Irigasi Dan Bangunan Dan Air II (Mercu Ogee)
Irigasi Dan Bangunan Dan Air II (Mercu Ogee)
Irigasi Dan Bangunan Dan Air II (Mercu Ogee)
Bangunan Air 2 19
BAB I
A. Pendahuluan
Bendung yang dibahas adalah bendung sederhana, yaitu bendung
yang umum digunakan untuk irigasi sesuai dengan Standar Perencanaan
Irigasi dari Direktorat Irigasi Ditjen Pengairan.
Walaupun langkah – langkah perencanaan yang dibahas dalam tugas
ini mungkin saja dapat diterapkan untuk bendungan yang lain, namun
pembahasan perencanaan dalam tulisan ini tetap ditujukan untuk bendung
ukuran kecil sampai sedang.
B. Perencanaan Pendahuluan
Perencanaan pendahuluan bendung mencakup :
1. Penentuan lokasi bendung.
2. Pemilihan type bendung.
C. Analisis Hidrologi
Analisis Hidrologi yang diperlukan dalam perencanaan bendung ini
adalah besarnya debit maksimum yang dapat melewati bendung. Besarnya
debit ini harus dihitung sebaik – baiknya, karena kalau perkiraan besarnya
debit maksimum ini lebih rendah dari yang terjadi kemudian, maka
kemungkinan runtuhnya bangunan akan sangat mungkin terjadi. Sebaliknya
kalau perkiraan besarnya debit maksimum ini terlalu besar, maka bangunan
bendung yang harus dibangun juga cukup besar, sehingga memerlukan
biaya yang cukup mahal. Perkiraan besarnya debit maksimum atau debit
banjir rencana dihitung berdasarkan data pengamatan debit sungai yang
dilakukan pada periode yang cukup lama. Namun data tersebut tidak
selamanya ada sehingga perkiraan debit tersebut didasarkan pada perkiraan
besarnya curah hujan yang mungkin terjadi. Baik perkiraan debit berdasar
data pengamatan debit maupun berdasar data curah hujan, besarnya debit
maksimum atau curah hujan maksimum dihitung berdasar prinsip statistik,
dengan probabilitas atau periode ulang tertentu. Semakin tinggi
probabilitasnya, semakin kecil resiko keruntuhan bangunan namun bendung
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
yang perlu dibangun akan cukup besar. Karena itu perhitungan perkiraan
debit banjir rencana menjadi penting, baik menggunakan data pengamatan
debit maupun data curah hujan.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
F. Pemilihan Lokasi Bendung Dalam Perencanaan Bendung
Pemilihan lokasi bendung, merupakan awal karena bertolak dari
pemilihan lokasi bendung inilah perencanaan jaringan irigasi akan
dilakukan. Setelah lokasi bendung ditetapkan, beberapa penyelidikan yang
mengikutinya seperti pemetaan sungai dan bendung, penyelidikan geologi
teknik serta penyelidikan model hidrolis (kalau diperlukan).
Tidak mustahil setelah dilakukan penyelidikan selanjutnya lokasi
bendung tersebut masih harus dipindah lagi, mengingat :
a. Ada areal sawah yang belum terjangkau.
b. Kondisi geologis pada lokasi bendung tidak memungkinkan.
c. Bentuk alur sungai yang kurang cocok dan sebagainya.
Kalau penyelidikan berikutnya mendukung penempatan bendung
yang diambil, maka perencanaan bendung dapat dilakukan. Perencanaan itu
mencakup perencanaan hidrolis maupun perencanaan konstruksi bendung.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
G. Data Hidrologi
Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa data hidrologi
sangat diperlukan dalam perencanaan dimensi bangunan-bangunan air.
Data hidrologi ini diperoleh dari analisis hidrologi.
H. Analisis Hidrolis
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Data topografi
Data struktur tanah.
Data aliran sungai.
Dan lain – lain.
Selain itu perlu juga diperhatikan hal – hal atau faktor – faktor dalam
penentuan lokasi bendung, yaitu sebagai berikut :
a. Bendung sebaiknya diletakkan pada alur sungai yang lurus, hal ini
dilakukan untuk mencegah hal – hal yang mungkin timbul, misalnya :
pengurusan tebing luar dari sungai, seandainya bendung dibuat didekat
belokan, maka pada belokan sungai tebing luarnya harus terdiri dari
tanah yang keras, namun keuntungan meletakkan bendung dekat
belokan, pemasukan air ke petak sawah lebih lancar.
b. Untuk rencana saluran induk, harus diperhatikan keadaan medan,
apakah mudah digali atau tidak. Jika harus digali diusahakan tidak
terlalu dalam, jika harus ditimbun diusahakan jangan terlalu dangkal.
c. Keadaan geologi disekitar lokasi bendung harus menghindarkan
patahan-patahan tanah, yang poros tanah tempat bendung sebaiknya
mempunyai daya dukung yang baik.
d. Keadaan medan, morfologis sungai, lembah sungai, menentukan perlu
tidaknya, tinggi rendahnya, panjang pendeknya tanggul, penahan
genangan air, pembuatan tanggul ( urugan tanah) cukup mahal, oleh
sebab itu bendung sebaiknya dekat tebing-tebing bukit.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
3. Penentuan ketinggian mercu bendung berdasar ketinggian sawah
tertinggi.
Bendung irigasi dibangun untuk mengairi sawah yang termasuk dalam
wilayah pelayanannya. Agar semua sawah dapat terairi, maka yang menjadi
pedoman adalah sawah tertinggi. Kalau yang tertinggi sudah terairi, maka
yang lain juga akan terairi. Namun air yang diambil dari bendung, dalam
perjalanannya ke sawah tertinggi tertebut akan mengalami kehilangan
tinggi. Kehilangan tinggi tersebut antara lain karena:
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
kehilangan tinggi pada bangunan bagi, prinsipnya sama. Karena debit
yang dialirkan oleh saluran sekunder atau primer jauh lebih besar
dibanding dengan pada saluran tersier, maka kehilangan tinggi pada
bangunan bagi ini juga lebih besar. Dalam perencanaan awal umumnya
diambil nilai antara 0,10 sampai 0,25 meter.
