Buku Best Practice Refractory - PJB-ITS - Rev2
Buku Best Practice Refractory - PJB-ITS - Rev2
Buku Best Practice Refractory - PJB-ITS - Rev2
Salah satu pilar Manajemen Aset Pembangkitan yang dikuasai oleh PJB Raya sejak tahun 2001
adalah continuous improvement in Reliability Management. Dan segala hal yang berkaitan
dengan upaya meningkatkan kinerja PJB melalui peningkatan kesiapan (EAF = Availability
Factor) dan peningkatan kehandalan (= menurunkan EFOR / Equivalent Forced Outage Rate)
adalah bagian spesifik dari reliability management yang dikuasai oleh PJB Raya tersebut. Ditilik
dari historis-nya, salah satu hal yang menjadikan kinerja PJB meningkat secara berkelanjutan
adalah fakta bahwa semua proses dan hasil dalam reliability management tercapture & ter-
sharingkan secara baik dalam suatu knowledge management yang sitematis.
Buku Best Practices Refractory untuk Pembangkit CFB ini adalah faktanya! Kejadian kegagalan
refractory di PLTU Banjarsari kami jadikan case study menarik dalam pembelajaran berbasis
kinerja di PJB Academy. Didalamnya terdapat CoP (Community of Practices) yang digabungkan
dengan teknik – teknik RCFA (Root Cause Failure Analysis), dan yang tidak kalah pentingnya
adalah bahwa semua analisis didasari oleh kajian teoritis yang matang dan akurat. Keberhasilan
buku ini adalah wujud nyata kombinasi & kolaborasi banyak unsur, antara para akademisi dari ITS
dengan para praktisi dari PJB Raya dan PLN Group.
Alhamdulillah, kami sangat meyakini akurasi rekomendasi dari buku ini dan layak untuk dilakukan
tindak lanjut berikutnya. Kami sangat merekomendasikan untuk dijadikan salah satu referensi
penting. Sebab unsur – unsur Technical KPI (Key Performance Indicator) Owner dan Corporate
KPI Owner dalam suatu loop reliability management telah terpenuhi dalam proses me-recovery
kegagalan dari refractory PLTU Banjarsari, yang selanjutnya di-sharingkan melalui penyusunan
buku ini. Dalam arti kata, catatan overall performance dari PLTU Banjarsari yang dimonitor dalam
waktu tertentu, menunjukkan keberhasilan peningkatan kinerja internal. Dalam aspek Manajemen
Aset Pembangkitan, keberhasilan peningkatan kinerja internal dipengaruhi aspek teknis dalam
asset optimization program, sub reliability yang diukur dari MTBF (Mean Time Between Failure).
Dan parameter MTBF refractory PLTU Banjarsari yang diukur menunjukkan peningkatan luar
biasa dan signifikan dibanding periode sebelumnya. Artinya kinerja PLTU Banjarsari dari sisi
EAF dan EFOR, faktanya jauh lebih baik pada periode setelah permasalahan refractory PLTU
i
Banjarsari diketemukan solusinya. Dan segala keberhasilannya telah dideskripsikan secara
komprehensif pada buku ini.
Akhirnya dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada, buku ini kami persembangkan bagi
segenap komponen PJB Raya dan PLN Group yang sangat mendambakan suatu continuous
improvement melalui reliability management in best practices knowledge management.
BarakAllah, semoga Allah selalu menganugerahkan kemudahan dan keberuntungan bagi
perjalanan PJB Raya dan PLN Group, kini dan nanti.
Tetap semangat... Salam BE GREAT...
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB IV IMPLEMENTASI .................................................................................................... 47
iv
DAFTAR GAMBAR
v
Gambar II-22 Reversibel Thermal Eexpansion berbagai plastic refractories [2] ........................ 24
Gambar II-23 Creep measurement of various high-alumina refractories under 25 psi load at
2600oF for 0 – 100 hrs. ................................................................................................................. 26
Gambar II-24 Pyrometric Cone (Furnace and Refractories, di download : refractories.pdf) ...... 27
Gambar II-25. Memperbaiki material refractory untuk meningkatkan efisiensi energi .............. 28
Gambar II-26 Emisivitas material refractory pada temperatur yang berbeda[5]. ........................ 34
Gambar II-27 Diagram fasa ekuilibrium system Al2O3-SiO2 ...................................................... 35
Gambar II-28 Berbagai bentuk ankur (anchor) ............................................................................ 36
Gambar II-29 Refractory expansion joints .................................................................................. 38
Gambar II-30 konstruksi waterwall ............................................................................................. 38
Gambar II-31 konstruksi colling cyclone .................................................................................... 39
Gambar II-32 konstruksi colling DownComer ........................................................................... 39
Gambar II-33 konstruksi cyclone................................................................................................. 40
Gambar III-1 Beberapa type kerusakan refractory dihubungkan dengan aspek yang menjadi
penyebab kegagalan. ..................................................................................................................... 41
Gambar III-2 Ilustrasi bagaimana thermal stress dapat mengakibatkan crack ............................ 42
Gambar III-3. Profil tegangan akibat a) pendingan dari permukaan dari temperature tinggi, b)
pemanasan dipermukaan dari temperature rendah . ...................................................................... 43
Gambar IV-1 Tahapan umum dalam melakukan failure analisis (BAMA, 2016) ....................... 47
Gambar IV-2 Loopseal yang menunjukkan adanya kegagalan refractory................................... 48
Gambar IV-3 Fault-tree analisis untuk kegagagalan refractory di loop seal ............................... 49
Gambar IV-4 Contoh desain refractory di loopseal ..................................................................... 50
Gambar IV-5 Pemasangan yang tidak mengikuti kaidah Manual Instruction ............................. 51
Gambar IV-6 Proses perbaikan refractory di PJB Banjarsari ...................................................... 55
Gambar IV-7 Lokasi lokasi perbaikan refractory ....................................................................... 56
Gambar IV-8 Y acnhore for cyclone and other area .................................................................... 60
Gambar IV-9 Furnace Anchor ..................................................................................................... 60
Gambar IV-10 Tahapan instalasi refractory pada area cyclone dan loopseal .............................. 63
Gambar IV-11 Salah satu langkah dalam proses pemasangan silika block berupa penggunaan
mortar ............................................................................................................................................ 63
Gambar IV-12 Pemberian celah di antara anchor ........................................................................ 64
vi
Gambar IV-13 Gambar dan pesifikasi mesin gunning yang digunakan dalam perbaikan .......... 65
Gambar IV-14 Instalasi bekisting dan proces pengerjaan di lapangan ........................................ 66
Gambar IV-15 Design Bekisting Untuk Cyclone dan Loopseal. ................................................. 66
Gambar IV-16 Casting Dengan Metode Papan Catur.................................................................. 67
Gambar IV-17 Expansion join pada lapisan ke-3 (RORAM GB D1) ......................................... 68
Gambar IV-18. Proses drying dan heating up setelah proses instalasi ........................................ 69
Gambar IV-19. Hasil pembacaan thermocouple yang menunjukkan bahwa pemanasan sesuai
dengan set-point. ........................................................................................................................... 69
Gambar IV-20. Kondisi refractory setelah 4 bulan operasi ......................................................... 71
Gambar IV-21. Terjadi erosi pada refractory di area furnace ...................................................... 72
Gambar V-1 Fish bone diagram yang digunakan untuk analysis refractory[10] ......................... 78
Gambar V-2 Pengujian distribusi termal di sekitar bolier dengan Infrared yang menunjukkan local
hot spot yang mengindikasikan terjadinya kegagalan refractory .................................................. 80
vii
DAFTAR TABEL
Tabel II-1 K-Values for Refractory Brick at Various Mean Temperature, Btu.in/ft3.hr.oF ......... 25
Tabel II-2 Tipik nilai Pyrometric Cone Equivalent brick[3]. ...................................................... 27
Tabel II-3 Bahan refractory bersifat basa .................................................................................... 30
Tabel II-4 Bahan dasar refractory yang bersifat asam. ................................................................ 31
Tabel II-5 Physical Properties of Insulating Materials [BEE, 2005] ........................................... 33
Tabel IV-1 Jenis-jenis refractory yang digunakan untuk perbaikan ............................................ 57
Tabel IV-2 Jenis refractory yang digunakan berdasarkan lokasi dan ketebalan instalasi ............ 58
Tabel IV-3 Komposisi kimia dan sifat mekanik .......................................................................... 60
Tabel IV-4 Type, dimensi, jarak anchor yang dipasang tiap tiap lokasi...................................... 61
Tabel IV-5. SOP dan komentar dalam pola operasi CFB ............................................................ 73
Tabel V-1 Element kontrol kualitas menurut API 936 ................................................................ 77
viii
BAB I Latar Belakang
1.1. Boiler
Boiler merupakan salah satu perangkat mesin pada pembangkit listrik yang berfungsi
sebagai perubah air menjadi uap. Proses perubahan ini dilakukan dengan cara pemanasan air yang
berada didalam pipa-pipa yang dibakar dengan bahan bakar. Pembakaran bahan bakar dilakukan
secara kontinyu dalam ruang bakar.
Dalam pengoperasiannya, boiler ditunjang oleh beberapa peralatan bantu seperti
economizer, ruang bakar, dinding pipa, burner, steam drum, superheater dan cerobong.
