar, dan mempertahankan tingkat kontak mata yang benar. Dia
akan sensitif/ peka terhadap masalah-masalah yang kelihatan sepele seperti
tatanan fisik (misalnya posisi tempat duduk) dan posisi tubuhnya (dia akan
agak condong ke depan untuk menunjukkan ketertarikannya). Komunikasi
akan berada pada tingkat yang dapat dipahami oleh konsele. Seorang kon-
selor yang mengikuti pola pendekatan seperti Kristus yaitu mengembangkan
kemampuan mendengarkan yang tajam (Yakobus 1:19) dan akan mampu
memperoleh/mengeluarkan informasi yang berkaitan dengan bijaksana.
2.1. Definisi Konseling 23
Alkitab memainkan peran yang sangat penting dalam konseling Kristen. De-
ngan menyediakan makanan rohani Firman Tuhan menghasilkan pertum-
buhan dan penyembuhan bagi konsele. Seorang konselor Kristen akan meng-
gunakan Alkitab secara tajam, bijaksana, dan peka. Ada berbagai cara dima-
na konselor bisa menggunakan Firman Tuhan, misalnya sebagai alat/cara
untuk menantang dan konfrontasi secara langsung, atau sumber penghibur-
an dan dukungan yang positif. Alkitab juga memberikan nasihat praktis
dan berbagai teladan hidup orang- orang kudus. Dalam keadaan-keadaan
yang tepat konselor bisa mempertimbangkan untuk memberikan tugas ru-
mah (mempelajari Alkitab dan/atau menghafal). Atau dia mungkin bisa
membantu konselenya dengan menunjukkan jalan-jalan dalam kehidupan
pribadinya sendiri yang memiliki nilai spesial. Dengan bertambahnya penga-
laman, seorang konselor akan menemukan lebih banyak dan makin banyak
lagi cara menggunakan Alkitab.
Kita telah melihat bahwa ada sejumlah persyaratan yang dibutuhkan un-
tuk berhasilnya konseling Kristen. Ini meliputi ketrampilan mengumpulkan
data, kemampuan merumuskan cara pendekatan yang cocok untuk setiap
individu konsele, mengikuti teladan Kristus, dan pengetahuan bagaimana
menggunakan Alkitab. Seorang konselor yang bijaksana akan secara berkala
mengevaluasi dirinya sendiri dan bersungguh-sungguh memacu kemajuan
dirinya dalam bidang-bidang dimana dia merasa lemah.
Tanda kepribadian yang tidak sehat, misalnya dalam hidup setiap hari sering
dijumpai hal yang aneh-aneh, antara lain bila bertemu dengan seseorang te-
2.1. Definisi Konseling 24
rus merasa benci atau sebaliknya terus merasa simpati. Juga dasar penga-
laman yang aneh-aneh, misalnya sewaktu dia dulu anak-anak pernah dipu-
kul oleh orang yang tampangnya kurus, tinggi, dan berkumis. Pengalaman
ini terpendam. Setiap kali dia bertemu dengan orang yang kurus, tinggi, dan
berkumis, dia terus terpancing. Ini semua tanda kepribadian yang tidak se-
hat. Seorang konselor harus mampu mengontrol gejala seperti ini di dalam
dirinya sendiri.
Menerima seseorang sebagaimana adanya (as he/she as) adalah penting se-
kali. Apabila konseli datang (masuk) dengan celana pendek, misalnya, atau
memaki-maki, atau tersenyum, jangan terus terpengaruh oleh kemampuan
konseli. Menerima seseorang sebagaimana adanya adalah ciri pendekatan
Yesus (bndk. Yohanes 3; Yohanes 4; Lukas 19). Sewaktu Yesus bertemu de-
ngan perempuan Samaria, Ia menerima perempuan itu apa adanya, tanpa
menghakiminya. Ia menerima perempuan yang didapati berzinah; Ia ju-
ga menerima Zakheus, seorang pemungut cukai yang tidak jujur itu. Yesus
berbelaskasihan terhadap orang lain. Belas kasih Yesus merupakan gambar-
an pendekatan-Nya perlu menjadi jiwa pelayanan konseling pastoral (bndk.
Markus 8:2; 6:34).
3. Empati (Emphaty).
4. Jaminan Sosial.
5. Menghindari Nasihat-Nasihat.
pria dan wanita dalam satu tubuh (Bowie dalam Storr, 1999). Ellis (dalam
Storr, 1999) kemudian meninggalkan istilah psychosexual hermaphroditism
dan memperluas makna dari biseksual sebagai hasrat seksual untuk pria ma-
upun wanita yang dialami oleh individu. Menurut Freud (1905), biseksual
merupakan kombinasi dari maskulinitas dan feminitas, sedangkan menurut
Stekel (1920) dan Klein (1978), biseksual bukanlah merupakan kombinasi
dari maskulinitas dan femininitas melainkan heteroseksualitas dan homosek-
sualitas (dalam Storr, 1999).
