Inkontinensia Urin Pada Geriatri

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

Inkontinensia Urin pada Lansia

Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510

Telephone: (021) 5694-2061

Pendahuluan
Dengan bertambahnya usia, terjadi berbagai perubahan fisiologis yang tidak hanya
berpengaruh pada penampilan fisik tetapi juga tehadap fungsi dan tanggapan pada kehidupan
sehari-hari. Dan semakin bertambahnya usia juga meningkatkan kemungkinan seseorang untuk
terserang penyakit-penyakit akibat degenerasi serta penurunan fungsi organ-organ dalam tubuh
manusia (age linked disease). Salah satu permasalahan yang kerap kali timbul dan dialami oleh
para lansia ialah inkontinensia, baik inkontenensia alvi maupun inkontinensia urin. Yang
dimaksudkan dengan inkontinensia adalah kondisi dimana seseorang tidak dapat menahan urine
maupun feses dalam jumlah tertentu sehingga menimbulkan gangguan baik dari segi kesehatan
maupun sosial. Kondisi ini tentu saja memerlukan perawatan yang intensif dan bila ditangani
dengan cermat, maka kemungkinan akan timbul berbagai macam komplikasi seperti infeksi
saluran kemih, ulkus dekubitus, urosepsis hingga gagal ginjal yang dapat berujung pada
meningkatnya mortalitas. Selain itu, akibat menurunnya fungsi fisiologis tubuh, seseorang lebih
rentan terkena suatu penyakit. Seperti kasus yang ada pada skenario, dimana seorang pasien
berusia 70 tahun tidak hanya mengalami inkontinensia urin, tetapi juga osteoartritis dan juga
depresi. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang inkontinensia, khususnya tentang
inkontinensia urin dan juga osteoartritis dan depresi pada lanjut usia.

Anamnesis
1
Kemahiran mengambil anamnesis tentang keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang
pasien memerlukan kecermatan supaya jangan sampai informasi mengenai keluhan utama justru
bukan keluhan utama sebenarnya. Bagi pasien dengan masalah inkontinensia urin, yang perlu
ditanyakan semasa anamnesa adalah:1
a. Identitas pasien
- Nama lengkap, tempat/tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaaan, suku bangsa,
agama, pendidikan dan alamat tempat tinggal.
- Digunakan untuk data penelitian, asuransi, dan sebagainya.
b. Keluhan utama
- Keluhan yang mendorong pasien untuk berobat.Contoh dari kasus: tidak dapat
menahan kencing.
c. Keluhan penyerta
- Keluhan lain yang dirasakan pasien selain keluhan utama. Pada kasus, pasien
merasakan nyeri sendi lutut pada saat berjalan.
d. Riwayat penyakit sekarang
- Merupakan ceritera yang kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan.
- Bagi masalah inkontinensia urin, hal-hal yang ditanyakan adalah:
 Lama inkontinensia

 Keadaan yang menyebabkan kebocoran urin: rasa urgensi, batuk, tegang.


 Gejala penyimpanan kandung kemih: frekuensi, urgensi, nokturia.
 Gejala berkemih: aliran urin yang keluar lambat, hanya keluar beberapa tetes urin.
e. Riwayat penyakit dahulu
- Bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara
penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang.
f. Riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat mempengaruhi traktus urinarius bagian
bawah.

