Referat Ayu Rehabilitasi Medik Fraktur Humerus
Referat Ayu Rehabilitasi Medik Fraktur Humerus
Referat Ayu Rehabilitasi Medik Fraktur Humerus
PENDAHULUAN
Anatomic neck
2.2.3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, fraktur diafisis humerus terjadi sebanyak 1,2%
kasus dari seluruh kejadian fraktur, dan fraktur proksimal humerus terjadi
sebanyak 5,7% kasus dari seluruh fraktur.7 Sedangkan kejadian fraktur
distal humerus terjadi sebanyak 0,0057% kasus dari seluruh fraktur.8
Walaupun berdasarkan data tersebut fraktur distal humerus merupakan
yang paling jarang terjadi, tetapi telah terjadi peningkatan jumlah kasus,
terutama pada wanitu tua dengan osteoporosis.8
Fraktur proksimal humerus sering terjadi pada usia dewasa tua
dengan umur rata-rata 64,5 tahun. Sedangkan fraktur proksimal humerus
merupakan fraktur ketiga yang paling sering terjadi setelah fraktur pelvis
dan fraktur distal radius. Fraktur diafisis humerus lebih sering pada usia
yang sedikit lebih muda yaitu pada usia rata-rata 54,8 tahun.7
2.2.4. Klasifikasi
Fraktur humerus dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Fraktur Proximal Humerus
2. Fraktur Shaft Humerus
3. Fraktur Distal Humerus
2.2.4.1. Fraktur Proksimal Humerus(9,10)
Pada fraktur jenis ini, insidensinya meningkat pada usia yang lebih
tua. Perbandingan wanita dan pria adalah 2:1. Mekanisme trauma pada
orang dewasa tua biasa dihubungkan dengan kerapuhan tulang
(osteoporosis). Pada pasien dewasa muda, fraktur ini dapat terjadi karena
high-energy trauma, contohnya kecelakaan lalu lintas sepeda motor.
Mekanisme yang jarang terjadi antara lain peningkatan abduksi bahu,
trauma langsung, kejang, proses patologis: malignansi.
Gejala klinis pada fraktur ini adalah nyeri, bengkak, nyeri tekan, nyeri
pada saat digerakkan, dan dapat teraba krepitasi. Ekimosis dapat terlihat
dinding dada dan pinggang setelah terjadi cedera. Hal ini harus dibedakan
dengan cedera toraks.
Menurut Neer, proksimal humerus dibentuk oleh 4 segmen tulang:
1. Caput/kepala humerus
2. Tuberkulum mayor
3. Tuberkulum minor
4. Diafisis atau shaft
Klasifikasi menurut Neer, antara lain:
1. One-part fracture : tidak ada pergeseran fragmen, namun terlihat garis
fraktu
2. Two-part fracture :
anatomic neck
surgical neck
Tuberculum mayor
Tuberculum minor
3. Three-part fracture :
Surgical neck dengan tuberkulum mayor
Surgical neck dengan tuberkulum minus
4. Four-part fracture
5. Fracture-dislocation
6. Articular surface fracture
I
MINIMAL DISPLACEMENT
II
ANATOMICAL NECK
III
SURGICALL NECK
IV
GREATER TUBEROSITY
LESSER TUBEROSITY
ARTICULAR SURFACE
VI
FRACTURE DISLOCATION
P
2.2.4.2. Fraktur Shaft Humerus(9)
Fraktur ini adalah fraktur yang sering terjadi. 60% kasus adalah
fraktur sepertiga tengah diafisis, 30% fraktur sepertiga proximal diafisis dan
10% sepertiga distal diafisis. Mekanisme terjadinya trauma dapat secara
langsung maupun tidak langsung.
Gejala klinis pada jenis fraktur ini adalah nyeri, bengkak, deformitas,
dan dapat terjadi pemendekan tulang pada tangan yang fraktur.
Pemeriksaan neurovaskuler adalah penting dengan memperhatikan fungsi
nervus radialis. Pada kasus yang sangat bengkak, pemeriksaan
neurovaskuler serial diindikasikan untuk mengenali tanda-tanda dari
sindroma kompartemen. Pada pemeriksaan fisik terdapat krepitasi pada
manipulasi lembut.
