Kedwibahasaan Dam Dwi Bahasa

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 10

A.

Kedwibahasaan

Dwibahasa, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah dua bahasa atau bilingual,
sedangkan kedwibahasaan perihal pemakaian atau penguasaan dua bahasa. Pada umumnya
masalah kedwibahasaan (bilingualisme) timbul dari adanya pertemuan antara dua kelompok
penutur bahasa yang berbeda bahasa. Kontak antara keduanya secara terus-menerus
menghasilkan orang-orang yang dapat menghasilkan lebih dari satu bahasa. Dalam pergaulan
yang semakin terbuka, akan sulit bahasa-bahasa yang di dunia ini bertahan sendiri tanpa ada
pengaruh dari luar.

Kalau kita melihat atau mendengar seseorang memakai dua bahasa atau lebih dalam
pergaulannya dengan orang lain, kita dapat mengatakan bahwa mereka berdwibahasa atau
bermultibahasa. Dengan kata lain, mereka telah melakukan kedwibahasaan atau
kemultibahasaan. Secara harfiah, bilingualisme berkenaan dengan penggunaan dua bahasa
atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistil, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua
bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian
(Fishman, 1977). Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai
kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1).
Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa
Indonesia disebut dwibahasaan), sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa
disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan). Selain itu,
terdapat istilah multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekabahasaan),
yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya
dengan orang lain secara bergantian.

Jika kita perhatikan hubungan logika antara bilingualism dan bilingualitas, maka akan
dimengerti bahwa tidak semua yang memiliki “bilingualitas” atau “bilingualisme” dalam
kehidupan sehari-harinya, sebab hal ini bergantung pada situasi kebahasaan di
lingkungannya. Namun, dapat pula kita pahami bahwa seseorang tidak akan dapat
mempraktikkan “bilingualisme” tanpa memiliki “bilingualitas”, singkatnya bilingualism
berimplikasi pada bilingualitas. Bloomfield (1933) mengatakan bahwa menguasai dua buah
bahasa, berarti menguasai dua buah sistem kode. Jika yang dimaksud oleh Bloomfield bahwa
bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, melainkan parole, yang berupa
berbagai dialek dan ragam. Mackey (dalam Chaer dan Agustina, 1955) mengatakan dengan
tegas bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa
yang satu ke bahasa yang lain oleh seorang penutur. Jadi, jelas yang dimaksud dengan bahasa
oleh Mackey adalah sama dengan language.

B. Jenis-jenis kedwibahasaan

Bahasa Indonesia pada saat ini dalam taraf pertumbuhan dan perkembangan yang
memerlukan perbendaharaan kata, sehingga wajar apabila bahasa Indonesia banyak
dipengaruhi oleh unsur-unsur bahasa daerah, karena bahasa Indonesia belum cukup
mempunyai konsep dan tanda yang dapat mewakili pengertian yang lengkap. Pengaruh unsur
bahasa Madura tersebut dapat memperkaya kosa kata bahasa Indonesia.

Kedwibahasaan timbul akibat adanya kontak bahasa ini sesuai dengan pendapat Weinreich
(dalam Suwito, 1983:39) yang menyatakan bahwa kontak bahasa terjadi apabila dua bahasa
atau lebih dipakai secara bergantian, sehingga mengakibatkan terjadinya tranfer yaitu
pemindahan atau peminjaman unsur dari bahasa satu ke bahasa lain, sehingga dapat
menimbulkan kedwibahasaan. Kedwibahasaan berkaitan dengan kontak bahasa karena
kedwibahasaan merupakan pemakaian dua bahasa yang dilakukan oleh penutur secara
bergantian dalam melakukan kontak sosial.

Dalam hal kedwibahasaan, dwibahasawan tidak harus menguasai dua bahasa secara aktif,
tetapi dapat pula secara pasif. Penggunaan secara aktif dalam arti menggunakan dua bahasa
yang sama baiknya, sedangkan secara pasif apabila dia cukup mampu memahami apa yang
dituturkan atau ditulis dalam bahasa kedua.