Pemeriksaan Fisik

2
Pada kasus didapati seorang wanita 70 tahun datang dengan keluhan sering tidak dapat
menahan keinginan berkemih sehingga sering miksi di celana terutama saat tertawa hingga
kemudian miksi tanpa sadar. Pada pemeriksaan fisik didapat keadaan umum tampak sakit ringan,
kesadarancompos mentis dengan berat badan 60 kg dan tinggi badan 150 cm. Denyut nadi 85
kali/menit dengan tekanan darah 130/80 mmHg serta suhu 37oC dan respiratory rate 20
kali/menit. Pada hasil pemeriksaan lutut didapatkan adanya deformitas krepitasi (+), suhu raba
normal dan ROM terbatas.
Pemeriksaan fisik lebih ditekankan pada pemeriksaan abdomen, pelvis, rectum, dan
evaluasi persyaratan lumbosakral. Pada pemeriksaan abdomen bisa didapatkan distensi kandung
kemih, yang menunjukkan suatu inkontinensia luapan, dan dikonfirmasi dengan kateterisasi.
Inspekulo bisa tampak prolaps genital, sistokel dan rektokel. Adanya urine dalam vagina
terutama pasca histerektomi mungkin mengetahui adanya massa pelvis.2
Pemeriksaan fisik yang mungkin dapat dilakukan ialah palpasi dan perkusi. Pada
kebanyakan pasien, kandung kemih yang terdistensi dapat dipalpasi. Perkusi untuk mendeteksi
kandung kemih yang terdistensi dapat membantu pada pasien yang kurus tetapi mempunyai
sedikit atau tidak mempunyai manfaat pada pasien yang gemuk. Pemeriksaan pelvis pada
perempuan juga penting untuk menemukan beberapa kelainan seperti prolaps, inflamasi,
keganasan. Penilaian khusus terhadap mobilitas pasien, status mental, kemampuan mengakses
toilet akan membantu penanganan pasien yang holistic. Pencatatan aktivitas berkemih baik untuk
pasien rawat jalan maupun rawat inap dapat membantu menentukan jenis dan beratnya
inkontinensia urin serta evaluasi respon terapi.2
Sedangkan untuk osteoartritis, pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan yaitu adanya
hambatan gerakan, krepitasi, pembengkakan sendi yang seringkali asimetris, tanda-tanda
peradangan, deformitas sendi yang permanen dan perubahan gaya berjalan.

Pemeriksaan Penunjang

3
1. Urinalysis
Urinalysis dapat berguna untuk menghapuskan diagnosis banding seperti urinary tract
infection yang merupakan suatu reaksi inflamasi lokal yang dapat menyebabkan tidak
terhambatnya kontraksi kandung kemih akibat endotoksin yang diproduksi oleh bakteri yang
memiliki alpha-blocking effect pada sphincter uretra sehingga menurunkan tekanan intrauretra
yang kemudian berujung pada inkontinensia urin.3

2. Pemeriksaan Cystometry
Pemeriksaan yang biasanya dilakukan untuk mengevaluasi pengisian dan penyimpanan urin
pada kandung kemih. Cystometogram merupakan suatu hasil dari cystometry yang merupakan
kurva dari tekanan atau volume intravesikal dengan cara pengisian kandung kemih dengan air
steril atau karbon dioksida pada laju infusi konstan sambil memonitor perubahan tekanan
intravesikal. Pasien harus menahan setiap rasa ingin berkemihnya selama pemeriksaan
berlangsung. Kontraksi muskulus detrusor yang melebihi 15 cmH2O dianggap kondisi abnormal.
Data yang didapat pada grafik terdiri dari lima fase yakni sensasi propriosepsi, sensasi merasa
kandung kemih penuh, sensasi ingin berkemih, munculnya kontraksi muskulus detrusor volunter
dan kemampuan untuk menghentikan kontraksi muskulus detrusor. Kondisi negatif dapat
merupakan salah satu indikasi adanya inkontinensia urin.4

3. Tes diagnostik lanjutan


Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa
sitologi perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut
adalah:5
 Tes urodinamik: untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah.
 Tes tekanan urethra: mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat
dinamis.
 Imaging: tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.

