RPK DG RBD

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 22

KEPERAWATAN JIWA II

ASUHAN KEPERAWATAN RISIKO BUNUH DIRI DAN


RISIKO PERILAKU KEKERASAN

Disusun Oleh :

Filia Ngowa

Mega Solung

Bella Runtuwene

Vitaliana Edwas

Mega Sumangkut

Program Studi Ilmu Keperawatan


Fakultas Keperawatan
Universitas Katolik De La Salle Manado
RISIKO PERILAKU KEKERASAN
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrem dari marah atau
ketakutan/panik. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan dipandang sebagai rentang
dimana agresif verbal disuatu sisi dan perilaku kekerasan (violence) di sisi yang lain.
Suatu keadaan yang menimbulkan emosi, perasaan frustasi, benci atau marah. Hal ini
akan memengaruhi perilaku seseorang. Berdasarkan keadaan emosi secara mendalam
tersebut terkadang perilaku menjadi agresif atau melukai karena penggunaan koping
yang kurang bagus. Perilaku kekerasan (PK) adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri
maupun orang lain, disertai dengan muak dan gaduh gelisah yang tak terkontrol
(Kusumawati, dkk. 2010 : 80). Gangguan jiwa pada mulanya dianggap suatu yang gaib,
sehingga penanganannya secara supranatural spiristik yaitu hal-hal yang berhubungan
dengan kekuatan gaib.
Gangguan jiwa merupakan suatu gangguan yang terjadi pada unsur jiwa yang
manifestasinya pada kesadaran, emosi, persepsi dan interjensi. Salah satu gangguan jiwa
tersebut adalah gangguan perilaku kekerasan. Marah adalah perasaan jengkel yang
timbul sebagai suatu respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman
individu. Pengungkapan kemarahan dengan langsung dan konstruksif pada saat terjadi
dapat melegakan individu dan membantu orang lain untuk mengerti perasaan yang
sebenarnya sehingga individu tidak mengalami kecemasan, stress,dan merasa
bersalahdan bahkan merusa diri sendiri (Kusumawati, dkk. 2010 : 80).
RESIKO PERILAKU KEKERASAN
BAB II
PEMBAHASAAN

