Bu Siti
Bu Siti
Bu Siti
Sore itu antrian di stasiun Gubeng untuk jurusan Bandung panjang sekali. Untungnya aku berada di
antrian ketiga dari depan. Maka aku tak dihinggapi perasaan cemas, karena pasti kebagian tiket.
Udara panas Surabaya terasa menyengat, sehingga aku berkali-kali harus menyeka keringatku dengan
tissue yang sengaja kubekal di saku celanaku.
Loket belum dibuka juga. Para pengantri tampak sudah tak sabar. Dan ketika loket baru dibuka, terdengar
sapaan seorang wanita di dekatku, “Bisa titip satu Mas?”
Cerita Petualangan Seks | Aku menoleh ke arah suara itu. Dan terkejut ketika melihat wajah wanita itu.
Seorang wanita cantik, mengenakan gaun terusan berwarna hitam. Oh…dia Bu Rini, guruku waktu di
SMP dahulu ! Iya, tak salah lagi. Tapi tampaknya ia tidak ingat lagi padaku. Maklum, sekarang umurku
sudah 21 tahun. Sedangkan waktu diajar olehnya, umurku baru 13 tahunan. Pasti sudah banyak
perubahan pada diriku, sementara Bu Rini tetap seperti dahulu. Tetap cantik dan seksi. Malah sekarang
ia tampak lebih cantik daripada waktu masih jadi guruku dahulu.
“Tiket ke Bandung?” tanyaku, sengaja tidak memperkenalkan diri dulu. Biar nanti saja setelah
mendapatkan tiket aku akan menjelaskan siapa diriku.
“Iya,” wanita itu mengangguk dan tampak bersemangat. Lalu ia membuka tasnya, mengambil uang dari
tas itu, “Maaf ngerepotin ya Mas,” katanya waktu menyerahkan uang itu padaku.
Aku cuma menjawabnya dengan senyuman. Dia benar-benar sudah lupa bahwa aku ini bekas muridnya
yang dulu paling nakal di kelasku. Biarlah, nanti setelah ada kesempatan aku akan menjelaskan siapa aku
ini sebenarnya.
Tak lama kemudian tiket mulai dijual. Tak usah lama aku menunggu, karena aku berada di antrian ketiga
dari depan. Lalu kudapatkan tiket dua helai, nomornya 9A dan 9B. Berarti aku akan duduk berdampingan
dengan Bu Rini.
Pada waktu menerima tiket titipannya itu, Bu Rini mengangguk sopan sambil berkata, “Terima kasih
Mas.”
Wanita itu terkejut, “Kok bisa tau nama…nama saya?! Anda siapa ya?”
Kujulurkan tanganku untuk menjabat tangan wanita itu sambil berkata, “Ibu lupa ya…saya kan murid Ibu.
Saya anak yang paling nakal dulu….saya Niko, Bu.”
“Hah?!” Bu Rini terbelalak dan tampak girang, “Ini Niko?! Ya Tuhaaan…kamu kok berubah sekali Nik!
Sekarang udah dewasa…udah ganteng gini? Kalau kamu gak bilang duluan, ibu takkan ingat siapa kamu!”
“Tapi Ibu tidak berubah. Tetap cantik seperti dulu, malah lebih cantik sekarang,” kataku setelah ia
melepaskan tanganku.
“Mmm…bisa aja. Sekarang ibu sudah tua lah. Dulu waktu kamu jadi murid ibu, umur ibu baru
duapuluhempat. Sekarang kan sudah tigapuluhdua. Niko…Niko…kok bisa ketemu di sini ya? Ngobrolnya
di peron aja yuk,” kata Bu Rini sambil menjulurkan tangan ke tasnya.
“Biar saya aja yang bawa tas Ibu,” kataku sambil mendahului tangan Bu Rini untuk mengangkat tasnya,
“Hanya tas ini bawaannya Bu?”
“Iya,” Bu Rini mengangguk dengan senyum manis. Ah…kenapa batinku tergetar melihat senyum mantan
guruku itu?
Lalu aku melangkah di samping mantan guruku yang berperawakan tinggi semampai dan berkulit putih
bersih itu.
Rangkaian kereta api yang akan kami tumpangi belum masuk stasiun Gubeng. Maka kami cari tempat
duduk yang masih kosong. Dan melanjutkan ngobrol lagi.
“Kamu kuliah di Surabaya, Nik?” tanya Bu Rini setelah sama-sama duduk di bangku peron.
“Berarti kamu cinta kampung halaman, bukan kayak katak dalam tempurung. Lagian ngapain kuliah jauh-
jauh, kan di Bandung juga banyak universitas unggulan,” kata Bu Rini sambil menepuk lututku, “Lantasdi
Surabaya ada urusan apa?”
“O…kakakmu di Surabaya?”
“Iya Bu.”
Lalu Bu Rini banyak bertanya mengenai pendidikanku, di mana kuliahku, sudah semester berapa dan
sebagainya.
“Nggak…itu kan rumah orangtua ibu. Sekarang ibu tinggal di perumahan,” sahutnya, kemudian ia
menyebutkan nama perumahan itu.
Tiba-tiba saja aku ingin tahu gambaran pribadi Bu Rini, “Suami ibu dinas dimana?”
Wajah mantan guruku mendadak tampak murung, “Suami ibu sudah meninggal dua tahun yang lalu,
Nik.”
“Oh…” aku kaget, tak menyangka pertanyaanku bisa membuat Bu Rini berduka.
Lalu Bu Rini menceritakan bahwa suaminya kerja di sebuah kapal pesiar. Setelah tiga tahun menjadi istri
crew kapal pesiar itu, nasib malang menimpa suaminya. Kapal pesiar itu tenggelam di perairan Atlantik.