Working Diagnosis

4
Inkontinensia campuran

Berdasarkan kasus yang ada dapat disimpulkan bahwa ibu tersebut menderita inkontinensia
campuran. Yaitu jenis inkontinensia gabungan antara inkontinensia urgensi dan inkontinensia stress.
Inkontinensia urgensi disebabkan oleh aktivitas kandung kemih yang berlebihan. Inkontinensia tipe
urgensi ditandai dengan ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul.
Manifestasinya dapat berupa urgensi, frekuensi dan nokturia. Kelainan ini dibagi menjadi 2 subtipe yaitu
motorik dan sensorik.2
Subtipe motorik disebabkan oleh lesi pada sistem saraf pusat seperti yang terjadi pada stroke,
parkinsonism, tumor otak dan sklerosis multipel maupun adanya lesi pada medula spinalis daerah
suprasakral. Subtipe sensorik dapat disebabkan oleh hipersensitivas kandung kemih akibat cystisis,
uretritis dan diverkulitis.2
Sedangkan inkontinensia stress disebabkan pengaruh melemahnya otot dasar panggul. Hal
ini dapat terjadi pada lansia karena pengaruh umur yang menyebabkan semakin lemahnya fungsi
otot-otot panggul. Faktor resiko sebagai wanita juga meningkatkan kemungkinan terjadinya
inkontinensia stress. Wanita yang sering hamil dan melahirkan akan membutuhkan kerja otot
panggul yang lebih sering untuk menahan janin selama usia kehamilan dan untuk membantu
kontraksi pada proses partus atau melahirkan. Peningkatan resiko pada wanita lansia juga dapat
disebabkan karena penurunan kerja hormon estrogen pasca menopause.2

Osteoatritis

Osteoatritis (OA) didefinisikan sebagai berbagai kelompok yang menyebabkan gejala dan
tanda sendi yang berhubungan dengan kerusakan integritas kartilago articular selain perubahan
pada tulang yang mendasarinya.Osteoatritis primer bersifat idiopatik dan dapat bersifat general
atau local.Osteoatritis sekunder terjadi akibat adanya faktor risiko yang teridentifikasi atau
adanya penyebab seperti trauma sendi, abnormalitas anatomis, infeksi, neuropati, perubahan
metabolic pada kartilago (hemokromatosis), atau perubahan tulang subkondral (akromegali,
penyakit pagel).6

Osteoarthritis adalah suatu gangguan persendian dimana terjadi perubahan berkurangnya


tulang rawan sendi dan terjadi hipertropi tulang hingga terbentuk tonjolan tulang pada
permukaan sendi (osteopit).Keluhan sakit sendi biasanya hilang – hilang timbul dan menyerang
hanya beberapa persendian.Pada tahap awal, nyeri sendi timbul bila selesai latihan fisik yang

5
berat kemudian hilang setelah istirahat. Keluhan kemudian berlanjut menjadi kekakuan sendi
sewaktu bangun pagi yang hilang dalam waktu 15 – 30 menit dan makin berkurang setelah
digerakkan.7

Osteoarthritis biasanya terjadi pada usia di atas 50 tahun. Di Amerika, dialporkan bahwa
terdapat lebih dari 60.000.000 penderita osteoarthritis, sampai penyakit ini disebut sebagai
penyakit pasca pensiun. Sekitar 300.000 penderita menjalani operasi tulang panggul, terutama
karena menderita osteoarthritis. Sebagian besar penderita osteoarthritis kelihatannya menderita
obesitas, perempuan lebih banyak menderita osteoarthritis daripada lelaki dan terutama pada usia
lanut. Sendi yang sering dikenai osteoarthritis adalah : sendi lutut, panggul dan beberapa sendi
kecil di tangan dan kaki.7

Penderita osteoarthritis panggul biasanya menderita kelainan kongenital yang disebut


kongenital dysplasia atau mengalami pergeseran sendi pangkal paha atau pengakit Legg – Calve
– Perthes)peradangan tulang dan tulang rawan = ostochondrosis). Penderita osteoarthritis
kelihatannya dipengaruhi oleh faktor keluarga. Sendi yang seing menderita adalah ujung – ujung
jari terutama jempol, persendian tulang leher, pinggang, lutut, dan pinggul. Beberapa faktor
lainnya yang mempengaruhi terjadinya osteoarthritis , antara lain proses ketuaan, trauma pada
sendi, stress sendi (karena terlalu banyak dipakai atau beban terlalu berat) dan aktivitas olahraga
yang berlebihan.7

