STUDISASTRAKONSEPDASARTEORIDANPENERAPANNYA
STUDISASTRAKONSEPDASARTEORIDANPENERAPANNYA
STUDISASTRAKONSEPDASARTEORIDANPENERAPANNYA
net/publication/325531747
STUDI SASTRA Konsep Dasar Teori dan Penerapannya pada Karya Sastra
CITATIONS READS
4 551
1 author:
Tirto Suwondo
Balai Bahasa Jawa Tengah, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
193 PUBLICATIONS 44 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Tirto Suwondo on 02 June 2018.
studi sastra
Hippolyte Taine
Vladimir Propp
A.J. Greimas
Tzvetan Todorov
Roland Barthes
Levi-Strauss
Mikhail Bakhtin
M. H. Abrams
Julia Kristeva
Wellek & Warren
Catatan Akhir
Prof. Dr. Suminto A. Sayuti
GAMA MEDIA
STUDI SASTRA
Konsep Dasar Teori dan Penerapannya pada Karya Sastra
Diterbitkan oleh:
GAMA MEDIA
Jln. Nitikan Baru No. 119 Yogyakarta 55162
Telp./Faks. 0274-383697
e-mail: [email protected]
ISBN: 979-978-1104-56-2
Judul / Penulis v
mencoba memberikan model-model (alternatif) pemahaman karya
sastra secara metodologis tergolong masih sangat langka. Oleh sebab
itu, kehadiran buku ini dapatlah dijadikan sebagai pilihan penting
untuk memenuhi sebagian dari harapan kita karena di dalamnya
disajikan sekian banyak cara pemahaman dan atau apresiasi sastra.
Kami berharap, mudah-mudahan buku ini mampu menjadi daya
dorong bagi para siswa, guru, mahasiswa, dosen, peneliti, peminat
sastra, dan masyarakat luas pada umumnya untuk tidak canggung-
canggung lagi masuk ke dalam dunia sastra, dunia yang mampu
mengajak kita untuk “lebih berbudaya” ini.
GAMA MEDIA
vi Judul / Penulis
KATA PENULIS
Judul / Penulis ix
dengan gayanya sendiri telah menyumbangkan rasa kebersamaan dan
spirit kerja; (4) dosen dan rekan-rekan di Fakultas Sastra UGM dan
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, yang dengan keseriusannya
telah menggulirkan berbagai-bagai macam pengetahuan sastra; dan
(5) keluarga, terutama istri tercinta (Rina Ratih S.S.) dan tiga buah
hati tersayang (Nila Iswara Poetry, Andrian Ahmada Gandawida,
Nasrilia Rahmadina), yang dengan canda riang dan rengek tangisnya
senantiasa memberikan kehangatan yang mengalir tak henti-
hentinya sehingga buku ini hadir ke hadapan sidang pembaca.
Untuk itu, kepada mereka semua, saya menyampaikan penghargaan
dan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya. Budi baik mereka,
mudah-mudahan, memancing kegairahan, keindahan, dan rahmat
Tuhan Yang Maha Besar.
Tirto Suwondo
x Judul / Penulis
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Studi Ilmiah Sastra . . . . . . . . . . . . 2
Posisi Teks dalam Teori dan Studi Sastra . . . . . . . . . . . . 16
Dari Krisis Politik sampai Legitimasi Kekuasaan
Studi Sosiologis tentang Sastra, Masyarakat,
dan Raja di Jawa Abad XVIII dan XIX . . . . . . . . . . . . 32
Cerita Rakyat Damarwulan, Studi Fungsi Pelaku
dan Penyebarannya Menurut Vladimir Propp . . . . . . . . . 53
Cerita Rakyat Danawa Sari Putri Raja Raksasa
Studi Struktural Menurut A.J. Greimas . . . . . . . . . . . . 74
Judul / Penulis xi
Novel Sang Guru Karya Gerson Poyk
Studi Struktural Menurut Tzvetan Todorov . . . . . . . . . . . . 97
Seno Gumira Adjidarma dan
“Pelajaran Mengarang” . . . . . . . . . . . . 110
Penelusuran Intensi Pengarang dan Studi Struktural
Menurut Sistem Kode Roland Barthes . . . . . . . . . . . . 110
Pemahaman Pola Berpikir Jawa Melalui Mitos Dewi Sri
Studi Struktural-Antropologis Menurut
Levi-Strauss . . . . . . . . . . . . 131
Novel Olenka Karya Budi Darma Studi Dialogis
Menurut Mikhail Bakhtin . . . . . . . . . . . . 154
Suara Azan dan Lonceng Gereja Karya A. Hasjmy
Studi Pragmatik . . . . . . . . . . . . 182
Olenka, Chairil Anwar, dan Sartre
Studi Intertekstual . . . . . . . . . . . . 198
Cerpen “Dinding Waktu” Karya Danarto
Studi Stilistika . . . . . . . . . . . . 221
2 Judul / Penulis
bertujuan untuk mencapai kebenaran (Popper via Lefevere,
1977:10). Perdebatan yang tidak membuahkan hasil itulah
yang mengakibatkan munculnya “krisis ilmu sastra”; seolah
para praktisi sastra kehilangan muka di depan disiplin ilmu
lain karena aktivitas mereka semakin dipertanyakan (Lefevere,
1977:29).
Jika ditelusuri lebih jauh, “perlawanan” pihak lain terhadap
studi sastra itu memang cukup beralasan. Studi sastra dianggap
tidak mampu mencapai taraf ilmiah karena dalam kenyataannya --di
Eropa saat itu-- teori sastra sering hanya mengimpor dasar-dasar
ilmiah dari bidang lain (sosiologi, psikologi, dan sejenisnya) tanpa
mencoba memahami bahwa poetika sastra dapat ditemukan dalam
sastra itu sendiri. Dalam memahami sastra orang cenderung hanya
memotong-motong sastra dari sudut ilmu lain (Lefevere, 1977:30).
Selain itu, studi sastra juga terobsesi untuk menerapkan semacam
formalisasi dan model-model, namun model-model tersebut tidak
dipahami sebagaimana mestinya tetapi hanya diterapkan begitu
saja. Inilah yang sering dilakukan oleh para strukturalis dan ahli
tata bahasa teks. Untuk mengatasi berbagai kelemahan yang ada,
sebenarnya para strukturalis sudah berusaha mengembangkan suatu
“metafisika-struktur”, namun dalam realitasnya hal itu justru semakin
membingungkan karena terjebak pada kesulitan untuk membedakan
antara kritik internal dan eksternal. Bahkan, strukturalisme, terutama
di Prancis, menempatkan teorinya sampai di luar batas ilmu, sehingga
tidak dapat diuji secara intersubjektif (Lefevere, 1977:32). Di samping
alasan-alasan tersebut, ada satu lagi alasan yang lebih radikal, yaitu
bahwa studi sastra dianggap tidak ilmiah karena cara pemahaman
sastra identik dengan omongan bertele-tele tanpa konsep yang jelas
(Lefevere, 1977:32). Pernyataan itu berdasarkan suatu kenyataan
bahwa teori sastra tidak terpanggil untuk membuat suatu klasifikasi-
Judul / Penulis 3
klasifikasi, taksonomi-taksonomi, dan berbagai definisi baru yang
memadai.
Seperti diketahui bahwa keraguan terhadap keilmiahan
studi sastra yang melanda para ilmuwan di Eropa pada abad ke-19
masih bergema hingga awal abad ke-20, bahkan sampai sekarang.
Hal itu tidak hanya terjadi di berbagai universitas di Amerika dan
Inggris, tetapi juga di negara-negara lain. Keberadaan aliran New
Criticism di Amerika sejak Perang Dunia II, misalnya, --sebagai
hasil reaksi atas berkembangnya Formalisme di Rusia-- ternyata
juga masih sering ditentang, dikecam, dan bahkan dicemarkan
(Culler, 1981:3). Kecaman, tentangan, dan sejenisnya itu muncul
dari adanya kekurangpuasan terhadap metode yang diyakini oleh
aliran tersebut, sehingga kemudian lahir berbagai aliran (kritik,
studi) yang lebih baru, antara lain psychoanalitic criticism, semiotics,
rezeptions-aesthetic, dan deconstructions (Culler, 1981:9, 12--14).
Akan tetapi, lahirnya berbagai aliran itu bukan tanpa resiko karena
kemunculannya secara bertubi-tubi justru menunjukkan adanya
ketidakmantapan konsep. Bertolak dari realitas itulah pihak lain
menganggap bahwa studi sastra kurang konsisten, kurang percaya
diri, sehingga dikatakan tidak ilmiah karena selamanya hanya
mencari dan selalu mencari tanpa membuahkan hasil (konsep) yang
jelas. Hal yang lebih memprihatinkan lagi ialah kondisi studi sastra
di Indonesia. Menurut Budi Darma (1990:338, 343), kelemahan
studi sastra di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh dominasi studi
kebahasaan, tetapi juga karena para sarjana sastra Indonesia kurang
banyak membaca dan berkecenderungan untuk menerima segala
sesuatu secara langsung, lugas, dan jelas, tanpa pertimbangan dan
evaluasi yang cermat. Itulah antara lain beberapa kelemahan yang
melanda bidang studi sastra.
Sebagai pecinta ilmu kemanusiaan (humaniora), para kritisi dan
akademisi sastra tentu tidak akan membiarkan kenyataan tersebut
4 Judul / Penulis
terus berlangsung. Studi sastra sebagai bidang garapannya wajib
diupayakan agar menjadi bidang studi yang mampu mencapai taraf
ilmiah sejajar dengan bidang-bidang studi (ilmu) lainnya. Karena
itu, ada kewajiban bagi kita untuk menengok dan mempertanyakan
kembali berbagai masalah yang berkaitan dengan hal-ihwal studi
ilmiah sastra. Masalah-masalah yang dimaksudkan itu --seperti akan
dipaparkan di bawah-- antara lain berkenaan dengan (1) hakikat
karya sastra sebagai objek studi ilmiah, dan (2) hakikat studi ilmiah
sastra. Sebenarnya, masalah yang berkenaan dengan hal-ihwal studi
ilmiah sastra tidak hanya itu, tetapi khusus untuk kepentingan uraian
ini, dua hal itulah yang dirasakan cukup penting untuk dibicarakan.
Setelah itu, akan dibicarakan pula harapan-harapan terhadap studi
ilmiah sastra masa mendatang.
Judul / Penulis 5
beragam pengalaman manusia baik dalam dimensi perseorangan
maupun dimensi sosial. Selain itu, Budi Darma (1995a:59, 62, 65;
1995b:153) menjelaskan bahwa karya sastra yang pantas menjadi
objek studi sastra adalah karya yang baik, dalam arti bahwa karya
tersebut inspiratif, sublim, menyodorkan pemikiran, membuka
kesadaran, menambah wawasan, dan mempunyai daya gugah yang
tinggi. Menurutnya, karya-karya yang demikian mampu menggugah
kritikus untuk menulis kritik yang baik, dan mampu pula menarik
minat pengarang untuk menulis karangan yang lebih baik.
Dalam kasus ini muncullah persoalan penting yang perlu
diperhatikan. Dengan adanya berbagai disiplin ilmu lain yang masuk
ke dalam bidang studi sastra, akibatnya objek studi sastra bukan
hanya karya-karya yang baik atau bernilai saja, melainkan juga
karya-karya yang tergolong kitch. Dapat disebutkan, misalnya, dalam
studi sosiologi sastra. Dalam studi ini, yang menjadi dasar kajian
tidak hanya nilai estetika, tetapi juga masalah-masalah sosiologis
yang terkadang bertentangan dengan konsep estetika sastra. Kendati
demikian, kita tetap yakin bahwa betapapun sosiologisnya studi
sosiologi sastra, karya sastra tetap menjadi objek kajiannya meskipun
bukan objek yang utama.
Satu hal lagi yang menjadi persoalan dalam kaitannya dengan
objek studi sastra adalah sifat karya sastra itu sendiri. Karya sastra
adalah hasil kegiatan kreatif manusia yang berkaitan dengan imajinasi,
intuisi, dan abstraksi kehidupan. Memang benar bahwa karya sastra
mempergunakan bahasa sebagai mediumnya --sehingga studi sastra
dan linguistik berkaitan erat (Culler, 1982:2; Uhlenbeck, 1991:18)--,
tetapi yang menjadi objek utama studi sastra bukan medium ekspresi-
(bahasa)-nya, melainkan kehidupan itu sendiri. Karena kehidupan
pada hakikatnya merupakan abstraksi-abstraksi, jelas bahwa studi
sastra menitikberatkan perhatiannya pada penghayatan, bukan
kognisi, sehingga sulit dirumuskan secara formulatif. Jadi, studi
6 Judul / Penulis
sastra berbeda dengan studi bahasa, bahkan berbeda pula dengan
studi-studi lainnya, karena objek studi sastra adalah kehidupan
yang sudah terabstraksikan dalam karya sastra (Darma, 1990:338,
340). Oleh karena itu, dalam studi ilmiah sastra, karya sastra sebagai
objek studi memiliki karakteristik tersendiri yang khas yang berbeda
dengan objek-objek studi ilmu lain.
Judul / Penulis 7
kesimpulan, dan seterusnya. Akan tetapi, harus diakui bahwa semua
itu bergantung antara lain pada objek studi ilmu yang bersangkutan.
Oleh karena itu, dalam studi sastra, keilmiahan studi sastra ditentukan
pula oleh objeknya, yaitu karya sastra.
Sampai tahap inilah muncul persoalan yang paling mendasar.
Karena objek studi sastra --seperti telah dipaparkan di depan--
adalah karya sastra, bukan yang lain (bahasa, psikologi, masyarakat,
dan sebagainya), sementara karya sastra adalah abstraksi kehidupan
yang sulit diformulasikan (Darma, 1990:340), jelas bahwa studi sastra
sulit untuk mencapai objektivitas. Karena sulit untuk mencapai
objektivitas, konsekuensinya ialah sulit pula untuk menetapkan
metode dan teorinya. Realitas inilah yang menyebabkan munculnya
anggapan bahwa studi sastra tidak ilmiah, yang salah satu sebabnya
ialah karena objeknya berupa karya imajinatif, intuitif, abstraktif, dan
menyangkut perasaan terdalam manusia yang tidak dapat dibuktikan
dengan angka-angka.
Memang benar bahwa titik berat studi sastra adalah
penghayatan karena objeknya berupa kristalisasi dari abstraksi
kehidupan (Darma, 1990:339--340). Itulah sebabnya, di dalam studi
sastra dituntut adanya kepekaan yang tinggi. Karena kepekaan tidak
dapat diartikulasikan dan diformulasikan dengan jelas, keilmiahan
studi sastra tidak eksplisit, tetapi implisit. Bagaimanapun juga,
studi sastra mampu membuktikan diri sebagai studi ilmiah karena
di dalamnya terdapat unsur fakta/data, inferensi/simpulan, dan
judgment/pendapat. Selain itu, langsung atau tidak, studi sastra (yang
baik) selalu mengedepankan inquiri, masalah, hipotesis terselubung,
dan jawaban terhadap inquiri dan masalah, serta pembuktian
terhadap hipotesis terselubung tersebut (Darma, 1990:341). Tahap-
tahap dalam studi sastra tidak berjenjang secara hierarkis seperti
dalam ilmu pengetahuan pada umumnya (dari pengetahuan,
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan akhirnya ke evaluasi),
8 Judul / Penulis
tetapi lebih bersifat melebar. Itulah perbedaan tahap-tahap kognisi
dan penghayatan. Akan tetapi, menurut Budi Darma (1990:344),
perbedaan tahap-tahap tersebut hanyalah perbedaan titik berat.
Lefevere (1977:52) mengusulkan bahwa ada dua aspek yang
perlu diperhatikan dalam upaya mengilmiahkan studi sastra. Dua
aspek itu ialah, pertama, perlu ada pendefinisian ulang terhadap
tugas studi sastra, dan kedua, perlu mengikuti beberapa konsep yang
diambil dari teori evolusi. Aspek yang kedua ini diajukan karena,
menurut Lefevere, konsep-konsep dalam teori evolusi dianggap
sudah mapan dan mampu memberikan definisi yang memuaskan
terhadap berbagai fenomena yang diamati dalam perkembangan
sastra.
Berkenaan dengan aspek pertama, Lefevere menjelaskan bahwa
hendaknya tugas studi sastra ditinjau kembali hakikat dan definisi-
definisinya karena objeknya adalah karya sastra yang bermuara pada
pengalaman baik dalam dimensi personal maupun dimensi sosial.
Sementara itu, penyajian prosedur-prosedur yang didefinisikan itu
antara lain meliputi unsur-unsur yang terdiri atas jenis, bentuk, dan
retorik; selain itu juga unsur-unsur seperti tokoh-tokoh prototipik,
suasana-suasana, alur, simbol, sindiran, kutipan, dan juga parodi.
Dengan peninjauan kembali mengenai hal ini, dimungkinkan
akan diperoleh pemecahan terhadap berbagai permasalahan yang
berkaitan dengan statemen-statemen tentang sastra. Disiplin yang
membuat statemen-statemen tentang sastra ini oleh Lefevere
(1977:53) disebut dengan istilah metasastra.
Dalam kaitannya dengan aspek kedua, Lefevere (1977:55)
menyatakan bahwa studi sastra perlu mengikuti konsep pendekatan
evolusioner karena konsep tersebut sesuai dengan alam dan
pertumbuhan serta relevansi dan transmisi ilmu pengetahuan.
Adapun konsistensinya adalah (1) pengetahuan yang didapat
(dibagi-bagikan) melalui membaca dan menulis sastra adalah
Judul / Penulis 9
termasuk pengetahuan non-ilmiah karena permasalahan atau
pengalaman-pengalamannya berkaitan dengan hal-hal, misalnya
cinta atau kematian, yang tidak dapat dipecahkan; (2) pengetahuan
ilmiah atas prosedur-prosedurnya terdapat dalam penyajian yang
berupa uraian dan deskripsi tentang pengalaman-pengalaman; dan
(3) pengetahuan metasastra ilmiah. Berkenaan dengan yang ketiga,
pembicaraan mengenai metasastra menjadi penting jika suatu saat
nilai sastra terancam --mungkin oleh prosedur-prosedur atau oleh
bahasa yang dipakai-- atau permainan bahasa (language game) tidak
lagi dapat dipahami.
Berdasarkan berbagai pandangan di atas, dapat dinyatakan
bahwa pada hakikatnya studi sastra merupakan suatu studi ilmu
pengetahuan yang ilmiah. Meskipun objeknya adalah sesuatu
yang lebih bersifat non-ilmiah, studi sastra tetap menunjukkan
keilmiahannya karena berbagai persyaratan dan langkah-langkah
metodologisnya secara prinsipiil tidak jauh berbeda dengan tahap-
tahap dalam ilmu pengetahuan umumnya. Karena titik berat studi
sastra terletak pada esensi karya sastra itu sendiri --sebagai objek
studi ia berbeda dengan objek studi lainnya--, keilmiahan studi sastra
memiliki sifat yang tersendiri pula. Itulah sebabnya, dikatakan bahwa
studi sastra memiliki keilmiahannya sendiri.
Demikian antara lain berbagai persoalan yang berkenaan
dengan hakikat studi ilmiah sastra. Untuk selanjutnya, paparan
berikut difokuskan pada harapan-harapan masa depan sebagai suatu
refleksi atas kenyataan studi ilmiah sastra masa lalu dan masa kini.
10 Judul / Penulis
sastra sebagai bidang studi yang ilmiah. Akan tetapi, kendati sampai
saat ini studi sastra telah “menyatakan diri” sebagai bidang studi
ilmiah, pada kenyataannya orang masih memandang sebelah mata
dan masih meragukan keilmiahannya. Apalagi saat ini banyak
muncul kajian interdisipliner yang disertai dengan penciptaan
metode dan teori yang lebih canggih. Hal demikianlah yang semakin
memantapkan keraguan terhadap eksistensi studi sastra.
Berkenaan dengan hal tersebut, perlu kiranya mulai saat ini
ditelusuri kembali berbagai hal yang berkaitan dengan studi ilmiah
sastra. Karena studi ilmiah sastra tidak terlepas dari persoalan teori,
metode, dan berbagai persyaratan metodologis lainnya, perlulah
persoalan tersebut dicoba dipertanyakan, dievaluasi, dirumuskan,
dan ditetapkan kembali konsep-konsep studi sastra berdasarkan
prosedur-prosedur ilmu sastra khususnya dan ilmu pengetahuan
pada umumnya. Dengan cara demikian dimungkinkan akan
ditemukan suatu pola atau bentuk ideal studi sastra yang diharapkan.
Dalam persoalan teori (sekaligus metode), misalnya, perlu
teori tersebut dipahami secara kreatif dan evaluatif. Bagaimana
sejarah kemunculannya, bagaimana kebenarannya, apakah secara
prosedural sesuai dengan objeknya, atau apakah konsep-konsepnya
logis atau tidak, teori tersebut perlu diuji kembali. Melalui cara-
cara demikian tentu akan dapat ditetapkan metode studi yang lebih
tepat karena secara esensial teori yang satu dan lainnya memiliki
metode yang berbeda. Menurut sejarah perkembangannya, teori
yang muncul lebih kemudian dianggap “lebih baik” daripada teori
terdahulu karena penciptaan teori yang lebih kemudian disertai
upaya menutupi kelemahan-kelemahan teori yang sudah ada. Akan
tetapi, tidak perlu teori tersebut diterima secara langsung, lugas, dan
apa adanya karena pada hakikatnya setiap teori memiliki kelebihan
dan kekurangan. Hanya yang perlu dicari jawabannya adalah apakah
teori tersebut mampu mempertahankan diri, baik secara teoretis,
Judul / Penulis 11
historis, maupun pragmatis dalam menghadapi fenomena personal
dan sosial kehidupan.
Untuk memperjelas masalah tersebut, perlu kiranya dibaca
artikel Culler Beyond Interpretation (1981:3--17). Dalam artikel
tersebut Culler membicarakan masalah interpretasi (penafsiran,
pemaknaan) karya sastra mulai dari aliran New Criticism sampai
dengan Deconstruction. Menurutnya (1981:6--7), New Criticism
pada mulanya berhasil menemukan model penelitian (teori) yang
begitu menjanjikan, tetapi karena beberapa hal akhirnya mengalami
kegagalan. Lalu muncullah model teori dari aliran Psychoalalytic.
Namun, karena model interpretasi yang dilakukan oleh aliran
tersebut ternyata juga hanya dianggap sebagai suatu kumpulan tema-
tema, teori (kritik) psikoanalitik gagal pula memberikan pemahaman
yang lebih baik mengenai masalah interaksi logika dengan teks sastra
(Culler, 1981:10).
