Tutor
Tutor
Tutor
BLOK RESPIRASI
SEMESTER IV
Terminologi Asing
1. Wheezing : Jenis bunyi kontinu seperti bersiul (Dorland ed 29 hal
851)
2. Bronkovesikuler : Berkenaan dengan bronchus dan alveoli (Dorland ed 29
hal 113)
3. Sonor : Suara yang nyaring (KBBI)
Rumusan Masalah
1. Mengapa pada pemeriksaan fisik auskultasi pada Tn. Budi terdengar suara
tambahan wheezing ?
2. Bagaimana peran penurun panas serta antibiotik pada penyakit Tn. Budi ?
3. Mengapa pada pasien bisa terjadi batuk berdahak yang sulit dikeluarkan ?
4. Apakah pernafasan Tn. Budi termasuk pernafasan normal ?
Hipotesis
1. Tn. Budi mengalami penyempitan saluran nafas yang disebabkan oleh :
Sekret yang berlebihan
Kontriksi otot polos
Edema mukosa
Tumor maupun benda asing
Inflamasi saluran nafas
2. Obat penurun panas berfungsi untuk menurunkan panas Tn. Budi yang
diakibatkan oleh keluhan demam yang dialaminya sedangkan antibiotik
digunakan untuk membunuh bakteri anaerob.
4. Pernafasan Tn. Budi termasuk tidak normal karena pernafasan Tn. Budi
diatas pernafasan normal. Pernafasan Tn. Budi 28 kali per menit (takipnea)
sedangkan pernafasan normal pada umumnya 16-20 kali per menit.
Takipnea terjadi karena sedikitnya oksigen yang masuk. Pernafasan cepat
yang dialami Tn. Budi disebabkan karena terjadi penyempitan pada saluran
nafas yang mengakibatkan otak kekurangan oksigen sehingga merespon
tubuh untuk mendapatkan oksigen dengan cepat (takipnea).
Skema
Epidemiologi Etiologi
Patofiosologi
Jenis
PPO
Kasus Rujukan
Diagnosis
Pembahasan
1. Jenis-jenis penyakit paru obstruksi yaitu :
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis pada saluran pernafasan
yang menyebabkan hiperresponsif, obstruksi, dan aliran udara yang
terbatas disebabkan oleh bronkokonstriksi, penumpukan mucus, dan
proses inflamasi.
Bronkitis Kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai
dengan batuk kronik minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-
kurangnya dua tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit
lainnya.
Emfisema merupakan suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli.
Pada umumnya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma
persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh,
dan memenuhi kriteria PPOK.
Riwayat Penyakit
Tujuannya untuk menentukkan waktu saat timbulnya serangan
dan beratnya gejala, terutama untuk membandingkan dengan
eksaserbi sebelumnya, semua obat yang digunakan selama ini,
riwayat RS sebelumnya, kunjungan ke gawat darurat, riwayat
episode gagal napas sebelumnya (intubasi, penggunaan
ventilator) dan gangguan psikiatrik atau psikologis. Tidak
adanya riwayat asma sebelumnya terutama pada pasien dewasa,
harus dipikirkan diagnosis banding lainnya seperti gagal
jantung kongestif, PPOK, dan lainnya.
Manajemen kegawatan asma membutuhkan penyedia layanan
kesehatan dengan performa riwayat singkat dan pemeriksaan
fisik. Kunci dari riwayat termasuk rincian dari eksaserbi yang
berjalan (misalnya waktu, Onset, dan penyebab potensial),
keparahan gejala, (khususnya dibandingkan dengan eksaserbasi
sebelumnya) dan respon dari semua terapi yang telah diberikan
sebelum ini, semua pengobatan sekarang dan waktu pengobatan
terakhir (khususnya obat asma), riwayat asma sebelumnya
(jumlah kontrol yang tidak terjadwal, kunjungan IGD,
perawatan RS karena asma terutama dalam tahun terakhir,
riwayat intubasi karena asma terutama dalam tahun terakhir,
riwayat intubasi karena asma, dan kondisi komorbid lainnya
(misalnya penyakit paru jantung atau penyakit yang dapat
diperburuk dengan terapi kortikosteroid sistemik).
Pemeriksaan Fisik
Perhatian terutama ditujukan kepada keadaan umum pasien.
Pasien dengan kondisi sangat berat akan duduk tegak.
Penggunaan otot-otot tambahan untuk membantu bernapas juga
harus menjadi perhatian, sebagai indicator adanya obstruksi
yang berat. Adanya retraksi otot sternokleidomastoideus dan
supra sternal menunjukkan adanya kelemahan fungsi paru.
Frekwensi pernapasan Respiratory Rate (RR) > 30X / menit,
takikardi >120X / menit atau pulsus paradoksus >12 mmHg
merupakan tanda vital adanya serangan asma akut berat. Lebih
dari 50% pasien dengan asma akut berat, frekwensi jantungnya
berkisar antara 90-120X / menit umumnya keberhasilan
pengobatan terhadap obstruksi saluran pernapasan dihubungkan
dengan penurunan frekwensi denyut jantung, meskipun
beberapa pasien tetap mengalami takikardi oleh karena efek
bronkotropik dari bronkodilator.