A. Definisi
Perilaku kekerasan adalah salah satu respons marah yang diespresikan
dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan atau merusak
lingkungan. Respons tersebut biasanya muncul akibat adanya stresor. Respons
ini dapat menimbulkan kerugian baik bagi diri sendiri, orang lain, maupun
lingkungan (Keliat,dkk, 2011:180) Perilaku kekerasan (PK) adalah suatu
keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan
secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk
dan gaduh gelisah yang tak terkontrol (Kusumawati,dkk.2010:81).
B. Penyebab
Resiko terjadinya perilaku kekerasan diakibatkan keadaan emosi yang
mendalam karena penggunaan koping yang kurang bagus. Beberapa faktor yang
menjadi penyebab perilaku kekerasan yaitu :
a. Frustasi, seseorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan yang
diharapkan menyebabkan ia menjadi frustasi, jika ia tidak mampu
mengendalikannya maka ia akan berbuat kekerasan disekitarnya.
b. Hilangnya harga diri, pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan yang
sama untuk dihargai. Jika ebutuhan ini tida dipenuhi akibatnya individu tersebut
mungkin akan merasa rendah diri,lekas marah dan mungkin melakuan tindakan
kekerasan disekitar.
c. Kebutuhan penghargaan status dan prestise, manusia pada umumnya
mempunyai keinginan untuk mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan
diakui. Jika tidak mendapat pengakuan individu tersebut maka dapat
menimbulkan resiko perilaku kekerasan (Helena,dkk.2011:80).
a) Faktor predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor predisposisi,
artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor
berikut dialami oleh individu (Prabowo.2014:142).
 Psikologis ,kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak
menyenangkan yaitu perasaan ditolak,dihina, atau sanksi
penganiayaan(Prabowo.2014:142).
 Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek
ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
 Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif)
dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku kekerasan akan
menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan yang diterima (permisssive)
 Bioneurologis banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal,
lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmitter turut berperan
dalam terjadinya perilaku kekerasan (Prabowo.2014:143).
 Faktor sosial budaya. Seseorang akan berespons terhadap peningkatan
emosionalnya secara agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya.
Sesuai dengan teori menurut Bandura bahwa agresi tidak berbeda dengan
respon-respon yang lain. Faktor ini dapat dipelajari melalui observasi
atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin
besar kemungkinan terjadi. Budaya juga dapat mempengaruhi perilaku
kekerasan. Adanya norma dapat membantu memdefinisikan espresi
marah yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima
(Kusumawati,dkk.2010:81).
 Faktor biologis. Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya
pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (pada sistem
limbik) ternyata meniumbulan perilaku agresif, di mana jika terjadi
kerusakan fungsi limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk
pemikiran rasional), dan lobus temporal ( untuk interpretasi indra
penciuman dan memori) akan menimbulkan mata terbuka lebar, pupil
berdilatasi dan hendak menyerang objek yang ada disekitarnya
(Kusumawati,dkk.2010:81-82).
b) Faktor presipitasi
Faktor predisposisi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau interaksi
interaksi dengan orang lain. Kondisi pasien seperti ini kelemahan fisik (penyakit
fisik), keputus asaan, ketidak berdayaan,percaya diri yang kurang dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi dengan lingkungan
yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan,kehilangan orang
yang dicinta/pekerjaan dan kekerasanmerupakan faktor penyebab yang lain.
Interaksi yang profokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan
(Prabowo.2014:143). Secara umum seseorang akan marah jia dirinya merasa
terancam, baik berupa injuri secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri.
Beberapa faktor pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
 Klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidaberdayaan, kehidupan yang
penuh dengan aresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
 Interaksi : penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti,
konflik, merasa terancam baik internal dari permasalahan diri klien
sendiri maupun esternal dari lingungan.
 Lingkungan : panas, padat, dan bising (Kusumawati, dkk.2010 : 82).

C. Rentang Respon

Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif amuk/PK

Perilaku kekerasan (PK) adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan


tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik pada dirinya sendiri maupun
orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol. Gambar 1.
Rentang Respons Marah (
Kusumawati, dkk. 2010:81).
a. Respon adaptif
1) Peryataan ( Assertion) Respon marah dimana individu mampu menyatakan atau
mengungkapkan rasa marah, rasa tidak setuju, tanpa menyalahkan atau
menyakiti orang lain. Hal ini biasanya akan memberikan kelegaan.
2) Frustasi, Respons yang terjadi akibat individu gagal dalam mencapai tujuan,
kepuasan atau rasa aman yang tidak biasanya dalam keadaan tersebut individu
tidak menemukan alternatif lain.
b. Respon maladaftif
1) Pasif, Suatu keadaan dimana individu tidak dapat mampu untuk
mengungkapkan perasaan yang sedang dialami untuk menghindari suatu
tuntutan nyata
2) Agresif, Perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan
individu untuk menuntut suatu yang dianggapnya benar.
3) Amuk dan kekerasan, Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta
hilang kontrol, dimana individu dapat merusak diri sendiri, serta lain
maupun lingkungan (Prabowo,2014:141-142)
D. Proses Terjadinya Masalah
1) Faktor predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor predisposisi,
artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor
berikut dialami oleh individu :
 Psikologis : kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak
menyenangkan yaitu perasaan ditolak,dihina,dianiaya, dan sangsi
penganiayaan.
 Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek
ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
 Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif)
dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku kekerasan akan
menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan yang diterima (permisssive)
 Bioneurologis banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal,
lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmitter turut berperan
dalam terjadinya perilaku kekerasan (Prabowo.2014:143).
 Faktor sosial budaya, Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif
agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan
akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan yang diterima
(Prabowo,2014:142).
 Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya secara
agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai dengan teori
menurut Bandura bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang
lain. Faktor ini dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan
semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar
kemungkinan terjadi. Budaya juga dapat mempengaruhi perilaku
kekerasan. Adanya norma dapat membantu memdefinisikan espresi
marah yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima
(Kusumawati,dkk.2010:81)
Stress, cemas,marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus
dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebaban kecemasan yang
menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam, kecemasan
dapat menimbulkan kemarahan.Respon terhadap marah dapat
diungkapkan melalui 3 cara yaitu:
 Mengungkapan secara verbal
 Menekan
 Menantang
Dari ketiga cara ini, cara yang pertama adalah konstrutif sedang 2 cara lain
adalah destruktif. Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan
rasa bermusuhan, dan bila cara ini dipakai terus menerus maka kemarahan dapat
diespresikan pada diri sendiri atau lingkungan dan akan tampak sebagai depresi
psiomatik atau agresi dan ngamuk
Kemarahan diawali oleh adanya stresor yang berasal dari internal atau
eksternal.stresor internal seperti penyakit hormonal, dendam, kesal. Sedangkan
stresor eksternal bisa berasal dari ledekan, cacian,makian,hilangnya benda
berharga,tertipu,penggusuran,bencana.
E. Tanda dan gejala
Jelaskan tanda dan gejala kepada klien pada tahap marah, kritis atau perilaku
kekerasa, dan kemungkinan bunuh diri. Muka merah, tegang, pandangan mata
tajam, mondar-mandir, memukul, iritable, sensitif dan agresif (Kusumawati,
dkk. 2010:83).
Tanda dan gejala, perilaku kekerasan yaitu suka marah, pandangan mata tajam,
otot tegang dan nada suara tinggi, berdebat, sering pula memaksakan kehendak,
merampas makanan dan memukul bila tidak sengaja (Prabowo,2014:143).
 Motor agitaton
Gelisah, mondar mandir, tidak dapat duduk tenang, otot tegang, rahang
mengencang, pernapasan meningkat, mata melotot, pandangan mata tajam.
 Verbal
Memberikan kata-kata ancaman melukai, disertai melukai tingkat ringan, bicara
keras, nada suara tinggi, berdebat
 Efek
Marah, bermusuhan, kecemasan berat, efek baik, mudah tersinggung
 Tingkat kesadaran
Binggung, kacau, perubahan sttus mental, disorientasi, dan gaya ingat menurun
(Prabowo, 2014:143).
Pada pengkajian awal dapat dietahui alasan utama klien ke rumah sakit adalah perilaku
kekerasan dirumah. Kemudian perawat dapat melakukan pengkajian dengan cara :
 Observasi : muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi,
berdebat. Seringpula tampak klien memaksakan kehendak : merampas makanan,
memukul jika tidak senang.
 Wawancara : diarahkan pada penyebab marah, perasaan marah, tanda-tanda
marah yang dirasakan klien (Kusumawati, dkk. 2010:83).
F. Akibat
Akibatnya pasien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
mencederai diri, orang lain, dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan
suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/membahayakan diri, orang lain
dan lingkungan.
G. Mekanisme koping
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk melindungi
diri antara lain :
 Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyaluran secara normal.
Misalnya seseorang yang sedang marah melampiasakan kemarahanya kepada
objek lain seperti meremas remas adonan kue ,meninju tembok dan sebagainya,
tujuanya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
 Proyeksi
Menyalahkan orang lain kesukaranya atau keinginannya yang tidak baik,
misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temanya
tersebut mencoba merayu, menyumbunya.
 Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk kedalam sadar.
Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuannya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak
kecil bahwa benci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh
tuhan. Sehingga perasaan benci itu ditekankan dan akhirnya ia dapat
melupakanya.
 Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan. Dengan melebihi
lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan mengunakanya sebagai
rintangan. Misalnya seseorang yang tetarik pada teman suaminya, akan
memperlakukan orng tersebut dengan kuat.
 Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan. Pada objek yang
tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi
itu. Misalnya, Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapatka
hukuman dari ibunya karena menggambar didinding kamarnya. Dia mulai
bermain pedang-pedangan dengan temannya (Prabowo,2014:144).
H. Penatalaksanaan
 Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat.
Adapun pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi
contohnya : Clorpromazine HCL yang digunakan untuk mengendalikan
psikomotornya. Bila tidak ada dapat digunakan dosis efektif rendah, contoh :
Trifluoperasine estelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan
Transquelillzer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun
demikian keduanya mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan anti agitasi.
 Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini bukan pemberian
pekerjaan/kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan maupun berkomunikasi, karena itu didalam terapi ini tidak
harus diberikan pekerjaan tetapi sebagai bntuk kegiatan seperti membaca koran,
main catur, setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog/berdiskusi
tentang pengalaman dan arti kgiatan itu bagi dirinya. Tetapi ini merupakan
langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah
dilakukannya seleksi dan ditentukan program kegiatanya.
 Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan
langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat membantu keluarga
agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan,
membuat keputusan tindakat kesehatan, memberi perawatan pada anggot
keluarga, menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan
sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan
mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladaptive (primer) ,
mengulangi perilaku maladaptive (sekunder) dan memulihakan perilaku
maladaptif ke perilakuadaptive (tersier) sehingga derajat kesehatan pasien dan
keluarga dapat ditingkatkan secara optimal.
 Terapi somatik
Menurut Depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terapi
yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah
perilakutindakan yang ditunjukan pada kondisi fisik pasien, tetapi target terapi
adalah perilaku pasien (Prabowo,2014:145-146).
I. Pohon masalah
Resiko mencederai diri sendiri, → Effeck
lingkungan, dan orang lain