2.2.5. Diagnosis
2.2.5.1. Anamnesis12
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera
(posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera
tersebut, riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi,
pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan
riwayat osteoporosis serta penyakit lain
2.2.5.2. Pemeriksaan Fisik2,12
a. Inspeksi / Look
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka
- Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam samapai
beberapa hari
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
kependekan
b. Palpasi / Feel ( nyeri tekan /tenderness, krepitasi)
Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa.
Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut,
meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang
mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi
Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi arteri,
warna kulit, pengembalian cairan kapiler (capillary refill test),
temperatur daerah sekitar fraktur.
c. Gerakan/ moving
Dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang
berdekatan dengan lokasi fraktur.
Anggota gerak atas :
- Sendi bahu : sebaiknya gerakan diperiksa bersamaan kanan dan
kiri; pemeriksa berdiri di belakang pasien, kecuali untuk
eksorotasi atau bila penderita berbaring, maka pemeriksa ada di
samping pasien.
- Sendi siku:
Gerak fleksi ekstensi adalah gerakan ulna humeral (olecranon
terhadap humerus). Gerak pronasi dan supinasi diperiksa pada
posisi siku 90˚ untuk menghindari gerak rotasi dari sendi bahu.
- Sendi pergelangan tangan:
Diperiksa gerakan ekstensi-fleksi dan juga radial dan ulnar
deviasi.
- Jari tangan:
Ibu jari merupakan bagian yang penting karena mempunyai
gerakan aposisi terhadap jari-jari lainnya selain abduksi dan
adduksi, ekstensi, dan fleksi.
d. Pemeriksaan trauma di tempat lain : kepala, toraks, abdomen, pelvis
Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal
dilakukan menurut protocol ATLS. Langkah pertama adalah menilai
airway, breathing, dan circulation. Perlindungan pada vertebra
dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan dengan
pemeriksaan klinis dan radiologis. Saat pasien stabil, maka
dilakukan secondary survey.
2.2.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum13:
1. Bila terjadi trauma, dilakukan primary survey terlebih dahulu.
2. Sebelum penderita diangkut, pasang bidai untuk mengurangi nyeri,
mencegah (bertambahnya) kerusakan jaringan lunak dan makin
buruknya kedudukan fraktur. Bila tidak terdapat bahan untuk bidai, maka
bila lesi di anggota gerak bagian atas untuk sementara anggota yang
sakit dibebatkan ke badan penderita.
Pilihan adalah terapi konservatif atau operatif. Pilihan harus
mengingat tujuan pengobatan fraktur yaitu mengembalikan fungsi tulang
yang patah dalam jangka waktu sesingkat mungkin.12
a. Fraktur proksimal humeri9,12
Pada fraktur impaksi tidak diperlukan tindakan reposisi. Lengan yang
cedera diistirahatkan dengan memakai gendongan (sling) selama 6
minggu. Selama waktu itu penderita dilatih untuk menggerakkan sendi
bahu berputar sambil membongkokkan badan meniru gerakan bandul
(pendulum exercise). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kekakuan
sendi.
Pada penderita dewasa bila terjadi dislokasi abduksi dilakukan
reposisi dan dimobilisasi dengan gips spica, posisi lengan dalam
abduksi (shoulder spica).
b. Fraktur shaft humeri 9,12
Pada fraktur humerus dengan garis patah transversal, apabila terjadi
dislokasi kedua fragmennya dapat dilakukan reposisi tertutup dalam
narkose. Bila kedudukn sudah cukup baik, dilakukan imobilisasi dengan
gips berupa U slab (sugar tong splint). Immobilisasi dipertahankan
selama 6 minggu.
Teknik pemasangan gips yang lain yaitu dengan hanging cast.
hanging cast terutama dipakai pada pnderita yang dapat berjalan
dengan posisi fragmen distal dan proksimal terjadi contractionum
(pemendekan).