Hanya beberapa orang yang berhasil diselamatkan dalam musibah itu. Dan suami Bu Rini termasuk
dalam daftar korban yang tewas.
“Saya prihatin mendengarnya,” kataku setelah Bu Rini selesai menuturkan kisah sedihnya, “Maafkan
saya…karena pertanyaan saya tadi memancing kesedihan Ibu.”
“Gak apa-apa…” kata Bu Rini lirih, “Lagian kejadiannya sudah lama berlalu.”
Tak lama kemudian rangkaian kereta api yang akan kutumpangi sudah memasuki stasiun Gubeng. Kami
menunggu beberapa saat, sampai terdengar suara di loudspeaker, bahwa para calon penumpang jurusan
Bandung dipersilakan naik ke dalam kereta.
Kubawakan lagi tas Bu Rini di tangan kanan, sementara tangan kiriku menjinjing tasku sendiri.
Di dalam gerbong yang tertulis di tiket, kucari nomor 9A dan 9B. Setelah ketemu, kupersilakan Bu Rini
memilih mau di pinggir jendela atau di pinggir lorong.
Bu Rini memilih di pinggir lorong. Takut ada yang melempar batu, katanya. Memang benar, di dalam KA
Jakarta-Bandung aku sendiri pernah melihat seorang wanita hamil kena lemparan batu dari luar, kena
kepalanya dan pingsan. Maka wajar kalau Bu Rini takut duduk di dekat jendela.
Kebetulan aku justru lebih suka duduk di dekat jendela, supaya bisa melihat pemandangan di luar. Tapi
mau lihat apa nanti? Bukankah yang kunaiki ini kereta malam? Hmm…biarlah….yang jelas aku merasa
beruntung sore ini. Karena tanpa diduga aku bisa bertemu dan bersama mantan guru yang dulu paling
kukagumi di sekolahku.
Ketika kereta eksekutif ini mulai bergerak meninggalkan stasiun Gubeng, terdengar suara Bu Rini di
sampingku, “Udah gede gini tentu udah punya pacar ya?”
“Bohong ah,” Bu Rini mencubit tanganku, “Masa cowok seganteng gini gak punya pacar?”
“Betul Bu,” sahutku jujur, “Waktu masih di SMA pernah pacaran, tapi putus begitu aja. Setelah jadi
mahasiswa, saya malah males pacaran lagi. Mending konsen kuliah aja Bu. Nanti kalau udah punya kerja,
baru saya mau mikirin cewek lagi.”
“Bagus juga sih. Kalau udah punya kerja, cewek mah gampang dicari.”
“Iya Bu. Mmm…dulu waktu masih di SMP, saya nakal banget ya Bu.”
“Ah, itu kan masanya aja. Ada waktunya seorang anak itu jadi nakal. Ada waktunya juga jadi anak yang
baik. Seperti sekarang…gak nakal lagi kan?”
“Hehehe…gak lah Bu. Kalau udah dewasa malu nakal-nakalan, Bu. Ohya…Ibu masih ngajar di SMP kita
Bu?”
“Bimbingan belajar?”
“Iya,” Bu Rini mengangguk, “Tapi yang aktif kebanyakan para mahasiswa. Ibu hanya memanage aja. Buat
sambilan ibu bisnis kecil-kecilan. Masukin pakaian produk Bandung ke Jatim.”
“Iya Nik. Cuma menganalisa aja perkembangan di kota-kota yang biasa dikirimin barang. Takut
ketinggalan mode. Kalau ngirim barang sih pakai ekspedisi aja. Pembayaran juga dilakukan via transfer. “
Tak lama kemudian seorang pramugari menawarkan makanan. Bu Rini menanyakan aku mau makan
apa? Kujawab nasi goreng saja. Lalu ia memesan dua nasi goreng dan dua teh manis panas. Setelah
pesanan itu datang, Bu Rini membayarnya. Rikuh juga aku dibuatnya, karena ditraktir oleh mantan
guruku. Kalau sudah bekerja, mungkin sewajibnya aku yang mentraktirnya.
“Kamu jadi berubah sekali,” kata Bu Rini waktu sama-sama menyantap nasi goreng, “Keliatannya
sekarang kamu jadi alim ya?”
“Kenapa? Emangnya ibu ini kamu anggap monster yang menakutkan?” Bu Rini mencubit pahaku sambil
menatapku dengan sorot yang tidak biasa.
“Mungkin Ibu gak nyadar…waktu masih di SMP, Bu Rini adalah guru yang paling saya kagumi.”
“Karena ibu gak pernah marahin kamu kan?”
“Bukan cuma itu…yang paling saya kagumi adalah…mmm…Ibu itu guru yang tercantik di mata saya.”
Lagi-lagi Bu Rini mencubit pahaku, “Itu kan dulu…waktu ibu masih muda. Sekarang mah sudah tua…”
“Boleh…boleh…demokratis aja…hihihi…”
“…dan apa?”
“Dan…seksi…”
Untuk yang kesekian kalinya Bu Rini mencubit pahaku sambil berkata, “Sekarang kamu udah gede…udah
pinter gombal ya?”
“Serius Bu?”
“Serius ! Tapi sekalian bantuin kerjaan ibu nanti ya. Mmm…kalau kamu mau, kamu bisa ikutan ngajar di
bimbel punya ibu. Biar ada penghasilan buat jajan.”
“Sampai saat ini ibu belum punya tangan kanan. Mudah-mudahan kamu bisa jadi tangan kanan ibu nanti
ya.”
“Siap Bu.”
Kereta api eksekutif yang kutumpangi meluncur terus ke arah barat, di tengah kegelapan malam.
