Referat Ayu Rehabilitasi Medik Fraktur Humerus

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 32

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Fraktur humerus merupakan diskontinuitas jaringan tulang humerus.
Fraktur tersebut umumnya disebabkan oleh trauma. Selain dapat
menimbulkan patah tulang (fraktur), trauma juga dapat mengenai jaringan
lunak sekitar tulang humerus tersebut, misalnya vulnus (luka), perdarahan,
memar (kontusio), regangan atau robek parsial (sprain), putus atau robek
(avulsi atau ruptur), gangguan pembuluh darah, dan gangguan saraf
(neuropraksia, aksonotmesis, neurolisis).1
Setiap fraktur dan kerusakan jaringan lunak sekitar tulang tersebut
harus ditanggulangi sesuai dengan prinsip penanggulangan cedera
muskuloskeletal. Prinsip tersebut meliputi rekognisi (mengenali), reduksi
(mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan rehabilitasi. 1,2
Agar penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang
terjadi, baik pada tulang maupun jaringan lunaknya. Mekanisme trauma
juga sangat penting untuk diketahui.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Humerus dan Jaringan Sekitarnya


Humerus (arm bone) merupakan tulang terpanjang dan terbesar dari
ekstremitas superior. Tulang tersebut bersendi pada bagian proksimal
dengan skapula dan pada bagian distal bersendi pada siku lengan dengan
dua tulang, ulna dan radius.3
Ujung proksimal humerus memiliki bentuk kepala bulat (caput humeri)
yang bersendi dengan kavitas glenoidalis dari scapula untuk membentuk
articulatio gleno-humeri. Pada bagian distal dari caput humeri terdapat
collum anatomicum yang terlihat sebagai sebuah lekukan oblik. Tuberculum
majus merupakan sebuah proyeksi lateral pada bagian distal dari collum
anatomicum. Tuberculum majus merupakan penanda tulang bagian paling
lateral yang teraba pada regio bahu. Antara tuberculum majus dan
tuberculum minus terdapat sebuah lekukan yang disebut sebagai sulcus
intertubercularis. Collum chirurgicum merupakan suatu penyempitan
humerus pada bagian distal dari kedua tuberculum, dimana caput humeri
perlahan berubah menjadi corpus humeri. Bagian tersebut dinamakan
collum chirurgicum karena fraktur sering terjadi pada bagian ini.3
Corpus humeri merupakan bagian humerus yang berbentuk seperti
silinder pada ujung proksimalnya, tetapi berubah secara perlahan menjadi
berbentuk segitiga hingga akhirnya menipis dan melebar pada ujung
distalnya. Pada bagian lateralnya, yakni di pertengahan corpus humeri,
terdapat daerah berbentuk huruf V dan kasar yang disebut sebagai
tuberositas deltoidea. Daerah ini berperan sebagai titik perlekatan tendon
musculus deltoideus.3
Beberapa bagian yang khas merupakan penanda yang terletak pada
bagian distal dari humerus. Capitulum humeri merupakan suatu struktur
seperti tombol bundar pada sisi lateral humerus, yang bersendi dengan
caput radii. Fossa radialis merupakan suatu depresi anterior di atas
capitulum humeri, yang bersendi dengan caput radii ketika lengan
difleksikan. Trochlea humeri, yang berada pada sisi medial dari capitulum
humeri, bersendi dengan ulna. Fossa coronoidea merupakan suatu depresi
anterior yang menerima processus coronoideus ulna ketika lengan
difleksikan. Fossa olecrani merupakan suatu depresi posterior yang besar
yang menerima olecranon ulna ketika lengan diekstensikan. Epicondylus
medialis dan epicondylus lateralis merupakan suatu proyeksi kasar pada
sisi medial dan lateral dari ujung distal humerus, tempat kebanyakan tendon
otot-otot lengan menempel. Nervus ulnaris, suatu saraf yang dapat
membuat seseorang merasa sangat nyeri ketika siku lengannya terbentur,
dapat dipalpasi menggunakan jari tangan pada permukaan kulit di atas area
posterior dari epicondylus medialis.3
Berikut ini merupakan tabel tentang saraf dan otot yang
menggerakkan humerus.
Tabel 2.1. Saraf dan Otot yang Menggerakkan Humerus4
Otot Origo Insertio Aksi Persarafan
Otot-Otot Aksial yang Menggerakkan Humerus
M. Clavicula, Tuberculum Aduksi dan Nervus
pectoralis sternum, majus dan merotasi medial pectoralis
major cartilago sisi lateral lengan pada sendi medialis dan
costalis II- sulcus bahu; kepala lateralis
VI, intertubercul clavicula
terkadang aris dari memfleksikan
cartilago humerus lengan dan kepala
costalis I-VII sternocostal
mengekstensikan
lengan yang fleksi
tadi ke arah
truncus
M. Spina T7- Sulcus Ekstensi, aduksi, Nervus
latissimus L5, intertubercul dan merotasi thoracodorsalis
dorsi vertebrae aris dari medial lengan
lumbales, humerus pada sendi bahu;
crista menarik lengan ke
sacralis dan arah inferior dan
crista iliaca, posterior
costa IV
inferior
melalui
fascia
thoracolumb
alis
Otot-Otot Scapula yang Menggerakkan Humerus
M. Extremitas Tuberositas Serat lateral Nervus axillaris
deltoideus acromialis deltoidea mengabduksi
dari dari lengan pada sendi
clavicula, humerus bahu; serat
acromion anterior
dari scapula memfleksikan dan
(serat merotasi medial
lateral), dan lengan pada sendi
spina bahu, serat
scapulae posterior
(serat mengekstensikan
posterior) dan merotasi
lateral lengan
pada sendi bahu.
M. Fossa Tuberculum Merotasi medial Nervus
subscapularis subscapularis minus dari lengan pada sendi subscapularis
dari scapula humerus bahu
M. Fossa Tuberculum Membantu M. Nervus
supraspinatus supraspinata majus dari deltoideus subscapularis
dari scapula humerus mengabduksi
pada sendi bahu
M. Fossa Tuberculum Merotasi lateral Nervus
infraspinatus infraspinata majus dari lengan pada sendi suprascapularis
dari scapula humerus bahu
M. teres Angulus Sisi medial Mengekstensikan Nervus
major inferior dari sulcus lengan pada sendi subscapularis
scapula intertubercu bahu dan
laris membantu aduksi
dan rotasi medial
lengan pada sendi
bahu
M. teres Margo Tuberculum Merotasi lateral Nervus axillaris
minor lateralis majus dari dan ekstensi
inferior dari humerus lengan pada sendi
scapula bahu
M. coraco- Processus Pertengahan Memfleksikan dan Nervus
brachialis coracoideus sisi medial aduksi lengan musculocutaneus
dari scapula dari corpus pada sendi bahu
humeri
Anatomic neck