Demikian juga dengan munculnya semiotik, kritik dialektik,
estetika resepsi, dan dekonstruksi. Pada dasarnya setiap teori yang
diajukan oleh mereka memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing. “Tidak ada alasan bagi kita untuk menganggap bahwa kritik
(interpretasi) tertentu paling valid ... karena pembaca akan terus
membaca dan menginterpretasikan karya sastra ... dan hendaknya
kritikus berusaha terus mencari suatu interpretasi ... karena
interpretasi (apa pun) merupakan aktivitas yang legal... (Culler,
1981:16--17).
Oleh karena setiap teori selalu memiliki kekurangan (di
samping kelebihan) sehingga setiap saat berubah --dengan demikian
menunjukkan adanya ketidakkonsistenan konsep--, dewasa ini
muncul anggapan bahwa dalam studi (kritik) sastra tidak lagi
diperlukan teori. Karena itulah, muncul istilah “penolakan teori”
seperti yang dipaparkan oleh Paul de Man dalam tulisannya The
Resistance to Theory (1986). Namun, dalam tulisan itu Paul de
12 Judul / Penulis
Man telah memberikan argumentansi bahwa bagaimanapun tidak
akan ada yang mampu menolak teori (1986:19) karena, semakin
teori itu ditolak, semakin tumbuh suburlah teori tersebut, tidak
mempedulikan apakah ketumbuhsuburannya itu merupakan sebuah
kemenangan ataukah justru kehancuran.
Demikian sekedar contoh perlunya berbagai masalah yang
berkaitan dengan studi sastra dievaluasi dan dicermati kembali.
Sesungguhnya masih banyak hal yang pantas dibahas lebih dalam,
misalnya bagaimana posisi dan sikap studi sastra terhadap bidang
ilmu lain yang dicoba untuk diintegrasikan, misalnya sosiologi,
psikologi, dan linguistik. Khusus dengan yang terakhir ini, yakni
linguistik, studi sastra tidak mungkin mengingkari hubungan erat
dengannya karena, seperti dikatakan Uhlenbeck (1991:32), linguistik
mampu memberikan bantuan yang baik dalam studi sastra, khususnya
dalam hal pemahaman semantik bahasa sastra. Sementara itu, Culler
(1982:21) juga menunjukkan, meskipun bukan merupakan alat untuk
menginterpretasi sastra, lebih-lebih sebagai metode interpretasi
objektif, linguistik tetap merupakan pengetahuan yang cocok bagi
usaha pengembangan mengenai nilai sistematik fungsi bahasa sastra:
teori tentang matra (irama), pola-pola suara, sintaksis naratif, dan
teori tentang koherensi semantik.
Kendati beragam masalah yang berkaitan dengan hakikat
studi sastra sudah banyak dibahas para ahli, contohnya seperti yang
ditunjukkan di atas, bagaimanapun kita wajib untuk menelusur ulang
apa yang telah mereka argumentasikan. Untuk dapat melakukan hal
ini tentu kita wajib memiliki pengetahuan yang memadai, kreativitas
yang tinggi, kepekaan yang tajam, daya nalar yang kuat, dan tentu
saja banyak membaca, apa pun, tidak terkecuali karya-karya sastra.
Jika cara ini telah dilakukan, setidaknya setengah dari harapan kita
terhadap studi ilmiah sastra yang ideal akan dapat dicapai. Demikian
antara lain apa yang dapat diharapkan pada masa-masa mendatang.
Judul / Penulis 13
Simpulan
Dalam bagian ini akan dicoba direkonstruksi kembali
secara singkat perihal yang berkenaan dengan studi ilmiah sastra.
Rekonstruksi singkat (simpulan) tersebut sebagai berikut.
(a) Secara historis studi sastra telah mengalami
perkembangan. Sejak abad ke-19, studi sastra telah
diupayakan menjadi sebuah studi ilmiah meskipun
keilmiahannya selalu diragukan oleh para ilmuwan
lain. Keraguan terhadap keilmiahan studi sastra
berlangsung terus --bahkan hingga saat ini--
kendati berbagai persyaratan dan langkah-langkah
metodologisnya telah dicoba diperbaiki. Meski
berbagai teori dan metode penelitian sastra telah
diciptakan dan dirumuskan, usaha itu belum mampu
pula menepis keraguan yang ada.
(b) Keraguan-keraguan seperti yang disebutkan di atas
pada umumnya muncul dari asumsi bahwa studi
sastra tidak memiliki konsep sendiri yang jelas
--karena sering hanya mengadaptasi konsep ilmu
lain (misalnya sosiologi, psikologi, filsafat, sejarah,
antropologi, bahasa, dan sebagainya)-- dan tidak
pula memiliki objek yang jelas --antara lain dari
anggapan bahwa karya sastra sesungguhnya hanyalah
bahasa. Oleh karena itu, studi sastra dianggap tidak
konsepsional, tidak objektif, dan hasilnya tidak dapat
diuji secara intersubjektif.
14 Judul / Penulis
(c) Hingga saat ini pihak lain belum menyadari bahwa
sesungguhnya studi sastra adalah studi ilmiah
karena telah menerapkan berbagai persyaratan
dan langkah-langkah metodologis sebagaimana
diterapkan dalam studi lainnya. Hanya karena objek
primer studi sastra adalah karya sastra yang khas
--yaitu kreatif, imajinatif, intuitif, bertitik berat pada
penghayatan, dan berupa abstraksi kehidupan yang
sulit diformulasikan-- yang berbeda dengan objek
studi ilmu lain, sifat ilmiah studi sastra adalah khas
pula. Jadi, itulah yang dikatakan bahwa studi sastra
memiliki keilmiahannya sendiri, tidak eksplisit, tetapi
implisit. Karena itu, tidak sepantasnyalah jika pihak
lain menganggap studi sastra tidak ilmiah.
(d) Demi tercipta model studi ilmiah sastra yang ideal
di masa mendatang, para teoretisi, praktisi, dosen,
dan pecinta sastra umumnya wajib mencermati,
memahami, dan mengevaluasi kembali apa-apa yang
sudah ada saat ini; dan selanjutnya menemukan,
merumuskan, dan menetapkan konsep yang jelas
mengenai berbagai hal dalam studi sastra. Sampai
di sinilah kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan:
sampai sebatas mana kemampuan sumber daya
manusia kita?
Judul / Penulis 15
Posisi Teks dalam Teori
dan Studi Sastra
16 Judul / Penulis
oleh Strukturalisme di Praha tahun 1930-an, dan terwujud pula
dalam gerakan New Criticism di Amerika. Dapat dikatakan bahwa
sejak munculnya Formalisme --sebagai suatu reaksi terhadap
Romantisisme (Ekspresionisme) pada abad ke-19-- ilmu sastra
mengalami pergeseran drastis dan memasuki babak baru. Pergeseran
tersebut terjadi karena para teoretikus (kritikus) menyadari bahwa
sesungguhnya teks sastra merupakan fakta objektif, merupakan
wilayah otonom, terlepas dari pengarang dan pembaca. Jadi, dalam
studi dan interpretasi sastra, teks sastra menjadi perhatian utama,
bukan lagi hal-hal yang berkaitan dengan pengarang dengan berbagai
intensinya. Ini sesuai dengan ungkapan Dresden (Teeuw, 1991:218)
bahwa yang terpenting adalah “dunia dalam kata-kata” (wereld in
woorden, world in words).
Walaupun keyakinan otonomi sastra telah berhasil menggeser
pemikiran teori sastra abad ke-19, pada masa-masa selanjutnya
(dalam abad ke-20) timbul kesadaran baru bahwa ternyata
bahasa sastra tidak mampu menyajikan seluruh impian, harapan,
pengalaman, dan kekecewaan manusia. Oleh karena itu, orientasi
pemikiran teori sastra bergerak dari otonomi sastra ke arah pembaca
yang diberi kebebasan relatif sampai absolut untuk merekonstruksi
--bahkan mendekonstruksi-- teks. Jadi, teks sastra secara radikal
tidak lagi diklaim sebagai wilayah otonom yang mampu memenuhi
dirinya sendiri, tetapi memiliki kebergantungan yang tinggi dengan
wilayah di luarnya, misalnya dengan teks-teks lain (interteks) atau
dengan respon-respon pembaca. Demikian seterusnya sampai pada
klaim-klaim terbaru yang muncul kemudian. Sebagaimana kita lihat
bahwa berbagai klaim dan perdebatan itu sampai saat ini masih terus
berlangsung. Oleh sebab itu, sangat wajar jika muncul anggapan
bahwa teks sastra tidak pernah menduduki posisi yang mapan, pasti,
dan langgeng sepanjang perjalanan teori sastra.
Judul / Penulis 17
Uraian ini tidak bermaksud memberikan gambaran yang
lengkap tentang teks dalam sepanjang sejarah ilmu sastra, tetapi
hanya akan menelusuri bagaimana posisi teks dalam teori sastra abad
ke-20; setidaknya mulai dari pemikiran kaum formalis (1914/1915)
sampai ke pemikiran dekonstruksionis (1960/1970-an). Penentuan
kurun waktu tersebut berdasarkan anggapan bahwa ilmu sastra abad
ke-20 telah memiliki metode dan kerangka teori yang jelas, tidak
seperti umumnya dalam ilmu sastra tradisional. Dalam bidang studi
sastra tradisional --yakni sampai abad ke-19-- pendekatan yang
biasa digunakan adalah pendekatan intuitif tanpa teori dan metode
yang jelas. Demikian juga dengan bidang studi filologi (tradisional);
bidang ini umumnya hanya melacak bentuk asli sebuah teks --salah
satunya dengan metode stemma-- tanpa minat yang eksplisit terhadap
teori dan metode (Teeuw, 1983:1). Oleh karena itu, dalam paparan
ini, perihal gambaran teks yang tidak stabil dan mantap tetapi selalu
berubah akibat hadirnya perusak seperti yang dikemukakan oleh
Bowers (Teeuw, 1991:217) tidak dibicarakan.
Perlu dikemukakan bahwa sebelum pembicaraan sampai pada
intinya, yaitu posisi teks dalam teori sastra abad ke-20, terlebih
dahulu dipaparkan secara ringkas perihal konsep dan identitas
teks sastra. Konsep dan identitas teks sastra ini penting untuk
diungkapkan karena darinya akan diperoleh gambaran yang jelas
mengapa teks sastra tidak pernah menempati posisi yang mapan dan
pasti sepanjang perjalanan teori sastra.
18 Judul / Penulis
untuk mengharap suatu bidang ilmu tertentu dapat menjelaskan
bidang ilmunya sendiri dengan istilah sedemikian rupa sehingga
diperoleh konsensus dalam bidang itu. Dapat dimengerti karena
memang antara teks sastra dan teks non-sastra tidak pernah ada
garis pemisah yang tegas. Garis pemisah itu telah dihapus di masa
lalu dan akan terus dihapuskan di masa-masa mendatang. Alasan
penghapusan itu disebabkan oleh rumitnya struktur objek penelitian
dan evaluasi yang selalu berubah-ubah terhadapnya, di samping
metode yang digunakan untuk mendefinisikan konsep teks sastra
merupakan faktor yang justru menyebabkan kacaunya konsep.
Dikatakan demikian karena, menurut Weitz (Segers, 1978:28),
konsep seni merupakan konsep terbuka yang tidak memungkinkan
adanya definisi operasional. Sebagai contoh, mungkin orang dapat
mengetahui apa yang disebut sastra, tetapi biasanya ia tidak mampu
mengatakan dengan tepat apakah arti sastra itu.
Walaupun realitas menunjukkan bahwa konsep seni itu bersifat
terbuka dan tidak memungkinkan adanya definisi operasional,
berbagai definisi dan hipotesis yang diajukan sehubungan dengan
istilah literature, literary, dan literary text itu pada umumnya
bercirikan dua aspek berikut (Segers, 1978:28--29). Aspek pertama
ialah bahwa kualitas tekstual --aspek kesastraan yang berupa deviasi
dan fiksionalitas teks-- disebutkan sebagai elemen konstitutif konsep
sastra; dan aspek kedua ialah bahwa tekanan selalu ditujukan pada
nilai-nilai yang oleh para pembaca diberikan pada teks. Jika dikaitkan
dengan pendapat Ricoeur (1987:331) yang mengatakan bahwa teks
adalah wacana apa pun yang ditetapkan oleh tulisan --dan tulisan
itu sendiri merupakan elemen konstitutif teks--, barangkali dua
aspek itu hanya dapat dijelajahi melalui eksplanasi (penjelasan) dan
interpretasi (pemaknaan). Eksplanasi berarti mengeluarkan struktur,
yaitu relasi internal dari dependensi yang menentukan tetapnya teks;
sedangkan interpretasi berarti menafsirkan dengan cara mengikuti
Judul / Penulis 19
jalan pemikiran yang dibuka (terbuka) oleh teks atau menempatkan
personanya ke jalan menuju arah teks.
Senada dengan konsep di atas, Lotman (1977:51--53)
menyatakan bahwa sepanjang istilah teks itu yang dibicarakan,
bagaimanapun teks sastra tetap ditandai oleh tiga ciri berikut.
Pertama, teks adalah eksplisit, dalam arti diungkapkan dengan
sarana tanda-tanda dan itu membedakannya dengan struktur
ekstratekstual yang tidak diungkapkan. Kedua, teks adalah terbatas,
dalam arti mempunyai awal dan akhir karena berbeda dengan semua
struktur lain yang tidak memiliki ciri “terbatas”. Ketiga, teks adalah
terstruktur, dalam arti bahwa teks tidak mempunyai susunan yang
arbitrer antara dua batasnya, tetapi mempunyai organisasi internal
yang membuatnya menjadi sebuah keseluruhan yang terstruktur
pada level sintagmatik.
Bertolak dari tiga ciri yang diajukan Lotman itulah Segers
(1978:31) menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan teks sastra
adalah seperangkat tanda-tanda verbal yang eksplisit, terbatas, dan
terstruktur, yang fungsi estetisnya dirasakan dominan oleh pembaca.
Fungsi estetis itu menunjukkan bahwa dalam situasi komunikasi,
minat pembaca pertama-tama diarahkan pada teks sebagai sebuah
keseluruhan tanda-tanda verbal yang tersusun. Akan tetapi, justru
karena adanya dominasi fungsi estetis itulah teks sastra terlalu sulit
untuk diidentifikasikan karena ia (teks) tidak pernah berada dalam
keadaan yang tetap dalam berbagai aspek dan kondisi. Sehubungan
dengan itu, Ricoeur (1985:175--185) mengatakan bahwa seandainya
teks sastra dapat diidentifikasikan, pastilah identifikasi itu tidak
pernah tetap (statik), tetapi selalu berubah (dinamik).
Dalam pendahuluan sebuah buku kumpulan esei yang
membahas masalah identity of the literary text, Culler (1985:14)
menyatakan bahwa memang teks sastra tidak mudah untuk
dikonsepsikan dan diidentifikasikan. Ketika para pakar (teoretikus/
20 Judul / Penulis
kritikus) dalam buku itu mencoba merumuskan identitas teks
sastra dengan ber-agai cara pandang tertentu, ternyata mereka tidak
berhasil memperoleh suatu konklusi yang sama atau identik. Akan
tetapi, menurut Culler (1985:14--15), justru karena tidak memiliki
apa pun yang dapat dikatakan sebagai identitas itulah teks sastra
memiliki daya tarik tersendiri. Atau, dikatakan bahwa “daya tarik teks
sastra pada dasarnya terletak pada ketiadaan identitasnya”. Karena
teks sastra sulit diidentifikasikan, atau jika dapat diidentifikasikan
identifikasi tersebut tetap bersifat dinamik, tidak mengherankan jika
di dalam teori dan studi sastra posisi teks tidak pernah mapan dan
pasti, apalagi langgeng. Perihal ketidakmapanan posisi teks sastra
tersebut antara lain dapat ditelusuri melalui sejarah perjalanan teori
sastra berikut.
Judul / Penulis 21
didekati secara formal manakala dilihat fungsinya --yaitu fungsi
puitik-- dalam penyusunan karya sastra.
Bagi kaum formalis, karya sastra pada dasarnya merupakan
suatu “penjumlahan prosede”. Karena itu, di dalam menilai karya
sastra, yang terpenting adalah prosede atau sarana-sarana (devices)
yang secara distingtif membentuknya. Sarana pembentuk untuk
bidang bunyi dalam puisi, misalnya, adalah rima, irama, matra,
asonansi, aliterasi, dan sejenisnya yang tampak di dalam teks (puisi)
itu. Sarana-sarana atau prosede itu bersifat individual, lepas dari
fungsi referensial atau mimetiknya. Karena itu, secara ekstrem,
karya sastra oleh para formalis diyakini sebagai sistem sarana yang
kehadirannya bersifat netral (otonom) dan hubungannya dengan
realitas bersifat tak langsung. Berkat keyakinannya tentang otonomi
itulah para peneliti sastra bertugas meneliti struktur sastra dalam
evolusinya yang kompleks dan multidimensional; dengan anggapan
bahwa setiap unsur berkaitan dengan unsur lain yang semuanya
mendapatkan makna penuh hanya dalam fungsinya membangun
keseluruhan. Jadi, dalam pemikiran teori formalis, teks sastra
dipandang menempati posisi sentral dan utama karena makna karya
sastra pada hakikatnya dapat digali dalam koherensi struktur karya
itu sendiri, yaitu dalam evolusi unsur-unsurnya, lepas dari hal-hal
yang berada di luarnya.
Satu hal yang menjadi perhatian utama kaum formalis
adalah apa yang oleh Sjklovsky dikatakan sebagai pengasingan
(deotomatisasi, defamiliarisasi). Penyusunan secara artistik dari yang
wajar (otomatisasi) menjadi aneh/asing (deotomatisasi) itu dianggap
merupakan proses sastra yang paling mendasar. Pengasingan itu
sendiri diyakini sebagai usaha melihat sesuatu dengan cara baru,
dalam arti mendobrak sesuatu yang sudah mapan dan otomatis.
Dalam analisis teks cerita, misalnya, para formalis kemudian
memperkenalkan beberapa istilah, di antaranya fabula dan suzjet.
22 Judul / Penulis
Fabula adalah rangkaian motif dalam urutan kronologis --yang
artinya menurut logika urutannya harus demikian--, sedangkan
suzjet adalah penyusunan artistik motif-motif akibat adanya
pengasingan terhadap fabula --yaitu yang tampak dalam teks. Jadi,
tugas peneliti sastra adalah menaturalisasikan, memfamiliarisasikan,
atau mewajarkan hal-hal yang aneh, asing, atau tidak wajar yang
terdapat di dalam teks sastra itu sendiri. Tugas ini didasari oleh konsep
bahwa pada hakikatnya evolusi sastra adalah proses penggantian
otomatisasi dan pengasingan yang terus-menerus.
Berkat rumusannya yang merujuk pada evolusi kesastraan
itulah para formalis tidak menempatkan posisi teks sebagai sebuah
tanda yang memungkinkan terjadinya suatu komunikasi antara
pengarang dan pembaca. Di sinilah sesungguhnya perbedaan antara
Formalisme --yang berkembang tahun 1914 hingga 1930 di Rusia--
dan Strukturalisme --yang dirintis mulai tahun 1930-an di Praha--
walaupun dalam studi sastra keduanya sama-sama memusatkan
perhatian pada objektivitas teks. Formalisme --terutama berkat
pemikiran Sjklovzky-- secara eksplisit memperhatikan aspek
sastrawi karya sastra atau hukum-hukum imanen evolusi sastra
dan melepaskan semua sudut pandang eksternal; sedangkan
Strukturalisme --terutama menurut pandangan Mukarovsky-- tidak
hanya tertarik pada aspek sastrawi karya sastra, tetapi juga pada
sastra sebagai suatu elemen dalam proses komunikasi yang berfungsi
dalam masyarakat.
Dalam kaitan itu Strukturalisme membela otonomi fungsi
estetis, tetapi menolak isolasi seni (sastra). Jadi, tanda-tanda tekstual
mempertahankan kemerdekaannya dengan perhatian pada proses
komunikasi, yang berarti bahwa teks bukan merupakan ekspresi
langsung kejiwaan pengarang, bukan pula merupakan refleksi
kejiwaan pembaca. Pandangan ini terwujud secara gemilang
setelah tahun 1946/1947 muncul tulisan Wimsatt dan Beardsley
Judul / Penulis 23
The Intensional Fallacy dan The Affective Fallacy. Akan tetapi, tidak
lama kemudian, Paul Vallery dan Roman Ingarden meletakkan
pemahaman teks sastra pada tanggapan pembaca. Dalam kaitan ini
Ingarden memperkenalkan istilah leerstellen, the empty spaces, yaitu
ruang kosong yang harus diisi oleh pembaca walaupun teks sastra
tetap ditempatkan pada posisi yang utama dan absolut (Teeuw,
1991:218).
Untuk memperjelas hal tersebut ada baiknya dipahami
pandangan Mukarovsky --seorang ahli semiotik-- berikut. Dengan
memanfaatkan pembedaan yang dibuat oleh Saussure, yakni signifiant
dan signifie, Mukarovsky membedakan artefact dan esthetic object.
Artefact merupakan dasar material atas esthetic object, yakni huruf-
huruf yang tercetak di kertas; sedangkan esthetic object merupakan
representasi artefact dalam pikiran pembaca atau kesadaran kolektif.
Karena itu, di sini artefact memiliki nilai potensial. Pembentukan
esthetic object yang berdasarkan pada artefact itu --yang disebut
concretization ‘kongkretisasi’-- terjadi berkat peran serta aktif
pembaca (penerima). Dengan demikian, pembaca melakukan lebih
dari sekedar mengisi ruang kosong dalam teks yang dibaca karena
ia bertindak mengkongkretkan, bahkan menciptakan kembali
kenyataan yang mati dari teks melalui pembacaannya yang kreatif ke
dalam sebuah objek estetik (Teeuw, 1991:218).
Demikian antara lain gambaran dan atau posisi teks dalam
teori sastra menurut pemikiran kaum formalis, strukturalis, dan
dilanjutkan oleh para ahli semiotika. Dalam gambaran itu tampak
bahwa posisi teks tidak pernah tetap, tetapi selalu berubah. Pada
mulanya oleh kaum romantik dan ekspresionis teks dianggap tidak
lepas dari pengarang, kemudian oleh para formalis diyakini sebagai
wilayah yang merdeka dan otonom, dan selanjutnya oleh para
strukturalis (dan ahli semiotik) teks dianggap sebagai tanda dalam
proses komunikasi.