Depresi

Depresi merupakan penyakit mental yang paling sering pada pasien berusia di atas 60 tahun
dan merupakan contoh penyakit yang paling umum dengan tampilan gejala yang tidak spesifik/
tidak khas pada populasi geriatri. Terdapat beberapa faktor biologis, fisis, psikologis, dan sosial
yang membuat seorang berusia lanjut rentan terhadap depresi. Perubahan pada sistem saraf pusat
seperti meningkatnya aktivitas monoamine oksidase dan berkurangnya konsentrasi
neurotransmitter (terutama neurotransmitter katekolaminergik) dapat berperan dalam terjadinya
depresi pada usia lanjut. Pasien geriatric yang menderita depresi juga sering memiliki komorbid
penyakit vascular dengan lesi di daerah ganglia basalis dan prefrontal otak. Pasien – pasien ini
sering memperlihatkan kemunduran fungsi motoric, kurangnya kemampuan penilaian
(judgement), dan terganggunya fungsi eksekusi.2

6
Faktor – faktor psikososial juga berperan sebagai faktor predisposisi depresi.Orang tua
seringkali mengalami periode kehilangan orang – orang yang dikasihinya, faktor kehilangan fisik
juga meningkatkan kerentanan terhadap depresi dengan berkurangnya kemauan merawat diri
serta hilangnya kemandirian. Berkurangnya kapasitas sensoris (terutama penglihatan dan
pendengaran) akan mengakibatkan penderita terisolasi dan berujung pada sepresi. Berkurangnya
kemampuan daya ingat dan fungsi intelektual sering dikaitkan dengan depresi. Kehilangan
pekerjaan, penghasilan, dan dukungan sosial sejalan dengan bertambahnya usia turut menjadi
faktor predisposisi seorang berusia lanjut untuk menderita depresi.2

Depresi pada pasien geriatri adalah masalah besar yang mempunyai konsekuensi medis,
sosial, dan ekonomi penting. Hal ini menyebabkan penderitaan bagi pasien dan keluarganya,
memperburuk kondisi medis dan membutuhkan sistem pendukung yang mahal. Depresi geriatri
sulit diidentifikasi sehingga tidak/terlambat diterapi, mungkin karena perbedaan pola gejala tiap
kelompok umur. Selain itu, depresi pada geriatri sering tidak diakui pasien dan tidak dikenali
dokter karena gejala yang tumpang tindih, sering kormobiditas dengan penyakit medis lain
sehingga lebih menonjolkan gejala somatik daripada gejala depresinya.2

Differential Diagnosis

Inkontinensia Stress

Kelainan ini, yang menempati urutan nomor dua di antara penyebab inkontinensia
permanen yang paling sering ditemukan pada perempuan lanjut-usia (inkontinensia stress jarang
dijumpai pada laki – laki lanjut-usia), ditandai dengan gejala dan peristiwa yang membuktikkan
adanya kebocoran urin yang langsung terjadi begitu dapat tekanan (stress).Kebocoran tampak
paling parah atau terjadi pada siang hari kecuali bila terdapat pula abnormalities lainnya
(misalnya, aktivitas otot detrusor yang berlebihan). Pada pemeriksaan, dalam keadaan kandung
kemih penuh dan perineum yang melemas (relaksasi), gejala kebocoran seketika pada saat batuk
sangat sugestif ke arah kemungkinan inkontinensia stress, khususnya jika keadaan tersebut
menimbulkan gejala itu kembali atau bila kemungkinan retensi urin dapat disingkirkan dengan
pengukuran sisa urin setelah urinasi : kelambatan pengosongan kandung kemih selama waktu
beberapa detik menunjukkan kebocoran urin lebih disebabkan oleh kontraksi kandung kemih
tanpa hambatan yang terjadi akibat batuk. 8

7
Inkontenensia Urgensi

Kandung kemih overaktif adalah diagnosis simtomatik yang meliputi gejala sering
berkemih (lebih dari delapan kali dalam 24 jam) dan keinginan berkemih dengan atau tanpa
inkontenensia urgensi terjadi baik tunggal maupun dalam kombinasi, kandung kemih overaktif
adalah kondisi kronik yang diketahui melalui pemeriksaan urosinamika sebagai aktivitas
berlebihan dari detrusor dan ditandai oleh kontraksi kandung kemih involunter selama fase
pengisian siklus berkemih. Kontraksi tersebut merupakan penyebab tersering inkontinensia urin
pada lansia.8

