Makalah Keperawatan Jiwa II Kelompok 8
Makalah Keperawatan Jiwa II Kelompok 8
Makalah Keperawatan Jiwa II Kelompok 8
OLEH :
PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS SI KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, semakin banyak kasus pelecehan seksual dan perkosaan yang
menimpa anak-anak dan remaja. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan sebagian besar
menimpa anak-anak dan remaja putri. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan dimulai
dari anak-anak yang masih di bawah umur (Anonim, 2006), pelecehan seks di sekolah
(Anonim, 2006), bahkan kepala sekolah yang seharusnya memberi contoh pada murid-
muridnya melakukan pelecehan seksual kepada siswi-siswinya (Anonim,2007), walikota
yang menghamili ABG (Anonim, 2007), hingga personel tentara perdamaian pun
melakukan pelecehan seksual (Anonim, 2006).
Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki
muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan
tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif,
seperti: rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan
kesucian, dan sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi, S.& Sadarjoen,
2006).
Walaupun sebagian besar korban pelecehan seksual dan perkosaan adalah wanita,
akan tetapi dalam beberapa kasus, laki-laki juga dapat menjadi korban pelecehan seksual
yang umumnya dilakukan oleh laki-laki juga. Pada sebagian besar kasus, perkosaan
dilakukan oleh orang sudah sangat dikenal korban, misalnya teman dekat, kekasih,
saudara, ayah (tiri maupun kandung), guru, pemuka agama, atasan, dan sebagainya.
Sedangkan sebagian kasus lainnya, perkosaan dilakukan oleh orang-orang yang baru
dikenal dan semula nampak sebagai orang baik-baik yang menawarkan bantuan,
misalnya mengantarkan korban ke suatu tempat.
Menurut Sadarjoen dalam tulisannya yang dimuat dalam sebuah situs internet,
pelecehan seksual yang terjadi pada anak, memang tidak sesederhana dampak
psikologisnya. Anak akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang
tadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada
obyek-obyek atau orang-orang lain (Supardi, S.& Sadarjoen, 2006).
Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang
mendalam pada para korbannya. Korban pelecehan seksual dan perkosaan juga dapat
mengalami gangguan stres akibat pengalaman traumatis yang telah dialaminya.
Gangguan stres yang dialami korban pelecehan seksual dan perkosaan seringkali disebut
Gangguan Stres Pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)).
BAB II
PEMBAHASAN
KORBAN PEMERKOSAAN
A. Pengertian Perkorsaan
Perkosaan (rape) merupakan bagian dari tindakan kekerasan (violence), sedangkan
kekerasan dapat berupa kekerasan secara fisik, mental, emosional dan hal-hal yang sangat
menakutkan pada korban. Perkosaan adalah suatu penetrasi penembusan penis ke vagina
perempuan yang tidak dikehendaki, tanpa persetujuan dan tindakan itu diikuti dengan pemaksaan
baik fisik maupun mental.
Pengertian pemerkosaan berdasarkan Pasal 381 RUU KUHP :
1. Seorang laki-laki dengan perempuan bersetubuh, bertentangan dengan kehendaknya, tanpa
persetubuhan atau dengan persetubuhan yang dicapai melalui ancaman atau percaya Ia suaminya
atau wanita dibawah 14 tahun dianggap perkosaan.
2. Dalam keadaan ayat (1), memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan,
benda bukan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.
Kalimat korban perkosaan menurut arti leksikal dan gramatikal adalah suatu kejadian,
perbuatan jahat, atau akibat suatu kejadian, atau perbuatan jahat. Perkosaan adalah
Menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi, merogol.
(Mendikbud,2010: 525, 757).
D. Batasan Karakteristik
1. Fase akut
a. Respons somatic
Peka rangsang gastrointerstinal (mual, muntah, anoreksia)
Ketidaknyamanan genitourinarius (nyeri, pruritus)
Ketegangan otot-otot rangka (spasme, nyeri).