Gambar 2.1. Tampilan Anterior Humerus5

Anatomic neck

Gambar 2.2. Tampilan Posterior Humerus5


Gambar 2.3. Tampilan Anterior Saraf di Sekitar Humerus5

Gambar 2.4. Tampilan Lateral Saraf di Sekitar Humerus5


Gambar 2.5. Tampilan Aliran Darah di Sekitar Humerus5

Di bagian posterior tengah humerus, melintas nervus radialis yang


melingkari periosteum diafisis humerus dari proksimal ke distal dan mudah
mengalami cedera akibat patah tulang humerus bagian tengah. Secara
klinis, pada cedera nervus radialis didapati ketidakmampuan melakukan
ekstensi pergelangan tangan sehingga pasien tidak mampu melakukan
fleksi jari secara efektif dan tidak dapat menggenggam.1
Gambar 2.6. Nervus Radialis dan Otot-Otot yang Disarafinya6

2.2 Fraktur Humerus


2.2.1. Definisi
Fraktur humerus adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan
sendi, tulang rawan epifisial baik yang bersifat total maupun parsial pada
tulang humerus.2
2.2.2. Etiologi
Kebanyakan fraktur dapat saja terjadi karena kegagalan tulang
humerus menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan
tarikan.2
Trauma dapat bersifat2:
1. Langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan
terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya
bersifat kominutif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
2. Tidak langsung
Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah
yang lebih jauh dari daerah fraktur.
Tekanan pada tulang dapat berupa2:
1. Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral
2. Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal
3. Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur
impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi
4. Kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau
memecah
5. Trauma oleh karena remuk
6. Trauma karena tarikan pada ligament atau tendon akan menarik
sebagian tulang

2.2.3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, fraktur diafisis humerus terjadi sebanyak 1,2%
kasus dari seluruh kejadian fraktur, dan fraktur proksimal humerus terjadi
sebanyak 5,7% kasus dari seluruh fraktur.7 Sedangkan kejadian fraktur
distal humerus terjadi sebanyak 0,0057% kasus dari seluruh fraktur.8
Walaupun berdasarkan data tersebut fraktur distal humerus merupakan
yang paling jarang terjadi, tetapi telah terjadi peningkatan jumlah kasus,
terutama pada wanitu tua dengan osteoporosis.8
Fraktur proksimal humerus sering terjadi pada usia dewasa tua
dengan umur rata-rata 64,5 tahun. Sedangkan fraktur proksimal humerus
merupakan fraktur ketiga yang paling sering terjadi setelah fraktur pelvis
dan fraktur distal radius. Fraktur diafisis humerus lebih sering pada usia
yang sedikit lebih muda yaitu pada usia rata-rata 54,8 tahun.7

