LP CKD Etc HT HD
LP CKD Etc HT HD
LP CKD Etc HT HD
Oleh :
19.30.034
2019
LEMBAR PENGESAHAN
NIM : 19.30.034
Sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan tugas praktik Profesi Ners
Departemen Keperawatan Medikal Bedah, yang dilaksanakan pada tanggal 16
September 2019 – 21 September 2019, yang telah disetujui dan disahkan pada :
Hari : Sabtu
Mengetahui,
(.............................................) (.............................................)
BAB 1
LAPORAN PENDAHULUAN
CKD atau gagal ginjal kronis (GGK) didefinisikan sebagai kondisi dimana
ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan
samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan
metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia
atau azotemia (Smeltzer, 2009).
2.2 Etiologi
Disebabkan oleh kompleks imun dalam sirkulasi yang ada dalam membran
basalis glomerulus dan menimbulkan kerusakan. Penyakit peradangan
kronik dimana sistem imun dalam tubuh menyerang jaringan sehat,
sehingga menimbulkan gejala diberbagai organ.
Merupakan penyebab gagal ginjal dimana benda padat yang dibentuk oleh
presipitasi berbagai zat terlarut dalam urin pada saluran kemih.
Menurut Brunner & Suddart (2013) setiap sistem tubuh pada gagal ginjal
kronis dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan menunjukkan
sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala bergantung pada
bagian dan tingkat kerusakan ginjal, usia pasien, dan kondisi yang mendasari.
Tanda dan gejala pasien gagal ginjal kronis adalah sebagai berikut :
a. Manifestasi kardiovaskuler
Mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi
sistem renin-angiotensin-aldosteron), pitting edema (kaki, tangan,
sakrum), edema periorbital, Friction rub perikardial, pembesaran vena
leher.
b. Manifestasi dermatologi
Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik, pruritus, ekimosis,
kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
c. Manifestasi Pulmoner
Krekels, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernapasan Kussmaul
d. Manifestasi Gastrointestinal
Napas berbau amonia, ulserasi dan pendarahan pada mulut, anoreksia,
mual,muntah, konstipasi dan diare, pendarahan saluran gastrointestinal
e. Manifestasi Neurologi
Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan
tungkai, panas pada telapak kaki, perubahan perilaku
f. Manifestasi Muskuloskeletal
Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop
g. Manifestasi Reproduktif
Amenore dan atrofi testikuler
2.4 Klasifikasi
Sumber : Sudoyo, 2010 Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
2.5 Patofisiologi
Tahap ini penurunan fungsi ginjal, tetapi tidak terjadi penumpukan sisa-
sisa metabolik dan ginjal yang sehat akan melakukan kompensasi terhadap
gangguan yang sakit tersebut.
2. Tahap II : Renal Insufficiency (insufisiensi ginjal)
Pada tahap ini dikategorikan ringan apabila 40-80% fungsi normal, sedang
apabila 15-40% fungsi normal dan berat bila fungsi ginjal normal hanya 2-
20%. Pada insufisiensi ginjal sisa-sisa metabolik mulai berakumulasi
dalam darah karena jaringan ginjal yang lebih sehat tidak dapat
berkompensasi secara terus-menerus terhadap kehilangan fungsi ginjal
karena adanya penyakit tersebut. Tingkat BUN, kreatinin, asam urat, dan
fosfor mengalami peningkatan tergantung pada tingkat penurunan fungsi
ginjal.
3. Tahap III : End Stage Renal Desease (penyakit ginjal tahap lanjut)
a. Hematologi
d. Elektrolit
e. Koagulasi Studi
PIT, PTTK
f. BGA
g. Urine
h. Urine rutin
j. Pemeriksaan Kardiovaskular
k. ECG
l. ECO
m. Radiodiagnostik
n. USG abdominal
o. CT scan abdominal
p. BNO/IVP, FPA
q. Renogram
2.8 Penatalaksanaan
a) Konservatif
b) Dialysis
1. Peritoneal dialysis
2. Hemodialisis
Pengkajian Keperawatan
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada
Carpenito (2006) sebagai berikut :
1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada
juga yang mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh
berbagai hal seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan
sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan
juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena
kebiasaan kerja dengan duduk/berdiri yang terlalu lama dan lingkungan
yang tidak menyediakan cukup air minum/mengandung banyak senyawa/
zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM,
glomerulo nefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi
saluran kemih, dan traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu
kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam
kurun waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan
nutrisi dan air naik atau turun.
4. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidakseimbangan antara output dan input.
Tandanya adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi
peningkatan suhu dan tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan
darah dan suhu.
