Tradisi Dan Contohnya
Tradisi Dan Contohnya
Tradisi Dan Contohnya
1. Pengertian Tradisi
Tradisi berasal dari kata traditium yang dapat berarti segala sesuatu yang diwarisi dari
masa lalu. Tradisi merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia terhadap objek
material, kepercayaan, khayalan, kejadian, atau lembaga yang di wariskan dari sesuatu
generasi ke generasi. Seperti misalnya adat-istiadat, kesenian dan properti yang
digunakan. Sesuatu yang diwariskan tidak berarti harus diterima, dihargai, diasimilasi
atau disimpan sampai mati. Bagi para pewaris setiap apa yang mereka warisi tidak dilihat
sebagai “ tradisi ”. Tradisi yang diterima akan menjadi unsur yang hidup didalam
kehidupan para pendukungnya. Ia menjadi bagian dari masa lalu yang di pertahankan
sampai sekarang dan mempunyai kedudukan yang sama dengan inovasi- inovasi baru.
Tradisi merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses
dalam waktu lama dan dilakukan secara turun-temurun dimulai dari nenek moyang.
Tradisi yang telah membudaya akan menjadi sumber dalam berakhlak dan berbudi
pekerti seseorang. Tradisi atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana
adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan
suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu atau agama
yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang
diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan. Karena tanpa adanya ini,
suatu tradisi dapat punah. Selain itu, tradisi juga dapat diartikan sebagai kebiasaan
bersama dalam masyarakat manusia, yang secara otomatis akan mempengaruhi aksi dan
reaksi dalam kehidupan sehari-hari para anggota masyarakat itu.
2. Contoh-Contoh Tradisi
Begitu banyak tradisi yang tersebar di seluruh dunia. Dari tradisi yang sangat
sederhana hingga yang paling kompleks. Indonesia salah satunya merupakan negara
yang memiliki tradis yang sangat banyak. Khususnya pada daerah Provinsi Bali ini.
Berikut akan disajikan beberapa contoh tradisi yang terdapat di seluruh penjuru daerah
Pulau Bali ini:
1. Subak
Subak merupakan suatu organisasi kemasyarakatan tradisional yang khusus
mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali.
Subak ini biasanya memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik, atau Pura Bedugul,
yang khusus dibangun oleh para pemilik lahan dan petani yang diperuntukkan bagi
dewi kemakmuran dan kesuburan, Dewi Sri. Sistem pengairan ini diatur oleh seorang
petani dan disebut dengan nama Pekaséh.
Pada tahun 2012 ini, UNESCO, mengakui Subak (Bali Cultur Landscape),
sebagai Situs Warisan Dunia, pada sidang pertama yang berlangsung di Saint
Petersburg, Rusia.
2. Mesuryak
Mesuryak berasal dari kata suryak yang artinya berteriak atau bersorak. Upacara
ini dilaksanakan hanya dari pukul 9 pagi hingga 12 siang. Dikarenakan melebihi jam
12 siang, dipercaya para leluhur telah kembali ke surga. Sebelum upacara ini dimulai,
semua warga melakukan persembahyangan di pura keluarga atau pura kahyangan tiga
yang berada di desa setempat. Leluhur yang telah dilepas kepergiannya dibekali
banten pangadegan atau sesaji yang diletakan di depan kori (gerbang rumah).
Sesajian terdiri atas beras, telur, pis bolong (uang kepeng) dan perlengkapan lainnya
yang disiapkan sebagai bekal leluhur. Saat semua persiapan telah dilakukan, maka
Mesuryak dapat dilaksanakan. Caranya adalah setiap anggota keluarga memberi bekal
kepada leluhur sesuai dengan kemampuan, dari uang logam hingga uang kertas. Uang
dilemparkan ke udara dan warga saling berebut. Tradisi Mesuryak bermakna
kemakmuran.Uang yang dilempar ke udara yang disimbolkan untuk leluhur bermakna
sebagai ungkapan rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
3. Megibung
Megibung merupakan tradisi turun-temurun yang dilaksanakan oleh warga Bali.
Tradisi ini dilakukan dengan makan bersama dalam suatu tempat yang berukuran
cukup besar dengan beralaskan daun pisang ataupun lainnya. Tradisi Megibung
merupakan tradisi yang dimiliki oleh warga Karangasem, yang daerah terletak di
ujung timur Pulau Dewata, Indonesia. Megibung berasal dari kata gibung yang lantas
mendapat awalan me-. Gibung sendiri artinya kegiatan yang dilakukan oleh banyak
orang, yakni saling berbagi antara satu orang dengan yang lainnya. Megibung adalah
suatu kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang untuk duduk makan bersama dan
saling berdiskusi dan berbagi pendapat.
4. Mekotek
Mekotek merupakan salah satu tradisi yang terdapat di Desa Munggu, Kecamatan
Mengwi, Kabupaten Badung, Bali.Dilaksanakan tepat pada Hari Raya Kuningan
atau 10 hari setelah Hari Raya Galungan. Pelaksanaan upacara Mekotek awalnya
diselenggarakan untuk menyambut armada perang kerajaan Mengwi yang melintas
di daerah Munggu yang akan berangkat ke medan laga dan juga dirayakan untuk
menyambut pasukan saat mendapat kemenangan perang dengan kerajaan
Blambangan di Pulau Jawa.
Perayaan mekotek ini dulunya menggunakan tombak dari besi, yang memberikan
semangat pasukan ke atau dari medan perang, namun seiring perubahan waktu dan
untuk menghindari peserta terluka, maka tombak diganti dengan tongkat dari pulet
yang sudah dikuliti yang panjangnya sekitar 2 – 3.5 meter. Kemudian tongkat kayu
diadu sehingga menimbulkan bunyi “tek tek” di kimpulkan sehingga membentuk
sebuah kerucut/ piramid, bagi yang punya nyali naik kepuncak kumpulan tongkat
kayu dan berdiri diatasnya seperti komando yang memberikan semangat bagi
pasukannya. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok yang lain, membentuk
tongkat seperti kerucut dan nantinya akan dipertemukan antara satu dengan yang
lainnya. Komando yang berdiri diatas kumpulan tongkat akan memebri komando
layaknya panglima perang dan menabrakanya dengan kelompok lain, dengan diiring
sebuah gamelan sehingga memacu semangat peserta upacara.
Pada jaman kolonial Belanda tradisi ini pernah ditiadakan, namun kemudian
terjadi bencana. Tiba-tiba 11 orang meninggal di kalangan warga Munggu,
kemudian melalui perundingan yang alot dengan pihak kolonial, perayaan ini bisa
kembali dirayakan sampai sekarang ini. Upacara ini merupakan suatu bentuk
penolak terhadap bala.
5. Omed-Omedan
Tradisi Omed-omedan merupakan sebuah tradisi unik yang terdapat di Br. Kaja,
Desa Sesetan, Denpasar Selatan, Bali. Tradisi ini dilaksanakan setiap setahun sekali
tepatnya saat hari Ngembak Gni (sehari setelah hari raya Nyepi)
Berawal dari Raja Puri Oka, yang sedang sakit parah melihat warganya khusunya
para muda-mudi sedang melakukan sebuah acara, namun karena saking seru dan
gaduhnya, para muda-mudi saling rangkul dan sampai terjadi adegan berciuman para
muda-mudi antara satu dan lainnya. Melihat hal tersebut, raja yang sedang sakit
sangat marah melihat rakyatnya menggelar omed omedan (saling cium). Dengan
tergopoh-gopoh, sang raja keluar. Tanpa disangka, Raja yang sakit keras justru
sembuh setelah melihat acara tersebut. Dia dapat sembuh seperti sedia kala kembali.
Sejak saat itu omed-omedan selalu dilaksanakan setiap hari raya Nyepi.
Namun saat Belanda menjajah, mereka tidak senang dengan upacara tersebut.
Belanda pun melarang upacara omed-omedan tersebut. Namun secara tiba-tiba
muncul 2 ekor babi besar berkelahi di tempat di mana omed-omedan biasa digelar.
Hingga bercucuran darah. Akhirnya raja dan rakyat meminta petunjuk kepada leluhur.
Dan tradisi omed-omedan dikatakan harus dilaksanakan kembali.
Dalam pertarungan ini memang dibutuhkan nyali besar, karena resikonya tinggi
bagaimana kepiawaian seorang joki melecut hewan pacuannya serta menjaga
keseimbangan agar tidak terhempas. Sebelum memulai pertandingan ritualpun
diadakan, agar tidak ada gangguan dari hal-hal negatif dan semuanya bisa berjalan
lancar. Dalam pacuan, sais tidak menggunakan cambuk biasa, tapi menggunakan
cambuk paku dalam melecut kerbaunya, terlihat sedikit ekstrim, namun konon
penyembuhan akan lebih cepat menggunakan pecut paku tersebut ketimbang yang
biasa, dengan beberapa ramuan tertentu.