“Ibu ngantuk Nik. Boleh kepala ibu direbahkan di sini?” Bu Rini menepuk pahaku.
“Mmm…untung ada kamu…” tiba-tiba Bu Rini mengecup pipiku. Membuatku terkejut bercampur senang.
Tak lama kemudian Bu Rini merebahkan kepalanya di pahaku. Ia tak mau memakai selimut dan bantal
yang dibagikan oleh pramugari. “Jijik, bekas orang,” katanya, “Lagian masa selimutnya juga yang salur-
salur gini, kayak di rumah sakit kelas jelata aja. Padahal kereta ini kan eksekutif. Pelayanannya makin
lama makin payah.”
Aku bakal sulit bergerak, karena pahaku dipakai rebahnya kepala Bu Rini. Tapi gak apa-apa. Aku malah
senang mengalami semua hal yang tak terduga ini.
Sambil rebah terlentang dengan kepala di pahaku, Bu Rini memegang kedua tanganku. Lalu
menempelkannya di kedua pipinya sambil berkata, “Sering-sering kepit pipi ibu begini ya. Biar gak
kedinginan.”
“I..iya Bu,” sahutku. Tentu saja aku mau banget menempelkan kedua telapak tanganku di pipi mantan
guruku yang jelita itu.
Lalu…entah dari mana datangnya keberanian ini. Ketika mata Bu Rini mulai terpejam, iseng-iseng kuelus
hidung mancung-meruncing itu. Bu Rini membuka matanya lagi, menatapku dengan senyum manis. Lalu
terpejam lagi.
Hmmmm…terawanganku jadi melayang ke mana-mana. Dan aku jadi teringat pada jaket tebalku yang
sejak tadi tak kupakai. Tanpa disuruh, kuhamparkan jaket itu menutupi bagian dada Bu Rini. Semoga bisa
mengurangi dinginnya AC di dalam gerbong ini.
Mata Bu Rini terbuka lagi. Bibir sensualnya tersenyum lagi. “Thanks, Nik. Kamu baik banget.”
Aku bukan orang bodoh. Minimal aku sudah bisa menganalisa semuanya ini. Tapi aku tak mau bertindak
ceroboh. Karena Bu Rini kuhormati di samping rasa kagumku. Yang bisa kulakukan hanyalah wait and
see.
Esok paginya kereta api yang kutumpangi tiba di stasiun Bandung tepat pada waktunya. Kujinjing tas Bu
Rini dan tasku sendiri, keluar dari peron. Bu Rini mengikuti langkah seorang sopir taksi.
Tak lama kemudian aku dan Bu Rini berada di dalam taksi yang meluncur ke arah kompleks perumahan
yang sudah disebutkan oleh Bu Rini tadi.
“Semalaman di kereta api, badan ibu jadi pegel-pegel gini,” kata Bu Rini sambil menyandarkan kepalanya
di bahuku.
Aku diam saja. Sementara terawanganku menggoda lagi. Tapi aku berusaha menindasnya, karena takut
analisaku salah.
Bu Rini menyuruh taksi berhenti di depan sebuah rumah dalam kompleks perumahan yang elite. Tanpa
menunggu perintah, sopir taksi itu menurunkan tasku dan tas Bu Rini dari bagasi mobilnya, lalu
meletakkannya di teras rumah Bu Rini.
Ketika memasuki rumah itu, aku dibikin kagum lagi. Sungguh rumah yang megah, ditata secara artistik
pula. Kalau masih mengajar di sekolahku dahulu, pasti Bu Rini takkan punya rumah semegah ini, dengan
perabotan serba mahal pula. Dan aku cepat berprediksi, bahwa mungkin Bu Rini mendapatkan santunan
asuransi yang cukup besar, sehingga bisa memiliki rumah semegah ini.
“Rumah sebesar ini hanya dihuni sama Ibu sendirian?” tanyaku setelah dipersilakan duduk di sofa
panjang ruang tamu, di samping Bu Rini.
“Iya,” Bu Rini mengangguk, lagi-lagi dengan senyum yang menggoda, membuat batinku tergetar lagi,
“Ada sih tukang beres-beres, tapi kalau ibu gak ada dia juga gak masuk. Pada hari-hari tertentu banyak
juga yang suka berkumpul di sini. Guru-guru bimbel itu.”
“Buat belajar juga cocok kan?” kata Bu Rini sambil memegang tanganku. Terasa hangat genggamannya
itu.
“Iya Bu. Kalau untuk belajar, cocok sekali. Suasananya tenang banget, ” kataku sambil diam-diam
membandingkan dengan suasana di rumah orang tuaku yang di dalam gang kecil dan selalu bising dan
bau. Maklum rumah orang tuaku dikelilingi pabrik tahu, yang air limbahnya bau menyengat.
“Kalau kamu mau, tinggal di sini aja,” kata Bu Rini, “Sekalian bantuin ibu dalam kegiatan bimbel dan
bisnis pakaian itu.”
“Mau Bu.”
“Syukurlah. Ibu juga takkan serakah. Nanti kamu dapat bagian keuntungan tiap bulan. Anggap aja gaji
bulanan.”
Aku seperti mendapat kesempatan untuk memancing Bu Rini, supaya perasaannya padaku seperti apa.
Lalu kataku, “Gak digaji juga saya mau Bu. Yang penting…saya bisa dekat sama Ibu terus…”
“Yang bener nih,” cetus Bu Rini sambil melingkarkan lengannya di leherku. Dengan bibir ternganga dan
mata bergoyang.
Ini benar-benar indikator positif buatku. Kenapa aku masih terus berbasa-basi? Bukankah tadi di
sepanjang perjalanan aku memimpikan terus kesempatan seperti ini?
