KHHNK
KHHNK
PENDAHULUAN
1 | A s u h a n K e p e r a w a t a n HHNK
1.3 TUJUAN
1. Tujuan umum
Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan pada klien koma hiperglikemia
hiperosmolar non ketotik
2. Tujuan khusus
a. Untuk Mengetahui Pengertian Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik.
b. Untuk Mengetahui Etiologi Dari Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik.
c. Untuk Mengetahui Manifestasi Klinik Dari Koma Hiperosmolar Hiperglikemik
Nonketotik.
d. Untuk Mengetahui Patofisiologi Dari Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik
e. Untuk Mengetahui Diagnosis Dari Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik.
f. Untuk Mengetahui Penatalaksaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik.
g. Untuk Mengetahui Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Koma Hiperosmolar
Hiperglikemik Nonketotik.
2 | A s u h a n K e p e r a w a t a n HHNK
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN
2.2 ETIOLOGI
1. Infeksi, misalnya adanya selulitis, infeksi gigi, pneumonia, sepsis, dan ISK
2. Pengobatan, misalnya pada penggunaan obat kemoterapi, glukokortikoid, fenitoin, diuretic
tiazid, dan propanolol.
3. Noncompliance, maksudnya adalah ketidakpatuhan penderita Diabetes Melitus terhadap
penatalaksanaan yang dianjurkan, misalnya dalam hal mengkonsumsi makanan, tidak patuh
meminum obat, melewatkan jadwal penyuntikan, dan lain-lain.
4. Diabetes Melitus tidak terdiagnosis.
5. Penyalahgunaan obat, seperti alkohol dan kokain.
6. Penyakit penyerta, missal adanya infark miokard akut, tumor yang menghasilkan hormone
adrenokortikotropin, kejadian serebrovaskular, sindrom cushing, hipertemia, hipotermia,
thrombosis mesenterika, pancreatitis, emboli paru, gagal ginjal, luka bakar berat,
tirotoksitosis, dll.
3 | A s u h a n K e p e r a w a t a n HHNK
Gejala-gejala meliputi :
1. Agak mengantuk, insiden stupor atau sering koma.
2. Poliuria selam 1 -3 hari sebelum gejala klinis timbul.
3. Tidak ada hiperventilasi dan tidak ada bau napas.
4. Penipisan volume sangat berlebihan (dehidrasi, hipovolemi).
5. Glukosa serum mencapai 600 mg/dl sampai 2400 mg/dl.
6. Kadang-kadang terdapat gejala-gejala gastrointestinal.
7. Hipernatremia.
8. Kegagalan mekanisme haus yang mengakibatkan pencernaan air tidak adekuat.
9. Osmolaritas serum tinggi dengan gejala SSP minimal (disorientasi, kejang setempat).
10. Kerusakan fungsi ginjal.
11. Kadar HCO3 kurang dari 10 mEq/L.
12. Kadar CO2 normal.
13. Celah anion kurang dari 7 mEq/L.
14. Kalium serum biasanya normal.
15. Tidak ada ketonemia.
16. Asidosis ringan.
2.4 PATOFISIOLOGI
4 | A s u h a n K e p e r a w a t a n HHNK
Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi glikogen sehingga
kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan
hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila
terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa
dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan
dikeluarkan bersama urine yang disebut glukosuria. Bersamaan keadaan glukosuria maka
sejumlah air hilang dalam urine yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intra
selluler, hal ini akan merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus
menerus sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi. Perfusi ginjal menurun
mengakibatkan sekresi hormon lebih meningkat lagi dan timbul hiperosmolar hiperglikemik.
Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya transport glukosa ke sel-
sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein
menjadi menipis. Karena digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien
akan merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia.
Kegagalan tubuh mengembalikan ke situasi homestasis akan mengakibatkan
hiperglikemia, hiperosmolar, diuresis osmotik berlebihan dan dehidrasi berat. Disfungsi
sistem saraf pusat karena ganguan transport oksigen ke otak dan cenderung menjadi koma.
