Dermatitis Paederus
Dermatitis Paederus
Dermatitis Paederus
PENDAHULUAN
1
BAB 2
LAPORAN KASUS
2
− Status lokalis :
o Regio : Colli sinistra dan thorax sinistra
o Effloresensi : Terdapat vesikel bergerombol dan pustula di atas
makula eritematosa
o
o eritematosa
Gambar 2.1. Lesi regio thorax sinistra Gambar 2.2. Lesi regio colli sinistra
3
- Vital sign
− Edukasi
- Menjelaskan kepada pasien untuk lebih memerhatikan dimana pasien
tidur
- Menjelaskan kepada pasien tetang terapi yang akan diberikan.
4
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai
respons terhadap pengaruh faktor eksogen atau faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel,
skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal (Djuanda A dkk, 2007).
Dermatitis Kontak Iritan adalah peradangan kulit yang disebabkan
terpaparnya kulit dengan bahan dari luar yang bersifat iritan yang
menimbulkan kelainan klinis efloresensi polimorfik berupa eritema, vesikula,
edema, papul, keluhan gatal, perih serta panas. Tanda polimorfik tidak selalu
timbul bersamaan, bahkan hanya beberapa saja.
Dermatitis Venenata adalah dermatitis kontak iritan yang disebabkan oleh
tepaparnya bahan iritan dari beberapa tanaman seperti rumput, bunga, pohon
mahoni, kopi, mangga, serta sayuran seperti tomat, wortel, dan bawang.
Bahan aktif serangga juga dapat menjadi penyebab (Abdullah, 2009).
3.2 Epidemiologi
DKI adalah penyakit kulit akibat kerja yang paling sering ditemukan,
diperkirakan sekitar 70-80% dari semua penyakit kulit akibat kerja. DKI
dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras, dan jenis
kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang
berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja). Insiden dari penyakit kulit
akibat kerja di beberapa negara adalah sama, yaitu 50-70 kasus per 100.000
pekerja pertahun. Pekerjaan dengan resiko besar untuk terpapar bahan iritan
yaitu pemborong, pekerja industri mebel, pekerja rumah sakit (perawat,
cleaning services, tukang masak), penata rambut, pekerja industri kimia,
pekerja logam, penanam bunga, pekerja di gedung. Adapun pada DKI akibat
serangga khususnya yang disebabkan kumbang Paederus kejadiannya
meningkat pada musim penghujan, karena cuaca yang lembab merupakan
lingkungan yang sesuai bagi organism penyebab dermatitis venenata (misal :
Genus Paederus). Paederus dermatitis terjadi diseluruh bagian dunia,
5
khususnya daerah beriklim tropis seperti Indonesia, dan pernah dilaporkan
kejadian yang merebak di Australia, Malaysia, Srilanka, Nigeria, Kenya, Iran,
Urganda, Okinawa,Sierra, Leone, Argentina, Brazil, Venezuela, Ecuador,
India (Djuanda A dkk, 2007; Gurcharan, 2007)
3.3 Etiologi
Penyebab munculnya dermatitis kontak iritan ini adalah bahan yang
bersifat iritan, bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan
serbuk kayu. Bahan aktif dari serangga juga dapat menjadi penyebab
(Djuanda A dkk, 2007;Abdullah, 2009).
Spesies serangga yang paling sering menyebabkan dermatitis venenata
adalah dari genus Paederus. Spesies dari genus ini menyebabkan paederus
dermatitis. Paederus dermatitis sendiri di Indonesia paling disebabkan oleh
Paederus peregrines. Paederus dewasa panjang tumbuhnya 7-10 mm dan
lebar 0,5 mm seukuran dengan nyamuk. Paederus berkepala hitam dengan
abdomen di caudalnya dan juga elytral (struktur yang membungkus sayap dan
sepertiga atas segmen abdomen). Meskipun paederus dapat terbang, namun
paederus lebih sering berlari dan meloncat. Paederus memiliki karakteristik
mengangkat bagian abdomennya ketika mereka lari ataupun merasa
terganggu. Spesies yang biasa menyebabkan paederus dermatitis adalah
Paederus melampus di India, Paederus brasiliensis di Amerika Latin,
Paederus colombius di Venezuela, Paederus fusipes di Taiwan dan tentunya
Paederus peregrinus di Indonesia. Kumbang ini tidak menggigit atau
menyengat, namun tepukan keras pada kumbang ini diatas kulit akan memicu
pengeluaran bahan aktifnya yang berupa paederin (Gurcharan, 2007;
Gelmetic C,2000)
Paederus merupakan makhluk nocturnal dan tertarik dengan cahaya putih
dan terang. Hemolimfe dari paederus mengandung suatu bahan aktif yakni
paedrin yang kemudian menyebabkan keluhan gatal, rasa panas terbakar,
kemerahan pada kulit yang timbul dalam 12-48 jam setelah kulit terpapar.
