Lalallala

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

Apa itu Post Mortem

Setelah penyembelihan (slaughtering), maka daging akan mengalami masa post mortem. Tedapat
perbedaan karakteristik fisikokimia dari daging sebelum penyembelihan (pre mortem) dan setelah
penyembelihan (post mortem). Beberapa reaksi biokimia dan kimia akan menyebabkan terjadinya
perubahan fisikokimia dari daging ini (Lonergan, Zhang, & Lonergan, 2010). Kita ketahui bahwa
daging terdiri dari tiga jaringan utama yaitu jaringan otot, jaringan lemak dan jaringan ikat. Pada
walnya setelah pasca pemotongan (slaughtering), dagingnya bersifat lentur dan lunak namun
demikian setelahnya terjadi perubahan-perubahan dimana jaringan otot pada daging akan menjadi
lebih keras, kaku (fase rigor mortis) dan juga sulit untuk digerakan (Huff-lonergan & Lonergan,
2005). Namun demikian, keadaan ini tidak akan berlangsung lama, beberapa waktu kemudian
daging akan menjadi empuk lagi (fase pasca rigor).

Perubahan apa yang terjadi selama Post Mortem


Setelah proses penyembelihan, maka sirkulasi darah pada hewan akan berhenti. Hal ini akan
menyebabkan fungsi darah sebagai pembawa oksigen terhenti. Dengan berhentinya proses
respirasi maka akan terjadi reaksi glikolisis yang anaerobik dan menghasilkan produksi asam laktat,
sehingga dilanjutkan dengan adanya serangkaian perubahan biokimia dan kimia seperti perubahan
pH daging, perubahan kelarutan protein, perubahan daya ikat air (water holding capacity),
perubahan jaringan otot (Lonergan et al., 2010).

Gambar 2. Perubahan Daging Post Mortem


a. Perubahan pH daging

Pada saat post mortem terjadi penurunan pH pada daging dikarenakan adanya metabolisme
anaerobic yang akan menghasilkan asam laktat pada jaringan daging. Produksi asam laktat ini akan
menyebabkan penurunan pH daging yang akan terjadi secara bertahap dari pH normal menjadi pH
akhir sekitar 3.5 hingga 5.5 (Lonergan et al., 2010). Dengan perubahan pH ini juga akan
menyebabkan terjadinya perubahan warna pada daging, dimana dengan menurunya pH warna
daging akan menjadi lebih pucat seperti pada gambar di bawah ini.

Gambar 3. Perubahan warna pada daging yang disebabkan adanya perubahan nilai pH
b. Perubahan rigor pada jaringan otot daging

Dengan berhentinya proses respirasi, maka menyebabkan penurunan jumlah ATP (Adenosine Tri
Phosphate) pada jaringan daging yang berfungsi sebagai sumber energi (Huff-lonergan &
Lonergan, 2005; Lonergan et al., 2010). Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan kekakuan
pada jaringan otot daging atau dikenal dengan istilah fase rigor mortis. Terjadinya kekakuan pada
jaringan daging pada saat rigor mortis ini disebabkan juga karena adanya crosslinking pada protein
aktin dan myosin jaringan otot daging. Namun demikian, setelah fase rigor mortis (kekakuan)
dilewati maka demikian jaringan otot pada daging akan mengalami fase pasca rigor. Saat ini maka
daging akan menjadi lunak. Pada saat ini tidak berarti daging menjadi lunak karena adanya
pemecahan cross linking pada protein aktin dan myosin tapi karena adanya penurunan nilai pH yang
menyebabkan enzim katepsin akan aktif dan mendesintegrasi jaringan otot miofilamen,
menghilangkan gaya adhesi antara serabut otot erta melonggarkan struktur protein serat otot.

c. Perubahan daya ikat air

Daya ikat air (Water Holding Capacity) juga dipengaruhi oleh pH daging serta jumlah ATP pada
jaringan daging (Huff-lonergan & Lonergan, 2005). Pada saat daging dalam kondisi pre rigor, daya
ikat air masih sangat tinggi namun bertahap menurun dengan menurunnya nilai pH dan jumla ATP
pada jaringan otot daging. Titik minimal daya ikat air berada pada range 5.3-5.5 pada fase rigor
mortis dimana daging sangat kaku dan tidak memiliki ruangan untuk mengikat air karena adanya
ikatan cross linking yang kuat antara aktin dan myosin pada jaringan otot daging. Namun demikian,
dengan menurunnya nilai pH maka enzim Katepsin yang merupakan enzim proteolitik menjadi aktif
segingga dapat melonggarkan struktur protein serat daging sehingga daya ikat air akan meningkat
kembali (Lonergan et al., 2010). Selain secara perubahan internal dimana katepsin akan aktif
kembali, seringkali ada penambahan enzim proteolitik eksternal seperti papain dari ekstrak daun
papaya maupun bromelain dari ekstrak buah nanas yang bersifat proteolitik dan dapat
meningkatkan nilai tendernessatau keempukan dari daging karena enzim ini dapat melonggarkan
struktur protein serat daging.