Perhitungan :
a. Elevasi sawah tertinggi = 94,77 m
b. Tinggi air disawah = 0,20 m
c. Kehilangan tekanan dari saluran tersier ke sawah = 0,10 m
d. Kehilangan tekanan dari saluran sekunder ke tersier = 0,10 m
e. Kehilangan tekanan dari saluran primer ke sekunder = 0,15 m
f. Kehilangan tekanan dari sungai ke saluran primer = 0,20 m
g. Kehilangan tekanan karena kemiringan saluran = 0,25 m
h. Kehilangan tekanan dari alat – alat ukur = 0,40 m
j. Persediaan untuk lain – lain tekanan = 0,25 m
Elevasi mercu bendung = 96,42 m
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Rumus kemiringan rata – rata sungai :
𝐈𝟏 + 𝐈𝟐 + 𝐈𝟑 + 𝐈𝟒 + ⋯ + 𝐈𝐧
𝐈=
𝐧
Elevasi sungai sepanjang 800 m terhitung dari bendung ke hulu sepanjang 300 m
dan ke hilir sepanjang 500 m dibagi dalam jarak 100 m sehingga didapat elevasinya
pada peta dengan melihat kontur yang kemudian disajikan dalam bentuk tabel 1.1 :
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Kemiringan sungai pada masing – masing segmen :
𝐈𝟏 + 𝐈𝟐 + 𝐈𝟑 + 𝐈𝟒 + +𝐈𝟓 + 𝐈𝟔 + 𝐈𝟕 + 𝐈𝟖
𝐈𝒓𝒂𝒕𝒂−𝒓𝒂𝒕𝒂 = = 𝟎, 𝟎𝟎𝟔𝟒 𝒎
𝟖
Tabel 1.2 : Kemiringan sungai dari bendung ke Hilir dan dari Bendung ke
Hulu
Mencari kemiringan dasar sungai rata-rata (I) untuk 800 m
STAHulu = -100 m STAHilir = 100 m
Hi1 = 97,74 m Hi4 = 97,29 m
Hu1 = 98,69 m Hu4 = 97,74 m
I1 = 0,0095 m I4 = 0,0045 m
STAHulu = -200 m STAHilir = 200 m
Hi2 = 98,69 m Hi5 = 96,86 m
Hu2 = 99,63 m Hu5 = 97,29 m
I2 = 0,0094 m I5 = 0,0043 m
STAHulu = -300 m STAHilir = 300 m
Hi3 = 99,63 m Hi6 = 96,35 m
Hu3 = 100,31 m Hu6 = 96,86 m
I3 = 0,0068 m I6 = 0,0051 m
STAHilir = 400 m
Hi7 = 95,88 m
Hu7 = 96,35 m
I7 = 0,0047 m
STAHilir = 500 m
Hi8 = 95,62 m
Hu8 = 95,88 m
I8 = 0,0026 m
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Kemiringan Sungai
101.0
100.0
ELEVASI (M)
99.0
98.0
97.0
96.0
95.0
-350 -300 -250 -200 -150 -100 -50 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550
JARAK (M)
Chezy : V = C . ( R . I )1/2
87
Bazin : C
M
(1 1 )
R 2
Dimana :
R = A/P dan Q = V.A
Q = Debit rencana (m3/detik)
V = Kecepatan aliaran rata - rata (m/detik)
C = Faktor ketahanan aliran
I = Kemiringan sungai
R = Jari – jari hidrolis (m)
A = Luas penampang basah (m2)
P = Keliling basah penampang (m)
M = Koefisien kekerasan Bazin, ( untuk tanah basah 1,3-1,75 )
diambil m = 1,3
M = diambil m = 1,3 ( tanah biasa )
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Dengan :
b = Lebar dasar saluran sungai, dengan diasumsikan lebarnya sebesar 8 m.
Z = Kemiringan dinding saluran = 2.
y = Tinggi air disaluran hilir bendung.
Maka didapat :
1 y
2
b
Untuk mendapatkan nilai y digunakan cara “Trial & Error” , berdasarkan rumus –
rumus sebagai berikut :
Keliling basah penampang ( P ) : b + 2y . ( 1 + Z2 )1/2
Luas penampang basah ( A ) : ( b + 2y ) . y
Jari – jari hidrolis ( R ) : A/P
Faktor ketahanan aliran ( C ) : 87 / { 1 + ( m / R1/2) }
nilai m = 1,3 ( tanah biasa )
Kecepatan aliran rata – rata ( V ) : C . ( R . I )1/2
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Untuk mencari y digunakan cara “Trial & Error” sehingga didapat harga y yang
menghasilkan Qd = 10 m3/detik.
b y P A R c v Q
8 0,6200 9,754 5,344 0,548 31,565 1,870 9,993
8 0,6201 9,754 5,345 0,548 31,567 1,870 9,995
8 0,6202 9,754 5,346 0,548 31,568 1,870 9,998
8 0,6203 9,754 5,347 0,548 31,569 1,870 10,001
8 0,6204 9,755 5,348 0,548 31,571 1,871 10,004
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
BAB II
PERENCANAAN MERCU BENDUNG
( Type OGEE )
p v2
Ez
r g 2g
Dari persamaan tersebut dapat kita lihat apabila tidak ada tambahan
atau pengurangan energi, kenaikan kecepatan ( V ) akan mengakibatkan
penurunan tekanan ( p ). Apalagi dalam persamaan tersebut kecepatan
mempunyai pangkat dua, sehingga sedikit saja kenaikan kecepatan akan
menimbulkan penurunan tekanan yang cukup besar. Apabila penurunan
tekanan itu cukup besar maka tekanan akan menjadi negatif. Tekanan
negatif ini akan merusak permukaan tempat terjadinya aliran. Kalau aliran
tersebut terjadi pada permukaan beton, maka tekanan negatif yang dapat
ditahan oleh beton hanya sampai sekitar - 3 atau - 4 meter tinggi air saja.
Sedangkan pada pasangan batu tekanan negatif yang dapat ditahan hanya
sekitar - 1 meter tinggi air saja.
