ULUMUL QURAN Galih Ghulam
ULUMUL QURAN Galih Ghulam
ULUMUL QURAN Galih Ghulam
DISUSUN OLEH :
1. Ghulam Zakia Ahmad 201710570311014
2. Galih Fauzan Firdaus 201710570311022
Alhamdulillah, Segala puji dan syukur ke hadirat Allah ﷻyang telah memberikan
pengetahuan dan ilmu kepada kami dalam menyelesaikan penulisan makalah ini. Shalawat dan
salam kami sanjung agungkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad ﷺyang kita nantikan
syafa’atnya di yaumil akhir. Makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan kepada
kami dalam rangka mengembangkan ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an.
Terselesaikannya makalah ini tidak terlepas dari bantuan semua pihak, oleh karena itu
dalam kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terimakasih kepada ustadz Agus Supriadi Lc.
selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Ulumul Al-Qur’an dan teman-teman semester IV Program
Studi Pendidikan Bahasa Arab.
Akhirnya dengan ucapan doa’a ini, semoga Allah ﷻselalu melimpahkan rahmat-Nya
kepada kami semua dan semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
manfaat khususnya bagi kami yang In Syaa Allah akan menjadi seorang guru. Penyusun
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, guna terciptanya makalah yang lebih
baik lagi di masa akan datang.
Kelompok 03
BAB I
PENDAHULUAN
Umat manusia pada umumnya sebelum kedatangan islam (sebelum Nabi Muhammad
SAW diangkat menjadi rasul terakhir) masih dalam keadaan buta aksara (buta baca-tulis). Begitu
juga bangsa Arab sedikit sekali yang bisa baca tulis. Baru menjelang kedatangan islam, beberapa
orang arab makkah belajar membaca dan menulis hurufv Arab dengan Harb bin Ummayah,
pedagang dari suku Quraisy yang sering melewat ke berbagai negri untuk berbisnis perdagangan.
Di Irak, beliau bertemu dengan Basyar bin Abdul Malik yang pandai baca-tulis hvurufv Arab.
Maka ia belajar baca tulis ini dengan Basyar. Dan ketika pulang ke negri Mekkah ia disertai
Basyar. Dan kemudian ia mengawinkan Basyar dengan putrinya bernama Shahba’ saudari
perempuan Abu Sufyan ayah Mu’awiyah pendiri Bani Umayyah.
Di Madinah terdapat orang orang yauhdi yang telah mengajarkan baca-tulis huruf Arab
kepada anak-anak. Dan pada waktu Nabi Muhammad Hijrah ke madinah telah ada beberapa
sahabat Nabi yang pandai baca-tulis, diantaranya al-Mundzir bin “amr, ‘Amr bin Sa’id dan Zaid
Bin Tsabit. Khusus Zaid ini, ia belajvar baca-tulis dengan orang Yahudi atas perintah Nabi
Muhammad.v
Setelah berkembangnya zaman baca-tulis Al-Qur’an mulai berkembang pesat mulai dari
Khulafaur Rasyidin sampain kerajan Bani Abasiyah. Dan ini menyebabkan beberpa perbedaan
dalam hokum dan cara baca-tulis Al-Qur’an. Berikut ini beberapa pengertian dan perbedaan
baca-tulis Al-Qur’an.
BAB II
Rasm Utsmani adalah rasm(bentuk ragam tulis) yang telah diakui dan diwarisi oleh umat
Islam sejak masa Utsman dan pemeliharaan rasm Utsmani merupakan jaminan kuat bagi
penjagaan Qur’an dari perubahan dan penggantian huruf-hurufnya. Seandainya diperbolehkan
menuliskannya menurut istilah imla’ di setiap masa, maka hal ini akan mengakibatkan perubahan
mushaf dari masa ke masa.
Para ulama menamakan metvode tersebut dengan Ar-rasmul ‘Utsmani lil Mushaf, yaitu di
nisbatkan kepada Utsman. Tetap kemudian mereka berbeda pendapat tentang status hukumnya.