5. Pengkajian fisik
a. Penampilan/keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran
pasien dari compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi
meningkat dan reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan
nutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebihan cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning/kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran
telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum,
bibir kering dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat
otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara
tambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung,
terdapat suara tambahan pada jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut
buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi,
terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan
tulang, dan Capillary Refill lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan
mengkilat/uremia, dan terjadi perikarditis.
HIPERTENSI
A. Definisi Hipertensi
World Health Organization (WHO) dan The International Society of
Hypertension (ISH) menetapkan bahwa hipertensi merupakan kondisi ketika
tekanan darah (TD) sistolik lebih besar dari 140 mmHg dan tekanan darah
diastolic lebih besar dari 90 mmHg. Nilai ini merupakan hasil rerata minimal
dua kali pengukuran setelah melakukan dua kali atau lebih kontak dengan
petugas kesehatan hipertensi usia dewasa telah diklasifikasikan dalam Sixtth
Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation,
and Treatment of High Blood Preassure (INC VI) pada tahun 1997. Hal ini
dapat dilihat pada tabel:
Kategori TD Sistolik (mmHg) TD Diastolik (mmHg)
Optimal <120
Normal <130
Tinggi-normal 130-139
Hipertensi
Derajat 1 140-159
Derajat 2 160-179
Derajat 3 >180
(Yasmara dkk, 2016).
B. Etiologi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya, Hipertensi dapat digolongkan menjadi 2 yaitu :
1. Hipertensi esensial atau primer
Penyebab pasti dari hipertensi esensial sampai saat ini masih belum dapat
diketahui. Namun, berbagai faktor diduga turut berperan sebagai penyebab
hipertensi primer, seperti bertambahnya umur, stres psikologis, dan
hereditas (keturunan). Kurang lebih 90% penderita hipertensi tergolong
Hipertensi primer sedangkan 10% nya tergolong hipertensi sekunder.
2. Hipertensi sekunder
Jumlah Hipertensi sekunder hanya sekitar 5-10% dari kejadian hiertensi
secara keseluruhan. Hipertensi jenis ini merupakan dampak dari penyakit
tertentu. Berbagai kondisi yang bisa menyebabkan hipertensi antara lain
penyempitan arteri renalis, penyakit parenkim ginjal, hiperaldosteron
maupun kehamilan. Selain itu obat-obatan tertentu bisa juga pemicu jenis
hipertensi sekunder.
Hipertensi primer maupun sekunder memiliki potensi untuk berkembang
menjadi hipertensi berat atau dengan pula sebagai krisis hipertensi.
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya
perubahan-perubahan pada:
a) Elastisitas dinding aorta menurun
b) Katub jantung menebal dan menjadi kaku
c) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah
berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa darah menurun
menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
d) Kehilangan elastisitas pembuluh darah
Hal ini terjadi karena kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk
oksigenasi
e) Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
C. Pathway
E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Non Farmakologis.
1. Diet
Pembatasan atau pengurangan konsumsi garam. Penurunan BB dapat
menurunkan
tekanan darah dibarengi dengan penurunan aktivitas rennin dalam plasma
dan
kadar adosteron dalam plasma.
2. Aktivitas.
Klien disarankan untuk berpartisipasi pada kegiatan dan disesuaikan
dengan
batasan medis dan sesuai dengan kemampuan seperti berjalan, jogging,
bersepeda atau berenang.
Penatalaksanaan Farmakologis
Secara garis besar terdapat bebrapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pemberian atau pemilihan obat anti hipertensi yaitu:
1. Mempunyai efektivitas yang tinggi.
2. Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal
3. Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
4. Tidak menimbulakn intoleransi
5. Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
6. Memungkinkan penggunaan jangka panjang.
Golongan obat - obatan yang diberikan pada klien dengan hipertensi
seperti golongan diuretic, golongan betabloker, golongan antagonis
kalsium,golongan penghambat konversi rennin angitensin.
F. Komplikasi
Organ organ tubuh sering terserang akibat hipertensi anatara lain mata berupa
perdarahan retina bahkan gangguan penglihatan sampai kebutaan,gagal
jantung, gagal ginjal, pecahnya pembuluh darah otak.
2. Penyakit vaskuler
Pada keadaan ini terjadi iskemi yang kemudian merangsang sistem
rennin angiotensin aldosteron.
3. Gagal ginjal kronik
Hipertensi yang terjadi karena adanya retensi natrium, peningkatan
system.
4. Renin Angiotensinogen Aldosteron
Akibat iskemi relatif karena kerusakan regional, aktifitas saraf
simpatik yang meningkat akibat kerusakan ginjal, hiperparatiroidit
sekunder, dan pemberian eritropoetin.