Economizer berfungsi sebagai pemanas air dan mengisi ketel sebelum ke boiler. Ruang bakar
merupakan bagian dari boiler yang terdiri dari pipa-pipa air. Dinding pipa merupakan dinding
ruang bakar berupa pipa-pipa berderet secara vertikal, yang fungsinya untuk tempat penguapan air
berfungsi sebagai tempat penguapan air. Burner merupakan alat bakar yang bahan bakarnya dibagi
dalam bagian-bagian kecil yang bertujuan memudahkan proses pembakaran dengan udara. Air di
dalam kondensor mengalir ke boiler, setelah itu air mengalir ke drum melalui pipa-pipa boiler dan
oleh evaporator diubah menjadi uap jenuh. Uap jenuh mengalir ke superheater, dinaikkan
temperaturnya sehingga menjadi uap kering. Uap kering mengalir ke desuperheater yang suhunya
disesuaikan dengan turbin yang mengakibatkan turbin dapat bekerja dengan optimal. Dari
desuperheater, uap mengalir ke turbin dan memutar sudu-sudu turbin. Keluar dari turbin,
temperatur uap air menurun menjadi uap jenuh dan kembali ke kondensor. Didalam kondensor
uap jenuh dirubah menjadi air kembali dan dialirkan ke boiler yang akan menghasilkan suatu
siklus.
Pembakaran dengan system Fluidized Bed Combustion (FBC) memiliki kelebihan dan
keuntungan bila dibanding sistem pembakaran yang konvensional, diantaranya adalah proses
pembakaran yang sempurna dan berkurangnya emisi polutan yang merugikan seperti SOx dan
NOx. Sistem FBC adalah sistem pembakaran yang tertutup, sehingga seluruh batubara yang masuk
1
ke dalam dapur api akan terbakar sempurna, sebelum habis terbakar batubara akan terperangkap
di dalam pasir silica yang bergerak, dengan demikian efficiency boiler menjadi tinggi. Batu bara
yang digunakan dalam sistem FBC sangat flexible, dapat menggunakan batubara rendah kalori,
dengan ukuran 0 ~ 15 mm. Spesifikasi Batu bara tersebut adalah yang paling murah dan paling
banyak tersedia di Indonesia.
Bila udara atau gas telah terdistribusi secara merata, maka akan dilewatkan keatas melalui
bed partikel padat seperti pasir. Begitu kecepatan udaranya berangsur-angsur naik, terbentuklah
suatu keadaan dimana partikel tersuspensi dalam aliran udara sehingga bed tersebut
terfluidisasikan. Dengan kenaikan kecepatan udara selanjutnya, maka terjadi pembentukan
gelembung, turbulensi yang kuat, pencampuran cepat dan pembentukan permukaan bed yang
rapat. Bed partikel padat menampilkan sifat cairan mendidih dan terlihat seperti fluida yang
disebut bubbling fluidized bed. Jika partikel pasir dalam keadaan terfluidisasikan dipanaskan
hingga ke suhu nyala batubara, dan batubara diinjeksikan secara terus menerus ke bed, maka
batubara akan terbakar dengan cepat dan bed mencapai suhu yang seragam. Pembakaran dengan
fluidized bed (FBC) berlangsung pada suhu sekitar 840°C hingga 950°C. Karena suhu ini jauh
berada dibawah suhu fusi abu, maka pelelehan abu dan permasalahan yang terkait didalamnya
dapat dihindari. Suhu pembakaran yang lebih rendah tercapai disebabkan tingginya koefisien
perpindahan panas sebagai akibat pencampuran cepat dalam fluidized bed dan ekstraksi panas
yang efektif dari bed melalui perpindahan panas pada pipa dan dinding bed. Kecepatan gas dicapai
diantara kecepatan fluidisasi minimum dan kecepatan masuk partikel. Hal ini menjamin operasi
bed yang stabil dan menghindari terbawanya partikel dalam jalur gas.
Dalam sistem sirkulasi, parameter bed dijaga untuk membentuk padatan melayang dari
bed. Padatan diangkat pada fase yang relatif terlarut dalam pengangkat padatan, dan sebuah down-
comer dengan sebuah siklon merupakan aliran sirkulasi padatan. Tidak terdapat pipa pembangkit
steam yang terletak dalam bed. Pembangkitan dan pemanasan berlebih steam berlangsung di
bagian konveksi, dinding air, pada keluaran pengangkat/riser. Boiler CFB pada umumnya lebih
ekonomis daripada boiler lainnya. Untuk unit yang besar, semakin tinggi karakteristik tungku
boiler CFBC akan memberikan penggunaan ruang yang semakin baik, partikel bahan bakar lebih
2
besar, waktu tinggal bahan penyerap untuk pembakaran yang efisien dan penangkapan SO2 yang
semakin besar pula, dan semakin mudah penerapan teknik pembakaran untuk pengendalian NOx
daripada pembangkit steam lainnya.
Desain dalam arti yang sangat sederhana dapat didefinisakan sebagai pemilihan material
dan penentuan geometry sehiggga hasil rekayasa dapat bekerja menerima beban (loading). Beban
dapat dikategorikan sebagai beban mekanik, fisik, dan kimia Beban fisik dalam struktur boiler
adalah pembebaban akibat konstruksi bolier dan akibta operasi boiler, misalnya tekanan steam
pada pipa-pipa. Temperatur tinggi dalam operasi bolier merupakan beban fisik karena sifat ini
dipengaruhi properti fisik misalnya, thermal expansion. Beban kimia dapat berupa lingkungan dari
sekitar pembakaran, karena pembakaran adalah reaksi reduksi-oxidasi maka proses reaksi material
3
konstruksi dengan combustion process. Umumnya beban kimia ini dapat berupa korosi material.
Meskipun beban beban yang diuraikan tersebut di atas dapat berdiri sendiri, tetapi interaksi antar
beban dapat menyebabkan kegagalan yang komplek.
Fisika(thermal)
Kimia (korosi)
(mekanik)
Sruktural,abrasi
Komponen
(material/manufaktur)
Gambar I-2 Ilustrasi bagaimana sebuah komponen menerima beban-beban dalam rekayasa
mekanik
Jika boiler dapat didefinisakan sebagai mesin konversi energy content dalam batubara
menjadi energy thermal dan mekanik yang tersimpang dalam steam, maka proses konversi
terbesbut membutuhan peralatan yang dapat bekerja pada temperature tekanan tinggi, serta dapat
mengatasi beban tambahan berupa korosi temperature tinggi dan abrasi. Dalam struktur boiler CFB
yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, CFB melibatkan sirkulasi material sering disebut
bed materials bersama dengan proses combustion. Sehingga ketahan abrasi/korosi oleh material
konstruksi boiler menjadi tambahan kebutuhan.
Untuk membahas material dalam konstruksi CFB boiler maka process dalam CFB dapat
dibagi menjadi dua bagian pokok yakni steam side, dan combustion side (fire side). Material yang
diperlukan untuk sisi steam adalah kebutuhan material temperature tinggi dan bertahan terhadap
tekanan. Baja baik baja karbon maupun baja paduan dapat digunakan untuk keperluan ini.
Beberapa contoh baja yang digunakan untuk aplikasi boler beserta kekuatan tarik dapat dilihat
pada gambar. Baja paduan dapat dipilih tergantung dari temperatur dan tekanan kerja fluida. Untuk
sisi fireside CFB bolier menggunakan cukup banyak material refractory karena kebutuhan akan
energy balance, insulasi, dan ketahanan abrasi.
4
Gambar I-3 Ilustrasi kebutuan material yang diguakan untuk CFB boiler
Refractory menurut bisa didefinisikan sebagai material non logam yang dapat tahan pada
temperature tinggi. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumya, refractory merupakan jenis
ceramic materials. Karena merupakan ikatan ionic dan covalent, ceramic mempunyai sifat yang
keras namun mudah patah (brittle). Sehingga tanpa dikombinasi dengan material lain, sangat
jarang digunakan untuk material strukktural. Keuntungan yang utama adalah ketahanan terhadap
temperature tinggi.
Pada dasarnya refractory digunakan dalam konstruksi CFB memmpunyai dua fungsi yaitu
sebagai (1) isulator untuk mencegah kompenen tertentu overheated dan mencegah kegilangan
energy dengan perpindahan panas dari proses pembakaran. (2) Berfungsi mencegah terjadinya
erosi/abrasi/korosi pada komponen lain seperti tubing wall tubes. Refracktory digunakan di
beberapa bagian CFB sebagaimana terlihat pada Gambar I-4. Gambar I-5 menunjukkan area
tertentu dalam CFB boiler yang memerlukan refractory dengan kemampuan tahan terhadap erosi
antara lain di furnace, cyclone, dan loopseal. Area ini merupakan area dengan kecepatan relative
lebih tinggi dari area yang lain.
5
Gambar I-4 Penggunakan refractory pada CFB Boiler [1]
Gambar I-5 Beberapa area yang memerlukan erosion resistance refractory menurut F Basu
[2].
6
BAB II ENGINEERING
Boiler CFB adalah salah satu boiler yang memiliki karakteristik yang spesifik karena
partikel padat yang berada di ruang bakar tidak hanya partikel batu bara sebagai bahan bakar, tetapi
juga memiliki partikel dari material dasar (bed) berupa butiran pasir atau jenis lain. Sifat/fungsi
utama dari material bed adalah untuk membangkitkan proses fluidisasi sehingga butiran partikel
batu bara yang akan dibakar akan melayang/mengapung di tengah ruang bakar.