Hemokonsentrasi akan meningkatkan viskositas darah dimana dapat mengakibatkan
pembentukan bekuan darah, tromboemboli, infark cerebral, jantung.
2.5 DIAGNOSIS
Pasien dengan HHNK, umumnya berusia lanjut, belum diketahui mempunyai DM, dan
pasien DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dan atau obat hipoglikemi oral. Seringkali
dijumpai penggunaan obat yang semakin memperberat masalah, misalnya diuretic
(Soewondo, 2009).
Keluhan pasien HHNK ialah : rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang.
Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan
dengan KAD. Kadang, pasien dating dengan disertai keluhan saraf seperti letargi,
disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma (Sewondo, 2009).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tamda dehidrasi berat seperti turgor yang
buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut
nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu
5 | A s u h a n K e p e r a w a t a n HHNK
tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah
rehidrasi adekuat (Soewondo, 2009).
Perubahan pada status mental dapat bekisar dari disorientasi sampai koma. Derajat
gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan osmolaritas efektif
serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350
mmol per kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang umum, local,
maupun, mioklonik. Dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat reversible dengan koreksi
deficit cairan (Soewondo, 2009).
Temuan laboratorium awal pada pasien dengan HHNK adalah konsentrasi glukosa
darah yang sangat tinggi (> 600 mg per dL) dan osmolaritas serum yang tinggi (> 320 mOsm
per kg air [normal = 290 ± 5]), dengan pH lebih besar dari 7,30 dan disertai ketonemia ringan
atau tidak. Separuh pasien akan menunjukkan asidosis metabolik dengan anion gap yang
ringan (10 – 12). Jika anion gap nya berat (>12), harus dipikirkan diagnosis diferensial
asidosis laktat atau penyebab lain. Muntah dan penggunaan diuretik tiazid dapat
menyebabkan alkalosis metabolik yang dapat menutupi tingkat keparahan asidosis.
Konsentrasi kalium dapat meningkat atau normal. Konsentrasi kreatinin, blood urea nitrogen
(BUN), dan hematokrit hampir selalu meningkat. HHNK menyebabkan tubuh banyak
kehilangan berbagai macam elektrolit (Soewondo, 2009).
6 | A s u h a n K e p e r a w a t a n HHNK
Dalam penemuan laboratorium awal pada koma hiperosmolar dengan seri Brookiyn
dan Washington, didapatkan data sebagai berikut (Foster, 2000) :
Kalium, mmol/L 5 5
Klorida, mmol/L 99 98
Bikarbonat, mmol/L 17 22
2.6 PENATALAKSANAAN
1. Prinsip Penatalaksanaan
Angka kematian pada koma hiperosmolar tinggi (>50%). Akibatnya terapi segera
sangat mendesak. Tindakan yang paling penting adalah pemberian cairan intravena dalam
jumlah besar untuk memulihkan sirkulasi dan aliran urin. Deficit cairan rata-rata adalah 10
sampai 11 liter. Sementara air tawar akan sangat diperlukan, terapi awal harus berupa larutan
garam isotonik, 2 sampai 3 liter harus diberikan dalam 1 sampai 2 jam pertama. Kemudian
salin separuh kekuatan dapat digunakan. Begitu kadar glukosa mencapai normal, dapat
diberikan dekstrose 5 persen sebagai pembawa air tawar. Jika komahiperosmolar dapat
dipulihkan dengan cairan saja, insulin harus diberikan untuk mengendalikan hiperglikemia
lebih cepat. Banyak penulis menganjurkan dosis kecil insulin tetapi mungkin diperlukan
jumlah yang lebih besar terutama pada pasien obes. Garam kalium biasanya diperlukan lebih
awal dalam terapi koma hiperosmolar disbanding pada ketoasidosis karena pergeseran K+
7 | A s u h a n K e p e r a w a t a n HHNK
plasma intraseluler selama peningkatan terapi tanpa asidosis. Jika terdapat asidosis laktat,
natrium bikarbonat harus diberikan sampai perfusi jaringan dapat dipulihkan. Antibiotika
diperlukan jika infeksi merupakan penyakit (Foster, 2000).