Lalu seperti mendengar teriakan di dalam batinku sendiri: Terkam dia ! Tunjukkan bahwa kamu laki-laki !
Bukankah dia sudah menantang kejantananmu?
Tanpa banyak basa basi lagi, kupagut bibir Bu Rini yang tampak menantang itu. Berikutnya justru Bu Rini
yang melumat bibirku. O, serasa melayang batinku dibuatnya.
Tapi hanya beberapa menit aku bisa menikmati semuanya ini, karena lalu kudengar bisikan Bu Rini,
“Supaya segar, mendingan kita mandi dulu yok.”
Seperti robot yang sudah dikendalikan, aku mengikuti langkah Bu Rini ke dalam kamarnya. Di situ ada
pintu kamar mandi. Ia membuka pintu itu, lalu menoleh padaku, “Kalau mau ganti pakaian, ambil dulu
pakaianmu gih.”
Sebagai jawaban, kupeluk pinggang Bu Rini dengan sepenuh gairah mudaku. “Ganti baju mah gampang
Bu…mending mandi aja dulu….”
“Udah gak sabar pengen mandi sama ibu ya?” Bu Rini mengerling dengan senyum yang sangat
mengundang.
“Iya Bu.”
“Ohya…nanti kalau ada yang nanya, bilang aja kamu itu adik sepupu ibu ya.”
“Iya-iya"...
Kuperhatikan keadaan kamar mandi yang bersatu dengan kamar tidur Bu Rini ini…besar dan lengkap.
Bukan cuma ada bathtube yang ditutup oleh kaca buram, tapi ada lemari handuk dan pakaian segala.
“Kamu pikir ibu main-main? Masa sih ibu biarkan kamu mencium bibir ibu kalau gak ada apa-apanya.”
“Saya merasa seperti bermimpi dengan semuanya ini Bu. Sungguh gak nyangka hari ini saya akan
mengalami kejadian indah ini,” kataku ketika kulihat Bu Rini mulai menanggalkan gaun yang dipakainya
dari Surabaya sejak kemarin.
“Masa sih? Cubit tanganmu sendiri, biar yakin bahwa sekarang kamu bukan sedang bermimpi,” Bu rini
menggantungkan gaun hitamnya di kapstok. Sementara aku dibuat bengong setelah menyaksikan
indahnya tubuh wanita itu, yang cuma tinggal mengenakan beha dan celana dalam saja.
GIlanya, tanganku ditariknya. Diselusupkan ke balik behanya, sehingga aku menyentuh payudara yang
montok dan terasa masih kencang. “Di kereta api ibu tunggu kamu memegang ini. Tapi kamu hanya
berani memegang leher dan pipi doang ya?”
Aku jadi degdegan. Suaraku juga jadi terengah-engah, “Sa…saya gak berani dong Bu.”
“Sekarang sudah berani kan? Bukain dong kancingnya, kan mau mandi,” kata Bu Rini sambil menunjuk ke
arah punggungnya. Ke arah kancing kait behanya.
Dengan bersemangat kulepaskan kancing kait itu. Lalu kuberanikan diri melepaskan beha itu, “Gantungin
di sini juga Bu?” tanyaku sambil membawa beha itu ke kapstok, di mana gaun hitam Bu Rini sudah
tergantung.
“Iya,” sahut Bu Rini yang sudah melangkah ke arah bathtube tanpa melepaskan celana dalamnya. Lalu
kulihat ia membuka kran air panas dan air dingin.
Besar sekali bathtube di kamar mandi ini. Aku lalu teringat bahwa almarhum suaminya dulu bekerja di
kapal pesiar dan sering berada di luar negri, sehingga almarhum punya selera internasional. Dan itu bisa
dibuktikan dengan bentuk penataan di dalam rumah ini, termasuk penataan kamar mandi ini yang tidak
asal-asalan.
“Kalau mau mandi buka dong bajumu,” kata Bu Rini yang sudah menelentang di dasar bathtube sambil
menutupi sepasang payudara montoknya.
Tak buang-buang waktu lagi, kulepaskan baju dan celana jeansku. Tapi aku tak berani melepaskan celana
dalamku. Lalu aku memasukkan kaki ke bathtube dalam keadaan tinggal bercelana dalam.
“Kok celana dalamnya gak dibuka?” tegur Bu Rini dengan sikap menggoda.
“Nanti kamu aja yang lepasin celana dalam ibu,” kata Bu Rini sambil menarik lenganku yang belum
terendam air. Gila ! Ucapan Bu Rini itu menimbulkan khayalan yang bukan-bukan.
Terlebih lagi setelah aku sama-sama berendam dalam air hangat di samping Bu RIni. Rasanya aku mulai
sulit mengatur nafasku, karena dengan tatapan dan senyum menggoda Bu Rini mengangsurkan sepasang
payudara montoknya ke dekat wajahku sambil berdesis, “Mau netek nak?”
Bu Rini ketawa cekikikan. Lalu mulutku benar-benar mencelucupi pentil payudara kirinya, sementara Bu
Rini memeluk leherku dengan cara yang membuat aku lupa daratan.
Namun kebinalan Bu Rini tak cuma itu saja. Tanganku pun diraih sampai menempel di perutnya, lalu
diselinapkan ke dalam lingkaran karet celana dalamnya. Ini adalah puncak gejolak dalam batinku, karena
tanganku mulai menyentuh jembut Bu Rini yang terasa lebat, sementara Bu Rini bahkan memagut
bibirku…lalu mengemut lidahku yang ditarik ke luar.