5. Penyakit glumerolus kronik Sistem
Renin-Angiotensinogen-Aldoteron (RAA) merupakan satu system
hormonal enzimatik yang bersifat multikompleks dan berperan dalm
naiknya tekanan darah, pangaturan keseimbangan cairan tubuh dan
elektrolit.
Dengan terjadinya kegagalan ginjal berpengaruh terhadap nefron-
nefron. Sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh
sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang
utuh akan mengalami hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang
meningkat dan disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan
GFR / daya saring.
Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾
dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih
besar daripada yang bisa direabsorpsi sehingga berakibat diuresis
osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang
rusak bertambah banyak maka oliguri timbul disertai retensi produk sisa.
Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal
telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian,
nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah dari
itu (Barbara C Long, 1996).
Dengan menurunnya fungsi renal, maka produk akhir metabolisme
protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam
darah, sehingga Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh.
Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin
berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner &
Suddarth, 2001).
HEMODIALISA
1. DEFINISI
Hemodialisa berasal dari kata hemo dan dialisa. Hemo adalah darah
sedangkan dialisa adalah pemisahan atau filtrasi. Pada prinsipnya hemodialisa
menempatkan darah berdampingan dengan cairan dialisat atau pencuci yang
dipisahkan oleh suatu membran atau selaput semi permeabel. Membran ini
dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut
dialysis yaitu proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semi
permeable.
Menurut Price dan Wilson, dialisa merupakan suatu proses solute dan air
mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari
kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa
peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa.
Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari
plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau
tekanan tertentu.(15)
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox, hemodialisa didefinisikan
sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran
semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan
untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan
melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang
besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran.
Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan
produksi dializer yang dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi
metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di
Amerika Serikat.(17)
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus
yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan
untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan
beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan
masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan
vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan.
2. INDIKASI
Hemodialisa sebagai terapi penyakit ginjal end-stage. Terapi ini juga
mempertimbangkan segi pendidikan, pekerjaan, dan kondisi kesehatan
pasien. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan terapi berdasarkan
kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat
jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup
lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan
gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar
kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria sedangkan pada wanita diatas 4
mg/100 ml. Selain itu, nilai kadar glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari
4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat
tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.(1)
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Stadium Fungsi Ginjal Laju Filtrasi Glomerulus
(mL/menit/1,73m2)
Risiko meningkat Normal > 90, terdapat faktor risiko
Stadium 1 Normal atau meningkat > 90, terdapat kerusakan ginjal,
proteinuria menetap, kelainan
sedimen urin, kelainan kimia
darah dan urin, kelainan pada
pemeriksaan radiologi.
Stadium 2 Penurunan ringan 60-89
Stadium 3 Penurununan sedang 30-59
Stadium 4 Penurunan berat 15-29
Stadium 5 Gagal Ginjal <15
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
(2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Glomerolus (LFG)
kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala
uremia atau malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa
gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan
adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem
paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik
diabetik.(4,5,14)
Thiser dan Wilcox menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya dimulai
ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding
dengan kadar kreatinin serum 8–10 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala-gejala
uremia dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan
dilakukan hemodialisa. (17)
Perbandingan Nilai Kreatinin, Laju Filtrasi Glomerulus dan
Clearance Creatinin Rate untuk menilai Fungsi Ginjal
Nilai GFR Kreatinin Clearance Rate
(mg/dl) (ml/menit/1,73 m2) (ml/menit)
Normal >90 Pria : <1,3 Pria : 90-145
Wanita : <1,0 Wanita : 75-115
Gangguan 60-89 Pria : 1,3-1,9 56-100
Ginjal Ringan Wanita : 1,0-1,9
Gangguan 30-59 2-4 35-55
Ginjal Sedang
Gangguan 15-29 >4 <35
Ginjal Berat
Tabel 2. Perbandingan Nilai Kreatinin, Laju Filtrasi Glomerulus dan
Clearance Creatinin Rate untuk menilai Fungsi Ginjal
Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal kronis
adalah laju filtrasi glomerulus ( LFG ) sudah kurang dari < 15 mL/menit,
sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai pemeriksaan
tanda dan gejala serta pemeriksaan laboratorium, sebagai berikut :
1. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
Penderita dapat mengalami gangguan kesadaran. Adanya gangguan
asidosis metabolik dan atau gejala sindrom uremia seperti mual, muntah
dan anoreksia. Tanda – tanda overload cairan seperti edem, sesak napas
akibat edema paru, serta adanya gangguan jantung. Penderita juga dapat
mengeluhkan sulit kencing (anuria) lebih dari 5 hari.