Inkontinensia Overflow

Istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan pengeluaran urin involunter akibat detensi
berlebihan kandung kemih.Kondisi ini dapat disebabkan berbagai kondisi termasuk obstruksi
saluran keluar kandung kemih atau obstruksi uretra yang paling sering terjadi pada pria yang
mengalami hyperplasia prostat.Jenis inkontinensia ini lebih jarang terjadi pada wanita, tetapi
dapat terjadi sebagai komplikasi setelah pembedahan untuk mengoreksi inkontinensia atau
prolapse organ panggul berat.Otot detrusos yang tidak aktif atau tidak kontraktil juga dapat
menyebabkan distensi dan alira berlebihan. Penyebabnya meliputi gangguan neurologis, seperti
stroke atau sclerosis multiple, diabetes, dan efek samping pengobatan. Kondisi ini idiopatik pada
beberapa individu.8

Inkontinensia Fungsional
Ditandai dengan keluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat
berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun macam-macam hambatan situasi atau
lingkungan yang lain, sebelum siap untuk berkemih. Faktor-faktor psikologi seperti marah,
depresi juga dapat menyebabkan inkontinensia tipe fungsional ini.9

Etiologi

8
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ
kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan
mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air
seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga
walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.10
Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih
bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan
atau keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi
infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau
uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen topical. Terapi perilaku harus
dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus
dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau
jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin
berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang
harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan
mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.10
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan
harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh
penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus
diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya
adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau
farmakologik yang tepat. Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit
yang dideritanya. Obat-obatan ini bisa sebagai ‘biang keladi’ mengompol pada orang-orang tua.
Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan,
penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat.10
Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik,
narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium
antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga
memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain
hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urin juga terjadi akibat kelemahan otot dasar
panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut,

9
kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat
menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan.10
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot
dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause
(50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih
(uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah
obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan
inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia
urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.10

Epidemiologi

Kasus inkontinensia urin cenderung tidak dilaporkan, karena penderita merasa malu dan
menganggap tidak ada yang dapat dilakukan untuk menolongnya. Penderita juga mendapat benturan
sosial yaitu kondisi masyarakat sekitar yang akan menjauhinya bila ia diketahui menderita penyakit ini.
Penelitian epidemiologi terhadap penyakit ini pun sulit untuk dilakukan karena beragamnya subjek
penelitian, metode kuisioner dan definisi inkontinensia yang digunakan. Namun secara umum
prevalensinya meningkat sesuai dengan pertambahan umur. Sekitar 50% lansia di instalasi perawatan
kronis dan 11-30% di masyarakat mengalami inkontinensia urin. Sedangkan berdasarkan gender, penyakit
ini cenderung lebih sering dialami oleh wanita dengan perbandingan 1,5 : 1 terhadap pria.2
Berdasarkan survei oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSCM tahun 2002 pada 208
orang usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga di Jakarta, didapati bahwa angka inkontinensia
stress mencapai 32,2%. Sedangkan survei yang dilakukan oleh Poliklinik Geriatri RSCM pada tahun 2003
terhadap 179 pasien didapati angka kejadian inkontinensia urin stress pada laki-laki sebesar 20,5% dan
pada perempuan sebesar 32,5%.2
Pada penelitian yang dilakukan di Australia, didapatkan 7% pria dan 12% wanita diatas usia 70
tahun mengalami inkontinensia. Sedangkan mereka yang dirawat, terutama di unit psiko-geriatri, 15-50%
diantaranya menderita inkontinensia. Sedangkan melalui penelitiannya, seorang ahli bernama Fonda
mendapatkan 10% pria dan 15% wanita diatas 65 tahun di Australia menderita inkontinensia.10
Pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat oleh National Overactive Bladder
Evaluation(NOBLE) dengan 5204 orang sebagainya sampelnya, menyimpulkan suatu perkiraan bahwa
14,8 juta perempuan dewasa di Amerika Serikat menderita inkontinensia urin dengan sepertiganya
(34,4%) merupakan inkontinensia urin tipe campuran.2