b. Respons psikologis
Menyangkal
Syok emosional
Marah
Takut – akan mengalami kesepian, atau pemerkosa akan kembali
Rasa bersalah
Panik melihat pemerkosa atau adegan penyerangan
c. Respons seksual
Tidak percaya pada laki-laki
Perubahan dalam perilaku seksual
2. Fase jangka panjang
Setiap respons pada fase akut dapat berlanjut jika tidak pernah terjadi resolusi
a. Respons psikologis
Fobia
Mimpi buruk atau gangguan tidur
Ansietas
Depresi
E. Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan korban pemerkosaan
Panic attack (serangan panik)
Anak / remaja yang mempunyai pengalaman trauma dapat mengalami serangan panik ketika
dihadapkan / menghadapi sesuatu yang mengingatkan mereka pada trauma. Serangan panik
meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau perasaan tidak nyaman yang menyertai gejala
fisik maupun psikologis. Gejala fisik meliputi jantung berdebar-debar, berkeringat, gemetar,
sesak nafas, sakit dada, sakit perut, pusing, merasa kedinginan, badan panas, mati rasa.
Perilaku menghindar
Menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan penderita pada kejadian traumatis. Kadang-
kadang penderita mengaitkan semua kejadian dalam seluruh kehidupannya setiap hari dengan
kejadian trauma, padahal kondisi kehidupan sekarang jauh dari kondisi trauma yang pernah
dialaminya. Hal ini seringkali menjadi lebih parah sehingga penderita menjadi takut untuk keluar
rumah dan harus ditemani oleh orang lain jika harus keluar rumah.
Depresi
Banyak orang menjadi depresi setelah mengalami pengalaman trauma dan menjadi tidak tertarik
dengan hal-hal yang disenanginya sebelum peristiwa trauma. Mereka mengembangkan perasaan-
perasaan yang tidak benar, perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan merasa bahwa
peristiwa yang dialaminya adalah merupakan kesalahannya, walaupun semua itu tidak benar.
Membunuh pikiran dan perasaan
Kadang-kadang orang yang depresi berat merasa bahwa kehidupannya sudah tidak berharga.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa 50 % korban kejahatan mempunyai pikiran untuk bunuh
diri. Jika anda dan orang yang terdekat dengan anda mempunyai pemikiran untuk bunuh diri
setelah mengalami peristiwa traumatik, segeralah mencari pertolongan dan berkonsultasi dengan
para profesional.
Merasa disisihkan dan sendiri
Perlunya dukungan dari lingkungan sosialnya tetapi mereka seringkali merasa sendiri dan
terpisah. Karena perasaan mereka tersebut, penderita kesulitan untuk berhubungan dengan orang
lain dan mendapatkan pertolongan. Penderita susah untuk percaya bahwa orang lain dapat
memahami apa yang telah dia alami.
Merasa tidak percaya dan dikhianati
Setelah mengalami pengalaman yang menyedihkan, penderita mungkin kehilangan kepercayaan
dengan orang lain dan merasa dikhianati atau ditipu oleh dunia, nasib atau oleh Tuhan.
Mudah marah
Marah dan mudah tersinggung adalah reaksi yang umum diantara penderita trauma. Tentu saja
kita dapat salah kapan saja, khususnya ketika penderita merasa tersakiti, marah adalah suatu
reaksi yang wajar dan dapat dibenarkan. Bagaimanapun, kemarahan yang berlebihan dapat
mempengaruhi proses penyembuhan dan menghambat penderita untuk berinteraksi dengan orang
lain di rumah dan di tempat terapi.
Gangguan yang berarti dalam kehidupan sehari-hari
Beberapa gangguan yang terkait dengan fungsi sosial dan gangguan di sekolah dalam jangka
waktu yang lama setelah trauma. Seorang korban kejahatan mungkin menjadi sangat takut untuk
tinggal sendirian. Penderita mungkin kehilangan kemampuannya dalam berkonsentrasi dan
melakukan tugasnya di sekolah. Bantuan perawatan pada penderita sangat penting agar
permasalahan tidak berkembang lebih lanjut.
Persepsi dan kepercayaan yang aneh
Adakalanya seseorang yang telah mengalami trauma yang menjengkelkan, seringkali untuk
sementara dapat mengembangkan ide atau persepsi yang aneh (misalnya : percaya bahwa dia
bisa berkomunikasi atau melihat orang-orang yang sudah meninggal). Walaupun gejala ini
menakutkan dan menyerupai halusinasi dan khayalan, gejala tersebut seringkali bersifat
sementara dan hilang dengan sendirinya.