24 Judul / Penulis
Pada tahun 1960-an muncul lagi dua teoretikus terkenal, Jauss
dan Iser, yang mencoba memulai arah baru dalam studi sastra. Mereka
mengajukan sebuah teori yang disebut estetika resepsi. Teori ini secara
nyata dipengaruhi oleh Formalisme Rusia dan Strukturalisme Praha,
satu di antaranya berupa pandangan Ingarden tentang leerstellen atau
ruang kosong yang harus diisi oleh pembaca. Secara ringkas estetika
resepsi dapat disebut sebagai ajaran yang menyelidiki teks sastra
dengan dasar utama reaksi-reaksi pembaca. Bagi Jauss, nilai sastra
sebuah teks terletak pada seberapa jauh teks tersebut memenuhi atau
melampaui harapan publik pembaca tertentu pada saat teks ditulis
atau diterbitkan. Kesenjangan antara cakrawala harapan sastra dan
pemunculan teks baru yang mampu mengubah cakrawala harapan
itu disebut jarak estetik (esthetic distance). Jarak estetik itu mungkin
ditentukan secara historis dengan dasar reaksi publik baca tertentu
dan berbagai putusan yang diisukan dalam kritik. Jadi, dalam kaitan
ini, Jauss terutama berbicara tentang resepsi sebuah teks yang
dimaksudkan sebagai suatu studi sejarah sastra.
Sementara itu, Iser tidak menekankan pada resepsi sebuah teks
sebagaimana yang dilakukan oleh Jauss, tetapi pada efek (wirkung)
atau pengaruh, yaitu cara sebuah teks mengarahkan reaksi-reaksi
pembaca terhadapnya. Iser berkeyakinan bahwa teks sastra tidak dapat
disamakan dengan objek-objek real dari dunia pembaca atau dengan
berbagai pengalaman yang dimilikinya. Kurangnya keterkaitan itu
menghasilkan apa yang oleh Ingarden disebut inditerminasi. Jadi,
secara luas, teks sastra dapat diartikan sebagai inditerminasi itu;
sedangkan secara sempit (internal) teks sastra dikarakterisasi oleh
gap-gap atau bagian-bagian inditerminasi (leerstellen). Inditerminasi
ini dianggap sebagai elemen dasar dalam respons estetis. Dapat
dikatakan bahwa gap-gap itu merupakan faktor yang sangat penting
dalam pengaruh yang dikeluarkan oleh teks, dan oleh karenanya,
tugas pembaca adalah mengisi gap-gap (ruang kosong) itu. Dengan
Judul / Penulis 25
demikian, tampak bahwa Iser lebih memusatkan perhatian pada sifat
atau hakikat teks sastra.
Sebagaimana diketahui bahwa estetika resepsi berorientasi
pada komunikasi. Dalam hal ini teks sastra ditempatkan dalam
posisi tengah-tengah antara pengarang dan pembaca, sedangkan
objek studinya adalah jaringan hubungan antara teks, pembaca,
dan pengarang. Dalam kaitan ini, teori dan sistem tanda-tanda
tidak dapat dipisahkan dengan bidang estetika resepsi karena teori
itu merupakan instrumen teoretik yang penting dalam komunikasi.
Akan tetapi, karena estetika resepsi juga menitikberatkan perhatian
pada masalah kongkretisasi, jelas bahwa hal itu mengandung
bahaya karena masalah tersebut bisa menghilangkan teks itu sendiri
sebagai justifikasi terakhir bagi keseluruhan kongkretisasi. Inilah
sebenarnya alasan mengapa dalam estetika resepsi teks itu sendiri
tidak dipertimbangkan dalam penelitian. Namun, karena dari
sudut pandang teori komunikasi masalah pembaca-teks-pengarang
tidak dapat dipisahkan, akhirnya estetika resepsi tidak hanya
melacak ‘fungsi yang dikehendaki’ (function intended) sebagaimana
yang dilakukan oleh kaum strukturalis, tetapi juga ‘fungsi yang
direalisasikan’ (realized function) dari sebuah teks. Di sini, seperti
dikatakan Jauss, ketegangan dealektik antara pembaca dan teks
merupakan sesuatu yang fundamental (Teeuw, 1991:218).
Kecenderungan di atas tidak lama kemudian berubah karena
Roland Barthes dan Jacques Derrida secara mengejutkan membawa
pandangan baru. Dua tokoh dari kalangan dekonstruksionis ini tidak
lagi melihat adanya hubungan dialektik antara pembaca dan teks, tetapi
teks telah dianggap lenyap, yang ada tinggallah pembaca. Bahkan,
secara provokatif Derrida menyatakan bahwa “pembaca menulis teks”
(Teeuw, 1991:219). Menurutnya, pada hakikatnya teks sastra tidak
memiliki makna asli, nyata, objektif, apalagi dapat ditentukan atau
diformulasikan. Usaha apa pun yang dilakukan untuk menjelaskan
26 Judul / Penulis
teks justru membuat teks itu lenyap. Dikatakan demikian karena
tindak membaca pada dasarnya tidak pernah menyusun kembali
makna teks yang dibaca, tetapi merupakan tindak mendekonstruksi,
menolak, dan mengganti dengan kata-kata lain yang pada gilirannya
kata-kata itu juga membuka peluang bagi pembaca selanjutnya untuk
mendekonstruksi dan mendekonstruksinya lagi.
Meskipun agak berbeda pada dasarnya gagasan Barthes senada
dengan gagasan Derrida di atas. Bagi Barthes, teks merupakan
jaringan kutipan-kutipan yang ditarik dari pusat budaya yang teramat
banyak, yang disebut juga sebuah mosaik hubungan dengan kutipan-
kutipan teks-teks lain (interteks) (Teeuw, 1991:219). Dalam hal ini
hanya pembaca yang dapat menciptakan jaringan atau tekstur dari
teks-teks itu. Dari bacaannya sendiri yang luas pembaca menciptakan
sebuah keseluruhan yang berarti atas teks-teks itu sehingga dalam
penciptaan demi penciptaan tak pernah ada kata akhir. Hal ini sesuai
dengan pengertian bahwa teks pada hakikatnya merupakan bidang
metodologis, yang terjadi hanya dalam suatu aktivitas produksi
(dari karya ke teks) (Barthes, 1981:31, 39). Jadi, dalam pemikiran
dekonstruksi, tumbuh suatu kesadaran bahwa sebenarnya tidak ada
sesuatu pun di luar teks, tetapi juga tidak ada makna transendental di
dalam teks. Dengan demikian, pembaca sendirilah yang harus meng-
ada-kannya dengan membongkar dan menyusun kembali teks-teks
itu. Pada hakikatnya tidak ada tempat lagi bagi suatu dimensi yang
tidak berhingga.
Terhadap pandangan terakhir tersebut, Teeuw (1991:222)
menyatakan bahwa memang secara fundamental tidak mungkin
untuk menjelaskan dan memerinci teks-teks atau ucapan bahasa
dari bentuk apa pun. Dikatakan demikian karena untuk menjelaskan
kata-kata dengan definisi adalah menggantinya dengan kata-kata lain
yang pada gilirannya kata-kata tersebut harus juga dijelaskan dengan
kata-kata lain, begitu seterusnya. Hal ini secara esensial merupakan
Judul / Penulis 27
masalah yang sama dengan masalah teks yang juga tidak dapat
dijelaskan. Jadi, setiap kata, setiap teks, hilang di bawah penjelasan
dirinya sendiri. Namun, jika hal ini menjadi suatu keyakinan,
semuanya akan menjadi ragu karena kritik teks boleh dikatakan
menjadi sia-sia, editing naskah dikatakan tidak ada gunanya, analisis
senantiasa bertentangan, dan interpretasi secara fundamental pun
tidak lagi dimungkinkan. Jika memang demikian keadaannya, kata
Lee Petterson (1985:55--90), berarti tidak ada lagi kritik sastra, tidak
ada edisi teks, tidak ada analisis, dan tidak ada interpretasi; yang ada
adalah istirahat dalam keheningan (lihat juga Teeuw, 1991:222).
Kendati demikian, sebagaimana disarankan oleh Teeuw
(1991:223--226), meski pandangan mutakhir dekonstruksi itu seolah
mampu menggugurkan beragam teori yang telah dibangun dan
mengecilkan semangat studi sastra, diharapkan kritik (studi) teks
dan kritik sastra hendaknya dapat berjalan bersama. Harapan itu
didukung oleh suatu realitas bahwa (1) bagaimanapun bahasa tidak
hanya merupakan sebuah sistem tanda yang beroposisional, tetapi
juga merupakan alat bagi tindakan; artinya, tanda bahasa merupakan
alat untuk menghadapi sesuatu; (2) bagaimanapun teks, yang diedit
dan dipublikasikan, adalah penting dan vital, karena tanpa itu
kritik sastra tidak mungkin memperoleh kemajuan; (3) meskipun
benar bahwa teks selalu berada dalam jaringan interteks sehingga
dapat dikatakan tanpa akhir, bagaimanapun melalui fungsinya teks
tetap menciptakan sebuah dunia tersendiri; dengan demikian teks
merupakan hal yang sangat penting karena tanpa teks, interteks-tual
tidak dapat bekerja; (4) bagaimanapun kita memerlukan teks karena
apa yang tidak dikatakan atau apa yang dikatakan di tempat lain
hanya dapat diketahui dengan cara membaca dan memahami apa
yang dikatakan dan ditunjuk (di dalam teks itu).
Demikian antara lain gambaran tentang posisi dan kedudukan
teks dalam sepanjang perjalanan teori sastra. Bagaimanapun juga,
28 Judul / Penulis
teks merupakan aspek penting bagi studi dan penelitian sastra,
walaupun, misalnya oleh kaum dekonstruksionis, teks tidak pernah
dapat diidentifikasi, atau bahkan lenyap, akibat adanya dekonstruksi
atau pembongkaran yang terus-menerus.
Simpulan
Dari seluruh uraian di atas akhirnya dapat disimpulkan
beberapa hal berikut. Sepanjang sejarahnya, teks sastra tidak pernah
menduduki posisi yang stabil, mantap, tetap, dan abadi, tetapi selalu
berubah. Ketidakmantapan teks itu disebabkan oleh cara pandang
interpretasi yang berbeda-beda --sehingga identitasnya sulit pula
diketahui secara pasti-- sesuai dengan perkembangan pemikiran
manusia selaku pembaca atau konsumen sastra. Kendati demikian,
satu hal yang pasti dalam teori dan studi sastra adalah bahwa teks
(karya) sastra merupakan aspek vital. Dinyatakan demikian karena
apa yang layak disebut studi sastra adalah studi tentang sastra,
bukan studi tentang sosiologi, psikologi, linguistik, atau antropologi,
walaupun semua itu tidak dapat dipisahkan.
Dengan keyakinan bahwa teks merupakan aspek vital dalam
teori dan studi sastra, bagaimanapun kritik teks dan kritik sastra
harus dapat bekerja sama, saling melengkapi, dan saling menunjang.
Kritik teks memberikan kontribusi bagi penentuan objek studi
sastra, sedangkan kritik sastra memberikan kontribusi bagi bidang
interpretasi dan atau pemaknaan teks (sastra).
Judul / Penulis 29
30 Judul / Penulis
BEBERAPA ALTERNATIF
STUDI SASTRA
Dari Krisis Politik sampai
Legitimasi Kekuasaan
Studi Sosiologis tentang Sastra, Masyarakat, dan
Raja di Jawa Abad XVIII dan XIX
32 Judul / Penulis
Berkenaan dengan hal di atas kemudian ada tiga pertanyaan
substansial yang perlu diajukan dan harus dijawab. Pertama,
bagaimanakah sastra Jawa hidup dan berkembang dalam masyarakat
Jawa; kedua, bagaimanakah kedudukan raja dalam masyarakat Jawa;
dan ketiga, bagaimanakah pengaruh raja terhadap penciptaan dan
kelahiran karya-karya sastra Jawa. Tiga persoalan pokok itulah yang
secara berturut-turut akan dicoba dibahas di dalam studi ini.
Bertolak dari tiga pertanyaan yang telah dikemukakan, frame
work atau pendekatan yang digunakan adalah sosiologi sastra,
khususnya dengan paradigma yang dikembangkan oleh seorang
naturalis Prancis Hippolyte Taine (Swingewood, 1972:32--37).
Paradigma Taine dibangun dari suatu anggapan bahwa sastra dapat
“dikemas” dari dasar material sebuah masyarakat, antara lain ras,
waktu, dan lingkungan (Swingewood, 1972:33; Junus, 1986:19;
Damono, 1984:19). Bagi Taine, sastra bukanlah sekadar permainan
imajinasi yang pribadi sifatnya, tetapi merupakan rekaman tata cara
zamannya. Oleh karena itu, masyarakat tertentu dapat diklaim sebagai
sumber atau asal-usul (genetik)1 penciptaan dan kelahiran sastra.
Dengan demikian, disadari atau tidak, sastra selalu menyesuaikan
atau disesuaikan dengan cita rasa masyarakat pembacanya. Dengan
paradigma inilah ketiga pertanyaan di atas dicoba untuk dijawab
dalam pembahasan berikut.
1
Dalam hubungan ini, Taine kemudian sering disebut sebagai Bapak Kritik
Genetik. Tentang genetik (asal-usul) ini pula yang kemudian dikembangkan oleh
Goldmann. Hanya bedanya, Goldmann tetap berpijak pada struktur teks (sastra) dan
homologinya dengan struktur sosial yang dimediasi lewat pandangan dunia (world
view). Walaupun dari segi metode teori “strukturalisme-genetik” Goldmann lebih
ilmiah, di dalam studi ini teori Goldmann (1977, 1980; Faruk, 1994) sengaja tidak
dipergunakan karena selain data sastra Jawa yang dikaji cukup banyak, karya-karya itu
juga tidak menampilkan tokoh hero yang berhadapan dengan kondisi masyarakat yang
terdegradasi.
Judul / Penulis 33
Sastra dalam Masyarakat Jawa
Beberapa referensi historis menunjukkan bahwa kesusastraan
Jawa berkembang justru berkat peran istana (kerajaan) dalam kancah
politik dan ekonomi semakin mundur. Hal itu disebabkan oleh
hadirnya Kompeni Belanda yang semakin lama semakin menggeser
kekuasaan politik kerajaan. Karena kerajaan semakin terdesak dan
campur tangan kompeni semakin mencengkeram, seolah kerajaan
Jawa kehilangan peran politiknya, bahkan mencapai puncak krisis,
sehingga kerajaan lebih banyak berfungsi sebagai pusat kesenian
dan kebudayaan daripada sebagai pusat politik yang menentukan
(Kartodirjo, 1988:13).
Pengaruh politik Kompeni Belanda terhadap kerajaan di
Jawa telah dimulai sejak kompeni memberikan bantuan kepada
Mataram untuk menumpas pemberontakan Trunajaya (1677--1680).
Setelah pemberontakan Trunajaya berhasil dipadamkan, Mataram
kemudian memberikan berbagai kemudahan kepada Belanda, antara
lain Belanda diizinkan membangun benteng pertahanan di sekitar
kerajaan. Di situlah Belanda kemudian menempatkan bala tentaranya
cukup banyak. Dengan didirikannya benteng tersebut, Mataram
merasa kompeni adalah pelindungnya yang setia. Bahkan Mataram
mempercayakan kepada Belanda untuk menumpas siapa saja yang
berusaha merongrong kedudukan raja. Namun, Mataram tidak
menyadari bahwa sebenarnya Belanda menjadi musuh dalam selimut.
Hal itu terbukti, secara perlahan namun pasti Belanda menancapkan
kukunya dengan sangat tajam, yaitu mencampuri urusan politik dan
rumah tangga kerajaan. Bahkan sampai pada persoalan penggantian
tahta seperti penggantian patih atau bupati.
Pengaruh tersebut semakin memuncak sejak disetujuinya
Perjanjian Giyanti (1755) yang membagi Mataram menjadi dua
(Surakarta dan Yogyakarta). Kenyataan itu ditandai oleh adanya
34 Judul / Penulis
proses reduksi terhadap derajat dan kedudukan raja. Semula Sunan
dan Sultan berkedudukan sejajar dengan raja Belanda, tetapi
kemudian mereka “dipaksa” untuk menghormat kepada Belanda
seperti layaknya seorang bawahan. Dan karena raja Belanda tidak
berada di Jawa, yang kemudian harus dihormati adalah Gubernur
Jenderal, Residen, dan Gubernur (Kartodirjo, 1988:14).
Selain di bidang politik, pemerintah kolonial juga campur
tangan di bidang ekonomi. Sebagian wilayah kerajaan dikurangi
demi memenuhi kebutuhan pemerintah kolonial. Akibatnya sumber
penghasilan kerajaan menurun, kemakmuran raja berkurang, dan
rakyat pun semakin menderita. Pengurangan wilayah itu tidak
hanya dilakukan sekali dua saja, tetapi berulang kali. Sebelum pecah
menjadi dua, bahkan Mataram telah kehilangan daerah pesisir utara
Jawa (1746). Pengurangan wilayah itu oleh pemerintah kolonial
dimaksudkan sebagai imbalan atas bantuannya kepada kerajaan
ketika terjadi konflik politik.
Meskipun sudah mendapatkan wilayah pesisir utara Jawa
yang cukup luas, pemerintah kolonial masih juga campur tangan
dalam hal pembagian wilayah antarkerajaan Surakarta-Yogyakarta
(terutama setelah Perjanjian Giyanti) yang seharusnya menjadi
urusan intern. Misalnya, selain berdiri Negara Yogyakarta yang
baru di daerah Mataram asli, wilayah kerajaan yang dinamakan
Negaragung dan Mancanegara dibagi pula untuk Sunan Surakarta dan
Sultan Yogyakarta. Bahkan, berdasarkan Perjanjian Salatiga (1757),
Negaragung untuk Sunan Surakarta sebagian diberikan kepada Mas
Said agar ia bersedia menghentikan perlawanannya.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1813, sebagian
dari Negaragung Yogyakarta juga diberikan kepada Pangeran
Adipati Pakualam dengan alasan ia telah membantu Inggris dalam
menenteramkan pergolakan politik di Yogyakarta. Bahkan, sebelum
itu (1812), kerajaan Surakarta dan Yogyakarta telah lebih dulu dipaksa
Judul / Penulis 35
untuk menyerahkan wilayah Negaragung Kedu kepada pemerintah
Inggris. Alasannya Inggris telah membantu naik tahtanya Sultan
Hamengku Buwana III di Yogyakarta dan juga melindungi wibawa
Sunan di Surakarta. Akibat dari berbagai gejolak itulah, sejak tahun
1830, wilayah kerajaan Surakarta dan Yogyakarta ibarat tinggal
segodhong kelor (Kartodirjo, 1988:15).
Di sisi tertentu pengaruh kekuasaan kolonial memang telah
membuka lebar hubungan kaum bangsawan dengan orang-orang
Barat. Oleh karena itu, wajar jika penetrasi peradaban Barat dengan
mudah mengalir ke istana. Dan karena ketergantungan kerajaan
semakin tak dapat dihindari, lalu pemerintah kolonial dengan mudah
dapat menghentikan aktivitas raja dan bangsawan dalam kancah
politik dan ekonomi. Dengan demikian, kegiatan mereka beralih
ke bidang kesenian dan kesusastraan. Hal inilah yang dikatakan
“kesusastraan Jawa mengalami perkembangan akibat mundurnya
peran istana dalam bidang politik dan ekonomi”.
Bertolak dari adanya krisis sosial-ekonomi itulah para pujangga
kemudian berusaha untuk menegakkan kembali nilai dan norma-
norma tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang. Satu-satunya
jalan yang ditempuh adalah menulis atau menggubah karya sastra
yang berisi ajaran, piwulang, dan sebagainya yang dimaksudkan
sebagai tindakan antisipasi. Tindakan itu dilandasi oleh keyakinan
bahwa sastra yang berisi ajaran dan petunjuk dapat berfungsi
sebagai sarana untuk mempersatukan kekuatan masyarakat di bawah
naungan raja (Sudewa, 1989:34). Terlepas dari apakah berhasil
atau tidak tindakan itu, yang jelas sejak itu sastra Jawa tumbuh dan
berkembang dengan subur. Atas dasar itu pula kemudian Pigeaud
(1967:29--30) mengklasifikasikan bahwa permulaan sastra keraton
Jawa Tengah bagian selatan adalah tahun 1726--1749; mengalami
perkembangan tahun 1788--1820; mencapai puncak perkembangan
36 Judul / Penulis
pada tahun 1830--1858; dan perkembangan akhirnya terjadi pada
tahun 1858--1881 (bdk. Burger, 1983:57).
Telah disebutkan bahwa karya sastra selain diciptakan untuk
tujuan menjaga harkat dan martabat raja dan bangsawan, juga untuk
menegakkan kembali nilai dan norma-norma tradisional. Oleh sebab
itu, karya sastra Jawa diciptakan bukan hanya untuk memenuhi
kebutuhan golongan atas di kerajaan, tetapi juga untuk kalangan
masyarakat luas. Karya-karya untuk tujuan memenuhi kebutuhan
golongan atas itu biasanya ditulis sesuai dengan cerminan pandangan
hidup bangsawan yang memberi prioritas pada bidang teologi
dan etika (Gurvitch dalam Kuntowijoyo, 1988:334). Namun, jika
dicermati lebih jauh, sebenarnya karya jenis itu tidak hanya untuk
konsumsi golongan atas, tetapi juga untuk keseluruhan manusia pada
umumnya.
Atas dasar itu kemudian lahirlah karya-karya Mangkunegara
IV Wedhatama, Tripama, dan Wirawiyata, atau karya Paku Buwana
IV Wulang Reh. Karya-karya tersebut lebih banyak menekankan
bidang etika secara umum. Wedhatama, misalnya, selain menekankan
bidang etika dan etiket, menekankan pula ajaran ilmu kesempurnaan
dan pengetahuan. Ajaran ilmu kesempurnaan itu tercantum dalam
bagian-bagian yang menerangkan tata cara sembah raga, sembah cipta,
sembah jiwa, dan sembah rasa yang semua itu identik dengan ajaran
syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat (Mulyono, 1979:59). Namun,
yang tetap ditekankan di dalamnya adalah tata cara bagaimana
seseorang harus berjiwa besar, pemaaf, rela, dan pasrah, dan harus
pula bersikap sopan dan pandai menyesuaikan diri. Karena itulah,
dalam karyanya Mangkunegara IV mengatakan bahwa “menghadap
raja lebih penting daripada menghadap Tuhan” (Kuntowijoyo, 1988:
335).