F
1.44 Pengetahuan Bahan Pangan Hewani 
Tabel 1.15.
Perubahan selama proses pasca mortem pada daging

Komponen Pre-rigor Rigor mortis pasca rigor mortis

Otot kejang dan


Belum mati total (bisa
Daging dagingnya keras dan Empuk
bergerak)
liat

dan sangat lengket ke Mudah terlepas dari


tulang tulang

Serat daging Masih mengembang Mengkerut Mengembang

WHC Tinggi Rendah Tinggi

pH Tinggi Rendah Tinggi

Warna daging Cerah mengkilap Gelap dan pucat Merah pucat

Aroma dan rasa


Aroma Aroma darah Aroma khas daging
hambar

Glikogen Tinggi - -

ATP Tinggi - -

Setelah itu hewan mengalami fase rigor mortis. Rigor mortis adalah
suatu perubahan pasca mortem yang terjadi dalam otot dan mempunyai
pengaruh langsung terhadap keempukan daging. Secara fisik dapat dikatakan
bahwa rigor mortis merupakan suatu proses perubahan daging menjadi kaku
dan kehilangan fleksibilitasnya. Kekakuan jaringan otot tersebut disebabkan
terjadinya persilangan filamen aktin dan miosin karena kontraksi otot.
Lamanya proses rigor mortis tergantung pada jenis hewannya.
Daging kembali menjadi empuk karena tidak ada lagi pembentukan
energi (ATP) yang dapat digunakan untuk kontraksi dan persilangan filamen
aktin dan miosin. Fase ini disebut pasca rigor mortis.
Kematian hewan mengakibatkan berhentinya sirkulasi darah sehingga
fungsi darah sebagai pembawa oksigen terhenti, akibatnya proses oksidasi
dan reduksi terhenti pula. Selanjutnya akan terjadi serangkaian perubahan
biokimia dan fisiko-kimia seperti perubahan pH, perubahan struktur jaringan
otot, perubahan kelarutan protein dan perubahan daya ikat air. Selengkapnya
proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.14.
 PANG4221/MODUL 1 1.45
Hewan mati

sirkulasi darah terhenti

supply oksigen terhenti

reaksi oksidasi reduksi terhenti

respirasi terhenti

siklus TCA
Produksi ATP
Konsentrasi ATP
menurun (pre-rigor
mortis)

I. Hidrolitik
(amilolitik)

Diskolorolisasi
(perubahan warns)
Degradasi protein
(pertumbuhan bakteri
pembusuk)
Akumulasi :
- prekursor flavor
- metablolit
denaturasi protein catepsin bebas
Asam laktat
Glukosa-6-fosfat

Glukosa-l-fosfat

Maltosa
Konsentrasi ATP habis
(rigor berubah menjadi
pasca rigor )

Dekstrin

II. Fosforilitik

ribose-l-posfat (flavor daging)