Gambar II-1 klasifikasi jenis partikel berdasarkan ukuran partikel solid dan kecepatan bed
(udara)
Berdasarkan ukuran rata-rata partikel padat di ruang bakar, boiler dapat diklasifikasikan
sebagai (Gambar II-1):
Stoker firing
Bubling Fluidised Bed (BFB)
Circulating Fluidised Bed (CFB)
Pulverised coal
7
Boiler Stoker firing memiliki ukuran partikel baru bara yang cukup besar (sekitar 6 mm) sehingga
batu bara akan selalu berada di dasar boiler. Partikel yang melayang dan terbawa aliran adalah
partikel abu dan partikel batubara yang berukuran kecil (dibawah 0.1 mm).
Boiler puverised coal memiliki ukuran batu bara yang sangat kecil (0.05 mm) dan
kecepatan udara yang sangat besar (4 – 7 m/detik. Karena itu partikel batubara akan selalu terbawa
oleh aliran udara. Agar semua batu bara terbakar, perlu proses pengaturan waktu pembakaran yang
lama dan dilakukan dengan mengatur lintasan udara yang membentuk lintasan tangensial.
Partikel pada boiler Bubling Fluidised Bed terdiri dari partikel pasir dan batu bara dengan
ukuran rata-rata sebesar 0.5 s.d. 1.5 mm. Partikel ini akan mengalami proses ‘bubbling’ dimana
material bed membentuk suatu lapisan gelembung ketika dilewati oleh aliran udara. Selama proses
pebakaran, partikel batu bara akan menghasilkan abu dan ukurannya semakin berkurang. partikel
abu, pasir dan batubara yang lebih kecil dari 0.05 mm akan naik ke atas dan terbawa oleh aliran
udara.
Sifat bubbling dan mekanisme pembakaran pada boiler Circulating Fluidised Bed (CFB)
sama dengan boiler BFB, tetapi karena ukuran partikel rata-rata lebih kecil dan kecepatan udaranya
lebih besar. Partikel bed yang berukuran sedang (sekitar 0.1 – 0.2 mm) akan melayang (floating)
dia daerah boiler dan partikel bed yang berukuran kecil (sekitar 0,05 mm) akan ikut terbawa oleh
aliran udara. Dinamika pergerakan partikelbed ini akan mempengaruhi proses pembakaran partkel
batu bara yang lebih merata.
8
Gambar II-3 Pergeseran domain aliran akibat perbedaan kecepatan udara
Salah satu karakter utama CFB yang harus difahami adalah: CFB bekerja pada rentang
kondisi yang sangat terbatas, khususnya pada ukuran partikel dan kecepatan udara. Gambar II-2
menunjukkan bahwa kecepatan superficial (kecepatan absolut udara) untuk CFB (Fast Bed)
bekerja pada rentang yang terbatas. Jika kecepatan terlalu pelan, akan masuk ke domain Captive
bed (Bubble FLuidised Bed). Jika terlalu udara terlalu besar akan menggeser domain ke daerah
pneumatic transport (fluidised bed). Gambar II-3 menunjukkan pergeseran domain yang terjadi.
Selain pengaruh kecepatan udara, ukuran partikel, khususnya partikel bed, juga
mempengaruhi domain aliran. Gambar II-4 menunjukkan bahwa rentang kerja CFB sangat
terbatas dan tergantung pada ukuran partikel relatifdan kecepatan relatif.
Gambar II-4 Batasan domain boiler CFB terhadap kondisi yang lain
9
Penentuan ukuran partikel dan kecepatan udara yang sesuai menggunakan nilai kecepatan relatif
dan diameter relatif yang ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
dimana:
• U = kecepatan udara (m/detik)
• g = densitas udara panas (gas)
• p = densitas partikel (bed)
• mg = massa partikel (bed)
• dp = diameter rata-rata partikel bed (mm)
• = Viskositas udara panas (gas)
10
Gambar II-5 menunjukkan bahwa partikel bed yang berukuran besar akan menyebabkan
gelembung (bubble) di dasar boiler (daerah bubbling bed dan splash zone). Partikel berukuran
sedang akan melayang (entrainment) di tengah boiler (TDH). Partikel kecil akan terbawa oleh
aliran udara menuju cyclone (Dillute transport). Tabel. II-1 menunjukkan domain aliran pada
komponen boiler CFB.
11
2.2. Kerusakan Tipikal CFB Boiler
12
menyebabkan abrasi di lubang nozzle yang merata pada dasar bed (Gambar II-11).
Kerusakan itu dapat berupa lubang nozzle yang terabrasi, lubang nozzle buntu dan tutup
(cap) nozzle terlepas. Jika dipetakan, kerusakan nozzle terjadi secara menyeluruh (Gambar
II-12)
Gambar II-7 Perbedaan domain aliran di PLTU Tarahan karena koreksi debit aliran udara
primer
13
Gambar II-9 Kerusakan refractory cyclone di PLTU Tarahan Lampung
Gambar II-10 Pemetaan ketebalan tube wall furnace PLTU Tarahan unit 4 - Lampung.
14
(a) (b) (c)
Gambar II-11Modus kegagalan di nozzle CFB a) lubang nozzle terabras; b) lubang nozzle
buntu; d) tutup (cap) nozzle terlepas
Serupa dengan PLTU Tarahan, PLTU Jeranjang Lombok juga mengalami kerusakan karena
kecepatan aliran yang terlalu tinggi. Inspeksi yang dilakukan pada bulan Juli 2012 menunjukkan
adanya kerusakan yang parah pada dasar furnace dan cyclone (Gambar II-13).
15
Gambar II-13 Kerusakan refractory furnace di PLTU Jeranjang Lombok
Berbeda dengan sebelumnya, kerusakan karena kecepatan yang terlalu rendah tidak
langsung dapat ditemukan karena overheating di dasar menyebabkan kerusakan internal karena
ekspansi refractory dan tube wall yang tidak merata. Gambar II-14 menunjukkan bahwa domain
aliran di boiler untuk PLTU Bolok – Kupang, sudah berada pada domain yang sesuai. Akan tetapi
karena pasir yang digunakan tidak disaring Gambar II-14 maka banyak pasir yang berukuran besar
menyebabkan proses fluidisasi tidak sempurna dimana sedikit partikel bed yang terangkat ke atas.
Kondisi ini menyebabkan pembakaran batu bara banyak terjadi di dasar furnace. Gambar II-16
menunjukan indikasi kerusakan karena overheating di dasar bed. Hal ini dapat menyebabkan
material bed menjadi cepat rusak karena suhu yang terlalu tinggi. Gangguan kerusakan karena
overheating di dasar furnace belum terlihat durasi pengoperasian boiler belum berlangsung lama.
16
Gambar II-14 Kondisi fluidized bed pada daerah riser (di atas secondary air) PLTU Bolok
Zoom in
5 mm
Gambar II-15 ukuran pasir baru sebagai material bed untuk PLTU Bolok.
17
Gambar II-16 Over heating di dasar bed (PLTU Bolok)
18
2.3. Jenis dan Material Refractory
2.3.1. Definisi
Refractory adalah suatu material bukan logam, digunakan pada suatu konstruksi yang
beroperasi pada temperatur tinggi untuk waktu yang lama, seperti konstruksi dapur. Meskipun
fungsi utamanya adalah tahan terhadap temperatur tinggi, namun dalam aplikasinya material
refractory ini harus menekan hilangnya panas dari komponen (heat loss), tahan terhadap abrasi,
tekanan, serangan kimiawi, serta perubahan-temperatur yang sangat cepat, sehingga dapat
menahan kestabilan temperatur dari equipment[3]. Bahan-bahan dasar non logam penyusun
refractory ditunjukkan pada Gambar II-17, sedangkan temperatur leleh masing-masing oksida
murni dituangkan dalam Gambar II-18.
19
Gambar II-18 Temperatur leleh beberapa oksida
20
3. Bulk Density
Menyatakan perbandingan antara berat (massa) dan volume material, dan dinyatakan
dalam satuan pound per cubic feet[lb/ft3], atau kilogram per meter kubik [kg/m3], atau
gram per centimeter kubik [g/cm3]. Berat material yang digunakan adalah berat material
dalam kondisi kering, setelah di drying pada temperatur 110oC dan 815oC. Standar
pengujiauaian dan penyusustannnya ASTM C-134; EN 1402-6. Untuk jenis castable padat,
semakin tinggi densitynya maka kekuatan mekaniknya semakin tinggi (CCS dan MOR),
demikian juga ketahanan terhadap abrasi serta volume stability meningkat. Untuk
insulating castable material, semakin rendah density nya semakin bagus (thermal
conductivity semakin rendah).
4. Apparent Porosity
Merupakan banyaknya pori terbuka yang dapat dilewati oleh cairan (liquid), ditunjukkan
dengan besarnya fraksi volume yang ditempati, satuan %. Salah satu pengujian untuk
pengetahui sifat ini ada di C20, ASTM C830
5. Abrassive Resistance
Abrasi terjadi karena beberapa hal tergantung pada kondisi saat operasi dimana material
refractory berada seperti akibat tumbukan material berat yang dituangkan dalam dapur;
abrasi akibat materi metalik dan non metalik; atau juga karena hantaman langsung debu
abrasif dan aliran gas abu berkecepatan tinggi. Untuk menahan beban mekanik tersebut
biasanya brick refractory merupakan pilihan yang tepat karena kuat dan daya ikat yang
bagus. Semakin kuat brick, semakin tinggi ketahanan abrasinya. Dalam hal ini nilai MOR
atau CCS merupakan indikasi ketahanan abrasinya.