Paedrin yang berumus kimia C25H45O9N adalah sebuah struktur amida
dengan dua cincin tetrahydropyran (Gurcharan, 2007)
6
Gambar 3.3 Paederus sp
3.4 Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan
iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Ada 4 mekanisme yang berhubungan
dengan DKI (Wolff K, 2008).
1. Hilangnya membran lemak (lipid mebrane)
2. Kerusakan dari sel lemak
3. Denaturasi keratin epidermal
4. Efek sitotoksik secara langsung
Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam
arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), platelet activing factor (PAF), dan
inositida (IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT).
PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas
vaskular sehingga mempermudah tansudasi komplemen dan kinin. PG dan
LT juga bertindak sebagai kemoaktraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil,
serta mengaktifasi sel mast melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF,
sehingga memperkuat perubahan vaskular.
DAG dan second messengers lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis
protein, misalnya inteleukin-1 (IL-1) dan granulocyte-macrophage colony
stimulating factor (GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan
IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2, yang menimbulkan stimulasi autokrin
dan poliferasi sel tersebut.
Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adesi
intrasel-1 (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan
7
TNF alpha, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T,
makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan
pelepasan sitokin.
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di
tempat terjadinya kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila
iritan kuat. Bahan iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah
berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena
deplidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya
sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan (Djuanda A
dkk, 2007).
3.5 Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat iritan.
Iritan kuat memberi gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis
meskipun faktor individu dan lingkungan sangat berpengaruh.
Kelainan kulit bergantung pada stadium penyakit, pada stadium akut
kelainan kulit berupa eritema, edem, vesikel, atau bula, erosi, dan eksudasi,
sehingga tampak basah. Stadium sub akut, eritema berkurang, eksudat
mengering menjadi krusta, sedang pada stadium kronis tampak lesi kronis,
skuama, hiperpigmentasi, likenifikasi, papul, mungkin juga terdapat erosi
atau ekskoriasi karena garukan. Stadium tersebut tidak selalu berurutan, bisa
saja sejak awal suatu dermatitis memberi gambaran klinis berupa kelainan
kulit stasium kronis demikian pula efloresensinya tidak selalu harus
polimorfik. Mungkin hanya oligomorfik (Abdullah, 2009).
Pada paederus dermatitis, lesi biasanya terjadi pada bagian tubuh yang
tidak tertutupi, misalnya tangan, kaki juga leher dan wajah, khususnya area
preorbital, yang merupakan bagian tubuh paling sering menjadi predileksi
paederus dermatitis. Tidak berbeda jauh dengan dermatitis kontak iritan
lainnya, lesi yang biasa ditimbulkan oleh bahan aktif paederin berupa patch
eritem linier yang kemudian berlanjut menjadi bula, terkadang bula dapat
menjadi pustular. Pada pasien yang datang ke tenaga megis, bula dapat intak
ataupun sudah terjadi erosi dengan dasar eritema. Lesi mulai muncul setelah
8
12-48 jam pasca paparan paederin dan membaik dalam waktu seminggu
(Gurcharan, 2007; Syed, ...)
3.6 Diagnosis
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan
gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui munculnya lebih cepat
sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi
penyebabnya. Sebaliknya, DKI kronis timbulnya lambat serta mempunyai
variasi gambaran klinis yang luas, sehingga adakalannya sulit dibedakan
dengan dermatitis kontak alergik. Untuk ini diperlukan uji tempel dengan
bahan yang dicurigai untuk menyingkirkan diagnosis bandingnya (Abdullah,
2009; Djuanda A dkk, 2007).
Kriteria Diagnostik DKI
Mayor Minor
Subyektif
Onset dimulai dari beberapa Onset dimulai 2 minggu setelah
menit hingga beberapa jam paparan
kemudian dari paparan Banyak orang mempunyai
Pada awalnya terdapat rasa gejala sama pada lingkungan
nyeri, rasa terbakar, perasaan tersebut
tidak enak yang berlebih, gatal.
Obyektif
Didominasi oleh makula Pada perubahan morfologi
eritematosa, hiperkeratosis, menunjukkan tingkat
fissure konsentrasi menghasilkan
Terdapat gambaran epidermis sedikit perbedaan sedangkan
kering, seperti terbakar waktu kontak menghasilkan
Proses penyembuhan dimulai perbedaan yang banyak pada
dengan menghindari iritan tingkat kerusakan kulit
Patch tes negatif
Tabel 1. Kriteria Diagnostik DKI
9
3.7 Diagnosis banding
DKI sering didiagnosis dengan berbagai jenis dermatitis termasuk DKA.
Untuk menegakkan diagnosis perlu anamnesa detail, termasuk hobi, riwayat
pengobatan dan beberapa pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan.
