Perkembangan Islam Masa Dinasti Ayyubiyah
Perkembangan Islam Masa Dinasti Ayyubiyah
Perkembangan Islam Masa Dinasti Ayyubiyah
Kebudayaan Islam pada masa Dinasti Ayyubiyah tak luput dari pendiri dinasti
tersebut yaitu Salahudin al-Ayyubi. Berikut beberapa berbagai sisi dari Dinasti
Ayyubiyah:
1. Situasi Politik
Keberhasilan Shalahuddin al-Ayyubi dalam perang Salib, membuat para tentara
mengakuinya sebagai pengganti dari pamannya, Syirkuh yang telah meninggal
setelah menguasai Mesir tahun 565 H/6661 M. Ia tetap mempertahankan lembaga–
lembaga ilmiah yang didirikan oleh Dinasti Fatimiyah tetapi mengubah orientasi
keagamaannya dari Syi‟ah menjadi Sunni. Penaklukan atas Mesir oleh Shalahuddin
pada tahun 565 H/6656 M, membuka jalan politik bagi pembentukan madzhab-
madzhab hukum Sunni di Mesir.
Madzhab Syafi‟i tetap bertahan di bawah pemerintahan Fatimiyah, sebaliknya
Shalahuddin memberlakukan madzhab-madzhab Hanafi. Keberhasilannya di Mesir
tersebut mendorongnya untuk menjadi penguasa otonom di Mesir. Sebelumnya,
Shalahuddin masih menghormati simbol-simbol Syi‟ah pada pemerintahan al-Adil
Lidinillah, setelah ia diangkat menjadi Wazir (Gubernur). Namun, setelah al-Adil
meninggal (565 H/6656 M), Shalahuddin menyatakan loyalitasnya kepada Khalifah
Abbasiyah (al-Mustadhi) di Baghdad dan secara formal menandai berakhirnya rezim
Fatimiyah di Kairo.
Jatuhnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah, secara otomatis terhentilah fungsi
madrasah sebagai penyebaran faham Syi‟ah. Salah satu penyebaran faham Syi‟ah
pada saat itu adalah melalui jalur pendidikan. Kemudian digantikan oleh Dinasti
Ayyubiyah yang menganut faham Sunni. Belajar dari Politik Dinasti Fatimiyah yang
memasukkan faham politik Syi’ah ke lembaga pendidikan, Shalahuddin mengubah
masjid Al-Azhar menjadi madrasah agama yang mengajarkan mazhab Sunni.
Shalahuddin juga mendirikan sekolah-sekolah dan zawiyahzawiyah dan memberikan
perhatian kepada mazhab Sunni.
Selain itu, banyak pihak swasta yang mendirikan madrasah-madrasah dengan
maksud untuk menanamkan ide-idenya dalam rangka mencari keridhaan Allah SWT,
Serta menyebarkan faham keagamaan yang dianutnya, yang tidak dapat disalurkan
lewat masjid karena berorientasi pada kepentingan pemerintah atau politik, yang
semakin hari semakin bertambah banyak madrasah yang didirikan pada masa
pemerintahan Dinasti Ayyubiyah. Kesultanan yang telah dibangun oleh Shalahuddin
dari Tigris sampai ke Nil telah dibagi-bagikan kepada beberapa ahli warisnya.
Sayangnya, tidak ada seorangpun di antara mereka yang mewarisi kepandaiannya.
Pada mulanya, anaknya, al-Malik al-Afdhal menggantikan tahta ayahnya di
Damaskus, al-Aziz meneruskan kekuasaan di Kairo, al-Zahir mewarisi tahta di
Aleppo dan saudara bungsu sekaligus orang kepercayaan Shalahuddin yakni al-Adil
mewarisi kekuasaan di Karak dan Syubak.
Pada tahun 511 H/6616 M, al-’Adil memanfaatkan perselisihan antara
keponakan-keponaknnya untuk mengambil kedaulatan atas Mesir dan sebagian besar
Suriah untuk dirinya sendiri. Antara tahun 6616 M dan 6611 M, al-’Adil berhasil
menguasai beberapa daerah lainnya, sehingga ia menjadi penguasa tunggal untuk
Mesir dan sebagian besar Suriah. Al-’Adil yang bergelar Saifuddin itu
mengutamakan politik perdamaian dan memajukan perdagangan dengan koloni
Perancis. Pada tahun 516 H/6111 M, al-Adil mengangkat anaknya sebagai gubernur
Mesopotamia Setelah al-Adil wafat pada tahun 664 H/6169 M, Dinasti
Ayyubiyahditeruskan oleh keturunan al-Adil yang memerintah di Mesir, Damaskus
dan Mesopota mia. Beberapa penguasa lain yang masih berasal dari keluarga
Ayyubiyah, memerintah di Emessa, Hamah, dan Yaman.
Dinasti Ayyubiyah di Mesir merupakan keturunan utama dan sering berselisih
dengan saudara mereka yang lain, yakni keluarga Ayyubiyah di Damaskus yang
memperebutkan kedaulatan atas Suriah. Rangkaian perselisihan yang terjadi dalam
dinasti Ayyubiyah tidak hanya membuat Islam kehilangan kekuatannya untuk
melakukan serangan, tetapi satu demi satu daerah taklukan Shalahuddin seperti
Beirut, Safawi, Tiberias, Askalon bahkan Yerussalem jatuh ketangan orang Franka
pada tahun 615 H/6111 M. Dalam hubungannya dengan kaum Franka, masing-
masing anggota keluarga Ayyubiyah memilih berdamai dengan mereka.