2.2.4. Klasifikasi
Fraktur humerus dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Fraktur Proximal Humerus
2. Fraktur Shaft Humerus
3. Fraktur Distal Humerus
2.2.4.1. Fraktur Proksimal Humerus(9,10)
Pada fraktur jenis ini, insidensinya meningkat pada usia yang lebih
tua. Perbandingan wanita dan pria adalah 2:1. Mekanisme trauma pada
orang dewasa tua biasa dihubungkan dengan kerapuhan tulang
(osteoporosis). Pada pasien dewasa muda, fraktur ini dapat terjadi karena
high-energy trauma, contohnya kecelakaan lalu lintas sepeda motor.
Mekanisme yang jarang terjadi antara lain peningkatan abduksi bahu,
trauma langsung, kejang, proses patologis: malignansi.
Gejala klinis pada fraktur ini adalah nyeri, bengkak, nyeri tekan, nyeri
pada saat digerakkan, dan dapat teraba krepitasi. Ekimosis dapat terlihat
dinding dada dan pinggang setelah terjadi cedera. Hal ini harus dibedakan
dengan cedera toraks.
Menurut Neer, proksimal humerus dibentuk oleh 4 segmen tulang:
1. Caput/kepala humerus
2. Tuberkulum mayor
3. Tuberkulum minor
4. Diafisis atau shaft
Klasifikasi menurut Neer, antara lain:
1. One-part fracture : tidak ada pergeseran fragmen, namun terlihat garis
fraktu
2. Two-part fracture :
 anatomic neck
 surgical neck
 Tuberculum mayor
 Tuberculum minor
3. Three-part fracture :
 Surgical neck dengan tuberkulum mayor
 Surgical neck dengan tuberkulum minus
4. Four-part fracture
5. Fracture-dislocation
6. Articular surface fracture
I

MINIMAL DISPLACEMENT

2-PART 3-PART 4-PART

II

ANATOMICAL NECK

III

SURGICALL NECK

IV

GREATER TUBEROSITY

LESSER TUBEROSITY

ARTICULAR SURFACE

VI

FRACTURE DISLOCATION

P
2.2.4.2. Fraktur Shaft Humerus(9)
Fraktur ini adalah fraktur yang sering terjadi. 60% kasus adalah
fraktur sepertiga tengah diafisis, 30% fraktur sepertiga proximal diafisis dan
10% sepertiga distal diafisis. Mekanisme terjadinya trauma dapat secara
langsung maupun tidak langsung.
Gejala klinis pada jenis fraktur ini adalah nyeri, bengkak, deformitas,
dan dapat terjadi pemendekan tulang pada tangan yang fraktur.
Pemeriksaan neurovaskuler adalah penting dengan memperhatikan fungsi
nervus radialis. Pada kasus yang sangat bengkak, pemeriksaan
neurovaskuler serial diindikasikan untuk mengenali tanda-tanda dari
sindroma kompartemen. Pada pemeriksaan fisik terdapat krepitasi pada
manipulasi lembut.

2.2.4.3. Fraktur Distal Humerus9


Fraktur ini jarang terjadi pada dewasa. Kejadiannya hanya sekitar
2% untuk semua kejadian fraktur dan hanya sepertiga bagian dari seluruh
kejadian fraktur humerus.(9)
Gejala klinis dari fraktur ini antara lain pada daerah siku dapat terlihat
bengkak, kemerahan, nyeri, kaku sendi dan biasanya pasien akan
mengeluhkan siku lengannya seperti akan lepas. Kemudian dari perabaan
(palpasi) terdapat nyeri tekan, krepitasi, dan neurovaskuler dalam batas
normal.(9,10)

2.2.5. Diagnosis
2.2.5.1. Anamnesis12
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera
(posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera
tersebut, riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi,
pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan
riwayat osteoporosis serta penyakit lain
2.2.5.2. Pemeriksaan Fisik2,12
a. Inspeksi / Look
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka
- Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam samapai
beberapa hari
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
kependekan
b. Palpasi / Feel ( nyeri tekan /tenderness, krepitasi)
Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa.
Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut,
meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang
mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi
Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi arteri,
warna kulit, pengembalian cairan kapiler (capillary refill test),
temperatur daerah sekitar fraktur.
c. Gerakan/ moving
Dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang
berdekatan dengan lokasi fraktur.
Anggota gerak atas :
- Sendi bahu : sebaiknya gerakan diperiksa bersamaan kanan dan
kiri; pemeriksa berdiri di belakang pasien, kecuali untuk
eksorotasi atau bila penderita berbaring, maka pemeriksa ada di
samping pasien.
- Sendi siku:
Gerak fleksi ekstensi adalah gerakan ulna humeral (olecranon
terhadap humerus). Gerak pronasi dan supinasi diperiksa pada
posisi siku 90˚ untuk menghindari gerak rotasi dari sendi bahu.
- Sendi pergelangan tangan:
Diperiksa gerakan ekstensi-fleksi dan juga radial dan ulnar
deviasi.
- Jari tangan:
Ibu jari merupakan bagian yang penting karena mempunyai
gerakan aposisi terhadap jari-jari lainnya selain abduksi dan
adduksi, ekstensi, dan fleksi.
d. Pemeriksaan trauma di tempat lain : kepala, toraks, abdomen, pelvis
Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal
dilakukan menurut protocol ATLS. Langkah pertama adalah menilai
airway, breathing, dan circulation. Perlindungan pada vertebra
dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan dengan
pemeriksaan klinis dan radiologis. Saat pasien stabil, maka
dilakukan secondary survey.