Perbedaan DKI DKA
Keluhan Gatal, nyeri, perih menyengat Nyeri, gatal
Lesi Batas tegas, terbatas pada Lesi dapat melebihi daerah
daerah yang terpapar bahan yang terpapar bahan alergen,
iritan biasanya berupa vesikel yang
kecil
Bahan Bahan iritan, tergantung pada Bahan alergen, tidak
konsentrasi dan letak kulit tergantung konsentrasi
yang terpapar, semua orang bahan, hanya pada orang
bisa kena yang mengalami
hipersensitifitas
Reaksi Akibat kerusakan jaringan Proses reaksi hipersensitifitas
yang tipe 4
muncul
Tabel 2. Perbedaan DKI dan DKA
3.8 Penatalaksanaan
Penanganan dermatitis kontak yang tersering adalah menghindari bahan yang
menjadi penyebab.
Pengobatan medikamentosa terdiri dari :
A. Pengobatan sistemik
1. Kortikosteroid, hanya untuk kasus yang berat dan digunakan dalam
waktu singkat.
− Prednisone
Dewasa : 5-10 mg/dosis sehari 2-3 kali p.o
Anak : 1 mg/kgBB/hari
− Dexamethasone
Dewasa : 0,5-1 mg/dosis, sehari 2-3 kali p.o
10
Anak : 0,1 mg/KgBB/hari
− Triamcinolone
Dewasa : 4-8 mg/dosis, sehari 2-3 kali p.o
Anak : 1 mg/kgBB/hari
2. Antihistamin
− Chlorpherinamine maleat
Dewasa : 3-4 mg/dosis, sehari 2-3 kali p.o
Anak : 0,09 mg/KgBB/dosis, sehari 3 kali
− Diphenhydramine HCl
Dewasa : 10-20 mg/dosis i.m sehari 1-2 kali
Anak : 0,5 mg/kgBB/dosis, sehari 1-2 kali
− Loratadine
Dewasa : 1 tablet sehari 1 kali
B. Pengobatan topikal
1. Bentuk akutdan eksudatif diberi kompres larutan garam faali (NaCl
0,9%)
2. Bentuk kronis dan kering diberi krim hydrocortisone 1 % atau
diflucortolone valerat 0,1% atau krim betamethasone valerat 0,005-
0,1% (Pohan SS dkk, ...)
3.9 Prognosis
Prognosis dari DKI akut baik jika penyebab iritasi dapat dikenali dan
hilangkan. Prognosis untuk DKI kumulatif atau kronis tidak pasti dan bahkan
lebih buruk dari Dermatitis Kontak Alergi. Latar belakang pasien atopi,
kurangnya pengetahuan mengenai penyakit, dan atau diagnosis dan
penatalaksanaan adalah faktor-faktor yang membawa ke perburukan dari
pronosis (Wolff K dkk, 2008)
11
BAB 4
PEMBAHASAN
Pada pemeriksaan fisik, dijumpai keadaan umum dan status gizi baik. Pada
pemeriksaan status dermatologis vesikel bergerombol, pustula di atas makula
hiperpigmentasi. Lokalisasinya regio colli sinistra dan regio thorax sinistra. Hal
ini sesuai kepustakaan yang menjelaskan bahwa dermatitis paederus lesi biasanya
terjadi pada bagian tubuh yang tidak tertutupi, misalnya tangan, kaki juga leher
dan wajah, khususnya area preorbital, yang merupakan bagian tubuh paling sering
menjadi predileksi paederus dermatitis. Tidak berbeda jauh dengan dermatitis
kontak iritan lainnya, lesi yang biasa ditimbulkan oleh bahan aktif paederin
berupa patch eritem linier yang kemudian berlanjut menjadi bula, terkadang bula
dapat menjadi pustular.
12
a. Desloratadine 5 mg (Aerius) 1x1 tab, sebagai antihistamin generasi
kedua, merupakan antihistamin selektif, antagonis reseptor H1 periferal
dengan efek sedasi (kantuk) yang rendah pada dosis aktif
farmakologi/dosis anjuran. Diberikan untuk penekan pruritus yang
bekerja sebagai inhibisi reseptor selular histamin yang bertanggung
jawab atas dilatasi pembuluh darah dan kontraksi otot polos.
b. Fusidic acid 2% (Fuson) dioleskan 3x sehari sebagai antibotik topikal
dari Fusidium Coccineum yang bekerja menghambat sintesa protein
pada bakteri.
c. Momethasone furoate 0,1% (Elocon) dioleskan 1x sehari sebagai
kortikosteroid topikal potensi sedang. Digunakan sebagai penekanan
pruritus yang terjadi di daerah lesi.
Prognosis pada pasien ini baik. Hal ini seusai dengan kepustakaan yang
menyatakan prognosis DKI akut baik jika penyebab iritasi dapat dikenali dan
hilangkan.
13
BAB 5
KESIMPULAN
14
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., editor. Djuanda S., Sularsito SA., penulis.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Kelima, Jakarta Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2007, hal 129-138.
15