Perilaku agresif
Rasa ingin tahu,
(kembali menghisap jari
eksploratif
atau mengompol lagi)
Senang menempel
kepada orang tua atau Ketakutan akan cuaca
yang dianggap dekat
Hilang minat/konsentrasi
di sekolah
Menjadi pemberontak di
Memakai obat-obatan
rumah atau tidak mau Perilaku agresif
terlarang
mengerjakan tugasnya
Masalah psikosomatis
Remaja
(gatal, sulit buang air Bingung
(14-18 tahun)
besar, asma)
Halusinasi, ketakutan
Menarik diri dan
Pusing/perasaan tertekan akan membunuh diri
menyendiri
sendiri atau orang
lain
Mulai
mengidentifikasikan diri Menarik diri dan tidur
Terlalu
dengan kawan sebaya, terlalu pulas atau
terobsesi/dikuasai
ingin menyendiri dengan ketakutan di waktu
oleh satu pikiran
menghindar dari acara malam
keluarga
Protes, apatis
Perilaku yang tidak
Depresi
bertanggung jawab
Tidak bisa berkonsentrasi
G. Pengobatan
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan korban pemerkosaan, yaitu dengan
menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
1. Farmakoterapi
Mulai terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal.
Terapi dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca traumatik ini masih kontroversial.
Obat yang biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan zat pemblok beta –
seperti propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut biasanya diresepkan sebagai
obat yang sudah diberikan sejak lama dan kini dilanjutkan sesuai yang diprogramkan,
dengan kekecualian, yaitu benzodiazepin – contoh, estazolam 0,5 – 1 mg per os,
Oksanazepam10-30 mg per os, Diazepam (valium) 5 – 10 mg per os, Klonazepam 0,25 – 0,5
mg per os, atau Lorazepam 1- 2 mg per os atau IM – juga dapat digunakan dalam UGD atau
kamar praktek terhadap ansietas yang gawat dan agitasi yang timbul bersama gangguan stres
pasca traumatik tersebut (Kaplan et al, 1997).
2. Psikoterapi
Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk
membantu mengatasi gejala korban pemerkosaan dengan lebih baik melalui :
Relaxation Training
Yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan
merelaksasikan kelompok otot-otot utama.
Breathing retraining
Yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan menghindari
bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi
fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala.
Positive thinking dan self-talk
Yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif
ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor).
Assertiveness Training
Yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan
atau menyakiti orang lain.
Thought Stopping
Yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang
membuat kita stress (Anonim, 2005).
Cognitive therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu
emosi dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan
mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah
mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran
tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi
pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang
(Anonim, 2005).
Exposure therapy
Pada exposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain,
obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan
yang tidak realistik dalam kehidupan sehari-hari. Terapi ini dapat berjalan dengan dua
cara :
Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-
kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya.
Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari
karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misalnya : kembali ke rumah setelah
terjadi perampokan di rumah). Ketakutan itu akan bertambah kuat jika kita berusaha
untuk mengingat situasi tersebut dibanding berusaha untuk melupakannya. Pengulangan
situasi yang disertai penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari
bahwa situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya
(Anonim, 2005).
Play therapy
Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan trauma. Terapis
menggunakan permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung.
Hal ini dapat membantu anak-anak untuk lebih merasa nyaman dalam berproses dengan
pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005).
Support Group Therapy
Seluruh peserta dalam Support Group Therapy merupakan korban perkosaan, yang
mempunyai pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi)
dimana dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis
mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).
Terapi Bicara
Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa saling berbagi cerita
mengenai trauma mampu memperbaiki kondisi kejiwaan penderita. Dengan berbagi
pengalaman, korban bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendamnya
selama ini. Bertukar cerita dengan sesama penderita membuat mereka merasa senasib,
bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk
bangkit dari trauma yang dideritanya dan melawan kecemasan (Anonim, 2005).
H. Beban Psikologis dan Kesehatan Korban Pemerkosaan
Kondisi, dampak, dan tantangan yang dihadapi tiap korban pemerkosaan berbeda satu sama
lain. Merasa takut, cemas, panik, shock, atau bersalah adalah hal yang wajar. Luka yang
mereka rasakan dapat menetap dan berdampak hingga seumur hidup. Banyak korban yang
merasa kehilangan kepercayaan diri dan kendali atas hidup mereka sendiri. Hal ini juga dapat
membuat mereka kesulitan mengungkapkan yang terjadi pada diri mereka, meski cerita
mereka sangat dibutuhkan untuk menindak pelaku. Berbagai perasaan yang campur aduk dan
situasi rumit tersebut akan membawa dampak bagi kesehatan dan psikologis mereka.