Inosin

IMP

fosfomonoesterase

Fosforila
se

deaminas
e

AMP

miokinase

ADP
ATP-ase

ATP

pH turun

Glikolisis

1.46 Pengetahuan Bahan Pangan Hewani 


Gambar 1.14.
Perubahan biokimia setelah hewan mati
(American Meat Institut Foundation, 1960)
C. PERUBAHAN pH
Dalam keadaan masih hidup pH daging berkisar antara 6,7 – 7,2. Setelah
disembelih maka terjadi penurunan pH karena terjadi penimbunan asam
laktat dalam jaringan otot akibat proses glikolisis anaerob. Pada daging
unggas (ayam) penurunan akan mencapai nilai 5,8 – 5,9 setelah melewati
fase pasca mortem selama 2 - 4 jam.
Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen otot
habis atau setelah kondisi pH cukup rendah untuk menghentikan aktivitas
enzim glikolitik di dalam proses glikolisis anaerobik. Daging post mortem
memiliki pH ultimat normal 5,5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian
besar protein daging termasuk protein miofibril.
Perubahan pH setelah post mortem dipengaruhi oleh faktor intrinsik
yaitu spesies, tipe otot dan variasi lainnya dari ternak, serta faktor ekstrinsik
yaitu penanganan ternak sebelum dipotong dan suhu penyimpanan daging.
Laju penurunan pH karkas post mortem akan cepat pada suhu penyimpanan
yang tinggi, sedangkan temperatur rendah akan menghambat laju penurunan
pH. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap perubahan pH post mortem ini
adalah sebagai pengaruh langsung suhu terhadap laju glikolisis post mortem.
Nilai akhir pH pada rentang 5:1 - 6.1, membuat struktur daging menjadi
lebih terbuka. Nilai akhir pH yang tinggi yaitu kisaran 6,2–7,2 menghasilkan
struktur tertutup dan kompak, warna merah gelap, flavor jelek serta
memungkinkan pertumbuhan mikroba menjadi lebih baik. Dan sebaliknya
jika pH rendah, maka daging berwarna pucat, flavor hambar, penetrasi garam
dan bumbu baik serta umumnya daya awetnya juga baik. Hubungan pH
dengan kualitas daging terlihat pada tabel berikut.
Tabel 1.16.
Hubungan nilai pH dan kualitas daging

Komponen pH tinggi pH rendah

Keawetan rendah tinggi

WHC tinggi rendah

Serat daging tertutup terbuka

Penyimpangan mutu DFD daging PSE daging


 PANG4221/MODUL 1 1.47
D. PERUBAHAN STRUKTUR JARINGAN OTOT
Faktor yang mempengaruhi struktur jaringan otot terutama keempukan
daging terdiri dari faktor antemortem dan post mortem. Faktor antemortem
antara lain adalah genetik, fisiologi, makanan, dan manajemen pemeliharaan
ternak, sedangkan faktor post mortem antara lain adalah metode pemotongan,
penyimpanan dan pengolahan daging.
Selama proses pasca mortem terjadi perubahan struktur jaringan otot
yaitu penurunan keempukan akibat kelebihan energi, sehingga jaringan otot
berkontraksi. Setelah fase rigor mortis terlewati, jaringan otot mengalami
fase pasca rigor, di mana jaringan otot menjadi lunak dan daging menjadi
empuk (tender). Mekanisme proteolitik merupakan teori yang sering
digunakan untuk menerangkan keempukan daging pada pasca rigor, yaitu
melonggarnya ikatan aktin dan miosin serta terurainya sebagian kolagen oleh
asam yang terbentuk.
Dengan turunnya pH, enzim katepsin akan aktif mendesintegrasi garisgaris gelap Z pada miofilamen,
menghilangkan gaya adhesi antara serabutserabut otot. Selain itu enzirn katepsin yang bersifat protoelitik tersebut
dapat
melonggarkan serat otot. Ada hubungan yang erat antara pengaruh pH dan
keempukan daging.
E. PERUBAHAN KELARUTAN PROTEIN
Perubahan kelarutan protein selama fase pasca mortem dipengaruhi oleh
pH, tersedianya ATP, dan faktor lainnya. Setelah hewan mati, terjadi
penurunan kelarutan protein larut garam, terutama miosin. Tahap penurunan
kelarutan protein dimulai dari fase pre-rigor. Pada fase pre-rigor kelarutan
per unit pH lebih kecil dibandingkan saat rigor mortis. Hal ini disebabkan
pada fase pre rigor penurunan kelarutan protein hanya dipengaruhi oleh
kuatnya ikatan aktin dan miosin akibat habisnya ATP.
F. PERUBAHAN DAYA IKAT AIR
1.48 Pengetahuan Bahan Pangan Hewani 
Daya ikat air oleh daging adalah kemampuan daging untuk mengikat
airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar,
misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan atau tekanan.
Kemampuan menahan air menjadi faktor penting terutama pada daging
yang akan digunakan pada industri yang melibatkan proses penghancuran
dan atau pengemulsian, misalnya produksi pasta daging, sosis, bakso, ham
matang, dan lain-lain. Daya ikat air juga erat hubungannya dengan
kehilangan air sewaktu daging dibekukan dan dicairkan kembali (thawed).
Pada fase prerigor daya ikat air daging masih relatif tinggi, akan tetapi secara
bertahap menurun seiring dengan perubahan nilai pH dan jumlah ATP
jaringan otot. Daging yang mempunyai daya ikat air tinggi, di mana pH-nya
jauh di atas isoelektrik dari aktomiosin, maka protein akan mengikat air lebih
banyak dan akibatnya permukaan daging menjadi kelihatan kering, tetapi
ketika dimasak kehilangan airnya sedikit dan mampu memerangkap air lebih
banyak sehingga memberi cita rasa basah dan memberi kesan empuk.
Habisnya ATP Pasca Mortem pada fase rigor mortis menyebabkan
terjadinya ikatan yang kuat antara filamen aktin dan miosin. Kuatnya ikatan
jaringan protein miofibrilar tersebut juga dapat menyebabkan menyempitnya
ruangan untuk mengikat air, sehingga daya ikat air daging pada fase rigor
mortis sangat rendah.
Selama proses pasca rigor daya ikat air daging dapat meningkat lagi, hal
ini dihubungkan dengan perubahan muatan elektrik molekul protein otot, atau
dengan melonggarnya jaringan miofibrilar akibat aktivitas enzim proteolitik.

D. PERUBAHAN-PERUBAHAN
PASCA-MORTEM
Pada jaringan otot hewan hidup berlangsung proses kontraksi dan relaksasi
secara natural. Apabila rangsangan datang melalui susunan syaraf pusat,
jaringan otot akan berkontraksi dan apabla rangsangan tersebut hilang maka
jaringan otot akan kembali berrelaksasi. Proses ini berlangsung melalui reaksireaksi biokimia
pada kondisi aerobik yang mana oksigen disuplai dari respirasi
melalui sirkulasi darah.
Apabila hewan talah mati, maka respirasi dan sirkulasi darah akan terhenti
dan reaksi-reaksi biokimia dalam jaringan otot berlangsung secara anaerobik
yang menghasilkan terjadinya perubahan-perubahan fisiko-kimia pada jaringan
otot. Perubahan-perubahan ini berlangsung dalam 3 fase setelah hewan mati,
yaitu : (a) fase pre-rigor, (b) fase rigor-mortis dan (c) fase pasca-rigor.

1. Relaksasi dan Kontraksi


Dalam jaringan otot terdapat suatu senyawa kimia yang disebut
“Adenosinetriphosphate” (ATP) yang dihasilkan dari oksidasi karbohidrat
jaringan otot (glikogen) melalui siklus KREB. Senyawa ATP ini akan
membentuk kompleks dengan magnesium menjadi kompleks ATP-Mg++. Selain
itu, dalam jaringan otot juga terdapat enzim “Adenosinediphosphate” (ADP),
asam posfat (H3PO 4) dan energi dan ion kalsium (Ca++) yang dapat mencegah
kompleks ATP- Mg++ sehingga dihasilkan ATP yang bebas.
Dalam keadaan relaksasi, filamen-filamen aktin pada sarkomer-sarkomer
serabut otot berasa dalam keadaan terpisah. Hal ini disebabkan oleh karena ATP
yang dihasilkan terikat sebagai kompleks ATP- Mg++ dan ion Ca++ disimpan
dalam serabut retikular dari serabut otot. Apabila terjadi rangsangan, susunan
syaraf pusat akan merangsang serabut retikuler untuk membebaskan ion Ca++.
Ion Ca++ yang bebas ini akan memecah kompleks ATP-Mg++ sehingga dihasilkan
ATP yang bebas dan mengaktifkan enzim ATP-ase untuk memecah ATP bebas
9
sehingga dihasilkan energi. Energi inilah yang menyebabkan terjadinya
persilangan filamen-filamen aktin pada sarkomer-sarkomer serabut otot proses
kontraksi. Sebaliknya, apabila rangsangan hilang, serabut retikuler akan
menghisap kembali ion Ca++ sehingga enzim ATP-ase diinaktifkan, ATP kembali
membentuk kompleks ATP- Mg++ dan filamen-filamen aktin pada sarkomersarkomer serabut
otot kembali terpisah pada proses relaksasi.
2. Fase Pre-rigor
Setelah hewan mati, maka pernafasan dan sirkulasi darah akan terhenti
sehingga suplai oksigen ke jaringan otot juga terhenti. Akibatnya, proses
oksidasi glikogen melalui siklus KREB untuk menghasilkan ATP juga terhenti.
Sisa glikogen yang terdapat dalam jaringan otot akan dipecah menjadi asam
lektat melalui proses glikosilisis anaerobik sehingga pH jaringan otot akan
menurun secara perlahan-lahan. Segera setelah hewan mati (fase pre-rigor),
dalam jaringan otot masih terdapat kompleks ATP- Mg++ yang cukup untuk
menjaga agar tidak terjadi persilangan filamen-filamen aktin pada sarkomersarkomer serabut otot
sehingga jaringan otot tetap lunak, lemas dan halus. Fase
ini berlangsung sekitar 8 – 12 jam setelah hewan mati.