Apabila suatu aliran melalui ambang tajam, maka pada debit yang
sangat kecil aliran akan menempel pada ambang seperti pada gambar
berikut ini. Namun apabila debit semakin besar, maka akan terjadi rongga
antara dinding hilir ambang. Apabila debit cukup besar, maka terjadi suatu
kelopak dibawah aliran yang meninggalkan ambang tajam seperti
digambarkan pada gambar II.2. berikut ini. Bentuk kelopak bawah tersebut
pada dasarnya adalah mengikuti lintasan gerak peluru seperti pada gambar
II.2. berikut ini.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Gambar II.2 Terjadinya kelopak bawah.
Secara teotitis bentuk kelopak bawah dari aliran melalui mercu tajam
ini berbentuk parabola. Kalau bentuk mercu pelimpah dibuat mengikuti
bentuk kelopak bawah ini, kemungkinan terjadinya gejala kavitasi akan
kecil. Karena itu beberapa penyelidikan laboratorium dilakukan untuk
mendapatkan bentuk mercu yang dikembangkan berdasar prinsip ini.
Namun selain bentuk mercu yang mengikuti bentuk kelopak bawah ini
dikembangkan juga bentuk mercu bulat dengan satu atau dua jari-jari seperti
pada gambar II.3. berikut ini.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Gambar II.4 Beberapa bentuk mercu.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Gambar II.5 Lebar bendung.
Pilar berujung segi empat dengan sudut-sudut yang dibulatkan pada jari- 0,02
Pangkal tembok segi empat dengan tembok hulu pada 900 ke arah aliran 0,20
Pangkal tembok bulat dengan tembok hulu pada 900 ke arah aliran dengan 0,10
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
II.3 BENDUNG TYPE OGEE
Mercu Ogee berbentuk tirai luapan bawah dari bendung ambang tajam
aerasi. Oleh karena itu mercu ini tidak akan memberikan tekanan
subatmosfir pada permukaan mercu sewaktu bendung mengalirkan air pada
debit rencana. Untuk debit yang lebih rendah, air akan memberikan tekanan
ke bawah pada mercu. Untuk merencanakan permukaan mercu Ogee bagian
hilir, U.S. Army Corps of Engineers telah mengembangkan persamaan
berikut:
2 2
𝑄 = 𝐶𝑑 (√ 𝑔𝑏) 𝐻11,5
3 3
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Dimana :
Q = debit (m³/dt)
Cd = koefisien debit (Cd = C₀C₁C₂)
g = percepatan gravitasi (=9,81 m/dt²)
b = lebar mercu (m)
H₁ = tinggi energi di atas ambang (m)
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Gambar II.7 Faktor Koreksi untuk Selain Tinggi ENergi Rencana pada
Bendung Mercu OGEE
(Menurut Ven Te Chow, 1959, Berdasarkan Data USBR dan WES)
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
PERHITUNGAN MERCU BENDUNG TIPE OGEE
Data :
a. Debit banjir rencana (Qr) : 10 m3/dt
b. Lebar sungai : 8,0 m
c. Tinggi muka air banjir rencana (Hd) : 1,5 m
d. Ketinggian mercu : + 99,74 m
e. Ketinggian dasar sungai : + 97,74 m
f. Ketinggian muka air banjir : + 101,24 m
g. Tinggi pembendungan ( p ) / mercu : 99,74 – 97,74 = 2,00 m
h. Nilai C₀ : 1,3
i. Pilar pembilas : 1 buah @ 0,6 m
j. Pintu bilas (Pb) lebarnya : 0,8 m
k. Kp : 0,01 (Diambil, lihat tabel II.1)
l. Ka : 0,1 (Diambil, lihat tabel II.1)
Lebar mercu bendung ditentukan 1,2 kali lebar sungai rata-rata. Lebar
mercu bendung = 1,2 x 8 m = 9,6 m
Untuk sungai yang lebarnya kurang dari 100 meter, lebar bangunan
pembilas diambil 1/10 kali dari lebar bentang bendung.
Lebar satu lubang maksimal 2,50 m untuk kemudahan operasi pintu dan
jumlah lubang tidak lebih dari tiga buah.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Penentuan Harga Tinggi Energi Di Atas Mercu ( H₁)
Diasumsikan :
Hd = 1,5 m
Diketahui :
B =8m
Qr 10
V1 = {B′ = {8( 2,00+1,5)] = 0,3571 m/detik
.( P+Hd )]
V21 0,3571²
Ha = = = 0,0065 m
2(g) 2(9,81)
= 8,51 m
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Menghitung debit untuk bendung mercu OGEE
2 2
𝑄 = 𝐶𝑑 (√ 𝑔𝑏) 𝐻11,5 . 𝐶𝑒
3 3
Diketahui :
Cd = 1,5 m
g = 9,81 m/dt²
b = Beff = 8,51 m
H₁ = 1,5065 m
Ce = C₀C₁C₂
C₀ = 1,30
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Dengan nilai p/H₁ = 1 : 1,33 diasumsikan sebagai nilai 1:1, didapatkan dari grafik di
atas nilai C₂ sebesar 0,997 ≈ 1.
Maka :
2 2
𝑄 = (1,30.1.1). 3 . (√3 . 9,81.8,51) . 1,50651,5 = 11,96 m3/dt
Bpakai = 8,51 m
Qpakai = 11,96 m3/dt
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
BAB III
PERENCANAAN KOLAM OLAKAN
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
ditimbulkannya. Dikaki bendung, kecepatan yang cukup tinggi ini harus
diredam agar tidak mengakibatkan gerusan dikaki bendung. Dengan
adanya peredaman ini aliran dihilir bendung diharapkan sudah mempunyai
kecepatan yang cukup kecil sehingga tidak terjadi lagi pada dasar dan
dinding saluran dihilir bendung.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
mengenai kolam olakan yang menganut prinsip ini tidak dilakukan dalam
tulisan ini, karena tidak sesuai untuk bendung sederhana.
dimana :
Z = tinggi jatuh diukur dari
muka air hulu ke lantai kaki
bendung.
Ha = tinggi energi.
bendung.
Namun pada kenyataannya kecepatan yang terjadi tidak demikian.