Jenis kedwibahasaan berdasarkan tingkat pendidikannya menurut Samsuri (1994:55) ada dua
macam, sebagai berikut.

a) Kedwibahasaan sejajar, yaitu kedwibahasaan yang dipakai oleh pemakai yang


terpelajar dan mempunyai penguasaan yang sama terhadap kedua bahasa. Penutur dapat
menggunakan secara bergantian tanpa menimbulkan dislokasi;

b) Kedwibahasaan bawaan, kedwibahasaan yang dipakai oleh pemakai yang kurang


terpelajar. Semakin kurang terpelajarnya semakin besar pengaruh bahasa pertama atau bahasa
ibunya.
Orang yang belajar menyatakan diri dalam dua bahasa ialah apabila penguasaan bahasa yang
satu tidak bergantung kepada yang lain dan tidak meminta bantuan pada orang lain. Kejadian
semacam ini hanya dipakai pada orang-orang yang belajar bahasa dalam situasi yang
berlainan, misalnya di rumah dengan orang tua, sedangkan di luar rumah dengan orang
teman-temannya. Seberapa jauh penguasaan seseorang atas bahasa kedua bergantung pada
sering tidaknya dia menggunakan kedua bahasa itu.

Masalah kdwibahasaan yang sifatnya perorangan dapat dilihat dari beberapa segi
sehingga penanaman kedwibahasaan berbeda-beda. Dilihat dari segi kemampuannya,
kedwibahasaan seseorang dapat dibedakan menjadi kedwibahasaan berimbang dan
kedwibahsaan dominan. Kedwibahasaan berimbang atau belanced bilinguality adalah
penguasaan atau kemampuan atas bahasa yang satu sama baiknya dengan penguasaan atau
kemampuan atas bahasa yang kedua, orangnya disebut ambilingual atau equlingual.
Kedwibahasaan dominan (dominant bilinguality) mengacu pada penguasaan atau kemampuan
atas bahasa yang satu lebih dominan daripada penguasaan atau kemampuan atas bahasa yang
lain. Dalam hal ini, seseorang disebut dwibahasawan aktif atau produktif kalau ia dapat atau
mampu menyampaikan gagasan-gagasannya secara lisan atau tertulis. Kalau ia hanya dapat
memahami apa yang ia dengar atau apa yang i abaca, ia termasuk dwibahasawan pasif atau
reseptif.

Dilihat dari segi pemerolehannya, dapat diketahui apakah kemampuan memakai dua
bahasa diperoleh secara simultan (simultaneous) secara berurutan (successive). Yang pertama
mengacu pada keadaan seorang anak yang sejak awalnya dipajankan pada dua bahasa, pada
masa ia masih kecil, sekitar usia 3-4 tahun. Ada kecenderungan masyarakat mempelajari dua
bahasa Indonesia dan Inggris pada waktu yang bersamaan, dengan demikian ia memperoleh
dua bahasa sekaligus bersama-sama.

Weinreich (1953) membedakan kedwibahasaan majemuk (compound bilinguality),


kedwibahasaan koordinatif/setara (coordinate bilingualism), dan kedwibahasaan subordinat
(subordinate bilingiualism). Pembedaan antara ketiganya menekankan tumpuan perhatiannya
pada dimensi bagaimana dua sandi bahasa atau lebih diatur oleh individu yang bersangkutan.
Kedwibahasaan koordinatif/sejajar menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama
baik oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1
dan B2, yaitu orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa. Kedwibahasaan subordinatif
(kompleks) menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan
B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi B1 adalah
sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar
sehingga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat kehilangan bahasa pertamanya (B1).

 Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)

Kedwibahasaan majemuk adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan


berbahasa salah satu bahasa lebih baik daripada kemampuan berbahasa bahasa yang lain.

Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar.

Kedwibahasaan koordinatif/sejajar adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa


pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu.

 Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)

Kedwibahasaan sub-ordinatif (kompleks) adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa


seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya.