1. Beban Psikologis
Tindak pemerkosaan pasti mendatangkan trauma bagi yang mengalaminya. Respons tiap
orang terhadap pemerkosaan yang menimpanya pasti berbeda dengan munculnya
berbagai perasaan yang menjadi satu dan bahkan dapat baru terlihat lama setelah
peristiwa tersebut terjadi. Berikut ini adalah beberapa perubahan psikologis yang
umumnya dialami korban.
a. Menyalahkan diri sendiri
Sikap menyalahkan diri sendiri adalah kondisi yang paling umum dialami korban
pemerkosaan. Sikap inilah yang paling menghambat proses penyembuhan.
Korban pemerkosaan dapat berisiko menyalahkan diri sendiri karena dua hal:
Menyalahkan diri karena perilaku. Mereka menganggap ada yang salah dalam
tindakan mereka sehingga akhirnya mengalami tindakan pemerkosaan. Mereka akan terus
merasa untuk seharusnya berperilaku berbeda sehingga tidak diperkosa.
Menyalahkan diri karena merasa ada sesuatu yang salah di dalam diri mereka sendiri
sehingga mereka pantas mendapatkan perlakuan kasar.
Sayangnya orang-orang terdekat, seperti pasangan, belum tentu dapat mendukung
pulihnya kondisi pasien. Sebagian kerabat korban mungkin merasa tidak dapat menerima
kenyataan atau justru menyalahkan sehingga korban makin berada dalam posisi yang
sulit.
Kebanyakan korban pemerkosaan juga tidak dapat dengan mudah diyakinkan bahwa ini
bukanlah salah mereka. Rasa malu ini kemudian berhubungan erat dengan gangguan lain,
seperti pola makan, kecemasan, depresi, mengonsumsi minuman keras dan obat-obatan
terlarang, serta gangguan mental lain. Kondisi ini dapat diatasi dengan terapi perilaku
kognitif dalam melakukan reka ulang proses penyusunan fakta dan logika dalam pikiran.
b. Bunuh diri
Kondisi stres pascatrauma membuat korban pemerkosaan lebih berisiko untuk
memutuskan bunuh diri. Tindakan ini terutama dipicu oleh rasa malu dan merasa tidak
berharga.
c. Kriminalisasi korban pemerkosaan
Pada budaya dan kelompok masyarakat tertentu, korban pemerkosaan dapat menjadi
korban untuk kedua kalinya karena dianggap telah berdosa dan tidak layak hidup. Mereka
diasingkan dari masyarakat, tidak diperbolehkan menikah, atau diceraikan (jika telah
menikah). Dalam kelompok masyarakat lain, kriminalisasi pun dapat terjadi ketika
korban disalahkan karena dianggap perilaku atau cara berpakaiannya yang menjadi
penyebab diperkosa.
Selain itu, korban berisiko mengalami hal-hal lain seperti depresi, merasa seakan-akan
peristiwa tersebut terulang terus-menerus, sering merasa cemas dan panik, mengalami
gangguan tidur dan sering bermimpi buruk, sering menangis, menyendiri, menghindari
pertemuan dengan orang lain, atau sebaliknya tidak mau ditinggal sendiri. Ada kalanya
mereka menarik diri dan menjadi pendiam, atau justru menjadi pemarah.
Peran Perawat
1. Pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban perkosaan :
a. Saya prihatin hal ini terjadi padamu
b. Anda aman disini
c. Saya senang anda hidup
d. Anda tidak bersalah. Anda adalah koban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun
keputusan yang anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang karena anda
hidup.
Korban yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan harus
diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga sangat ragu-ragu dengan dirinya
dan menyalahkan diri sendiri, dan penyataan-pernyataan ini membangkitkan rasa
percaya secara bertahap dan memvalidasi harga diri.
2. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa. Pastikan bahwa
pengumpulan data dilakukan dalam perawatan, cara tidak menghakimi, untuk
menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk meningkatkan rasa percaya.