Penyimpangan terhadap nilai teoritis akan semakin besar untuk tinggi energi
yang kecil dan tinggi jatuh yang besar. Direktorat Irigasi dalam bukunya
Standar Perencanaan Irigasi KP-02, menyampaikan rumus untuk menghitung
kecepatan aliran dikaki bendung sebagai berikut :
V1 2g ( 1/2 . H1 + z )
dimana :
z = tinggi jatuh ( m ), diukur dari mercu ke dasar lantai kolam olakan.
H1 = tinggi energi diukur dari mercu.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Gambar IV.2. Bagian air loncat
dimana :
y1 = kedalaman aliran dikaki bendung.
Fr = bilangan Froude.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Hubungan antara kedalaman air dihulu dan dihilir air loncat adalah
sebagai berikut :
1 8 Fr2 1
y2 1
y1 2
dimana :
y2 = Kedalaman air dihilir air loncat.
Fr = Bilangan Froude.
Kedalaman berpasangan.
Dari persamaan tersebut, besarnya bilangan Froude tergantung dari
kecepatan dan kedalaman air dihulu air loncat ( V1 dan y1 ). Untuk nilai V1
tertentu setiap nilai y1 hanya akan mempunyai satu nilai y2. Karenanya nilai
dari y1.
Seperti pada contoh berikut ini, dimana debit persatuan lebar yang dialirkan
oleh kolam olakan adalah 15 m3/detik/meter.
y1 V1 Fr Y2 y1 V1 Fr Y2
untuk setiap debit, hanya akan ada satu nilai V1 dan y1. Sehingga pada suatu
bendung tetap, dimana z tetap, untuk setiap setiap debit hanya akan ada satu
nilai y1 , V1 , dan y2. Kalau kedalaman air hilir sama dengan kedalaman
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Tapi kalau kedalaman air hilir lebih kecil dari kedalaman berpasangan,
maka terlebih dahulu akan terjadi kenaikan kedalaman air hulu, sebelum
terjadi air loncat. Akibatnya terbentuknya air loncat akan bergeser kehilir.
Tapi kalau kedalaman air hilir lebih tinggi, maka terjadinya air loncat akan
maju kehulu, sehingga terbentuk air loncat yang tenggelam, seperti pada
gambar berikut ini. Pergeseran terbentuknya air loncat kearah hilir, tentu tidak
dikehendaki.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Panjang air Loncat.
Secara teoritis, panjang air loncat dalam perbandingan terhadap
kedalaman hilir air loncat ( y2 ) dan sesuai dengan besarnya bilangan Froude
Dari grafik tersebut dapat kita lihat bahwa bilangan Froude aliran dikaki
bendung, sebaiknya bernilai 4,5 sampai 9 karena dengan nilai ini air loncat
terbentuk secara nyata.
Untuk nilai bilangan Froude yang lebih kecil, yaitu antara 2,5 sampai
4,5, terdapat semburan berosilasi menyertai dasar loncatan bergerak kearah
permukaan dan kembali lagi tanpa perioda tertentu. Setiap osilasi
menghasilkan gelombang tidak teratur yang besar, seringkali menjalar sampai
beberapa mil jauhnya dan menyebabkan kerusakan tak terbatas pada tanggul-
tanggul dari tanah dan batu lapis lindung. Loncatan ini disebut loncatan
berosilasi.
Untuk nilai yang lebih kecil lagi, yaitu antara 1,7 sampai 2,5 air loncat
yang terjadi hanya berupa gulungan ombak pada permukaan loncatan, tetapi
permukaan air di hilir tetap halus. Secara keseluruhan kecepatannya seragam
dan peredaman energinya kecil, loncatan ini dinamakan loncatan lemah.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
loncatan, menimbulkan gelombang-gelombang hilir, jika permukaannya
kasar aka mempengaruhi gelombang yang terjadi. Loncatan ini disebut
loncatan kuat. Dari nilai bilangan Froude tersebut, yang masih dapat diterima
untuk diredam pada kolam olakan adalah untuk bilangan Froude 9 sampai 13.
Untuk nilai yang lebih tinggi, memerlukan kolam olakan yang mahal.
C = Koeffisien Chezy.
R = Jari-jari hidrolis dalam meter = A/P
A = Luas penamoang basah dalam m².
P = Keliling basah dalam meter.
I = Kemiringan memanjang sungai.
Besarnya koeffisien Chezy menurut Ganguillet - Kutter yang dalam satuan
Inggris adalah seperti berikut ini :
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
0.0281 1,811
41,65
C S n atau dalam metrik adalah :
0.00281 n
1 41,65
S R
0.00155 1
23
C S n
0.00155 n
1 23
S R
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Sedangkan kemiringan memanjang sungai haru mempertimbangkan
kemungkinan terjadi degradasi ( penurunan ) dasar sungai.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Gambar III.3 Metoda perencanaan air loncat.
Dengan adanya perkiraan degradasi ini maka ketinggian muka air hilir
harus dihitung berdasar ketinggian dasar sungai setelah terjadi degradasi yang
akan lebih rendah dari muka air sungai yang ada. Dengan demikian pada
kondisi sebelum terjadi degradasi, olakan akan tenggelam dan kalau benar-
benar terjadi degradasi, maka kolam olakan masih aman karena olakan masih
tetap terjadi pada kolam olakan.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Gambar III.4 Hubungan Fr , y2 / y1 dan n pada kolam loncat air.
Lj = 5 ( n + y2 ).
dimana :
Lj = Panjang kolam, m.
Besarnya y2 dalam rumus tersebut adalah nilai y2 dari grafik tersebut diatas.
dapat diambil 1 : 1 .
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Gambar III.5 Parameter-parameter kolam loncat air.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Bentuk hidrolis kolam olakan Vlughter ini dapat dihitung menurut rumus :
4 z
Untuk : 10
3 H
D = L = R = 1,1 Z + 0,6 He
He
a 0,15 He
Z
1 z 4
Untuk :
3 H 3
D = L = R = 1,4 Z + 0,6 He
He
a 0,20 H e
Z
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
III.2.3 Kolam olakan USBR.
United States Department of Interior, Bureau of Reclamation (
USBR ), mengembangkan kolam olakan yang menganut prinsip air loncat,
namun untuk memperpendek panjang kolam olakan, kolam olakan dilengkapi
dengan blok-blok serta gigi untuk memperbesar gesekan.