10
Seorang ahli bernama Dioko serta timnya melakukan penelitian pada 1150 orang secara acak dan
mendapati 434 orang diantaranya menderita inkontinensia urin. Dari mereka yang mengalami
inkontinensia urin, didapati bahwa 55,5% diantaranya merupakan tipe campuran, 26,7% merupakan tipe
stress saja, 9% tipe urgensi saja dan 8,8% memiliki komplikasi lain.2
Seringkali penderita inkontinensia berpikir dengan mengurangi asupan cairan berupa
minuman akan mengurangi frekuensi miksi. Namun hal ini akan berbahaya karena menganggu
keseimbangan cairan dan elektrolit. Kapasitas kandung kemih pun semakin lama akan semakin
menurun yang justru akan memperberat keluhan inkontinensianya. Sebenarnya bila penyakit ini
diobati secara tepat maka inkontinensianya dapat diupayakan menjadi lebih ringan sehingga
penderita menjadi lebih nyaman dan memudahkan juga bagi yang merawat serta mengurangi
kemungkinan komplikasi serta biaya perawatan.2,10

Patofisiologi

Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian


koordinasi proses fisiologik yakni fase penyimpanan dan fase pengosongan. Ketika pengisian
kandung kemih terjadi, otot dalam kandung kemih yang dinamakan muskulus detrusor
berelaksasi, sebaliknya saat pengosongan. Kontraksi kandung kemih disebabkan karena aktivitas
parasimpatis yang dipicu oleh asetilkolin pada reseptor muskarinik. Sphincter uretra internal
akan tertutup karena akvitas saraf simpatis yang dipicu oleh nor-adrenalin.2
Inervasi sphincter uretra interna dan eksterna terjadi oleh persarafan nervus pudendal
somatik setinggi sakral 4. Pada inkontinensia urin, inervasi tidak terjadi dengan baik
menyebabkan uretra tidak dapat menutup dengan baik sehingga urin dapat keluar, yang dapat
menyebkan inkontinensia urin tipe urgensi akibat tidak dapat menahan keinginan berkemih dan
dengan melemasnya sphincter uretra eksterna (dipersarafi oleh saraf motorik). Sebaliknya,
dengan pemberian adrenergik-alfa dapat menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Atau apabila
adanya tekanan intra abdomen dan kandung kemih yang penuh serta dengan otot serat dasar
pelvis yang tidak suportif lagi menyebabkan urin dapat keluar menyebabkan inkontinensia stress
(akibat adanya tekanan intra abdominal yang naik).2

Gejala Klinis

11
Proses menua baik pada laki-laki maupun perempuan telah diketahui mengakibatkan
perubahan-perubahan anatomis dan fisiologis pada sistem urogenital bagian bawah. Perubahan-
perubahan tersebut berkaitan dengan menurunkan kadar estrogen pada perempuan dan hormone
androgen pada laki-laki. Pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis dan
kandungan kolagen sehingga mengakibatkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi dan mudah
terbentuk trabekulasi sampai divertikel.2
Atrofi mukosa, perubahan vascularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot uretra
mengakibatkan menurunnya tekanan penutupan uretra dan tekanan out-flow. Pada laki-laki
terjadi pengecilan testis dan pembesaran kelenjar prostat sedangkan pada perempuan terjadi
penipisan dinding vagina dengan timbulnya eritema atau ptekie, pemendekan dan penyempitan
ruang vagina serta berkurangnya lubrikasi dengan akibat meningkatnya pH lingkungan vagina.2
Telah diketahui dengan baik bahwa dasar panggul mempunyai peran penting dalam
dinamika miksi dan mempertahankan kondisi kontinen. Melemahnya fungsi dasar panggul
disebabkan oleh banyak factor baik fisiologis maupun patologis (trauma, operasi, denervasi
neurologic).2
Secara keseluruhan perubahan akibat proses menua pada sistem urogenital bawah
mengakibatkan posisi kandung kemih prolaps sehingga melemahkan tekanan atau tekanan
akhiran kemih keluar serta perubahan struktur anatomi dan fisiologis merupakan factor
contributor terjadinya inkontinensia tipe stress, urgensi, dan luapan (overflow).2

Komplikasi

Dari segi medis, komplikasi yang timbul dapat meliputi ulkus dekubitus, infeksi saluran
kemih, urosepsis hingga gagal ginjal. Hal ini perlu diperhatikan saat melakukan pemeriksaan,
apakah telah timbul komplikasi dari gejala awal inkontinensia.
Pada penggunaan kateterisasi yang menetap juga dapat timbul komplikasi seperti infeksi,
batu kandung kemih, abses ginjal dan bahkan proses keganasan pada saluran kemih.