2. Penatalaksanaan Medikamentosa
a. Cairan
Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun, bahkan sebelum insulin
diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik akan cukupnya terapi cairan yang
diberikan. Jika konsentrasi glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar 75- 100 mg per dL
per jam, hal ini biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang atau gangguan ginjal
(Soewondo, 2009).
8 | A s u h a n K e p e r a w a t a n HHNK
b. Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena konsentrasi
kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium yang sebenarnya akan
terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke
dalam sel. Konsentrasi elektrolit harus dipantau terus-menerus dan irama jantung pasien juga
harus dimonitor (Soewondo, 2009).
Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol per L), pemberian insulin
ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai
konsentrasi kalium setidaknya 3,3 mEq per L). Jika konsentrasi kalium lebih besar dari 5,0
mEq per L (5,0 mmol per L), konsentrasi kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq
per L, namun sebaiknya konsentrasi kalium ini perlu dimonitor tiap dua jam. Jika konsentrasi
awal kalium antara 3,3-5,0 mEq per L , maka 20-30 mEq kalium harus diberikan dalam tiap
liter cairan intravena yang diberikan (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk
mempertahankan konsentrasi kalium antara 4,0 mEq per L (4,0 mmol per L) dan 5,0 mEq per
L (Soewondo, 2009).
c. Insulin
Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pamberian cairan yang
adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan akan
berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vaskular,
atau kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secara intravena,
dan diikuti dengan drip 0,1U/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa darah turun antara
250 mg per dL (13,9 mmol per L) sampai 300 mg per Dl. Jika konsentrasi glukosa dalam
darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika
konsentrasi glukosa darah sudah mencapai dibawah 300 mg/dL, sebaiknya diberikan
dekstrosa secara intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya
kesadaran dan keadaan hiperosmolar (Soewondo, 2009).
9 | A s u h a n K e p e r a w a t a n HHNK
Selain itu dapat juga dengan dilakukan pencegahan penyakit Diabetes Melitus yang biasanya
merupakan penyebab awal KHHNK, meliputi (Yunir, 2009) :
a. Terapi gizi
Prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status
gizi diabetesi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.
b. Latihan jasmani
Latihan jasmani pada diabetesi akan menimbulkan perubahan metabolik, yang
dipengaruhi selain oleh lama, berat latihan, dan tingkat kebugaran, juga oleh kada insulin
plasma, kadar glukosa darah, kadar benda keton dan imbangan cairan tubuh
5. Pencegahan
Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah perlunya penyuluhan mengenai
pentingnya pemantauan konsentrasi glukosa darah dan compliance yang tinggi terhadap
pengobatan yang diberikan. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah adanya akses
terhadap persediaan air. Jika pasien tinggal sendiri, teman atau anggota keluarga terdekat
sebaiknya secara rutin menengok pasien untuk memperhatikan adanya perubahan status
mental dan kemudian menghubungi dokter jika hal tersebut ditemui (Soewondo, 2009).
Pada tempat perawatan, petugas yang terlibat dalam perawatan harus diberikan edukasi
yang memadai mengenai tanda dan gejala HHNK dan juga edukasi mengenai pentingnya
asupan cairan yang memadai dan pemantauan yang ketat (Soewondo, 2009). Kemudian diet
yang baik merupakan salah satu pencegahan dari HHNK. Diet yang dianjurkan adalah
makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai
dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut :
a. Karbohidrat : 60-70 %
b. Protein : 10-15 %
c. Lemak : 20-25 %
10 | A s u h a n K e p e r a w a t a n HHNK
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan
kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat
badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensim insulin
dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian
dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6%
(HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan
dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Selain jumlah kalori, pilihan
jenis bahan makanan juga sebaiknya diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan,
namun jangan melebihi 300 mg per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan
nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak
jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada),
tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi
penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari. Disamping akan menolong
menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga
dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko
masukan kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat seperti sayur dan buah-
buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan mineral (American Diabetes Association,
2004).
