Revisi Ikan Buntal
Revisi Ikan Buntal
Revisi Ikan Buntal
ABSTRAK
Ikan buntal diketahui bernilai ekonomis, sering dimanfaatkan sebagai karya seni. Ikan
buntal hidup di air tawar dan air laut. Hewan air ini tergolong spesies karnivora (pemakan
daging), penyebaran ikan buntal meliputi perairan tropis seluruh dunia. Ikan Buntal termasuk
ikan predator malam hari, biasanya bersembunyi di celah-celah karang di siang hari dan mencari
makan pada malam hari. Ikan buntal adalah ikan yang memiliki kandungan racun tinggi. Racun
ini lebih tinggi jumlahnya pada ikan betina ketimbang ikan jantan. Walaupun terkenal beracun,
ikan buntal sendiri dikonsumsi oleh masyarakat luas khususnya masyarakat nelayan Indonesia.
Sebagian besar jenis dari ikan buntal hidup di karang sedangkan yang lainnya hidup pada
perairan yang luas.
PENDAHULUAN
Ikan buntal diketahui bernilai ekonomis, sering dimanfaatkan sebagai karya seni. Ikan
buntal dapat hidup di air tawar dan air laut. Hewan air ini tergolong spesies karnivora (pemakan
daging), merupakan ikan predator malam hari, biasanya bersembunyi di celah-celah karang di
siang hari dan mencari makan pada malam hari (nocturnal). Penyebaran ikan buntal meliputi
perairan tropis seluruh dunia. Tetraodontidae terdiri dari sedikitnya 121 spesies ikan buntal yang
terbagi dalam 20 genera. Ikan ini banyak ragamnya di perairan tropis dan tidak umum dalam di
perairan zona sedang dan tidak ada di perairan dingin. Mereka memiliki ukuran kecil hingga
sedang, meski beberapa spesies memiliki panjang lebih dari 100 sentimeter (39 in). Gigi yang
menyatu bersama menjadi satu kesatuan menciptakan mulut yang kuat dan dapat meretakan kulit
kerang siput, landak laut, dan kepiting (Farihin, 2015). Ikan buntal sering disebut puffer fish
merupakan famili Diodontidae dengan ordo Tetraodontiformes. Ordo tetraodontiformes berasal
dari morfologi gigi ikan, yaitu memiliki dua gigi besar yang tajam pada rahang atas dan bawah.
Ikan ini banyak ragamnya di perairan tropis namun tidak banyak di daerah subtropis maupun
perairan dingin, adaptasi tingkah laku dan anatomi yang tinggi pada perairan karang
mengindikasikan ikan ini umumnya menetap di perairan karang (Wibowo et al 2016). Hanya
beberapa jenis yang tidak menetap di perairan karang antara lain trigger fish dan molas yang
dapat hidup di perairan laut yang luas (Grzimek 1974).
Menurut Erni (2008) ikan buntal termasuk predator perenang lambat, untuk
mempertahankan dirinya dari predator, ikan ini akan mengembungkan tubuhnya seperti balon,
perutnya yang elastis terisi air berjumlah banyak sehingga membuatnya nampak lebih besar dan
nyaris bulat. Disaat menggelembungkan tubuhnya duri-duri yang berada di dalam tubuh ikan
akan nampak bermunculan, ini merupakan sistem pertahanan dirinya dari para musuh. Predator
yang mengabaikan peringatan dari ikan buntal, kemungkinan akan mati tersedak duri, bentuk
pertahanan lainnya adalah racun. Beberapa jenis tertentu dari ikan buntal mengandung racun
saraf
tetrodoksin, kebanyakan terdapat di bagian hati, kelenjar kelamin, dan kulit.
Kandungan racun yang tinggi pada jaringan otot dan kulit membuat racun ikan ini dapat
membunuh manusia, tetapi hal ini tidak berlaku bagi masyarakat nelayan di Kabupaten Cirebon.