Dalam Tripama Mangkunegara IV lebih menekankan ajaran
bagi prajurit daripada kaum sipil pada umumnya. Cita-cita untuk
Judul / Penulis 37
nuhoni trah utama bagi kaum bangsawan yang disimbolkan melalui
prajurit wayang Patih Suwanda, cita-cita untuk labuh negari bagi
Kumbakarna, dan cita-cita untuk males sih bagi Basukarna atau
Suryaputra merupakan suatu kewajiban, sedangkan nggayuh utama
bagi para abdi dalem merupakan cita-cita yang sangat terpuji. Oleh
karena itu, cita-cita dalam Tripama sesuai dengan kepentingan
kerajaan Kejawen pada waktu itu. Namun, sebagai prajurit idaman
tidaklah cukup hanya dengan bekal itu saja, tetapi harus pula
dilandasi kesetiaan pada janji, disiplin, taat, taqwa, tidak sombong,
dan tidak sewenang-wenang seperti yang dilukiskan Mangkunegara
IV dalam Wirawiyata. Seorang prajurit utama adalah prajurit yang
menepati janji sesuai dengan yang diucapkan ketika pelantikan, dan
hal itu harus dipegang teguh dalam menjalankan tugasnya sebagai
prajurit.
Cita-cita yang sama ditekankan pula oleh Paku Buwana IV
dalam Wulang Reh. Karya itu menekankan pentingnya pembedaan
status sosial, misalnya agung lan asor, tidak dalam pengertian
etika tetapi lebih pada pembedaan derajat sosial. Kedudukan raja
diungkapkan sebagai mapan ratu kinarya wakil Hyang Agung
sehingga digambarkan dapat memberikan apa saja, termasuk
pangkat, jabatan, kehormatan, dan kekayaan; sedangkan golongan
lainnya adalah ngawulang ratu. Konsep pembedaan derajat ini
tampak demikian penting karena kedudukan raja di Jawa pada abad
ke-18 dan 19 mengalami kemerosotan (Kuntowijoyo, 1988:335).
Kemerosotan politik raja itu pula yang menyebabkan terjadinya
reduksi moral masyarakat sehingga Paku Buwana IV dalam Wulang
Reh menyatakan bahwa masyarakat tidak berusaha lagi mencari
kebenaran. Yang terjadi pada zaman itu ialah tradisi murid ngupaya
guru telah beralih menjadi kiai guru naruthuk ngupaya murid.
Karya-karya lain yang senada adalah Nitisruti Lugu gubahan
Paku Buwana IX, Serat Dumbasawala dan Candrarini karya
38 Judul / Penulis
Ranggawarsita atas perintah Paku Buwana IX, dan Wulang Estri
gubahan Paku Buwana X. Nitisruti Lugu mengedepankan masalah
kewaspadaan, yang disinyalir dari konsep astha brata, dan etika dalam
perang. Dalam karya itu diterangkan adanya enam kewaspadaan yang
menyangkut berbagai aspek kehidupan; sedangkan yang menyangkut
keberanian dalam perang ditekankan pada persoalan harga diri
sebagai prajurit. Jika seorang prajurit mati mendahului bawahannya
disebut nistha; jika mati bersama dengan bawahannya disebut madya
(tidak hina dan tidak nistha); dan jika mati bersama seluruh anak
buahnya disebut utama. Etika demikian yang biasa dipergunakan
sebagai instrumen untuk melegitimasi nilai-nilai kesatriaan.
Keberanian seorang prajurit juga digambarkan dalam Serat
Dumbasawala. Melalui simbol berbagai binatang, seorang prajurit
diharapkan memiliki sikap pantang mundur atau diharapkan memiliki
watak bagai pedang. Watak pedang adalah watak yang menunjukkan
kesetiaannya pada raja dengan mengorbankan seluruh jiwa raga. Hal
demikian sangat penting karena di dalamnya tercermin sikap berani
mati. Selain itu, terdapat pula etiket yang berkenaan dengan masalah
sosial yang dikenal dengan istilah brata marsudi dan brata sampurna.
Etiket ini lebih menekankan tata cara bagaimana seseorang mencari
anugerah dari raja.
Tampaknya nilai yang dikemukakan dalam karya-karya
pada zaman itu tidak terbatas pada bidang etika kesatriaan bagi
prajurit kerajaan, tetapi juga etika kewanitaan seperti tampak dalam
Candrarini dan Wulang Estri Candrarini menekankan moral wanita
dalam hidup berumah tangga. Melalui simbol wayang, seorang istri
harus bisa bertindak seperti tingkah laku para istri Arjuna, khususnya
mengenai watak dan sifat-sifatnya. Agar kehidupan rumah tangga
berjalan baik, sejahtera lahir batin, seorang istri harus tahu watak
suami, teliti, tidak boleh mendahului kehendak suami, dan harus
tahu aturan rumah tangga lainnya. Hal yang sama ditekankan dalam
Judul / Penulis 39
Wulang Estri melalui simbol lima jari tangan. Lima jari tangan itu
digambarkan masing-masing memiliki makna yang pada hakikatnya
memberi ciri seorang istri yang ideal.
Sementara itu, penekanan pada bidang teologi muncul dalam
karya-karya suluk yang berisi ilmu kesempurnaan atau wejangan
tentang sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawula-Gusti.
Dalam Suluk Seh Ngabdul Salam karya Wirakusuma, misalnya,
digambarkan perihal tasawuf. Lewat karya itu penggubah menekankan
pentingnya sembahyang dan taqwa kepada Tuhan karena segala
yang ada di dunia ini berasal dari dan akan kembali kepada Tuhan.
Lewat tokoh Seh Ngabdul Salam, penggubah bertindak selaku guru
yang mengajarkan berbagai ilmu kesempurnaan kepada murid-
muridnya. Hal senada terungkap juga dalam Suluk Seh Amongraga.
Karya itu berisi kisah perjalanan penyiaran agama Islam. Selain
itu, ditampilkan pula masalah etika, antara lain tata cara mengabdi
raja, harus tenggang rasa, menghormat orang lain, dan berbuat baik
kepada sesama manusia. Hal demikian memang layak diketahui
bahkan menjadi panutan kehidupan manusia yang sedang dilanda
krisis.
Selain muncul beberapa pujangga yang berusaha melukiskan
gejala adanya krisis masyarakat lewat karya-karyanya, agaknya
ada seorang lagi pujangga yang tergolong sangat berani. Ia adalah
Ranggawarsita. Lewat Kalatidha dan Jaka Lodhang, ia menyoroti
langsung keadaan masyarakat terutama di lingkungan istana
Surakarta yang dilanda gejolak kekacauan dan krisis. Dalam
Kalatidha dinyatakan bahwa masa krisis itu disebut zaman edan,
yaitu zaman yang penuh dengan kekacauan dan kemunafikan.
Ranggawarsita sebagai wakil sensibilitas bangsawan merasa sedih
melihat campur tangan Belanda dalam pemberian gelar, terutama
mereka yang bekerja di bawah Gubernemen. Bahkan pada akhir
abad ke-19 campur tangan Belanda sudah sampai pada persoalan
40 Judul / Penulis
pengangkatan patih, organisasi keamanan, anggaran belanja kerajaan,
dan penghapusan sistem apanase dan penentuan gaji (Kuntowijoyo,
1988:335). Oleh karena itu, melihat gejala tersebut Ranggawarsita
menunjukkan, walaupun kerajaan dipegang oleh para pejabat yang
utama dan baik, situasi kerajaan tetap saja mengalami kekacauan.
Oleh sebab itu, peran kerajaan sebagai pusat kebijakan musnah. Hal
senada juga terungkap dalam Jaka Lodhang bahwa situasi kerajaan
semakin kacau karena manusia telah kehilangan kepribadiannya
(wong agung nis gungira, wong kang cilik tan toleh ing cilikira).
Demikian gambaran singkat mengenai sastra yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat Jawa abad ke-18 dan 19. Pada zaman
itu sebenarnya masih banyak lahir karya-karya lain, misalnya babad,
ramalan, dan sastra wayang karena memang genre-genre itu termasuk
digemari oleh para bangsawan sehingga banyak pula digubah (Baried
dkk., 1985:10). Namun, gambaran singkat di atas membuktikan
bahwa sastra Jawa berkaitan erat dengan masyarakat istana, terutama
kehidupan raja dengan segala kewenangannya. Dilihat dari pesan-
pesan yang muncul, raja sangat dimungkinkan mempengaruhi
penciptaan karya sastra karena raja memiliki wewenang penuh untuk
mengatur segala kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, sebelum
dibahas mengenai bagaimana raja mempengaruhi penciptaan
sastra, ada baiknya dilihat dulu bagaimana kedudukan raja dalam
masyarakat Jawa.
Judul / Penulis 41
dan paling benar bagi orang Jawa (Laksono, 1985:37; Moertono,
1985:18; Ali, 1986:29), raja dan rakyat dianggap mempunyai
kedudukan yang sama. Yang membedakan hanyalah fungsi atau
keduniawiannya, bukan nilai atau sifat transenden esensialnya.
Jadi, dalam hal ini, yang membedakan raja dan rakyat hanyalah
ikatan-ikatan tertentu dalam pretensi sosial, bukan dalam hal
eksistensinya sebagai manusia yang sama-sama dapat manunggal
dengan Gusti atau Yang Tak Dapat Diterangkan. Oleh karena itu,
adanya identifikasi raja-dewa atau rakyat-dewa yang ditempatkan
dalam posisi berlawanan sebagaimana terdapat dalam tradisi Hindu,
oleh orang Jawa dianggap sangat masuk akal dan ditempatkan dalam
posisi identik (Laksono, 1985:7). Penempatan posisi identik itulah
yang dalam alam pikiran Jawa dipergunakan sebagai sesuatu untuk
mencapai tujuan keselarasan yang disebut tata tentrem.
Untuk dapat mencapai cita-cita tata tentrem, raja dan rakyat
harus bersama-sama dapat manunggal dengan Gusti. Selanjutnya,
untuk dapat bersama-sama manunggal dengan Gusti, raja dan rakyat
juga harus menyadari kewajiban timbal-balik antara atasan-bawahan.
Oleh karena itu, raja berkewajiban melindungi rakyat, dan sebaliknya,
rakyat harus menyadari kewajibannya mengabdi secara total. Selain
itu, mereka juga berhak menerima apa yang menjadi haknya. Raja
berhak memperoleh legitimasi dan afirmasi dari rakyat, dan rakyat
juga berhak menerima pengayoman dari raja. Jika demikian apa yang
menjadi cita-cita raja dan rakyat, yakni situasi tata tentrem, akan
mudah dicapai.
Telah disebutkan bahwa yang membedakan rakyat dan raja di
Jawa hanyalah karena fungsi atau sifat keduniawiannya. Oleh sebab
itu, sesuai dengan sifat keduniawiannya, di antara mereka memiliki
kedudukan masing-masing yang berbeda. Dalam kehidupan
masyarakat Jawa, orang Jawa sepakat bahwa raja didudukkan sebagai
sesembahan, sedangkan rakyat berperan sebagai yang menyembah.
42 Judul / Penulis
Dari pengertian itu dapat dinyatakan bahwa raja dianggap sebagai
pusat dari segalanya, sebagai sumber dari segala sumber kehidupan.
Oleh karena kedudukan raja begitu tinggi, raja dapat leluasa
menentukan apa saja yang menjadi kehendaknya.
Penempatan raja sebagai pusat dari segalanya itu tampak nyata
jika dilihat dalam hubungannya dengan struktur negara di Jawa.
Struktur negara di Jawa memiliki lingkaran konsentris, yaitu berpusat
pada raja, kemudian dikelilingi oleh istana, negara, negaragung, dan
mancanegara (Hastjarja, 1984:4--6). Raja merupakan sumber utama
dari seluruh kekuasaan dan otoritas, dan raja memiliki segala sesuatu
dalam negara. Kehormatan dan prestise, keadilan dan otoritas,
kebijakan dan kesejahteraan, semuanya adalah miliknya. Dengan
demikian, raja berhak menentukan segala kebijakan, karena raja
dibayangkan sebagai pintu air yang menampung seluruh sungai dan
bagi tanah yang lebih rendah merupakan satu-satunya sumber air dan
kesuburan (Suseno, 1988:100). Dia juga digambarkan sebagai lensa
pembakar yang memusatkan cahaya matahari dan mengarahkannya
ke bawah (Ali, 1986:35), dan oleh karenanya menjadi sumber
kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan membawa
ketenteraman, keadilan, dan kesuburan (Suseno, 1988:107). Bahkan,
jika dihubungkan dengan pemberian gelar di kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta seperti Paku Buwana (Paku Jagad Raya), Mangkunegara
(Yang Memangku Negara), dan Hamengku Buwana (Yang Memangku
Jagad Raya), raja memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan
istimewa.
Sesuai dengan kedudukan raja yang begitu tinggi dan menjadi
pusat dari segala sesuatu atau menjadi titik sentral dalam lingkaran
konsentris berdasarkan struktur negara Jawa, raja dapat dipandang
sebagai pusat, baik pusat administrasi pemerintahan, pusat
kekuasaan, maupun pusat atau sumber kebudayaan (kesenian). Oleh
karena itu, dalam konsep Jawa, raja dikatakan memiliki kekuasaan
Judul / Penulis 43
mutlak (Moertono, 1985:42; Moedjanto, 1987:122--123). Hal itu
dalam bahasa Jawa dikatakan sebagai gung binathara bau dendha
anyakrawati (sebesar kekuasaan Dewa, pemelihara hukum dan
penguasa dunia). Itulah sebabnya, raja dikatakan wenang wisesa ing
sanagari (pemegang kekuasaan tertinggi di seluruh negeri).
Raja dapat dipandang sebagai pusat administrasi pemerintahan
atau mempunyai kekuasaan untuk mengatur jaringan-jaringan
perintah karena ia berhak membuat angger-angger, berhak
mengadili pelanggar undang-undang, dan berhak memimpin
tentara, serta mempunyai kewenangan untuk menyusun konsep
kenegaraan (Moedjanto, 1987:87--88). Hal tersebut sesuai dengan
kedudukannya sebagai orang yang menempati puncak hierarki status
atau puncak piramida kekuasaan. Kekuasaan raja tidak terbagi dan
tidak tertandingi.
Sebagai usaha pembinaan kekuasaan atau usaha untuk
melegitimasi diri, raja juga berusaha mengembangkan kebudayaan
(Moedjanto, 1987:88--89). Agar memancarkan wibawa sebagai raja
idaman atau ideal, seorang raja menciptakan dan mengembangkan
kebudayaan yang bercorak alus ‘halus’. Penciptaan kebudayaan alus
itu misalnya cara berpakaian yang serba indah, cara mengambil
sikap, cara berbicara, dan berbagai tingkah laku lainnya. Bahkan,
penciptaan dan pengembangan kebudayaan itu tidak hanya terbatas
pada berbagai tingkah laku, tetapi juga kebiasaan mengumpulkan
pusaka-pusaka, memimpin dan menentukan pranata upacara, dan
menciptakan atau memerintah untuk menciptakan karya kesenian
dan kesusastraan.
Berdasarkan pernyataan bahwa raja dapat dipandang sebagai
pusat pemerintahan, kekuasaan, dan kebudayaan, hampir dapat
dipastikan bahwa raja sangat berpengaruh besar terhadap hasil-
hasil kesusastraan yang diciptakan oleh masyarakat. Jika pernyataan
itu benar, langsung ataupun tidak, nilai-nilai yang terkandung di
44 Judul / Penulis
dalamnya juga dipengaruhi oleh raja dengan berbagai ciri dan
eksistensinya. Benarkah sastra sangat dipengaruhi oleh raja? Kita
lihat pembahasan berikut.
Judul / Penulis 45
Dalam Wulang Reh, misalnya, selain ditampilkan masalah
kawaskithan, sasmita, dan urmat, juga ditampilkan bagaimana tata
cara mengabdi raja. Raja harus dijadikan pusat pengabdian karena
menurut Paku Buwana IV, raja adalah wakil Hyang Agung. Oleh
karena itu, lewat karyanya Paku Buwana IV bermaksud menanamkan
berbagai tingkah laku kepada rakyat, antara lain cara-cara mengabdi
agar rakyat senantiasa mencurahkan pengabdiannya secara penuh.
Dengan cara demikian, kedudukan Paku Buwana IV sebagai raja
akan tetap eksis.
Hal serupa dilakukan oleh Paku Buwana IX dalam menggubah
Nitisruti Lugu. Selain ditunjukkan adanya enam kewaspadaan,
yaitu (1) rela, teliti, awas, jujur, dan ceria, (2) bijak, arif, terbuka,
(3) bijaksana, (4) bersikap senang dalam menanggapi sesuatu, (5)
berani dalam tugas tapa brata, dan (6) senang bertapa dan pandai
bergaul, yang semua itu mencerminkan sikap dan wibawa raja, dalam
Nitisruti Lugu juga ditekankan mengenai keberanian dalam perang.
Keberanian dalam perang sebenarnya mencerminkan sikap raja
sebagai seorang ksatria, ia mengharap agar sikap tersebut dimiliki oleh
para prajurit perangnya. Jika prajurit telah bersikap satria sehingga
memiliki kekuatan yang luar biasa, kedudukan raja pun sulit digeser
oleh lawan-lawannya karena dengan mudah lawan-lawannya dapat
dihancurkan oleh prajurit yang satria, gagah berani, dan sakti itu.
Tentang kesetiaan prajurit tampak pula dalam Tripama dan
Wirawiyata. Kesetiaan tiga prajurit dalam tripama yang disimbolkan
lewat tokoh wayang (Patih Suwanda, Basukarna, dan Kumbakarna);
atau sikap prajurit yang harus setia menjalankan tugasnya seperti
dalam Wirawiyata; hanyalah sebagai cara agar kedudukan raja tidak
mudah digeser oleh orang lain yang menentangnya. Oleh sebab
itu, dapat dikatakan bahwa lewat kedua karya itu Mangkunegara
IV bermaksud hendak mempertahankan kedudukannya sebagai
46 Judul / Penulis
raja idaman, raja yang tetap dihormati, dan berwibawa di hadapan
rakyatnya.
Wulang Estri gubahan Paku Buwana X dan Wedhatama karya
Mangkunegara IV agaknya berbeda dengan karya-karya di atas.
Dalam Wulang Estri lebih ditekankan tentang kehidupan rumah
tangga, yakni tingkah laku yang harus dipatuhi oleh seorang istri. Istri
dianggap istri yang baik jika selalu setia kepada suami, sebagaimana
disimbolkan dengan lima jari tangan. Sementara itu, Wedhatama
lebih menekankan pada ilmu keutamaan dan kesempurnaan. Kedua
karya itu memang tidak secara langsung berkaitan dengan kedudukan
raja, atau kehadirannya semata-mata untuk melegitimasi kekuasaan
raja, tetapi jika disimak lebih jauh, tampak bahwa tingkah laku
yang disodorkan itu mencerminkan tingkah laku seorang raja. Hal
itu sesuai dengan peran seorang raja yang selalu mengembangkan
kebudayaan alus. Atau, berkat ilmu kesempurnaan seperti dalam
Wedhatama, peran seorang raja akan tampak, sebab selain menjadi
sumber keadilan, ketentaraman, dan kekuasaan, raja juga menjadi
pengayom, termasuk pelindung agama. Karena itu, karya-karya yang
menekankan ilmu kesempurnaan, juga ilmu agama, kehadirannya
tetap dianggap sah, dan bahkan pantas dikembangkan. Karya lain
yang menekankan hal yang sama adalah karya suluk, seperti Suluk
Seh Siti Jenar, Suluk Seh Amongraga, dan Suluk Seh Ngabdul Salam.
Karena raja berperan pula sebagai penjaga ketenteraman,
ajaran sesat seperti yang terdapat dalam Suluk Seh Siti Jenar
pun dilarang oleh raja karena jika hal itu dikembangkan akan
mengganggu ketenteraman umat Islam. Karena itu, Seh Siti Jenar
dan para pengikutnya dimusnahkan. Demikian juga dalam Suluk
Seh Siti Amongraga. Ilmu gaib yang dilarang oleh syariat Islam
tidak boleh dikembangkan karena menyimpang dari ketentuan
syariat yang benar. Ilmu kesempurnaan yang wajib dilakukan adalah
seperti yang terdapat dalam Suluk Seh Ngabdul Salam gubahan
Judul / Penulis 47
R.M. Wirakusuma. Dalam suluk ini ditekankan mengenai tata cara
menegakkan sembahyang yang selaras dengan sifat-sifat seperti yang
terkandung dalam nama-nama Tuhan (Asmaul Husna).
Kehadiran Candra Rini karya Ranggawarsita (1863) dan Serat
Dumbasawala (1879) pada masa pemerintahan Paku Buwana IX
agaknya juga memperkuat kedudukan raja pada waktu itu. Hal itu
ditandai, misalnya, ketika Ranggawarsita mengarang Candra Rini,
ia hanya menjalankan perintah Paku Buwana IX. Dengan demikian,
etiket tentang wanita dalam karya itu ditentukan oleh Paku
Buwana IX yang ingin memberikan petunjuk kepada rakyatnya,
khususnya kepada para istri. Sementara itu, Serat Dumbasawala
juga mencerminkan kesatriaan seorang raja karena di dalamnya
ditampilkan cara-cara memperoleh anugerah dari raja. Agar
rakyat dapat mencari anugerah dari raja, raja memberikan ajaran
atau petunjuk bagaimana cara memperoleh anugerah itu. Itulah
sebabnya, kehadiran karya itu bernaung di bawah kekuasaan raja,
dan oleh karenanya, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya pun
mencerminkan eksistensi raja.