2. Pemeriksaan Laboratorium ditemukan :
a) Kreatinin serum > 8 mg/dL
b) Ureum darah > 200 µ/dL
c) Hiperkalemi
d) pH darah < 7,1
3. KONTRAINDIKASI
Kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif
terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik.
Sedangkan menurut PERNEFRI kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak
didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas
hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain
diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom
hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut.
4. PROSES HEMODIALISA
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja dari hemodialisa yaitu difusi,
osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah didalam darah dikeluarkan
melaui proses difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki
konsentrasi tinggi, kecairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah.
Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses
osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradient
tekanan, gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif
yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Karena pasien tidak
dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan
cairan hingga tercapai isovelemia (keseimbangan cairan).
Sistem tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan
berdifusi dari cairan dialisat ke dalam darah pasien dan mengalami
metabolisme untuk membentuk bikarbonat. Darah yang sudah dibersihkan
kemudian dikembalikan ke dalam tubuh melalui pembuluh darah vena.
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu
saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk
menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa
metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan
hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang
akan masuk ke dalam mesin hemodialisa. Hemodialisa dilakukan pada
penyakit gagal ginjal terminal yaitu dengan mengalirkan darah ke dalam
suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang
terpisah. Darah pasien dialirkan dan dipompa ke kompartemen darah yang
dibatasi oleh selaput permiabel buatan (artificial) dengan kompartemen
dialisat. Kompartemen dialisat dialairi cairan dialysis yang bebas pirogen,
berisi larutan dengan komposisi elektrolit yang sama dengan serum normal
dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialysis dan darah
yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zar terlarut
berpindah dari konsentrasi yang tinggi kearah konsentrasi yang rendah
sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada
proses dialysis, air juga berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen
cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negative pada
kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air disebut dengan ultrafiltrasi.
Cairan dialysis adalah cairan yang digunakan pada proses hemodialisa,
terdiri dari campuran air dan elektrolit yang mempunyai konsentrasi hampir
sama dengan serum normal dan mempunyai tekanan osmotic yang sama
dengan darah. Fungsi cairan dialysis adalah mengeluarkan dan menampung
cairan serta sisa-sisa metabolisme dari tubuh, serta mencegah kehilangan zat-
zat vital dari tubuh selama dialisa.
Cairan dialysis mengandung macam-macam garam, elektrolit dan atau
zat antara lain :
1) NaCl / Sodium Chloride.
2) CaCl2 / Calium Chloride.
3) Mgcl2 / Magnesium Chloride.
4) NaC2H3O2 3H2O / acetat atau NaHCO3 / Bilkarbonat.
5) KCl / potassium chloride, tidak selalu terdapat pada dialisat.
6) Dextrose.
Gambar 1. Cairan Dializer
Gambar 4. Sirkuit
Suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi
untuk dialisat. Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur
arteri/blood line), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui
jalur vena. Dialisat membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan
dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan
konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat
atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer,
dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui
drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang membran
semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi, osmosis, dan
ultrafiltrasi.
Komposisi dialisat diatur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi
ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar dapat memperbaiki gangguan
cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur yang
umum terdiri dari Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl- , asetat dan glukosa. Urea,
kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah ke
dalam dialisat karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam dialisat. Natrium
asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam dialisat, akan berdifusi ke
dalam darah. Tujuan menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asidosis
penderita uremia. Asetat dimetabolisme oleh tubuh pasien menjadi
bikarbonat. Glukosa dalam konsentrasi yang rendah ditambahkan ke dalam
dialisat untuk mencegah difusi glukosa ke dalam dialisat yang dapat
menyebabkan kehilangan kalori dan hipoglikemia. Pada hemodialisa tidak
dibutuhkan glukosa dalam konsentrasi yang tinggi, karena pembuangan
cairan dapat dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara
darah dengan dialisat.
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan
hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat
dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah
dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau
dengan menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan
pengatur tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran
dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem
dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %, sebelum
dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien mungkin
cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di luar
tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu aliran
dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit) merupakan
aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan pada
jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah.
Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan
menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien.
Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi
dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter.
Menurut PERNEFRI waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4–5 jam dengan
frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10–15
jam/minggu dengan QB 200–300 mL/menit. Pada akhir interval 2–3 hari
diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal
lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel
darah merah rusak dalam proses hemodialisa.
Price dan Wilson menjelaskan bahwa dialisat pada suhu tubuh akan
meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi menyebabkan
hemolisis sel-sel darah merah sehingga dapat menyebabkan pasien
meninggal. Robekan pada membran dializer yang mengakibatkan kebocoran
kecil atau masif dapat dideteksi oleh fotosel pada aliran keluar dialisat.