Menurut mereka ikan buntal beracun pada bagian jeroannya dan bukan pada daging atau kulitnya
sehingga dijadikan ikan konsumsi. Racun dari ikan buntal pisang dikenal dengan nama
tetrodotoksin. Tetrodotoksin bersifat eksogenus sehingga pada tiap perairan berbeda kadar
racunnya. Penyebab berbedanya kandungan tetrodotoksin pada tiap spesies adalah jenis
makanan, musim, ukuran, habitat dan bagian ikan buntal itu sendiri (Ginanjar, 2015).
Informasi mengenai ikan buntal khususnya di perairan Indonesia belum banyak dikaji,
untuk itu tulisan ini bertujuan untuk merangkum informasi tentang rendemen, kandungan gizi
dan racun dari ikan buntal.
Ikan buntal umumnya berbentuk seperti torpedo yang pada bagian luarnya terdapat sirip
yang mengandung 7-18 bagian halus. Sirip pada bagian bawah terbentang vertikal sejajar dengan
sirip punggung yang juga mengandung 7-18 bagian halus. Sirip bagian belakang berbentuk bulat
cekung. Sirip pada bagian dada berada di belakang insang. Gigi-gigi yang ada dalam rahang
cukup kuat membentuk 4 bagian yang terlihat jelas di garis rahangnya tersebut (tetraodontidae,
yang artinya empat gigi). Biasanya gigi-gigi ini digunakan untuk menghancurkan cangkang
moluska dan udang-udangan. Mata ikan buntal sebenarnya cukup besar bagi tubuhnya yang
mampu bergerak secara bebas. Ikan buntal memiliki perut yang mulus dan bagian sebaliknya
memiliki duri. Sirip bagian punggung dan bagian belakang merupakan sumber utama tenaga
penggerak, sedangkan bagian sirip lainnya biasanya digunakan sebagai alat kemudi (Wibowo et
al 2016)
Ikan buntal memiliki adaptasi yang tinggi karena bisa ditemukan di perairan laut, tawar
dan payau (Grzimek, 1974). Daerah sebaran ikan ini meliputi perairan Atlantik seperti Samudera
Hindia dan Pasifik.
Penyebaran ikan buntal meliputi berbagai negara antara lain India, Ceylon, Andaman,
Thailand, Singapura dan lain sebagainya (Weber dan de Beaufort, 1962). Ikan buntal dari jenis
T. lunaris menyebar hampir di seluruh perairan Indonesia antara lain Pulau Weh, Sumatera
(Bagan Siapi-api, Sibolga dan Deli), Sungai Musi, Pulau Bintang, Pulau Bangka, Pulau Jawa
(Jakarta, Karawang, Subang, Cirebon, Cilacap, Semarang, Surabaya), Madura, Kalimantan
(Pemangkat, Singkawang, Pontianak, hilir Sungai Kapuas, Banjarmasin, Sungai Mahakam,
Sulawesi dan Papua (Weber dan de Beaufort 1962).
Makanan
Menurut Ginanjar dan Nurjanah (2018) Komposisi jenis makanan yang didapatkan dari
usus ikan buntal T. lunaris di Cirebon yaitu jenis ikan dari famili leiognathidae, cumi-cumi,
udang, serasah dan unidentified (tidak teridentifikasi). Ikan buntal dari perairan Mayangan,
Subang memiliki komposisi makanan yaitu ikan, kerang, gastropoda, udang, kepiting, cumi-
cumi, serasah dan unidentified (Wahyuni et al 2004) sedangkan jenis makanan ikan buntal yang
didapatkan dari sungai Musi, Palembang (Suryati dan Prianto 2008) yaitu udang, serasah dan
lainnya tidak teridentifikasi.