3. Fase Rigor-mortis
Setelah hewan mati, serabut retikuler tidak dapat berfungsi sehingga ion-ion
Ca++ terlepas yang mengakibatkan kompleks ATP- Mg++ dipecah menghasilkan
ATP bebas dan enzim ATP-ase diaktifkan untuk memecah ATP bebas
menghasilkan energi yang diperlukan untuk terjadinya persilangan filamenfilamen aktin pada
sarkomer-sarkomer serabut otot. Proses ini berlangsung
secara perlahan-lahan dan pada fase rigor-mortis, persilangan filamen-filamen
aktin pada sarkomer-sarkomer serabut otot terjadi secara sempurna sehingga
jaringan otot menjadi keras, kasar dan kaku. Fase ini berlangsung sekitar 15 – 20
jam setelah fase pre-rigor.
10

4. Fase Pasca-rigor
Mulai dari sejak hewan mati proses pemecahan ATP dan glikogen
berlangsung terus selama masih ada yang tersisa dalam jaringan otot. Produk
akhir dari pemecahan ATP adalah senyawa-senyawa “precusor” cita-rasa daging
yang menyebabkan cita-rasa spesifik pada daging dan produk akhir pemecahan
glikogen adalah asam laktat yang menyebabkan penurunan pH jaringan otot.
Pada fase pasca-rigor, pH jaringan otot yang normal sekitar 6,5 – 6,6 akan turun
menjadi pH sekitar 5,3 – 5,5. Apabila pH jaringan otot mencapai 5,5 maka sel-sel
otot akan melepaskan dan mengaktifkan suatu enzim proteolitik “cathepsin”.
Enzim “cathepsin” ini akan mengendorkan serabut-serabut otot yang tegang,
melonggarkan struktur molekul protein sehingga daya ikatnya terhadap air
meningkat dan menghancurkan ikatan-ikatan diantara serabut-serabut otot yang
mana kesemuanya ini akan menyebabkan jaringan otot yang tegang dan kaku
pada fase rigor-mortis akan kembali menjadi empuk dan halus pada fase pascarigor.
Kondisi hewan pada waktu penyembelihan (lelah, kelaparan, dsb.) akan
mempengaruhi sisa glikogen yang terdapat pada jaringan otot. Apabila hewan
lelah atau kelaparan sebelum penyembelihan, maka sisa glikogen dalam jaringan
otot sedikit sehingga pH akhir yang dicapai pada fase pasca-rigor relatif tinggi.
Apabila pH akhir jaringan otot pada fase pasca-rigor mencapai 5,8 atau lebih
tinggi, maka daya ikat air dari molekul protein sedemikian rupa tingginya
sehingga daging akan kelihatan gelap, kasar dan kering (GKK) atau “dark, firm
and dry” (DFD). Sebaliknya, karena faktor “strees” dan faktor-faktor lain yang
belum diketahui, penurunan pH dapat berlangsung sangat cepat dan sangat
rendah. Hal ini akan menyebabkan daya ikat air dari molekul protein juga
sangat rendah sehingga daging kelihatan pucat, lunak dan berair (PLB) atau
“pale, soft and exudative” (PSE).
11
Reaksi-reaksi kimia pada jaringan otot setelah hewan mati dipengaruhi
temperatur penyimpanan karkas. Semakin rendah temperatur, semakin lambat
reaksi-reaksi biokimia tersebut berlangsung. Apabila temperatur sedemikian
rendahnya, terdapat kemungkinan terjadi penciutan serabut-serabut otot
sedangkan konsentrasi ATP dalam jaringan masih cukup tinggi sehingga proses
pengempukan pasca-mortem tidak sempurna dan daging akan lebih kenyal.
Kondisi ini yang disebut “cold shortening”. Demikian juga halnya, apabila
jaringan otot pada fase pre-rigor disimpan beku, maka reaksi-reaksi biokimia
pada jaringan otot akan terhenti atau berlangsung sangat lambat. Pada waktu
“thawing”, reaksi-reaksi biokimia tersebut berlangsung sangat cepat oleh karena
kerusakan sel-sel otot sehingga persilangan filamen-filamen aktin pada
sarkomer-sarkomer serabut otot berlangsung lebih intensif dan daging akan
lebih kenyal. Oleh karena itu, apabila daging dibekukan pada fase pre-rigor
(segera setelah penyembelihan), sebaiknya daging tersebut langsung dimasak
tanpa terlebih dahulu di “thawing”. Kondisi ini dikenal sebagai “thaw rigor”.

Anda mungkin juga menyukai