2.2.5.3 Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium : darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan
darah, cross-test, dan urinalisa
b. Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two yaitu :
I. 2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral
II. Memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur
III. Memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang
cedera dan yang tidak terkena cedera (pada anak) ; dan dua kali,
yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan

2.2.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum13:
1. Bila terjadi trauma, dilakukan primary survey terlebih dahulu.
2. Sebelum penderita diangkut, pasang bidai untuk mengurangi nyeri,
mencegah (bertambahnya) kerusakan jaringan lunak dan makin
buruknya kedudukan fraktur. Bila tidak terdapat bahan untuk bidai, maka
bila lesi di anggota gerak bagian atas untuk sementara anggota yang
sakit dibebatkan ke badan penderita.
Pilihan adalah terapi konservatif atau operatif. Pilihan harus
mengingat tujuan pengobatan fraktur yaitu mengembalikan fungsi tulang
yang patah dalam jangka waktu sesingkat mungkin.12
a. Fraktur proksimal humeri9,12
Pada fraktur impaksi tidak diperlukan tindakan reposisi. Lengan yang
cedera diistirahatkan dengan memakai gendongan (sling) selama 6
minggu. Selama waktu itu penderita dilatih untuk menggerakkan sendi
bahu berputar sambil membongkokkan badan meniru gerakan bandul
(pendulum exercise). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kekakuan
sendi.
Pada penderita dewasa bila terjadi dislokasi abduksi dilakukan
reposisi dan dimobilisasi dengan gips spica, posisi lengan dalam
abduksi (shoulder spica).
b. Fraktur shaft humeri 9,12
Pada fraktur humerus dengan garis patah transversal, apabila terjadi
dislokasi kedua fragmennya dapat dilakukan reposisi tertutup dalam
narkose. Bila kedudukn sudah cukup baik, dilakukan imobilisasi dengan
gips berupa U slab (sugar tong splint). Immobilisasi dipertahankan
selama 6 minggu.
Teknik pemasangan gips yang lain yaitu dengan hanging cast.
hanging cast terutama dipakai pada pnderita yang dapat berjalan
dengan posisi fragmen distal dan proksimal terjadi contractionum
(pemendekan).
Apabila pada fraktur humerus ini disertai komplikasi cedera
n.Radialis, harus dilakukan open reduksi dan internal fiksasi dengan
plate-screw untuk humerus disertai eksplorasi n. Radialis. Bila
ditemukan n. Radialis putus (neurotmesis) dilakukan penyambungan
kembali dengan teknik bedah mikro. Kalau ditemukan hanya
neuropraksia atau aksonotmesis cukup dengan konservatif akan baik
kembali dalam waktu beberapa minggu hingga 3 bulan.
c. Fraktur distal humerus
 Fraktur suprakondiler humeri9,12
Kalau pembengkakan tak hebat dapat dilakukan reposisi dalam
narkose umum. Setelah tereposisi, posisi siku dibuat fleksi diteruskan
sampai a.Radialis mulai tak teraba. Kemudian diekstensi siku sedikit
untuk memastikan a.Radialis teraba lagi. Dalam posisi fleksi maksimal
ini dilakukan imobilisasi dengan gips spal. Posisi fleksi maksimal
dipindahkan karena penting untuk menegangkan otot trisep yang
berfungsi sebagai internal splint.
Kalau dalam pengontrolan dengan radiologi hasilnya sangat baik
gips dapat dipertahankan dalam waktu 3-6 minggu. Kalau dalam
pengontrolan pasca reposisi ditemukan tanda Volkmann’s iskaemik
secepatnya posisi siku diletakkan dalam ekstensi, untuk
immobilisasinya diganti dengan skin traksi dengan sistem Dunlop.
Pada penderita dewasa kebanyakan patah di daerah suprakondiler
garis patahnya berbentuk T atau Y, yang membelah sendi untuk
menanggulangi hal ini lebih baik dilakukan tindakan operasi dengan
pemasangan internal fiksasi.
 Fraktur transkondiler humeri9,12
Terapi konservatif diindikasikan pada fraktur dengan dislokasi
minimal atau tanpa dislokasi. Tindakan yang paling baik dengan
melakukan operasi reposisi terbuka dan dipasang fiksasi interna dengan
plate-screw.
 Fraktur interkondiler humeri9,12
Bila dilakukan tindakan konservatif berupa reposisi dengan
immobilisasi dengan gips sirkuler akan timbul komplikasi berupa
kekakuan sendi (ankilosis). Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan
tindakan operasi reduksi dengan pemasangan internal fiksasi dengan
plate-screw.
 Fraktur kondilus lateral & medial humeri9,12
Kalau frakturnya tertutup dapat dicoba dulu dengan melakukan
reposisi tertutup, kemudian dilakukan imbolisasi dengan gips sirkular.
Bila hasilnya kurang baik, perlu dilakukan tindakan operasi reposisi
terbuka dan dipasang fiksasi interna dengan plate-screw. Kalau lukanya
terbuka dilakukan debridement dan dilakukan fiksasi luar.

2.2.7. Komplikasi12
Adapun komplikasi yang dapat terjadi:
1. Tulang
a. Delayed Union
Kecepatan Union pada fraktura berhubungan erat dengan
suplai darah setempat. Pada tempat dengan suplai darah
yang banyak jarang menimbulkan masalah pada
terbentuknya union. Di tempat dengan suplai darah yang
terganggu, maka union yang normal akan lambat terjadi dan
harus dipertahankan immobilisasi yang sempurna sampai
terdapat tanda-tanda union secara klinik dan radiologik.14
Dapat terjadi pada fraktur melintang, terutama bila terlalu
banyak digunakan traksi atau bila pasien belum melatih
fleksor dan ekstensor siku secara aktif,15
b. Non-Union
Dikatakan non-union bila secara radiologik terdapat celah
yang nyata di antara ujung-ujung tulang, disertai sklerosis
fragmen tersebut.14
c. Mal-Union
Suatu fraktur bisa bersatu dalam posisi yang jelek, baik
karena ujung tulang tumpang tindih yang menyebabkan
pemendekan tulang atau karena ujung tulang menyatu dalam
bentuk deformitas anguler.
d. Avascular necrosis
2. Sendi
a. Adhesi
b. Sudeck’s atrophy
Bermula dari Refleks Distrofi Simpatetik (RSD). RSD adalah
sindrom nyeri, hiperestesia, gangguan vasomotor dan
perubahan distrofik pada kulit dan tulang dari ekstremitas
yang terkena. RSD yang terjadi setelah trauma jaringan lunak
dengan temuan atrofi tulang yang predominan, dirujuk
sebagai atrofi tulang sudek.14,16
c. Stiffness
3. Otot dan tendo
a. Post traumatic tendinitis
b. Muscle wasting
c. Myositis ossificans
4. Nervus
a. Neuropraxia
b. Axonotmesis
c. Neurotmesis
5. Arteri
a. Gangguan suplai arteri

2.3 Rehabilitasi Medik Pasca Fraktur


Terapi yang digunakan pada kasus fraktur dapat berupa terapi latihan
maupun terapi dengan modalitas. Terapi dengan modalitas yang sering
digunakan yaitu traksi, yang dapat mereposisi kembali tulang yang fraktur,
sekaligus juga dapat mengurangi nyeri yang timbul di daerah fraktur.
Prinsip-prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan
pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi
1. Reduksi
Adalah restorasi fragmen fraktur sehingga didapati posisi yang
dapat diterima. Reduksi fraktur (setting tulang) berarti
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan posisi
anatomis normal. Sasarannya adalah untuk memperbaiki fragmen-
fragmen fraktur pada posisi anatomik normalnya. Metode untuk
reduksi adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka.
Metode reduksi :
a. Reduksi tertutup (Manipulasi atau close reduction)
Pada kebanyakan kasus reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan “Manipulasi dan Traksi manual”.
b. Reduksi terbuka (Open Reduction)
Reduksi bedah pada fraktur dengan penglihatan langsung
diindikasikan: (a) bila reduksi tertutup gagal, baik karena kesulitan
mengendalikan fragmen atau karena terdapat jaringan lunak
diantara fragmen-fragmen tersebut, (b) bla terdapat fragmen
artikular besar yang perlu ditempatkan secara tepat, (c) bila
terdapat fraktur traksi yang fragmennya terpisah. Biasanya reduksi
terbuka merupakan langkah pertama untuk fiksasi internal (open
reduction, internal fixation / ORIF). Alat fiksasi interna dalam
bentuk pin, kawat, sekrup, palt, paku atau batangan logam dapat
digunakan untuk mempertahan kan fragmen tulang dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.

