Tugas Anmak

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 7

Judul Jurnal : STUDI PERBANDINGAN ANALISIS VITAMIN E MINYAK

SAWIT MERAH TERSAPONIFIKASI ANTARA METODE


SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS DAN KCKT

Arlina Mayharty Andulaa, Ruslan, Hardi Ys, Dwi Juli Puspitasari.

Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,


Universitas Tadulako

Pembahasan Jurnal :
A. Proses Teknik Pemisahan Minyak Sawit Merah

Proses pemisahan dengan cara saponifikasi dan ekstraksi dilakukan untuk memisahkan
komponen tersaponifikasi yang dapat mempengaruhi determinasi vitamin E yang terdapat di
dalam sampel (minyak sawit merah).

Pada tahap saponifikasi, pemanasan pada suhu 700C dilakukan untuk mempercepat
reaksi. Ini merupakan kondisi optimal karena pada suhu yang lebih tinggi dan waktu yang relatif
lama akan merusak senyawa isomer dari vitamin E sedangkan waktu yang relatif singkat
menyebabkan penurunan tingkat regenerasi isomer. Penambahan BHT berfungsi untuk
mencegah terjadinya proses oksidasi vitamin E oleh udara, maupun oleh pemanasan dan NaCl
berfungsi mengendapkan sabun sehingga mudah dipisahkan antara fraksi tersabunkan, fraksi
tidak tersabunkan dan fraksi air. Pada tahap ekstraksi, metanol berfungsi menarik senyawa-
senyawa polar yang larut di dalamnya sedangkan ekstraksi menggunakan 2 propanol (1%) dalam
heksana berfungsi menarik senyawa polar dalam 2-propanol dan senyawa non polar ke dalam
pelarut heksana.

B. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Hasil Analisis Kadar Vitamin E


Menggunakan Metode Spektrofotometri UV-VIS

Penentuan panjang gelombang maksimum harus dilakukan sebelum analisa kadar


senyawa yang akan diuji yakni vitamin E didalam sampel. Hal ini disebabkan preparasi sampel
dan kondisi alat serta lingkungan disetiap penelitian berbeda. Berdasarkan spektrum vitamin E
diperoleh panjang gelombang maksimum 298,5 nm dengan absorbansi 2,9736. Apabila nilai
absorbansi diplotkan ke dalam kurva persamaan linier akan didapat kadar vitamin E sebesar
104,4 ppm.
Penggunaan n-heksana sebagai pelarut dan blanko disebabkan karena heksan merupakan
pelarut yang tidak berwarna dan tidak mengandung ikatan rangkap pada struktur molekulnya
sehingga tidak akan mengganggu analisis vitamin E. Selain itu, n-heksan merupakan pelarut non-
polar baik untuk melarutkan vitamin E yang merupakan jenis vitamin larut di dalam lemak
sehingga bersifat non polar. Meskipun sampel yang dianalisis berwarna namun senyawa vitamin
E dapat menyerap radiasi pada panjang gelombang UV. Hal ini disebabkan pada struktur vitamin
E terdapat gugus fungsi yang disebut gugus kromofor sehingga senyawa ini dapat menyerap
radiasi pada panjang gelombang UV dan dibuktikan dengan pengujian panjang gelombang
maksimum yang berada pada rentang UV (< 400 nm).

C. Hasil Analisis Konsentrasi Vitamin E Menggunakan Metode KCKT ( Kromatografi


Cair Kinerja Tiggi )

Pada KCKT digunakan kecepatan alir 1 ml/menit dengan panjang gelombang 290 nm.
Berdasarkan kromatogram yang diperoleh dapat diketahui adanya vitamin E dalam sampel
dengan cara membandingkan waktu retensi sampel yang diduga merupakan vitamin E dengan
larutan standar vitamin E.

Berdasarkan kromatogram dapat dilihat bahwa waktu retensi sampel maupun 7 seri
larutan standar relatif sama yaitu untuk sampel 21,928 menit sedangkan untuk larutan standar
waktu retensi rata-rata yaitu 21,668 menit dengan waktu analisis kurang dari 25 menit.
Sementara itu, waktu retensi antara sampel dan standar memakan waktu relatif lama. Hal ini
disebabkan penggunaan kolom fasa terbalik dimana fasa gerak yang digunakan ialah senyawa
polar sedangkan fase diam adalah non-polar.

Pada KCKT fase terbalik, Senyawa yang bersifat polar akan lebih dulu terelusi mengikuti
fase gerak yang polar sedangkan vitamin E yang merupakan senyawa non-polar akan terelusi
paling akhir karena terjerap pada fase diam yang bersifat non-polar. Setelah diperoleh persamaan
kurva kalibrasi, maka dapat dilakukan perhitungan dengan memplotkan nilai luas area sampel ke
dalam sebuah persamaan. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh konsentrasi vitamin E sebesar
127 ppm.

D. Perbandingan Hasil Analisis Konsentrasi Vitamin E antara Metode Spektrofotometri


UV-Vis dan KCKT

Prinsip dasar antara metode Spektrofotometri UV-Vis dengan metode KCKT sangat
berbeda. Metode Spektrofotometri UV-Vis memiliki prinsip dasar absorbansi, sedangkan untuk
KCKT memiliki prinsip dasar kromatografi yaitu kromatografi kolom dengan tekanan tinggi.
Namun detektor KCKT yang digunakan pada penelitian ini menggunakan detektor UV-Vis yang
prinsipnya sama dengan Spektrofotometri UV-Vis yaitu pengukuran didasarkan pada absorbansi
pada dua rentang panjang gelombang sinar ultraviolet (UV) dan pada panjang gelombang sinar
tampak (visible).

Panjang gelombang maksimum yang diperoleh pada KCKT ialah 290 nm sedangkan
panjang gelombang maksimum pada spektrofotometri UV-Vis ialah 298,5 nm yang keduanya
masih berada pada rentang panjang gelombang UV (< 400 nm). Panjang gelombang maksimum
ini relevan dengan beberapa penelititan yang pernah dilakukan yaitu panjang gelombang
maksimum vitamin E berada pada rentang 290-300 nm. Diasumsikan bahwa perbedaan panjang
gelombang maksimum ini disebabkan perbedaan pelarut yang digunakan untuk melarutkan
standar, dimana pelarut KCKT yang digunakan ialah metanol sedangkan pada spektrofotometri
UV-Vis pelarutnya adalah n-heksan. Selain itu, perbedaan instrumen yang digunakan juga
diprediksi menyebabkan perbedaan hasil panjang gelombang maksimum.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menggunakan metode spektrofotometri


UV-VIS menghasilkan kadar vitamin E yang relatif mendekati dengan hasil KCKT dengan nilai
masing-masing 104,5 ppm dan 127 ppm. Pada penelitian ini, hal tersebut disebabkan karena
sampel yang dianalisis mengalami perlakuan pendahuluan proses teknik pemisahan yang sama
antara metode KCKT dan spektrofotometri UV-Vis yaitu dengan cara saponifikasi dan ekstraksi.

Meskipun hasil analisis konsentrasi vitamin E antara metode Spektrofotometri UV-Vis


dengan metode KCKT cenderung mendekati, namun bukan berarti dapat diklaim bahwa
kandungan vitamin E secara kuantitatif adalah valid karena perlu dilakukan uji lanjutan yaitu
penentuan struktur dari senyawa vitamin E dengan menggunakan alat FTIR, Spektrofotometer
Massa dan RMI. Meskipun demikian adanya pendekatan metode yang dilakukan seperti serapan
panjang gelombang dan kadar pada Spektrofotometer UV-Vis dan KCKT mengindikasikan
bahwa adanya kandungan vitamin E yang dapat dianalisis secara kuantitatif.
Judul Jurnal : PENGEMBANGAN PRODUK PANGAN FUNGSIONAL UBI
KAYU (MANIHOT ESCULENTA) DALAM MENUNJANG KETAHANAN
PANGAN

Eka Herlina dan Farida Nuraeni

Program Studi Kimia, Universitas Pakuan Bogor

Pembahasan Jurnal :
A. Pembuatan Flake Ubi Kayu

Pembuatan flakes singkong dan flakes singkong dengan penambahan tepung kacang merah
sebagai sumber vitamin dan antioksidan dilakukan dengan cara pencampuran bahan,
pengukusan, pencetakan dan pemanggangan. Hasil pembuatan flakes memiliki rasa dan warna
yang berbeda sesuai dengan formulasi penambahan tepung kacang merah yang ditambahkan.
Flakes 5:0 memiliki warna kuning keemasan, renyah dan berbau khas singkong dan flakes 4:1,
3:2, 2:3 memiliki warna kuning kecokelatan, renyah, dan berbau khas singkong dan kacang
merah. Sedangkan flakes 1:4 memiliki warna kuning kecokelatan pekat, sedikit renyah dan
berbau langu.

B. Analisis Kadar Vitamin A, Vitamin C dan Vitamin E

Pada penelitian ini telah dilakukan analisis pada flakes singkong meliputi kadar vitamin
C, kadar vitamin A, dan vitamin E. Hasil analisis kandungan vitamin pada flakes dapat dilihat
dalam tabel berikut

Vitamin Kadar Formulasi Ubi Kayu : Tepung Kacang Merah Dalam Bentuk Flakes
5:0 4:1 3:2 2:3 1:4
A % 0,34 0,42 0,51 0,59 0,94
C UI/100 g 305,15 189,72 166,05 84,75 64,35
E mg/100 0,97 < 0,01 < 0,01 < 0,01 < 0,01
g

Pada analisis kadar vitamin A, kadar vitamin A menurun pada sampel flakes singkong
dengan penambahan tepung kacang merah karena pada proses penetralan dengan menggunakan
pelarut KOH dan penambahan asam asetat glasial. Hal tersebut menyebabkan sebagian dari
vitamin A hilang, karena vitamin A memliiki sifat tidak tahan terhadap asam. Dalam penelitian
ini dihasilkan kandungan vitamin A tertinggi pada formulasi flakes 5:0 yaitu 305,15 IU/100 gram
atau 1,02 mg/100 gram dimana nilai tersebut belum memenuhi angka kecukupan vitamin A
untuk anak usia tumbuh yang seharusnya 500 mg/100gram.

Pada analisis kadar vitamin E, sampel flakes singkong dengan penambahan tepung
kacang merah tidak terdeteksi kandungan vitamin E, hal ini dipengaruhi oleh proses saat akan
dilakukan pembuatan tepung kacang merah yaitu dengan cara mengupas kulitnya dan
pengeringan dijemur diatas sinar matahari dengan udara terbuka. Dalam literatur dijelaskan
bahwa karakteristik sifat fisik dan kimia tepung kacang merah dengan beberapa perlakuan
pendahuluan dapat mempengaruhi sifat fisik, kimia dan fungsional pada tepung kacang merah,
dan juga dipengaruhi oleh sifat kimia dari vitamin E yang tidak tahan terhadap sinar matahari
dan oksigen. Syarat mutu sereal menurut SNI 3842-1995 yaitu dengan kandungan vitamin E
yaitu 300 mg/Kg, jadi untuk flakes singkong dengan penambahan tepung kacang merah belum
dapat memenuhi standar mutu pemenuhan gizi vitamin A maupun vitamin E. Setiap kali
penambahan tepung kacang merah pada flakes singkong, kadar vitamin A dan kadar vitamin E
pada flakes yang sudah dibuat akan mengalami penurunan.
Judul Jurnal : ANALISIS KANDUNGAN VITAMIN E PADA BUAH
BORASSUS FLABELLIFER Linn MENGGUNAKAN HIGH
PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY (HPLC)

HARI WIDADA

Laboratorium Kimia Organik dan Kimia Analisis, Prodi Farmasi, Fakultas


Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Pembahasan Jurnal :

Analisis kandungan vitamin E dalam buah B. flabellifer Linn. dengan metode HPLC.
Pada proses analisis kecepatan alir diatuur 1,5 ml/menit dengan panjang gelombang 295 nm
dilakukan menggunakan metode fase normal karena dalam sistem ini fase diam yang digunakan
bersifat polar, sedangkan fase geraknya bersifat non-polar. Detektor yang digunakan adalah
detektor UV karena pada struktur vitamin E terdapat gugus kromofor yang mengabsorbsi sinar
UV pada area panjang gelombang 291.5 nm, sehingga senyawa yang dianalisis kompatibel bagi
penggunaan detektor UV-VIS pada HPLC.

Analisis kandungan vitamin E dalam buah B. flabellifer Linn. dilakukan terhadap ekstrak
yang diperoleh dengan cara ekstraksi kering dan ekstraksi basah. Hasil analisis pada ekstrak
kering diperoleh kadar rata-rata sebesar (3,19 ± 0,12) %, sedangkan analisis terhadap ekstrak
yang diperoleh dari ekstraksi basah didapat hasil rata-rata sebesar (4,76 ± 0,17) % .

Hasil analisis kandungan vitamin E dalam buah B. flabellifer Linn. lebih besar jika
dibandingkan dengan kandungan vitamin E dalam buah kolang-kaling (Arenga pinnata Merr.),
yaitu 0,92% dari proses ekstraksi kering dan 1,12% dari ekstraksi basah. Hasil analisis
kandungan vitamin E dari ekstraksi basah didapat hasil yang lebih besar kemungkinan
disebabkan oleh faktor stabilitas senyawa vitamin E terhadap pengaruh suhu. Pemanasan yang
dilakukan pada proses pengeringan ekstrak menyebabkan rusaknya kandungan vitamin E dalam
sampel. Pemanasan dapat mengurangi berbagai fraksi vitamin E dalam kelapa sawit dan minyak
kedelai sebagai fungsi dari tingkat pemanasan.

Stabilitas senyawa isomer dari vitamin E bervariasi selama proses pemanasan, tergantung
pada jenis minyak yang digunakan, yang mencerminkan isi PUFA (Poly-Unsaturated Fatty Acid)
dan isomer vitamin E-nya. Penelitian yang ada belum memberikan bukti yang memadai tentang
perubahan vitamin E, terutama tocotrienol setelah proses pemanasan. Dalam analisis kandungan
vitamin E buah B. flabellifer Linn. ini sukar dilakukan pemisahan komponen penyusun dalam
campuran vitamin E yaitu tokoferol dan tokotrienol karena keterbatasan sensitifitas dan resolusi
dari alat HPLC yang digunakan sehingga hasil yang diperoleh merupakan kadar vitamin E total.
Hal ini ditunjukkan dari hasil kromatogram dan data luas puncak yang hanya menunjukkan satu
puncak. Metode HPLC dengan fase terbalik menggunakan fase gerak methanol:air (97:3 v/v) dan
fase diam pentafluorophenyl (diameter butiran: 3 µm, dimensi: 150 mm × 4.6 mm), terbukti
memiliki sensitivitas, kecepatan dan pengulangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan HPLC
fase normal. Penggunaan pelarut 2-propanol dapat mencegah hilangnya analit dan dengan
demikian mengurangi risiko kemungkinan pengukuran kesalahan.

Anda mungkin juga menyukai