1. Pendapat pertama: sesungguhnya rasm Utsmani bukanlah suatu yang diterima dari Nabi
SAW, tapi ia adalah istilah yang disetujui Utsman dan umat Islam menerimanya. Oleh
sebab itu dengan sendirinya kita harus menerimanya dan tidak boleh menentangnya.
2. Sesungguhnya masalah rasm mashaf hanyalah bersifat: istilah, bukan taufiqi (dari Rasul
SAW) dan boleh menentangnya. Ini ialah pendapatIbnu Khaldun dan Abu Bakar
Baqillani.
3. Ia dianggap sudah taufiqi, sehingga tidak boleh ditantang, ini pendapat jumhur auat
mayoritas ulama. Dalil mereka ialah karena Rasul SAW mempunyai para penulis wahyu.
Mereka yang menulis Al-Qur’an dan rasm tersebut dan telah ditakrirkan oleh beliau
SAW dalam surat-surat dan begitu pula mengenai penulisan hukum-hukum Beliau.
Sahabat-sahabat nabi terdiri dari beberapa golongan. Tiap-tiap golongan itu mempunya
lahjah (bunyi suara / sebutan) yang berlainan satu sama lain. Memaksa mereka menyebut
pembacaan atau membunyikan al-Qur’an dengan lahjah yang tidak mereka biasakan, suatu hal
menyukarkan. Maka untuk mewujudkan kemudahan, Allah Yang Maha Bijaksana menurunkan
al-Qur’an dengan lahjah-lahjah yang biasa dipakai oleh golongan Quraisy dan oleh golongan-
golongan yang lain di tanah Arab. Oleh karna itu menghasilkan bacaan al-Qur’an dalam berbagai
rupa atau macam bunyi lahjah. Dan bunyi lahjah yang biasa ditanah Arab ada tujuh macam. Di
samping itu ada beberapa lahjah lagi. Sahabt-sahabat nabi menerima al-Qur’an dari nabi menurut
lahjah bahasa golonganya. Dan masing-masing mereka meriwayatkan al-Qur’an menurut lahjah
mereka sendiri. Sesudah itu munculah segolongan ulama yang serius mendalami ilmu qira’at
sehingga mereka menjadi pemuka qira’at yang dipegangi dan dipercayai. Oleh karena mereka
semata-mata mendalami qira’at untuk mendakwahkan al-Qur’an pada umatnya sesuai dengan
lahjah tadi. Kemudian muncullah qurra-qurra yang kian hari kian banyak. Maka ada diantara
mereka yang mempunyai keteguhan tilawahnya, lagi masyhu, mempunyai riwayah dan dirayah
dan ada diantara mereka yang hanya mempunyai sesuatu sifat saja dari sifat-sifat tersebut yang
menimbulkan perselisihan yang banyak.
Untuk menghindarkan umat dari kekeliruan para ulama berusaha menerangkan mana
yang hak mana yang batil. Maka segala qira’at yang dapat disesuaikan dengan bahasa arab dan
dapat disesuaikan dengan salah satu mushaf Usmani serta sah pula sanadnya dipandang qira’at
yang bebas masuk kedalam qira’at tujuh, maupun diterimanya dari imam yang sepuluh ataupun
dari yang lain.
Meskipun mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai satu-satunya mushaf yang dijadikan
pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam pembacaan Al-Qur’an, namun demikian masih
terdapat jugaperbedaan dalam pembacaan. Hal ini disebabkan penulisan Al-Qur’an itu sendiri
pada waktu itu belum mengenal adanya tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan
belum ada baris harakat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf ‘ustmani yang tidak
berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai
qira’at. Hal itu di buktikan dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an.