Oh, aku jadi edan eling dibuatnya. Terlebih ketika jemariku mulai menemukan celah kemaluan Bu Rini…
sehingga dengan leluasa aku mulai menjelajahi daerah yang paling sensitif di tubuh mantan guruku itu.
Aku lalu teringat kata-kata Bu Rini tadi, “Nanti kamu aja yang lepasin celana dalam ibu.” Kini aku
mengerti bahwa ia akan membiarkanku melepaskan celana dalamnya. Dan aku melakukannya tanpa
keraguan lagi, melepaskan satu-satunya benda yang masih melekat di tubuh mantan guruku.
Setelah kubikin telanjang bulat, Bu Rini berkata sambil memeluk leherku lagi, “Mulai saat ini ibu jadi
milikmu….boleh kamu lakukan apa pun yang kamu mau….”
Sebagai mahasiswa yang sudah berumur 21 tahun, tentu aku memahami arti kata-kata mantan guruku
itu. Maka akupun menjawabnya dengan tegas, “Mulai saat ini saya juga menjadi milik Bu Rini…dan Ibu
boleh lakukan apa pun yang Ibu mau…”
“Sttt….” Bu Rini menempelkan telunjuknya di bibirnya, “Mulai saat ini jangan panggil ibu-ibuan
lagi….nanti orang-orang heran, masa manggil Bu Rini pada kakak sepupu?”
“Iya,” Bu Rini mengangguk, “Di depan orang lain kamu harus manggil Mbak…tapi kalau gak ada orang
lain, kamu boleh manggil apa saja. Nyebut namaku langsung juga boleh.”
Ucapan itu dilanjutkan dengan aksi tangan Bu Rini, merayapi dada dan perutku, lalu menyelinap ke balik
celana dalamku, sehingga ia sadar bahwa penisku sudah tegang sekali. Karena memang sejak masuk ke
dalam kamar mandi ini pun penisku sudah tegang.
“Wow, udah tegang banget,” kata Bu Rini sambil memegang batang kemaluanku dengan tangan
kanannya, sementara tangan kirinya memelorotkan celana dalamku, “Gila ! Kamu apain penismu ini Nik?
Kok bisa panjang gede gini?”
“Gak diapa-apain,” sahutku, “kebetulan aja saya dianugrahi penis yang international size…hehehe…”
“Ah…ibu jadi horny, Nik…tapi jangan di sini…di tempat tidur aja yuk, biar empuk dasarnya…” Bu Rini
bangkit dan keluar dari bathtube, lalu mengambil salah satu handuk yang tergantung di kapstok. Setelah
mengeringkan tubuhnya, handuk itu dibelitkan ke badannya sambil berkata, “Pakai aja handuk itu.
Semuanya bersih Nik.”
“Iya,” sahutku sambil melangkah ke kapstok, lalu mengambil handuk berwarna krem dan kupakai untuk
mengeringkan tubuhku. Lalu kubelitkan handuk itu dan mengikuti langkah Bu Rini keluar dari kamar
mandi menuju tempat tidur luas yang masih diterangi beberapa lampu.
Bu Rini mematikan lampu-lampu, sehingga tinggal lampu dinding dekat tempat tidur yang masih
menyala redup. Lalu ia naik ke atas tempat tidur, melepaskan handuk yang melilit di tubuhnya, lalu
menelentang dalam keadaan telanjang bulat. Dan tersenyum padaku dengan kedua tangan
direntangkan, seolah menantangku, “Terkamlah aku Niko…”
Dengan jantung berdegup-degup kulepaskan pula handuk yang melilit di tubuhku, lalu naik ke atas
tempat tidur…dan benar-benar menerkamnya dengan gejolak nafsu yang semakin tak terkendalikan.
Bu Rini menyambut terkamanku dengan pelukan hangat. Dengan bisikan menghiba, “Milikilah ibu
sepuasmu, sayang.”
Itu pertama kalinya kudengar kata “sayang” dari mulut Bu Rini. Maka sambil memeluk leher mantan
guruku itu, aku pun berbisik, “Semua ini benar-benar seperti dalam mimpi, Rini sayang….”
Itu pula pertama kalinya aku berani menyebut namanya langsung, tanpa embel-embel Bu lagi.
Dan kami lalu bergumul mesra, dalam kehangatan birahi yang makin bergolak. Meski bukan cowok yang
banyak pengalaman, aku sudah sering nonton film-film bokep. Sehingga aku tahu benar bagaimana
caranya menciumi bibir Bu Rini, bagaimana pula cara menjilati lehernya yang harum, mencelucupi pentil
payudaranya dan bahkan menjilati pusar perutnya….lalu menurun ke bagian yang tertutup jembut lebat
hitam itu.
Tanpa keraguan lagi kungangakan bibir kemaluan Bu Rini, kemudian kuserudukkan mulutku ke belahan
yang merah itu, lalu naik ke atas…ke arah kelentitnya yang nyempil kecil…lalu menjilatinya dengan rakus.
Aku senang sekali melakukannya, karena kemaluan Bu Rini tidak berbau sedikit pun, membuatku
bersemangat menjilatinya.
“Saya sering nonton filmnya, tapi baru sekarang saya praktekkan,” kataku di sela-sela permainan oralku.
“Iya…itu betul…nah itunya yang harus digasak, sayang,” desis Bu rini pada waktu ujung lidahku sedang
menjilati clitorisnya.
Maka aku pun menjilati clitoris Bu Rini dengan ganasnya, sementara jemariku mulai kumasukkan ke
dalam liang kemaluannya…kugerak-gerakkan di liang yang sudah mulai basah dan hangat itu. Terasa
sepasang kaki Bu Rini mengejang-ngejang, mungkin sedang merasakan nikmatnya jilatanku.