Uji abrasi ditentukan dengan mengetahui ketahanan material terhadap erosi jika dikenai
hantaman karbida silikon halus pada temperatur kamar. Prosedur pengujian ditunjukkan
pada ASTM C704.
6. Thermal Expansion
Jika selama pemanasan hingga dibawah fired temperatur rnya di tidak terjadi
perubahan permanen, fired refractories akan kembali ke dimensi semula pada saat
pendinginan. Sifat ini disebut “reversible thermal expansion” Gambar II-19 dan Gambar
II-20 menunjukkan nilai reversible thermal ekspansion fired brick.
21
Gambar II-19 Reversibel ThermalEexpansion brick, pendekatan [3]
Lain halnya perilaku thermal expansion material unfired refractories yang lebih kompleks
dibanding material fired refractories. Selama awal pemanasan, dapat terjadi ekpansi atau
kontraksi pada material unfired refractories sebagai akibat dari perubahan struktur pada ikatan,
22
perubahan minerologi, dan pengaruh sintering. Karateristik thermal expansion pada sejumlah
cement-bonded refractories selama pemanasan awal ditunjukkan pada Gambar II-21. Terjadi
penyusutan (shringkage) pada kisaran temperatur antara 400oF dan 600oF (205oC dan 315oC),
yang berkaitan dengan penguraian (decomposition) semen. Besarnya penyusutan yang terjadi
sebanding dengan jumlah semen yang digunakan. Pertambahan penyusutan terjadi pada
temperatur diatas temperatur 1800oF hingga 2000oF (980oC hingga 1090oC) berkaitan dengan
effect sintering. Thermal expansion ditentukan oleh karakteristik aggregate. Penyusutan yang
terjadi selama pemanasan awal pada temperatur 2600oF (1430oC) merupakan gejala alami,
dan biasanya sebesar 0,2% hingga 1,5%. Untuk thermal expansion plastic refractories
ditunjukkan pada gambar Gambar II-22.
23
Gambar II-22 Reversibel Thermal Eexpansion berbagai plastic refractories [3]
24
Tabel II-1 K-Values for Refractory Brick at Various Mean Temperature, Btu.in/ft3.hr.oF
25
Gambar II-23 Creep measurement of various high-alumina refractories under 25 psi load at
2600oF for 0 – 100 hrs.
26
Gambar II-24 Pyrometric Cone (Furnace and Refractories, di download : refractories.pdf)
27
Secara umum material refractory harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
Tahan terhadap temperatur tinggi
Daya isolator tinggi
Tahan terhadap perubahan suhu secara mendadak (thermal shcock resistance)
Volume stability yang bagus
Tahan beban pada temperatur tertentu
Dapat menghemat panas
Non-polluting to final product
Tahan terhadap serangan abrasi dan korosi
Tahan terhadap gas panas, glass, logam cair (good spalling resistance)
28
Klasifikasi refractory dapat dilakukan berdasarkan temperatur operasinya, sifat kimia
material dasar pembentuknya, dan berdasarkan bentuknya.
1. Basic Refractories
Material refractory ini tersusun terutama oleh dead burned magnesite or magnesia, seringkali
ditambahakan mineral yang lain sebagai, seperti bijih krom, karbon, spinel (mineral
MgO.Al2O3) (Tabel II-3) paduan untuk untuk memperoleh sifat tertentu dalam aplikasinya.
Seperti halnya namanya, sifat utama dari basic refractories ini adalah basa, tahan terhadap
serangan kimiawi yang bersifat basa.
29
Tabel II-3 Bahan refractory bersifat basa
2. Acid Refractories
Sesuai namanya, kelompok refractory ini tahan terhadap serangan (debu, gas, maupun cairan)
yang bersifat asam. Bahan dasar acid refractory ditunjukkan pada Tabel II-4.
Contoh beberapa refractories yang bersifat asam: fireclay refractories, silica refractories.
Silica Refractory
Beberapa sifat-sifat penting dari silica refractory adalah temperatur leleh yang cukup tinggi
yaitu antara 3080oF (1695oC) dan 3110oF(1710oC), ketahanan terhadap tekanan 25-50
lb/inch2, tahan terhadap asam, volumenya konstan hingga temperatur diatas 1200oF (650oC),
dan bebas thermal spalling di atas temperatur 1200oF (650oC). Pada temperatur di bawah
1200oF (650oC) silica brick kurang memiliki ketahan terhadap thermal shock. Pada
temperatur tinggi dan udara reduktor silica refractory tidak tahan terhadap serangan kimia
basa dan oksida besi. Keunggulan sifat silica brick adalah tidak melunak saat dikenai beban
yang tinggi bahkan pada temperatur mendekati temperatur lelehnya.
30
Fireclay Refractories
Refractory jenis ini pada prinsipnya tersusun atas Hydrated aluminium silicates
(Al2O3.2SiO2.2H2O) dengan sedikit mineral yang lain. Komposisi dari aluminium silicate
adalah 39,5% alumina, 46,5% silica dan 14% air, sejumlah unsur lain terkandung didalamnya
seperti Fe, Ca, Mg, Ti, Na, K, Li, dan sejumlah kecil silica bebas. Kaolinite merupakan type
yang paling dikenal. Pada temperatur tinggi, air yang terkandung dalam refractory ini akan
menguap, sehingga secara teoritis alumina silicate mengandung 45,9% alumina dan 54,1%
silica. Beberapa type penting dari jenis refractory ini adalah flint clay dan semi-flint clay,
plastic clay dan semi plastic clay, dan kaolin.
31
3. Neutral Refractories
Material refractory yang tidak bersifat asam maupun basa, atau sebaliknya material ini dapat
bereaksi dengan asam, dan dapat bereaksi dengan basa pada kondisi yang berbeda. Contoh
umum refractory kelompok ini adalah high alumina refractories.
High Alumina refractories
Refractories jenis ini tersusun oleh mineral alumina dengan jumlah lebih besar atau sama
dengan 47,5%. Hal ini untuk membedakannya dari refractory lainnya, seperti clay, yang juga
mengandung alumina, namun lebih kecil dari 47,5%. Pada umumnya high alumina
refractories ini diklasifikasikan lagi (menurut ASTM) pada kelompok 50%, 60%, 70%, dan
80%. Berat jenis alumina 3,6 gr/cm3. Creep atau load resistance nya tergantung pada titik
leburnya, yang berarti tergantung pada prosentase kandungan aluminanya. Terdapat beberapa
kelompok spesial produk high alumina refractories yang penting, yaitu:
a. Mullite brick, terutama mengandung fasa mineral mullite (3Al2O3.2SiO2) yang tersusun
oleh 71,8% berat Al2O3 dan 28,2% SiO2.
b. Chemically-bonded brick, biasanya phosphat-bonded brick dimana kandungan aluminanya
antara 75 hingga 85%. Sementara itu aluminum orthophospat bond (AlPO4) dapat
dibentuk pada temperatur relatif rendah.
c. Alumina-chrome brick, merupakan tipikal high alumina refractory yang memiliki
kemurnian tinggi, tersusun oleh alumina dan oksida krom (Cr2O3). Pada temperaur tinggi
alumia dan chromia membentuk suatu larutan padat (solid solution) yang meningkatkan
kualitas refractory.
a. Alumina-carbon brick-high alumina brick (biasanya diikat dengan menggunakan resin),
mengandung karbon diantaranya grafit.
4. Special refractories
Karena tuntutan, beberapa proses industri membutuhkan satu atau dua sifat yang melebihi dari
sifat yang dimiliki oleh material refractory pada umumnya. Karbon dan grafit, karbida silika
(silicon carbide), fused silica, fued cast, zircon dan zirconia, serta insulating brick, adalah
beberapa special refractories yang memiliki sifat ektra ordinair untuk aplikasi khusus.
Insulating bricks
32
Tersusun oleh berbagai oksida, pada umumnya fireclau atau silica. Karakter unggulannya yang
melebihi refractory lain adalah ringan (density kecil) dan konduktivitas panas rendah sebagai
akibat dari derajad-porositasnya yang tinggi dan kapasitas panas yang lebih rendah dari
refractory lain. Insulating bricks dapat di cast atau di pres kering (dry pressed). ASTM
mengelompokkan fireclay dan high alumina insulating ke dalam urutan nomor 16, 20, 23, 26,
28, 30, dan 33. Jika angka angka tersebut dikalikan 100 akan merupakan besarnya temperatur
nominal service. Tabel II-5 menunjukkan bebrapa material refractory untuk isolasi berserta
sifat-sifat fisiknya.
Emissivity merupakan salah satu sifat penting pada insulating material. Sifat ini menunjukkan
kemampuan untuk menyerap panas dan memancarkannya. Sifat emissivity ini merupakan sifat
inherent dari material refractory dan tidak berubah, namun sifat ini dipengaruhi oleh
temperatur material tersebut (Gambar II-26).
33
Gambar II-26 Emisivitas material refractory pada temperatur yang berbeda[6].
34
Gambar II-27 Diagram fasa ekuilibrium system Al2O3-SiO2
35
1. ankur metalik (paduan), terbuat dari besi tuang (tahan hingga 1000oF) atau baja tahan
karat (tahan hingga 2100oF, tergantung pada grade nya)
2. ankur keramik (ceramic tile anchor) (dapat tahan hingga 3000oF)
3. wall support system-castings and fabricated stainless steel.