Baeten Beardsmore (1985:22) menambahkankan satu derajat lagi yaitu


kedwibahasaan awal (inception bilingualism) yaitu kedwibahasan yang dimemiliki oleh
seorang individu yang sedang dalam proses menguasai B2.

Menurut Pohl (dalam baetens Beardmore, 1985;5) tipologi bahasa lebih didasarkan
pada status bahasa yang ada didalam masyarakat, maka Pohl membagi kedwibahasaan
menjadi tiga tipe yaitu:

 Kedwibahasaan Horisontal (horizontal bilingualism)

Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa
memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaanmaupun dalam kehidupan
keluarga dari kelompok pemakainya.

 Kedwibahasaan Vertikal (vertical bilinguism)

Merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan
ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.

 Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism)


Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau atau tidak baku secara bersama-sama tetapi
keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh
masyarakat itu.

C. Dislogsia

Dislogsia pertama kali diperkenalkan dan dipergunakan oleh Ferguson sekitar tahun
1959. Semula istilah tersebut diambil dari situasi kebahasaan dalam bahasa Prancis yang
disebut dengan diglossie. Dalam perkembangannya penggunaan istilah tersebut kemudian
semakin meluas di kalangan para sosiolinguistik.

Persoalan-persoalan yang menyangkut digslosia adalah persoalan dialek yang terdapat


dalam masyarakat tutur, misalnya dalam suatu bahasa terdapat dua variasi bahasa yang
masing-masing ragamnya mempunyai peranan dan fungsi tertentu. Penggunaan ragam-ragam
variasi tersebut bergantung kepada situasi.

D. Diaglosia Dalam Kedwibahasaan

Diaglosia adalah situasi dimana dau dialek atau lebih biasa dipakai.(Charles Fergison
1959:136). Diaglosia adalah suatu situasi bahasa yang relatif stabil dimana, selain dari dialek-
dialek utama satu bahasa(yang memungkinkan mencakup satu bahasa baku atau bahasa-
bahasa baku regional), ada ragam bahasa yang sangat berbeda, sangat terkondifikasikan dan
lebih tinggi, sebagai wacana dalam kesaeluruhan kesusastraan tertulis yang luas dan
dihormati, baik pada kurun waktu terdahulu maupun masyarakat ujaran lain, yang banyak
dipelajari lewat pendidikan formal dan banyak dipergunakan dalam tujuan-tujuan tertulis dan
ujaran resmi, tapi tidak dipakai oleh bagian masyarakat apa pun dalam pembicaraan-
pembicaraan biasa.(Hudson 1980:54). Diaglosia adalah hadirnya dua bahasa baku dalam satu
bahasa, bahasa tinggi dipakai dalam suasana-suasana resmi dan dalam wacana-wacana
tertulis, dan bahasa rendah dipakai untuk percakapan sehari-hari.(Hartmann & Strork
1972:67). Diaglosia adalah persoalan antara dua dialek dari satu bangsa, bukan antara dua
bahasa. Kedua ragam bahasa ini pada umumnya adalah bahasa baku (standard language) dan
dialek derah regional daerah (regional dialect).

E. Parameter/Pengukuran Diaglosia
Mackey (1956) mengemukakan bahwa pengukuran kedwibahasaan dapat dilakukan
melalui beberapa aspek, yaitu;

1. Aspek tingkat.

Dapat dilakukan dengan mengamati kemampuan memakai unsur-unsur bahasa,


seperti fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon serta ragam bahasa.

2. Aspek fungsi

Dapat dilakukan melalui kemampian pemakaian dua bahsa yang dimiliki sesuai
dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Ada dua faktor yang harus diperhatikan dalam
pengukuran kedwibahasaan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah
faktor yang menyangkut pemakaian bahasa secara internal. Sedangkan faktor
eksternal adalah faktor dari luar bahasa. Hal ini antara lain menyangkut masalah kontak
bahasa yang berkaitan dengan lamanya waktu kontak seringnya mengadakan kontak bahasa
si penutur dapat ditentukan oleh lamanya waktu kontak, seringnya kontak dan penekannya
terhadap bidang-bidang tertentu. Misalnya, bidang ekonomi, budaya, politik,dll.