Apabila pada fraktur humerus ini disertai komplikasi cedera
n.Radialis, harus dilakukan open reduksi dan internal fiksasi dengan
plate-screw untuk humerus disertai eksplorasi n. Radialis. Bila
ditemukan n. Radialis putus (neurotmesis) dilakukan penyambungan
kembali dengan teknik bedah mikro. Kalau ditemukan hanya
neuropraksia atau aksonotmesis cukup dengan konservatif akan baik
kembali dalam waktu beberapa minggu hingga 3 bulan.
c. Fraktur distal humerus
Fraktur suprakondiler humeri9,12
Kalau pembengkakan tak hebat dapat dilakukan reposisi dalam
narkose umum. Setelah tereposisi, posisi siku dibuat fleksi diteruskan
sampai a.Radialis mulai tak teraba. Kemudian diekstensi siku sedikit
untuk memastikan a.Radialis teraba lagi. Dalam posisi fleksi maksimal
ini dilakukan imobilisasi dengan gips spal. Posisi fleksi maksimal
dipindahkan karena penting untuk menegangkan otot trisep yang
berfungsi sebagai internal splint.
Kalau dalam pengontrolan dengan radiologi hasilnya sangat baik
gips dapat dipertahankan dalam waktu 3-6 minggu. Kalau dalam
pengontrolan pasca reposisi ditemukan tanda Volkmann’s iskaemik
secepatnya posisi siku diletakkan dalam ekstensi, untuk
immobilisasinya diganti dengan skin traksi dengan sistem Dunlop.
Pada penderita dewasa kebanyakan patah di daerah suprakondiler
garis patahnya berbentuk T atau Y, yang membelah sendi untuk
menanggulangi hal ini lebih baik dilakukan tindakan operasi dengan
pemasangan internal fiksasi.
Fraktur transkondiler humeri9,12
Terapi konservatif diindikasikan pada fraktur dengan dislokasi
minimal atau tanpa dislokasi. Tindakan yang paling baik dengan
melakukan operasi reposisi terbuka dan dipasang fiksasi interna dengan
plate-screw.
Fraktur interkondiler humeri9,12
Bila dilakukan tindakan konservatif berupa reposisi dengan
immobilisasi dengan gips sirkuler akan timbul komplikasi berupa
kekakuan sendi (ankilosis). Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan
tindakan operasi reduksi dengan pemasangan internal fiksasi dengan
plate-screw.
Fraktur kondilus lateral & medial humeri9,12
Kalau frakturnya tertutup dapat dicoba dulu dengan melakukan
reposisi tertutup, kemudian dilakukan imbolisasi dengan gips sirkular.
Bila hasilnya kurang baik, perlu dilakukan tindakan operasi reposisi
terbuka dan dipasang fiksasi interna dengan plate-screw. Kalau lukanya
terbuka dilakukan debridement dan dilakukan fiksasi luar.
2.2.7. Komplikasi12
Adapun komplikasi yang dapat terjadi:
1. Tulang
a. Delayed Union
Kecepatan Union pada fraktura berhubungan erat dengan
suplai darah setempat. Pada tempat dengan suplai darah
yang banyak jarang menimbulkan masalah pada
terbentuknya union. Di tempat dengan suplai darah yang
terganggu, maka union yang normal akan lambat terjadi dan
harus dipertahankan immobilisasi yang sempurna sampai
terdapat tanda-tanda union secara klinik dan radiologik.14
Dapat terjadi pada fraktur melintang, terutama bila terlalu
banyak digunakan traksi atau bila pasien belum melatih
fleksor dan ekstensor siku secara aktif,15
b. Non-Union
Dikatakan non-union bila secara radiologik terdapat celah
yang nyata di antara ujung-ujung tulang, disertai sklerosis
fragmen tersebut.14
c. Mal-Union
Suatu fraktur bisa bersatu dalam posisi yang jelek, baik
karena ujung tulang tumpang tindih yang menyebabkan
pemendekan tulang atau karena ujung tulang menyatu dalam
bentuk deformitas anguler.