Selain diet, dengan berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar
gula darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya
untuk mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya,
tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus
pengaruhnya bagi kesehatan (American Diabetes Association, 2004). Olahraga yang
disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive,
Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75- 85% denyut nadi
maksimal (220-umur),disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa
contoh olahraga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang,dan
lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total30-40 menit per hari
didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah
raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh
dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (American Diabetes Association, 2004).
11 | A s u h a n K e p e r a w a t a n HHNK
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
1. Primery Survey
a. Air way
Kemungkinan ada sumbatan jalan nafas, terjadi karena adanya penurunan
kesadaran / koma sebagai akibat dari gangguan transport oksigen ke otak.
b. Breathing
Tachypnea, sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan oksigen.
c. Circulation
Sebagai akibat diuresis osmotik, akan terjadi dehidrasi. Visikositas darah juga akan
mengalami peningkatan, yang berdampak pada resiko terbentuknya trombus. Sehingga
akan menyebabkan tidak adekuatnya perfusi organ.
d. Disability
Kemungkinan terjadinya penurunan kesadaran.
2. Sekunder Survey
Bilamana managemen ABC menghasilkan kondisi yang stabil, perlu pengkajian dengan
menggunakan pendekatan head to toe. Dari pemeriksaan fisik ditemukan pasien dalam
keadaan apatis sampai koma, tanda-tanda dehidrasi seperti turgor turun disertai tanda
kelainan neurologis, hipotensi postural, bibir dan lidah kering, tidak ada bau aseton yang
tercium dari pernapasan.
a. Pemeriksaan fisik (Mata : cekung, wajah : pucat, hidung : tidak terdapat cuping hidung)
b. Neurologi (Stupor, lemah, disorientasi, kejang, reflek normal, menurun atau tidak ada.
c. Pulmonary (Tachypnae, dyspnae, nafas tidak bau acetone)
d. Cardiovaskuler (Tachicardia, hipotensi postural, mungkin penyakit kardiovaskulaer
(hipertensi, CHF ), Capilary refill > 3 detik.
e. Renal (Poliuria ( tahap awal ), Oliguria ( tahap lanjut ), Nocturia, inkontinensia
f. Integumentary (Membran mukosa dan kulit kering, turgor kulit tidak elastis,mempunyai
infeksi kulit, luka sulit sembuh.
g. Gastrointestinal (Distensi abdomen dan penurunan bising usus)
12 | A s u h a n K e p e r a w a t a n HHNK
3. Tersier Survey
A. Riwayat Keperawatan
a) Persepsi - managemen kesehatan
- Riwayat DM tipe II
- Riwayat keluarga DM
- Gejala timbul beberapa hari, minggu.
b) Nutrisi – metabolik
- Rasa haus meningkat, polidipsi atau tidak ada rasa haus.
- Anorexia
- Berat badan turun.
c) Eliminasi
- Poliuria, nocturia.
- Diarhe atau konstipasi.
d) Aktivitas – exercise
- lelah, lemah.
e) Kognitif
- Kepala pusing, hipotensi orthostatik.
- Penglihatan kabur.
- Gangguan sensorik.
B. Pemeriksaan Diagnostik
a. Serum glukosa: 800-3000 mg/dl.
b. Gas darah arteri: biasanya normal.
c. Elektrolit biasanya rendah karena diuresis.
d. BUN dan creatinin serum meningkat karena dehidrasi atau ada gangguan renal.
e. Osmolalitas serum: biasanya lebih dari 350 mOsm/kg.
f. pH > 7,3.
g. Bikarbonat serum > 15 mEq/L.
h. Sel darah putih meningkat pada keadaan infeksi.
i. Hemoglobin dan hematokrit meningkat karena dehidrasi.
j. EKG mungkin aritmia karena penurunan potasium serum.
k. Keton urine tidak ada atau hanya sedikit.