3. Aspek pergantian

Yaitu pengukuran terhadap seberapa jauh pemakai bahasa mampu berganti dari satu
bahasa kebahasa yang lain. Kemampuan berganti dari satu bahasa ke bahasa yang lain ini
tergantung pada tingkat kelancarn pemakaian masing-masing bahasa.

4. Aspek interferensi

Yaitu pengukuran terhadap kesalahan berbahasa yang disebabkan oleh terbawanya


kebiasaan ujaran berbahasa atau dialek bahasa pertama terhadap kegiatan berbahasa

Robert Lado (1961) mengemukakan agar dalam pengukuran kedwibahasaan


seseorang dilakukan melalui kemampuan berbahasa dengan menggunakan indikator tataran
kebahasaan (sejalan dengan Mackey)

Kelly (1969) menyarankan agar kedwibahasaan seseorang diukur dengan cara


mendeskripsikan kemampuan berbahas seseorang dari masing-masing bahasa dengan
menggunakan indikator elemen kebahasaan kemudian dikorelasikan untuk menentukan
keterampilan berbahasa.
John MacNawara (1969) memberikan disain teknik pengukuran kedwibahasaan dari
aspek tingkat dengan cara memberikan res kemampuan berbahasa dengan menggunakan
konsep dasar analisis kesalahan berbahasa. Pengukuran dapat memakai indikator membaca
pemahaman, membaca leksikon, kesalahan ucapan, kesalahan ketatabahasaan,
interferensileksikal B2, pemahaman bahasa lisan, kesalahan fonetis, makna kata dan
kekayaan makna.

Berbeda dengan pendapat-pendapat diatas yaitu Jakobovits (1970) memberikan desain


teknik pengukuran kedwibahasaan dengan cara:

1. menghitung jumlah tanggapan terhadap rangsangan dalam B1

2. menghitung jumlah tanggapan dalam rangsangan dalam B2 terhadap B1.

3. menghitung perbedaan total antara B1 dan B2.

4. menghitung jumlah tanggapan dalam B1 terhadap rangsangan dalam B1

5. menghitung jumlah tanggapan dalam B2 terhadap rangsangan dalm B2.

6. menghitung tanggapan dalam B2 terhadap rangsangan dalam B1.

7. menghitung jumlah tanggapan dalam B1 terhadap rangsangan dalam B2.

8. menghitung tanggapan terjemahan terhadap rangsangan dalam B2.

9. menyatakan hasil dalam bentuk prosentase, dan

10. menghitung tanggapan dua bahasa terhadap rangsangan B1 dan B2 jika memungkinkan.

Lambert (19550 mengajukan teknik pengukuran kedwibahasaan dengan dengan


mengungkapkan dominasi bahasa, artinya bahasa mana dari dari kedua bahasa itu dominan
Mackey (1968) memberikan teknik pengukuran kedwibahasaan dengan menggunakan tes
ketrampilan berbahasa masing-masing bahasa.

A. Dislogsia

Dislogsia pertama kali diperkenalkan dan dipergunakan oleh Ferguson sekitar tahun
1959. Semula istilah tersebut diambil dari situasi kebahasaan dalam bahasa Prancis yang
disebut dengan diglossie. Dalam perkembangannya penggunaan istilah tersebut kemudian
semakin meluas di kalangan para sosiolinguistik.

Persoalan-persoalan yang menyangkut digslosia adalah persoalan dialek yang terdapat


dalam masyarakat tutur, misalnya dalam suatu bahasa terdapat dua variasi bahasa yang
masing-masing ragamnya mempunyai peranan dan fungsi tertentu. Penggunaan ragam-ragam
variasi tersebut bergantung kepada situasi.