Komposisi jenis makanan pada ikan buntal yang terbanyak di dalam usus adalah jenis
ikan pepetek. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Wiyono (2010) yang menyatakan bahwa ikan
pepetek di perairan Cirebon selalu ada di setiap musim. Tingginya dominasi ikan pepetek diduga
disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor yang pertama adalah lingkungan perairan. Kisaran suhu
antara suhu perairan Cirebon yaitu 270-290 C dan kisaran salinitas antara 31-34 ‰ pada
kedalaman perairan antara 0-30 m, ekosistem perairan utara Cirebon diduga merupakan daerah
yang cocok untuk berkembangnya pepetek. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Wedjatmiko
(2007), yang menyatakan bahwa habitat famili leognathidae berada pada laut dengan daerah
tropis, kisaran suhu 26º-29ºC, dengan swimming layer pada kedalaman 10–50 m dan hidup
bergerombol (schooling) di dekat dasar perairan. Faktor kedua yang menyebabkan tingginya ikan
pepetek di perairan dasar pantai adalah faktor biologi ikan pepetek itu sendiri. Pada kondisi
tingkat penangkapan ikan yang sangat intensif, maka jumlah ikan pepetek akan ada sepanjang
tahun dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan spesies lain yang tingkat pemijahannya tidak
secepat ikan pepetek (Wiyono 2010).
Dalam penelitian Ginanjar dan Nurjanah (2018) komposisi jenis makanan yang
ditemukan dalam usus terbanyak kedua adalah cumi-cumi. Pada bulan Juli merupakan musim
terbanyak dari ikan pepetek dan cumi-cumi. Komposisinya yaitu 97,71% untuk ikan pepetek dan
2,27% untuk cumi-cumi (Wiyono 2010). Komposisi jenis makanan dari ikan buntal pisang
sangat bergantung pada kelimpahan jenis makanannya di alam. Yusfiati et al (2006) menjelaskan
bahwa secara biometrik dan anatomi ikan ini merupakan jenis ikan karnivora. Noguchi dan
Arakawa (2008) menyatakan bahwa kandungan tetrodotoksin yang terdapat ikan buntal
dipengaruhi oleh makanannya sedangkan menurut Williams (2010) berasal dari kondisi
perairannya.
Pertumbuhan
Sebaran ukuran panjang ikan buntal Tetraodon lunaris berdasarkan (Noviyanti, 2004)
yang ditemukan di perairan Mayangan diketahui memiliki ukuran panjang yang bervariasi (71-
318 mm), ukuran panjang total rata-rata ikan betina lebih panjang daripada ikan jantan,
sedangkan ukuran panjang ikan jantan menunjukkan bahwa terdapat satu kelompok ukuran yang
menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang ikan sama. Bandingan yang dikemukakan oleh Lubis
(2001) ; Noviyanti (2004) bahwa pada perairan Ujung Pangkah, jumlah ikan yang tertangkap
dominan ikan jantan dengan ukuran yang relatif rendah daripada daerah-daerah lain, diduga
karena perbedaan kondisi habitat antara perairan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa
pertumbuhan ikan buntal mengikuti atau beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya.
Reproduksi
Menurut Effendie (1979) tahapan tingkat kematangan gonad merupakan proses penting
dalam reproduksi ikan, dalam proses reproduksi sebelum terjadi pemijahan sebagian besar hasil
metabolisme tertuju untuk perkembangan gonad. Proses pemijahan terjadi secara alamiah pada
induk yang sudah matang gonad. Penampakan morfologi pada induk yang matang terlihat dari
bentuk tubuh yang sudah membulat.