Di periode Ayyubiyah inilah kaum Franka mencapai integrasi penuh sebagai
penguasa lokal di kawasan Mediterania Timur. Para penguasa Ayyubiyah beraliansi
dengan mereka, atau berperang baik melawan mereka dan di pihak merek
(Hillenbrand, 2003: 144.) Perjanjian pertama antara orang Franka dan pribumi,
setelah Shalahuddin wafat, berlangsung di Mesir di bawah pimpinan al-Kamil (6169-
6139 M).
Al-Kamil adalah seorang pemimpin Mesir yang menggantikan ayahnya, al-Adil
yang telah menjadi pemimpin utama Dinasti Ayyubiyah, dan menerima upeti dalam
jumlah tertentu dari Suriah. Usaha pertamanya adalah membersihkan wilayahnya dari
tentara salib yang mendarat sesaat sebelum kematian ayahnya di dekat Dimyat. Dan
pada tahun berikutnya mereka telah menduduki kota itu. Serangan ke Mesir ini
berhasil dilakukan berkat dukungan penting dari republik maritim Italia. Mereka juga
beranggapan bahwa pusat kekuasan Islam telah beralih dari Suriah ke Mesir. Menurut
mereka, penaklukan Mesir akan membuka jalan untuk berlayar menuju Laut Merah,
dan ikut serta dalam perdagangan yang menguntungkan di perairan Samudera Hindia.
Setelah hampir dua tahun berada dalam perselisihan (November 6161 M - Agustus
6116 M), al-Kamil memaksa orang Franka untuk meninggalkan Dimyat, serta
memberi jalan yang bebas dan gratis bagi mereka.6 Pada tahun 6111 M, dalam suatu
perjanjian yang curang, Yerussalem diputuskan untuk diserahkan kepada Frederick,
juga daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan Akka, dengan jaminan bahwa
al-Kamil akan menerima bantuan dari Frederick untuk melawan musuh, yang
kebanyakan dari mereka adalah keluarga Ayyubiyah. Ini merupakan perjanjian
luarbiasa antara pihak Kristen dengan Islam. Yerussalem tetap berada di bawah
kekuasaan bangsa Franka sampai tahun 6144 M. Pada tahun 6141 M, penguasa
Ayyubiyah, al-Shalih Ismail menyerahkan sejumlah kastil di Galilee dan Lebanon
Selatan yag telah ditaklukkan Shalahuddin kepada kaum Franka. Al-Shalih Ismail
berinisiatif melakukan hal ini karena ingin mendapatkan bantuan dari kaum Franka
untuk melawan keponakannya al-Shalih Ayyub.
Para penguasa Ayyubiyah berusaha keras membina hubungan komersial dengan
negara-negara maritim Italia untuk mendapatkan uang dan perdamain. Para penguasa
Ayyubiyah memperoleh kekayaan berlimpah dari pelabuhan-pelabuhan di kawasan
Mediterania Timur, seperti Jaffa, Acre, dan Tirus. Mereka khawatir setiap gangguan
serius terhadap kedamaian di kawasan Mediterania Timur dapat memprovokasi kaum
Barat Eropa untuk kembali melancarkan Perang Salib berikutnya. Oleh karena itu
mereka lebih memilih berdamai dengan kaum Franka daripada berkonfrontasi. Hal
ini tampak ketika al-Kamil lebih memilih melakukan perjanjan dengan kaum Franka
(669 H/6116 M), daripada menaklukkan Dimyat. Penulis sejarah masa itu, ibn
Washil, mengatakan bahwa al-Kamil mengetahui jika raja-raja di Eropa dan Paus
mendengar terjadi agresi terhadap kelompok mereka, maka mereka akan
mengirimkan balatentara kaum Franka secara besar-besaran untuk menyerang Mesir.
Dengan demikian, para penguasa Ayyubiyah membiarkan semangat emosional
yang mencapai puncaknya dengan penaklukan Yerussalem mengendur melalui perjanjian
dengan kaum Franka, dan pada saat khotbahkhotbah keagamaan masih sangat giat
membicarakan jihad, diskursus Islam ini menjadi kurang berhubungan dengan realitas
politik pada periode Ayyubiyah (Hillenbrand, 2003144145)
2. Situasi Ekonomi
Pada masa pemerintahan Shalahuddin, Dinasti Ayyubiyah menikmati kelapangan
ekonomi dan kehidupan sejahtera, karena waktu itu pintu-pintu pemasukan banyak dan
sumber-sumber ekonomi beragam. Sumber-sumber tesebut antara lain sebagai berikut:
a. Menguasai seluruh simpanan kekayaan yang pernah dimiliki keluarga Dinasti
b. Fatimiyah setelah Mesir berada di bawah kekuasaannya.
c. Sumber Income dari Jizyah yang diberlakukan kepada golongan non Muslim.
d. Sumber income dari fidyah (tebusan) yang ditarik dari para tawanan.
e. Sumber-sumber yang berasal dari harta ghanimah (rampasan) yang dihasilkan
f. melalui peperangan.
g. Sumber-sumber pemasukan dari kharaj (pajak) yang diambil dari para tuan tanah di
daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan secara damai.
Shalahuddin bukanlah termasuk di antara para sultan yang sering membelanjakan
harta benda diluar peruntukannya atau menempatkannya pada bukan tempatnya. Akan
tetapi dia membelanjakannya di jalan Allah, mendirikan benteng-benteng, membangun
pertahanan dan merenovasi berbagai bangunan, serta membagun setiap proyek yang
dapat mendatangkan keuntungan bagi negara.
a) Kondisi pertanian Mesir adalah negara agraris.
Di sana mengalir sungai Nil. Rakyatnya adalah para petani yang senang menggarap
tanah dan bertani. Salah satu bentuk perhatian Sultan Shalahuddin terhadap pertanian
adalah membangun irigasi, membuat kanal, dan meratakan jalan-jalan. Ia juga
memberikan dukungan dan perhatian terhadap kondisi para petani.
Namun pemerintahan Shalahuddin yang terlalu mengandalkan pertanian dengan
air limpahan, pada awalnya menyebabkan pengaruh yang buruk bagi kondisi
ekonomi Mesir. Penyebabnya adalah irigasi dan mata-mata air yang ada tidak cukup
untuk mengairi ladang-ladang pertanian. Oleh karena itu tidak aneh jika terjadi
kelaparan pada masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayyubi karena kekurangan air.
Adapun penyebab dari kekurangan yang diciptakan oleh Sultan Shalahuddin ketika
itu adalah karena Ia membagi-bagikan tanah kepada anak-anaknya. Dengan kata lain,
Ia menggunakan sistem feodalisme, sehingga para petani baginya hanya menjadi
pembantu dan hamba sahaya. Hal ini menyebabkan para sultan Dinasti Ayyubiyah
memberikan perhatian untuk menyediakan kecukupan sumber-sumber air bagi para
petani. Akibatnya tidak terjadi lagi kekurangan air yang menyebabkan sulitnya
kondisi ekonomi Mesir.
b) Kondisi perdagangan dan industri
Sultan Nuruddin Zenki berusaha menyatukan dua negara, yakni antara Syam dan
Mesir. Shalahuddin pun menyambut ajakan itu karena Shalahuddin adalah penguasa
Mesir berdasarkan pengangkatan Nuruddin. Oleh karena itu, hubungan perdagangan
antara kedua negara menjadi semakin kuat. Keadaan yang demikian ini tentu sangat
positif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan taraf hidup
masyarakat yang lebih baik. Mesir mengekspor barang-barang tenunan, karpet, kulit,
dan kayu ke Syam, sedangkan Syam mengimpor kurma, buah-buahan, sutra, dan
beberapa macam bejana keramik, serta tembaga (Al-Shayim 2003: 70)
Perdagangan antara kedua negara semakin membaik ketika Karnak dan beberapa
pusat perdagangan yang sebelumnya dipegang oleh pasukan Salib dapat dikuasai.
Sebelumnya, di tempat itu pasukan Salib sering merampok dan merampas barang-
barang dagangan kaum muslimin. Ketika jalan-jalan perdagangan telah diamankan,
maka perdagangan semakin berkembang antara kaum muslimin dan beberapa negara-
negara Eropa.
Dalam bidang industri, saat itu berkembang beberapa industri kecil seperti
penyamakan kulit serta penyulingan minyak zaitun dan minyak simsim. Selain itu
berkembang pula industri sabun dan tenunan. Dengan perkembangan itu, maka
beberapa kota menjadi terkenal dengan industrinya, seperti Akhmim di Shaid, Dimyat
di Wajhil-Bahri, dan Bahnisa di Mesir bagian Tengah.
c) Kondisi kehidupan sosial
Daulah Abbasiyah, beserta raja, khalifah, dan para amirnya terkenal sebagai
pemerintahan yang boros dan berlebihan. Demikian juga halnya para khalifah dan
amir Daulah Fatimiyah yang mengadakan banyak perayaan peringatan keagamaan,
maulid, dan berbagai acara. Dalam acara-acara tersebut, mereka selalu mengadakan
jamuan makan bagi masyarakat umum.
Pada masa Daulah Ayyubiyah kondisi social masyarakatnya adalah kebalikan dari
semua itu. Hal itu karena Sultan Shalahuddin mencurahkan seluruh perhatiannya
untuk berjihad, sehingga sebagian besar kekayaan negara dipergunakan untuk
membeli dan memproduksi alat perang dan perbekalan tentara. Hal ini lebih terlihat
ketika Shalahuddin memegang kekuasaan di Mesir, saat itu pasukan Salib yang kuat
sudah berada di perbatasan Syam, dan bersiap-siap untuk menduduki kota
Iskandariyah dan Dimyat. Walaupun Shalahuddin tetap memenuhi keinginan
masyarakat untuk mengadakan acara-acara sosial atau peringatan keagamaan, namun
biaya yang dikeluarkan untuk acara tersebut sangat terbatas karena sebagian besar
kekayaan negara digunakan untuk berjihad.
Namun demikian, para sultan Ayyubiyah senang memuliakan tamu, memberi
bekal kepada ibnu sabil, membuat makanan setiap hari bagi para pelajar di Al-Azhar,
juga bagi seluruh sekolah yang mereka bangun. Kondisi kehidupan sosial di Mesir
pada waktu itu adalah dalam keadaan sederhana, tidak boros dan tidak kekurangan
(Al-Shayim 2003: 71) Ayyubiyah secara khusus enggan melanjutkan pertempuran
melawan sisa-sisa kekuatan pasukan salib. Mereka lebih memprioritaskan untuk
mempertahankan Mesir. Karena kesatuan mulai melemah akhirnya pada masa
pemerintahan al-Kamil, Dinasti Ayyubiyah yang bertempat di Diyar bakir dan al-
Jazirah mendapat tekanan dari Dinasti Seljuk Rum dan Dinasti Khiwarazim Syah.
Selanjutnya, al-Kamil mengembalikan Yerussalem kepada kaisar Frederick II yang
membawa kedamaian dan kestabilan ekonomi bagi Mesir dan Suriah.
Oleh karena itu, pada masa tersebut perdagangan kembali dikuasai oleh kekuatan
Kristen Mediterrania. Setelah al-Kamil meninggal, yakni pada tahun 6139 M, Dinasti
Ayyubiyah dirongrong oleh pertentangan-pertentangan intern pemerintah.
3. Situasi Peradaban Islam
a. Bidang Pendidikan
Pemerintahan Dinasti Ayyubiyah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota
pendidikan, terutama pada masa kekuasaan Nuruddin dan Salahuddin. Damaskus, ibu
kota Suriah asih menyimpan jejak arsitektur dan pendidikan yang dikembangkan
kedua tokoh tersebut. Nuruddin berhasil merenovasi dinding-dinding pertahanan kota,
menambahkan beberapa pintu gerbang dan menara, membangun gedung-gedung
pemerintahan yang masih bisa digunakan hingga kini, juga mendirikan madrasah
pertama di Damaskus terutama untuk pengembangan Ilmu Hadis. Madrasah terus
berkembang dan menyebar ke seluruh pelosok Suriah. Madrasah yang didinkan
Nuruddin di Aleppo (Halb), Emessa, Hamah dan Ba'labak mengikuti mazhab Syafi'i.
Madrasah tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dan masjid atau disebut
sekolah masjid.
Namun demikian, madrasah mi secara formal, yaitu menerima murid-murid dan
mengikuti model madrasah yang dikembangkan masa Dinasti Niamiyah. Nuruddin
juga membangun rumah sakit yang terkenal dengan memakai namanya sendiri, yaitu
Rumah Sakit al-Nun. mi menjadi rumah sakit kedua di Damaskus setelah Rumah Sakit
al-Walid. Fungsinya pun tidak hanya sebagai tempat pengobatan, tetapi juga sebagai
sekolah kedokteran.
Pada bangunan monumen-monumen, Nuruddin menorehkan seni menulis indah
(kaligrafi). Prasasti-prasasti yang ditulisnya menjadi daya tank para ahli paleografi
(ilmu tulisan kuno) Arab. Sejak saat itu, diperkirakan seni kaligrafi Arab bergaya Kufi
muncul dan berkembang. Kaligrafi gaya Kufi kemudian diperbaharui clan melahirkan
gaya kaligrafi Naskhi. Lukisan inskripsi Basmalah dalam skrip Kufi, abad ke. di
Museum Islam, Kairo, Mesir. Salah satu prasasti yang masih bisa dilihat dan dibaca
sampai saat mi terdapat di menara Benteng Aleppo. Menurut catatan orang Suriah dan
Hittiyah, benteng pertahanan tersebut merupakan mahakarya arsitektur Arab kuno.
Berkat jasa Nuruddin, keberadaannya terus dipertahankan, dipelihara, dan direnovasi
hingga sekarang. Makam Nuruddin sendiri, yang terletak di akademi Damaskus al-
Nuriyah, hingga kini juga masih dihbrmati dan diziarahi. Pada masa Nuruddin, fungsi
masjid dikembangkan sebagai lembaga pendidikan atau sekolah di Suriah. Bahkan
pada pemerintahan selanjutnya, lahir suatu tradisi barn, yaitu pemakaman para pendiri
sekolah masjid di bawah kubah kuburan yang mereka dirikan, baik masa Dinasti
Ayyubiyah maupun masa pemerintahan Dinasti Mamluk. Salahuddin al-Ayyubi juga
mencurahkan perhatian pada bidang pendidikan dan aristektur. la memperkenalkan
pendidikan madrasah ke berbagai wilayah yang dikuasainya, seperti ke Ye erusalem,
Mesir, dan lain-lain.
Ibnu Jubayr (1145 —1217 M), seorang ahli geografi menyebutkan bahwa
terdapat beberapa madrasah di kota Iskandariah. Madrasab terkemuka dan terbesar
berada di Kairo yang memakai namanya sendiri, yaitu Madrasah al-Salahiyah. Hanya
saja, madrasah bersejarah tersebut tidak bisa ditemukan lagi saat mi, namun sisa- sisa
arsitekturnya masih bisa dilihat. Pada tahun-tahun berikutnya, gaya arsitektur Arab mi
melahirkan beberapa monumen bersejarah di Mesir. Salah satunya yang tenndah dan
menjadi model terbaik adalah Madrasah Sultan Hasan di Kairo.
Di samping mendirikan sejumlah madrasah, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi juga
membangun dua rumah sakit di Kairo. Rancangan bangunannya mengikuti model
Rumah Sakit Nuriyah di Damaskus. Ciri khasnya adalah tempat pengobatan yang
sekaligus dijadikan sekolah kedokteran. Salah seorang dokter terkenal yang menjadi
dokter pribadi Salabuddin bernama Ibnu Maymun, meskipun ia beragama Yahudi.
Pada masa Salahuddin Al-Ayyubi, umat Islam mulai mengenal perayaan han labir
Nabi Muhammad Saw. Di Indonesia, perayaan tersebut dikenal dengan istilah Maulud
Nabi.
Pada awalnya Al-Azhar merupakan tempat ibadah (masj id). pusat kaj ian ajaran
Syi ah. dan lambang kepemimpinan spiritual umat Islam. Al-Azhar didirikan oleh
Jauhar al-Katib al-Siqli, seorang panglima Dinasti Fatimiyah pada tahun 970 M.
Pendirian itu merupakan penntah Khalifah Al-Muiz Lidinillah. Sebelumnya. Masjid
Al-Azhar bernama Masjid Al-Qahirah atau Al-Jami' al-Qahirah, dan sekarang dikenal
dengan Al-Azhar. Pembangunan Al-Azhar dimulai tanggal 4 April 970 M/24 Jumadil
Ula 359 H dan selesai 7 Ramadan 361 H/22 Juni 972 M. Saat itu, bangunan mi
diresmikan sebagai tempat ibadah, yang ditandai dengan pelaksanaan Shalat Jumat
berjamaah setelah Al-Azhar resmi menjadi masjid negára, kegiatan ilmiah pertama
kalinya berupa berkumpulnya para ulama pada bulan Oktober 975 M/Shafar 365 H.
Mereka terdiri dan para fliqaha terkenal dan pejabat pemerintahan Fatirniyah di
AlAzhar. Saat itu, Abu al-Hasan Nu'man bin Muhammad al- Qirawaniy, seorang Qadi
al-Qudat (Hakim Agung) Dinasti Fàiimiyah menyampaikan cerarnah umum (Studium
Generalle). Tidak dapat diketahui dengan jelas, perubahan tiama dan Masjid AL-
Qahirah menjadi Masjid AlAzhar. Saniyah Qura'ah berpendapatbahwa penamaan
terse-but berawal dan usulanYa'kub Ibnu Killis, seorang wazir masaAl-Aziz BiIlah.
Usulan itu dinisbatkan kepada nama istana Khalifah Al- QUsyur al-Zahirah, atau
dikaitkan dengan narna putri Nabi Muhammad, yaitu Fatimah al-Zahrah. Pendapat
lain mengatakan bahwa penamaan tersebut dikaitkhan dengan sebuah planet, yaitu
Venus yang memiliki cahaya cemerlang. Ada pula ahli yang menisbahkan istilah Al-
Azhar dari kata bunga. Istilah mi kemudian menjadi simbol dan 'kemegahan'
peradaban Muslim di Kairo.
Namun demikian, terlepas darl latar belakang penamaan tersebut, yang jelas
bahwa para pendirinya berharap Masjid Al-Azhar membawa kejayaan umat Islam
maupun dunia. Dalam sejarah panjangnya, masjid mi terus dikembangkan fungsinya.
Awalnya hanya sebagai tempat ibadah dan propaganda ajaran Syi'ah, tetapi
belakangan berfungsi juga sebagai Perguruan Tinggi Islam di Kairo Mesir.
Dinasti Fatimiyah yang bermazhab Syi'ah berakhir, kekuasaannya digantikan oleh
Dinasti Ayyubiyah yang be'madzhah Sunni. Pergantian tersebut berdampak pula pada
sejarah Al-Azhar. Salahuddin al-Ayyubi juga mengeluarkan kehijakan untuk pen
gembangan Al- Azhar, antara lain:
“Al-Azhar tidak boleh digunakan untuk Shalat Jumat dan kegiatan madrasah.
Alasannya, pada rasa Dinasti Fathirniyah Al-Azhar dijadikan pusat pengembangan
ajaran Syi'ah. Masjid Al-Azhar tidak dipakai untuk Shalat Jumat dan kegiatan
pendidikan sekitar 100 tahun.”
Dimulai semenjak Salahuddin berkuasa (1171-1267 M) sampai dihidupkan
kembali oleh Sultan Malik al-Zahir Baybars dan Dinasti Mamluk yang berkuasa atas
Mesir. Meskipun Al-Azhar ditutup untuk Shalat Jumat dan madrasah masa Dinasti
Ayyubiyah, tidak berarti kegiatan keagamaan dan pendidikan tidak berkembang
Salahuddin memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan. Ia membangun
madrasah di hampir setiap wilayah kekuasaanya. Ia bahkan mendirikan pendidikan
tinggi (kulliyat) dan universitas. Sekitar 25 kulliyat didirikan pada masanya. Di antara
kulliyat yang terkenal adalah: Manãzil al-Izza, Al-Kulliyat al- 'Adiliyyah, Al-Kulliyat
al-Arsufiyyah, AL-Kulliyat al-Facliliyyah, AL-Kulliyat al-Azkasyiyah, dan AL-
Kulliyat al-'Asuriyah. Nama-nama tersebut umumuya dinisbahkan kepada para
pendirinya. Meskipun ada larangan untuk tidak menggunakan Al-Azhar sebagai pusat
kegiatan madrasah, masjid tersebut tidak sepenuhnya ditinggalkan oleh para murid dan
gurunya, hanya sebagian saja dari mereka yang meninggalkan Al-Azhar.
Pada masa pemerintahan Malik alAziz Imadudin Usman (putra Salahuddin),
tepatnya tahun 1193 M/589 H, datang seorang ulama bemama Abdul Latif al-Bagdadi.
la mengajar di Al-Azhar selama Malik al-Aziz berkuasa. Materi yang diajarkan AL-
Baghdadi meliputi Ilmu Mantiq dan Bayan. Desain Masjid Arsitektur Al-Azhar
memiliki pelataran besar berbentuk persegi panjang. Seperti Masjid Umayyah di
Damaskus, tiang kolom masjid memanfaatkan kolom-kolom kuno untuk menunjang
arcade. Arcade tersebut memiliki banyak lengkungan. Gaya dekoratifnya sebagian
besar mengikuti gaya Masjid Ibn Tulun. Pola ornamentasinya mengikuti gaya
Mesopotamia yang dibawa ke Mesir oleh Ibn Tulun. Pelataran masjid berukuran 5004
meter. Terdapat empat fasade dihiasi dekorasi bermotif daun, hiasan rosette besarnya
diletakkan di puncak arcade yang mengelilingi pelataran. Terdapat balkon lapang
untuk memandang ke segala arah. Hall di bagian dalam terdiri dari lima lajur
menghadap ke arah kiblat. Ruangannya menerapkan pola hypostyle clengan langit-
langit kayu datar yang ditopang oleh kolom-kolom, mirip dengan gaya Masjid Amr di
Kairouan, Tunisia. Kedatangan Al-Bagdadi menambah semangat -beberapa ulama
yang masih menetap di Al-Azhar. Ulama itu antara lain: Ibn al-Farid (ahli sufi
terkenal), Syeikh Abu al-Qasim al-Manfaluti, Syeikh Jamal al-Din al- Asyuyuti,
Syeikh Sahab al-Din al-Sahruni, dan Syams al-Din bin Khalikan (ahli sejarah yang
menga-rang Kitãb Wafiyat al-'Ayan). Selain mengajar mantiq dan bayan, Al-Bagdadi
juga mengajar Hadis dan fikih. Materi tersebut diajarkannya di pagi hari, sementara
pelajaran kedokteran dan ilmu Iainnya diberikan siang hingga sore hari merupakan
upaya Al-Bagdadi untuk mengenalkan Iebih jauh mazhab Sunni di Mesir.
Selama Dinasti Ayyubiyah berkuasa di Mesir (1171-1250 M), perkembangan
aliran atau mazhab Sunni sangat pesat, termasuk model dan sistem pendidikan yang
dikembangkannya. Al-Azhar sendiri telah difungsikan sebagai masjid, lembaga
pendidikan, sekaligus pusat pengembangan aj aran-aj aran Sunni. Dinasti Ayyubiyah
merupakan penguasa yang setia kepada kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad. Acuan
kebijakan pemerintahannya berkiblat ke Baghdad yang bermazhab Sunni. Al-Azhar
dijadikan salah satu lembaga strategis dalam pembelajaran, penyebaran, dan
pengembangan ajaran atau mazhab Sunni.
b. Bidang Ekonomi dan Perdagangan
Dalam hal perekonomian, Dinasti Ayyubiyah bekerja sama dengan penguasa
Muslim di wilayah lain, membangun perdagangan dengan kota-kota di Laut Tengah
dan Laut Hindia, juga menyempurnakan sistem perpajakan. Saat itu, jalur perdagangan
Islam dengan dunia internasional semakin ramai, baik melalui jalur laut maupun jalur
darat. Hal itu juga membawa pengaruh bagi negara Eropa dan negara-negara yang
dikuasainya.
Selain itu, dunia perdagangan sudah menggunakan mata uang yang terbuat dari
emas dan perak (dinar dan dirham), termasuk pengenalan mata uang dan tembaga
yang disebut fulus. Percetakan fulus dimulai pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad al-Kamil bin al-'Adil al-Ayyubi. Fulus disediakan sebagai alat tukar untuk
barang yang nilamya. kecil. Dalam bidang industri, masa Ayyubiyah sudah membuat
kincir hasil ciptaan orang Syiria. Kincir tersebut lebih canggih dibanding buatan orang
Barat saat itu. Di zaman Ayyubiyah juga sudah dibangunan pabrik karpet, pabrik kain,
dan pabrik gelas.
c. Bidang Militer dan Sistem Pertahanan
Pada masa pemerintahan Salahuddin, kekuatan militernya terkenal sangat
tanggub. Pasukannya bahkan diperkuat oleh pasukan Barbar, Turki, dan Afrika.
Mereka sudah menciptakan alat-alat perang, pasukan berkuda, pedang, dan panah.
Dinasti mi juga memiliki burung elang sebagai mata- mata dalam peperangan.
Salahuddin telah membangun monument berupa tembok kota di Kairo dan
Muqattam, yaitu Benteng Qal'al Jabal atáu lebih dikenal dengan Benteng Salahuddin
al-Ayyubi, yang sampai hari ini masih berdiri dengan megahnya. Benteng ini terletak
di sekitar Bukit Muqattam,berdekatan dengan Medan Saiyyidah Aisyah. Ide
pembangunan benteng merupakan basil pemikirannya sendiri yang terwujud tahun
1183M. Bahan untuk pondasi benteng diambilkan dan bebatuan pada Piramida di
Giza. Benteng ini bahkan dikelilingi pagar yang tinggi dan kokoh. Benteng Qal'al
Jabal memiliki beberapa pintu utama, diantaranya pintu Fath, pintu Nasr, pintu Khalk.
dan pintu Luq. Di benteng mi terdapat pula saluan air yang berasal dan sungal Nil.
Saluran air itu pernah menjadi tempat minum para tentara. Di bagian utara benteng
terdapat Masjid Muhammad Ali Pasha yang terbuat dari marmar dan granit. Dalam
kawasan benteng, te'rdapat juga di Muzium Polis, Qasrul Jawhara (Muzium Permata)
yang menyimpan perhiasan raja-raja Mesir. Sementara itu, Mathaf al-Fan al-Islami
(Muzium Kesenian Islam) yang terletak di pintu Khalk, menyimpan ribuan barang
yang melambangkan kesenian Islam semenjak zaman Nabi Saw., termasuk surat
Rasulullah Saw. kepada penguasa Mesir bemama Maqauqis untuk memeluk Islam.
1. As-Suhrawardi al-Maqtul
Nama lengkapnya ialah AbU al-Fuffil Yabya bin Habai bin Amirak Sihab al-Din
asSuhrawardi al-Kurdi. Ia lahir pada tahun 549 H11153 M di Suhraward, sebuah kampung
di kawasan Jibal, Barat Laut Iran dekat Zanjan. Dia memiliki banyak gelar seperti Syaikh
al-Isyraq, Master of Illuminationist, Al-Hakim, Asy - Syahid, the Martyr, dan Al-Maqtul.
Suhrawardi melakukan banyak perjalanan untuk menuntut ilmu. la pergi ke Kota Maraga,
Azerbaijan. Di kota ini, Suhrawardi belajar filsafat, hukum, dan teologi kepada Majd al-
Din al-Jili. Sedangkan filsafat diperdalamnya kepada Fakhr al-Din al- Mardini. Perjalanan
Suhrawardi selanjutnya ke Isfahan, Iran Tengah untuk belajar logika kepada Zahir al-Din
alQail. Ilmu Logika juga dipelajarinya dari buku Baä'ir al-Nairiyah if 'Jim Al-Maniq,
karya Urnar ibn Sahian al-Sawi. Dari Isfahan, Suhrawardi meneruskan ke Anatolia
Tenggara. la diterima dengan baik oleh pangeran Bani Saljuq.
Pengembaraannya pun tidak terhenti di situ, Suhrawardi berangkat ke Persia, pusat
lahirnya tokoh-tokoh sufi. Di sinilah dia tertarik pada pernikiran sufi sekaligus filosof.
Ajaran Tarekat Suhrawardi dalam karyanya berjudul Kitãb 'Awãr al-Ma 'ãrf dibahas
tentang latihan rohani praktis, yang terdiri dari:
a. Ma'rifah, yaitu mengenal Allah melalui sifat-sifat Allah, bahwa Allah saja-lah wujud
hakiki dan pelaku mutlak.
b. Faqr, yaitu tidak memiliki harta; seorang penempuh jalan hakikat tidak akan sampai ke
tujuan, kecuali jika sudah melewati tahap kezuhudan.
c. Tawakkal, yaitu mempercayakan segala urusan kepada pelaku mutlak (Allah).
d. Mahabbah, artinya cinta kepada Allah.
e. Fana' dan Baqa', fana' artinya akhir dari perjalanan menuju Allah, sementara baqa'
berarti awal dari perjalanan menuju Allah.
Pemikiran Suhrawardi tentang akal dan hati disebut juga konsep cahaya (iluminasi atau
isyraqiyyah), yang lahir sebagai perpaduan antara akal (logika) dan hati (intuisi). Secara
sederhana, pemikiran Suhrawardi itu dapat digambarkan sebagai berikut: dimulai dan Mir
alAnwãr yang merupakan sumber dari segala cahaya yang ada. la Maha Sempurna,
Mandiri, dan Esa sehingga tidak ada sam pun yang rnenyerupai-Nya. la adalah Allah. Mir
al-Anwär mi hanya memancarkan sebuah cahaya yang disebut Mir al-Aqrab (cahaya
pertama/terdekat). Selain Mir al-Aqrab tidak ada lagi yang muncul bersamaan dengan
cahaya terdekat. Dan Mir al-Aqrab muncul cahaya kedua, clan cahaya kedua muncul
cahaya ketiga, dari cahaya ketiga timbul cahaya keempat, dari cahaya keempat timbul
cahaya kelima, dan cahaya kelima timbul cahaya keenam, begitu seterusnya hingga
mencapai cahaya yang jumlahnya sangat banyak.
Pada setiap tingkat sinarannya, masing-masing cahaya menerima pancaran
langsung dari Mir al-Anwãr. Tiap-tiap cahaya teratas meneruskan cahayanya ke masing-
masing cahaya di bawahnya, sehingga setiap cahaya yang berada di bawah selalu
menerima pancaran dari NUr al-Anwar secara langsung. Dengan demikian, semakin ke
bawah tingkat suatu cahaya maka sernakin banyak pula ia menerima pancaran. Adapun
karya-karya Suhrawardi antara lain: Kitãb at-Talwihãt al-Lauiyyãt al- 'Arsyiyyãt, Al-Mu
qawamat, Ijikmah al- 'Isyraq, Al-Lamahãt, Hayakil al-Nür yang membahas tentang
akidah; Kitãb Risãlahft al-'Isyraq yang membahas filsafat secara singkat dan bahasa yang
mudah dipahami; Kitãb Qissah al-Gurbah al-Garbiyyah, Al- 'Aqi al-A hmar, dan Yauman
ma 'a Jamã 'at al-Sufiyyin' yang berisi penjelasan tentang dunia sufI yang sulit dipahami;
Kitãb Risãlah al-Tair dan Risãah ft al-'Isyq, yaitu terj emahan dan filsafat kiasik, dan;
Kitãb al- Waridãt wa al- Taqdisat, berisi tentang doa dan lain-lain.
2. Ibn Al-Aim (588-660 H/1192- 1262 M)
Nama lengkapnya ialah Kamäluddin Abu al-Qasim Urnar ibn Alimad ibn
Haibatullãh ibn Abi Jaradah al-'Aqil. la berasal dari bani Jaradah yang pindah dari kota
Basrah ke Allepo karena wabah penyakit. Al-A?im sendiri lahir di Allepo. Ayahnya
menjadi qacli mazhab Hanafi di kota itu. Sejak tahun 616 HI 1219 M, ia mulai mengajar
di Allepo setelah mendalami berbagai pengetahuan di Baitul Maqdis, Damaskus, Hijaz,
Irak, dan Allepo sendiri. AL-Aim pun kemudian menjadi qacli di Allepo pada masa
kekhalifahan Amir al-Aziz dan Al-Na 1 ir dari Dinasti Ayubiyah. Bukan hanya itu, ia
bahkan menjadi duta besar di Baghdad dan Kairo pasa masa kedua khalifah tersebut.
Karya Al-Aim yang paling menonjol berjudul Zubdah al-Hallab min Tarikh
Halaba: Bugyah at-Talib fi Thaiikh Halaba, berisi tentang sejarah Allepo/Halaba yang
disusun secara alfabetik. Kitab mi terdiri dari 40 juz atau 10 jilid. Al-Aim melarikan din
ke Kairo ketika tentara Mongol menguasai Allepo. la wafat di sana pada tahun 658
H/1160 M.
3. Al-Busyiri
Nama lengkapnya adalah Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin 'Abdullah
asSonhaji al-Busyiri, lahir pada tahun 1212 M di Maroko. Sejak masa kanak-kanak, ia
dididik oleh ayahnya sendiri, terutarna dalam mempelajari Al-Quran untuk mendalami
ilmu agama dan sastrã Arab. Al-Busyiri adalah seorang sufi besar, pengikut Tariqat
Syaziliyah. la menjadi salah satu murid Sultanul Auliya Syeikh Ahul Hasan Asy-Syazily,
r.a. la juga berguru kepada ulama tasawuf seperti Abu Hayyan, Abu Fath bin Ya'mari,
dan Al-'Iz bin Jama'ah al-Kanani al- Hamaw. Al-Busyiri dikenal sebagai orang yang
wara' (takut dosa). Dia pernah ditawari menjadi pegawai pemerintahan kerajaan di Mesir,
tetapi ditolaknya karena melihat perilaku pegawai kerajaan yang tidak sesuai dengan hati
nuraninya.
Al-Bushiri cukup menonjol dalam bidang sastra. Hasil karyanya yang terkenal
yaitu Qasidah Burdah. Syair ciptaannya itu dibaca dalam berbagai acara pada abad 7
Hijrah. Qasidah Burdah adalah mutiara syair kecintaan kepada Rasulullah Saw. Puisi
pujian Al- Busyiri kepada Nabi tidak terbatas pada sifat dan kualitas pribadi Nabi, tetapi
mengungkap pula keutamaan Nabi, yaitu penerima mukjizat Al-Quran. Namun demikian,
Al-Busyiri tidak hanya terkenal dengan karya Burdahnya, tetapi ia juga seorang ahli
fikih, kalam, dan tasawuf. Beberapa ulama sufi pernah menjadi guru Al-Busyiri, yaitu:
Imam Abu Hayyan; Abul Fath bin Sayyid an-Nas al-Ya'mari al-Asybali al-Misri
(pengarang Kitäb 'Uyun al-Mar fi Sirah Sayyid AlBasyar) Al 'Iz bi Jama'ah al-Kanani al-
Hamawi (seorang hakim di Mesir); dan masih banyak ularna-ulama besar Mesir lainnya
yang memberikan ilmunya kepada Al-Busyiri.
3. Abdul Latif al-Bagdadi
la adalah seorang ulama berpengaruh dan teladan bagi ulama Al-Azhar lainnya. Abdul
Latif al-Bagdadi dikenal sebagai ahli ilmu mantiq, bayan, Hadis, fikih, kedokteran, dan
ilmu lainya. la bahkan salah seorang tokoh beipengaiuh dalam pengembangan dan
penyebaran mazhab Sunni di Mesir.
Abu Abdullah al-Quda'i
Beliau adalah ahli fikih, Hadis, dan sejarah. Beberapa karyanya yang me:ionjol
antara lain: Asy-Syihãb (Bintang), Sanãd as-Sihãh (Perawi Hadis-Hadis Sahih), Manaqib
al-Irnãrn asy- Syafi 'i(Budi Pekerti Imam Syafi'i), Anba 'ai-Anbiyã' (Cerita Para Nabi),
'Uyün al-Ma'ãr(f (Mata Air Ilmu Pengetahuan), dan buku Sejarah Mesir.