c. Traksi
Dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang
terjadi.15
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang
fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 2 macam yaitu:
1.) Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan
menempelkan plester langsung pada kulit untuk
mempertahankan bentuk, membantu menimbulkan spasme
otot pada bagian yang cedera, dan biasanya digunakan untuk
jangka pendek (48-72 jam).
2.) Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang
cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk
dengan memasukkan pins / kawat ke dalam tulang.
2. Imobilisasi
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Sasarannya adalah mempertahankan reduksi di
tempatnya sampai terjadi penyembuhan.
Metode untuk mempertahankan imobilisasi adalah dengan alat-
alat “eksternal” (bebat, brace, case, pen dalam plester, fiksator
eksterna, traksi, balutan) dan alat-alat “internal” (nail, lempeng,
sekrup, kawat, batang, dll).15
3. Terapi rehabilitasi pada fraktur
Problematika Rehabilitasi medik yang sering muncul pada pasca
operasi fraktur humeri sepertiga distal meliputi impairment,
functional, limitation dan disability
a. Impairment
Problematika yang muncul adalah (1) adanya edema
pada lengan atas terjadi karena suatu reaksi radang
atau respon tubuh terhadap cidera jaringan, (2)
adanya nyeri gerak akibat luka sayatan operasi yang
menyebabkan ujung -ujung saraf sensoris teriritasi
dan karena adanya oedem pada daerah sekitar
fraktur, (3) penurunan luas gerak sendi karena
adanya nyeri dan oedem pada daerah sekitar fraktur,
(4) adanya penurunan kekuatan otot karna nyeri.
b. Functional limitation
Terdapat keterbatasan aktifitas fungsional terutama
aktifitas yang menggunakan tangan.
c. Disability
Ketidakmampuan dalam melaksanakan kegiatan
yang berhubungan dengan lingkungan disekitarnya
yaitu kesulitan dalam melakukan aktivitasnya
Terapi latihan merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang
pelaksanaannya menggunakan gerak tubuh baik secara aktif
maupun pasif untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan,
ketahanan dan kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan
fleksibilitas, stabilitas, rileksasi, koordinasi, keseimbangan dan
kemampuan fungsional.17
a. Latihan fisiologis otot
Mengikuti imobilisasi, otot disekitar bagian yang fraktur akan
kehilangan volume, panjang dan kekuatannya. Perlu penentuan
program latihan yang aman untuk mengembalikan panjang dan
fisiologis otot dan mencegah komplikasi sekunder yang
biasanya mengikuti.
b. Mobilisasi sendi
Kekakuan sendi sering terjadi dan menjadi masalah utama ketika
anggota gerak badan tidak digerakkan dalam beberapa minggu.
Fokus rehabilitasi adalah melatih dengan teknik dimana dapat
menambah dan mengembalikan lingkup gerak sendi yang
terpengaruh ketika fraktur sudah sembuh.
Bila di gips, mobilisasi sendi mulai diberikan secara hati-hati
pada minggu kedua. Sedangkan bila dengan internal fixasi, bisa
diberikan sedini mungkin
c. Massage
Pelepasan keketatan otot dan trigger points yang terjadi pada otot
yang mengikuti pembidaian dan penge-gips-an akan mengurangi
nyeri dan mengembalikan panjang otot.
d. Pemanasan dan terapi listrik
Sangat umum terjadi kekakuan jaringan lunak bila imobilisasi
lama. Pemanasan dan terapi listrik menunjukkan manfaat
tambahan bagi terapi manual dan terapi latihan dalam
mengurangi nyeri dan mengembalikan panjang otot.
Waktu Konservatif Operatif
1 -gerak aktif jari-jari dan Gerak pasif sendi siku
minggu pergelangan tangan secara dan bahu dalam batas
penuh untuk mencegah nyeri masih bisa ditolerir
bengkak
-tidak boleh latihan LGS
dan penguatan sendi siku
dan bahu.
2 -Gerak pasif pasif sendi -latihan LGS sendi siku
minggu siku dan bahu dalam batas dan bahu
nyeri bisa ditolerir. -latihan pendulum sendi
-tidak boleh latihan bahu
penguatan. -tidak boleh ada beban.
4-6 -lat. Peningkatan LGS -lat. Peningkatan LGS
minggu sendi siku dan bahu. sendi siku dan bahu.
-latihan -latihan penguatan ringan
penguatan(isometrik dan (isometrik dan isotonik)
isotonik) -latihan beban ringan
-latihan beban ringan
-gunakan tangan untuk
aktivitas sehari-hari.
8-12 -Full Weight Bearing Aktifitas penuh
Minggu ( push up)
-latihan peningkatan LGS
sendi siku dan bahu.
-latihan penguatan dengan
beban ditingkatkan.