Dengan demikian hubungan rasmul Qur’an dengan Qira’at sangat erat. Karena semakin
lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula kesulitan untuk mengungkap
pengertian-pengertian yang terkandung didalam Al-Qur’an.Untuk mengatasi permasalahan
tersebut Abu Aswad Ad-Duali berusaha menghilangkan kesulitan-kesulitan yang sering dialami
oleh orang-orang Islam non Arab dalam membaca Al-Qur’an dengan memberikan tanda-tanda
yang diperlukan untuk menolong mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dan memahami
kandungan ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
Kata tafsir (سي ْْر ِ )ت َ ْفadalah bentuk masdar dari kata س َر
ّ َ(فfassara) yang secara etimologi
berarti) ار ْ ف َواْ ِِل
ُ ظ َه ُ ا َ ْل َك ْشmengungkap dan menampakkan). Kata tafsir juga berarti menerangkan
sesuatu yang masih samar serta menyingkap sesuatu yang tertutup. Di dalam kaitannya dengan
kata, tafsir berarti menjelaskan makna kata yang sulit dipahami sehingga kata tersebut dapat
dipahami maknanya.
Sedangkan ilmu tafsir menurut istilah adalah ilmu untuk mengetahui-memahami maksud
Alquran, menjelaskan maknanya, megeluarkan hukum dan hikmahnya, yang disandarkan kepada
ilmu bahasa dan sastra, usul fiqh, ilmu qiraa’at, asbab nuzul, dan nasakh-mansukh. Selanjutnya
pengertian Usul Tafsir secara terminologi adalah suatu cabang dari ulumul Qur’an yang lebih
terfokus pada membahas ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah yang diperlukan dan harus diketahui
untuk menafsirkan Alquran. Usul tafsir ini adalah bagian dari Ulum Alquran yang paling penting
karena sangat erat kaitannya dengan istinbath (penyimpulan hukum) dalam fikih dan penetapan
i’tikad (tauhid, akidah) yang benar.
Adapun aspek persamaan antara Ilmu Tafsir dengan Ulum Alquran adalah terletak pada
objek pembahasannya, yaitu ketiga disiplin ilmu tersebut secara bersama-sama berusaha
menggali ilmu-ilmu yang terkandung di dalam Alquran dari berbagai aspek tertentu. Yaitu Ilmu
Tafsir adalah bermaksud mengungkap atau menjelaskan makna kata-kata Alquran yang samar
atau rumit, maka adapun Ulum Alquran juga sebuah ilmu yang bermaksud mengkaji Alquran
dari berbagai aspeknya secara universal. Selanjutnya dari segi tujuan intinya, Ulum Alquran dan
Ilmu Tafsir adalah dua disiplin ilmu yang berpadu dalam berusaha memahami Alquran.
Selanjutnya mengenai persamaan usul at-Tafsir dengan Ulum Alquran, sebagaimana
Ahsin W. Al-Hafidz menyebutkan bahwa Ulum Alquran ini dinamakan juga dengan Usul At-
Tafsir (dasar-dasar tafsir), karena kajian ulum Alquran dan usul tafsir adalah sama-sama
membahas beberapa masalah yang harus diketahui dan dikuasai seorang mufassir dalam
menafsirkan Alquran
Namun sisi perbedaan antara Usul Tafsir dengan Ulum Alquran adalah bahwa Usul
Tafsir adalah suatu disiplin ilmu yang mengkaji dan menganalisis secara khusus dan spesifik/
mengenai kaidah-kaidah yang diperlukan dan harus diketahui untuk menafsirkan Alquran.
Sementara kajian Ulum Alquran mengenai kaidah-kaidah penafsiran Alquran masih secara
umum saja, dan kajian tersebut masuk dalam salah satu pembahasan sub buku Ulum Alquran.