F. Kontak Bahasa

Manusia dalam hidup bermasyarakat memerlukan bahasa, karena hampir semua


kegiatannya manusia memerlukan bahasa. Jika tidak mempunyai bahasa, manusia akan
kehilangan kesanggupannya dalam hidup sebagai makhluk sosial. Hal ini menunjukkan
betapa pentingnya fungsi bahasa dalam kehidupan bermasyarakat. Komunikasi antarpemakai
bahasa itulah yang dapat menimbulkan kontak bahasa.

Mackey (dalam Suwito, 1983:39) memberikan pengertian kontak bahasa sebagai


pengaruh bahasa yang satu kepada bahasa yang lain, baik langsung maupun tidak langsung,
sehingga menimbulkan perubahan bahasa yang dimiliki oleh ekabahasawan. Penutur yang
ekabahasawan menjadi dwibahasawan, yaitu orang yang menguasai satu bahsa menjadi lebih
dari satu bahasa.

Menurut Suwito (1983:39) pengertian kontak bahasa meliputi segala peristiwa


persentuhan antara beberapa bahasa yang berakibat adanya kemungkinan pergantian
pemakaian oleh penutur dalam konteks sosialnya. Peristiwa atau gejala semacam itu antara
lain nampak dalam ujud kedwibahasaan dan diglosia. Pendapat Suwito ini identik dengan
pendapat Kushartanti (2005:58) yang menyatakan bahwa terjadinya kontak bahasa
disebabkan adannya kedwibahasaan atau keanekabahasaan.

Yang dimaksud dengan kontak bahasa adalah peristiwa penggunaan lebih dari satu
bahasa dalam tempat dan waktu yang sama. Penggunaan bahasa ini tidak menuntut penutur
untuk berbicara dengan lancar (dwibahasawan atau multibahasawan), akan tetapi terjadinya
komunikasi antara penutur dua bahasa yang berbeda pun sudah dikategorikan sebagai
peristiwa kontak bahasa (Thomason, 2001:1).
G. Faktor yang Melatarbelakangi terjadinya kontak bahasa

Berbicara mengenai kontak bahasa, tentu saja tidak terlepas dari faktor-faktor yang
melatarbelakangi terjadinya kontak bahasa. Thomason (2001: 17-21) menjelaskan bahwa
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kontak bahasa, diantaranya: 1) adanya dua
kelompok yang berpindah ke daerah yang tak berpenghuni kemudian mereka bertemu disana;
2) perpindahan satu kelompok ke wilayah kelompok lain; 3) adanya praktek pertukaran buruh
secara paksa; 4) adanya hubungan budaya yang dekat antarsesama tetangga lama; dan 5)
adanya pendidikan atau biasa disebut ‘kontak belajar.’

Kontak bahasa bisa terjadi pada masyarakat yang terbuka menerima masyarakat yang
berbeda bahasa untuk masuk dalam masyarakat tuturnya, sehingga masyarakat tidak lagi
disebut sebagai masyarakat monolingual. Lebih lanjut, salah satu contoh terjadinya kontak
bahasa adalah karena keterdesakan yang biasanya terjadi di daerah perdagangan (urgen untuk
berkomunikasi), sehingga ada simplifikasi yang luar biasa, seperti yang terjadi di Bali antara
turis dan pedagang.

Akibat dari kontak bahasa memunculkan peristiwa lingua franca yang di dalamnya
terdapat bahasa pidgin dan kreol. Kontak bahasa berhubungan erat dengan terjalinnya
kegiatan sosial dalam masyarakat terbuka yang menerima kedatangan anggota dari satu atau
lebih masyarakat lain.Thomason (2001:157) mengatakan bahwa adanya lingua franca
menyebabkan terjadinya kontak bahasa. Lebih jauh lagi, Thomason menyatakan bahwa tiga
hal akibat percampuran bahasa memunculkan bahasa pidgins, creol, dan bahasa bilingual
campuran. Selain itu akibat kontak bahasa juga terjadi bilingualisme, diglosia, interferensi,
konvergensi, integrasi, dan pergeseran bahasa.
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai