Revisi - Bab I - 30 Agustus 2017

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 7

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit kusta (Sansekerta: kustha, yang berarti kumpulan gejala-
gajala kulit secara umum). Kusta merupakan penyakit infeksi kronik, dan
penyebabnya ialah Mycobacterium leprae, suatu bakteri gram positif
berbentuk basil tahan asam yang bersifat intraselular obligat. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit, mata, mukosa traktus
respiratorius bagian atas, otot, tulang, sendi, dan testis kecuali susunan
saraf pusat (Depkes, 2015; Djuanda, 2016; Kartowigno, 2011).
Menurut laporan resmi yang diterima dari 138 negara di seluruh
negara dalam regional WHO, prevalensi Morbus Hansen yang terdaftar
secara global pada akhir tahun 2015 adalah 176.176 kasus (0,2 kasus per
10.000 penduduk). Jumlah kasus baru Morbus Hansen yang dilaporkan
secara global pada tahun 2015 adalah sebanyak 211.973 (2,9 kasus baru
per 100.000 penduduk). Pada tahun 2014 dilaporkan sebanyak 213.899
kasus baru, pada tahun 2013 ditemukan 215.656 kasus baru (WHO,
2016).
Jumlah kasus baru menunjukkan tingkat transmisi infeksi yang
terus berlanjut. Statistik global menunjukkan bahwa 199.992 (94%)
kasus baru dilaporkan dari 14 negara, masing-masing melaporkan lebih
dari 1000 kasus baru (WHO, 2016).
Pada tahun 2011, jumlah kasus baru Morbus Hansen di Indonesia
berjumlah 20.023 kasus. Pada tahun 2012 dan 2013 mengalami
penurunan dengan jumlah kasus baru Morbus Hansen di Indonesia
berjumlah 18.994 dan 16.856 kasus. Namun pada tahun 2014 dan 2015,
terjadi peningkatan jumlah kasus baru yaitu 17.025 dan 17.202 kasus.
Dilaporkan pada tahun 2015 adanya 17.202 kasus baru kusta dengan
84,5% kasus di antaranya merupakan tipe Multi Basiler (MB). Sedangkan
menurut jenis kelamin, 62,7% penderita baru Morbus Hansen berjenis
kelamin laki-laki dan sebesar 37,3% lainnya berjenis kelamin

Universitas Muhammadiyah Palembang


2

perempuan. Data terbaru kasus baru Morbus Hansen pada tahun 2016
dilaporkan 11.755 kasus (Kemenkes RI, 2015).
Dari 33 provinsi di Indonsia, sebanyak 14 provinsi (42,4%)
termasuk dalam beban Morbus Hansen yang tinggi. Sedangkan 19
provinsi lainnya (57,6%) termasuk dalam beban Morbus Hansen yang
rendah. Sumatera Selatan termasuk ke dalam provinsi dengan beban
Morbus Hansen rendah yang berjumlah 196 kasus. Walaupun begitu,
angka kejadian Morbus Hansen tersebut masih termasuk tinggi
(Kemenkes RI, 2015).
Berdasarkan laporan distribusi penemuan kasus Morbus Hansen
baru per kabupaten dan kota wilayah provinsi Sumatera Selatan, pada
tahun 2016 terdaftar 278 total kasus (3,41 per 100.000). Hasil statistik
menunjukkan adanya peningkatan penemuan kasus baru, dan belum ada
tanda-tanda ke arah penurunan kasus (Kemenkes RI, 2017).
Di kota Palembang jumlah kasus Morbus Hansen sebanyak 43 kasus
pada tahun 2011. Lalu mengalami sedikit penurunan jumlah sebesar 40
kasus Morbus Hansen untuk tahun 2011. Kasus Morbus Hansen terendah
pada tahun 2013 yaitu hanya 10 kasus. Pada tahun 2014 mengalami
peningkatan dengan jumlah 51 kasus, serta pada tahun 2015 terdapat
kasus kusta tertinggi sebanyak 57 kasus (Dinkes, 2015).
Tahun 1995, WHO menyebutkan pedoman diagnosis Morbus
Hansen dengan klasifikasi pausibasiler dan multibasiler. Adapun tanda-
tanda yang dinilai yaitu, lesi kulit dan kerusakan saraf.
Hingga saat ini M. leprae merupakan salah satu jenis mikobakteria
yang belum berhasil dibiakkan dengan media buatan. Pembiakan yang
bisa dilakukan pada saat ini adalah secara invivo. Inokulasi menunjukkan
waktu pembelahan kumaa lepra antara 12 – 14 hari. Sifat multiplikasi
ini lebih lambat daripada M. tuberculosis yang hanya memerlukan
waktu 20 jam (Arnold, 2000). Hal inilah yang menyebabkan masa
inkubasi dan perjalanan Morbus Hansen berlangsung lama dan
menyebabkan semua manifestasinya menjadi kronis. Kuman ini hidup
pada temperatur optimum sekitar 30 0 C, oleh karena itu kuman ini
mempunyai predileksi pada daerah-daerah dingin pada tubuh

Universitas Muhammadiyah Palembang


3

misalnya saluran pernafasan, testis, ruang anterior mata, kulit


terutama cuping telinga dan jari-jari (Amirudin, 2003; Sridharan,
2001).
Menurut Kemenkes RI (2012), untuk menetapkan seseorang
menderita Morbus Hansen bilamana terdapat satu dari tanda-tanda
utama berikut, yaitu: (1) Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa, (2)
Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf, (3)
Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit.
Pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) menggunakan 3 macam
metode pewarnaan yaitu: Pewarnaan Tan Thiam Hok, Pewarnaan Zeihl
Neelsen, Pewarnaan Flourokrom. Pada pemeriksaan dengan
mengguanakan metode fluorokrom pada pemeriksaan di bawah
mikroskop tidak memerlukan pembesaran 1000x hal ini sanggat
bermanfaat pada laboratorium dengan jumlah sampel yang banyak.
Penggunaan pewarnaan ini di laboratorium Indonesia tidaklah mudah
karena memiliki biaya yang tinggi untuk penyediaan mikroskop
fluoresens, sehingga DOTS (Direct Observed Treatment Shortcourse
Chemotherapy) yang di rekomendasikan WHO dan telah di lakukan di
Indonesia, selain adanya gejala khas di gunakan cara pewarnaan BTA
Ziehl-Neelsen untuk penentuan di mulainya pengobatan (Soumilena,
2014).
Sehubung dengan karakteristik kuman Mycobacterium leprae
penulis tertarik untuk meneliti mengenai Gambaran Hasil Pemeriksaan
BTA Pada Penderita Morbus Hansen di Rumah Sakit Kusta Rivai Abdullah
Periode Tahun 2015 – 2016.

1.2. Rumusan Masalah


1. Belum ada data yang membahas mengenai gambaran hasil pemeriksaan
BTA pada penderita Morbus Hansen di Rumah Sakit Kusta Rivai Abdullah
periode tahun 2015 – 2016

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan umum:

Universitas Muhammadiyah Palembang


4

Untuk mengathui gambaran hasil pemeriksaan BTA pada penderita


Morbus Hansen di Rumah Sakit Kusta Rivai Abdullah periode tahun
2015 – 2016.
1.3.2. Tujuan Khusus:
1. Untuk mengetahui gambaran hasil pemeriksaan BTA pada
penderita Morbus Hansen di Rumah Sakit Kusta Rivai Abdullah
periode tahun 2015 – 2016.
2. Untuk mengetahui lokasi nilai bakteri indeks dan morfologi indeks
pada lokasi pengambilan sampel.
3. Untuk mengetahui distribusi penderita Morbus Hansen berdasarkan
usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan tempat tinggal penderita
Morbus Hansen di Rumah Sakit Kusta Rivai Abdullah periode
tahun 2015 – 2016.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Manfaat Teoritis
Diharapkan dapat dijadikan tambahan informasi dalam proses
belajar mengajar dan khususnya dalam kepustakaan.
1.4.2. Manfaat Praktis
Diharapkan dapat membantu dalam pengambilan lokasi
sampel BTA yang tepat pada penderita Morbus Hansen.

1.5. Keaslian Penelitian


Berikut merupakan beberapa penelitian sebelumnya yang terkait dengan
gambaran hasil pemeriksaan BTA pada penderita Morbus Hansen.

Tabel 1. Penelitian sebelumnya yang terkait gambaran hasil


pemeriksaan BTA pada penderita Morbus Hansen
Nama Judul Penelitian Desain Hasil Penelitian
Penelitian
Herlina Gambaran Deskriptif Berdasrkan jenis kelamin

Universitas Muhammadiyah Palembang


5

Soumilena, Pemeriksaan didapatkan hasil 13 orang


Standy Miksroskopik (65%) pria dan 7 orang
Soelionga, Basil Tahan Asam (35%) wanita. Penelitian
dan Velma Pada Pasien ini menunjukan 11 sampel
Buntuan, Diagnosa Klinik positif (55%) dan 9
2014, kusta di Poli sampel negatif (45%)
Manado Penyakit Kulit
dan Kelamin di
Blu RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou
Manado
Kuswiyanto, Ciri Tanda Kusta Deskriptif Pada penelitian ini
2015, Terhadap BTA analitik dilakukan pada 61 siswa
Pontianak Swab Hidung SD yang tinggal di sekitar
Siswa SD di penderita kusta (daerah
Daerah Endemis endemis). Distribusi
Kusta Kabupaten sampel laki-laki sebanyak
Kayong Utara 35 orang (57,4%) dan
perempuan 26 orang
(42,6%). Berdasarkan
umur 10 tahun sebanyak
26 orang (42,6%), 11
tahun sebanyak 22 orang
(36,1%) dan 12 tahun
sebanyak 13 orang
(21,3%). Hasil penelitian
menunjukkan ciri tanda
kusta sebanyak 1 orang
(1,68%), hasil
pemeriksaan Bakteri
Tahan Asam (BTA)
diperoleh sebanyak 1

Universitas Muhammadiyah Palembang


6

orang (1,68%).
Berdasarkan hasil
penelitian terdapat
hubungan ciri tanda kusta
terhadap BTA Swab
Hidung pada siswa SD di
daerah endemis kusta di
Kabupaten Kayong Utara,
dengan p = 0,016
(p<0,05).

Subaktir, dan Basil Tahan Pada penelitian ini telah


Kabulrachma Asam Pada ditangkap sebanyak 49
n, 1991, Nyamuk ekor nyamuk, tediri atas 46
Semarang Culex spp. dan 3 Aedes spp.
Pada pengecatan Ziehl-
Nielsen dari sediaan isi
gaster nyamuk didapat BTA
positif pada 2 ekor nyamuk
(4,1%), semua dari Culex
spp., sedangkan 47 (95,9%)
ekor nyamuk yang lain
negatif.

Penetian yang akan dilakuan berbeda dengan penetian yang telah ada, penetian di
atas mengenai sumber informasi tentang gambaran pemeriksaan miksroskopik
basil tahan asam pada pasien diagnosa klinik kusta di poli penyakit kulit dan
kelamin di Blu RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, ciri tanda kusta terhadap
BTA swab hidung siswa SD di daerah endemis kusta kabupaten Kayong Utara,
basil tahan asam pada nyamuk. Penetian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran hasil pemeriksaan BTA pada penderita Morbus Hansen di Rumah Sakit

Universitas Muhammadiyah Palembang


7

Kusta dr. Rivai Abdullah, Banyuasin, Sumatera Selatan. Dengan metode penetian
deskriptif.

Universitas Muhammadiyah Palembang

Anda mungkin juga menyukai