Di sisi lain, tampaknya agak berbeda atas hadirnya pujangga
besar Ranggawarsita. Walaupun hidup sekitar tahun 1801 sampai 1873,
Ranggawarsita dapat meramalkan kejadian-kejadian pada abad ke-20
(Any, 1984:7). Hal tersebut tampak dalam karyanya Kalatida (1860),
Sabdajati (1873), Sabdatama, dan Jaka Lodhang. Dalam Kalatida,
Ranggawarsita yang tinggal menanti saat kematiannya berbicara
tentang kengeriannya bahwa masa itu adalah ‘masa kegelapan’ yang
mungkin tanpa akhir (Anderson dalam Reid, 1983:3). Agar orang
tidak terlarut dalam zaman edan itu, Ranggawarsita memberikan
petunjuk mengenai pencarian keselamatan seperti diuraikan dalam
Sabdijati. Barangkali karena sangat prihatin melihat kejadian pada
abad ke-19 yang kacau, ia meramalkan akan ada “zaman gembira”
jika sudah muncul windu kuning ‘lambang kegemilangan’ seperti
48 Judul / Penulis
tampak dalam Sabdatama. Sebab, ia sadar bahwa keadaan zaman
akan selalu mengalami perubahan seperti dilukiskan dalam Djaka
Lodhang. Lukisan-lukisan yang tajam inilah yang mengantarkan
Ranggawarsita sebagai seorang pujangga besar dan berpandangan
luas
Secara umum ciri-ciri karya Ranggawarsita adalah
mengungkapkan gambaran sosial masyarakat yang suram. Namun,
di balik itu, terdapat tendensi tertentu untuk menyampaikan
penyesalannya terhadap berbagai tindakan para pembesar
kerajaan yang pada masa itu sudah semakin tak bermoral. Melalui
penggubahan karya-karya itu Ranggawarsita bermaksud agar
para pembesar kembali ke sikap semula yang menjunjung tinggi
etika keselarasan. Karena itu, karya-karya Ranggawarsita banyak
mencerminkan nilai luhur yang pada hakikatnya bersumber dari
ajaran raja yang bijaksana.
Perihal kebijakan yang berasal dari raja tampak juga
mempengaruhi Ranggawarsita dalam menulis Wedharaga dan
Cemporet (1870). Kebiasaan seorang raja yang harus selalu kuat dalam
bertapa sehingga memperoleh kekuatan dari Tuhan dan mendapat
dukungan dari rakyat dikedepankan oleh Ranggawarsita dalam
Cemporet. Dalam karya itu diceritakan bahwa agar Jaka Sangkala dan
Jaka Pramada lepas dari kutukan sang ayah, keduanya disarankan
agar bertapa. Setelah tapanya berhasil dan lepas dari kutukan,
oleh ayahnya keduanya bahkan diberi kedudukan. Hal yang sama
muncul pula dalam Wedharaga. Dalam karya itu ditekankan agar
pemuda selalu rajin bertapa dan berguru sehingga kelak memperoleh
keselamatan. Namun, semua itu harus dilandasi oleh sikap sopan,
mawas diri, dan tidak sombong.
Beberapa karya lain seperti Panitisastra, Babad Jaka Tingkir, dan
sastra wayang Serat Kandhaning Ringgit Purwa juga menunjukkan
adanya kaitan erat dengan kedudukan raja. Dalam Panitisastra,
Judul / Penulis 49
misalnya, ada petunjuk mengenai hubungan rakyat dan raja. Jika
raja ingin selalu dihormati oleh rakyat, raja harus mampu ‘melihat’
rakyatnya dengan tepat dan pemaaf. Penglihatan raja terhadap rakyat
merupakan syarat mutlak karena dengan demikian raja tidak akan
ditinggalkan oleh rakyat. Selain itu, penglihatan raja atas rakyatnya
juga diartikan bahwa rakyat diberi kesempatan untuk ‘naik’ menjadi
punggawa. Jika tidak, kemungkinan besar raja akan dijauhi oleh
rakyat.
Pengaruh raja yang berupa wewenang untuk menjalankan
undang-undang kerajaan tampaknya ditampilkan dalam Babad Jaka
Tingkir. Pada bagian akhir karya itu dikisahkan bahwa telah lama
Ki Ageng Pengging tidak bersedia menghadap raja. Karena itu, raja
mengutus Sunan Kudus untuk melenyapkan Ki Ageng Pengging.
Hal itu dilakukan karena raja sebagai penguasa berhak melindungi
rakyat dan berhak pula menghukum rakyat yang melanggar angger-
angger. Raja yang bertindak demikian disebut raja yang adil. Karena
itu, dapat dinyatakan bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam karya itu
dimaksudkan sebagai pendukung kewibawaan raja karena berbagai
anjuran dan petunjuk raja ada di dalamnya.
Selain berkembang karya-karya dalam bentuk piwulang,
suluk, ramalan, dan babad, pada zaman itu berkembang pula sastra
pewayangan. Memang sastra pewayangan telah berkembang jauh
sebelumnya, tetapi karena sistem kerajawian Jawa menganut sistem
kerajawian dalam wayang (Laksono, 1985:22--38), raja di Jawa pun
banyak memanfaatkan cerita-cerita wayang. Karena itu, pada abad
ke-18 dan 19 karya sastra wayang banyak ditulis dan digubah kembali
(Baried dkk., 1985:10), bahkan menjadi kegemaran kaum bangsawan.
Karena para bangsawan banyak menganut sistem kerajawian dalam
wayang, akhirnya sastra pewayangan memperoleh kesempatan pula
untuk berkembang. Hal demikian dimaksudkan agar kewibawaan
50 Judul / Penulis
raja selalu mendapatkan dukungan dari rakyat lewat berbagai bacaan
yang diperoleh dari cerita-cerita wayang.
Dalam Serat Kandhaning Ringgit Purwa, misalnya, dikisahkan
bahwa bagaimanapun saktinya seseorang, seperti tokoh Dasamuka,
tetapi kalau sering berbuat licik dan curang, usaha apa pun yang
dilakukan akan tetap gagal. Bahkan sebagai akibat perbuatannya,
Dasamuka harus mati di tangan Ramawijaya. Atau, bagaimanapun
saktinya Watugunung, seorang raja di Gilingwesi, karena melanggar
aturan mengawini ibu dan bibinya sendiri, akhirnya ia harus mati
di tangan Wisnu. Berbagai peristiwa itulah yang dilukiskan dalam
karya-karya sastra Jawa sehingga nilai-nilai luhurnya dapat diteladani
dan nilai-nilai luhur seperti itu mencerminkan pula tindakan
yang dilakukan oleh seorang raja yang bijak dan berwibawa untuk
mencapai suatu harmoni kosmik.
Simpulan
Dari kajian saksama seperti yang diuraikan di atas, tampak
jelas bahwa hubungan sastra, masyarakat, dan raja di Jawa pada abad
ke-18 dan 19 sangat erat. Kelahiran karya sastra pada masa itu sangat
didukung oleh keadaan masyarakatnya, terutama karena masyarakat
mengalami krisis politik, ekonomi, sosial, dan moral akibat semakin
kuatnya kolonialisme Belanda. Dan sesuai dengan fungsinya sebagai
social and human control, penciptaan sastra oleh pengarangnya
dimaksudkan sebagai sumber nilai bagi manusia (rakyat) dalam
kehidupan bermasyarakat (bernegara), yang langsung atau tidak,
dimaksudkan pula sebagai penegak atau legitimasi kekuasaan raja.
Dalam kebudayaan Jawa raja diakui sebagai sumber pengayom,
perintah, dan penentu. Oleh karena itu, raja berhak menentukan
segala sesuatu yang bersangkutan dengan masyarakat yang menjadi
kekuasaannya sehingga raja pun menjadi sumber ilham penciptaan
Judul / Penulis 51
kesenian dan kesusastraan. Itulah sebabnya, karya sastra yang
dicipta di luar keraton pun, langsung ataupun tidak, cenderung
untuk melegitimasi kedudukan raja. Sikap raja dan bangsawan pada
zaman itu memang harus demikian karena mereka dituntut untuk
menegakkan kembali nilai-nilai masyarakat yang sedang dilanda
krisis ekonomi dan politik.
Demikianlah kajian sosiologis tentang sastra, masyarakat, dan
raja di Jawa abad ke-18 dan 19. Kajian ini bukan dimaksudkan untuk
lebih memperkokoh adanya tradisi feodalisme sebagaimana berlaku
di dalam masyarakat tradisional, melainkan lebih dimaksudkan
sebagai bahan renungan sehingga dalam kehidupan sekarang
manusia lebih cermat memilih dan memilah mana yang baik untuk
dilakukan dan mana yang buruk yang sepantasnya ditinggalkan.
52 Judul / Penulis
Cerita Rakyat Damarwulan
Studi Fungsi Pelaku dan Penyebarannya Menurut
Vladimir Propp
Judul / Penulis 53
cerita Damarwulan sering menjadi bahan kajian bagi para ahli sastra
dan sejarah. Beberapa di antaranya ialah kajian yang dilakukan oleh
Baried (l985), Zaimar (1992), dan Prabowa (l995). Dalam kajiannya
Baried menyatakan bahwa cerita Damarwulan mengandung nilai
kepahlawanan. Jelas bahwa kajiannya itu bertolak dari sisi pragmatis.
Sementara itu, dalam kajiannya Zaimar memperlakukan cerita
Damarwulan sebagai objek studi untuk menguji-coba teori aktansial-
struktural seperti yang dikembangkan oleh Greimas. Namun, kajian
Zaimar itu belum lengkap karena hanya mencari tipe-tipe alur. Selain
itu, dalam kajiannya Prabowa mengkritik cerita Damarwulan versi
Harnaeni dengan mengatakan bahwa tokoh yang ditampilkannya
kurang digarap dengan baik. Dengan adanya berbagai-bagai kajian
itu terbukti bahwa cerita Damarwulan hingga kini tetap memiliki
daya tarik bagi banyak pihak.
Dengan tidak mengesampingkan beberapa kajian yang telah
ada, kajian ini dilakukan dengan cara dan tujuan lain. Dalam kajian
ini carita Damarwulan dipergunakan sebagai objek studi sastra secara
struktural dalam rangka menguji-coba teori yang dikembangkan
oleh ahli sastra Rusia, Vladimir Propp. Dalam teorinya, sebagaimana
ditulis dalam Morphology of the Folktale (1975; edisi aslinya berbahasa
Rusia Morfologija Skazki, 1928), Propp menitikberatkan perhatiannya
pada fungsi-fungsi pelaku (function of dramatic personae), bukan
pada pelaku (tokoh) itu sendiri. Yang dikaji adalah tindakan (action)
pelaku yang membentuk tipologi struktur.
Cerita Damarwulan yang dijadikan bahan kajian ini adalah
cerita (buku) berbahasa Indonesia hasil saduran Harnaeni yang
diterbitkan oleh Citra Budaya, Bandung, 1986. Pemilihan bahan kajian
tersebut tidak berdasarkan ketentuan apakah secara filologis cerita
itu lebih berwibawa atau mendekati aslinya atau tidak, tetapi hanya
sekadar salah satu versi tertentu. Hal itu bukan tanpa alasan karena,
menurut hemat saya, walaupun suatu cerita terdiri atas berbagai
54 Judul / Penulis
versi, kerangka utama cerita-cerita tersebut tidaklah jauh berbeda.
Kalaupun berbeda, hal itu tidak berpengaruh bagi teori struktural
model Propp karena teori itu menitikberatkan perhatiannya pada
fungsi-fungsi pelaku. Jadi, versi cerita apa pun dan yang mana pun
tidak menjadi problem bagi teori Propp asal masih tergolong ke
dalam genre cerita atau dongeng rakyat (folklore, folktale, fairytale).
Judul / Penulis 55
Propp menyadari bahwa suatu cerita pada dasarnya memiliki
konstruksi. Konstruksi itu terdiri atas motif-motif yang terbagi dalam
tiga unsur, yaitu pelaku, perbuatan, dan penderita (lihat juga: Junus,
1983:63). Ia melihat bahwa tiga unsur itu dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian, yaitu unsur yang tetap dan unsur yang
berubah. Unsur yang tetap adalah perbuatan, sedangkan unsur yang
berubah adalah pelaku dan penderita. Bagi Propp, yang terpenting
adalah unsur yang tetap. Sebagai contoh, yang terpenting di dalam
konstruksi “raksasa menculik seorang gadis” adalah perbuatan atau
tindakannya, yaitu “menculik”, karena tindakan itu dapat membentuk
satu fungsi tertentu dalam cerita. Seandainya tindakan itu diganti
dengan tindakan lain, fungsinya akan berubah. Tidak demikian
jika yang diganti adalah unsur pelaku atau penderita. Penggantian
unsur pelaku dan penderita tidak mempengaruhi fungsi perbuatan
dalam suatu konstruksi tertentu. Dilihat dari contoh tersebut, jelas
bahwa teori Propp diilhami oleh strukturalisme dalam ilmu bahasa
(linguistik) sebagaimana dikembangkan oleh Saussure (bdk. Selden,
1991:59).
Berdasarkan penelitiannya terhadap seratus dongeng Rusia,
yang disebutnya fairytale, Propp (1975:21--24) akhirnya memperoleh
simpulan (1) anasir yang mantap dan tidak berubah dalam sebuah
dongeng bukanlah motif atau pelaku, melainkan fungsi, lepas dari
siapa pelaku yang menduduki fungsi itu, (2) jumlah fungsi dalam
dongeng terbatas, (3) urutan fungsi dalam dongeng selalu sama,
dan (4) dari segi struktur semua dongeng hanya mewakili satu tipe
(lihat juga: Teeuw, 1984:291; Scholes, 1977:63). Sehubungan dengan
simpulan (2), Propp menyatakan bahwa paling banyak sebuah
dongeng terdiri atas 31 fungsi. Namun, ia juga menyatakan bahwa
setiap dongeng tidak selalu mengandung semua fungsi itu karena
banyak dongeng yang ternyata hanya mengandung beberapa fungsi.
56 Judul / Penulis
Fungsi-fungsi itulah, berapa pun jumlahnya, yang membentuk
kerangka pokok cerita.
Tiga puluh satu fungsi yang dimaksudkan oleh Propp adalah
seperti di bawah ini. Untuk mempermudah pembuatan skema, Propp
memberi tanda atau lambang khusus pada setiap fungsi (barangkali,
kalau kita mengganti lambang itu sesuai dengan keinginan kita, tentu
juga tidak ada salahnya). Adapun fungsi-fungsi dan lambangnya
sebagai berikut.
FUNGSI LAMBANG
1. Absentation ‘ketiadaan’
2. Interdiction ‘larangan’ Violation
3. ‘pelanggaran’ Reconnaissance
4. ‘pengintaian’ Delivery
5. ‘penyampaian (informasi)’ Fraud
6. ‘penipuan (tipu daya)’ Complicity
7. ‘keterlibatan’
8. Villainy ‘kejahatan’
8a. Lack ‘kekurangan (kebutuhan)’ a
9. Mediation, the connective incident
‘perantaraan, peristiwa penghubung’ B
10. Begining counteraction ‘penetralan
(tindakan) dimulai’ C
11. Departure ‘keberangkatan (kepergian)’
12. The first function of the donor
‘fungsi pertama donor (pemberi)’ D
Judul / Penulis 57
13. The hero’s reaction ‘reaksi pahlawan’ E
14. Provition or receipt of a magical agent
‘penerimaan unsur magis (alat sakti)’ F
15. Spatial translocation ‘perpindahan (tempat)’ G
16. Struggle ‘berjuang, bertarung’ H
17. Marking ‘penandaan’ J
18. Victory ‘kemenangan’ I
19. The initial misfortune or lack is liquidated
‘kekurangan (kebutuhan) terpenuhi’ K
20. Return ‘kepulangan (kembali)’
21. Pursuit, chase ‘pengejaran, penyelidikan’ Pr
22. Rescue ‘penyelamatan’ Rs
23. Unrecognised arrival ‘datang tak terkenali’ O
24. Unfounded claims
‘tuntutan yang tak mendasar’ L
25. The difficult task ‘tugas sulit (berat)’ M
26. Solution ‘penyelesaian (tugas)’ N
27. Recognition ‘(pahlawan) dikenali’ Q
28. Exposure ‘penyingkapan (tabir)’ Ex
29. Transfiguration ‘penjelmaan’ T
30. Punishment ‘hukuman (bagi penjahat)’ U
31. Wedding ‘perkawinan (dan naik tahta)’ W
Catatan:
Fungsi-fungsi dan lambang-lambang yang dicantumkan
ini hanya terbatas pada yang pokok saja; lebih lengkapnya
lihat buku Propp (1975:26--65).
58 Judul / Penulis
(speres of action) tertentu. Ada tujuh lingkungan tindakan yang dapat
dimasuki oleh fungsi-fungsi yang tergabung secara logis, yaitu (1)
villain ‘lingkungan aksi penjahat’, (2) donor, provider ‘lingkungan
aksi donor, pembekal’, (3) helper ‘lingkungan aksi pembantu’, (4) the
princess and her father ‘lingkungan aksi seorang putri dan ayahnya’,
(5) dispatcher ‘lingkungan aksi perantara (pemberangkat)’, (6) hero
‘lingkungan aksi pahlawan’, dan (7) false hero ‘lingkungan aksi
pahlawan palsu’ (lihat juga: Hawkes, 1978:91; Scholes, 1977:104;
Schleifer, 1987:96). Melalui tujuh lingkungan tindakan (aksi) itulah
frekuensi kemunculan pelaku dapat dideteksi dan cara bagaimana
watak pelaku diperkenalkan dapat diketahui.
Demikian selintas tentang teori (naratologi) struktural(is)
versi Vladimir Propp. Kendati dalam perkembangan selanjutnya
Propp banyak dikecam oleh peneliti lain, di antaranya oleh Guipen
dari Belanda (Teeuw, 1984:293), sebagian dari konsep teorinya tetap
menjadi pegangan mereka dalam menemukan cara analisis sastra
yang baru. Harus diakui bahwa ternyata para ahli seperti Bremond,
Greimas, Levi-Strauss, Souriau, Todorov, bahkan juga Roland
Barthes, banyak memanfaatkan konsep yang telah dihasilkan Propp.
Namun, dalam perkembangan terakhir, Propp tidak konsekuen pada
prinsipnya sendiri. Ia semula menolak adanya pendekatan historik,
tetapi kemudian ia kembali ke orientasi historik. Hal itu dapat
dibuktikan melalui bukunya Theory and History of Folklore (1984)
yang merupakan kumpulan karangan menjelang akhir hayatnya
(1970).
Pembahasan
1. Ringkasan Cerita Damarwulan
Di kerajaan Majapahit bertahtalah seorang ratu yang sangat
cantik bernama Kencanawungu. Kendati sudah menduduki
Judul / Penulis 59
tahta kerajaan, Kencanawungu masih tetap belum bersuami.
Berkat kecantikannya itu datanglah Minakjingga, raja raksasa
dari Blambangan yang terkenal sakti dan kejam, bermaksud akan
memperistri Kencanawungu. Namun, Kencanawungu menolak
lamaran Minakjingga karena ia tidak ingin bersuamikan raja raksasa
yang kejam. Karena Minakjingga memaksa agar pinangannya
diterima, timbullah niat Kencanawungu untuk melenyapkan
Minakjingga. Itulah sebabnya, Kencanawungu mengadakan
sayembara. Siapa saja yang dapat membunuh Minakjingga akan
mendapat hadiah: jika perempuan akan dipersaudara, jika laki-laki
akan dipersuami.
Rupanya sial bagi Kencanawungu. Sudah hampir sebulan
lamanya, sesuai dengan janjinya kepada Minakjingga untuk
memberikan jawaban pasti, belum ada seorang pun yang berhasil
membunuh Minakjingga. Melihat keadaan ini Kencanawungu sangat
sedih, dan ia kemudian berdoa dan bersamadi. Tidak lama kemudian
Kencanawungu memperoleh wangsit bahwa yang dapat mengalahkan
Minakjingga adalah Damarwulan. Lalu datanglah Damarwulan
bersama Patih Logender karena memang ia keponakannya; dan
setelah mendapatkan izin, Damarwulan segera pergi ke Blambangan
untuk melaksanakan tugas membunuh Minakjingga. Namun,
ketika Damarwulan berperang melawan Minakjingga, sayang sekali
Damarwulan kalah. Untunglah ada Dewi Suhita dan Dewi Puyengan,
keduanya istri Minakjingga, datang menawarkan bantuan. Kedua
dewi itu akan mencuri senjata wesi kuning milik suaminya untuk
diberikan kepada Damarwulan. Akan tetapi, mereka terikat oleh
janji bahwa setelah perang usai Damarwulan harus bersedia menjadi
suami kedua dewi itu. Atas tawaran tersebut Damarwulan pun
berkata akan memenuhi janjinya.
Berkat senjata itu Damarwulan akhirnya menang. Minakjingga
tewas. Lalu kepala Minakjingga dipenggal oleh Damarwulan dan
60 Judul / Penulis
akan dibawa ke Majapahit sebagai bukti. Namun, ketika Damarwulan
sampai di tengah perjalanan, barang bukti berupa kepala Minakjingga
itu dirampas oleh kedua putra Patih Logender, Layang Seta dan
Layang Kumitir. Bahkan Damarwulan dipukul hingga pingsan dan
tubuhnya kemudian dibuang ke jurang. Untunglah Damarwulan
selamat, dan berkat bantuan Anjasmara, Suhita, dan Puyengan,
akhirnya ia berhasil menghadap Kencanawungu.
Di hadapan Kencanawungu terjadilah suatu ketegangan.
Di satu pihak, dengan bukti kepala Minakjingga, Layang Seta dan
Layang Kumitir menuntut hadiah dari Kencanawungu. Namun, di
pihak lain, dengan saksi Suhita dan Puyengan, Damarwulan juga
melaporkan bahwa sebenarnya yang membunuh Minakjingga adalah
dirinya. Di sinilah Kencanawungu bingung. Lalu Kencanawungu
memerintahkan agar Layang Seta dan Layang Kumitir berperang
melawan Damarwulan. Siapa yang menang, dialah yang berhak
menjadi suami Kencanawungu. Akhirnya, dalam peperangan
itu, Damarwulan menang dengan mudah. Layang Seta dan
Layang Kumitir juga telah mengakui kecurangannya. Tidak lama
kemudian Damarwulan menikah dengan empat wanita sekaligus
(Kencanawungu, Anjasmara, Suhita, dan Puyengan). Akhir kisah,
Damarwulan naik tahta dan menjadi raja Majapahit.
Judul / Penulis 61
(0) Situasi Awal (lambang: μ )
Yang menjadi situasi awal cerita Damarwulan adalah deskripsi
adanya kerajaan Majapahit yang diperintah oleh seorang ratu yang
cantik bernama Ratu Kencanawungu. Kecantikan seorang ratu inilah
yang menjadi penyulut awal pergerakan cerita sehingga muncul
fungsi-fungsi berikut.
62 Judul / Penulis
Propp, fungsi kekurangan atau kebutuhan (lack) ini masuk ke dalam
kelompok tertentu dengan lambang (a6).
Judul / Penulis 63
Damarwulan berangkat (departure) dari Majapahit menuju ke
Blambangan dengan maksud membunuh Minakjingga. Dengan hati
yang tegar ia ingin segera dapat menyelesaikan tugasnya.
64 Judul / Penulis
wesi kuning milik Minakjingga yang dicuri oleh kedua istrinya.
Dengan senjata itu Damarwulan bersemangat kembali dan ingin
segera melenyapkan Minakjingga.
Judul / Penulis 65
(13) Pengejaran (lambang: Pr)
Ketika pulang dari Blambangan ke Majapahit, di tengah
perjalanan Damarwulan dihadang oleh Layang Seta dan Layang
Kumitir. Kedua putra Patih Logender itu memperdaya Damarwulan.
Barang bukti berupa kepala Minakjingga dirampas dan kepala
(tengkuk) Damarwulan dipukul. Dalam keadaan pingsan --kedua
orang itu mengira kalau Damarwulan telah tewas-- Damarwulan
dibuang ke jurang.
66 Judul / Penulis
dari Kencanawungu. Akan tetapi, Kencanawungu tidak langsung
percaya karena menurut wangsit tidak demikian. Dalam wangsit
dinyatakan bahwa yang mampu membunuh Minakjingga hanyalah
Damarwulan. Bukan suatu kebetulan pula, saat itu Damarwulan
bersama Anjasmara, Suhita, dan Puyengan datang menghadap dan
melaporkan jika yang berhasil membunuh Minakjingga adalah
Damarwulan. Jadi, dikatakan oleh mereka bahwa bukti yang dibawa
oleh Layang Seta dan Layang Kumitir adalah bukti yang dirampas
dari tangan Damarwulan. Di sinilah Kencanawungu bingung karena
sebagai seorang ratu harus bertindak bijaksana dan adil.
Judul / Penulis 67
(18) Penyingkapan (tabir) kepalsuan (lambang: Ex)
Setelah Layang Seta dan Layang Kumitir dikalahkan oleh
Damarwulan, dengan terus terang mereka mengakui telah bertindak
curang. Patih Logender, ayah mereka, yang semula bersikeras dan
berpihak kepada kedua putranya, merasa malu dan akhirnya minta
maaf.
68 Judul / Penulis
pelaku seperti telah disebutkan di atas, secara keseluruhan (tale as a
whole) cerita Damarwulan dapat dipolakan seperti berikut.
I. A8--------------------K
II. a6....C K...................W:
III. Pr---------Ex
Keterangan:
I. A8--K adalah munculnya kejahatan sampai dengan
berakhirnya kejahatan karena Minakjingga ber-
hasil dibunuh; ini berarti bahwa kebutuhan atau
kekurangan (keinginan) Kencanawungu terpenuhi.
II. a6...C adalah munculnya keinginan (kebutuhan)
Kencanawungu akan seseorang (yang dapat
membantu kesulitannya) sampai ditemukannya
Damarwulan.
K...W: adalah pola yang masih berkaitan dengan a6...C
karena Kencanawungu terikat oleh janji ketika
mengadakan sayembara: setelah Damarwulan
berhasil membunuh Minakjingga, akhirnya
Kencanawungu benar-benar memenuhi janjinya,
yaitu kawin.
III. Pr--Ex adalah munculnya kejahatan Layang Seta
dan Layang Kumitir sampai dengan terbukanya tabir
kecurangan mereka.
Judul / Penulis 69
didistribusikan ke dalam tujuh lingkaran tindakan (speres of action).
Jadi, setiap lingkaran (lingkungan) tindakan dapat mencakupi satu
atau beberapa fungsi. Adapun tujuh lingkaran tindakan dalam cerita
Damarwulan adalah sebagai berikut.
70 Judul / Penulis
muncul dengan niat jahatnya ketika mendengar kabar tentang keber-
hasilan Damarwulan membunuh Minakjingga (Pr).
Dalam cerita ini pembantu dimunculkan bukan sebagai suatu
kebetulan. Dewi Suhita dan Dewi Puyengan bersedia membantu
Damarwulan ketika akan dibunuh oleh Minakjingga karena selama
menjadi istri Minakjingga mereka merasa seolah “dipenjara”. Karena
tidak tahan menjadi istri seorang raja yang kejam, kedua dewi itu
ingin segera membebaskan diri, yaitu dengan cara membantu
mencuri senjata milik suaminya untuk Damarwulan. Namun, mereka
mengikat janji, dan Damarwulan pun bersedia memenuhi janji itu
(E9). Di lain pihak, unsur bantuan dari tiga putri (Suhita, Puyengan,
dan Anjasmara) bagi Damarwulan ketika berdebat mengenai saksi
dan bukti di hadapan Kencanawungu, juga bukan merupakan
kebetulan karena Suhita dan Puyengan akan segera menuntut janji,
sedangkan Anjasmara memang sebelumnya telah jatuh cinta kepada
Damarwulan (Rs9). Sementara itu, unsur pembantu sakti, berupa
senjata gada wesi kuning, diperkenalkan sebagai suatu pemberian (F).
Dalam cerita Damarwulan perantara diperkenalkan sebagai
penghubung fungsi-fungsi pelaku yang utama. Perantara yang
berupa wangsit dimunculkan bukan juga sebagai deux ex machina.
Dapat dikatakan bahwa perantara merupakan hal yang sangat
penting karena tanpa adanya wangsit (B1) nasib Kencanawungu
(dan Damarwulan) tidak akan sebaik seperti dalam cerita ini.
Perantara (wangsit) diperkenalkan dalam perjalanan cerita sesudah
munculnya sang putri Kencanawungu (a6) dan sebelum munculnya
sang pahlawan Damarwulan (C). Sementara itu, pahlawan palsu
diperkenalkan dalam situasi kejahatan kedua (Pr), yaitu ketika
Layang Seta dan Layang Kumitir memperdaya Damarwulan di
perjalanan. Sesungguhnya, pahlawan dan pahlawan palsu itu telah
diperkenalkan di bagian-bagian awal cerita, tetapi sayang pengenalan
itu tidak fungsional. Kendati demikian, jika dihubungkan dengan
Judul / Penulis 71
tindakan (aksi) mereka selanjutnya, pengenalan pada bagian awal itu
merupakan suatu rangsangan tersendiri. Sebagai contoh, pengenalan
Damarwulan (berupa deskripsi kepergiannya dari padepokan
Begawan Tunggulmanik) pada bagian awal merupakan rangsangan
atau penghubung tindakannya di Majapahit. Demikian juga dengan
pahlawan palsu Layang Seta dan Layang Kumitir. Pengenalan watak
jahat mereka pada bagian awal, yaitu sikapnya yang selalu menghina
Damarwulan, merupakan rangsangan bagi tindakan kejahatannya
memperdaya Damarwulan (Pr). Demikianlah selintas tentang cara
pengenalan pelaku dan beberapa unsur penghubung peristiwa dalam
cerita Damarwulan.
Simpulan
Dari seluruh pembahasan di depan, akhirnya dapat diambil
beberapa simpulan dan catatan sebagai berikut. Ditinjau dari sisi
fungsi-fungsi pelaku, cerita Damarwulan dibentuk oleh kerangka
cerita yang terdiri atas sembilan belas fungsi. Jumlah sembilan belas
fungsi itu sendiri terbentuk dari satu pola keinginan (kekurangan,
kebutuhan) dan dua pola kejahatan. Oleh karena cerita ini diakhiri
dengan happy ending, padahal di dalamnya terdapat dua pola
kejahatan, dapat ditafsirkan bahwa cerita ini mengandung tema
moral. Artinya, siapa yang berbuat kebaikan akan menerima ganjaran
sepantasnya dan siapa yang berbuat kejahatan akan menerima
hukuman yang setimpal.
Dilihat dari distribusi fungsi di kalangan pelaku, dapat
dinyatakan bahwa tokoh yang menduduki tokoh utama adalah
Damarwulan dan Kencanawungu. Selain itu, semua pelaku dalam
cerita diperkenalkan secara wajar dan logis, dalam arti tidak ada
unsur kebetulan (ndilalah) dan tidak ada unsur deux ex machina
72 Judul / Penulis
‘dewa yang muncul dari mesin’. Padahal, unsur-unsur semacam itu
biasanya banyak muncul dalam cerita atau dongeng-dongeng rakyat.
Akhirnya, perlu diberikan catatan bahwa analisis cerita
Damarwulan berdasarkan teori struktural ala Propp ini barulah
merupakan suatu uji-coba teori Barat terhadap cerita rakyat Indonesia
(Jawa) yang hasilnya pasti masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
uji-coba semacam ini perlu dilakukan terus-menerus sehingga, jika
mungkin, akan dapat ditemukan ciri khusus atau keunikan tersendiri
dalam cerita-cerita rakyat Nusantara (Indonesia).
Judul / Penulis 73
Cerita Rakyat Danawa Sari
Putri Raja Raksasa
Studi Struktural Menurut A.J. Greimas
74 Judul / Penulis
tertentu ke seluruh Nusantara. Upaya yang telah tampak hasilnya
adalah seperti yang dilakukan oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra
Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak tahun
1980-an, proyek ini telah berhasil mengumpulkan, menerbitkan, dan
menyebarluaskan ratusan cerita rakyat dari dan ke berbagai daerah.
Cerita-cerita itulah yang pada akhirnya memperkaya khazanah sastra
Nusantara (Indonesia).
Hal di atas agaknya merupakan suatu realitas yang meng-
gembirakan. Namun, saat ini muncul fenomena baru berkenaan
dengan eksistensi sastra Nusantara. Fenomena itu timbul karena
belum adanya keseimbangan tujuan dalam kaitannya dengan
pemasyarakatan sastra. Di satu pihak telah banyak terkumpul dan
tersebar buku cerita rakyat, tetapi di lain pihak buku-buku cerita itu
pada umumnya masih “mendekam” di rak-rak buku perpustakaan,
dalam arti belum mampu menarik minat pembaca dan peneliti.
Hal itu disebabkan oleh bermacam hal, antara lain ialah belum
digiatkannya penelitian yang hasilnya diharapkan mampu memupuk
minat baca masyarakat terhadap karya sastra umumnya dan cerita
rakyat khususnya.
Salah satu usaha untuk mengantisipasi fenomena itu, dengan
berbagai kekurangan dan keterbatasannya, studi terhadap cerita
rakyat dari Lombok ini dilakukan. Cerita rakyat dari Lombok ini
dipilih sebagai data dengan alasan berikut. Menurut pengamatan
saya, cerita ini belum pernah dikaji orang. Memang ada beberapa
kajian cerita rakyat, antara lain oleh Hasjim (1984) dan Indriani
dkk. (1992/1993). Namun, dalam kajiannya Hasjim mengambil data
Hikayat Galuh Digantung, sedangkan Indriani dkk. mengambil data
cerita rakyat yang dimuat di majalah berbahasa Jawa tahun 1980-an.
Jadi, cerita rakyat dari Lombok yang berjudul Danawa Sari Putri Raja
Raksasa (1963) ini tidak dibahas dalam penelitian mereka. Alasan
lainnya ialah menurut pembacaan saya sementara cerita rakyat
Judul / Penulis 75
tersebut memiliki struktur yang kompleks yang unsur-unsurnya
sangat fungsional.
Karena masalah yang akan dibahas adalah struktur dan berbagai
fungsi unsurnya, teori yang dipergunakan dalam studi ini adalah
teori struktural. Selain itu, karena objek kajiannya adalah cerita
rakyat, teori yang diterapkan adalah teori struktural sebagaimana
dikembangkan oleh A.J. Greimas. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa A.J. Greimas adalah salah seorang strukturalis
yang semula mengembangkan teorinya melalui penelitian terhadap
cerita rakyat atau dongeng.
Perlu ditegaskan pula bahwa studi ini tidak dimaksudkan
sebagai kajian untuk mengembangkan teori, tetapi hanya kajian
yang mencoba menerapkan teori struktural Greimas terhadap teks
cerita rakyat Indonesia. Oleh karena itu, metode yang dipergunakan
dalam analisis adalah metode struktural dengan arah berpikir
deduktif. Artinya, konsep teori struktural dipergunakan sebagai
dasar telaah teks, bukan telaah teks dipergunakan untuk mengubah
atau mengembangkan konsep teori struktural. Berdasarkan prinsip
dalam strukturalisme, pijakan utama analisis tetap pada teks (karya)
itu sendiri. Sementara itu, hasil analisis strukturnya disajikan dengan
teknik deskriptif.
76 Judul / Penulis
Sesungguhnya yang pada awalnya mengembangkan teori
struktural berdasarkan penelitian atas dongeng adalah Vladimir
Propp seperti tampak dalam bukunya Morphology of the Folk Tale
(1958, 1968, 1975, edisi aslinya 1928 dalam bahasa Rusia) yang
kemudian diterjemahkan oleh Noriah Taslim menjadi Morfologi
Cerita Rakyat (1987). Dalam buku itu Propp menelaah struktur cerita
dengan mengandaikan bahwa struktur cerita analog dengan struktur
sintaksis yang memiliki konstruksi dasar subjek dan predikat.
Dijelaskan oleh Selden (1991:59) bahwa subjek dan predikat dalam
sebuah kalimat ternyata dapat menjadi inti sebuah episode atau
bahkan keseluruhan cerita. Atas dasar itulah Propp (1987:28--76)
menerapkannya ke dalam seratus dongeng Rusia, dan ia akhirnya
sampai pada kesimpulan bahwa seluruh korpus cerita dibangun atas
perangkat dasar yang sama, yaitu 31 fungsi (daftar fungsi lihat artikel
di depan). Setiap fungsi adalah satuan dasar “bahasa” naratif dan
menerangkan kepada tindakan yang bermakna yang membentuk
naratif. Tindakan ini mengikuti sebuah perturutan yang masuk akal,
dan dalam setiap dongeng fungsi-fungsi itu selalu dalam perturutan
yang tetap (Selden, 1991:59). Selain itu, Propp juga menjelaskan
bahwa fungsi-fungsi itu dapat disederhanakan dan dikelompok-
kelompokkan ke dalam tujuh “lingkaran tindakan” (spheres of action)
karena pada kenyataannya banyak fungsi yang dapat bergabung
secara logis ke dalam tindakan tertentu. Tujuh “lingkaran tindakan”
itu masing-masing (1) villain ‘penjahat’, (2) donor, provider ‘pemberi
bekal’, (3) helper ‘penolong’, (4) sought-for person and her father
‘putri atau orang yang dicari dan ayahnya’, (5) dispatcher ‘yang
memberangkatkan’, (6) hero ‘pahlawan’, dan (7) false hero ‘pahlawan
palsu’ (Hawkes, 1978:91; Scholes, 1977:104).
Selden (1991:61) menjelaskan bahwa melalui tulisannya
Semantique Structurale (1966), Greimas hanya menawarkan sebuah
penghalusan atas teori Propp seperti yang telah diuraikan di atas.
Judul / Penulis 77
Dijelaskan pula bahwa Greimas lebih strukturalis daripada Propp.
Apabila Propp hanya memusatkan perhatian pada satu jenis tunggal,
yakni kerangka cerita dongeng, Greimas lebih luas jangkauannya,
yakni sampai pada “tata bahasa” naratif yang universal dengan
menerapkan padanya analisis semantik atas struktur. Karena
Greimas lebih berpikir dalam term relasi antara kesatuan-kesatuan
daripada pelaku dengan satuan-satuan dalam dirinya sendiri, untuk
menjelaskan urutan naratifnya yang memungkinkan ia meringkas
31 fungsi yang diajukan Propp menjadi 20 fungsi. Fungsi-fungsi itu
ialah (1) absentation, (2) interdiction vs violation, (3) reconnaissance vs
information, (4) fraud vs complicity, (5) villainy vs lack, (6) mediation
vs begining counteraction, (7) departure, (8) the first function of the
donor vs the hero’s reaction, (9) receipt of a magical agent, (10) spatial
translocation, (11) struggle vs victory, (12) marking, (13) liquidated of
the lack, (14) return, (15) pursuit vs rescue , (16) unrecognised arrival,
(17) the difficult task vs solution, (18) recognition, (19) exposure vs
transfiguration, (20) punishmemt vs wedding (Schleifer, 1987:122).
Dua puluh fungsi itu dikelompokkan lagi ke dalam tiga syntagmes
(struktur), yaitu (1) syntagmes contractuels (contractual structures
‘berdasarkan perjanjian’), (2) syntagmes performanciel (disjunctive
structures ‘bersifat penyelenggaraan’), dan (3) syntagmes disjontionnels
(disjunctive structures ‘bersifat pemutusan’) (Hawkes, 1978:94;
Scholes, 1977:108). Sementara itu, sebagai ganti atas tujuh spheres
of action yang diajukan oleh Propp, Greimas menawarkan three
spheres of opposed yang meliputi enam actants (peran, pelaku), yaitu
(1) subject vs object ‘subjek-objek’, (2) sender vs receiver (destinateur
vs destinataire ‘pengirim-penerima’), dan (3) helper vs opponent
(adjuvant vs opposant ‘pembantu-penentang’) (Hawkes, 1978:91--93;
Culler, 1977:82; Scholes, 1977:105--106, Schleifer, 1987:96, 186).
Jika disusun ke dalam sebuah bagan, tiga oposisi yang terdiri
atas enam aktan itu tampak seperti berikut.
78 Judul / Penulis
Sender Object Receiver
Subject
Helper Opponent
Judul / Penulis 79
menurutnya, memiliki cara kerja yang tetap karena memang sebuah
cerita selalu bergerak dari situasi awal ke situasi akhir. Adapun operasi
fungsionalnya dibagi menjadi tiga tahap seperti tampak dalam bagan
berikut.
I II III
Transformasi
Situasi Tahap Tahap Tahap Situasi
Awal Kecakapan Utama Kegemilangan Akhir
80 Judul / Penulis
Sinopsis Cerita Danawa Sari Putri Raja Raksasa
Adalah seorang raja raksasa yang sakti bernama Danawa
Kembar. Ia memiliki seorang putri bernama Danawa Sari yang
juga sakti karena telah menguasai ilmu kesaktian yang diajarkan
oleh ayahandanya. Agar Danawa Sari lebih sakti lagi, oleh ayahnya
ia disuruh bertapa di dasar lautan. Oleh karena itu, berkat bantuan
rakyatnya, Danawa Sari kemudian dimasukkan ke dalam peti dan
selanjutnya peti dilemparkan ke dalam laut.
Sementara itu, ada seorang raja, bernama Panji Anom, yang
kebetulan belum mempunyai putra satu pun walaupun istrinya
sembilan orang. Itulah sebabnya, raja kemudian mengajak semua
istrinya pergi ke pantai Tanjung Menangis, dan mohon kepada
Dewata agar dikaruniai anak. Di pantai Tanjung Menangis, Raja
memilih tempat yang sunyi dan kemudian memancing. Namun,
telah sekian lama memancing, sang Raja tidak mendapatkan ikan
seekor pun. Ketika akan berhenti, sekonyong-konyong kailnya
tersangkut benda di dalam air, dan setelah diangkat ternyata sebuah
peti. Sang Raja sangat heran karena isi peti itu adalah seorang gadis
cantik yang bernama Danawa Sari. Ketika ditanya Danawa sari tidak
mengaku kalau mempunyai orang tua. Oleh karena itu, gadis tersebut
kemudian diambil sebagai istri oleh Raja Panji Anom.
Terkejutlah sembilan istri yang lain karena datang lagi seorang
wanita sebagai madunya. Karena itu, kemudian sembilan istri itu
beramai-ramai mandi di Tanjung Menangis dan berdoa agar mereka
bisa hamil. Selang beberapa hari kemudian, permohonan dan doa
mereka dikabulkan. Namun, setelah kandungan mereka genap tujuh
bulan Danawa Sari mengusulkan kepada Raja agar dibuatkan istana-
liang (istana bawah tanah). Istana itu dimaksudkan sebagai tempat
sembilan istri Raja yang sedang hamil. Setelah mereka masuk ke
Judul / Penulis 81
dalam liang itu, pintu lalu terkunci sehingga mereka tidak dapat
keluar.
Setelah masa kelahiran mereka datang, dengan kekuatan gaibnya
Danawa Sari masuk ke dalam liang menjumpai sembilan orang
madunya dan mencungkil mata mereka. Biji-biji mata itu kemudian
diambil dan dikirimkan Danawa Sari kepada ayahandanya Danawa
Kembar. Namun, karena keteledorannya, rupanya masih ada seorang
istri yang biji matanya hanya diambil sebelah. Itulah sebabnya, anak
yang dilahirkan oleh istri yang bermata satu tetap hidup, yang lain
mati. Setelah anak yang hidup itu menjadi besar, kemudian berusaha
keluar dari liang dan berusaha menghadap ayahandanya Raja Panji
Anom. Ternyata, ia berhasil keluar, dengan diantar oleh sang Patih ia
menghadap ayahnya.
Kedatangan anak itu membuat Danawa Sari terkejut,
yang kemudian merencanakan sesuatu dengan maksud untuk
melenyapkannya. Karena itu, Danawa Sari mengaku kepada Sang Raja
bahwa sesungguhnya ia adalah seorang putri Danawa Kembar, raja
yang sangat sakti. Diusulkannya agar anak tersebut pergi ke tempat
kakeknya untuk berguru ilmu kesaktian. Usul itu disetujui oleh Raja
Panji Anom. Menjelang keberangkatannya, anak itu dititipi surat
oleh ibu tirinya Danawa Sari, yang isinya berupa permintaan agar
anak tersebut dibinasakan. Bukanlah suatu kebetulan bahwa ketika
berangkat sang anak singgah dulu menjumpai sang Patih yang sedang
jaga. Oleh Patih, surat itu dibuka dan isi surat itu diganti bunyinya
agar cucunya diajari ilmu kesaktian. Di akhir surat itu dinyatakan
juga suatu permintaan agar jika kembali anak ini (cucunya) dititipi
biji-biji mata yang dulu pernah dikirimkan kepadanya (Raja Danawa
Kembar).
Alangkah senang Danawa Kembar ketika cucunya datang. Lalu
diajari berbagai ilmu kesaktian. Setelah cukup ilmunya anak itu (Putra
82 Judul / Penulis
Mahkota) pun bermaksud pulang untuk menjumpai ayahnya. Biji-biji
mata yang dipesankan lewat surat itu juga dibawa serta. Terkejutlah
sang ibu, Danawa sari, atas kedatangan Putra Mahkota. Namun,
kedatangan Putra Mahkota tidak membuat sang Raja gembira karena
ia justru membuat keributan. Sang Putra Mahkota menantang ibu
tirinya untuk berduel. Agar lebih leluasa untuk menghajar ibu tirinya,
sang Putra Mahkota kemudian meringkus ayahnya sendiri yang saat
itu membela istrinya. Lalu ia kembali bertarung mati-matian dengan
Danawa Sari. Akhirnya Putra Mahkota menang dan Danawa Sari
kalah. Tak berselang lama Danawa Sari tewas.
Setelah Danawa Sari tewas, barulah Putra Mahkota melepaskan
ayahandanya dan menjelaskan perkara sebenarnya. Berkat cerita itu
sang Raja menjadi sadar lalu minta maaf kepada putranya. Akhirnya,
setelah sembilan istri Raja itu bisa melihat seperti sedia kala, dan
ibu kandung Putra Mahkota diangkat menjadi permaisuri, Putra
Mahkota lalu diangkat menjadi raja karena selang beberapa waktu
kemudian ayahandanya wafat.
Judul / Penulis 83
1. Pola I: Danawa Sari sebagai Subjek (Pertama)
a) Bagan Aktan
Danawa Kesaktian
x
Kembar Danawa Sari
Danawa Sari
Kelicikan Danawa
Ilmu Gaib
Sari, Ki Patih, dan
Danawa Sari
Putra Mahkota
84 Judul / Penulis
dibunuh oleh Putra Mahkota (penentang). Oleh karena itu, Danawa
Sari berperan sebagai pahlawan palsu sehingga dalam struktur
fungsionalnya alur terhenti pada tahap utama.
b) Struktur Fungsional
Situasi awal: cerita dimulai dengan adanya keinginan raja
raksasa Danawa Kembar untuk menggembleng putrinya, Danawa
Sari, agar lebih sakti daripada dirinya. Itulah sebabnya, kemudian ia
menugasi (mengadakan perjanjian) putrinya untuk bertapa di dasar
lautan.
Transformasi: Tahap kecakapan: Danawa Sari sebagai pahlawan
mulai menunaikan tugasnya, yaitu di dalam peti terkunci ia bertapa
di dasar lautan. Berkat kesaktiannya ia tetap hidup dan bahkan dapat
berjumpa dengan Raja Panji Anom. Kepada Raja Panji Anom ia
mengaku bahwa dirinya tidak memiliki orang tua sehingga akhirnya
ia berhasil menjadi istri Raja Panji Anom. Tahap ini masih tetap
dijalaninya dengan mulus ketika Danawa Sari berhasil mengubur
sembilan istri Raja Panji Anom yang sedang hamil tua. Siasat ini
dilakukan dengan maksud agar sembilan orang istri dan calon putra
mahkota Raja Panji Anom tewas. Ketika salah seorang putra Panji
Anom masih hidup dan datang menghadap ayahandanya, Danawa
Sari masih berhasil pula membuat siasat baru, yakni mengirimkan
putra mahkota kepada Danawa Kembar agar dibunuh. Tahap utama:
berkat kejelian Ki Patih, yakni dengan cara mengubah surat tugas
pembunuhan, ketenangan Danawa Sari dimusnahkan oleh kedatangan
dan keselamatan Putra Mahkota. Akhirnya terbongkarlah kejahatan
Danawa Sari. Sebelum ia memperoleh kesaktian sebagaimana
diharapkan oleh Danawa Kembar ayahnya, Danawa Sari tewas akibat
kalah perang melawan anak tirinya (Putra Mahkota). Dalam pola
struktur ini Danawa Sari gagal menjadi penerima.
Judul / Penulis 85
2. Pola II: Panji Anom sebagai Subjek
a) Bagan Aktan
Keinginan
Putra Panji
memiliki
Mahkota Anom
anak
Panji
Anom
86 Judul / Penulis
b) Struktur Fungsional
Situasi awal: dalam pola struktur ini cerita dimulai dengan
munculnya keinginan Raja Panji Anom untuk mendapatkan putra
sebagai calon pengganti kedudukannya kelak. Keinginan ini timbul
sebagai akibat dari keadaan dirinya yang telah sekian lama tidak
memiliki anak meskipun sudah menikahi sembilan wanita. Itulah
sebabnya, kemudian ia mengadakan perjanjian dengan dirinya
sendiri dan menugasi dirinya untuk mencapai keinginannya. Tugas
atau upaya yang dilakukan Panji Anom ialah pergi ke tempat
keramat di pantai Tanjung Menangis dan berdoa kepada Dewata agar
permintaannya dikabulkan.
Trasformasi: Tahap kecakapan: cerita bergerak terus sampai
pada keberangkatan sang pahlawan. Panji Anom sebagai pahlawan
berangkat melaksanakan tugasnya, yakni ke pantai Tanjung Menangis
bersama sembilan orang istrinya. Keberangkatan mereka diiringi oleh
sekalian punggawa kerajaan beserta seluruh rakyatnya. Di pantai itu
Sang Raja dan seluruh punggawa dan rakyatnya mengadakan sesaji
yang disertai permohonan kepada Dewata. Selain itu, Sang Raja
juga memancing sambil memikirkan jalan terbaik apa yang harus
dilakukan. Tahap ini masih dilaluinya dengan lancar karena setelah
tahu bahwa hasil pancingannya itu bukan berupa ikan, melainkan
seorang gadis cantik bernama Danawa Sari, kemudian gadis itu
dikawininya. Berkat istri yang terakhir ini Panji Anom berharap
masih akan dapat memperoleh anak seperti yang diinginkannya.
Namun, ternyata yang kemudian hamil bukan istrinya yang terakhir,
melainkan justru sembilan istrinya yang lain. Oleh sebab itu,
bergembiralah sang Raja karena apa yang diinginkannya selama ini
akan segera terwujud. Tahap utama: sampai di sini ruang dan waktu
bergeser. Objek yang telah di depan mata Panji Anom, yaitu calon
putra mahkota, secara diam-diam berusaha dilenyapkan oleh istrinya
Judul / Penulis 87
yang kesepuluh (Danawa Sari). Namun, berkat kesaktian Putra
Mahkota, karena Putra Mahkota telah digembleng ilmu kesaktian oleh
kakeknya, Danawa Kembar, kejahatan Danawa Sari dapat dibongkar.
Karena itu, terjadilah perang antara Danawa Sari dan Putra Mahkota
yang diakhiri dengan kemenangan Putra Mahkota dan tewasnya
Danawa Sari. Semula Panji Anom murka melihat kejadian ini, tetapi
setelah tahu persoalan yang sebenarnya, ia sadar dan minta maaf
kepada putranya sendiri. Tahap kegemilangan: Danawa Sari tewas.
Putra Mahkota menjelaskan semua pokok persoalannya. Sembilan
istri yang dicungkil matanya pun dinormalkan kembali. Lalu istri
yang melahirkan Putra Mahkota diangkat menjadi permaisuri.
Dengan demikian, tercapailah cita-cita Raja Panji Anom untuk
mendapatkan anak (Putra Mahkota).
Situasi akhir: keadaan telah tenang kembali. Mereka hidup
rukun dan sejahtera. Setelah beberapa waktu kemudian, Putra
Mahkota diangkat menjadi raja karena ayahandanya wafat. Sampai
di sini cerita berakhir.
88 Judul / Penulis
3. Pola III: Danawa Sari sebagai Subjek (Kedua)
a. Bagan Aktan
Keinginan Kematian
membunuh Putra x
Putra Mahkota Mahkota
Danawa Sari
Judul / Penulis 89
yang bermata sebelah) dengan bantuan Ki Patih (mengubah surat
permintaan pembunuhan menjadi permintaan ilmu kesaktian). Oleh
karena Danawa Sari tewas, ia gagal menjadi penerima objek. Dengan
demikian, berhentilah alur cerita di sini.
b) Struktur Fungsional
Situasi awal: pola alur ini dimulai dari situasi Danawa Sari
sudah menjadi istri Raja Panji Anom. Oleh karena anak yang akan
menjadi putra mahkota bukan anaknya sendiri, melainkan anak tiri,
timbullah keinginan untuk membunuh calon putra mahkota itu.
Keinginannya itu dilakukan dengan cara menyusun siasat kejahatan,
yakni mengusulkan kepada suaminya, Raja Panji Anom, untuk
membuat istana-liang dengan alasan istana-liang itu sebagai tempat
para istri (madunya) yang sedang hamil agar mereka tenang dan
selamat. Usul tersebut ternyata dikabulkan oleh sang Raja dan siap
untuk dilaksankan.
Transformasi: Tahap kecakapan: cerita berlanjut sampai
pada pelaksanaan siasat itu. Siasat itu dilaksanakan dengan lancar.
Dibangunlah istana-liang dengan berbagai perabotnya. Setelah itu,
sembilan orang istri Raja Panji Anom dipersilakan masuk, kemudian
pintu dikunci dari luar. Dengan “dipenjarakannya” para istri itu
Danawa Sari berpikir bahwa usahanya akan berhasil. Apalagi, mata
para istri yang lain pun telah dicopot dari sarangnya. Tahap kecakapan
ini masih terus berlanjut karena Danawa Sari berhasil membuat siasat
baru ketika usahanya yang pertama gagal. Usaha atau siasat pertama
gagal karena ternyata masih ada seorang anak yang hidup, yaitu anak
dari seorang istri yang matanya hanya diambil satu. Oleh karena itu,
Danawa Sari mengusulkan lagi kepada suaminya, agar anak (Putra
Mahkota) yang menjelang dewasa itu dikirimkan kepada kakeknya
untuk berguru ilmu kesaktian. Padahal, usul itu hanyalah siasat jahat
90 Judul / Penulis
karena Danawa Sari, lewat surat yang disertakannya, berkeinginan
untuk membunuh anak itu lewat ayahnya yang memang suka makan
daging manusia. Berkat usulnya yang meyakinkan, juga karena
cinta sang Raja kepada Danawa Sari begitu besar, usul tersebut
langsung disetujuinya. Oleh karena itu, Danawa Sari merasa senang
karena usahanya untuk membunuh Putra Mahkota hampir berhasil.
Tahap utama: Ketenangan Danawa Sari tiba-tiba dibuyarkan oleh
kedatangan Putra Mahkota. Putra Mahkota yang diharapkan sudah
mati, ternyata masih hidup. Bahkan, Putra Mahkota menantang ibu
tirinya untuk berduel. Putra Mahkota hanya memiliki satu tujuan,
yaitu ingin segera melenyapkan ibu tirinya yang jahat. Karena itu,
ia tidak menghiraukan nasihat ayahnya. Lalu terjadilah pertarungan
yang sangat seru karena mereka sama-sama memiliki kesaktian, yang
diakhiri dengan kematian Danawa Sari. Dengan demikian, dalam
pola struktur ini, alur cerita terhenti karena subjek (Danawa Sari)
telah tewas sebelum berhasil mendapatkan objek (kematian Putra
Mahkota). Dalam pola struktur ini juga tidak ada penerima.
Judul / Penulis 91
4. Pola IV: Putra Mahkota sebagai Subjek
a. Bagan Aktan
Kesaksian
Putra
Danawa Sari Putra
Mahkota
Mahkota
Putra
Mahkota
92 Judul / Penulis
b) Struktur Fungsional
Situasi awal: dalam pola struktur ini cerita dimulai dari situasi
ketika Danawa Sari gagal membunuh sembilan orang madunya yang
sedang hamil tua. Dari sembilan orang madu itu masih ada satu
orang yang matanya hanya dicungkil sebelah sehingga anak yang
dilahirkannya selamat. Setelah agak dewasa, sang anak datang kepada
ayahandanya, dan hal ini mengejutkan Danawa Sari. Itulah sebabnya,
dengan maksud melenyapkannya, Danawa Sari membuat siasat baru,
yakni berpura-pura mengirimkan anak itu kepada kakeknya agar
mendapat ilmu kesaktian. Dengan demikian, Danawa Sari kemudian
mengusulkan kepada Raja Panji Anom agar Putra Mahkota segera
berangkat melaksanakan tugasnya.
Transformasi: Tahap kecakapan: berkat usulan sang ibu tiri dan
perintah sang ayah tidak lama kemudian Putra Mahkota berangkat.
Putra Mahkota diberi surat oleh Danawa Sari agar diserahkan
kepada kakeknya. Isi surat itu ialah agar Putra Mahkota dibunuh.
Untunglah bagi Putra Mahkota, sebelum ia melakukan perjalanan
jauh dan menyerahkan surat itu, surat tersebut dibuka oleh Ki Patih.
Ki Patih terkejut membaca isi surat itu. Lalu timbullah niat Ki Patih
untuk mengubah isi surat itu. Surat yang semula berisi permohonan
pembunuhan, diganti dengan permohonan ilmu kesaktian. Oleh
sebab itu, selamatlah Putra Mahkota dari usaha pembunuhan; dan
yang diperolehnya justru ilmu kesaktian. Tahap utama: setelah cukup
waktunya, dan Putra Mahkota telah menguasai semua ilmu yang
diajarkan Danawa Kembar, ia kemudian berkehendak pulang untuk
menjumpai ayahnya di kerajaan. Alasan yang dikemukakannya
kepada kakeknya ialah karena merasa rindu kepada orang tua.
Namun, alasan sebenarnya ialah ingin membuat perhitungan
dengan ibu tirinya yang sangat jahat. Itulah sebabnya, sesampainya
di kerajaan, Putra Mahkota langsung menantang sang ibu, dengan
Judul / Penulis 93
mengatakan bahwa “siapa yang berbuat lalim akan mendapat
hukuman setimpal”. Lalu bertempurlah Putra Mahkota melawan
Danawa Sari. Akhirnya, Putra Mahkota menang dan Danawa
Sari tewas. Tahap kegemilangan: dalam tahap ini pahlawan (Putra
Mahkota) membuka tabir kejahatan Danawa Sari. Oleh karena itu,
Sang Raja yang semula murka akhirnya sadar dan minta maaf kepada
Putra Mahkota. Dengan kesadaran sang Raja itulah kemudian Putra
Mahkota mencapai puncak kegemilangannya, yaitu selain menjadi
orang sakti ia dan ibu kandungnya diangkat derajatnya. Sang ibu
diangkat menjadi permaisuri dan ia sendiri kemudian menggantikan
ayahandanya menjadi raja.
Situasi akhir: penjahat (Danawa Sari) telah tewas dan
kebahagiaan keluarga kerajaan telah tercapai. Dengan ketenangan
situasi kerajaan berakhirlah sudah cerita tersebut.
Simpulan
Dari keseluruhan uraian di atas, akhirnya dapat ditarik suatu
simpulan seperti berikut. Berdasarkan analisis struktur aktan
sekaligus model fungsionalnya dapat dikatakan bahwa alur cerita
Danawa Sari Putri Raja Raksasa (1963) sangat kompleks karena di
dalamnya ditemukan empat pola struktur yang setiap fungsi unsurnya
dapat dirunut secara terpisah. Akan tetapi, kendati terdapat empat
pola struktur, yang menjadi kerangka (alur) utama cerita adalah
pola struktur II, sedangkan tiga pola lainnya hanya merupakan alur
sampingan.
Apabila diteliti lebih detail lagi, sebenarnya masih ada
kemungkinan hadir pola struktur yang lain, misalnya dengan
menempatkan tokoh Ki Patih atau Sembilan Istri pada posisi subjek.
Akan tetapi, karena kehadiran tokoh ini tidak menonjol, dalam arti
ia tidak sering muncul, posisinya pun terlalu lemah sehingga dalam
94 Judul / Penulis
pola strukturnya tidak banyak yang dapat diceritakan atau dirunut
perannya dalam kaitannya dengan tokoh lain.
Dari analisis di atas dapat disimpulkan pula bahwa cerita rakyat
dari Lombok ini bertema moral, yakni siapa yang berbuat jahat akan
mendapat hukuman yang setimpal dan siapa yang berbuat kebaikan
akan memperoleh kebaikan pula. Tema kebaikan terjelma melalui
pola struktur II dan IV dengan bukti bahwa subjek berhasil menjadi
penerima; sedangkan tema kejahatan terjelma melalui pola I dan II
dengan bukti bahwa subjek tidak berhasil menjadi penerima.
Satu hal lagi yang dapat disimpulkan ialah bahwa ternyata
alur cerita rakyat dari Lombok ini tidak sama persis seperti yang
dinyatakan dalam teori. Tidak semua tahap terpenuhi dengan
cermat. Artinya, banyak tokoh yang tidak seratus persen berperan
dalam satu fungsi. Namun, hal itulah yang sebenarnya menjadi
bukti bahwa konflik tokoh terasa menonjol karena mereka berperan
ganda. Atau, barangkali hal ini menjadi bukti jika cerita-cerita
rakyat di Indonesia memiliki ciri khas yang berbeda dengan cerita
rakyat Barat. Jika memang demikian, perlulah mulai sekarang kita
menggalakkan penelitian-penelitian sejenis yang lebih representatif
dan menyeluruh.
Catatan
Perlu diketahui bahwa analisis yang dilakukan ini barulah
sampai pada struktur aktan dan berbagai fungsi unsurnya. Hal
itu berarti bahwa ini baru sampai pada tahap analisis sintagmatik
(sintaksis cerita). Padahal, dalam teorinya Greimas menyarankan
bahwa analisis cerita tidak hanya sampai pada unsur-unsur yang
berfungsi dalam sintaksis (struktur dalam, aktan) saja, tetapi juga
sampai pada para pelakunya (struktur luar). Oleh karena itu, studi
semacam ini seharusnya dilanjutkan dengan analisis tokoh.
Judul / Penulis 95
Ada beberapa hal yang dapat dijadikan pegangan dalam analisis
tokoh (Bachmid, 1985), yaitu antara lain (1) tokoh sebagai leksem
yang merupakan unsur dari keseluruhan teks, keseluruhan satuan-
satuan paradigmatik yang memungkinkan adanya berbagai kiasan
(metafora, metonimi, dan sebagainya); (2) tokoh sebagai pengujar
yang membentuk situasi pengujaran, dan ini dapat dianalisis menurut
hubungan antartokohnya dengan memanfaatkan ragam fungsi
bahasa model Jakobson; dan (3) ciri-ciri pembeda tokoh (tanda-
tanda semantik) yang dapat dihimpun dan dipergunakan sebagai alat
untuk mengetahui tokoh mana yang lebih fungsional dalam struktur
cerita.
96 Judul / Penulis
Novel Sang Guru
Karya Gerson Poyk
Studi Struktural Menurut Tzvetan Todorov
Judul / Penulis 97
karya-karyanya perlu dilakukan. Ini bukan saja penting bagi
upaya pemahaman atau apresiasi terhadap karya-karyanya,
melainkan juga penting bagi upaya untuk memperkaya studi
sastra sekaligus studi sejarah sastra Indonesia modern.
Di dalam studi ini tidak seluruh karya Gerson akan dikaji,
tetapi hanya sebuah novelnya Sang Guru. Pilihan objek jatuh pada
novel ini karena menurut pembacaan awal saya karya ini memiliki
ciri yang khas, yaitu alurnya begitu rumit, tokohnya demikian ideal,
dan latar ceritanya bersifat lokal (daerah). Oleh sebab itu, sekadar
untuk memahami makna pemikiran tokoh yang berada di dalam
lingkungan sosial budaya lokal (Ternate) dan sekaligus membuktikan
apakah kerumitan alur itu akan berpengaruh terhadap pemikiran
tokoh-tokohnya, novel ini akan dicoba untuk dibahas secara agak
lebih mendalam.
Beberapa studi mengenai novel Sang Guru sudah pernah
dilakukan, antara lain oleh Jakob Sumardjo dalam bukunya Novel
Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik (1982) dan Pengantar Novel
Indonesia (1983). Akan tetapi, dalam studi itu Jakob Sumardjo belum
membahas secara lebih mendalam dan cenderung hanya memberi
komentar singkat. Dalam komentarnya Jakob Sumardjo antara lain
menyatakan bahwa novel Sang Guru sangat menarik, dan dari segi
tertentu novel tersebut disejajarkan dengan novel karya Beb Vujk
yang berjudul Rumah Terakhir di Dunia. Katanya, kedua novel ini
sama-sama bagus dalam usaha mengangkat warna daerah, hanya
bedanya, Beb Vujk mengangkat kehidupan daerah Pulau Buru,
sedangkan Gerson Poyk mengangkat kehidupan daerah Ternate.
Berkat kepandaian bercerita, Gerson oleh Jakob Sumardjo dikatakan
sebagai pengarang yang cukup terbuka dalam memecahkan
problematik tokoh-tokohnya. Namun, berbagai pandangan Jakob
Sumardjo itu belum mampu meyakinkan kita karena belum ada
98 Judul / Penulis
bukti-bukti secara eksplisit. Oleh karena itu, melalui studi ini akan
dicoba untuk dibuktikan apakah Sang Guru memang menarik.
Telah disebutkan bahwa novel Sang Guru beralur rumit,
bertokoh ideal, dan berlatar lokal. Oleh karena itu, masalah yang akan
dibahas di dalam studi ini ialah bagaimanakah kerumitan alurnya,
seperti apa tokoh idealnya, dan bagaimana pula jalan pikiran serta
gagasannya ketika ia harus berhadapan dengan situasi sosial daerah
tertentu. Namun, karena jalan pikiran tokoh dalam sebuah fiksi akan
lebih mudah ditangkap jika dipahami lewat penyajian verbal (bahasa),
tidak bisa tidak penyajian aspek verbal juga menjadi masalah yang
dikaji dalam rangka totalitas struktur sastra (fiksi) sebagai fakta sosial
kemanusiaan.
Judul / Penulis 99
kalimat-kalimat konkret yang mengungkapkannya. Oleh karena itu,
koherensi struktur itu ditentukan pula oleh hadirnya aspek verbal
sistem sastra (fiksi).
Secara ringkas Todorov (1985:12—13) menjelaskan bahwa
dalam pemahaman karya sastra ada tiga jalur yang harus ditempuh,
yaitu melalui pembahasan (1) aspek sintaksis, (2) aspek semantik,
dan (3) aspek verbal. Aspek pertama untuk meneliti urutan peristiwa
secara kronologis dan logis khusus di dalam alur; aspek kedua
untuk meneliti tema, tokoh, dan latar, ini sudah berkaitan dengan
penafsiran makna atas lambang (verbal, bahasa); dan aspek ketiga
untuk meneliti sarana atau alat-alat pengungkapannya seperti sudut
pandang, gaya, atau pengujaran. Akan tetapi, di dalam kajian ini
tidak semua aspek atau unsur tersebut dibahas, tetapi hanya dibatasi
pada unsur yang dominan meskipun dalam pembahasan itu unsur
lain tetap disertakan. Jadi, pembahasan hanya difokuskan pada alur,
tokoh, dan modus (jarak pandang).
Secara metodologis kajian ini menggunakan metode
deduksi, dalam arti analisis berangkat dari batasan-batasan umum
(teori struktural Todorov) baru kemudian masuk ke dalam teks
(novel); sementara itu, dalam pemahaman maknanya kajian ini
menggunakan metode induksi. Data-data pendukung keseluruhan
makna dikonklusikan dari teks secara objektif, baru kemudian
ditarik generalisasi dan simpulannya. Lebih jelasnya, dalam studi
ini digunakan metode dialektif-objektif. Sementara itu, dalam hal
cara pengumpulan dan klasifikasi data dilakukan dengan model
atau teknik pembacaan aktif dan retroaktif yang hasilnya dicatat dan
dideskripsikan.
Simpulan
Dari keseluruhan analisis di atas, akhirnya dapat disimpulkan
beberapa hal berikut. Secara sintaksis novel Sang Guru terkesan
begitu rumit; dan ini disebabkan oleh kehadiran tokoh antagonis
yang bertubi-tubi tetapi tersamar. Namun, setelah dideskripsikan
Kerangka Pendekatan
Sepanjang sejarahnya, upaya interpretasi sastra secara ekspresif
sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke-3 SM ketika Longinus
mengajukan konsep The Sublime, yaitu memberikan keluhuran atau
keunggulan kepada diri penyair (Abrams, 1979:22). Menurutnya,
Pembahasan/Analisis
1. Lima Sistem Kode
Dalam memahami makna teks sastra, Barthes pertama-
tama membedah teks baris demi baris. Baris demi baris itu
dikonkretisasikan menjadi satuan-satuan makna tersendiri. Setelah
satuan-satuan makna itu diperoleh, Barthes kemudian mencoba
mengklasifikasikan dan merangkum ke dalam lima sistem kode yang
memperhatikan setiap aspek signifikan. Kode-kode itu mencakupi
aspek sintagmatik dan semantik.
Khusus di dalam analisis ini, teks cerpen tidak akan dibedah
baris demi baris, tetapi akan langsung dipusatkan pada lima sistem
kode. Langkah ini diambil bukan berarti mengesampingkan
prosedur pemaknaan sastra secara struktural (semiotik) seperti
yang disarankan oleh Barthes. Alasannya ialah dalam menentukan
totalitas makna teks sastra, Barthes lebih memusatkan perhatian pada
“Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum
berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca
“Tentu saja Sandra selalu ingat apa yang tertulis dalam pager
ibunya. Setiap kali pager itu berbunyi, kalau sedang merias diri di
muka cermin, wanita itu selalu meminta Sandra memencet tombol
dan membacakannya.
Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomer
kamar, dan sebuah jam pertemuan, ibunya akan pulang terlambat.
Kadang-kadang malah tidak pulang ....” (hlm.14).
Narrative Text
Simpulan
Pendekatan struktural (semiotik) Roland Barthes saya kira
cukup dapat dipergunakan untuk menangkap makna cerita dari
berbagai aspek. Akan tetapi, bagaimanapun juga, pendekatan itu
masih belum sempurna. Kendati keseluruhan (banyak) aspek
dapat ditangkap, makna keutuhan atau totalitasnya tetap belum
dapat ditangkap. Hal itu disebabkan oleh penafsiran kode-kodenya
didasarkan pada aspek yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, dalam
LIMA belas menit telah berlalu. Sandra tak mengerti apa yang
harus dibayangkannya tentang sebuah keluarga yang bahagia.
“Mama, apakah Sandra punya Papa?”
“Tentu saja punya anak setan! Tapi tidak jelas siapa! Dan
kalaupun jelas siapa, belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas?
Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik kucing dengan
Papa!”
Apakah Sandra harus berterus terang? Tidak, ia harus
mengarang. Namun ia tidak punya gambaran tentang sesuatu yang
pantas ditulisnya.
Dua puluh menit telah berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir
di depan kelas. Sandra mencoba berpikir tentang sesuatu yang mirip
dengan Liburan ke Rumah Nenek dan yang masuk dalam benaknya
adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan di muka
cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias
dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat
tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi
itu sangat memabukkan Sandra.
Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomer
kamar, dan sebuah jam pertemuan, ibunya akan pulang terlambat.
Kadang-kadang malah tidak pulang sampai dua atau tiga hari. Kalau
sudah begitu Sandra akan merasa sangat merindukan wanita itu, tapi,
bagitulah, ia sudah belajar untuk tidak pernah mengungkapkannya.
1
Dalam konteks ini mitos saya anggap sebagai salah satu genre sastra, tidak
memandang apakah itu tradisional atau modern.
2
Cerita rakyat dan dongeng, dalam pembicaraan ini, saya anggap sebagai mitos.
3
Disusun oleh Tim Penyusun Naskah Cerita Rakyat Daerah Jawa Tengah; diter-
bitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Depdikbud;
tidak berangka tahun.
4
Istilah-istilah ini dipinjam dari P.M. Laksono (1985:29--30).
(3) Konon, sambil berurai air mata, Dewi Sri berjalan terus. Tak
sedikit pun merasa takut walaupun di sekelilingnya hutan belantara.
Setelah sekian lama, sampailah Dewi Sri di desa Medangwangi. Di
desa ini ia berjumpa dengan Ki Buyut Bawada dan istrinya Ken Patani.
Sampai di rumah Ken Patani, Dewi Sri duduk dekat pedaringan (tempat
menyimpan beras). Kemudian berkata, “Wahai Patani, selama dalam
perjalanan tak pernah aku merasa lapar. Baru kali inilah seleraku
ingin makan. Padahal aku telah bersumpah, bahwa tak akan makan
sebelum dapat bertemu dengan adikku Sadana.” Lalu, Ken Patani
memasak, dan sebentar kemudian Dewi Sri menikmati masakan Ken
Patani. Selesai makan Dewi Sri melanjutkan perjalanan. Tiba di desa
Kalimarka, ia berjumpa dengan Buyut Radhima dan Umbul Manggala.
Lalu perjalanan sampai di desa Boga, dan Dewi Sri bertemu dengan
Buyut Warahas dengan istrinya Ken Pitengan. Kepada Ken Pitengan
Dewi Sri sempat memberi petuah agar padi di lumbung terhindar dari
hama. Tak lama kemudian Dewi Sri berjalan lagi, dan beberapa desa
dilaluinya: Medangwantu, Karanglengki, dan Medanggowong. Dan ia
berjumpa pula dengan Buyut Muksala, Buyut Wangkeng, dan Buyut
Sondong.
Skema 1
(8) Saat itu, pada malam hari, tiba-tiba saja Dewi Sri berubah
menjadi ular sawah, dan Raden Sadana berubah menjadi burung
sriti. Tampak oleh mereka bahwa pedukuhan yang ia bangun seperti
hutan belantara, sementara orang-orang di sana seperti hewan-hewan
belaka. Lalu kedua putra raja yang telah jadi hewan itu masing-masing
meninggalkan pedukuhan dan pergi entah ke mana. Kejadian tersebut
Skema 2
Skema 3
Skema 4
transenden imanen
III II
inkarnasi nafsu
eksistensial
5
Masalah slametan ini secara panjang lebar telah dibahas oleh Geertz (1989).
Geertz melihat bahwa slametan merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh kalangan
abangan. Sebenarnya, dalam realitasnya slametan tidak hanya dilakukan oleh kaum
abangan, tetapi juga --sadar atau tidak-- oleh santri, kecuali mungkin Muhammadiyah.
Simpulan
Dari seluruh paparan yang telah dikemukakan dapat diambil
beberapa simpulan sebagai berikut. Secara struktural, dapat
dinyatakan bahwa struktur mitos Dewi Sri memiliki hubungan
analogis dengan struktur berpikir masyarakat pendukungnya, yaitu
masyarakat Surakarta khususnya dan masyarakat Jawa umumnya.
Kendati konsep hidup masyarakat Jawa tidak dapat diamati dengan
mata kepala, konsep tersebut dapat dirasakan dalam kehidupan
sehari-hari. Sementara itu, melalui penelusuran terhadap arahnya,
konsep hidup masyarakat Jawa bersifat melingkar yang berpusat
pada satu titik, yaitu pada sangkan paraning dumadi, suwung awang-
uwung.
Di samping itu, dapat dinyatakan pula bahwa mitos Dewi Sri
merupakan salah satu wujud aktualisasi pikiran masyarakat Jawa
untuk menjelaskan dan bahkan membenarkan tindakan-tindakan
mereka. Sebagai upaya untuk mengesahkan tingkah-laku, perbuatan,
dan kebiasan-kebiasaannya, mereka (masyarakat Jawa) menuangkan
pikiran-pikiran dan konsep hidupnya ke dalam bidang simbolik,
yaitu berupa tradisi lisan, dongeng, cerita rakyat, atau mitos. Dan
mitos Dewi Sri inilah salah satu buktinya.
1
Yang dimaksud “suara” (voice) ialah “sudut pandang terhadap dunia” (Bakhtin,
1973:27), dan yang dimaksud “dialogis” (dialogical) ialah “hubungan yang tidak saling
melemahkan (suara, tuturan) lain”, atau menurut Bakhtin (Todorov, 1984:60--61, Faruk
1994:134), hubungan dialogis merupakan tipe khusus dari hubungan semantik yang
bagian-bagiannya dibentuk oleh keseluruhan tuturan yang di balik tuturan itu berdiri
subjek-subjek aktual atau potensial, para pencipta tuturan yang bersangkutan.
Dialog Antartokoh
Setidaknya terdapat empat tokoh yang signifikan di dalam
teks Olenka. Dari empat tokoh tersebut dapat dilihat adanya empat
hubungan, yakni hubungan antara Fanton Drummond dan Olenka,
Fanton Drummond dan Wayne Danton, Olenka dan Wayne Danton,
dan Fanton Drummond dan M.C. (Mary Carson). Di samping itu, dari
mereka pada hakikatnya juga dapat dilihat adanya empat dunia atau
kehidupan yang digambarkan, yaitu kehidupan Fanton, kehidupan
Olenka, kehidupan Wayne, dan kehidupan M.C. Masing-masing
kehidupan itu tidak lain merupakan suatu rangkuman, gambaran,
Posisi Pengarang
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam Olenka suara
pengarang dapat didengar baik di dalam maupun di luar teks. Di
dalam teks, suara pengarang terdengar ketika menjadi provokator
(anakrisis) yang mendorong terciptanya perpindahan nada atau
peralihan peristiwa (modulasi), di samping terdengar pula di bagian-
bagian tertentu yang mengharuskan pembaca membuka bagian
catatan (bagian VII, hlm. 225--232). Sementara itu, di luar teks,
suara pengarang dapat diidentifikasi dan didengar melalui beberapa
keterangan yang ditulis di bawah gambar, berita, atau iklan yang
diambil dari koran dan majalah yang ditampilkan di halaman 25, 41,
43, 58, 63, 125, 151, 190, dan 209.
Berdasarkan kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa di dalam
Olenka pengarang menduduki posisi ganda. Di saat tertentu ia berada
di dalam dan berhubungan dengan tokoh-tokoh, tetapi di saat lain
ia berdiri di luar dan bersama-sama dengan pembaca menyaksikan
tokoh-tokoh. Ketika berada di dalam dan berhubungan dengan
tokoh, pengarang kadang-kadang menjaga jarak dengan tokoh, tetapi
kadang-kadang juga menyatu dengan tokoh. Dalam hubungannya
dengan kehadiran tiga anak jembel, misalnya, pengarang tidak
menjaga jarak, tidak memperluas sudut pandangnya, dan tidak
Catatan ini sebagian besar berupa keterangan sumber rujukan yang diambil dari karya-
karya sastra (novel, cerpen, puisi), surat kabar, majalah, buku teks, mitos, kitab suci, dan
sebagainya. Melalui catatan ini pengarang berusaha memberikan penjelasan tentang apa
saja yang tidak diketahui oleh pembaca, bahkan tidak diketahui pula oleh tokoh-tokoh.
4
Diyakini pula bahwa seluruh gambar, berita, atau iklan yang ditampilkan di
halaman 25, 41, 43, 58, 63, 125, 151, 190, dan 209 itu baru disertakan ke dalam novel
menjelang novel itu diterbitkan, sama seperti esai yang berjudul “Asal-Usul Olenka”.
Indikasinya ialah ada salah satu gambar --seperti yang dikutip di atas-- yang diambil dari
sebuah koran (Surabaya Post) yang terbit pada tanggal 29 Juli 1982; padahal Olenka telah
selesai ditulis pada akhir tahun 1979 dan telah memenangkan lomba pada tahun 1980.
Ringkasan Cerita
Di Tanah Abang, Jakarta Raya, terdapatlah sebuah keluarga
yang kaya raya. Penghuninya, T. Syaifuddin dan Mariam serta
anaknya bernama Amiruddin. Saat itu Amir berusia 20 tahun. T.
Syaifuddin adalah bekas pejuang Aceh dua puluh tahun yang lalu
yang diasingkan ke Jawa (Betawi). Dalam pengasingan ia memperoleh
biaya hidup dari pemerintah Belanda. Karena saat ini hidup di kota
Metropolitan, jelas bahwa Amir berpergaulan bebas. Amir mencintai
seorang gadis bernama Ramayati yang beragama Kristen, dan hampir
setiap malam begadang ke tempat-tempat ramai, seperti disko, bar,
dan sejenisnya. Akibat pergaulan ala Eropa Amir yang berasal dari
Pembahasan/Analisis
Dapat dikatakan bahwa roman ini sarat dengan “makna”. Di
dalam roman ini penuh dengan saran, nasihat, anjuran, atau tegasnya
penuh dengan nilai-nilai yang bersifat membina atau mendidik. Nilai-
nilai itulah, jika dipandang dari sisi pragmatis, yang bermanfaat bagi
kita (pembaca). Apabila ditelusuri secara lebih rinci, roman karya
pengarang Aceh yang pernah menjabat sebagai guru, wartawan,
Kepala Jawatan di Departemen Sosial, Dekan Fakultas Dakwah IAIN
Jami’ah Ar-raniri Darussalam, dan pernah jadi Gubernur Kepala
Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh ini memuat berbagai aspek
pragmatik. Berbagai aspek pragmatik itu antara lain sebagai berikut.
2. Keterbukaan Islam
Memang benar apa yang diharapkan oleh orang tua Amir.
Ketika sampai di Sumatra, oleh Yusuf, pemuda kenal-annya ketika
di kapal, Amir diajak ke berbagai pertemuan dan perkumpulan
yang membahas bermacam persoalan keagamaan Islam. Di sinilah
Amir menyadari bahwa ternyata dugaannya semula bahwa pelajar
Islam itu hanya tahu soal Islam, tetapi tidak mengerti ilmu modern,
tidak benar. Bahkan ia kagum karena dalam kenyataannya pemuda-
pemuda Islam mampu berbicara masalah ekonomi, politik, dan
sebagainya. Karena itu, Amir dalam kekagumannya bergumam
seperti di bawah ini.
“Dan kita harus ingat”, kata Amir, “bahwa bila budi dan batin
telah tercemar segala apa tiada berguna lagi. Lihat, saudara, orang
yang hidup di abad teknik, yang mengagung-agungkan teknik, sedang
soal batin dan jiwa dibiarkan ternoda, apakah yang telah dialaminya?
Bukankah mereka itu yang lebih dulu digiling roda angkara murka?
Kehancuran dunia dewasa ini, adalah akibat dari kemajuan teknik
yang telah demikian tingginya, sehingga orang melupakan yang lain-
lain; lupa akan dirinya sebagai manusia yang sepatutnya memakai sifat
kemanusiaan. Kita sekarang telah menjadi budak teknik, sehingga
untuk memuja-muja teknik mau kita menjualkan kehormatan dan
kemuliaan batin kita; mau kita meleburkan ketinggian roh kita.
Ingat, Saudara, bahwa teknik yang bukan terkendali peribudi yang
tinggi akan menjadi racun dunia, yang akan mematikan segala bibit
kemanusiaan dan kesopanan....” (hal. 94).
“... kitab Injil yang asli, yang belum dirobah oleh tangan manusia,
mengakui kedatangan seorang Nabi lagi sesudah Isa a.s., sebagai Nabi
penutup ... bukan saja dalam Injil, tetapi dalam kitab-kitab suci yang
lain juga ada dinyatakan tentang kedatangan Muhammad s.a.w.,
datang sebagai nabi yang akhir.” (hal. 117).
“Amirruddin!
Saya sekarang telah tiba di persimpangan jalan.... Akh, alangkah
baik kalau engkau datang menunjuki saya, jalan mana yang akan saya
tempuh. Demikianlah penderitaan dan peperangan yang bercabul
dalam hati saya.” (hal. 128).
Simpulan
Dari seluruh uraian di atas, akhirnya dapat disimpulkan
beberapa hal berikut. Pertama, sebagai roman yang bernafaskan Islam,
Suara Azan dan Lonceng Gereja merupakan roman “propaganda”,
yaitu propaganda agama (Islam). Kedua, kendati di dalam roman ini
disajikan suatu kontroversi antara dua agama, dapat dipastikan bahwa
roman ini tidak mengandung unsur “sara”. Makna atau amanat yang
muncul justru terwujud dalam suatu anjuran agar siapa pun yang
menganut dan mempercayai suatu agama tertentu harus benar-benar
meyakini dan mendalami agamanya. Ketiga, sebagai roman religius
yang sarat makna, setidak-tidaknya roman ini mengungkapkan nilai
yang bermanfaat bagi pembaca.
Dengan ditampilkannya berbagai peristiwa, pernyataan, dan
ungkapan yang berkaitan dengan (1) buruknya pergaulan bebas,
(2) keterbukaan Islam, (3) perpisahan yang membahagiakan, (4)
keseimbangan antara teknik dan budi, dan (5) kebenaran agama Islam,
semua ini dimaksudkan sebagai sarana pengajaran, pembinaan, dan
pengembangan pribadi manusia (pembaca). Dengan berbagai nilai
sebagaimana disarankan oleh teksnya (karya sastra) diharapkan kita
atau pembaca dapat lebih memahami hidup ini secara lebih baik,
lebih manusiawi, dan lebih bermakna. Demikian makna pragmatik
atau ekstra-estetik roman karya A. Hasjmy yang berjudul Suara Azan
dan Lonceng Gereja, walaupun dari sisi estetika sastranya, roman
ini tidak begitu menarik karena berbagai unsur struktur formalnya
sangat sederhana dan konvensional.
1949
DERAI-DERAI CEMARA
1949
DOA
Kepada Pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 Nopember 1943
Simpulan
Dari seluruh paparan di atas akhirnya, sekali lagi, dapat
dinyatakan bahwa Olenka ditulis antara lain untuk merespon atau
menanggapi “pemikiran” Chairil Anwar dan Sartre. Dalam hal
ini, sajak-sajak Chairil Anwar dan konsep filsafat Sartre menjadi
hipogram bagi Olenka. Sebagai teks atau karya transformatif, Olenka
tidak sekadar meniru, meneruskan, atau menegaskan, tetapi juga
menyangkal beberapa pemikiran yang ada di dalam sajak-sajak
Chairil dan pemikiran Sartre. Demikianlah apa yang dapat ditangkap
dan dinikmati ketika membaca Olenka. Tanpa membaca dan
menghubungkannya dengan Chairil Anwar dan Sartre, barangkali
dari Olenka kita tidak akan menangkap dan memperoleh kenikmatan
seperti yang kita rasakan sekarang ini.
Pembahasan/Analisis
Danarto, dalam karya-karya cerpennya, tampaknya memiliki
gaya yang khas dalam memanipulasi atau memanfaatkan sarana
bahasa sebagai media ekspresinya. Pilihan kata (diksi, pilihan leksikal),
kelompok kata (frase), dan kalimat-kalimatnya terasa sangat sesuai
dengan “tema-tema besar” yang dikemukakannya. Atau sebaliknya,
gagasan-gagasan yang ditampilkan Danarto terasa lebih eksplisit
karena didukung oleh penggunaan bahasa yang tepat (tepat artinya
tidak harus benar). Karena itu, sarana bahasa yang dimanfaatkannya
sering memiliki implikasi yang besar terhadap gambarannya tentang
peristiwa, tokoh, latar, dan sarana-sarana sastra lainnya.
Ketika membaca cerpen “Dinding Waktu”, segera terasa bahwa
pembaca dihadapkan pada suatu “dunia” yang aneh, “dunia” yang
ganjil. Keanehan dan keganjilan itu tidak hanya dijumpai pada saat
membaca judul yang terdiri atas dua kata (dinding dan waktu) yang
secara gramatik dan semantik menyimpang dari konvensi, tetapi
juga sampai pada kalimat-kalimat terakhir cerpen. Menurut kaidah
bahasa yang lazim, kata dinding dan waktu tidak pernah dapat
disatukan karena yang pertama bersifat konkret (sesuatu yang dapat
ditentukan batasnya) dan yang kedua bersifat abstrak (yang tidak
dapat dilacak batas-batasnya). Karena itu, keduanya menyimpang
baik secara gramatik maupun semantik, yang dalam istilah stilistika
disebut gaya bahasa anomali.
Kendati demikian, dua kata terpisah yang disatukan itu justru
melahirkan efek tertentu, yaitu merujuk pada “kebenaran” bahwa
Dalam suasana perang itu kalimat Dia harus dikenai kartu merah
sangat tidak sesuai dengan konteksnya karena kalimat itu hanya ada
dalam konteks permainan sepak bola. Akan tetapi, kalimat tersebut
ternyata memiliki efek tertentu yang menakjubkan yang berfungsi
sebagai humor untuk mengendorkan frekuensi ketegangan. Hal
semacam inilah yang merupakan salah satu ciri khas Danarto dalam
bercerita kepada pembaca. Di saat-saat tertentu ia sering mengajak
pembaca untuk berolah pikir secara serius, tetapi di saat lain ia tidak
pernah lupa memberikan surprising-nya.
Simpulan
Dari seluruh pembahasan akhirnya dapat disimpulkan bahwa
cerpen “Dinding Waktu” karya Danarto kaya akan gaya bahasa,
baik gaya bahasa berdasarkan struktur kata dan kalimat maupun
gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Gaya bahasa
berdasarkan struktur kata-kata yang secara dominan dimanfaatkan
adalah repetisi, sedangkan gaya bahasa berdasarkan maknanya
adalah hiperbol, oksimoron (bersifat retoris), dan personifikasi
(bersifat kiasan). Semua gaya bahasa tersebut berfungsi mempertinggi
4
Abrams, M.H. (1981). A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart,
and Winston.