36
2. Casting
Metoda ini dilakukan dengan menuangkan, meletakkan, atau menumbukkan
castable refractory yg telah dicampur ke tempatnya dimana refractory ini harus berada,
bisa dibantu juga dengan vibrasi. Castable adalah kombinasi butir-butir refractory dan
zat pengikat yang sesuai (suitable bonding agent). Jika castable ini dicampur dengan
cairan akan memudahkannya untuk ditempatkan sesuai bentuk maupun dimensi
dimana campuran ini akan ditempatkan untuk membentuk refractory atau struktur
sesuai desain, yang selanjutnya akan mengera karena reaksi kimia. Campuran yang
tepat dapat segera di test/cek dengan menggunakan “bola di tangan” (“ball in hand”),
yaitu segenggam campuran castable dibentuk bola, lalu dilempar ke udara setinggi 6-
12 inch, lalu ditangkap. Material refractory yang semula berbentuk bola harus
membentuk sesuai genggaman tangan dan tidak boleh ada material yang mengalir
diantara jari-jari tangan (yang berarti campuran terlalu banyak air) atau hancur
(crumble) yang berarti air terlalu sedikit.
Casting yang dibantu dengan vibrasi akan meningkatkan density (material
refractory terbentuk semakin padat) dan mengurangi pori yang terkandung (porosity).
Material cetakan sebaiknya bukan material yang menyerap air dari campuran refractory
selama proses pengeringan (curing) karena akan menurunkan kekuatan refractory
tersebut.
3. Ramming
Metoda ini biasanya untuk material plastic refractory. Pada dasarnya material ini
adalah pre-fired refractories yang dipersiapkan terlebih dahulu oleh pemasok refractory
yang selanjutnya membawa langsung ke lokasi untuk dipasang tanpa harus dicampur
terlebih dahulu. Material ini dipasang dengan cara memukul pukul (ramming) dengan
bantuan palu pneumatik yang ditahan dengan menggunakan tangan (hand held
pneumatic hammer) atau mallets. Plastik yang mengandung material tahan abrasi akan
terbentuk dan memadat. Material harus diatur dan dijalin bersama. Dalam hal ini
pemakaian palu yang memiliki cekungan (notched hammer) yang berfungsi untuk
mengaitkan antar material, dengan demikian menghindari laminasi (laminations)
37
2.4.2. Konstruksi Material Refractory sesuai komponen Boiler
Refractory Furnace
Desain furnace seringkali menggunakan dinding yang melengkung atau dinding yang
menngantung untuk memantulkan panas serta menjaga temperatur tetap tinggi pada daerah
tertentutempat pembakara batubara. Karena refractory pada daerah ini harus berada pada
temperatur tinggi dalam waktu yang cukup lama, untuk mencegah kerusakan refractory maka, laju
pelepasan panas harus dijaga (dalam satuan btu per jam per ft3 volume refractory) pada batas yang
wajar. Besarnya batas tersebut tergantung pada type refractory yang digunakan, bahan bakar,
metoda pembakaran, type permukaan yang dipanaskan akibat panas radiasi, dan type pendingin
yang digunakan. Harus diperhatikan juga karakter ekspansi panas antar material yang sama atau
antar material yang berbeda untuk menghindari terjadinta thermal stress dan terjadinya creep.
38
Gambar II-31 konstruksi colling cyclone
No
1 Castable Roram GB-D1
2 Castable Guncast C-1200
3 Silica Super Board Super Board 1050oC
4 Steel Anchor Y spiral
39
Contoh Konstruksi refractory di cyclone
No Type Material
1 Castable Roram GB D1
2 Insulating Castable Guncast IC-1200
3 Silica Board Silica Super Board
4 Steel Anchor SUS 310
5 Steel Anchor SUS310
6 Kaowool Blanket Blanket
Menrut F. Basu[1], kegagalan refractory dalam system CFB dapat dikaterogikan dalam
tiga kelompok yaitu, thermally induced failure, anchor failure, dan corrosion failure. Namun
demikian jika dilihat dari kacamata lebih luas kegagalan material bisa dikelompokkan berdasarkan
penyebab (cause) dari tahap pemilihan material, desain, instalasi, dan operasi. Sebagai mana
diilustrasikan dari Gambar III-1 empat kerusakan refractory dihubungkan dengan kemungkinan
penyebab kegagalan[2].
Thermal stress
Thermal shock
Design
Anchor failures
Welded failures
Installation
Design failures
Erosion failures
Operation
Corrosion Failures
Gambar III-1 Beberapa type kerusakan refractory dihubungkan dengan aspek yang menjadi
penyebab kegagalan.
41
3.1.1. Thermal stress
Thermal stress terjadi karena sifat pemuaian material berasarannya linear dengan themal
expansion material dan perbedaan temperature di salah komponen atau desain. Sifat termal
expansion merupakan porperti intrinsic materia. Themal stress akan menyebabkan kegagalan
refractory jika dalam desain terjadi constrained yang tidak terakodasi sebagaimana terlihat dalam
gambar Gambar III-2 contoh kerusakan akibat thermal stress pada Gambar III-3.
42
dipengaruhi oleh difusifitas tthermal, sedangkan tegangan adalah funsi material yaitu elastisitas
dan passion ratio. Refractory akan retak jika thermal stress lebih besar dari rufture stress. Dengan
demikian ketahana refractory dari themal shock dapat dituliskan sebagai berikut:
𝜎(1 − 𝑣)
𝑅=
𝐸𝛼
Dimana R adalah thermal shock resistance, adalah rufture stress, adalah poisson ratio material,
E adalah modulus elastisiatas, dan adalah konduktivitas panas.
Gambar III-4. Profil tegangan akibat a) pendingan dari permukaan dari temperature tinggi, b)
pemanasan dipermukaan dari temperature rendah .
43
Combustor
Bagian bawah combustor (tepat di atas distributor plate) membutuhkan refractory untuk
melindungi dinding combustor dari turbulensi campuran bahan bakar (mixing fuel), sorbent, dan
recycle material. Ketinggian daerah ini dapat mencapai 15 inch hingga 18 inch. Refractory yang
digunakan pada daerah ini adalah 82% Silica Carbide refractory dengan Calcium Aluminate
hydraulic bond. Silicon Carbide yang memiliki koefisien perpindahan panas yang tinggi (100-120
Btu-in/hr,ft2 F) akan menjadikan lower waterwall menghantarkan panas secara efektif dan pada
saat yang sama meminimalkan terjadinya thermal spalling akibat gradien temperatur yang besar.
Selain itu refractory silicon carbide tahan terhadap erosi dan korosi.
Pada bagian combustor roof dilapisi oleh 47% alumina refractory yang mengandung 2-3%
potongan batang pendek (needles) stainless-steel. Lapisan tersebut setebal 2 inch dan diaplikasikan
dengan menggunakan gun (gunned), dan ditahan dengan menggunakan V ankur V pada a
staggered pitch. Penambahan stainless steel ditujukan untuk memperbaiki ketahanan terhadap
thermal shock, spalling, dan abrasi.
44
(yang merupakan ciri gunited acid based refractories). Terbentuknya fasa kaca pada pori tersebut
akan mengakibatkan munculnya tegangan yang dapat mengakibatkan peeling pada refractory.
Keberhasilan refractory selain pada pemilihan material sesuai karakter yang dituntut, juga
tergantung pada ketepatan proses instalasi.
Downcommer
Dari bagian solids outlet (pada collection device) solid mengalir menuju pressure seal device
melalui dip leg atau downcomer. Desain ini akan memberi gaya dorong pada material solid untuk
mengarah kembali menuju combustor. Mengingat hal tersebut kebutuhan material refractory pada
daerah ini ditujukan terutama sebagai insulation. Kadang dapat dibutuhkan hardfacing, tetapi
kecepatannya relatif rendah.
Loop seal
Loop seal dan downcomer dapat menggunakan refractory seperti halnya yang digunakan di
combustor dan cyclone, karena mengalami peristiwa yang sama. Dalam perkembangannya dapat
menggunakan plastic and fused silica castable refractories.
Insulating
Pada boiler, secara umum, tidak ada permasalahan dengan insulating refractories, dimana nominal
temperatur kerja nya adalah 1600oF, sedangkan temperatur antarmuka insulating refractories dan
material abrasif terjadi di bawah temperatur tersebut. Tetapi dengan terjadinya kerak, maka
perubahan temperatur (seperti akibat strat up, shutdown, proses upset), potensial penurunan
kekerasan di permukaan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan. Paling tidak seleksi
material harus dilakukan pada temperatur 2000oF. Proses instalasi dengan menggunakan metoda
gunning, Casting, Ramming, dan brick harus dikerjakan dengan tepat dan baik.
Refractory yang dipasang pada bagian bawah combustor (lower combustor) yang beroperasi di
media reduktor (reducing environment) harus dikontrol kandungannya Fe nya agar serendah
45
mungkin (udara bersifat reduktor). Oksida besi akan bereaksi dengan karbon monoksida (CO) dan
deposit karbon yang dapat mengakibatkan crack pada refractory.
Abrasion Resistant
Pada lower combustor dimana dibutuhkan dua lapis refractory, high alumina castable yang di
instal dengan menggunakan metoda gunning ataupun vibrasi akan menunjukkan hasil yang bagus.