3. Pastikan bahwa pasien memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-intervensi
segera pasca-krisis. Cobakan sedikit mungkin orang yang memberikan perawatan segera
atau mengumpulkan bukti segera. Pasien pasca-trauma sangat rentan. Penambahan orang
dalam lingkungannya meningkatkan perasaan rentan ini dan bertindak meningkatkan
ansietas.
4. Dorong pasien untuk menghitung jumlah serangan. Dengarkan, tapi tidak menyelidiki.
Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan kesempatan untuk katarsis bahwa
pasien perlu memulai pemulihan. Jumlah yang rinci mungkin dibutuhkan untuk
tindak lanjut secara legal, dan seorang klinisi sebagai pembela pasien, dapat menolong
untuk mengurangi trauma dari pengumpulan bukti.
5. Diskusikan dengan pasien siapa yang dapat dihubungi untuk memberikan dukungan atau
bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan. Karena ansietas berat dan
rasa takut, pasien mungkin membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode segera
pasca-krisis. Berikan informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya (mis.,
psikoterapis, klinik kesehatan jiwa, kelompok pembela masyarakat.
6. Discharge Planning
Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan
penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain:
a. Anak tidak mengalami ansietas panik lagi.
b. Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer.
c. Anak menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya.
d. Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons berduka.
e. Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada.
f. Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera.
g. Anak mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer.
h. Anak mampu menyatakan secara verbal pilihan –pilihan yang tersedia untuk
dirinya yang dari hal ini ia menerima bantuan.
i. Anak mendemosntrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui
mendiskusikan perlakuan penganiayaan melalui penggunaan terapi bermain.
j. Anak mendemonstrasikan suatu penurunan dalam perilaku agresif.
BAB III
PEMBAHASAN
KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
D. Pelyanan Pendidikan
Sebenarnya anak jalanan tidak berbeda dengan anak yang lainnya, mereka juga
mempunyai potensi dan bakat. Pada masa anak-anak seperti itu otak yang memuat 100-200
milyar sel otak siap dikembangkan serta diaktualisasikan untuk mencapai tingkat
perkembangan potensi tertinggi. Pada perkembangan otak manusia mencapai kapasitas 50 %
pada masa anak usia dini. Kita telah benar-benar melupakan hak anak-anak untuk bermain,
bersekolah, dan hidup sebagaimana lazimnya anak-anak lainnya. Mereka dipaksa orang tua
untuk merasakan getirnya kehidupan. Mereka tumbuh dan berkembang dengan latar
kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih
sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif .
Mengkaitkan kandungan hak-hak anak sebagaimana yang tercantum dalam KHA dengan
realitas yang ada, maka akan terlihat suatu kesenjangan yang cukup tinggi. Penghormatan
negara atas hak-hak anak jalanan dinilai masih sangat minim, bahkan pada kebijakan-
kebijakan tertentu seperti razia-razia yang sarat dengan nuansa kekerasan, negara kerapkali
dinilai melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak (jalanan). Kebijakan-kebijakan
pemerintah dalam rangka memenuhi hak-hak anak jalanan harus senantiasa ditingkatkan.
Hal ini mengingat anak sebagai aset dan generasi penerus bangsa. Salahsatunya adalah
dengan meningkatkan pelayanan pendidikan bagi anak-anak jalanan. Pendidikan yang
dimaksudkan disini adalah pendidikan formal sebagaimana yang dicanangkan pemerintah
dalam Gerakan Wajib Belajar 9 tahun dan tentu saja dengan biaya pendidikan gratis atau
murah bagi anak-anak jalanan yang memiliki keluarga miskin.
Pendidikan Pada anak jalanan mungkin ini tidak terlihat sebagai suatu yang penting. Para
anak jalanan lebih memilih untuk mencari uang dibandingkan dengan bersekolah. Karena
dorongan kebutuhan hidup mereka yang mewajibkan mereka untuk mencari uang untuk
dapa bertahan hidup. Maka dari itulah pendidikan yang didapat oleh anak jalanan sangatlah
rendah dan dapat dikatakan anak jalanan ini tidak mendapatkan pendidikan secara baik
sesuai konvensi hak anak-anak yang dicetuskan oleh PBB (Convention on the Rights of the
Child), sebagaimana telah diratifikasi dengan Keppres nomor 36 tahun 1990, menyatakan
bahwa karena belum matangnya fisik dan mental anak-anak, maka mereka memerlukan
perhatian dan perlindungan. Begitu pula kiranya anak jalanan yang memerlukan perhatian
dan perlindungan terhadap hak-haknya sebagai anak bangsa untuk memperoleh pendidikan
dengan baik sesuai dengan pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa setiap
warga negara berhak mendapat pengajaran.
