LAPRAK P5 Sulfur JF

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 36

PENETAPAN KADAR SULFUR (S)

DALAM SABUN MANDI

Laporan Praktikum
Untuk memenuhi tugas matakuliah Analisis Sediaan Kosmetik
Yang dibina oleh Ibu Riska Yudhistya Asworo S.Si., M.Si

Disusun oleh:
Kelompok 1
Nadia Firdausi (P17120171002)
Avio Maysayu I.P (P17120171006)
Sintia Anggriani (P17120171011)
Eka Fitri Agnesya (P17120173015)
Eka Aprilia (P17120173019)
Dina Putri W (P17120173023)
Muthia Rizqy Fadhilah (P17120174027)
Elin Rahma Setya R (P17120174035)
Maria Carolina YPKA (P17120174031)

POLITEKNIK KESEHATAN MALANG


JURUSAN GIZI
D3 ANALISIS FARMASI DAN MAKANAN
MARET 2019
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Mandi telah menjadi suatu hal yang rutin pada zaman sekarang ini. Mandi dilakukan
untuk membersikan badan setelah melakukan aktivitas. Untuk membantu membersihkan
badan, manusia menggunakan berbagai bahan dari bahan alami seperti daun-
daunan, hingga membuat kosmetik sabun. Sabun mandi adalah senyawa
natrium atau kalium dengan asam lemak dari minyak nabati dabn atau minyak
hewani berbentuk padat, lunak atau cair, berbusa. Penggunaan sabun dalam
kehidupan sehari-hari sudah tidak asing lagi, terutama sesuai dengan fungsi
utamanya yaitu membersihkan.
Sabun mandi yang biasanya digunakan oleh masyarkat termasuk
kedalam kosmetika yang dikategorikan kedalam kosmetika yang dikategorikan
sebagai sediaan mandi. Selain sabun mandi termasuk kedalam sediaan mandi
adalah sabun mandi dan sabun aseptik. Sabun aseptik adalah sabun mandi yang
di dalamnya mengandung bahan obat seperti iodoform, tymol, phenol,
betanapthol, dan sulfur. Sulfur merupakan bahan yang berasal dari alam.
Dikenal sejak dulu untuk mengatasi berbagai penyakit kulit, seperti budukan,
eksim, dan lain-lain.
Sulfur merupakan salah satu pilihan bagi banyak orang untuk mengobati
berbagai macam penyakit kulit. Sulfur juga mempunyai fungsi anti jamur,
antiseptik, anti parasit. Banyak produsen kosmetika baik lokal maupun asing
mengeluarkan berbagai jenis sabun mandi untuke menarik minat konsumen.
Bermacam–macam produk sabun mandi yang mutunya tidak sesuai dengan
persyaratan akan menjadi ancaman yang serius bagi masyarakat dan sabun
menjadi tidak memiliki fungsi membersihkan namun sebaliknya menjadi
berbahaya apabila kandungan bahan aktif di dalam sabun tidak sesuai standar.
Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui kandungan bahan aktif yang
terkandung di dalam sabun salah satunya kandungan sulfur.
1.2 Tujuan Praktikum
Untuk mengetahui jumlah kandungan sulfur dalam sediaan sabun mandi

1.3 Manfaat Praktikum


Mahasiswa dapat mengetahui jumlah kandungan sulfur dalam sediaan
sabun mandi
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sabun
Sabun adalah dari senyawa garam asam-asam lemak tinggi, seperti
natrium stearat C17H35COO-Na+. Aksi pencucian dari sabun banyak dihasilkam
dari kekuatan pengemulsian dan kemampuan menurunkan tegangan
permukaaan dari air. Konsep ini dapat dipahami dengan mengingat kedua sifat
dari anion sabun. Suatu gambaran dari stearat terdiri dari ion karboksil sebagai
“kepala” dengan hidrokarbon yang panjang sebagai “ekor” (Rukaesih, 2004).
Sabun merupakan produk pembersih untuk kulit manusia. Seperti
detergen, sabun mempunyai gugus hidrofobik yang berinteraksi dengan
minyak dan ujung anionik yang larut air. Mekanisme sabun mengangkat
minyak/ lemak dari benda adalah molekul sabun larut dalam air dan ujung
hidrofobik mengepung molekul minyak sedangkan ujung anion terlarut dalam
air membentuk misel sehingga minyak terlepas dari benda.
Garam natrium atau kalium yang dihasilkan oleh asam lemak dapat larut
dalam air dikenal sebagai sabun. Sabun kalium disebut sabun lunak dan
digunakan sebagai sabun untuk bayi. Asam lemak yang digunakan untuk sabun
umumnya adalah asam palmitat atau stearat. Dalam industri, sabun tidak dibuat
dari asam lemak tetapi langsung dari minyak yang berasal dari tumbuhan.
Minyak adalah ester asam lemak tidak jenuh dengan gliserol. Melalui proses
hidrogenasi dengan bantuan katalis Pt atau Ni, asam lemak tidak jenuh diubah
menjadi asam lemak jenuh, dan melalui proses penyabunan dengan basa KOH
dan NaOH akan terbentuk sabun dan gliserol (Poejiadi, 2007).

Minyak nabati seperti sawit merupakan bahan utama pembuat sabun.


Minyak hewani seperti lemak sapi dan babi juga sering dimanfaatkan untuk
pembuatan sabun. Molekul sabun terdiri atas rantai hidrokarbon dengan gugus
COO- pada ujungnya. Bagian hidrokarbon bersifat hidrofob artinya tidak suka
pada air atau tidak mudah larut dalm air, sedangkan gugus COO - bersifat
hidrofil, artinya suka akan air, jadi dapat larut dalam air. Oleh karena adanya
dua bagian itu, molekul sabun tidak sepenuhnya larut dalam air, tetapi
membentuk misel yaitu kumpulan rantai hidrokarbon dengan ujung yang
bersifat hidrofil dibagian luar (Poejiadi, 2007).
Sementara itu SNI (1994) menjelaskan bahwa sabun mandi merupakan
pembersih yang dibuat dengan mereaksikan secara kimia antara basa natrium
atau basa kalium dan asam lemak yang berasal dari minyak nabati dan atau
lemak hewani yang umumnya ditambahkan zat pewangi atau antiseptik dan
digunakan untuk membersihkan tubuh manusia dan tidak membahayakan
kesehatan. Sabun tersebut dapat berwujud padat, lunak atau cair, berbusa dan
digunakan sebagai pembersih.
2.1.1 Sifat – sifat Sabun:
1. Sabun adalah garam alkali dari asam lemak sehingga akan
dihidrolisis parsial oleh air. Karena itu larutan sabun dalam air
bersifat basa.
CH3(CH2)16COONa + H2O →CH3(CH2)16COOH + OH-
2. Jika larutan sabun dalam air diaduk maka akan menghasilkan buih,
peristiwa ini tidak akan terjadi pada air sadah. Dalam hal ini sabun
dapat menghasilkan buih setelah garam-garam Mg atau Ca dalam air
mengendap.
CH3(CH2)16COONa + CaSO4 → Na2SO4 + Ca(CH3(CH2)16COO)2
3. Sabun mempunyai sifat membersihkan. Sifat ini disebabkan proses
kimia koloid, sabun (garam natrium dari asam lemak) digunakan
untuk mencuci kotoran yang bersifat polar maupun non polar, karena
sabun mempunyai gugus polar dan non polar. Molekul sabun
mempunyai rantai CH3(CH2)16 yang bertindak sebagai ekor yang
bersifat hidrofobik (tidak suka air) dan larut dalam zat organik
sedangkan COONa+ sebagai kepala yang bersifat hidrofilik (suka
air) dan larut dalam air. ( Pratiwi, 2013)
2.1.2 Kegunaan Sabun
Kegunaan sabun ialah kemampuannya mengemulsi kotoran
berminyak sehingga dapat dibuang dengan pembilasan. Kemampuan ini
disebabkan oleh dua sifat sabun. Pertama, rantai hidrokarbon sebuah
molekul sabun larut dalam zat-zat non-polar, seperti tetesan-tetesan
minyak. Kedua, ujung anion molekul sabun, yang tertarik pada air,
ditolak oleh ujung anion molekul-molekul sabun yang menyembul dari
tetesan minyak lain. Karena tolak-menolak antara tetes-tetes sabun-
minyak, maka minyak itu tidak dapat saling bergabung tetapi tetap
tersuspensi. (Ralph J, Fessenden, 1992)

2.1.3 Jenis – jenis Sabun


Jenis sabun yang utama adalah sabun mandi dan sabun cuci, kedua
jenis sabun ini dibuat dengan beberapa cara. Ada beberapa cara untuk
mengklasifikasikan sabun. Salah satunya adalah penggolongan
berdasarkan bentuk fisik dan fungsi.
1. Sabun batang

Terbuat dari lemak netral yang padat dan dikeraskan melalui proses
hidrogenasi. Jenis alkali yang digunakan adalah natrium hidroksida
dan sukar larut dalam air. Kebanyakan orang mulai meninggalkan
sabun batang karena alasan kurang higienis dan berisiko menjadi
tempat perpindahan bakteri, namun sabun batang dipercaya irit dan
memiliki wangi yang lebih tahan lama. Terbukti, sebesar 43% dari
100 orang yang disurvei masih menggunakan sabun batang hingga
kini. Jenis sabun batangan lainnya adalah sabun mandi kecantikan.
Sabun mandi kecantikan adalah suatu produk sabun untuk perawatan
kecantikan kulit wajah dan tubuh dengan formulasi yang sesuai
untuk kulit. Memberikan zat-zat gizi dan nutrisi yang sangat
diperlukan kulit dan membantu memelihara kulit dengan
mempertahankan kelembaban kulit serta membantu pertumbuhan
sel-sel baru jika terjadi kerusakan sel kulit. Pada sabun kecantikan
busa harus lembut dan sifat basanya lebih rendah. (Luis Spitz, 1996).

2. Sabun cair

Sabun jenis ini dibuat dari minyak kelapa jernih dan penggunaan
alkali yang berbeda yaitu kalium hidroksida. Bentuknya cair dan
tidak mengental pada suhu kamar. Sabun cair lebih digemari karena
praktis dan mudah penyimpanannya, terutama bagi orang yang suka
bepergian.

3. Shower gel

Sabun dengan kandungan emulsi berupa cocamide DEA, lauramide


DEA, linoleamide DEA, dan oleamide DEA ini berfungsi sebagai
substansi pengental untuk mendapatkan tekstur gel. Sabun jenis ini
memang belum terlalu populer dan biasanya lebih sering digunakan
oleh wanita yang hobi berendam karena menghasilkan busa yang
cenderung lebih banyak.
4. Sabun antisepik
Mengandung bahan aktif antibacterial, seperti triclosan,
triclocarban/ trichlorocarbamide, yang berguna untuk membantu
membunuh bakteri dan mikroba, namun tidak efektif untuk
menonaktifkan virus.

2.1.4 Pembuatan Sabun dalam Industri

1. Saponifikasi (Penyabunan)
Pada proses saponifikasi trigliserida dengan suatu alkali, kedua
reaktan tidak mudah bercampur. Reaksi saponifikasi dapat
mengkatalisis dengan sendirinya pada kondisi tertentu dimana
pembentukan produk sabun mempengaruhi proses emulsi kedua
reaktan tadi, menyebabkan suatu percepatan pada kecepatan reaksi.
Proses reaksi saponifikasi adalah proses mereaksikan minyak dan
NaOH pada reaktor pada suhu ± 1250C dengan bantuan pemanas
steam.
2. Netralisasi
Jumlah alkali (NaOH) yang dibutuhkan untuk menetralisasi suatu
paduan asam lemak dapat dihitung sebagai berikut :
NaOH = {berat asam lemak x 40) / MW asam lemak Berat molekul
rata rata suatu paduan asam lemak dapat dihitung dengan persamaan
:
MW asam lemak = 56,1 x 1000/ AV
Dimana AV (angka asam asam lemak paduan) = mg KOH yang
dibutuhkan untuk menetralisasi 1 gram asam lemak
3. Pengeringan Sabun
Sabun banyak diperoleh setelah penyelesaian saponifikasi (sabun
murni) yang umumnya dikeringkan dengan vacum spray dryer.
Kandungan air pada sabun dikurangi dari 30-35% pada sabun murni
menjadi 8-18% pada sabun butiran atau lempengan. Jenis jenis
vacum spray dryer, dari sistem tunggal hingga multi sistem,
semuanya dapat digunakan pada berbagai proses pembuatan sabun.
4. Penyempurnaan Sabun
Dalam pembuatan produk sabun batangan, sabun butiran
dicampurkan dengan zat pewarna, parfum, dan zat aditif lainnya ke
dalam mixer (analgamator). Proses pembungkusan, pengemasan,
dan penyusunan sabun batangan merupakan tahap akhir. (Pratiwi,
2013)

2.2 Bahan Baku Utama Pembuatan Sabun

2.2.1 Minyak Atau Lemak


Minyak dan lemak yang umum digunakan dalam pembuatan sabun
adalah trigliserida dengan tiga buah asam lemak yang tidak beraturan
diesterifikasi dengan gliserol. Masing- masing lemak mengandung
sejumlah molekul asam lemak dengan rantai karbon panjang antara C12
(asam laurat) hingga C18 (asam stearat) pada lemak jenuh dan begitu juga
dengan lemak tak jenuh. Campuran trigliserida diolah menjadi sabun
melalui proses saponifikasi dengan larutan natrium hidroksida
membebaskan gliserol. Sifat-sifat sabun yang dihasilkan ditentukan oleh
jumlah dan komposisi dari komponen asam asam lemak yang digunakan.
Komposisi asam asam lemak yang sesuai dalam pembuatan sabun
dibatasi panjang rantai dan tingkat kejenuhan. Pada umumnya, panjang
rantai yang kurang dari 12 atom karbon dihindari penggunaanya karena
dapat membuat iritasi pada kulit, sebaliknya panjang rantai yang lebih
dari 18 atom karbon membentuk sabun yang sukar larut dan sulit
menimbulkan busa. Terlalu besar bagian asam lemak tak jenuh
menghasilkan sabun yang mudah teroksidasi bila terkena udara. Alasan-
alasan diatas, faktor ekonomis dan daya jual menyebabkan lemak dan
minyak yang dibuat menjadi sabun terbatas.
Asam lemak tak jenuh memiliki ikatan rangkap sehingga titik
lelehnya lebih rendah daripada asam lemak jenuh yang tak memiliki
ikatan rangkap, sehingga sabun yang dihasilkan juga akan lebih lembek
dan mudah meleleh pada temperatur tinggi.
Karena mudah terhidrolisis dan teroksidasi pada suhu ruang, asam
lemak yang dibiarkan terlalu lama akan turun nilai gizinya. Pengawetan
dapat dilakukan dengan menyimpannya pada suhu sejuk dan kering, serta
menghindarkannya dari kontak langsung dengan udara.

2.2.2 Alkali
Jenis alkali yang umum digunakan dalam proses saponifikasi
adalah NaOH, KOH, Na2CO3, NH4OH, dan ethanolamines. NaOH, atau
yang biasa dikenal dengan soda kaustik dalam industri sabun, merupakan
alkali yang paling banyak digunakan dalam pembuatan sabun keras.
KOH banyak digunakan dalam pembuatan sabun cair karena sifatnya
yang mudah larut dalam air. Na2CO3 (abu soda/natrium karbonat)
merupakan alkali yang murah dan dapat menyabunkan asam lemak,
tetapi tidak dapat menyabunkan trigliserida (minyak atau lemak).
Ethanolamines merupakan golongan senyawa amin alkohol.
Senyawa tersebut dapat digunakan untuk membuat sabun dari asam
lemak. Sabun yang dihasilkan sangat mudah larut dalam air, mudah
berbusa, dan mampu menurunkan kesadahan air.
Sabun yang terbuat dari ethanolamines dan minyak kelapa
menunjukkan sifat mudah berbusa tetapi sabun tersebut lebih umum
digunakan sebagai sabun industri dan deterjen, bukan sebagai sabun
rumah tangga. Pencampuran alkali yang berbeda sering dilakukan oleh
industri sabun dengan tujuan untuk mendapatkan sabun dengan
keunggulan tertentu.
2.3 Bahan-Bahan Pendukung Pembuatan Sabun
Bahan baku pendukung digunakan untuk membantu proses
penyempurnaan sabun hasil saponifikasi (pengendapan sabun dan
pengambilan gliserin) sampai sabun menjadi produk yang siap dipasarkan.
Bahan-bahan tersebut adalah NaCl (garam) dan bahan-bahan aditif.
2.3.1 Garam (NaCl)
NaCl merupakan komponen kunci dalam proses pembuatan sabun.
Kandungan NaCl pada produk akhir sangat kecil karena kandungan NaCl
yang terlalu tinggi di dalam sabun dapat memperkeras struktur sabun.
NaCl yang digunakan umumnya berbentuk air garam (brine) atau
padatan (kristal). NaCl digunakan untuk memisahkan produk sabun dan
gliserin. Gliserin tidak mengalami pengendapan dalam brine karena
kelarutannya yang tinggi, sedangkan sabun akan mengendap. NaCl harus
bebas dari besi, kalsium, dan magnesium agar diperoleh sabun yang
berkualitas.
2.3.2 Bahan Aditif
Bahan aditif merupakan bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam
sabun yang bertujuan untuk mempertinggi kualitas produk sabun
sehingga menarik konsumen. Bahan-bahan aditif tersebut antara lain :
builders, fillers inert, anti oksidan, pewarna, dan parfum.
a. Builders (Bahan Penguat)
Builders digunakan untuk melunakkan air sadah dengan cara
mengikat mineral- mineral yang terlarut pada air, sehingga bahan -
bahan lain yang berfungsi untuk mengikat lemak dan membasahi
permukaan dapat berkonsentrasi pada fungsi utamanya. Builder juga
membantu menciptakan kondisi keasaman yang tepat agar proses
pembersihan dapat berlangsung lebih baik serta membantu
mendispersikan dan mensuspensikan kotoran yang telah lepas. Yang
sering digunakan sebagai builder adalah senyawa - senyawa
kompleks fosfat, natrium sitrat, natrium karbonat, natrium silikat
atau zeolit.
b. Fillers (Bahan Pengisi)
Bahan ini berfungsi sebagai pengisi dari seluruh campuran bahan
baku. Pemberian bahan ini berguna untuk memperbanyak atau
memperbesar volume. Keberadaan bahan ini dalam campuran bahan
baku sabun semata mata ditinjau dari aspek ekonomis. Pada
umumnya, sebagai bahan pengisi sabun digunakan sodium sulfat.
Bahan lain yang sering digunakan sebagai bahan pengisi, yaitu tetra
sodium pyrophosphate dan sodium sitrat. Bahan pengisi ini
berwarna putih, berbentuk bubuk, dan mudah larut dalam air.
c. Coloring Agent ( Zat Pewarna)
Bahan ini berfungsi untuk memberikan warna kepada sabun. Ini
ditujukan agar memberikan efek yang menarik bagi konsumen untuk
mencoba sabun ataupun membeli sabun dengan warna yang
menarik. Biasanya warna warna sabun itu terdiri dari warna merah,
putih, hijau maupun orange.
d. Fragrance (Bahan Pewangi)
Parfum termasuk bahan pendukung. Keberadaaan parfum
memegang peranan besar dalam hal keterkaitan konsumen akan
produk sabun. Artinya, walaupun secara kualitas sabun yang
ditawarkan bagus, tetapi bila salah memberi parfum akan berakibat
fatal dalam penjualannya. Parfum untuk sabun berbentuk cairan
berwarna kekuning kuningan dengan berat jenis 0,9. Dalam
perhitungan, berat parfum dalam gram (g) dapat dikonversikan ke
mililiter. Sebagai patokan 1 g parfum = 1,1ml. Pada dasarnya, jenis
parfum untuk sabun dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu parfum
umum dan parfum ekslusif.
Parfum umum mempunyai aroma yang sudah dikenal umum
di masyarakat seperti aroma mawar dan aroma kenanga. Pada
umumnya, produsen sabun menggunakan jenis parfum yang
ekslusif. Artinya, aroma dari parfum tersebut sangat khas dan tidak
ada produsen lain yang menggunakannya. Kekhasan parfum ekslusif
ini diimbangi dengan harganya yang lebih mahal dari jenis parfum
umum. Beberapa nama parfum yang digunakan dalam pembuatan
sabun diantaranya bouquct deep water, alpine, dan spring flower.
(Fitri, 2013)
e. Antioksidan
EDTA (ethylene diamine tetra acetate) ditambahkan dalam sabun
untuk membentuk kompleks (pengkelat) ion besi yang mengkatalis
proses degradasi oksidatif. Degradasi oksidatif akan memutuskan
ikatan rangkap pada asam lemak membentuk rantai lebih pendek,
aldehid dan keton yang berbau tidak enak. EDTA adalah reagen
yang bagus, selain membentuk kelat dengan semua kation, kelat ini
juga cukup stabil untuk metode titriametil. (Supena, 2007)
Bahan antioksidan pada sabun juga dapat menstabilkan sabun
terutama pada bau tengik atau rancid. Natrium silikat, natrium
hiposulfid, dan natrium tiosulfat diketahui dapat digunakan sebagai
antioksidan. Stanous klorida juga merupakan antioksidan yang
sangat kuat dan juga dapat memutihkan sabun atau sebagai
bleaching agent. (Farid Kurnia, 2009)

2.4 Bilangan Peroksida


Bilangan peroksida merupakan jumlah miliekivalen peroksida per 1000
gram sampel, yang dioksidasi kalium iodida.

Minyak atau lemak bersifat tidak larut dalam semua pelarut berair, tetapi
larut dalam pelarut organik seperti misalnya : petroleum eter, dietil eter,
alkohol panas, khloroform dan benzena. Dimana asam lemak rantai pendek
sampai panjang rantai atom karbon sebanyak delapan bersifat larut dalam air.
Makin panjang rantai sehingga akan terbentuk gugus karboksil yang tidak
bermuatan. Kemudian dilakukan ekstraksi menggunakan pelarut non-polar
seperti petroleum. Asam lemak jenuh sangat stabil terhadap oksidasi, akan
tetapi asam lemak tidak jenuh sangat mudah terserang oksidasi. Dimana lemak
tidak dapat meleleh pada satu titik suhu, akan tetapi lemak akan menjadi lunak
pada suatu interval suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena pada umumnya
lemak merupakan campuran gliserida dan masing-masing gliserida mempunyai
titik cair sendiri-sendiri (Tranggono & Setiaji, 1989).
Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak tidak
jenuh mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap
tersebut disebabkan pembentukkan senyawa-senyawa hasil pemecahan
hidroperoksida. Menurut teori yang sampai kini masih dianut orang sebuah
atom hidrogen yang terikat pada suatu atom karbon yang letaknya disebelah
atom karbon lain yang mempunyai ikatan rangkap dapat disingkirkan oleh
suatu kuantum energi sehingga membentuk radikal bebas. Kemudian radikal
ini dengan oksigen membentuk peroksida aktif yang dapat membentuk
hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi
senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi,
energi panas, katalis logam, atau enzim. Senyawa dengan rantai C lebih pendek
ini adalah asam-asam lemak, aldehid- aldehid, dan keton yang bersifat volatil
dan menimbulkan bau tengik pada lemak (Winarno, 1997)

Reaksi oksidasi bergantung pada banyak frekuensi reaksi dari lemak


dalam bahan makanan. Ini biasanya terdiri oleh atmosfer oksigen, frekuensi
yang sedikit oleh ozon, peroksida, logam dan agen oksidasi yang lain. Dalam
penambahan untuk oksigen dan ozon, lemak dapat dirusak oleh pembentukan
reaksi lain, seperti anion superoksida (O2) dan radikal (O2), radikal
perhidrosilik (HO2), hidrogen peroksida dan hidrosil radikal (HO). Asam
peroksida diproduksi oleh autoxidasi dari aldehid, dan mungkin reaksi dengan
molekul lain dari produk aldehid asam karboksilat.
Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat
kerusakan pada lemak dan minyak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat
oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Peroksida
dapat ditentukan dengan metode iodometri. Cara yang sering digunakan untuk
menentukan bilangan peroksida, berdasarkan pada reaksi antara alkali iodida
dalam larutan asam dengan ikatan peroksida. Iod yang dibebaskan pada reaksi
ini kemudian dititrasi dengan natrium tiosulfat. Penentuan peroksida ini kurang
baik dengan cara iodometri biasa meskipun bereaksi sempurna dengan alkali
iod. Hal ini disebabkan karena peroksida jenis lainnya hanya bereaksi sebagian.
Di samping itu dapat terjadi kesalahan yang disebabkan oleh reaksi antara
alkali iodida dengan oksigen dari udara (Ketaren, 1986).
Pada proses oksidasi ini akan dihasilkan sejumlah aldehid, asam bebas
dan peroksida organik. Untuk mengetahui tingkat ketengikan dari minyak atau
lemak, dapat dilakukan dengan menggunakan jumlah peroksida yang telah
terbentuk pada minyak atau lemak tersebut. Lemak tidak jenuh khususnya oleat
ternyata lebih cepat tengik dibandingkan lemak jenuh. Lemak yang tengik
menimbulkan rasa tidak enak, bahkan pada beberapa individu dapat
menimbulkan keracunan ringan, dan dapat merusak zat-zat lain yang ada
dalam makanan seperti karoten, vitamin A dan vitamin E Kerusakan minyak
dan lemak selain disebabkan oleh proses oksidasi dapat juga disebabkan oleh
proses hidrolisa. Pada proses hidrolisa dihasilkan gliserida dari asam- asam
lemak berantai pendek (C4-C12) sehingga akan terjadi perubahan rasa dan bau
menjadi tengik. (Winarno, 1997)

Menurut Buckle et al. (1997) ada dua tipe kerusakan yang utama pada
minyak dan lemak, yaitu :
a. Ketengikan terjadi bila komponen cita-rasa dan bau yang mudah menguap
terbentuk sebagai akibat kerusakan oksidatif dari lemak dan minyak tak
jenuh. Komponen-komponen ini menyebabkan bau dan cita-rasa yang tak
diinginkan dalam lemak dan minyak produk-produk yang mengandung
lemak dan minyak itu.
b. Hidrolisa minyak dan lemak menghasilkan asam-asam lemak bebas yang
dapat mempengaruhi cita-rasa dan bau daripada bahan itu. Hidrolisa dapat
disebabkan oleh adanya air dalam lemak atau minyak atau karena kegiatan
enzim.
Menurut Soedarmo et al (1988), kerusakan karena proses hidrolisa
terutama banyak terjadi pada minyak atau lemak yang mengandung asam
lemak jenuh dalam jumlah cukup banyak seperti pada minyak kelapa yang
mengandung asam laurat, sedangkan bau yang tengik ditimbulkan oleh asam
lemak bebas yang terbentuk selama proses hidrolisa. Proses hidrolisa pada
minyak atau lemak umumnya disebabkan oleh aktifitas enzim dan mikroba.
Proses hidrolisa dapat dipercepat dengan kondisi kelembaban yang tinggi,
kadar air tinggi serta temperatur tinggi. Proses hidrolisa pada minyak dan
lemak akan menghasilkan ketengikan hidrolitik, dimana terjadi pembebasan
asam-asam lemak yang mempengaruhi rasa dari minyak tersebut. Enzim yang
dapat menimbulkan ketengikan hidrolitik adalah enzim lipase. Ketengikan
pada minyak dan lemak nabati terjadi karena berkurangnya kandungan vitamin
E (tocopherol) yang dapat berfungsi sebagai anti oksidan.
Lemak netral murni tidak berbau, tidak ada rasa, dan umumnya tidak
berwarna. Warna dari lemak dan minyak alami adalah karena adanya pigmen-
pigmen yang bercampur atau larut dalam lemak. Bila lemak dibiarkan dalam
waktu yang lama kontak langsung dengan udara dan lembab, khususnya ada
cahaya dan panas, akan terjadi perubahan menjadi tengik. Perubahan ini terjadi
karena proses oksidasi dan proses ini akan dipercepat dengan adanya logam-
logam yang bersifat katalisator seperti Zn, Cu. (Soedarno & Girindra, 1988)

2.5 Titrasi Iodometri

Pada titrasi iodometri, analit yang dipakai adalah oksidator yang dapat
bereaksi dengan I- (iodide) untuk menghasilkan I2. I2 yang terbentuk secara
kuantitatif dapat dititrasi dengan larutan tiosulfat. Dari pengertian diatas maka
titrasi iodometri adalah dapat dikategorikan sebagai titrasi kembali.
Iodida adalah reduktor lemah dan dengan mudah akan teroksidasi jika
direaksikan dengan oksidator kuat. Iodida tidak dipakai sebagai titrant hal ini
disebabkan karena faktor kecepatan reaksi dan kurangnya jenis indikator yang
dapat dipakai untuk iodide. Oleh sebab itu titrasi kembali merupakan proses
titrasi yang sangat baik untuk titrasi yang melibatkan iodida.
Senyawaan iodida umumnya KI ditambahkan secara berlebih pada larutan
oksidator sehingga terbentuk I2. I2 yang terbentuk adalah equivalent dengan
jumlah oksidator yang akan ditentukan. Jumlah I2 ditentukan dengan menitrasi
I2 dengan larutan standar tiosulfat (umumnya yang dipakai adalah Na2S2O3)
dengan indikator amilum jadi perubahan warnanya dari biru tua kompleks
amilum I2 sampai warna ini tepat hilang.
Setiap mmol IO3- akan menghasilkan 3 mmol I2 dan 3 mmol I2 ini akan
tepat bereaksi dengan 6 mmol S2O32- (1 mmol I2 tepat bereaksi dengan 2 mmol
S2O32- sehingga mmol IO3- ditentukan atau setara dngan 1/6 mmol S2O32- Kita
menitrasi langsung antara tiosulfat dengan analit, alasannya adalah karena
analit yang bersifat sebagai oksidator dapat mengoksidasi tiosulfat menjadi
senyawaan yang bilangan oksidasinya lebih tinggi dari tetrationat dan
umumnya reaksi ini tidak stoikiometri. Alasan kedua adalah tiosulfat dapat
membentuk ion kompleks dengan beberapa ion logam seperti Besi(II).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan titrasi Iodometri
adalah sebagai berikut: Penambahan amilum sebaiknya dilakukan saat
menjelang akhir titrasi, dimana hal ini ditandai dengan warna larutan menjadi
kuning muda (dari oranye sampai coklat akibat terdapatnya I2 dalam jumlah
banyak), alasannya kompleks amilum- I2 terdisosiasi sangat lambat akibatnya
maka banyak I2 yang akan terabsorbsi oleh amilum jika amilum ditambahkan
pada awal titrasi, alasan kedua adalah biasanya iodometri dilakukan pada
media asam kuat sehingga akan menghindari terjadinya hidrolisis amilum.
Titrasi harus dilakukan dengan cepat untuk meminimalisasi terjadinya oksidasi
iodida oleh udara bebas. Pengocokan pada saat melakukan titrasi iodometri
sangat diwajibkan untuk menghindari penumpukan tiosulfat pada area tertentu,
penumpukkan konsentrasi tiosulfat dapat menyebabkan terjadinya
dekomposisi tiosulfat untuk menghasilkan belerang. Terbentuknya reaksi ini
dapat diamati dengan adanya belerang dan larutan menjadi bersifat koloid
(tampak keruh oleh kehadiran S).
S2O32-+ 2H+ → H2SO3 + S

Pastikan jumlah iodida yang ditambahkan adalah berlebih sehingga semua


analit tereduksi dengan demikian titrasi akan menjadi akurat. Kelebihan iodida
tidak akan mengganggu jalannya titrasi redoks akan tetapi jika titrasi tidak
dilakukan dengan segera maka I- dapat teroksidasi oleh udara menjadi I2.

2.6 Natrium Tiosulfat


Larutan Natrium tiosulfat tidak stabil dalam waktu lama. Bakteri yang
memakai belerang akhirnya masuk ke larutan itu, dan proses metaboliknya
akan mengakibatkan pembentukan SO32-, SO42- dan belerang koloidal.
Belerang ini akan menyebabkan kekeruhan, bila timbul kekeruhan larutan
harus dibuang. Biasanya air yang digunakan untuk menyiapkan larutan
tiosulfat dididihkan agar steril, dan sering ditambahkan boraks atau natrium
karbonat sebagai pengawet. Oksidasi tiosulfat oleh udara berlangsung lambat.
Tetapi runutan tembaga sering kadang-kadang terdapat dalam air suling akan
mengkatalisis oksidasi oleh udara. Tiosulfat diuraikan dalam larutan asam
dengan membentuk belerang sebagai endapan mirip susu. (A.L. Underwood,
1986).
Larutan standard yang digunakan dalam kebanyakan proses iodometri
adalah natrium tiosulfat. Lazimnya garam ini dibeli sebagai pentahidrat,
Na2S2O3.5H2O. Larutan tak boleh distandarisasikan berdasarkan penimbangan
langsung, melainkan harus distandarisasikan terhadap standard primer.
S2O32- + 2H+ → H2S2O3 → H2S2O3 + S(s)

Tetapi reaksi lambat dan tak terjadi bila tiosulfat dititrasikan ke dalam
larutan iod yang asam, jika larutan diaduk dengan baik. Reaksi antara iod dan
tiosulfat jauh lebih cepat daripada reaksi penguraian.

Iod mengoksidasi tiosulfat menjadi ion tetrationat :

4I2 + S2O32- + 5H2O → 8I- + 2SO42- + 10H+

Dalam larutan netral atau sedikit sekali basa, oksidasi menjadi sulfat
itu tidak terjadi, jika digunakan iod sebagai titran. Banyak zat pengoksid
kuat, seperti pereaksi dichromat, permanganat dan garam serium (IV),
mengoksidasi tiosulfat menjadi sulfat, namun reaksinya tidak kuantitatif.
(A.L. Underwood, 1986)

2.7 Kanji (Starch)


Larutan kanji mudah terurai oleh bakteri, suatu proses yang dapat
dihambat dengan jalan sterilisasi atau dengan penambahan suatu zat pengawet.
Hasil peruraiannya memakai iodium dan berubah menjadi kemerah-merahan.
Merkurium (II) iodida, asam borat atau asam furoat dapat digunakan sebagai
pengawet. Kondisi yang menimbulkan hidrolisis atau koagulasi kanji
hendaklah dihindari. Kepekaan indikator berkurang dengan naiknya
temperatur dan oleh beberapa zat organik, seperti metil dan etil alkohol.
Warna larutan iod 0,1 N cukup kuat sehingga iodium dapat bertindak
sebagai indikator sendiri. Iodium juga memberikan warna ungu atau merah
lembayung yang kuat kepada pelarut-pelarut seperti karbon tetraklorida atau
kloroform, dan kadang- kadang hal ini digunakan untuk mengetahui titik akhir
reaksi. Akan tetapi lebih umum digunakan suatu larutan (dispersi koloid) kanji,
dari warna biru tua kompleks pati- iodium berperan sebagai uji kepekaan
terhadap iodium.
Kepekaan lebih besar dalam larutan sedikit sekali asam daripada dalam
larutan netral dan lebih adanya ion iodida. Mekanisme yang tepat dari
pembentukan kompleks itu belum diketahui. Tetapi diduga bahwa molekul
iodium diikat pada permukaan β- amilosa, suatu konstituen-konstituen kanji
lain, α-amilosa, atau amilopektin, membentuk kompleks kemerahan dimana
warna tidak mudah dihilangkan. Oleh karena itu, kanji yang mengandung
amilopektin sebaiknya tak digunakan. Produk komersial, “kanji larut” terdiri
terutamaβ–amilosa.(A.L.Underwood,1986)
Tinjauan Bahan