Perilaku kekerasan → Cor proplem

Koping individu in efektif → Causa
Gambar 1. (Prabowo,2014:146).
1. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut (Prabowo,2014:146).
o Resiko mencederai diri sendiri b/d perilaku kekerasan
o Perilaku kekerasan b/d koping individu inefetif
2. Rencana asuhan keperawatan
 Resiko mencederai diri sendiri (Yudi Hatono.2010:82)
 Tujuan :
TUM :
klien tidak mencederai diri

TUK 1:
o klien dapat membina hubungan saling percaya
 kriteria hasil :
o klien mau membalas salam
o klien mau menjabat tangan
o klien mau menyebutkan nama
o klien mau tersenyum
o klien mau kontak mata
o klien mau mengetahui nama perawat
 Intervensi
Beri salam/panggilan nama.
 Sebutkan nama perawat
 Jelaskan maksud hubungan interaksi
 Jelaskan akan kontrak dan sikap empati
 Beri rasa aman dan sikap empati
 Lakukan kontak singkat tapi sering

TUK 2:
o Pasien dapat mengindentifikasi penyebab perilaku kekerasan
 Kriteria hasil
 klien dapat menggungkapkan perasaanya
 klien dapat mengungkapkan penyebab perasaan jengkel/kesal (dari diri sendiri,
orang lain ,lingkungan).
 Intervensi
Berikan kesempatanuntuk mengungkapkan perasaanyan
Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel

TUK 3:
Klien dapat mengindentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan.
 Kriteria hasil
 klien dapat menggungkapkan perasaan saat marah/jengkel
 Klien dapat menyimpulkan tanda dan gejala jengkel/kesal yang dialaminya.
 Intervensi
Anjurkan klien mengungkapkan apa yang dialami dan dirasakan saat marah/
jengkel
Observasi tanda dan gejala perilaku kekerasan pada klien.

TUK 4:
o Klien dapat mengindentifikasikan perilaku kekerasan yang biasa dialami
 Kriteria hasil.
 klien dapat mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
 klien dapat bermain peran sesuai perilaku kekerasan yang diasa dilakukan
 Intervensi
Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
klien (verbal,pada orang lain, pada lingkungan dan diri sendiri.
Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan
TUK 5:
o Klien dapat mengindentifikasi akibat perilaku kekerasan
 Kriteria hasil
 Klien dapat menjelaskan akibat dari cara yang digunakan klien
 Intervensi
Bicarakan akibat dari cara yang dilakukan klien
Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang dilakukan oleh klien
Tanyakan kepada klien “apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat.