Hemodialisa rumatan biasanya dilakukan tiga kali seminggu, dan lama
pengobatan berkisar dari 4 sampai 6 jam, tergantung dari jenis sistem dialisa
yang digunakan dan keadaan pasien.
5. PENATALAKSANAAN HEMODIALISA
Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal
terminal atau tahap akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal
yang sangat membantu penderita. Proses tersebut merupakan tindakan yang
dapat dilakukan sebagai upaya memperpanjang usia penderita. Hemodialisa
tidak dapat menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita pasien tetapi
hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal
ginjal.
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa
mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu
mengekskresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini
akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun dan toksin.
Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung
kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga
merupakan bagian dari resep diet untuk pasien. Dengan penggunaan
hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien dapat diperbaiki meskipun
biasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan pembatasan pada asupan
protein, natrium, kalium dan cairan.
6. KOMPLIKASI
Hemodialisa sangat penting untuk menggantikan fungsi ginjal yang rusak
tetapi hemodialisa juga dapat menyebabkan komplikasi umum berupa
hipertensi (20-30% dari dialisis), kram otot (5-20% dari dialisis), mual dan
muntah (5-15% dari dialisis), sakit kepala (5% dari dialisis), nyeri dada (2-
5% dialisis), sakit tulang belakang (2- 5% dari dialisis), rasa gatal (5% dari
dialisis) dan demam pada anak-anak (<1% dari dialisis). Sedangkan
komplikasi serius yang paling sering terjadi adalah sindrom disequilibrium,
arrhythmia, tamponade jantung, perdarahan intrakaranial, hemolisis dan
emboli paru.
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit
punggung, gatal, demam dan menggigil.
Komplikasi dari renal replacement theraphy
complication Hemodialisis Peritonel dialysis
cardiovascular Air embolism Arrytmia
Angina Hipotension
Arrytmia Pulmonary edema
Cardiac tamponade
Hypotension*
Infection Bacterimia Catheter exit sitre
Colonization of temporary infection
central venous cateters peritonitis
Endocarditis
Meningitis
Osteomyelitis
Sepsis
Vascular access celulitis or
absess
Mecahnical Obstruksi pada arterivena, Catheter obstruction by
terbentuk fistul trombosis atau clots, fibrin, omentum, or
infeksi fibrous encasement
Stenosis atau trombosis pada Dialysate leakage around
vena subklavia atau superior the catheter
vena cava dan intern vena Dissection of fluid into
jugular the abdominal wall
Hematoma in the
pericatheter tract
Perforation of a viscus by
the catheter
Metabolic Hipoglikemi pada orang Hipoalbumin
diabetik yang memakai insulin Hiperglikemi
Hipokalemi Hipertrigliserid
Hiponatremi dan hipernatremi Obesitas
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah kerusakan faal ginjal yang hampir selalu
tak dapat pulih, dan dapat disebabkan berbagai hal. Istilah uremia telah dipakai
sebagai nama keadaan ini selama lebih dari satu abad, walaupun sekarang kita
sadari bahwa gejala gagal ginjal kronik tidak seluruhnya disebabkan retensi urea
dalam darah.
1. Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, berupa kelainan
struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan Laju Filtrasi
lomerulus (LGF), berdasarkan :
Pertanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan pada komposisi darah atau urin,
atau kelainan pada pemerikasaan pencitaraan.
2. LFG <60 ml/menit/1,73 m2 yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.
Banyak hal yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronik. Banyak penyakit
ginjal yang mekanisme patofisiologinya bermacam-macam tetapi semuanya
sama-sama menyebabkan destruksi nefron yang progresif pada tabel dibawah
dapat dilihat dua golongan utama penyakit-penyakit yang dapat
menyebabkan gagal ginjal kronik.
1.2 Saran
Alam, S & Hadibroto, I., 2008.Gagal Ginjal. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Brunner & Suddarth, (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume
2.Jakarta EGC
Carpenito, Linda Juall.2006.Buku Saku Diagnosis Keperawatan.Alih Bahasa: Yasmin
Asih.Editor Monica Ester.EGC.Jakarta
Denise, (2007) Assessment of the Impact of Weekly Versus Monthly
ErythropoiesisStimulating Protein Therapy on Patients with CKD and Their
Families.Nephrology Nursing Journal
Mailani Fitri (2015) kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis: systematic review. http;//vol11no1_2015_4.pdf.com
diaksespada tanggal 20 Agustus 2019
Riskesdas. 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI.
Smeltzer, Suzanne, C. 2006. Keperawatan Medikal Bedah. ECG. Jakarta.
Sudoyo, A.W. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta : Balai
Penerbit FK UI.