Faktor resiko

12
Prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring meningkatnya usia. Inkontinensia urin
lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki.Usia lanjut seringkali memiliki
kodisi medik yang dapat mengganggu proses berkemih yang secara langsung mempengaruhi
fungsi saluran berkemih, perubahan status volume dan ekskresi urin, atau gangguan kemampuan
untuk ke jamban.18
Pada orang usia lanjut di masyarakat, inkontinensia urin dikaitkan dengan depresi,
transient ischemic attacks dan stroke, gagal jantung kongestif, konstipasi dan inkontinensia
feses, obesitas, penyakit paru obstruktif kronik, batuk kronik dan gangguan mobilitas. Pada
orang usia lanjut di panti, inkontinensia urin dikaitkan dengan terdapatnya gangguan mobilitas,
demensia, depresi, stroke, diabetes dan parkinson.
Resiko inkontinensia urin meningkat pada perempuan dengan nilai indeks massa tubuh
yang lebih besar, dengan riwayat histerektomi, infeksi urin dan trauma perineal. Melahirkan per
vaginam akan meningkatkan resiko inkontinensia urin tipe stress dan tipe campuran.
Penelitian terhadap 5418 usia lanjut di luar negeri mendapatkan tiga faktor resiko yang
dapat dimodifikasi dan berhubungan secara bermakna dengan inkontinensia urin, yaitu infeksi
saluran kemih, keterbatasan aktivitas, dan faktor gangguan lingkungan.

Penatalaksanaan
Telah dikenal beberapa modalitas terapi dalam penatalaksanaan dengan inkontinensia urin.
Baik penatalaksanaan farmakologis maupun non-farmakologis. Terapi non-medika-mentosa
yang biasanya dikerjakan adalah terapi suportif nonspesifiks eperti edukasi, manipulasi
lingkungan, serta pads. Juga dapat diberikan intervensi tingkah laku seperti latihan otot dasar
panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih dan lainnya.2
1. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin,
seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain.
Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah:2
 Bladder training: melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 kali
dalam 1 hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum

13
waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula
setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap
3-4 jam.
 Habit training: membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengan kebiasaan lansia.
 Promted voiding: dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih
mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik
ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
 Biofeedback therapy: melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot
dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar
panggul tersebut adalah dengan cara:Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam
keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan
ke belakang ± 10 kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam ± 10
kali.Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10
kali.Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup
dengan baik.
 Neuromodulasi: merupakan terapi dengan stimulasi saraf sakral. Dengan kegiatan
interneuron medulla spinalis atau neuron adrenergik beta yang menghambat kegiatan
kandung kemih. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa meuromodulasi merupakan
salah satu cara penatalaksanaan inkontinensia yang cukup berhasil.

2. Terapi farmakologi
Terapi yang menggunakan obat (farmakologis) merupakan terapi yang terbukti efektif
terhadap inkontinensia urin tipe stress dan urgensi. Terapi ini dapat dilaksanakan bila upaya
terapi non-farmakologis telah dilakukan namun tidak dapat mengatasi masalah inikontinensia
tersebut. Obat-obat yang dipergunakan dapat digolongkan menjadi: antikolinergik-
antispasmodik, agonis adrenergic α, estrogen topical, dan antagonis adrenergic α. Berikut adalah
obat-obat yang dapat digunakan pada pasien dengan inkontinensia urin:2