TUK 6:
o Klien dapat mendemontrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku kekerasan
 Kriteria hasil
 Klien dapat menyebutkan contoh pencegahan perilaku kekerasan secara fisik:
Tarik nafas dalam
Pukul kasur atau bantal
 Intervensi
Diskusikan kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien
Beri pujian atas kegiatan fisik klien yang biasa digunakan

TUK 7:
o Klien dapat mendemontrasikan cara sosial untuk mencegah perilaku kekerasan
 Kriteria hasil
 Klien dapat menyebutkan cara bicara verbal yang baik dalam mencegah perilaku
kekerasan
 klien dapat mendemontrasikan cara verbal yang baik
 Intervensi
Diskusikan cara bicara yang baik dengan klien
Beri contoh bicara yang baik
Meminta klien mengikuti contoh cara bicara yang baik
Minta klien mengulangi sendiri
Beri pujian atas keberhasilan klien.
RESIKO PERILAKU KEKERASAN
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :
Perilaku kekerasan merupakan suatu ekspresi kemarahan yang tidak sesuai dimana
seseorang melakukan tindakan-tindakan yang dapat membayangkan/menciderai diri
sendiri,orang lain, bahkan merusak lingkungan.

Saran
Kita harus mengerti, tahu dan memahami apa itu ”RESIKO GANGGUAN PERILAKU
KEKERASAN ”. Agar tindakan serta penanganan terhadap masalah ini dapat
tercapai sesuai dengan keinginan
RISIKO BUNUH DIRI
BAB I
PENDAHULUAN
Pada hakekatnya manusia adalah mahluk sosial yang artinya manusia tidak
dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Oleh sebab itu manusia harus mampu
beradaptasi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari guna mempersatukan segala
keunik-unikannya. Hubungan sosial bertujuan untuk persahabatan sosial, kesenangan
atau menyelesaikan tugas kebutunhan bersama dipenuhi selama hubungan sosial seperti:
berbagi ide, perasaan dan pengalaman, keterampilan komunikasi meliputi memberikan
nasehat dan kadang-kadang memenuhi kebutuhan dasar, seperti: memimjam uang dan
membantu pekerjaan sering kaya superfisial. Selama interaksi sosial, peran mungkin
berganti, dalam hubungan sosial terdapat sedikit penekanan dalam hal evaluasi dan
interaksi yang dilakukan.
Bunuh diri adalah suatu tingkah laku dimana seseorang cenderung melakukan
tindakan yang membahayakan dirinya sendiri secara sadar maupun tidak sadar. Banyak
faktor sehingga seseorang berniat mengakhiri hidupnya antara lain: hubungan
interpersonal yang tidak bermakna, perasaan tidak dimengerti, situasi keluarga yang
kacau yang merupakan faktor predisposisi terjadinya seseorang untuk berniat bunuh
diri.
A. Pengertian
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk menyakiti
diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber lain
dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika
tidak dicegah dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup
setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal
ini sebagai sesuatu yang diinginkan. (Stuart dan Sundeen, 1995. Dikutip Fitria, Nita,
2009.
B. Etiologi
Menurut Fitria, Nita, 2009. Dalam buku Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan
Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk 7
Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S - 1 Keperawatan), etiologi dari
resiko bunuh diri adalah :
 Faktor Predisposisi
Lima factor predisposisi yang menunjang pada pemahaman perilaku destruktif-
diri sepanjang siklus kehidupan adalah sebagai berikut :
 Diagnosis Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara
bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang
dapat membuat individu berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri
adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
 Sifat Kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya resiko
bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
 Lingkungan Psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya adalah
pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-kejadian
negatif dalam hidup, penyakit krinis, perpisahan, atau bahkan perceraian.
Kekuatan dukungan social sangat penting dalam menciptakan intervensi
yang terapeutik, dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab masalah,
respons seseorang dalam menghadapi masalah tersebut, dan lain-lain.
 Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan factor
penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh
diri.
 Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak sepeti serotonin,
adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui
ekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph (EEG).
 Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang dialami
oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang
memalukan.Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau
membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun
percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi
sangat rentan.
 Perilaku Koping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam kehidupan dapat
melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang ini secara sadar memilih
untuk melakukan tindakan bunuh diri. Perilaku bunuh diri berhubungan dengan
banyak faktor, baik faktor social maupun budaya. Struktur social dan kehidupan
bersosial dapat menolong atau bahkan mendorong klien melakukan perilaku
bunuh diri. Isolasi social dapat menyebabkan kesepian dan meningkatkan