Ada 4 type yang penggunaannya terutama tergantung pada bilangan
Froude aliran dikaki bendung.
Type I :
Type ini digunakan untuk bilangan Froude dibawah 2,5. Karena air
loncat yang terjadi pada bilangan Fruede ini berupa air loncat yang lemah,
maka untuk aliran seperti ini belum diperlukan blok-blok atau gigi. Pada
kolam olakan type ini peredaman energi semata-mata dilakukan oleh proses
air loncat. Yang penting adalah muka air hilir masih lebih tinggi dari muka
air kedalaman berpasangan dan panjang kolam olakan masih lebih panjang
dari panjang air loncat.
Type II :
Type ini digunakan untuk bilangan Froude diatas 4,5, dengan kecepatan
dikaki bendung tidak lebih dari 50 feet per detik ( sekitar 15 meter perdetik ).
Type ini dilengkapi ambang bergerigi ( dentated sill ) dan blok luncur (chute
block), untuk mengurangi panjang kolam olakan. Namun demikian
peredaman energi terutama masih mengandalkan terbentuknya air locat.
Gambaran kolam olakan USBR Type II ini adalah seperti pada gambar
berikut ini.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Dalam gambar tersebut, d1 adalah kedalaman aliran dikaki bendung
Kedalaman air hilir ( tail water depth ) harus lebih tinggi 5 % dari
kedalaman berpasangan untuk keamanan terhadap gerusan hilir, atau TW/d2
Type III.
Kolam olakan type ini juga untuk bilangan Froude diatas 4,5, tapi untuk
kecepatan dikaki bendung kurang dari 50 feet per detik atau 15 meter
perdetik.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Type ini juga dilengkapi dengan blok luncur ( chute block ), namun
ambang hilir dibuat masif tidak bergerigi. Selain itu kolam olakan type ini,
dilengkapi pula dengan blok halang ( baffle block ) ditengah kolam sejajar
dengan ambang hilir. Seperti yang nampak pada gambar berikut ini. Muka air
hilir pada type ini diambil sama dengan muka air kedalaman berpasangan atau
TW/d2 = 1.
Tinggi dan jarak blok muka atau blok luncur pada type ini sama
ukurannya dengan blok luncur pada Type II. Namun tinggi ambang hilir (h4),
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Dengan adanya balok halang tersebut, maka peredaman energi tidak
hanya mengharapkan oleh terbentuknya air loncat tapi juga oleh gesekan yang
terjadi gesekan akibat adanya blok halang. Karena gesekan pada kolam
olakan type ini mengharapkan benturan aliran pada balok halang ( baffle
block ), maka kolam olakan type ini tidak dapat digunakan untuk kecepatan
aliran dikaki bendung yang tinggi.
Kecepatan yang diijinkan hanya sampai 50 feet per detik atau 15 meter
perdetik. Panjang kolam olakan pada berbagai bilangan Froude dapat dilihat
pada grafik berikut ini. Dibanding dengan USBR Type II, kolam olakan type
III ini lebih pendek karena adanya balok halang ( baffle blok ).
Type IV.
Kolam olakan type ini digunakan untuk bilangan Froude antara 2,5
sampai 4,5. Seperti yang telah dibahas terdahulu, air loncat yang terbentuk
pada bilangan Froude ini merupakan air loncat yang berosilasi, maka
pembentukan air loncat disini belum sempurna.
Kolam olakan ini mirip dengan kolam olakan type II, nahya bedanya
ambang hilir pada type ini tidak bergerigi tapi masih seperti pada type III.
Dibanding dengan type II maupun III, jarak balok muka atau balok luncur
lebih jarang, namun lebih tinggi. Karena dikhawatirkan terjadi penyapuan (
sweep-out ) pada bagian hilir, muka air hilir pada kolam olakan ini harus lebih
tinggi 10 % dibanding dengan muka kedalaman berpasangan, atau TW/d2 =
1,1.Untuk jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini. Sedangkan panjang
kolam olakan dapat diambil dari grafik berikutnya.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Gambar III.9 Gambar kolam olakan USBR Type IV.
2. Tinggi blok luncur ( chute block ) dan blok lantai adalah sama dengan
kedalaman aliran dikaki bendung = y1 , sedangkan lebar dan jaraknya
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
3. Jarak ujung hulu kolam olakan sampai ke blok lantai adalah LB /3.
4. Tidak ada blok yang diletakkan dengan jarak ke dinding samping lebih
kecil dari 3/8 y1.
9. Tinggi muka air hilir dari dasar kolam adalah y2', dihitung berdasar rumus
10. Tinggi dinding samping lebih tinggi dari muka air hilir maksimum
berlaku selama umur komstruksi, diambil sebesar z = 1/3 y2.
11. Dinding sayap harus sama tinggi dengan dinding samping kolam olakan.
Puncak dinding sayap harus mempunyai kemiringan 1 : 1.
12. Dinding sayap harus membentuk sudut 45o dengan sumbu outlet.
13. Dinding samping kolam olakan dapat diletakkan sejajar ( pada kolam
olakan persegi panjang ) atau dapat menyempit sebagai perpanjangan
dari dinding peralihan samping ( pada kolam olakan trapesium ).
14. Dinding pondasi hilir ( cut-off wall ) pada kedalaman nominal, harus
diletakkan pada ujung kolam olakan.
15. Pengaruh masuknya udara diabaikan pada perancangan kolam olakan.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Gambar III.10 Gambar V.13. Kolam olakan type SAF.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Data :
a. Debit banjir rencana (Qr) : 10 m3/detik
b. Lebar sungai (B’) : 8m
c. Ketinggian mercu : + 99,74 m
d. Ketinggian dasar sungai : + 97,74 m
e. Ketinggian muka air banjir : + 101,24 m
f. Tinggi muka air di hilir : + 96,91 m
g. Tinggi energi (Ha) : 0,0065 m
Q 10
y1 = 𝑉 .𝐵′ = 9,99 . 8 = 0,125 m
1
V1 9,99
Fr = = = 9,03
√g.y1 √9,8 . 0,125
y1 0,125
y2 = [√1 + 8. 𝐹𝑟 2 − 1] = [√1 + 8. 9,032 − 1] = 1,54 m
2 2
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Dari grafik di atas untuk Fr = 9,03 nilai L/y2 = 6,18 , maka panjang kolam olakan
adalah sebesar L = 6,18 . 1,54 = 9,52 m.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
BAB IV
PERENCANAAN PINTU PEMBILAS
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Perhitungan Pintu Pembilas
+ 101,24
q
+99,74
Pa
PL b
+97,74
Data :
Lebar pintu pembilas = 0,8 meter
Tinggi pintu pembilas = 2,00 m , sesuai dengan tinggi mercu bendung ( P = 2,00
m). Direncanakan menggunakan pintu tunggal dimana pembilas setinggi 2,00 m.