Sedangkan terapi latihan dapat berupa :


1. Range of Motion (ROM)
Gerakan sebuah sendi dengan jangkauan parsial atau penuh yang
bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan jangkauan gerak sendi
 ROM penuh (full ROM)
ROM penuh artinya ROM yang sesuai dengan dasar
anatomi dari sendi itu sendiri
 ROM fungsional
ROM fungsional adalah gerakan sendi yang diperlukan
dalam melakukan aktifitas sehari-hari atau kegiatan pasien
yang spesifik. Contohnya: ROM lutut dari ekstensi penuh
(00) sampai fleksi 900 merupakan ROM yang tidak penuh,
tetapi ROM ini fungsional untuk duduk.
 ROM aktif
Pasien disuruh melakukan gerakan sendi secar parsial atau
penuh tanpa bantuan orang lain. Tujuannya untuk
memelihara ROM dan kekuatan minimal akibat kurang
aktifitas dan menstimulasi sistemkardiopulmoner,
Sasarannya otot dengan kekuatan poor sampai dengan
good (2 sampai dengan 4).
 ROM aktif assistive
Pada latihan ini pasien disuruh kontraksikan ototnya untuk
menggerakkan sendi, dan ahli terapi membantu pasien
dalam melakukannya.
 ROM pasif
Latihan ini dengan menggerakkan sendi tanpa kontraksi otot
pasien. Seluruh gerakan dilakukan oleh dokter atau terapis.
Tujuannya memelihara mobilitas sendi ketika kontrol dari
otot-otot volunter/ sendi hilang atau pasien tidak sadar/ tidak
ada respon. Sasarannya otot dengan kekuatan zerro-trace
(0-1).

2. Terapi latihan merupakan salah satu modalitas terapi yang


pelaksanaannya menggunakan gerak tubuh baik secara aktif
maupun pasif untuk perbaikan dan pemeliharaan kekuatan
katahanan, dan kemampuan vaskular, mobilitas, fleksibilitas,
stabilitas, rileksasi, koordinasi, keseimbangan, dan kemampuan
fungsional
 Static contraction
Static contraction merupakan suatu terapi latihan dengan
cara mengkontraksikan otot tanpa disertai perubahan
panjang otot maipin pergerakan sendi. Tujuan kontraksi
isometris ini adalah pumping action pembuluh darah balik,
yaitu terjadinya peningkatan perifer resistance of blood
vessel. Dengan adanya hambatan pada perifer maka akan
didapatkan peningkatan tekanan darah dan secara otomatis
caridiac output akan meningkat sehingga mekanisme
metabolisme menjadi landar dan udem menjadi menurun,
dan akhirnya nyeri berkurang.
 Relaxed passive exercise
Gerakan murni berasal dari luar atau terapis tanpa disertai
gerakan dari anggota tubuh pasien. Gerakan ini bertujuan
untuk melatih otot secara pasif, oleh karena itu gerakan
berasal dariluar atau terapis sehingga dengan gerak
Relaxed passive exercise ini diharapkan otot menjadi rileks
dan menyebabkan efek penguranangan atau penurunan
nyeri akibat insisi serta mencegah terjadinya keterbatasan
gerak serta menjaga elastisitas otot.
 Hold relax
Hold Relax merupakan teknik latihan yang menggunakan
kontraksi otot secara isometrik kelompok antagonis yang
diikuti rileksasi otot tersebut.
 Active exercise
Active exercise merupakan gerakan yang dilakukan ikeh
adany kekuatan otot dan anggota tubuh itu sendiri tanpa
bantuan, gerakan yang dilakukan melawan grafitasi penuh.

3. Latihan Kekuatan (strengthening exercise)


Syarat melakukan latihan ini adalah kekuatan otot di atas fair (50%)
dan beban di atas 35% dari kemampuan otot.
1) Isometric exercise
Pada latihan ini panjang otot tidak bertambah, terjadi kontraksi
otot tanpa pergerakan sendi. Kontraksi optimal enam detik, 1
kali perhari. Bertujuan untuk meningkatkan penguatan oto ketika
ada kontraksi lain seperti fraktur yang tidak stabil atau adanya
nyeri
2) Isotonic exercise
Merupakan latihan dinamis menggunakan beban statis, tetapi
kesepakatan gerak otot tidak dikontrol. Kontraksi bersamaan
dengan gerak sendi. Latihan ini sering digunakan untuk
meningkatkan kekuatan otot pada tahap pertengahan dan tahap
akhir dari rehabilitasi medik
3) Isokinetic exercise
Pada latihan ini kecepatan gerak sendi konstan beban dinamin
tetapi kecepatan gerak tetap. Latihan ini digunakan pada
rehabilitasi tahap akhir.
e. Okupasi terapi
Tujuan OT adalah membantu seseorang menjadi mandiri dalam
beraktifitas baik dengan alat bantu ataupun tanpa alat bantu
terutama untuk aktivitas kesehariannya (makan, minum, mandi,
berpakaian, dan lainnya).
Jenis-jenis aktifitas yang dilakukan dalan terapi okupasi:
1) Aktivitas sehari-hari
Okupasi terapis melatih aktifitas-aktifitas sehari-hari seperti
memakai / melepas / mengancingkan baju, transfer dari kursi
roda ke toilet / kursi / tempat tidur, makan, minum, mandi,
berhias, menggosok gigi, membersihkan setelah BAB / BAK.
2) Aktivitas rumah tangga
Okupasi terapis melatih untuk dapat melakukan kegiatan
rumah tangga seperti mencuci, menyetrika baju, memasak,
dsb dengan memaksimalkan kemampuannya
3) Aktivitas di waktu luang
Aktifitas ini lebih dikenal dengan Program Box system. Selain
berfungsi untuk mengisi waktu luang, juga berfungsi untuk
menstimulasi fungsi kognitif serta meningkatkan fungsi
motorik halus