Material ini jika digunakan dengan fiber stainless steel dan moisture release fibers, akan
memberikan performance bagus untuk waktu yang lama tanpa memberikan masalah yang berarti.
Boiler yang memiliki waterwall pada lower combustor hanya membutuhkan satu lapis refractory.
Penggunaan Silicon Carbide (produk gunned ataupun tile) pada bagian ini menunjukkan hasil yang
sangat bagus. Gunned silicon carbide juga dianjurkan untuk combustor outlet dan bagian roof jika
dibutuhkan refractory.
Cyclone merupakan bagian paling cepat berubah dalam hal perkembangan desain refractory.
Merupakan suatu kesepakatan/konsensus dari para praktisi boiler terdahulu, bahwa dewasa ini
pemakaian gunned material sudah tidak bertahan lagi untuk mengatasi media/lingkungan yang
sangat kasar (harsh). Penggunaan material Hard fired High alumina brick atau high alumina
vibration cast akan memberikan service yang sangat bagus. Pada target zone dan roof areas akan
sangat tepat digunakan material phosphate bonded alumina plastic refractories.
Pada bagian loop seals, seperti halnya cyclone, dapat diaplikasikan brick refractory atau
kombinasi brick dan cast refractory. Permasalahan pada daerah ini dikaitkan dengan thermal
expansion. Jadi material refractory yang digunakan pada cyclone akan sangat tepat digunakan di
loop seal juga. Dianjurkan fused silica, yang 100% amorf (tidak berbentuk tertentu) dan memiliki
thermal expansion yang sangat rendah akan memberikan ketahanan super terhadap shock thermal.
Temperatur maksimalnya harus ditahan dibawah 2000oF untuk mencegah devitrification. Pada dip
leg/downcomer line menuju loop seal dapat diaplikasikan vibration cast.
46
BAB IV IMPLEMENTASI
Gambar IV-1 Tahapan umum dalam melakukan failure analisis (BAMA, 2016)
Seperti yang diilutrasikan pada skema Gambar IV 1 prosedur failure analysis dapat
mengikuti standar yang umu dipakai[8]. Tahap pertama dalam analisis kegagalan material adalah
identifikasi kegagagalan di lapangan dalam hal ini pengambilan foto-foto makro dan pengambilan
sample yang dianggap akan menjelaskan kejadian dalan dilakukan. Bersamaan dengan langkah ini
pencarian dokumen referensi bisa dilakukan baik dalam internal perusahaan maupun external
melalui buku buku atau jurnal. Langkah berikutkanya adalah pemahaman kerja CFBC, koleksi
data operasi dan histori instalasi, dan kemdian membuat analisis untuk menemukan penyebab
47
terjadinya kegagalan. Berikut adalah contoh analisis kegagalan refractory yang terjadi setelah
instalasi yang dilakukan bulan February 2016 di PJB Banjarsari. Seperti terlihat pada Gambar
IV-2, adanya kegagalan ditunjukkan dengan terciptanya area yang membara didaerah loopseal di
bawah cyclon seperti yang ditunjukan pada gambar, juga ditunjukkan adanya daerah hot spot jika
dilihat melalui foto infrared. Analasis makrograpy menunjukkan adanya spallation, yaitu thermal
spallation dan struktural spallation.
48
Material tidak sesuai spesifikasi
Thermal
Thermally spallation
induced
failures?
Pemasangan tidak sesuai
standar
Excessive Proces pembersihan tidak
cracking sesuai
Loop-seal
Process curing dan dry-out
refractory
Failures Campuran tidak sesuai
standar farbrikan
Fault tree analysis yang ditunjukkan dalam Gambar IV-3 sangat membantu untuk melakukan
investigasi dan membuat list penyebab (caused) dari kegagalan refractory.Gambar tersebut
mencontohkan sebuah fault tree analysis yang dilakukan di area loopseal (kasus yang pernah
terjadi di Banjarsari. Setelah melakukan pengamatan visual dilapanagan dijumpai bahwa terjadi
spalasi dan anchor failures. Kegagalan erosi dan korosi tidak dijadikan faktor utama karena
kegagalan tidak menunjukkan adanya erosi yang signifikan. Setelah itu di buat kemungkinan
kemungkinan yang lebih spesifik terhadap penyebab terjadinya kegagalan.
49
4.1.1. Pemilihan materials
Dari gambar terlihat bahwa terdapat perbedaan konfigurasi refractory antara Cyclone,
loop seal dan sisi outlet loop seal. Perbedaan konfigurasi ini menyesuaikan perbedaan
beban yang bekerja pada area tersebut. Namun, kondisi di lapangan seperti ditunjukkan di
Gambar IV-4, mengindikasikan pemasangan refractory tidak mengikuti kaidah tersebut. Hal ini
dapat terlihat dari pemasangan yang hampir sama antara setiap segmen. Terdapat material Fiber
wool yang terpasang di inlet U-Valve pada permukaan steel casing(Gambar IV-5), sedangkan
berdasarkan manual instruction, pada titik tersebut yang terpasang seharusnya adalah Insulant
Castable. Hal ini berpotensi menyebabkan rendahnya kekuatan refractory yang terpasang pada
daerah tersebut dan menyebabkan refractory rentan untuk pecah, terutama di daerah “overhead”.
50
Gambar IV-5 Pemasangan yang tidak mengikuti kaidah Manual Instruction
Mixing dengan mesin mixer relatif lebih menjamin homogenitas dari adonan refractory +
binder, sehingga proses pencampuran akan lebih sempurna. Namun, berdasarkan informasi dari
pihak engineer lapangan PLTU Banjarsari, pihak EPC Contractor kurang memperhatikan
komposisi pencampuran. Tidak adanya gelas ukur atau alat timbangan di lokal menyebabkan
komposisi masing-masing bahan kurang terukur. Hal ini berpotensi menyebabkan kurang
homogennya refractory, sehingga mengurangi kekuatan refractory.
51
Pada saat proses pemasangan, pihak EPC Contractor menggunakan metode aplikasi
manual dengan alat Hand Trowel. Hal ini diperbolehkan, meskipun kurang memadai dalam hal
homogenitas campuran. Selain itu, tidak ada bekisting (frame cetak semen) pada proses
pemasangan di lapangan. Dengan tidak adanya bekisting, maka ketebalan permukaan akan tidak
rata. Mengingat bahwa kecepatan aliran di daerah cyclone cukup signifikan, maka ketidak-rataan
permukaan akan menyebabkan rugi aliran yang berdampak pada terganggunya aliran di cyclone,
maupun adanya takikan-takikan kecil sebagai pemicu awal kerusakan refractory. Salah satu titik
perbaikan ditunjukkan pada gambar Gambar IV-7.
Gambar IV-7. Metode aplikasi manual menggunakan Hand Trowel tanpa bekisting.
Ketebalan dan kehalusan permukaan tidak homogen.
52
temperatur kerja. Umumnya material yang digunakan pada boiler CFB sebagai anchor adalah SS
304, SS 316, Incoloy-800HT, dan Hayness-230. Pertimbangan pemilihan material berdasarkan
pada kekuatan dan ketahanan pada temperatur kerja. Pengelasan Anchor pada Steel Casing
memiliki pengaruh yang sangat dominanpada kekuatan refractory. Stabilitas refractory
terutama pada posisi “overhead” sangat dipengaruhi pada kekuatan anchor. Lepasnya Anchor
dari Steel Casing akan menyebabkan rapuhnya refractory dan menyebabkan terjadinya fracture.
Hal ini bisa terlihat pada gambar Gambar IV-8.
Dari gambar terlihat bahwa pengelasan anchor tidak sempurna (incomplete weld), dan pola
patahan mengindikasikan anchor dan Steel Casing tidak menyatu (incomplete fusion).
Seharusnya, metoda pengelasan menggunakan kaidah pengelasan fillet weld seperti pada
Gambar II-9 berikut Hal-hal yang menyebabkan terjadinya seperti ini adalah:
1. Welder yang kurang kompeten dalam melaksanakan pekerjaan pengelasan
2. Prosedur pengelasan yang kurang memenuhi syarat
3. Material Filler yang tidak sesuai dengan material yang akan dilas
4. Quality Control pekerjaan pengelasan tidak dijalankan.
Kurang sempurnanya pengelasan ini menyebabkan anchor mudah lepas sehingga tidak ada
kekuatan penahan refractory dan menyebabkan refractory mudah lepas
(spallation)
53
Gambar IV-9 Penampang pengelasan Fillet Weld
54
4.2. Prosedur Pengerjaan Refractory
Prosedur pengerjaan refractory di PJB BPI banjarsari secara garis besar mengikuti diagram
alir Gambar IV-10. Tahap pertama adalah rapat koordinasi antara owner BPI Banjarsari dan
dengan kontraktor. Rapat koordinasi untuk memutuskan bahan, prosedur, dan proses implementasi
serta project manajement perbaikan refractory.
Mapping and
scheduling refractory
installation
Pre-inspections
Pembongkaran
refractory yang lama
55
4.2.1. Rapat koordinasi
Rapat koordinasi antara koordinator proyek, Foreman, QC dan pekerja mengenai wilayah
kerja & prosedur instalasi dasar refraktori pada prosedur yang telah disetujui. Rapat berkaitan
dengan safety tools dengan semua personel yang terlibat dalam proyek ini mengenai perilaku
keselamatan selama proyek ini.