Obat Dosis Tipe Inkontinensia Efek Samping

14
Urgensi atau Mulut kering, mata kabur,
Hyoscamin 3 x 0,125 mg
campuran glaukoma, derilium, konstipasi
Tolterodin 2 x 4 mg Urgensi atau OAB Mulut kering, konstipasi
Imipramin 3 x 25-50 mg Urgensi Derilium, hipotensi ortostatik
Pseudoephedrin 3 x 30-60 mg Stress Sakit kepala, takikardi, hipertensi
Topikal
Urgensi dan Stress Iritasi lokal
estrogen
Doxazosin 4 x 1-4 mg BPH dengan Urgensi Hipotensi postural
1 x 0,4-0,8
Tamsulosin
mg
Terazosin 4 x 1-5 mg
Tabel 1. Obat yang digunakan untuk inkontinensia urin2

Penggunaan fenilpropanolamin sabagai obat inkontenensia urin tipe stress sekarang telah
dihentikan karena hasil uji klinik yang menunjukkan adanya resiko stroke pasca penggunaan
obat ini. Sebagai gantinya digunakan pseudoefedrin karena dapat meningkatkan tekanan sfingter
uretra, sehingga dapat menghambat pengeluaran urin. Namun penggunaan pseudoefedrin pun
jarang ditemukan pada usia lanjut karena adanya masalah hipertensi, aritmia jantung dan angina.2

3. Tindakan Operasi
Tindakan operasi dilakukan pada wanita dengan inkontinensia tipe stress yang tidak membaik
dengan penanganan konservatif harus dilakukan upaya operatif. Tindakan pembedahan yang
paling sering dilakukan adalah ileosistoplasti dan miektomi detrusor. Teknik pembedahan yang
dilakukan untuk inkontinensia tipe stres adalah injectable intraurethral bulking agents, suspensi
leher kandung kemih, urethral slings dan artificial urinary sphincters. Sedangkan untuk tipe
urgensi adalah augmentation cystoplasty dan juga stimulasi elektrik.3

4. Modalitas Lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia
urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia, antara lain:
 Pampers. Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan
sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan pampers juga dapat

15
menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung
pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat
menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.
 Kateter.Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat
menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter
menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan
untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat
mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada
saluran kemih, abses ginjal bahkan proses keganasan pada saluran kemih.
 Alat bantu toilet.Seperti urinal dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang
tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong
lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam

Kesimpulan
Wanita lebih rentan terhadap inkontinensia urin dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan
berbagai resiko yang dialami wanita seperti melemahnya otot dasar panggul akibat terlalu sering
melahirkan. Selain itu seiring lanjutnya usia maka fungsi fisiologis tubuh makin berkurang yang
berakibat rentannya seseorang yang lanjut usia untuk terkena suatu penyakit.
Wanita berusia 70 tahun pada skenario menderita inkontinensia urin campuran dan
osteoartritis. Hal ini menyebabkan pasien tersebut menjadi depresi sehingga tidak mau keluar
rumah.

Daftar Pustaka

16
1. Gleadle J. At a glance anamnesis. Jakarta: Erlangga; 2005.h. 93.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi L, Simadribata M, Setiati S, penyunting. Inkontinensia
urin dan kandung kemih hiperaktif. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simandibrata M, Setiadi S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta:
Interna Publishing; 2009.h.865-74.
3. Baradero M, Dayrit MW, Siswadi Y. Klien gangguan ginjal. Jakarta: EGC; 2008. h. 100-
8.
4. Macfarlane MT. Urology. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2006.h.137.

5. Darmojo B. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2009. h. 258-64.
6. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi. Edisi ke – 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2008.h.351-2.
7. Yatim F. Penyakit tulang dan persendian. Edisi ke – 1. Jakarta : Pustaka Populer Obor,
2006.h. 34 – 40.
8. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Prinsip – prinsip ilmu penyakit
dalam. Jilid 1. Edisi ke – 13. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC,2005.h.43
9. Martono HH, Pranaka K. Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut). Edisi ke-4. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.h. 226-4.

10. Maryam S. Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Salemba Medika; 2008. h.
865-75.
11. Setiati S, Pramantara IDP. Inkontinensia urin dan kandung kemih hiperaktif. Buku ajar
ilmu penyakit dalam edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Hal 1392-98.

17

Anda mungkin juga menyukai