Lebar pintu pembilas = 0,8 m
0,8 m
Gambar 13. Pembebanan
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Tekanan Akibat Lumpur
Diketahui : sungai = 1,70 t/m3
lumpur = sungai - air
= 1,70 – 1 = 0,70 t/m3
h2 = 2,00
= 300
C = 0,15 t/m2
Maka ;
1−sin 𝜙 1−sin 30
𝐾𝑎 = 1+sin 𝜙 = 1+sin 30 = 0,333
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Pt.B
q
L
4,101x0,05
0,8
0,256 t/m'
Balok pintu atas direncanakan dari kayu jati, dengan data sebagai berikut :
Tekanan ijin lentur kayu (lt) = 150 kg/cm2
Tekanan ijin tekan / tarik ((tr) = 130 kg/cm2
Tekanan tanah (w) = 1,0
Modulus Elastisitas = 125.000 kg/cm2
Mendimensi Balok
b diambil sebesar 6 cm.
M max 6.M max
w 1/ 6.b.h 2 h2
lt lt .b
6.M max
h2
lt .b
6 x 2050, 688
150 x6
13,671
h 13,671 3, 697 4 cm
Jadi tinggi balok yang digunakan = 4 cm
Kontrol Lendutan
b.h3 6 x 43
I 32, 0 cm4
12 12
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Lendutan Yang Terjadi
5 q.L4
f x
384 E.I
5 2,563 x(0,8 x100) 4
x
384 125.000 x32, 0
0,142
Lendutan Yang Diijinkan
L (0,8 x100)
f '' 0, 200
400 400
Ternyata f’’ > f , sehingga dimensi hasil perhitungan sudah memenuhi syarat, untuk
ukuran 4 x 6 cm.
3.Q 3 x102,534
12,817 13kg/cm 2
2.b.h 2 x 4 x6
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Digunakan jenis baja dengan mutu bj- 34, dengan a = 1400 kg/cm2. Untuk rangka
pintu pembilas digunakan baja profil tanah, maka:
M = ¼xPxL
= ¼ x 79,8 x 80
= 15,96 kg.m
= 1596 kg.cm
M 1596
W 1,14 cm3
a 1400
Dicoba menggunakan Canal C.80-45-6 dimana w= 26,5 dari tabel profil baja di dapat
data sebagai berikut :
h = 80 mm, b= 45 mm, d = 6 mm, t = r = 4 mm, r1 = 8,0 mm
b = 45 mm
r1 = 8 mm
r
H = 80 mm d = 6 mm
r
r1
M 1596
Kontrol : 60, 226 kg / cm '
Wx 26,5
Syarat : a = 60, 226 1400 OK
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
BAB V
Perencanaan Intake (Pintu Pengambilan)
Menurut standar Perencanaan Irigasi, untuk Proyek Irigasi yang kurang dari
10.000 ha dan mengambil air langsung dari sungai tidak ada pengurangan debit
rencana (Qr) atau koefisien pengurangan c = 1
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
7,5 % – 12,5 % di saluran utama
c.NFR. A NFR
Q DR dan c 1
e e
DR .A
Q =
et.ep
1,62.288,92
Q =
0.83 . 0,78
Q = 722.10 liter/detik 0,722 m3/detik
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Debit yang dialirkan :
Q 0,385..b.h1 . 2.g.h1
Dimana :
= koeffisien kontraksi (0,85 – 0,90)
g = grafitasi bumi = 9,81 m/detik2
b = lebar ambang ; diambil = 2,5 . h1
Maka,
Q = 0,385..b.h1. 2.g.h1
1/ 2
= 0,385x0,90x2,5xh12x 2.g .h1
Q
h15/2 =
3.85 . 0.9 . 2.5 . (2g)
0,722
h15/2 =
3.85 . 0.9 . 2.5 . (2 . 9.81)
= 0,188
h1 = (0,188)2/5 = 0,513 0.6 m
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Dimensi Intake
Z = Elevasi mercu bendung - Elevasi muka air hilir
= 101,33-100,32
= 1,01 m
H = Elevasi mercu bendung – Elevasi dasar sungai pada bendung
= 101,33 – 98,48
= 2,85 m
Sehingga :
Q = .b.H. 2.g.z
+101,33
+100,32
+100,08 0,158
+98,48
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Dimensi Saluran
Debit yang melalui intake = 0,722 m3/detik
Luas daerah yang dialiri = 288,920 ha
Penampang saluaran = Trapesium
Dari tabel :
b/h = 1 (b=h)
z = 1
w = 0,5
k = 40
V = 0.3
A = (b + zh) h
= (1h + 1h) h
= 2h2
A =Q/V
2h2 = 0,722/0.3
h = 1,097 m
b = 1,097 m
Kontrol :
A = 2h2 = 2 . 0, 1,097 2 = 2,407
Q 0,722
V = = = 0,3 ≤ 0,3 Oke !!!!!!!
A 2,407
Keliling basah :
P = b + 2h (1+Z2)
= 1,097 + 2 . 1,097(1 + 12)
= 4,200 m
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Jari – jari hidrolis :
A 2, 407
R 0.573 m
P 4, 200
Penampang saluran
W = 0,5m
m
z H = 1,097 m
1 ,
5
B=1,097 m
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
BAB VI
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Gambar VI.3 Kantong lumpur dengan pengelak sedimen.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
1. Pada pintu pengambilan.
2. Dengan menggunakan pembilas bawah.
3. Dengan mengatur kemiringan memanjang saluran.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
besar ( 60 – 70 % ) dari pasir halus terendapkan : partikel – partikel dengan
diameter di atas 0,06 – 0,07 mm.