4.2.2. Mapping
56
Mapping dilakukan sebelum prosedur pengerjaan perbaikan dilakukan. Sepeti terlihat pada
Gambar IV-11 perbaikan dilakukan di beberapa lokasi antara lain di area furnace, area cyclone,
cone, loopseal dan return leg. Area area tersebut membutuhkan karakteristik refractory yang
berbeda dari satu lokasi dengan lokasi yang lain, misalnya di area furnace membutuhkan refractory
yang lebih tahan aus dibandingkan dengan di area yang lain.
Tabel IV-1 memuat daftar refractory yang merupakan produk dari PT indoporlen sebagai
kontraktor dan produsen dari refractory. Terlihat di tabel komposisi refractory beserta sifat sifat
mekanik dan fisika yang penting antara lain service temperature, density, thermal expansion dan
cold crush strength. Setiap lokasi diperbaiki dengan minimal dua lapis yaitu refractory yang
berfungsi sebagai insulasi dan sebagai material tahan erosi. Kecuali furnace yang hanya
meggunakan satu lapis refractory tahan aus.
Tabel IV-2 menunjukan area (lokasi) perbaikan dan refractory yang digunakan. Kecuali
di furnace, setiap lokasi menunjukkan penggunaan jenis refractory yang berbeda-beda dengan
ketebalan lapisan wear resistance refractory yang juga berbeda dari satu lokasi dengan lokasi yang
lain. Pada sisi cold face dipasang silica block yang mempunyai thermal konduktivity yang rendah.
57
Guncast IC-1200 Al2O3: 41-44 1310 1200 -0.95 95-149 0.13
SiO2 : 37-40
CaO:11-13
Fe2O3<1.5
RORAM GB D1 Al2O3: 67-70 2730 1600 +0.1 800- 1.9
SiO2 : 10-20 900
SiC:9-10
CaO<2
Fe2O3<1.2
Silica Board 230 1050 <1.5 6.0 0.055
Tabel IV-2 Jenis refractory yang digunakan berdasarkan lokasi dan ketebalan instalasi
Lokasi Jenis refractory Ketebalan Density
(mm) (kg/m3)
Furnace
Lower furnace Calde Flow LM 74A 55 2650
Calde Flow LS60 55 2550
Top furnace Calde Flow LM 74A 55 2650
Down comer
Hot face Castable RORAM GB D1 155 2730
Cold face Castable Guncast C-1200 100
Calde Gun F55 AIP 1900
Silica Board 100
Loop Seal
Hot face Calde cast LA 52 SZZ IP 155 2600
Cold face Castabel Gun cast C-1200 100 2000
Silica board 100
Return Leg
Hot face Castable RORAM GB D1 155 2730
58
Cold face Castable Guncast C-1200 100 2000
Silica Board 100
Cyclone : Inlet , Target wall, Roof, Target wall, bullnose
Hot face Castable RORAM GB D1 170 2730
Cold face Castable Guncast IC-1200 80 1310
Silica Board 100
Outlet cone
Hot face Castable RORAM GB D1 170 2730
Cold face Calde GUN F55 A IP 80 1900
Silica Board 100
4.2.4. Pre-inspeksi
Melakukan pemeriksaan awal pada area yang diperbaiki/dibongkar dan menandai area yang
akan dibongkar menggunakan "cat semprot" dengan warna yang terang. Pada area Cyclone
dipastikan plat casing berada dalam kondisi baik (tidak ada korosi dan kerusakan) untuk
mempersiapkan instalasi (pengelasan) anchor. Laporan dibuat terkait hasil inspeksi pada daerah
yang di perbaiki/bongkar
59
untuk V spiral. Y anchor baru termasuk plastic cap di ujung (Gambar IV-14) dan dipasang dengan
teknik pengelasan zig-zag dan kualitas pengelasan diperiksa dengan hammer test. Penting untuk
diperhatikan bahwa cap plastic yang terpasang di ujung anchor harus terpasang saat pengecoran
refractory.
60
Gambar IV-14 Y Anchor baru dengan plastic cap
Tabel IV-4. Seperti yang terlihat pada tabel di lokasi furnace mengunakan V anchor dengan
dimensi 6X30 mm dengan jarak 70 mm. Untuk area lain dipasang Y anchor dengan diameter
yang lebih besar dengan jarak 300x300 untuk area cyclone dan 300x400 untuk area down comer
dan return leg.
Tabel IV-4 Type, dimensi, jarak anchor yang dipasang tiap tiap lokasi
Lokasi Type Dimension Jarak anchor
Furnace V 6X30 mm 70 mm
Roof cyclone Y 12X320 mm 300x300 mm
Wall cyclone
Outlet cone cyclone
Down comer Y 12X325 mm 300x400 mm
Return leg
Loopseal Y 12X325 mm 300x300 mm
61
Gambar IV-15. Hasil pemasangan Y anchor yang telah dilakukan pengetesan.
62
Instalasi insulating
silica board
Gambar IV-16 Tahapan instalasi refractory pada area cyclone dan loopseal
Gambar IV-17 Salah satu langkah dalam proses pemasangan silika block berupa penggunaan
mortar
63
Gambar IV-18 Pemberian celah di antara anchor
Pemasangan Calcium Silica Block di sekitar Anchor harus diberi celah mengikuti bentuk
anchor seperti yang terlihat pada Gambar IV-18 dan sesuai dengan permukaan area kerja serta
nantinya ditambahkan ceramic fiber blanket pada celah tersebut. Tahap berikutnya adalah instalasi
lapisan kedua pada loopseal, wall dan roof cyclone. Pemasangan lapisan kedua menggunakan
GUNCAST IC-1200 dengan ketebalan 80 mm. Instalasi lapisan keduar refractory pada down
comer, Loopseal dan Return Leg menggunakan GUNCAST C-1200 dengan ketebalan 100 mm.
Cara pengaplikasiannya menggunakan proses gunning. Proses gunning dilakukan dengan prosedur
tersendiri dengan menggunakan peralatan dan spesifikasi yang dicantumkan dalam Gambar IV-19
pada untuk semua lapisan kedua kecuali furnace. Bagian lapis kedua ini harus dibuat per segment
dengan ukuran 1000 mm x 1000 mm (maksimal) dan diberi expansion join pada setiap segment,
sehingga ketebalan lapisan bisa dikontrol dan menghindari retak yang menyebar pada lapisan
isolasi.
64
Gambar IV-19 a) Gambar dan pesifikasi mesin gunning yang digunakan dalam perbaikan, b)
Contoh proses gunning
65
Tahap berikutnya adalah instalasi castable refractory yang merupakan hot surface yang terekpose
gas panas dan partikel erosive. Ketebalan lapisan tergantung lokasi sebagai mana dijelaskan pada
bagian bagian terdahuu. Karena process pengecoran maka diperlukan bekisting. Bekisting
mengikuti Gambar IV-20 untuk area yang datar dan Gambar IV-21 untuk area melengkung.
Bersihkan lapisan kedua (gunning castable) dan permukaan anchor sebelum dilakukan
pemasangan bekisting.
Sebelum dilakukan pemasangan bekisting harus dipastikan plastic cap di unjung anchor
tidak ada yang hilang. Plastic cap akan terdekomposisi setelah proses instalasi dan heating
66
sehingga meninggalkan rongga sebagai tempat berekspansinya anchor. Sebelum melakukan
proses pengecoran harus dipastikan bahwa bekisting telah terpasang pada posisi dan desain yang
sesuai. Supporting plate pada posisi dan expansion join telah dipasang. Metode casting yang
digunakan untuk lapisan ketiga adalah metode casting papan catur yang terdiri dari 2 segment yang
berbeda dimana jenis semen yang di gunakan adalah (RORAM GB D1) kecuali pada furnace
menggunakan cast refractory jenis Calde Flow LM 74 A TW.
67
Gambar IV-23 Expansion join pada lapisan ke-3 (RORAM GB D1)
Lakukan finishing dan bersihkan area kerja dari sampah dan bekisting. Melakukan join
inspection antara pihak Indeporlen dan EPC pada area yang diperbaiki dan menyatakan area
tersebut tidak cacat/rusak. Melakukan pemeriksaan permukaan castable terhadap dimensi dan
porosity. Melakukan pengambilan gambar pada area tersebut dan membuat laporan. Melakukan
pemetaan pada daerah yang diperbaiki Melakukan natural drying setelah membuka Bekisting
minimal 24 jam pada temperature ambeien Melakukan heating up setelah tahap natural drying
dengan mengikuti presedur (terlampir) dan diagram heating up yang di rekomendasi dari
manufacture refractory yang ditampilkan Gambar IV-24. Pemanasan dilakukan dengan
menggunakan bahan bakar solar yang diinjeksikan dengan burner (Gambar IV-27). Dalam boiler
dipasangi 8-12 thermocouple yang digunakan untuk memonitor proses pemanasan. Hasil heating-
up disajikan dalam Gambar IV-25, di mana terlihat bahwa proses pemanasan berjalan sesuai
dengan set point yang direncanakan.
68
Gambar IV-24. Proses drying dan heating up setelah proses instalasi
500
450
BPI_CNEEC CFBC BOILER Target
UNIT # 2 - RDO CURVE
400 TC1
350 TC2
Temperature/oC
300 TC3
250 TC4
200 TC5
150 TC6
100 TC7
50 TC8
0
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67
unit of time (arbitrary)
Gambar IV-25. Hasil pembacaan thermocouple yang menunjukkan bahwa pemanasan sesuai
dengan set-point.