NAMA SIFAT FISIKA IDENTIFIKASI


NO. PENANGANAN
BAHAN DAN KIMIA BAHAYA

- Bilas segera dengan


air banyak minimal 15
menit cari pertolongan
medis jika terjadi
iritasi.
- Bentuk : serbuk
- Segera cuci mata
kristalin, serbuk
dengan air yang
solid, kristal - Menyebabkan
banyak atau dengan
solid iritasi jika kontak
larutan garam normal,
- Warna : putih dengan kulit dan
dengan sesekali
Natrium kecoklatan, mata
1. membuka kelopak
Sulfit - Bau : berbau - Menyebakan
mata.
sulfur iritasi jika terhirup
- Pindahkan ke tempat
Titik didih : - Menyebabkan
yang berudara segar
212 °F iritasi jika tertelan
dan beri oksigen
(>100°C)
segera cari
- pH : 9
pertolongan medis.
- Jika tertelan,
cuci mulut dengan air
Dilarang memberikan
apapun melalui mulut.

- Cuci dengan banyak


sabun dan air.
- Pindahkan ke tempat
- Berbahaya jika
- Bentuk : Cair berudara segar dan
tertelan.
- Warna : Tidak jaga tetap relaks pada
- Menyebabkan
berwarna posisi yang nyaman
iritasi kulit.
- Bau : Manis untuk bernafas.
2. Kloroform - Menyebabkan
- Titik didih : - Bilas dengan seksama
iritasi mata yang
61 °C dengan air untuk
serius.
- Densitas : 1,48 beberapa menit.
- Toksik jika
g/cm3 - Jangan memasukkan
terhirup.
sesuatu kedalam
mulut korban yang
pingsan, jika bahan ini
tertelan dalam jumlah
banyak segera cari
pertolongan medis.
- Bilas segera dengan
air banyak minimal 15
- Menyebabkan menit cari pertolongan
- Bentuk : Cairan
iritasi mata dan medis jika terjadi
bening
kulit iritasi
- Bau : Khas
- Menyebabkan - Pindahkan ke tempat
- Titik didih :
iritasi saluran yang berudara segar
>76ºC
pernapasan cari pertolongan
3. Ethanol - Densitas : 1,59
- Jika tertelan medis
– 1,62
menyebabkan - Jangan memasukkan
- Kelarutan :
pusing, kantuk, sesuatu kedalam
Larut dalam air
dan perasaan mulut korban yang
dingin
muak pingsan, jika bahan ini
tertelan dalam jumlah
banyak segera cari
pertolongan medis.
- Pindahkan ke tempat
- Toksik bila berudara segar dan
tertelan atau baringkan dengan
- Bentuk : Cair terkena kulit. posisi yang nyaman
tidak berwarna - Menyebabkan untuk bernafas.
- Titik didih : kulit terbakar yang - Segera cuci dengan
97ºC parah dan banyak air
4. Formalin - pH : 3 - 4 kerusakan mata. - Segera cuci dengan
- Bau : - Dapat sebanyak mungkin air
Menyengat menyebabkan yang mengalir selama
- Densitas : 1,09 alergi atau gejala 10-15 menit dengan
g /cm³ asma atau kelopak mata terbuka.
kesulitan bernafas - Bilas mulut segera
jka terhirup. dan minum air yang
banyak
- Bentuk : Kristal - Untuk kontak dengan
- Menyebabkan
putih atau mata segera basuh
iritasi mata dan
bubuk mata dengan air
kulit jika terkena
Natrium - Titik didih : mengalir selama 15
5. atau terpapar
Thiosulfat Diatas 100ºC menit dan
langsung
- pH : 6,5 – 8,0 untuk kontak dengan
- Menyebabkan
- Berat kulit, cuci dengan
iritasi pada saluran
Jenis: 1,69 sabun dan air selama
- Berat molekul: pencernaan jika minimal 20 menit. seg
248,17 tertelan era mencari medis
- Menyebabkan jika terjadi iritasi atau
iritasi pada saluran berkelanjutan.
pernapasan jika - Jika tertelan,
terhirup cuci mulut dengan air
Dilarang memberikan
apapun melalui mulut.
- Pindahkan korban ke
udara segar. Berikan
oksigen jika sulit
bernapas.
- Bilas segera dengan
air banyak minimal 15
menit cari pertolongan
medis jika terjadi
iritasi kulit.
- Menyebabkan
- Bilas dengan air yang
iritasi parah pada
mengalir selama 10-
mata dan kulit
15 menit dengan
- Menyebabkan
kelopak mata terbuka.
iritasi saluran
- Pindahkan ke tempat
6. Iodium pernapasan jika
yang berudara segar
terhirup
cari pertolongan
- Toksik bila
medis.
tertelan atau
- Jangan memasukkan
terkena kulit.
sesuatu kedalam
mulut korban yang
pingsan, jika bahan ini
tertelan dalam jumlah
banyak segera cari
pertolongan medis.
BAB III

METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Praktikum Analisis Sediaan Kosmetik dilaksanakan pada hari Selasa


tanggal 26 Maret 2019 di Laboratorium Kimia dan Instrumen Fakultas
Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Jurusan Farmasi Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang yang bertempat di Jalan Sunan Maria
Malang.

3.2. Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
1. Kondensor 9. Batang pengaduk
2. Buret 10. Spatula
3. Klem dan statif 11. Seperangkat alat refluks
4. Neraca analitik 12. Gelas beaker 50 mL
5. Erlenmeyer 250 mL 13. Gelas beaker 100 mL
6. Pipet tetes 14. Labu takar 100 mL
7. Pipet ukur 10 mL 15. Kaca arloji
8. Pipet ukur 5 mL 16. Hot plate

3.2.2 Bahan
1. Sabun mandi 6. Formalin
2. Natrium sulfit 4% b/v 7. Asam asetat glasial
3. Aquades 8. Iodin
4. Kloroform 9. Kalium Iodida
5. Etanol 10. Kanji
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Penetapan Kadar Sulfur dalam Sabun Mandi
1. Memarut sampel sabun dan menimbangnya sebanyak 100 mg
2. Dimasukkan kedalam erlenmeyer 250 mL dan ditambahkan 60
mL larutan natrium sulfit 4% b/v kemudian dipindahkan kedalam
labu alas bulat
3. Menghubungkan labu alas bulat dengan pendingin refluks dan
dididihkan hingga sampel larut seluruhnya
4. Didinginkan dengan suhu ruang
5. Ditambahkan 2,5 mL kloroform dan 25 mL etanol
6. Diaduk selama 12 menit
7. Ditmbahkan 5 mL formalin, 125 mL aquades, dan 1 mL asam
asetat glasial sambil terus diaduk
8. Ditambahkan larutan kanji sebagai indikator kurang lebih 5 mL
9. Dititrasi dengan larutan iodin 0,1 N hingga titik akhir titrasi yaitu
larutan berwarna biru atau ungu

3.3.2 Pembuatan Larutan Natrium Sulfit 4% b/v


1. Menimbang serbuk natrium sulfit sebanyak 4 gram dan
dimasukkan kedalam beaker glass
2. Memasukkan aquades sebanyak 60 mL dan diaduk hingga
homogen