Dalam pengertian umumnya, biseksual adalah orientasi seksual yang mem-
punyai ciri-ciri berupa ketertarikan estetis, cinta romantis, dan hasrat seksual
kepada pria dan wanita. Menurut Masters (1992), biseksual adalah istilah
untuk orang yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki mau-
pun perempuan. Biseksual juga didefinisikan sebagai orang yang memiliki
ketertarikan secara psikologis, emosional dan seksual kepada laki-laki dan
perempuan (Robin & Hammer, 2000 dalam Matlin, 2004).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa biseksual
adalah istilah untuk orang dengan orientasi seksual yang memiliki keterta-
rikan estetis, psikologis, emosional dan seksual baik kepada laki-laki maupun
perempuan.
• Initial Confusion
Pada beberapa orang yang awalnya belum mengenal istilah biseksual, biasa-
nya mereka mendapatkan istilah tersebut dengan mendengar, membacanya
di suatu sumber, atau mempelajarinya dari komunitas biseksual. Penemuan
2.2. Definisi Biseksual 27
ini membuat perasaan mereka menjadi lebih bermakna sehinga hal ini kemu-
dian menjadi titik balik dalam kehidupan mereka. Dilain pihak ada pula yang
sudah memiliki pengetahuan tentang biseksual namun belum dapat melabel-
nya pada diri mereka. Hal ini terjadi pada mereka yang awalnya merasakan
dirinya sebagai homoseksual. Selain itu ada pula yang tidak menjalani titik
balik yang spesifik dalam kehidupannya namun perasaan seksual terhadap
kedua jenis kelamin terlalu sulit untuk disangkal. Mereka pada akhirnya
menyimpulkan untuk tidak memilih. Faktor terakhir yang mengarahkan se-
seorang untuk memakai label biseksual adalah dorongan yang datang dari
teman- teman yang telah mendefinisikan diri mereka sebagai biseksual.
Tingkatan ini dikarakteristikkan dengan transisi yang lebih rumit dalam self-
labeling. Pada tingkat ini mereka lebih dapat menerima diri, tidak begitu
memperhatikan sikap negatif dari orang lain
• Continued uncertainity
Banyak pria dan wanita yang meragukan identitas biseksual mereka karena
hubungan seksual yang eksklusif. Setelah terlibat secara eklusif dengan pa-
sangan berbeda jenis dalam waktu tertentu, beberapa diantara mereka mem-
pertanyakan sisi homoseksual dari seksualitas mereka. Sebaliknya, setelah
terlibat dengan pasangan sejenis, mereka mulai mempertanyakan komponen
heeroseksual dalam seksualitas mereka.
Bab 3
Penjelasan Kasus
A. Deskripsi Kasus
28
29
Pada saat ini GS berusia 30 tahun dan masih berstatus lajang. Sejak GS ber-
usia 15 tahun, GS hidup sendiri tidak bersama dengan kedua orang tuanya
dikarenakan kedua orang tuanya telah bercerai. Kemudian GS dibesarkan
oleh neneknya di Jakarta. Setelah beberapa waktu lamanya GS memilih un-
tuk hidup sendiri dengan bekerja dan menyewa tempat tinggal.
GS sendiri memiliki kepribadian lemah gemulai, keras kepala, egois dan
sensitif namun juga berjiwa humoris dan kreatif sehingga GS disukai oleh
banyak orang dan GS memiliki banyak teman. GS memiliki hobi fitnes, ber-
nyanyi dan berbicara di depan banyak orang. Oleh sebab itu GS bekerja
sebagai Master Ceremony (MC) disebuah perusahaan Event Organizer.
Pacar GS sendiri yang berinisial ET pandai bermain musik dan terlibat da-
lam pelayanan di gereja. Saat ini ET sedang menyelesaikan kuliahnya yang
telah menginjak semester akhir disalah satu perguruan tinggi di Jakarta.
Paman GS berinisial MK memiliki seorang istri dan dua orang anak. MK
mempunyai sebuah bengkel dan tinggal di Bekasi. MK sendiri memiliki kep-
ribadian yang keras dan tidak bersahaja.
Sedangkan GS bertemu dengan komunitas homoseksualnya di tempat ke-
bugaran (gym). Pada saat di tempat gym, GS bertemu dengan AD. Kepriba-
dian AD yang lucu dan bersahaja membuat AD mudah bergaul dengan siapa
saja. AD sendiri berusia 25 tahun dan memiliki tubuh atletis.
30
C. Identifikasi Masalah
D. Penanganan Kasus
Lalu yang terakhir pada tahapan penutup konselor berusaha untuk menga-
khiri proses KP dengan Respons Action (A). Maksudnya, konselor membantu
konseli untuk membuat tindakan konret. Berikut adalah poin-poin yang di-
dapat pada tahap ini:
32
Bab 5
Penutup
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
33