69
Gambar IV-26 Blower yang digunakan
untuk proses heating up
70
4.4. Evaluasi
71
Gambar IV-29. Terjadi erosi pada refractory di area furnace
72
Tabel IV-5. SOP dan komentar dalam pola operasi CFB
SOP DETAIL CATATAN
COLD START
Boiler Ventilation a. ID Fan AlB "Start"
dan fumace b. High Fluidized Fan A & C "Start"
purging "start" c. PA fan AlB "start"
d. SA fan AlB "start''
73
MFT "Reset" a. Furnace purging "complete" Perlu dipastikan debit
b. Fuel Oil Leak test "Complete" aktual SA
Note:
-All SA fan control damper minimum open 5%
- Total air flow min 68248NM3/h by adjusting
SA fan inlet damper
74
b. Warming-up b. Warming-Up :
(Pressure Rise) - Setelah proses ignition selesai, segera buka turbine
bypass system.
- Bukaperlahan bypass valve untuk menaikkan
pressure steam
- Ketika pressure steam drum di 0.069- 0.103Mpa,
fully close venting valve dan drain valve:
• Drum venting
• Rear pass roof wall header vent
• LTS outlet header vent
• PSH outlet header vent
• LTR outlet header vent
• PRH inlet header vent
• HTS outlet header vent SESUAI
• Rear pass lower header drain
• Drain lower header left dan right roof wall
• PSH inlet header drain
• HTS inlet header drain
5.Start coal feeder Pastikan Bed
• HTR inlet temperature
header drain >560°C
Start
• LTRCoal
inletfeeder
header(CF#1
draindan CF#4)
Atur flow coal feeder di 10 t/h, tahan selama 2 menit SESUAI
dan kemudian
- Close SH danstop coal
RH air feedervalve dan posisikan in
exhaust
Monitor
service. average bed temperature dan 02, restart coal
feeder ( CF#1
- Posisikan in dan CF#4)
service atur flow di 1Ot/h dan tahan
drum
selama 2 menit.
continuous blowdown berdasarkan referensi
Setelah average bed ternperature naik di 760°C
75
76
BAB V QUALITY ASSURANCE
Selain dari sebab desain, pemilihan material, dan pola operasi, kegagalan suatu komponen
dapat disebabkan oleh gagalnya penjaminan kualitas oleh manajemen (quality assurance).
Penjaminan qualitas secara filosofis menyangkut hal yang lebih luas dari control kualitas, dimana
quality assurance dapat didefinisikan sebagai pemenuhan kualitas produk dalam segala aspek.
Sedangkan control kualitas adalah menemukan ketidak sempurnaan dalam produk sehingga
produk tersebut gagal memenuhi fungsinya. Oleh karena itu di industry pembangkit listrik, quality
assurance dari kualitas refractory diterapkan sejak awal, misalnya dari tahap pemilihan kontraktor
refractory hingga assessment desain sebelum pemasangan dimulai. Quality control adalah bagian
dari upaya mencegah terjadinya cacat dalam produk dalam sistem penjaminan kualitas. Kontrol
kualitas refractory dapat dilakuan dengan mengacu standar API 936 [9], Elements, action dan
objectives dari control kualitas tersebut disajikan Tabel V-1.
77
5.2. Penerapan Quality Assurance Pekerjaan Refractory
Tindakan pencegahan berkaitan erat dengan tahapan awal dari desain dan perencanaan,
pemilihan material, dan instalasi dari dari refractory. Berkaitan dengan pencegahan kegagalan
maka beberapa lokasi dapat dilakukan inspeksi sesuai dengan prosedur yang baku (mengaju pada
deskripsi dari owner dan sesuai dengan standar quality assurance, misalnya berdasarkan API) (ref),
yang lebih utama dalam rangka pencegahan kegagalan refractory adalah pemilihan material,
instalasi, dan proses operasi. Di dalamnya detail material, detail instalasi. Quality check dapat
dilakukan mulai dari persiapan refractory dan yang paling penting adalah tahapan instalasi dari
refractory tersebut.
Konstruksi fish-bone diagram sangat membantu memahami detail instalasi refractory.
Seperti yang terlihat pada Gambar V-1, banyak faktor yang menentukan kualitas refractory pada
saat aplikasi. Dari fishbone diagram dapat dibuat kuality control check list yang dapat membantu
terjaminnya kualitas refractory.
Gambar V-1 Fish bone diagram yang digunakan untuk analysis refractory[10]
78
Quality control check list dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Material
Material refractory mengikuti kaidah sesuai dengan spesifikasi Manual Instruction, baik jenis,
ketebalan, maupun bentuk refractory. Material Anchor mengikuti kaidah sesuai dengan
spesifikasi Manual Instruction, baik jenis material, dimensi, maupun coating material
2. Man (pekerja pemasangan refractory)
Pelaksana pekerjaan di bidang welding memahami teknik dan prosedur welding. Hal ini
termasuk jenis material baik material induk (anchor dan steel casing) maupun material pengisi
(filler weld), bentuk kampuh las, dan teknik pengelasan yang sesuai. Pelaksana pekerjaan
pemasangan refractory memahami teknik dan prosedur yang sesuai untuk pemasangan
refractory.
3. Tool yang dipergunakan harus sesuai dengan kebutuhan pemasangan refractory
Welding Tool yang dipergunakan bisa menggunakan mesin las listrik yang memiliki
kemampuan memadai untuk pengelasan tipe SMAW (Shielded Metal Arc Welding) untuk
keperluan pengelasan anchor ke body steel casing. Mesin mixer yang dipergunakan memiliki
kemampuan memadai untuk mengaduk secara sempurna menjadi adonan yang tercampur
memilik sifat homogeny. Untuk instalasi, sebaiknya menggunakan bekisting (frame)
mengikuti bentuk kontur dari cyclone dan U-Valve. Selain itu, bisa menggunakan metode
injeksi dan ditambah dengan vibrating, sehingga mengurangi risiko terbentuknya void
pada cetakan refractory
4. Proses pemasangan
Pemasangan anchor menggunakan metode welding SMAW, dengan menggunakan
prosedur yang sudah ditentukan, yaitu bentuk kampuh, jenis kawat las, maupun metode
pemeriksaan hasil pengelasan. Setelah anchor terpasang, dilapisi dengan lapisan aspal
setebal 2 mm untuk memfasilitasi ekspansi thermal pada temperatur operasi. Surface
preparation harus sesuai dengan kaidah Instruction Notes. Steel surface harus bersih dari terak
las dan kotoran-kotoran lain. Sebelum memasang refractory / insulasi, permukaan dilapisi
dengan fiber felt setebal 2 lapis. Bentuk ekspansi dengan jarak 600 mm ~ 800 mm pada lapisan
wearable castable harus diperhatikan. Pemasangan refractory mengikuti kaidah-kaidah
pemasangan yang sesuai. Metode pencampuran menggunakan mixer dengan perbandingan
79
volume aggregat dan binder yang sesuai. Metode pemasangan menggunakan bekisting untuk
menjamin surface.
Gambar V-2 Pengujian distribusi termal di sekitar bolier dengan Infrared yang menunjukkan
local hot spot yang mengindikasikan terjadinya kegagalan refractory
Quality control untuk instalasi refractory castable dapat mengacu pada API 936. Di dalam
standar tersebut disebutkan element kunci dari quality list. Setiap tahap baik dari desain, persiapan
instalasi, dan process instalasi, serta post instalasi disebutkan detail dalam standar tersebut.
80
DAFTAR PUSTAKA
[1] P. Basu, S.A. Fraser, Circulating fluidized bed boilers, Springer, 1991.
[2] Harbison-Walker, Handbook of Refractory Practice, 2005.
[3] F. Ovčačík, Technology of refractory materials and heat insulating materials, (2015).
[4] F.S. Sperry, Refractory Installastion and Maintainance, 2017.
[5] Circulating fluidized bed boilers, (n.d.).
http://poisson.me.dal.ca/site2/courses/mech4840/CFB%20boiler%20Cethar%20NewFeb09.p
df (accessed March 21, 2017).
[6] R. Vincent, Refractory experience in circulating fluidized bed combustors, Task 7,
Fluidized-Bed Technologies, Inc., Chattanooga, TN (United States), 1989.
[7] A. Arjunwadkar, P. Basu, B. Acharya, A review of some operation and maintenance issues
of CFBC boilers, Appl. Therm. Eng. 102 (2016) 672–694.
[8] A. Handbook, Volume 11, Fail. Anal. Prev. 6 (2002).
[9] API, API 936: Refractory Instalation Quality Control: Inspection Monolithic Refractory
Lining and Materials, (2014).
[10] A. Santoso, Technical Report: Review Kerusakan Refractory Boiler, PLTU Banjarsari,
(2016).
81
Tim Penyusun Buku Best Practice Refractory Unit Pembangkit CFB:
1. Dr. Ir. HELENA CAROLINA KIS AGUSTIN, DEA
2. SUWARNO, ST., MSc., PhD
3. Dr. BAMBANG ARIP DWIYANTORO, ST., M.Eng.
4. Ir. NUR IKHWAN, M.Eng.
5. OCHAIRIALDY
6. SUKARDI
7. HEDEN SIAHAAN
8. ERICK PARLINDUNGAN MORGAN
9. MISTOPO
10. HARDIAN ARIF WINANTO
11. ANDIK SANTOSO
12. SALIM GAUSAL
13. MANGINGGARINGTYAS
82