3.3.3 Pembuatan Larutan Kanji 0,1%


1. Menimbang serbuk kanji sebanyak 1 gram dan dimasukkan
kedalam beaker glass
2. Menuangkan sedikit aquades kedalam beaker glass lalu
mengaduk serbuk kanji hingga membentuk pasta
3. Memanaskan aquades sebanyak 100 mL hingga hampir mendidih
dengan hot plate
4. Melarutkan kanji dengan penambahan sedikit air panas
5. Memasukkan larutan kanji kedalam labu takar 100 mL
6. Memasukkan air panas kedalam labu takar hingga tanda batas lalu
dihomogenkan
3.3.4 Pembuatan Larutan Iodin
1. Menimbang padatan iodin sebanyak 1,28 gram
2. Memasukkan kedalam beaker glass dan ditambah 100 mL
aquades
3. Memasukkan padatan KI sedikit demi sedikit hingga padatan
iodin larut sempurna
4. Memasukkan kedalam labu takar 100 mL dan ditambahkan
aquades hingga tanda batas kemudian dihomogenkan

3.4 Penjelasan alat


4 N Fungsi
Nama Alat Gambar
o

Memindahkan larutan
1 Pipet Tetes dalam skala kecil

Tempat untuk
menyimpan dan
membuat larutan. Beaker
glass memiliki takaran
2 Gelas Beker
namun jarang bahkan
tidak diperbolehkan
untuk mengukur volume
suatu zat cair.
Untuk mengaduk larutan
3 Batang Pengaduk sampel

Wadah untuk
4 Gelas Arloji menimbang sampel

berfungsi untuk
memindahkan cairan

5. Pipet Ukur atau larutan ke dalam


wadah dalam berbagai
ukuran volume

Menghisap larutan yang


akan diukur dari botol
larutan. Untuk larutan
selain air sebaiknya
6. Bola Hisap digunakan karet pengisat
yang telah
disambungkan pada
pipet ukur.

Sebagai alat bantu


untuk memindah /
8. Corong Gelas memasukkan larutan ke
wadah / tempat yang
mempunyaai dimensi
pemasukkan sampel
bahan kecil.
Sebagai alat bantu
dalam melakukan
penyaringan, yaitu
sebagai tempat
meletakkan kertas saring
Corong digunakan
untuk memasukan atau
memindah larutan air
satu tempat ke tempat
lain dan digunakan pula
untuk proses penyaringan
setelah diberi kertas
saring pada bagian atas.
Untuk menyaring
campuran kimia dengan
gravitasi.

Untuk mengambil bahan


kimia yang berbentuk
9. Spatula padatan dan untuk
mengaduk larutan

Sebagai tempat sampel


10. Labu Alas Bulat yang akan diekstrak
Sebagai tempat
mengalirnya air
11. Kondensor pendingin yang meiliki
aliran masuk dan keluar

Untuk memanaskan
12. Hot Plate suatu larutan

Untuk mempertahankan

13. Klem dan Statif posisi dan menegakkan


suatu rangkaian alat

Untuk menitrasi suatu

14. Buret larutan dan tempat untuk


larutan penitran

Untuk menampung

15. Erlenmeyer larutan yang akan


dititrasi (titrat)
Untuk mengukur larutan
secara spesifik dengan

16. Labu Takar ketelitian pengukuran


yang sangat tinggi dan
mengencerkan larutan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Pengamatan

NO PERLAKUAN HASIL

1 Menimbang sampel sabun JF 0,1 gram, berwarna kuning

2 Volume pelarut (Aquades) 100 ml

3 Menimbang Natrium Sulfit


4 gram, serbuk putih
(Na2SO3)

4 Sampel + larutan sulfit 60 ml, bening dan tidak larut

5 Sampel + larutan sulfit di refluks


Bening
hingga mendidih

6 Putih keruh dan terdapat sedikit


Hasil refluks di dinginkan
endapan seperti bekas sabun

7 Larutan dipipet 13,75 ml dalam 1


erlenmeyer + 2,5 ml kloroform +
Putih bening
25 ml etanol, diaduk selama 3
menit (menggunakan 4 erlenmeyer)

8 Ditambahkan 5 ml formalin, 125


ml aquades, 1 ml asam asetat
Larutan berwarna putih susu
glasial, dan larutan kanji ± 5 ml
dalam masing-masing erlenmeyer

9 Volume titrasi 1 : 2,1 ml (hijau


Di titrasi dengan iodium 0,1 N keabu abuan lalu didiamkan menjadi
ungu bening dan terdapat bulir ungu)
Volume titrasi 2 : 2,6 ml (ungu
keabu-abuan lalu didiamkan menjadi
ungu bening dan terdapat bulir ungu)

Volume titrasi 3 : 2,5 ml (abu-abu


lalu didiamkan menjadi ungu bening
dan terdapat bulir ungu)

Volume titrasi 4 : 2,5 ml (abu-abu


lalu didiamkan menjadi ungu bening
dan terdapat bulir ungu)

4.2 Analisa Prosedur


Berdasarkan praktikum “Penetapan Kadar Sulfur dalam Sampel
Sabun Mandi (JF)”. Langkah pertama yang harus dilakukan yaitu
menimbang sampel sebanyak 25mg dengan cara mengerik sabun padat.
Kemudian dilarutkan dalam Erlenmeyer 250ml dengan larutan Natrium
Sulfit 4% b/v sebanyak 15ml, lalu diaduk hingga larutan sampel dirasa sudah
homogeny sempurna. Penambahan larutan Natrium Sulfit berfungsi untuk
mereduksikan S menjadi S2O32-, yang jumlahnya secara kuantitatif sama
dengan analit (sulfur) serta membentuk Natrium Thiosulfat (Na2S2O3).
Kemudian melakukan metode Reflux dengan cara memasang
seperangkat alat reflux, dimulai dari bagian paling bawah yang kemudian
disanggah dengan bantuan statif dan klem. Selanjutnya memasukkan
larutan sampel yang telah dibuat kedalam labu alas bulat serta ditambahkan
dengan beberapa batu didih, yang bertujuan untuk membantu mempercepat
dan meratakan proses pemanasan. Kemudian labu alas bulat dihubungkan
dengan kondensor yang berfungsi untuk proses pendinginan. Selanjutnya
mendidihkan larutan dengan cara memanaskan labu alas bulat diatas
penangas air selama ± 45 menit hingga sampel terlarut sempurna.
Setelah itu, larutan didinginkan disuhu ruang selama ± 15 menit, lalu
menambahkan larutan kloroform sebanyak 2,5ml dan etanol sebanyak
25ml. penambahan kloroform dilakukan dengan tujuan untuk mengisolasi
SO2(gas) dalam larutan sehingga tidak bereaksi dengan I2(aq). Pemilihan
kloroform dikarenakan SO2(gas) terlarut dalam kloroform yang bersifat non
polar, sehingga tidak terjadi reaksi dengan I2 yang terlarut dalam air yang
bersifat polar. Sedangkan, penambahan etanol bertujuan untuk melarutkan
lemak pada sabun serta menghilangkan buih pada sabun. Setelah itu,
dilakukan pengadukan dengan menggunakan magnetic stirer selama ± 3
menit.
Selanjutnya, menambahkan larutan sampel dengan formalin
sebanyak 5 ml, aquadest sebanyak 125 ml dan asam asetat glacial sebanyak
1 ml sambil mengaduk. Kemudian menambahkan dengan larutan kanji
sebanyak 5 ml yang berfungsi sebagai indikator. Setelah itu, mentitrasi
larutan sampel dengan larutan iodium 0,1 N hingga titik akhir titrasi, titik
akhir titirasi yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna larutan
menjadi warna biru.

4.3 Analisa Hasil

Pada praktikum yang telah dilakukan yaiu penetapan kadar sulfur


dalam sabun mandi dengan metode refluks dan titrasi iodometri. Prinsip
pada praktikum ini yaitu sulfur yang bebas setelah direfluks dengan
penambahan natrium sulfit akan membentuk natrium tiosulfat dan
dilanjutkan dengan titrasi menggunakan iodium 0,1 N. Dengan cara
menimbang sampel sabun mandi dengan merek dagang “JF Sulfur”
sebanyak 0,1 gram, sampel tersebut dalam bentuk padatan berwarna kuning.
Kemudian sampel sabun dilarutkan dengan larutan sulfit sebanyak 60 ml
sehingga menghasilkan larutan bening dan masih terdapat sabun yang tidak
larut. Selanjutnya direfluks selama ± 60 menit kemudian larutan
didinginkan dan menghasilkan larutan berwarna bening yang terdapat
endapan putih.

Untuk dapat mengetahui kadar sulfur pada sampel dilakukan dengan


titrasi iodometri. Iodometri merupakan cara analisis dalam titrimetri yang
menggunakan larutan I2 sebagai titran. Pada percobaan titrasi dengan
iodium 0,1 N melakukan 4 kali percobaan/ pengulangan (quarto) 4 tabung
erlenmeyer . Larutan hasil refluk dipipet 13,75 ml lalu tambahkan 2,5 ml
larutan kloroform , 25 ml etanol dan diaduk selama 3 menit sehingga
menghasilkan larutan berwarna putih bening. Selanjutnya tambahkan
larutan 5 ml formalin, 125 ml aquades, 1 ml CHCOOH dan 5 ml larutan
kanji sehingga menghasilkan larutan putih susu. Kemudian melakukan
titrasi dengan larutan iodium 0,1 N. Pada tabung titrasi 1 volume titran yang
dibutuhkan yaitu 2,1 ml sehingga menghasilkan warna larutan hijau keabu
abuan kemudian didiamkan sebentar menghasilkan warna larutan ungu
bening dan terdapat bulir ungu. Pada tabung titrasi 2 volume volume titran
yang dibutuhkan yaitu 2,6 ml sehingga menghasilkan warna larutan ungu
keabu abuan kemudian didiamkan sebentar menghasilkan warna larutan
ungu bening dan terdapat bulir ungu.

Tabung titrasi 3 volume volume titran yang dibutuhkan yaitu 2,5 ml


sehingga menghasilkan warna larutan abu abu kemudian didiamkan
sebentar menghasilkan warna larutan ungu bening dan terdapat bulir ungu.
Pada tabung titrasi 4 volume volume titran yang dibutuhkan yaitu 2,5 ml
sehingga menghasilkan warna larutan abu abu kemudian didiamkan
sebentar menghasilkan warna larutan ungu bening dan terdapat bulir ungu.
Dengan reaksi seperti berikut :

Dari ke empat percobaan didapatkan volume rata rata titran sebesar


2,43 ml dengan kadar sulfur dalam sampel sebesar 7,79% . Maka dapat
diketahui kadar sulfur berada dibawah batas maksimum yang ditetapkan
SNI 06 3532 1994 sehinnga sampel memenuhi syarat dalam SNI.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pada praktikum ini, praktikan dapat mengetahui jumlah kandungan
sulfur pada sediaan sabun mandi. Hasil dari ptaktikum dari ke empat
percobaan didapatkan volume rata rata titran sebesar 2,43 ml dengan kadar
sulfur dalam sampel sebesar 7,79% . Maka dapat diketahui kadar sulfur
berada dibawah batas maksimum yang ditetapkan SNI 06 3532 1994
sehinnga sampel memenuhi syarat dalam SNI.

5.2 Saran
Sebaiknya setiap proses dapat dilakukan sendiri, agar praktikan
dapat melakukan praktikum sendiri dari awal hingga akhir dan memahami
setiap prosedur.
DAFTAR PUSTAKA

Poedjiadi, A. 2007. Dasar-dasar Biokimia. Edisi Revisi. UI Press, Jakarta.


Fessenden, Ralph J. and Fessenden, Joan. S.,1992, Kimia Organik, Erlangga.
Jakarta.
Luis, Spitz. 1996. Soap and Detergent Theoritical and Practical Review. AOCS
Press. United States of America.
Farid Kurnia Perdana dan Ibnu Hakim.2009. Pembuatan Sabun Cair Dari Minyak
Jarak Dan Soda Q Sebagai Upaya Meningkatkan Pangsa Pasar Soda Q.
Fakultas Teknik . Universitas Diponegoro
Supena, Ilyas. 2007. Filsafat Dakwah : Perspektif Filsafat Ilmu Sosial. Semarang:
Abshor
Fitri,dkk (2013). Hubungan pemakaian sabun pembersih kewanitaan dengan
terjadinya keputihan pada wanita usia subur (WUS) di Desa Karang Jeruk
Kecamatan Jatirejo Kabupaten Mojokerto. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Politeknik Kesehatan Majapahit Vol 5
Achmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan. Andi Yogyakarta : Yogyakarta.
Underwood,A.L and R.A Day,Jr. 1986. Analisa Kimia Kuantitatif. Jakarta:
Erlangga
Girindra, A., & M. D. Soedarno. (1988). Penuntun Praktikum Biokimia. PAU
Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soedarmo, D.M.,A.Girindra, A.Manaf, M.Wahab, F.Kustaman M.Bintang dan
Sulistiani. 1988. Penuntun Praktikum Biokimia. Bogor : Pusat Antar
Universitas IPB.
Buckle, K. A., Edwards, R. A., Fleet, G. H., and Wotton, M. 1987. Ilmu Pangan.
Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press.
Jakarta.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Tranggono, Setiaji, dkk., 1989, Biokimia Pangan, Pusat Antar Universitas Pangan
Gizi, UGM, Yogyakarta.
Ketaren. (1986). Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan, Jakarta :
UIPress.
LAMPIRAN

Gambar 1 Larutan Analit Gambar 2 Titrasi 1


Gambar 3 Titrasi 2

Gambar 4 Titrasi 3 Gambar 5 Titrasi 4


Perhitungan
Perhitungan Kadar Sulfur:

Diketahui:

Volume titrasi: T1= 2,6; T2= 2,1; T3= 2,5; T4= 2,5 (V rata-rata=2,425 mL)

N I2 : 0,1 N

Bu: 25 mg= 0,025 g

Ditanya: Kadar Sulfur (%)

Jawab:
𝑁 1
% sulfur = 𝑉 × 0,1 × 0,003206 × 𝐵𝑢 × 100%

0,1 𝑁 1
= 2,425 𝑚𝐿 × × 0,003206 × 0,025 𝑔 × 100%
0,1

= 31,0982 %

Anda mungkin juga menyukai