Tapi tak lama kemudian Bu Rini menarik kepalaku agar naik ke atas dadanya, “Masukin aja penismu,
sayang. Nanti ibu keburu ambrol…”
Setelah aku berada di atas tubuhnya, Bu Rini membantuku memegang batang kemaluanku yang sudah
sangat tegang ini, menempelkan ujung tombakku persis di depan mulut vaginanya. Sementara itu ia pun
merentangkan kedua pahanya lebar-lebar, mungkin untuk mempermudah penetrasi penisku ke liang
vaginanya.
“Oooh…sudah masuk, sayang…” Bu Rini memeluk leherku, sehingga wajahku berada di samping pipi
kanannya.
Meski belum masuk semuanya, aku mulai menggerak-gerakkan penisku, tarik, dorong, tarik,
dorong….sehingga penisku mulai seperti sedang memompa liang vagina Bu Rini.
Kuhentikan dulu gerakan penisku, lalu kutatap wajah cantik Bu Rini (yang mirip Nourma Yunita di masa
mudanya itu). Tanyaku nakal, “Kita ini lagi ngapain ya?”
Bu Rini mencubit pipiku, “Iiih…nakal ! Kita kan sedang bersetubuh, sayang. Sekarang ini ibu sudah
menjadi milikmu sepenuhnya…..”
“Saya bahagia sekali diberi kesempatan memiliki Ibu, eh Mbak Rini yang sejak di SMP jadi guru yang
paling saya kagumi…” kataku sambil menciumi lehernya.
Lalu kulanjutkan lagi gerakan batang kemaluanku, maju mundur di dalam jepitan liang vagina yang luar
biasa enaknya ini.
Tampaknya Bu Rini sangat menikmati gesekan-gesekan batang kemaluanku di liang vaginanya. Terkadang
matanya terpejam, lalu terbeliak, terpejam lagi dan seterusnya. Kedua tangannya pun tiada hentinya
menjelajahi kepala dan tubuhku yang bisa dicapainya. Terkadang ia meremas-remas bahuku, lalu
mengelus rambutku, lalu meremas-remas pantatku. Di saat lain lengannya mendekap pinggangku erat-
erat, seolah tak mau berpisah dariku sedikit pun.
Aku pun semakin ganas mengayun batang kemaluanku. Pada waktu penisku sedang dibenamkan,
kudesakkan sekuat mungkin, sehingga terasa benar moncong penisku menyundul ujung liang vagina
mantan guruku. Pada detik-detik seperti itu, Bu Rini tampak sangat menikmatinya. Ia menatapku dengan
mulut ternganga, dengan kedua telapak kaki dipertemukan di atas pinggangku.
Dan dalam detik-detik seperti itu aku pun tak dapat menahan celoteh nikmatku,
“Oooh….sayaaaaang….ini enak sekali…..oooh…..oooh….enak sayang….”
Yang lalu dijawab dengan remasan di bahuku, dengan gigitan lembut di bibirku. Terkadang sekujur tubuh
mantan guruku itu terasa bergetar-getar…di saat lain ia mengejang, menggeliat dan mengelojot sambil
mendesah-desah seperti kepedasan.
Tapi tak lama kemudian ia menahan-nahan napasnya, lalu berkata terengah-engah, “Sayang….ibu udah
mau keluar nih….barengin aja yok…biar enak…”
Meski tak mau mengakui bahwa aku punya pengalaman juga, aku bersikap seperti cowok hijau. Kataku,
“I…iya…gimana caranya?”
“Percepat aja gerakannya….iyaaaa….iyaaaa….enjot terus secepatnya, biar kamu cepat keluar….” desah
mantan guruku sambil menggoyang-goyangkan pantatnya dengan gerakan yang aduhai.
Maka ketika aku sudah mempercepat enjotan penisku, liang kemaluan Bu Rini terasa seperti memilin-
milin penisku karena gerakan pantatnya yang gila-gilaan. Oooh…ini enak sekali !
Akhirnya kami mengalami puncak yang sama. Puncak kenikmatan yang luar biasa ganasnya. Bahwa
mantan guruku seperti mau menghancurkan bahuku, mencengkramnya dengan kuat sekali….sementara
aku pun melakukan hal yang sama…kudesakkan batang kemaluanku sekuat mungkin, sambil meremas
payudara wanita itu dengan remasan yang cukup kuat. Lalu kami sama-sama menahan napas, diikuti
dengan desahan nikmat yang sangat indah.
Ooooooohhhhhhh……
Aaaaaahhhhhhhh……
Kami sama-sama terkapar lunglai sambil berpelukan. Lalu aku berguling ke samping, sehingga batang
kemaluanku terlepas dari liang vagina Bu Rini.
Mantan guruku bangkit dan meraih handuknya, “Air manimu banyak sekali, Nik. Sampai meluap gini,”
katanya sambil mengelap kemaluannya dengan handuk.
Aku cuma tersenyum sambil mengelus lutut dan betis mantan guruku.
Setelah mengeringkan kemaluannya, wanita cantik itu merebahkan diri lagi di sisiku.
“Ini pengalaman yang paling dahsyat dalam hidup saya, Bu…eh Mbak…” kataku.
“Kalau gak ada orang lain, kamu boleh nyebut namaku langsung, sayang,” kata mantan guruku sambil
meremas tanganku, “Kamu telah membuat hidupku jadi berwarna lagi…”
Lalu kami berpelukan dengan posisi miring berhadapan. Dan akhirnya tertidur pulas, tanpa
mempedulikan tubuh kami yang masih telanjang.
Hari sudah sore saat aku terbangun. Kulihat mantan guruku tak ada di sampingku lagi. Maka bergegas
aku turun dari tempat tidur menuju kamar mandi, di mana pakaianku masih tergantung di kapstok. Tapi
aku mandi dulu di bawah semburan shower air hangat. Dan membersihkan tubuhku sebersih mungkin.
Setelah mandi barulah kukenakan kembali pakaianku. Lalu melangkah ke luar kamar untuk mencari Bu
Rini.
Ternyata ia sedang berada di dapur, dalam kimono putih bersih.
“Nyenyak banget tidurmu ya?” kata Bu Rini sambil menoleh padaku dengan senyum manisnya.
“Iya sayang,” sahutku sambil memeluknya dari belakang, “Saya kan gak tidur di kereta api. Karena
menjaga mantan guru tercinta, takut digigit nyamuk…”
“Mmm….perjalanan dari Surabaya ke Bandung itu bisa jadi kenangan manis kita ya?” cetus Bu Rini
sambil mengecilkan api kompornya.
“Iya…kenangan yang sangat indah…karena dipertemukan dengan mantan guruku yang dulu paling
kukagumi. Tapi apa dasarnya Ibu eh Mbak Rini memberikan semuanya itu padaku?”
“Apa ya? Yang jelas ibu, eh aku senang mendengar bahwa kamu sangat mengagumiku sejak di SMP
dahulu. Lalu aku menyaksikan sesuatu yang istimewa pada dirimu…bahwa kamu sudah menjadi cowok
yang ganteng ! Tapi yang kusukai pada dirimu sekarang, adalah sikapmu itu…jauh berbeda dengan waktu
masih jadi muridku dulu…sekarang kamu sudah menjadi cowok yang mantap dan berwibawa…”
Aku termangu mendengar ucapan mantan guruku itu. Lalu duduk di depan meja makan yang ada di
dapur luas itu (jauh berbeda dengan dapur di rumah orang tuaku yang cuma ada kompor dan kulkas,
serba sempit pula).
“Mau minum kopi?” tanya Bu Rini (aku akan membiasakan untuk tetap memanggil Mbak, supaya orang-
orang percaya bahwa aku ini adik sepupunya).
“Gakpapa. Kadang-kadang cowok itu suka tampak lebih macho kalau sedang merokok. Asal jangan lebih
dari sebungkus sehari.”
“Wah, aku malah cuma setengah bungkus sehari. Di kereta api semalam suntuk gak bisa merokok.
Makanya masih utuh nih rokoknya,” kataku sambil mengeluarkan bungkus rokok kretek filterku yang
masih utuh. Dan menyalakannya sebatang.
Tak lama kemudian Mbak Rini meletakkan cangkir kopi di meja depanku, “Silakan diminum kopinya, Mas
Ganteng,” godanya sambil tersenyum.
“Sebentar lagi kita makan ya,” kata Mbak Rini sambil menarik sebuah kursi ke samping kursiku.
“Mmm…Ibu, eh Mbak belum punya anak ?” tanyaku setelah Mbak Rini duduk di sampingku.
“Sudah, baru seorang,” sahutnya, “Anak laki-laki. Sekarang umurnya tiga tahunan.”
“Ngapain nunggu jadi sarjana? Kamu kan sudah punya job tetap di sini. Penghasilanmu di sini akan lebih
besar daripada kerja kantoran biasa. Penghasilan itu untuk pribadimu saja. Aku kan sudah punya
penghasilan sendiri.”
“Oke,” aku mengangguk sambil mencium pipi Mbak Rini, “Silakan atur-atur aja lah. Aku ikut keinginan
Mbak aja.”
Mbak Rini tersenyum dan berkata, “Becanda, sayang. Setelah melahirkan, aku kan ikut keluarga
berencana. Sampai sekarang belum dicabut lagi alatnya. Jadi…meski kita ML sepuluh kali sehari, aku
takkan hamil.”
“Tapi aku serius Mbak. Kawin dengan Mbak pun aku mau.”
“Serius?”
“Mmmm….” Mbak Rini tersenyum dan mendekatkan bibirnya ke bibirku. Spontan saja kupagut bibir
sensual itu. Lalu kudengar suaranya, “Tak kusangka kamu bisa membahagiakan hatiku yang selama ini
terasa gersang.”
Lalu ia menghampiri kompor yang berbentuk seperti mesin cuci itu. Mematikan kompor itu sambil
berkata, “Sudah masak sup ayamnya. Kita makan dulu ya. Hari ini perut kita belum diisi apa-apa.”
“Iya,” sahutku, “Terakhir kita makan nasi goreng di kereta api, lalu terlupakan…karena sesuatu itu….”
“Sesuatu apa?” ia menoleh sambil meletakkan mangkuk besar di atas meja, kemudian menuangkan sop
ayam dari panci bertangkai panjang.
“Enak banget !”
“Oke deh, kita makan dulu yuk. Mau pake nasi apa kentang goreng?”
“Nasi aja. Orang Indonesia kalau belum makan nasi kan seperti belum makan.”
Mbak Rini tersenyum, lalu menuangkan nasi ke piring dan meletakkannya di depanku. Kemudian ia
duduk di sampingku sambil bertanya, “Mau disuapin?”
“Heheheee…iya, iya…! “
“Udah pengen lagi kan?” godanya sambil memegang celanaku pas di bagian penisku yang sudah bangun
lagi.
Ia cuma tersenyum-senyum sambil makan. Selesai makan ia menatapku, “Malam ini kuat berapa kali
lagi?”
“Gak tau…belum pengalaman sih…” kataku dengan perasaan bersalah, karena sebenarnya aku
membohonginya. Ada sosok lain yang pernah singgah dalam hidupku, tapi akan tetap kurahasiakan.