1. Kedua mushaf memiliki rasm yang sama dengan mushaf acuan, tetapi masing-masing
berbeda dabt nya, terletak pada lafadz: , الَن, بالنفس,ِل أ ُقس ُم
2. Rasm mushaf Indonesia berbeda dengan mushaf Usmani-Turki dan Madinah, terletak
pada lafadz: قدرين,اإلنسن
3. Rasm mushaf Indonesia dan Madinah berbeda dengan mushaf UsmaniTurki, terletak
pada lafadz: القيامه,ينباerbeda penambahan dabt pada kedua mushaf penelitian dan
mushaf acuan,
4. Berbeda penulisan bentuk rasm pada mushaf penelitian dengan mushaf acuan,
terdapat pada lafadz:يحيي
5. Berbeda penambahan dabt pada ketiga mushaf penelitian dan mushaf acuan, terdapat
pada lafad :به
Qiraat al-Quran
Qiraat adalah jamak dari qiraah yang berarti bacaan,dan ia adalah masdar (Verbal noun)
dari qoro’a. menurut istilah ilmiah qiraat adalah salah satu madzhab (aliran) pengucapan al-
Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imm Qurra’ sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan
madzhab lainnya.
Sahabat-sahabat nabi terdiri dari beberapa golongan. Tiap-tiap golongan itu mempunya
lahjah (bunyi suara / sebutan) yang berlainan satu sama lain. Memaksa mereka menyebut
pembacaan atau membunyikan al-Qur’an dengan lahjah yang tidak mereka biasakan, suatu hal
menyukarkan. Maka untuk mewujudkan kemudahan, Allah Yang Maha Bijaksana menurunkan
al-Qur’an dengan lahjah-lahjah yang biasa dipakai oleh golongan Quraisy dan oleh golongan-
golongan yang lain di tanah Arab. Oleh karna itu menghasilkan bacaan al-Qur’an dalam berbagai
rupa atau macam bunyi lahjah. Dan bunyi lahjah yang biasa ditanah Arab ada tujuh macam. Di
samping itu ada beberapa lahjah lagi. Sahabt-sahabat nabi menerima al-Qur’an dari nabi menurut
lahjah bahasa golonganya. Dan masing-masing mereka meriwayatkan al-Qur’an menurut lahjah
mereka sendiri. Sesudah itu munculah segolongan ulama yang serius mendalami ilmu qira’at
sehingga mereka menjadi pemuka qira’at yang dipegangi dan dipercayai. Oleh karena mereka
semata-mata mendalami qira’at untuk mendakwahkan al-Qur’an pada umatnya sesuai dengan
lahjah tadi. Kemudian muncullah qurra-qurra yang kian hari kian banyak. Maka ada diantara
mereka yang mempunyai keteguhan tilawahnya, lagi masyhu, mempunyai riwayah dan dirayah
dan ada diantara mereka yang hanya mempunyai sesuatu sifat saja dari sifat-sifat tersebut yang
menimbulkan perselisihan yang banyak.
Untuk menghindarkan umat dari kekeliruan para ulama berusaha menerangkan mana
yang hak mana yang batil. Maka segala qira’at yang dapat disesuaikan dengan bahasa arab dan
dapat disesuaikan dengan salah satu mushaf Usmani serta sah pula sanadnya dipandang qira’at
yang bebas masuk kedalam qira’at tujuh, maupun diterimanya dari imam yang sepuluh ataupun
dari yang lain.
Meskipun mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai satu-satunya mushaf yang dijadikan
pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam pembacaan Al-Qur’an, namun demikian masih
terdapat jugaperbedaan dalam pembacaan. Hal ini disebabkan penulisan Al-Qur’an itu sendiri
pada waktu itu belum mengenal adanya tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan
belum ada baris harakat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf ‘ustmani yang tidak
berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai
qira’at. Hal itu di buktikan dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an.