Sejalan dengan pertumbuhan gonad, maka gonad akan semakin bertambah besar dan
berat sampai batas maksimum ketika terjadi pemijahan. Pada jenis ikan buntal (Tetraodon
lunaris, Tetraodon fluviatilis, dan Tetraodon reticularis) indeks kematangan gonad semakin
meningkat dengan meningkatnya tingkat kematangan gonad. Pada ikan Tetraodon fluviatilis
diperoleh ikan matang gonad yakni pada bulan maret-mei, dan memijah pada bulan april. Hal ini
didukung oleh banyaknya makanan yang dikonsumsi oleh ikan tersebut pada bulan april. Selain
itu juga didukung dengan adanya hubungan antara tingkat kematangan gonad, dimana terdapat
peningkatan yang dipengaruhi meningkatnya tingkat kematangan gonad, pada saat kematangan
gonad, ikan akan memenuhi kebutuhannya dengan memakan makanannya, sehingga organ hati
ikan tersebut ikut bertambah kemudian proses vitellogenesisnya pun bertambah. tingkat
kematangan gonad antara jantan dan betina hampir bersamaan waktunya, diduga perbedaan
musim pemijahan ikan disebabkan oleh adanya fluktuasi musim hujan tahunan, letak geografis
dan kondisi ikan. Sedangkan ikan betina untuk jenis ikan Tetraodon lunaris, Tetraodon fluvitalis
dan Tetraodon reticularis hanya terdapat satu puncak indeks kematangan gonad. Hal ini
menunjukan bahwa ikan tersebut mengalami satu kali pemijahan dalam setahun (Sulistiono et al
2001).
KESIMPULAN
Ikan buntal adalah ikan yang memiliki kandungan racun tinggi. Racun ini lebih tinggi
jumlahnya pada ikan betina ketimbang ikan jantan. Walaupun terkenal beracun, ikan buntal
sendiri bernilai ekonomi dan dikonsumsi oleh masyarakat luas khususnya masyarakat nelayan
Indonesia, ikan buntal merupakan ikan karnivora dan nocturnal dimana memangsa dan mencari
makan pada malam hari. Sebagian besar jenis dari ikan buntal hidup di karang sedangkan yang
lainnya hidup pada perairan yang luas.
DAFTAR PUSTAKA
Abe T. 1960. Taxonomic studies on the puffers from Japan and Adjacent Regions- Corrigenda
and Addenda. Vol 2. Japanese Journal of Ichthyology.
Chulanetra M, Sookrung N, Srimanote P, Indrawattana N, Thanongsakrikul J, Sakolvaree Y,
Nguan MC, Kurazono H, Chaicumpa W. 2011. Toxic Marine puffer fish in Thailand seas
and tetrodotoxin they contained. Toxins 3:1249-1262.
Deeds JR, Landsberg JH, Etheridge SM, Pitcher GC, Longan SW. 2008. Non-traditional vectors
for paralytic shellfish poisoning. Marine Drugs 6:308-348.
Effendie, M.l. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 hal.
Eswar A, Kathirvel K, Anbarasu R, Ramamoorthy K, Sankar G, Suvitha S, Manikandarajan S.
2014. Proximate composition and fatty acid analysis of puffer fish, Lagocephalus inermis
(Temminck and Schlegel, 1850) and Lagocephalus lunaris (Bloch and Schneider, 1801)
from Parangipettai, Southeast coast of India. International Letters of Natural Sciences 12
(1):21-29.
Farihin, Moh. 2015. Ikan Buntal Sebagai Ide Dasar Penciptaan Keramik Teko Set Pasutri.
Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta
Ginanjar P. dan Nurjanah. 2018. Hubungan Panjang Bobot dan Kebiasaan Makan Ikan Buntal
Pisang (Tetraodon lunaris) di Perairan Kabupaten Cirebon. Jurnal. Vol 6. Coastal and
Marine Resources Research Center, Raja Ali Haji Maritime University Tanjungpinang-
Indonesia.
Ginanjar P. 2015. Kajian Tetrodotoksin Ikan Buntal Pisang (Tetraodon lunaris) Dari Perairan
Kabupaten Cirebon. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ginanjar P. 2010. Pengaruh Penggorengan Terhadap Karakteristik Asam Amino Ikan Buntal
Pisang (Tetraodon lunaris) Dari Perairan Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Grzimek B. 1974. Animal Life Encyclopedia. Vol 5. Fishes II and Amphibians. New York: Van
Nostrand Reinhold Company.
Handoko T, Rusli SO, Sandy I. 2011. Pengaruh jenis dan konsentrasi asam, temperatur dan
waktu ekstraksi terhadap karakteristik fish glue dari limbah ikan tenggiri. Reaktor
13(4):237-241.
Hashimoto, Y. and H. Kamiya. 1970. Food chain hypothesis on the origin of marine toxins. Bull.
Jpn. Soc. Sci. Fish., 36:425–434.
Hawkes JW. 1974. The structure of fish skin. Vol 1. General organization. Cell Tissue Res 149 :
147-158.
Hwang DF, Kao CY, Yang HC, Jeng SS, Noguchi T. 1992. Toxicity of puffer in Taiwan. Nippon
Suisan Gakkaishi 58(8): 1541-1547.
Mittal AK, Banerjee TK. 1976. Functional organization of the skin of the “Green-Puffer-Fish”
Tetraodon) quviatilis (HamBuch) (Tetraodontidae, Pisces). Zoomorphology 84:195-209.
Ngy L, Taniyama S, Shibano K, Yu CF, Takatani T, Arakawa O. 2008. Distribution of
tetrodotoxin in puffer fish collected from coastal waters of Sihanouk Ville, Cambodia.
Journal Food Hygiene Society Japan.
Noviyanti, H. 2004. Studi Kebiasaan Makanan Ikan Buntal Pisang (Tetraodon lunaris) di
Perairan Mayangan, Subang, Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Noguchi T, Arakawa O. 2008. Tetrodotoxin-distribution and accumulation in aquatic organisms,
and cases of human intoxication. Marine Drugs. 6:220-242.
Omar. 1987. Struktur Dasar Kulit Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Sulistiono, Tri Hastuti Kurniatil, Etty Riani, Seiichi Watanabe. 2001. Kematangan Gonad
Beberapa Jenis Ikan Buntal (Tetraodon lunaris, T fluviatilis, T. reticularrs) di Perairan
Ujung Pangkah, Jawa Timur. Jurnal Iktiologi Indonesia. 1(2): 25-30.
Suryati NK, Prianto E. 2008. Panjang bobot dan komposisi makanan ikan buntal pisang
Lagocepalus lunaris (Tetraodontidae) di sungai Musi, Sumatera Selatan. Jurnal Litbang
Perikanan Indonesia.
Wahyuni T, Sulistiono, Affandi R. Kebiasaan makanan ikan buntal pisang (Tetraodon lunaris)
di perairan Mayangan, Jawa Barat. Jurnal Ikhtiologi Indonesia. 4(1): 25-30.
Weber M dan de Beaufort LF, 1962. The fishes of the Indo-Australian Archipelago. XI.
Scleroparei, Hypostomides, Pediculati, Plec-tognathi, Opisthomi, Discoce-phali,
Xenopterygii. A.J. Reprints Agency, New Delhi, India. 481p.
Wedjatmiko. 2007. Komposisi ikan petek (Leiognathidae) di perairan Barat Sumatera. Jurnal
Iktiologi Indonesia. 7(1): 9–14.
Wibowo, RLMSA, M.W. Syabani. 2016. Identifikasi Kulit Ikan Buntal (Arothon reticularis)
Menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Skripsi. Politeknik ATK
Yogyakarta.
Williams BL. 2010. Behavioral and chemical ecology of marine organisms with respect to
tetrodotoxin. Marine Drugs. 8:381-398.
Wiyono ES. 2010. Komposisi, diversitas dan produktivitas sumberdaya ikan di perairan pantai
Cirebon, Jawa Barat. Ilmu Kelautan. 15:(4) 214.
Yusfiati, Sigit K, Affandi R, Nurhidayat. 2006. Anatomi pencernaan ikan buntal pisang
(Tetraodon lunaris). Jurnal Iktiologi Indonesia.