Permasalahan Rehabilitasi Medik


Masalah rehabilitasi pada fraktur humerus :
a. Nyeri
b. Bengkak
c. Keterbatasan gerak
d. Gangguan fungsional dalam ADL (Activity Daily Living)
e. Pada tahap lanjut dapat terjadi disuse atrofi pada lengan yang
cedera
Edukasi
Dalam hal ini pasien diberi pengertian tentang kondisinya dan
harus berusaha mencegah cedera ulang atau komplikasi lebih lanjut
dengan cara aktifitas sesuai kondisi yang telah diajarkan oleh terapis. Di
samping itu juga peran keluarga sangatlah penting untuk membantu dan
mengawasi segala aktifitas pasien di lingkungan masyarakatnya.
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
1. Fraktur Humeri adalah terputusnya kontinuitas tulang humerus
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
2. Fraktur pada humerus dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu
karena trauma tunggal, tekanan yang berulang-ulang, atau
kelemahan abnormal pada tulang.
3. Problematika fisioterapi yang sering muncul pada pasca operasi
fraktur humeri sepertiga tengah meliputi impairment, functional
limitation dan disability.
4. Penanganan rehabilitasi medik seperti fisioterapi harus segera
dilakukan sehingga komplikasi yang sifatnya menetap dapat
dicegah. Penanganan fisioterapi berupa meningkatkan kekuatan
otot, menambah lingkup gerak sendi dengan modalitas terapi
berupa latihan. Dimulai dari gerakan isometric, dilanjutkan
gerakan isotonic secara bertahap berupa ROM exercise, dan
latihan gerak fungsional berupa latihan duduk, latihan berdiri,
dan latihan berjalan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rasjad, C., dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2010, Bab
42; Sistem Muskuloskeletal.
2. Rasjad, C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif
Watampone, 2007, Bab. 14; Trauma.
3. Tortora G.J. & Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology 12 th
Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 8; The Skeletal
System: The Appendicular Skeleton.
4. Tortora G.J. & Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology 12th
Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 11; The
Muscular System.
5. Standring, S. Gray’s Anatomy 39th Edition. USA: Elsevier, 2008, Chapter
48; General Organization and Surface Anatomy of The Upper Limb.
6. Wang, E.D. & Hurst, L.C. Netter’s Orthopaedics 1st Edition. Philadelphia:
Elsevier, 2006, Chapter 15; Elbow and Forearm.
7. Emedicine. 2012. Humerus Fracture. Accessed: 2nd February 2012.
Available from : http://emedicine.medscape.com/article/825488-
overview
8. Aaron N., Michael D.M., et.al., 2011. Distal Humeral Fractures in Adults.
Accessed: 2nd February 2012. Available from:
http://www.jbjs.org/article.aspx?articleid=35415
9. Egol, K.A., Koval, K.J., Zuckerman, J. D. Handbook Of Fractures.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins. 2010:p. 193-229;604-614
10. Thompson, J.C. Netter’s: Concise Otrhopaedic Anatomy 2nd ed.
Philadelphia: Elsevier Inc. 2010:p. 109-116.
11. Noffsinger, M. A. Supracondylar Humerus Fractures. Available at
www.emedicine.com. Accessed on 4thMarch 2012
12. Reksoprodjo, S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher, 2009, Bab 9; Orthopaedi.
13. Purwadianto A, Budi S. Kedaruratan Medik. Jakarta: Binarupa Aksara,
2000, Bab 7; Kedaruratan Sistim Muskuloskeletal.
14. Aston, M., Hughes, S. 1983. Kapita Selekta Traumatologik dan
Ortopedik (Aston’s Short Textbook of Orthopedics and Traumatology).
EGC: Jakarta.

15. Appley A. G., Solomon L. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem
Appley, Edisi Ketujuh. Jakarta: Widya Medika.

16. Garrison S. J. 2001. Dasar-dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik. Jakarta:


Hipokrates.
17. Kisner C., Colby L.A. 1996. Therapeutic Exercise: Foundations and
Techniques, 3rd Edition. Philadelphia: F. A. Davis Company.

Anda mungkin juga menyukai