keinginan seseorang untuk melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam
kegiatan masyarakat lebih mampu menoleransi stress dan menurunkan angka
bunuh diri. Aktif dalam kegiatan keagamaan juga dapat mencegah seseorang
melakukan tindakan bunuh diri.
 Mekanisme Koping
Seseorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping yang
berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial, rasionalization,
regression, dan magical thinking. Mekanisme pertahanan diri yang ada
seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan koping alternatif.
Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping.
Ancaman bunuh diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk mendapatkan
pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri yang terjadi merupakan
kegagalan koping dan mekanisme adaptif pada diri seseorang.
C. Rentang Respons, YoseP, Iyus (2009)
 Peningkatan diri. Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri
secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahanan diri. Sebagai
contoh seseorang mempertahankan diri dari pendapatnya yang berbeda
mengenai loyalitas terhadap pimpinan ditempat kerjanya.
 Beresiko destruktif. Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi
yang seharusnya dapat mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah
semangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal
sudah melakukan pekerjaan secara optimal.
 Destruktif diri tidak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang kurang
tepat (maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya untuk
mempertahankan diri. Misalnya, karena pandangan pimpinan terhadap kerjanya
yang tidak loyal, maka seorang karyawan menjadi tidak masuk kantor atau
bekerja seenaknya dan tidak optimal.
 Pencederaan diri. Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau pencederaan
diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
 Bunuh diri. Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan
nyawanya hilang.
Perilaku bunuh diri menurut (Stuart dan Sundeen, 1995. Dikutip Fitria, Nita, 2009)
dibagi menjadi tiga kategori yang sebagai berikut.
 Upaya bunuh diri (scucide attempt) yaitu sengaja kegiatan itu sampai tuntas
akan menyebabkan kematian. Kondisi ini terjadi setelah tanda peringatan
terlewatkan atau diabaikan. Orang yang hanya berniat melakukan upaya bunuh
diri dan tidak benar-benar ingin mati mungkin akan mati jika tanda-tanda
tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya.
 Isyarat bunuh diri (suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan untuk
usaha mempengaruhi perilaku orang lain.
 Ancaman bunuh diri (suicide threat) yaitu suatu peringatan baik secara langsung
verbal atau nonverbal bahwa seseorang sedang mengupayakan bunuh diri.
Orang tersebut mungkin menunjukkan secara verbal bahwa dia tidak akan ada di
sekitar kita lagi atau juga mengungkapkan secara nonverbal berupa pemberian
hadiah, wasiat, dan sebagainya. Kurangnya respon positif dari orang sekitar
dapat dipersepsikan sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri.
D. Tanda dan Gejala menurut Fitria, Nita (2009)
 Mempunyai ide untuk bunuh diri.
 Mengungkapkan keinginan untuk mati.
 Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
 Impulsif.
 Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).
 Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
 Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat dosis
mematikan).
 Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah dan
mengasingkan diri).
 Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi,
psikosis dan menyalahgunakan alcohol).
 Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau terminal).
 Pengangguaran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan
dalam karier).
 Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
 Pekerjaan.
 Konflik interpersonal.
 Latar belakang keluarga.
 Orientasi seksual.
 Sumber-sumber personal.
 Sumber-sumber social.
 Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
E. Terapi Aktivitas Kelompok, Riyadi, Surojo dan Purwanto Teguh (2009) Model
interpersonal
Tingkah laku (pikiran, perasaan dan tindakan) digambarkan melalui hubungan
interpersonal dalam kelompok. Pada model ini juga menggambarkan sebab akibat
tingkah laku anggota, merupakan akibat dari tingkah laku anggota yang lain. Terapist
bekerja dengan individu dan kelompok, anggota belajar dari interaksi antar anggota dan
terapist. Melalui proses ini, tingkah laku atau kesalahan dapat dikoreksi dan dipelajari.
ASKEP RESIKO BUNUH DIRI
RISIKO BUNUH DIRI
Rencana Keperawatan
TUM :
o Klien tidak mencederai diri sendiri
TUK 1
o Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Kriteria hasil :
o Ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau
berjabat tangan,mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, mau duduk
berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi
Rencana Tindakan :
 Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik :
 Sapa klien dengan nama baik verbal maupun non verbal.
 Perkenalkan diri dengan sopan.
 Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
 Jelaskan tujuan pertemuan.
 Jujur dan menepati janji.
 Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya.
 Berikan perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar

TUK 2
o Klien dapat terlindung dari perlaku bunuh diri,
Kriteria hasil:
o Klien dapat terlindung dari perilaku bunuh diri
Rencana Tindakan :
 Jauhkan klien dari benda-benda yang dapat membahayakan.
 Tempatkan klien diruangan yang tenang dan selalu terlihat oleh perawat.
 Awasi klien secara ketat setiap saat

TUK 3
o Klien dapat mengekspresikan perasaannya,
Kriteria hasil :
o Klien dapat mengekspresikan perasaannya
Rencana Tindakan :
 Dengarkan keluhan yang dirasakan klien.
 Bersikap empati untuk meningkatkan ungkapan keraguan, ketakutan dan
keputusasaan.
 Beri waktu dan kesempatan untuk menceritakan arti penderitaannya.
 Beri dukungan pada tindakan atau ucapan klien yang menunjukkan keinginan
untuk hidup.
TUK 4
o Klien dapat meningkatkan harga diri,
Kriteria hasil :
o Klien dapat meningkatkan harga dirinya
Rencana Tindakan :
 Bantu untuk memahami bahwa klien dapat mengatasi keputusasaannya.
 Kaji dan kerahkan sumber-sumber internal individu.
 Bantu mengidentifikasi sumber-sumber harapan (misal : hubungan antar sesama,
keyakinan, hal-hal untuk diselesaikan).

TUK 5
o Klien dapat menggunakan koping yang adaptif,
Kriteria hasil :
o Klien dapat menggunakan koping yang adaptif
Rencana Tindakan :
 Ajarkan mengidentifikasi pengalaman-pengalaman yang menyenangkan.
 Bantu untuk mengenali hal-hal yang ia cintai dan yang ia sayangi dan
pentingnya terhadap kehidupan orang lain.
 Beri dorongan untuk berbagi keprihatinan pada orang lain.

TUK 6
o Klien dapat menggunakan dukungan sosial,
Kriteria hasil :
o Klien dapat menggunakan dukungan sosial.
Rencana Tindakan :
 Kaji dan manfaatkan sumber-sumber eksternal individu.
 Kaji sistem pendukung keyakinan yang dimiliki klien.
 Lakukan rujukan sesuai indikasi (pemuka agama).

TUK 7
o Klien dapat menggunakan obat dengan benar dan tepat,
Kriteria hasil :
o Klien dapat menggunakan obat dengan tepat
Rencana Tindakan :
 Diskusikan tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan efek samping minum
obat).
 Bantu menggunakan obat dengan prinsip 5 benar.
 Anjurkan membicarakan efek dan efek samping yang dirasakan oleh klien.
 Beri reinforcement positif bila menggunakan obat dengan benar.

Anda mungkin juga menyukai