“Selama ini kalau nafsu, disalurin ke mana?” tanyanya setelah selesai makan.
“Sama cewek belum pernah?” tanyanya lagi sambil menarik ritsleting celanaku, lalu menyelinapkan
tangannya ke balik celana dalamku.
“Kasian amat,” desisnya sambil menggenggam penisku yang sudah mulai bangun, “Kalau ngocok bisa
berapa kali semalam?”
“Pernah sampai tujuh kali,” sahutku, “Soalnya setelah ngecrot, hidup lagi, ngecrot lagi, hidup
lagi….sampai subuh….”
“Mmmm…hebat !” katanya sambil membereskan meja makan, sehingga tak ada apa-apa lagi di atas
meja itu.
Di luar dugaanku, ia duduk di pinggiran meja makan itu sambil melepaskan ikatan tali kimono yang
melingkari pinggangnya. Lalu merentangkan kedua sisi kimono itu. Membuatku sadar bahwa ia tak
mengenakan apa-apa lagi di balik kimono sutra putih itu.
“Cobain di sini yok…” ajaknya sambil menepuk-nepuk kemaluannya yang berjembut tebal sekali itu.
Aku mengangguk sambil menggeser kursiku ke depan wanita cantik itu. Ternyata pas banget…aku bisa
meniru posisi seperti di video-video triple X. Bahwa aku bisa duduk di kursi sambil mendekatkan wajahku
ke kemaluan Ibu RIni yang sekarang sudah menjadi milikku dan mulai kubiasakan menyebut Mbak
padanya.
Mbak Rini tampak mengerti apa yang akan kulakukan. Ia merentangkan pahanya, dengan lutut berada di
pinggiran meja dan kaki terjuntai ke bawah. Ia pun merebahkan badannya, jadi menelentang di atas
meja makan itu.
Aku pun mulai menyibakkan rambut vaginanya, sehingga belahan kemaluannya mulai tampak
kemerahan. Dan tanpa basa basi lagi, kuserudukkan mulutku ke memek yang tampak menantang itu.
Kugerak-gerakkan lidahku, menyapu-nyapu kemaluan Mbak Rini, sehingga terasa kakinya mulai
mengejang-ngejang. Terlebih setelah lidahku mulai menggasak clitorisnya, erangan-erangan histeris pun
mulai berkumandang di dapur yang ditata secara modern ini. Sementara kedua tanganku menjulur ke
arah sepasang payudara yang montok dan terawat itu. Dan mulai meremasnya dengan lembut, meski
terkadang aku meremasnya dengan agak keras. Sesekali kumainkan pentil payudara itu, sementara
lidahku tetap asyik menjilati vaginanya yang makin lama makin basah.
Dan aku ingin meniru adegan film bokep yang pernah kutonton. Pada satu saat aku berdiri sambil
memegang batang kemaluanku yang sudah tegang ini, kemudian kutempelkan puncak penisku di mulut
vagina Mbak Rini yang sudah basah itu. Lalu kudesakkan dengan sekuatnya…blessss…berhasil
membenam dengan mudah, karena liang kemaluan Mbak RIni sudah basah sekali.
Meski sambil berdiri di lantai, aku bisa mengayun penisku, dengan kedua tangan memegang sepasang
paha mulus Mbak Rini yang terbuka lebar. Sementara Mbak Rini mulai berdesah-desah lagi seperti orang
kepedasan.
Tapi tak terlalu lama aku melakukan senggama dengan posisi seperti itu. Beberapa menit kemudian
kuangkat punggung Mbak Rini tanpa mencabut penisku dari dalam vaginanya, sehingga ia jadi berada
dalam pelukanku. Lalu aku melangkah ke ruangan lain, ke ruangan keluarga yang lantainya berkarpet
tebal. Itu semua kulakukan sambil memangku Mbak Rini yang vaginanya tetap menjepit penisku.
Lalu dengan hati-hati kurebahkan Mbak Rini di karpet, tanpa melepaskan penisku dari dalam vaginanya.
Lalu kupeluk lehernya erat-erat sambil berbisik, “Kalau posisi begini enaknya bisa sambil melukin
Mbak….rasanya kita benar-benar menyatu.”
“Iya sayang,” sahut Mbak Rini, “Lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan sesukamu. Aku kan sudah
menjadi milikmu sekarang.”
“Iiiih…kata-kata Mbak membuat dadaku berdenyut ….” kataku sambil mulai mengayun lagi penisku,
maju-mundur dalam liang kemaluan Mbak Rini yang enak banget rasanya.
Ternyata Mbak Rini pun merasakan hal yang sama. Pada saat aku lagi gencar-gencarnya mengenjot liang
kemaluannya, ia berkata terengah-engah, “Niko….ohh…Niko….ini hubungan seks yang paling enak dalam
hidupku. Punyamu gede banget sih….oooh…Niko….enak banget sayang….Niko….”
Sebenarnya aku pun merasakan hal yang sama. Bahwa persetubuhan demi persetubuhan dengan
mantan guruku ini adalah yang paling berkesan dalam hidupku. Namun aku tak mengutarakan semua
yang kurasakan ini. Aku menjawabnya dengan tindakan. Dengan mengenjotnya sepenuh gairahku, sambil
menjilati lehernya yang mulai keringatan. Tapi ketika aku bermaksud mencupang lehernya, ia mendorong
kepalaku sambil berkata, “Kalau mau nyupang di tetek aja…jangan di leher, sayang. Takut kelihatan sama
orang-orang….”
Kulakukan apa yang dipinta itu. Kucupang di payudara kanannya, lalu di payudara kirinya, sehingga
meninggalkan bekas merah di sepasang bukit kenyal yang indah itu.