d. Avascular necrosis
2. Sendi
a. Adhesi
b. Sudeck’s atrophy
Bermula dari Refleks Distrofi Simpatetik (RSD). RSD adalah
sindrom nyeri, hiperestesia, gangguan vasomotor dan
perubahan distrofik pada kulit dan tulang dari ekstremitas
yang terkena. RSD yang terjadi setelah trauma jaringan lunak
dengan temuan atrofi tulang yang predominan, dirujuk
sebagai atrofi tulang sudek.14,16
c. Stiffness
3. Otot dan tendo
a. Post traumatic tendinitis
b. Muscle wasting
c. Myositis ossificans
4. Nervus
a. Neuropraxia
b. Axonotmesis
c. Neurotmesis
5. Arteri
a. Gangguan suplai arteri
c. Traksi
Dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang
terjadi.15
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang
fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 2 macam yaitu:
1.) Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan
menempelkan plester langsung pada kulit untuk
mempertahankan bentuk, membantu menimbulkan spasme
otot pada bagian yang cedera, dan biasanya digunakan untuk
jangka pendek (48-72 jam).
2.) Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang
cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk
dengan memasukkan pins / kawat ke dalam tulang.
2. Imobilisasi
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Sasarannya adalah mempertahankan reduksi di
tempatnya sampai terjadi penyembuhan.
Metode untuk mempertahankan imobilisasi adalah dengan alat-
alat “eksternal” (bebat, brace, case, pen dalam plester, fiksator
eksterna, traksi, balutan) dan alat-alat “internal” (nail, lempeng,
sekrup, kawat, batang, dll).15
3. Terapi rehabilitasi pada fraktur
Problematika Rehabilitasi medik yang sering muncul pada pasca
operasi fraktur humeri sepertiga distal meliputi impairment,
functional, limitation dan disability
a. Impairment
Problematika yang muncul adalah (1) adanya edema
pada lengan atas terjadi karena suatu reaksi radang
atau respon tubuh terhadap cidera jaringan, (2)
adanya nyeri gerak akibat luka sayatan operasi yang
menyebabkan ujung -ujung saraf sensoris teriritasi
dan karena adanya oedem pada daerah sekitar
fraktur, (3) penurunan luas gerak sendi karena
adanya nyeri dan oedem pada daerah sekitar fraktur,
(4) adanya penurunan kekuatan otot karna nyeri.
b. Functional limitation
Terdapat keterbatasan aktifitas fungsional terutama
aktifitas yang menggunakan tangan.
c. Disability
Ketidakmampuan dalam melaksanakan kegiatan
yang berhubungan dengan lingkungan disekitarnya
yaitu kesulitan dalam melakukan aktivitasnya
Terapi latihan merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang
pelaksanaannya menggunakan gerak tubuh baik secara aktif
maupun pasif untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan,
ketahanan dan kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan
fleksibilitas, stabilitas, rileksasi, koordinasi, keseimbangan dan
kemampuan fungsional.17
a. Latihan fisiologis otot
Mengikuti imobilisasi, otot disekitar bagian yang fraktur akan
kehilangan volume, panjang dan kekuatannya. Perlu penentuan
program latihan yang aman untuk mengembalikan panjang dan
fisiologis otot dan mencegah komplikasi sekunder yang
biasanya mengikuti.
b. Mobilisasi sendi
Kekakuan sendi sering terjadi dan menjadi masalah utama ketika
anggota gerak badan tidak digerakkan dalam beberapa minggu.
Fokus rehabilitasi adalah melatih dengan teknik dimana dapat
menambah dan mengembalikan lingkup gerak sendi yang
terpengaruh ketika fraktur sudah sembuh.
Bila di gips, mobilisasi sendi mulai diberikan secara hati-hati
pada minggu kedua. Sedangkan bila dengan internal fixasi, bisa
diberikan sedini mungkin
c. Massage
Pelepasan keketatan otot dan trigger points yang terjadi pada otot
yang mengikuti pembidaian dan penge-gips-an akan mengurangi
nyeri dan mengembalikan panjang otot.
d. Pemanasan dan terapi listrik
Sangat umum terjadi kekakuan jaringan lunak bila imobilisasi
lama. Pemanasan dan terapi listrik menunjukkan manfaat
tambahan bagi terapi manual dan terapi latihan dalam
mengurangi nyeri dan mengembalikan panjang otot.
Waktu Konservatif Operatif
1 -gerak aktif jari-jari dan Gerak pasif sendi siku
minggu pergelangan tangan secara dan bahu dalam batas
penuh untuk mencegah nyeri masih bisa ditolerir
bengkak
-tidak boleh latihan LGS
dan penguatan sendi siku
dan bahu.
2 -Gerak pasif pasif sendi -latihan LGS sendi siku
minggu siku dan bahu dalam batas dan bahu
nyeri bisa ditolerir. -latihan pendulum sendi
-tidak boleh latihan bahu
penguatan. -tidak boleh ada beban.
4-6 -lat. Peningkatan LGS -lat. Peningkatan LGS
minggu sendi siku dan bahu. sendi siku dan bahu.
-latihan -latihan penguatan ringan
penguatan(isometrik dan (isometrik dan isotonik)
isotonik) -latihan beban ringan
-latihan beban ringan
-gunakan tangan untuk
aktivitas sehari-hari.
8-12 -Full Weight Bearing Aktifitas penuh
Minggu ( push up)
-latihan peningkatan LGS
sendi siku dan bahu.
-latihan penguatan dengan
beban ditingkatkan.
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Fraktur Humeri adalah terputusnya kontinuitas tulang humerus
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
2. Fraktur pada humerus dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu
karena trauma tunggal, tekanan yang berulang-ulang, atau
kelemahan abnormal pada tulang.
3. Problematika fisioterapi yang sering muncul pada pasca operasi
fraktur humeri sepertiga tengah meliputi impairment, functional
limitation dan disability.
4. Penanganan rehabilitasi medik seperti fisioterapi harus segera
dilakukan sehingga komplikasi yang sifatnya menetap dapat
dicegah. Penanganan fisioterapi berupa meningkatkan kekuatan
otot, menambah lingkup gerak sendi dengan modalitas terapi
berupa latihan. Dimulai dari gerakan isometric, dilanjutkan
gerakan isotonic secara bertahap berupa ROM exercise, dan
latihan gerak fungsional berupa latihan duduk, latihan berdiri,
dan latihan berjalan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rasjad, C., dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2010, Bab
42; Sistem Muskuloskeletal.
2. Rasjad, C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif
Watampone, 2007, Bab. 14; Trauma.
3. Tortora G.J. & Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology 12 th
Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 8; The Skeletal
System: The Appendicular Skeleton.
4. Tortora G.J. & Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology 12th
Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 11; The
Muscular System.
5. Standring, S. Gray’s Anatomy 39th Edition. USA: Elsevier, 2008, Chapter
48; General Organization and Surface Anatomy of The Upper Limb.
6. Wang, E.D. & Hurst, L.C. Netter’s Orthopaedics 1st Edition. Philadelphia:
Elsevier, 2006, Chapter 15; Elbow and Forearm.
7. Emedicine. 2012. Humerus Fracture. Accessed: 2nd February 2012.
Available from : http://emedicine.medscape.com/article/825488-
overview
8. Aaron N., Michael D.M., et.al., 2011. Distal Humeral Fractures in Adults.
Accessed: 2nd February 2012. Available from:
http://www.jbjs.org/article.aspx?articleid=35415
9. Egol, K.A., Koval, K.J., Zuckerman, J. D. Handbook Of Fractures.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins. 2010:p. 193-229;604-614
10. Thompson, J.C. Netter’s: Concise Otrhopaedic Anatomy 2nd ed.
Philadelphia: Elsevier Inc. 2010:p. 109-116.
11. Noffsinger, M. A. Supracondylar Humerus Fractures. Available at
www.emedicine.com. Accessed on 4thMarch 2012
12. Reksoprodjo, S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher, 2009, Bab 9; Orthopaedi.
13. Purwadianto A, Budi S. Kedaruratan Medik. Jakarta: Binarupa Aksara,
2000, Bab 7; Kedaruratan Sistim Muskuloskeletal.
14. Aston, M., Hughes, S. 1983. Kapita Selekta Traumatologik dan
Ortopedik (Aston’s Short Textbook of Orthopedics and Traumatology).
EGC: Jakarta.
15. Appley A. G., Solomon L. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem
Appley, Edisi Ketujuh. Jakarta: Widya Medika.