13 | A s u h a n K e p e r a w a t a n HHNK
3.2 DIAGNOSA
1. Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan ketidakadekuatan cairan
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang tidak adekuat:
gangguan membran mukosa mulut
14 | A s u h a n K e p e r a w a t a n HHNK
mmHg,
umur 40-60 th : 140/90
mmHg.
2. Kekurangan volume Setelah dilakukan Manajemen cairan
cairan berhubungan tindakan keperawatan - Monitor warna, jumlah dan
dengan asupan selama 1x24 jam frekuensi kehilangan cairan
cairan yang tidak diharapkan: dalam 24 jam
adekuat: gangguan Kekurangan cairan akan - Observasi kehilangan cairan yang
membran mukosa teratasi, dengan KH: tinggi
mulut - Tidak ada tanda- - Diare, drainase luka, diaforesis
Data Subyektif : klien tanda dehidrasi: BB (banyak keringat), pengisapan
mengatakan haus tidak turun, elastisitas nasogastrik, perdarahan IWL
kelemahan kulit baik, membran - Monitor status hidrasi:
Data Obyektif : mukosa lembab, mata kelembaban membran mukosa,
penurunan turgor kulit, tidak cekung nadi suhu, respirasi dan tekanan
membran mukosa - TTV dalam batas darah
mulut/ kulit kering, nadi normal : - Timbang dan pantau kemajuan
meningkat TD Suhu: 36,3- 37,4 BB
menurun. Nadi : - Kolaborasi pemberian cairan
bayi : 140/menit intravena, pemasangan NGT,
anak 2th : 120/menit, douwer kateter clan pemeriksaan
anak 4th : 100/menit, elektrolit
anak 10 -14th : 85- Manajemen hipovolumia
90/menit. - Identifikasi faktor yang
Laki-laki dewasa: 60- berkontribusi terhadap bertambah
70/menit buruknya dehidrasi: demam,
Premp.dewasa: 70- stres, obat-obatan
85/menit. - kaji adanya vertigo dan hipotensi
Tekanan darah postural
(RR): - Monitor tingkat kesadaran,
umur : 110/75 mmHg, keadaan umum dan status
umur 30-40th : 125/85 hemodinamik
mmhg,
15 | A s u h a n K e p e r a w a t a n HHNK
umur 40-60th : - Monitor respon klien terhadap
140/90mmHg. penambahan cairan
- Atur posisi klien trendelenburg
diindikasikan/ bila hipotensi
- Kolaborasi dalam pemberian
produk darah/ cairan IV sesuai
program
16 | A s u h a n K e p e r a w a t a n HHNK
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pasien dengan HHNK, umumnya berusia lanjut, belum diketahui mempunyai DM, dan
pasien DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet dan atau obat hipoglikemi oral. Seringkali
dijumpai penggunaan obat yang semakin memperberat masalah, misalnya diuretic
4.2 Saran
Setelah membaca makalah kami ini, kami berharap kepada pembaca, khususnya pada
mahasiswa keperawatan dapat lebih memahami lebih dalam mengenai penatalaksanaan dan
asuhan keperawatan Hiperglikemia, hiperosmoler, koma non ketotik.
17 | A s u h a n K e p e r a w a t a n HHNK
DAFTAR PUSTAKA
Asman. 1996. .Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: balai penerbit FKUI.
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk perencanaan
dan pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Foster, Daniel W. 2000. Diabetes Mellitus. Dalam : Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit
dalam edisi 13/ editor edisi bahasa inggris, Kurt J. Isselbacher et al; editor bahasa
Indonesia, Ahmad H. Asdie. Jakarta: EGC.
Hudak dan Gallo. 2001. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, edisi VI, volume II.
Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.
Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester,
Yasmin asih. Jakarta : EGC.
Soewondo, Pradana. 2009. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik. Dalam : Aru W.
Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing.
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : FKUI
Yunir, Em, Soebardi, dan Suharko. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta :
Interna Publishing.
18 | A s u h a n K e p e r a w a t a n HHNK