Tradisi ini dilakukan dengan melepas 2 peserta dan diadu. Dengan pada bulan
Agustus memperebutkan Piala Bupati Jembrana serta bulan Oktober memperebutkan
Piala Gubernur. Uniknya penentuan pemenang adalah dengan cara, yang memulai
lebih dulu, harus mampu menjaga jarak dengan peserta yang berada dibelakangnya
yang dilepas setelahnya sampai 10 meter, jika ternyata peserta yang dibelakangnya
bisa mempersempit jarak hingga kurang dari 10 meter, maka peserta dibelakangnya
tersebut layak sebagai pemenang.
7. Sampi Gerumbungan
Jika di Jembrana ada Makepung dan di Madura ada Karapan Sapi, maka di
Buleleng ada Sampi Gerumbungan. Kegiatan pertunjukkan Sapi Gerumbungan ini
sering diadakan di Desa Bebetin, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, Bali.
Gerumbungan merupakan genta besar yang digantungkan di leher sapi jantan, dimana
sepasang sapi yang sudah terlatih akan dihubungkan pada lehernya dengan sebuah
kayu yang dinamakan dengan Uga. Sapi Gerumbungan ini merupakan warisan nenek
moyang yang bersyukur sampai sekarang masih dipertahankan eksistensinya.
Biasanya pertunjukkan ini digelar secara rutin di hari Minggu dari jam 08.00 –
10.00 di lapangan desa. Bukan hanya didominasi oleh penduduk setempat saja untuk
menjadi jokinya, Anda pun jika kebetulan sedang berkunjung ke desa ini bisa menjadi
joki. Jangan khawatir sapinya tidak akan mengamuk karena biasanya sapi yang
diikutsertakan sudah terlatih dan dipandu oleh orang-orang yang profesional sehingga
akan memberikan pengalaman yang tak terlupakan
.
8. Perang Sampian
Berlokasi di Pura Samuan Tiga, Bedulu Gianyar, setiap tahun rutin dilaksanakan
tradisi/upacara Siat Sampian yang merupakan rentetan upakara karya di pura tersebut.
Tradisi yang dilaksanakan setiap tahun sekali ini juga menarik perhatiann wisatawan
asing. Moment Perang Siat Sampian ini juga diabadikan puluhan photographer baik
asing maupun lokal.
Sebelum tradisi ini dimulai, dilakukan upacara Nampiog, Ngober dan Meguak-
guakan. Dalam upacara ini, ratusan warga mengelilingi areal pura sambil menggerak-
gerakkan tangan mereka seperti burung gagak (goak).Prosesi ini diikuti oleh para
permas atau ibu-ibu yang sudah disucikan. Selain ibu-ibu, para pemangku pura
setempat juga ikut mengelingi areal Pura. Setelah prosesi ini selesai dilanjutkan
dengan upacara Ngombak. Pada upacara ini para wanita yang berjumlah 46 orang,
serta laki-laki atau sameton parekan yang juga sudah disucikan berjumlah 309 orang
melakukan upacara Ngombak (melakukann gerakan seperti ombak).
Upacara ini dilakukan dengan cara berpegangan tangan satu sama lainnya,
kemudian bergerak laksana ombak. Setelah usai upacara ini, para laki dan wanita
tersebut langsung mengambil sampian (rangkaian janur untuk sesajen) dan saling
pukul serta lempar atau perang dengan sampian satu sama lainnya. Sampian itu
merupakan lambang senjata Dewa Wisnu, dan senjata ini dipergunakan untuk
memerangi Adharma (kejahatan). Filosofi yang diambil dari tradisi ini adalah untuk
mengenyahkan Adharma atau kejahatan dari muka bumi. Selain simbol perang
terhadap kejahatan, siat sampian juga untuk merayakan bersatunya berbagai sekte
keagamaan (Hindu) di Bali, disamping untuk memohon kesejahteraan lahir dan batin.
Pada abad ke-10 Masehi, di Pura ini digelar pertemuan besar antar berbagai sekte
Hindu yang ada di Bali dengan mediator pemerintah yang berkuasa di Bali waktu itu.
Pertemuan ini menyepakati penyudahan konflik antar sekte Hindu di Bali dan menjadi
awal konsep pura Tri Kahyangan Jagat di Bali, serta penerimaan konsep Tri Murti
(Tiga Dewa Utama) di setiap desa yang ada di Bali.
9. Perang Suren
Desa Gede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, menggelar tradisi "perang
suren" dengan diikuti pemuda yang sudah beranjak dewasa. Perang suren ini mirip
dengan perang pandan yang ada di Karangasem dan perang pelepah pisang di Desa
Pengotan, Kabupaten Bangli. Yang membedakan adalah jika di Tenganan, Kabupaten
Karangasem, sarana yang dipakai adalah pandan. Sementara perang suren,
menggunakan sarana perang yang diambil dari pohon suren.