Pulse Oximetry. Pengukuran saturasi oksigen
dengan pulse oximetry (SpO2) perlu dilakukan
pada seluruh pasien dengan asma akut untuk
mengeksklusi hipoksemia. Pengukuran spO2
diindikasikan saat kemungkinan pasien jatuh ke
dalam gagal napas dan kemudian memerlukan
penatalaksanaan yang lebih intensif. Target
pengobatan ditentukan agar SpO2 > 92% tetap
terjaga.
Analisa gas darah. Keputusan untuk dilakukan
pemeriksaan AGD jarang diperlukan pada awal
penatalaksanaan. Karena ketepatan dan kegunaan
pulse oximetry, hanya pasien dengan terapi
oksigen yang SpO2 tak membnaik sampai > 90%
perlu dilakukan pemeriksaan AGD. Meskipun
sudah diberikan terapi oksigen tetapi oksigenasi
tetap tidak adekuat perlu dipikirkan kondisi lain
yang memperbesar seperti adanya pneumoni. Jika
pemeriksaan laboratorium dilakukan hal tersebut
tidak harus menunda terapi inisiasi asma. Tujuan
terpenting dari pemeriksaan laboratorium seperti
AGD adalah untuk mendeteksi gagal napas
impending atau actual.
Foto Toraks. Foto toraks dilakukan hanya pada
pasien dengan tanda dan gejala adanya
pneumothoraks (nyeri dada pleuritic, emfisema sub
kutis, instabilitas kardiovaskuler atau suara napas
yang asimetris). Pada pasien yang secara klinis
dicurigai adanya pneumonia atau pasien asma yang
setelah 6-12 jam dilakukan pengobatan secara
intensif tetapi tidak respons terhadap terapi.
Monitor irama jantung. Elektro kardiografi tidak
diperlukan secara rutin, tetapi monitor secara terus
menerus sangat tepat dilakukan pada pasien lansia
dan pada pasien yang selain menderita asma juga
menderita penyakit jantung. Irama jantung yang
biasanya ditemukan adalah sinus takikardi dan
supra ventricular takikardi. Jika gangguan irama
jantung ini hanya disebabkan oleh penyakit
asmanya saja, diharapkan gangguan irama tadi
akan segera kembali ke irama normal dalam
hitungan jam setelah ada respon terapi terhadap
penyakit asmanya.
Respon terhadap terapi. Pengukuran terhadap
perubahan PEFR atau FEV1 yang dilakukan setiap
saat mungkin merupakan salah satu cara terbaik
untuk menilai pasien asma akut dan untuk
memperkirakan apakah pasien perlu dirawat atau
tidak. Respon terhadap terapi awal IGD
merupakan predictor terbaik tentang perlu tidaknya
pasien dirawat, bila respon awal terhadap
pengobatan (PEVR FEV1 pada 30 pertama),
merupakan predictor terpenting terhadap hasil
terapi. Variasi nilai PEFR di atas 50 L/menit dan
PEF >40 % normal yang diukur 30 menit setelah
dimulainya pengobatan, merupakan predictor
terpenting yang baik bagi hasil akhir pengobatan
yang baik pula. Evaluasi gejala dan bila mungkin
aliran puncak. Di RS juga menilai saturasi oksigen,
pertimbangkan pengukuran analisa gas darah pada
pasien dengan curiga hipoventilasi, kelelahan,
distress berat atau aliran puncak 30-50% prediksi.
Follow up. Setelah eksaserbasi tertangani, faktor
yang mencetuskan eksaserbasi harus diidentifikasi
dan strategi untuk implementasi menghindari hal
tersebut kedepan serta peninjauan rencana terapi.
Prognosis asma
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko
yang berjumlah kira-kira 10 juta. Namun, angka kematian cenderung
meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas. Informasi
mengenai perjalanan klinis asma mengatakan bahwa prognosis baik
ditemukan pada 50 sampai 80 persen pasien, khususnya pasien yang
penyakitnya ringan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang
menderita asma 7 sampai 10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari
26 sampai 78 persen, dengan nilai rata-rata 46 persen; akan tetapi persentase
anak yang menderita penyakit yang berat relative rendah (6 sampai 19
persen). Tidak seperti penyakit saluran napas yang lain seperti bronchitis
kronik, asma tidak progresif. Walaupun ada laporan pasien asma yang
mengalami perubahan fungsi paru yang irreversible, pasien ini seringkali
memiliki tangsangan komorbid seperti perokok sigaret yang tidak dapat
dimasukkan salam penemuan ini. Bahkan bila tidak diobati, pasien asma
tidak terus menerus berubah dari penyakit yang ringan menjadi penyakit
yang berat seiring berjalannya waktu. Beberapa penelitian mengatakan
bahwa remisi spontan terjadi pada kira-kira 20 persen pasien yang menderita
penyakit ini di usia dewasa dan 40 persen atau lebih diharapkan membaik
dengan jumlah dan beratnya serangan yang jauh berkurang sewaktu pasien
menjadi tua.
Daftar Pustaka
1. Ilmu penyakit dalam jilid I
2. Ilmu penyakit dalam jilid II
3. Kapita selekta kedokteran edisi II
4. Kamus saku kedokteran Dorland edisi 29
5. repository.usu.ac.id