Selanjutnya daalam Stnadar Perencanaan Irigasi untuk saluran dikatakan
bahwa kantong lumpur tidak akan diperlukan jika volume sedimen yang masuk ke
jaringan irigasi tidak masuk kesawah ( partikel yang lebih besar 0,06 -–0,07 mm )
kurang dari 5 % dari kedalaman air diseluruh jaringan irigasi atau kurang dari : 5
% x kedalaman saluran x lebar dasar x panjang.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Dari hasil percobaan didapat data sebagai berikut .
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Kalau akan mempergunakan rumus, maka salah satu rumus yang dapat
digunakan untuk menghitung kecepatan endap adalah rumus :
3 g . d ρs - ρ w
w2
4 Cd ρ w
dimana :
w = kecepatan jatuh ( m/dt )
g = percepatan gravitasi ( = 9,81 m/dt2 )
d = diameter butir ( m )
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Cd = Koeffisien tahanan ( drag coefficient )
s = kerapatan (density ) dari butir tanah (kg/m3 )
w = kerepatan ( density ) dari air ( = 1000 kg/m3 )
Besarny density dari butir tanah dicari berdasar berat jenis ( spesific
gravity ) tanah yang pada umumnya berkisar antara 2,66. Dengan demikian
besarnya density tanah dihitung sebagai berikut :
ρs
SG 2,66 ; ρs 2,66 x 1000 2660 kg/m 3
ρw
w .d
Besarnya bilangan Reynold butiran dihitung berdasar rumus : Re
η
Berarti untuk mendapatkan besarnya bilangan Reynold, besarnya
kecepatan jatuh harus didapat dulu. Karena itu digunakan cara coba-coba,
misalnya w = 0,0095 m/detik.
w . d 0,0095 x 1 x 104
Re 0,95
η 10- 6
Untuk Re < 1, maka
1/ 2
24 24 4 9,81 . 1 . 10- 4 2660 - 1000
Cd 25,43 ; w 0,0093 m/dt
Re 0,95 3 25,3 1000
ternyata lebih kecil dari 0,0095 m/dt.
Coba lagi dengan w = 0,009 m/detik.
w . d 0,009 x 1 x 104 24 24
Re -6
0,90 ; C d 26,6 ;
η 10 Re 0,90
1/ 2
4 9,81 . 1 . 10- 4 2660 - 1000
w 0,009 m/dt ternyata cocok
3 26,6 1000
dengan demikian didapat kecepatan jatuh : w = 0,009 m/detik = 0,54
m/menit
Dibanding kecepatan jatuh berdasar contoh sedimen, nilai ini jauh lebih
besar. Dan menurut Ir. Moch. Memed Dipl. HE dkk dari Puslitbang Air dalam
makalahnya “ DESAIN HIDRULIK SEDIMENT TRAP DAN INTAKE “,
dikatakan bahwa rumus-rumus fall velocity yang ada sekarang yang berasal dari
luar negeri, tidak sepenuhnya memenuhi kriteria alam dan bila digunakan di
Indonesia rumus-rumus ini akan menghasilkan effisiensi yang rendah ( Luas
medan endap – BL – kurang besar ).
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
VII.1.5 Persyaratan kantong lumpur.
Faktor-faktor lain yang akan dipertimbangkan dalam pemilihan dimensi kantong
lumpur adalah :
1. Kecepatan aliran dalam kantong lumpur hendaknya cukup rendah, sehingga
partikel yang telah emngendap tidak menghambur lagi.
2. Turbulensi yang mengganggu proses pengendapan harus dicegah.
3. Kecepatan hendaknya tersebar secara merata di seluruh potongan melintang,
sehingga sedimentasi juga tersebar merata.
4. Kecepatan aliran tidak boleh kurang dari 0,30 meter/detik, guna mencegah
tumbuhnya vegetasi.
5. Peralihan/transisi dari pengambilan ke kantong dan dari kantong ke saluran
primer harus mulus, tidak menimbulkan turbulensi atau pusaran.
L . B tersebut sering disebut sebagai luas medan endap. Rumus ini dapat
digunakan untuk membuat perkiraan awal ukuran kantong lumpur.
Untuk perencanaan yang lebih detail, harus dipakai faktor koreksi guna
menyelaraskan faktor-faktor yang mengganggu, seperti :
turbulensi air,
pengendapan yang terhalang,
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
bahan layang yang sangat banyak.
Standar Perencanaan Irigasi menggunakan faktor-faktor koreksi yang
dianjurkan oleh Velikanov dengan rumus sebagai berikut :
Q λ 2 v ( H0,5 - 0.2 )2
L.B
w 7.51 w H
dimana :
L = Panjang kantong lumpur, m.
B = Lebar kantong lumpur, m.
Q = Debit saluran, m3/detik.
w = Kecepatan endap partikel sedimen, m/detik.
= koeffisien pembagian/distribusi Gauss.
v = Kecepatan rata-rata aliran, m/dt.
H = Kedalaman air di saluran, m.
Perbandingan L/B.
Untuk mecegah terjadinya “meander” didalam kantong lumpur, maka
kantong lumpur hendaknya tidak terlalu lebar. Sebaiknya diambil perbandingan
L/B > 8. Kalau karena kondisi topografi terpaksa harus membuat kantong lumpur
yang lebar, maka sebaiknya kantong lumpur dibagi-bagi kearah memanjang
dengan memasang dinding pemisah, untuk mencapai perbandingan L/B > 8
tersebut.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
dimana :
z = ( B – b )/2
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Dilihat dari lebar dasarnya, ada 2 alternatif, yaitu : dengan lebar dasar
mengecil dan lebar dasar konstan seperti pada gambar VI.9.diatas.
Pada potongan memanjang kantong lumpur, terdapat dua kemiringan
memanjang ,yaitu : kemiringan memanjang tampungan ( Is ) dan kemiringan
memanjang aliran saluran ( I ) seperti pada gambar VI.10 berikut ini.
Pada gambar ( A ) awal kemiringan memanjang pada pengambilan,
mempunyai kedalaman yang sama sehingga pada ujung kantong lumpur karena
perbedaan kedua kemiringan tersebut, lantai dasar tampungan lebih dalam sebesar
ds dibanding dengan lantai saluran.
Sedangkan pada Gambar ( B ) pada awal kantong lumpur atau pada
pengambilan dasar tampungan diturunkan sebesar ds, sehingga besanya menjadi
lebih besar dibanding dengan pada gambar ( A ).
Gambar VI.10 Potongan memanjang kantong lumpur
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
VII.2.4 Pembersihan/pembilasan.
Pembersihan kantong lumpur, pembuangan endapan sedimen dari
tampungan, dapat dilakukan dengan pembilasan secara hidrolis (hydraulic
flushing), pembilasan secara manual atau. secara mekanis. Metode pembilasan
secara hidrolis lebih disukai karena biayanya tidak mahal.Kedua metode lainnya
akan dipertimbangkan hanya kalau metode hidrolis tidak mungkin dilakukan.
Jarak waktu pernbilasan kantong lumpur, tergantung pada eksploitasi
sedimen di jaringan irigasi, banvaknya sedimen di sungai, luas tampungan serta
tersedianya debit air sungai yang dibutuhkan untuk pembilasan. Untuk
tujuan-tujuan perencanaan, biasanya diambil jarak waktu satu atau dua minggu.
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
VI.3 Tujuan pembuatan kantong lumpur
Untuk mengendapkan fraksi pasir yang merupakan angkutan sedimen
layang maupun angkutan sedimen dasar yang berasal dari sungai yang melalui
intake.Bahan sedimen yang besar diendapkan adalah fraksi yang besar butir lebih
besar dari pada ± 0,063 mm, yang merupakan fraksi pasir halus, kasar, kerikil, dan
seterusnya. Dalam arah potongan melintang dan memanjang, bangunan penangkap
pasir ini halus mempunyai dua bagian, yaitu:
1) Profil basah bebas.
Pada bagian ini tidak boleh ada pengendapan material.
2) Kantong Pasir/Lumpur
Tempat dimana pasir dilokasi
( POT I–I)
( POT II – II )
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Dimana:
L = Panjang kantong Lumpur
l = Panjang daerah peralihan
H = Tinggi air dikantong hilir kantong
K = Kedalaman kantong Lumpur
B1 = Lebar permukaan basah
B2 = Lebar dasar kantong Lumpur
Z = ½ (B2 – b)
b = Lebar dasar saluran primer
. . s w .d 2
1 g
W
18
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Dimana :
w = Kecepatan endapan
g = Percepatan gravitasi = 9,81 m/detik
= Viscositas akibat air = 1,023 x 10-7 t/m.dt
w = Kecepatan jenis air = 0,1019 t/m3
s = Kecepatan jenis pasir = 0,2701 t/m3
d = Diameter partikel terkecil = 0,07 mm
Maka :
. . s w .d 2
1 g
W
18
1
.
9,81
18 1,023x10 7
.0,2701 0,1019. 70.10 -6
2
Kontrol :
L/B >8 = 8,210 > 8 …………………OK!!!!
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Luas penampang yang diperlukan berdasar kecepatan tersebut adalah :
Qn 0, 722
An 1, 444m2
Vn 0,50
Dengan lebar rata – rata (B) = 1,82 meter ; kedalaman yang diperlukan adalah :
An 1, 444
hn 0,304 m
B 4, 750
Dengan kedalaman seperti itu dan kemiringan tebing 1 : 2 ; maka akan di daapat
penampang seperti berikut ini :
P b 2.(hn. 1 z 2 )
3,354 2.(0,304. 1 22 )
4, 894m
Jari – jari hidrolis :
An 1, 444
Rn 0, 295m
P 4,894
Bagian Peralihan
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Panjang bagian peralihan : Lp = 8 s/d 10.z
Dimana : z = ( B – b ) / 2 = ( 4,750– 3,534) / 2 = 0,608
m
Lp 10.z
Lp 10 . 0,608
Lp 6,080
Lp = 6 meter
Kemiringan Energi di Kantong Lumpur Selama Pembilasan
Pada waktu pembilasan dan kantong lumpur kosong, maka kemiringan energi
pembilasan akan sama dengan kemiringan memanjangan tampungan. Penampang
tampungan diambil persegi dan debit yang dialirkan sewaktu pembilasan adalah :
Qs = 1,2 x Qn
= 1,2 x 0,722
= 0,866 m3/detik
Lebar dasar tampungan diambil sama dengan lebar dasar kantong lumpur :
b = 3,534 m
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010
Irigasi dan 20
Bangunan Air 2 19
Agar pembilasan dapat dilakukan dengan baik, kecepatan aliran harus dijaga agar
tetap sub kritis atau bilangan Frounde : Fr 1
V 0.5
Fr 0, 228 1 sub kritis
g.h 9,81x0, 490
Untuk mengetahui apakah kecepatan seperti itu butir 0,07 mm akan terbilas, kita
gunkan Grafik Shiled pada gambar VI.II dimana untuk kondisi diatas besarnya
tegangan geser kritis adalah :
pasir = 1000 kg/m3
= pasir x g x hs x Is
= 1000 x 9,81 x 0,490 x 0,000623
= 3,000 kg/m3 = 30,000 N/m2
Pada Grafik VI.II tersebut er merupakan ordinat (garis verikal) sebelah kanan dan
untuk nilai = 30,000 N/m2 akan di dapat diameter butir maksimum yang
dihanyutkan adalah 4,1 mm. Dengan demikian maka sedimen dengan diameter di
bawah 4,1 mm akan terbilas.
V = (hs x b x L) + ½.(b x ds x L)
218,356 = (hs x b x L) + ½.(b x ( Is – In ).L x L)
218,356 = (hs x b x L) + ½.(b x ( Is – In).L2)
218,356 = (0,490 x 3,354 x L) + (1/2 x 3,354 x (0,000623 – 0,00080) x L2 )
218,356 = 1,733.L + -0,00030.L2
Dengan Trial and Error, maka nilai L dapat dicari : 128,892 m 130 m
b
SUHARDY AWALDIANSYAH
– D1011161010