Dengan demikian hubungan rasmul Qur’an dengan Qira’at sangat erat. Karena semakin
lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula kesulitan untuk mengungkap
pengertian-pengertian yang terkandung didalam Al-Qur’an.Untuk mengatasi permasalahan
tersebut Abu Aswad Ad-Duali berusaha menghilangkan kesulitan-kesulitan yang sering dialami
oleh orang-orang Islam non Arab dalam membaca Al-Qur’an dengan memberikan tanda-tanda
yang diperlukan untuk menolong mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dan memahami
kandungan ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
Azzahabi menyebutkan dalam Tabaqotul Qurra’, bahwa sahabat yang terkenal sebagai
guru dan ahli qiraat quran ada tujuh orang yaitu Ubai, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu
Musa al-Asy’ari. Lebih lanjut ia menjelaskan, segolongan besar sahabat mempelajari qiraat dari
Ubai, diantaranya Abu Huraira, Ibnu Abbas dan Abdullah bin Sa’ib dan Ibnu Abbas belajar pula
kepada Zaid.
Qiraat berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan salah seorang
imam dan berbeda yang dilakukan imam-imam lainnya. Cara pelafalan ayat-ayat al-Qur’an itu
berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi. Jadi bersifat taufiqi, bukan ijtihadi.
Ruang lingkup perbedaan qiraat itu menyangkut persoalanlughat, hadzaf, I’rab, isbat, fashl,
washl.
Perbedaan antara satu qira’at dengan qira’at lainya bisa terjadi pada perbedaan huruf,
bentuk kata susunan kalimat , penambahan dan pengurungan kata. Perbedaan ini sudah tentu
membawa sedikit banyak perubahan kepada makna yang selanjutnya berpengaruh kepada
istinbath hukum.
Adapun contoh dari qiraat yang menyebabkan perbedaan makna antara tiap qiraat yaitu
sebagai berikut
ع ت َ ِز ل ُوا ال ن ِّ سَ ا َء ف ِ يْ يض ۖ ق ُ ْل هُ َو أ َذ ًى ف َا ِ ك عَ ِن الْ َم ِح َ َ س أ َل ُو ن
ْ َ َو ي
ط ُه ْر َن ۖ ف َإ ِذ َا ت َطَ َّه ْر َن ف َأ ْت ُو هُ َّن ِم ْن ْ َ يض ۖ َو َِل ت َقْ َر ب ُو هُ َّن َح ت َّ ٰى ي ِ الْ َم ِح
ب الْ ُم ت َطَ ِّه ِر ي َن (البقرة ُّ ب ال ت َّ َّو ا ب ِ ي َن َو ي ُ ِح َّ ُث أ َ َم َر كُ م
َّ َّللا ُ ۚ إ ِ َّن
ُّ َّللا َ ي ُ ِح ُ َْح ي
)222
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran".
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka
itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (al baqarah 222)
Ada dua hal yang disepakati ulama dalam ayat ini yang pertama larangan bersetubuh
untuk istri yang sedang haidh dan kedua diperbolehkan istimta’ (bercumbu) diperbolehkan.
Menurut qira’at nafi dan abu ‘amr di baca حي يطهرنdan menurut qiraat pertama hamzah
dan kisai حي يظهرنmenunjukan larangan menggauli istri yang sedang haidh dan diperbolehkan
setelah selesai walaupun belum malakukan mandi besar. Inilah pendapat abu hurairah sedangkan
qiraat kedua dengan tasydid tha dan ha menunjukan adanya usaha dalam menjadikan dirinya
bersih, perbuatan itu, adalah mandi sehingga يطهرنditafsirkan dengan يغتسلنberdasarkan bacaan
qiraat qisai dan hamzah jumhur tidak menafsirkan makna berstasydid di kalimat bertasydid.
DAFTAR PUSTAKA
AS, Mudzakir. 2017. STUDI ILMU ILMU QUR’AN Manna Khalil al-Qahtan. Bogor: Lentera
AntarNusa
Ashidiqie, Tengku Muhammad Hasbi. Sejarah & Pengantar ILMU AL QUR’AN dan TAFSIR.
Semarang: PT.PUSTAKA RIZKI PUTRA