BAB VI
PEMBAHASAN
NARAPIDANA
A. DEFINISI
Narapidana adalah orang-orang sedang menjalani saksi kurungan atau saksi lainnya,
menurut perundang-undangan. Pengertian narapidana menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak
pidana) atau terhukum. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor : 12 Tahun 1995
tentang Permasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lembaga Permasyarakatan. Karena terkucilkan dari masyarakat umum,
berbagai masalah kejiwaan narapidana kemungkinan akan muncul, diantaranya :
- Harga diri rendah dan Konsep diri yang negative
- Risiko bunuh diri Dalam makalah ini kelompok penulis berfokus membahas masalah
harga diri rendah yang terjadi terhadap narapidana.
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi yang negative terhadap diri sendiri atau kemampuan diri.
Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai
keinginan sesuai ideal diri ( Keliat, 1998). Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan
perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negative, dapat secara langsung atau
tidak langsung di ekspresikan. Seseorang yang dikatakan mempunyai konsep diri negatif
jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat
apa – apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan
daya tarik terhadap hidup. Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap
pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Akan ada dua pihak
yang bisa disalahkannya, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau
menyalahkan orang lain (Rini, J.F, 2002).
B. KONSEP DIRI
Konsep diri terdiri atas komponen-komponen berikut ini :
a. Citra tubuh (Body Image) Citra tubuh (Body Image) adalah kumpulan dari sikap
individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya. Termasuk persepsi masa
lalu dan sekarang, serta perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan, dan potensi. Yang
secara berkesinambungan dimodifikasi dengan persepsi dan pengalaman yang baru
(Stuart & Sundeen, 1998).
b. Ideal Diri (Self Ideal) Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus
berperilaku sesuai dengan standar, aspirasi, tujuan atau nilai personal tertentu (Stuart &
Sundeen, 1998). Sering juga disebut bahwa ideal diri sama dengan cita – cita, keinginan,
harapan tentang diri sendiri.
c. Identitas Diri (Self Identifity) Identitas adalah pengorganisasian prinsip dari
kepribadian yang bertanggung jawab terhadap kesatuan, kesinambungan, konsistensi, dan
keunikkan individu (Stuart & Sundeen, 1998). Pembentukan identitas dimulai pada masa
bayi dan terus berlangsung sepanjang kehidupan tapi merupakan tugas utama pada masa
remaja.
d. Peran Diri (Self Role) Serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan
sosial berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok sosial. Peran yang
diterapkan adalah peran dimana seseorang tidak mempunyai pilihan. Peran yang diterima
adalah peran yang terpilih atau dipilih oleh individu (Stuart & Sundeen, 1998).
e. Harga Diri (Self Esteem) Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal
yang diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal
diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri tanpa
syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, tetap merasa sebagai seorang yang
penting dan berharga (Stuart & Sundeen, 1998.
C. Penyebab Gejala Harga diri rendah
Penyebab Gejala Harga diri rendah sering disebabkan karena adanya koping
individu yang tidak efektif akibat adanya kurang umpan balik positif, kurangnya system
pendukung kemunduran perkembangan ego, pengulangan umpan balik yang negatif,
difungsi system keluarga serta terfiksasi pada tahap perkembangan awal (Townsend,
M.C. 1998 : 366).Menurut Carpenito, L.J (1998 : 82) koping individu tidak efektif adalah
keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko mengalami suatu
ketidakmampuan dalam mengalami stessor internal atau lingkungan dengan adekuat
karena ketidakkuatan sumber-sumber (fisik, psikologi, perilaku atau kognitif). Sedangkan
menurut Townsend, M.C (1998 : 312) koping individu tidak efektif merupakan kelainan
perilaku adaptif dan kemampuan memecahkan masalah seseorang dalam memenuhi
tuntutan kehidupan dan peran. Adapun Penyebab Gangguan Konsep Diri Harga Diri
Rendah, yaitu :
a. Faktor Presdisposisi Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah
penolakan orangtua, penolakan orangtua yang tidak realistis, kegagalan yang berulang
kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal
diri yang tidak realistis.
b. Faktor Presipitasi Faktor Presipitasi Terjadinya harga diri rendah biasanya
adalah kehillangan bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau
produktifitas yang menurun. Tanda dan Gejala Harga Diri Rendah :
- Mengejek dan mengkritik diri
- Merasa bersalah dan khawatir, menghukum dan menolak diri sendiri
- Mengalami gejala fisik, misal : tekanan darah tinggi, Menunda keputusan, Sulit
bergaul, Menghindari kesenangan yang dapat meberi rasa puas, Menarik diri dari realitas,
cemas, panic, cemburu, curiga, halusinasi, Merusak diri : harga diri rendah menyokong
pasien untuk mengakhiri hidupnya, Merusak/melukai orang lain, Perasaan tidak mampu,
Pandangan hidup yang pesimistis, Tidak menerima pujian, Penurunan produktivitas,
Penolakan terhadap kemampuan diri, Kurang memerhatikan perawatan diri, Berpakaian
tidak rapih, Berkurang selera makan, Tidak berani menatap lawan bicara, Lebih banyak
menunduk, Bicara lambat dengan nada suara lemah.
BAB III
PENUTUP
a. KESIMPULAN
Ketika seseorang mengalami kekerasan atau pelecehan secara seksual baik itu secara fisik
maupun psikologis, maka kejadian tersebut dapat menimbulkan suatu trauma yang sangat
mendalam dalam diri seseorang tersebut terutama pada anak-anak dan remaja. Dan kejadian
traumatis tersebut dapat mengakibatkan gangguan secara mental, yaitu Post Traumatic
Stress Disorder (PTSD). Tingkatan gangguan stress pasca trauma berbeda-beda bergantung
pada seberapa parah kejadian tersebut mempengaruhi kondisi psikologis dari korban.
Untuk menyembuhkan gangguan stress pasca trauma pada korban kekerasan atau
pelecehan seksual diperlukan bantuan baik secara medis maupun psikologis, agar korban
tidak merasa tertekan lagi dan bisa hidup secara normal kembali seperti sebelum kejadian
trauma. Dan pendampingan itu sendiri juga harus dengan metode-metode yang benar
sehingga dalam menjalani penyembuhan atau terapi korban tidak mengalami tekanan-
tekanan baru yang diakibatkan dari proses pendampingan itu sendiri.
Perlindungan wanita dalam konteks KDRT ternyata sangat penting untuk diperhatikan,
mengingat kasus seperti ini sangat banyak di Indonesia. KDRT merupakan suatu tindak
pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) jika dilihat sudut pandangnya dari pancasila
sudah sangat jelas merupakan tindakan yang tidak sesuai terutama dengan sila ke-2, yaitu
“kemanusiaan yang adil dan beradab”. Beberapa uraian dari sila ini yang sangat
bertentangan dengan tindak kekerasan terutama KDRT adalah saling mencintai sesama
manusia, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, dan tidak semena-mena terhadap orang lain.
Trafficking adalah perdagangan manusia, lebih khususnya perdangan perempuan dan
anak-anak yang dilakukan oleh pelaku perdagangan manusia ‘trafficker’ dengan cara
mengendalikan korban dalam bentuk paksaan, penggunaan kekerasan, penculikan, tipu daya,
penipuan ataupun penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan.
DAFTAR PUSTAKA
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru utama.
Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender,
Yogyakarta: CIDESINDO.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional ,
Bandung: Alumni.
Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Asoek Sosiologi Hukum, Bandung, Alumni.
http://www.slideshare.net/fitriapastuti9/savedfiles?s_title=pendidikan-dan-anak-
jalanan&user_login=rampard08
http://www.smeru.or.id/report/other/cpsp/Ppt%20Day%202/Theme3%20Kalasan1/Suharma_ppt
_bahasa.pdf
Capernito, Lyda Juall. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed. 13. Jakarta: EGC
Farhana. 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Riyadi, Sujono dan Teguh Purwanto. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta: Graha Ilmu
Syafaat, Rachmad. 2002. Dagang Manusia-Kajian Trafficking Terhadap Perempuan dan Anak
di Jawa Timur. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama