Perkembangan Islam Masa Dinasti Ayyubiyah

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

PERKEMBANGAN ISLAM MASA DINASTI AYYUBIYAH

A. PROSES BERDIRINYA DINASTI AYYUBIYAH

Ayubiyah (569 H/1174 M - 650 H/1252 M) pusat pemerintahan Dinasti Ayubiyah


adalah Cairo, Mesir. Wilayah kekuasaannya meliputi kawasan Mesir, Suriah dan Yaman.
Dinasti Ayubiyah didirikan Salahudin Yusuf al-Ayyubi, setelah menaklukan khalifah
terakhir Dinasti Fatimiyah, al-Adid. Salahudin berhasil menaklukan daerah Islam lainnya
dan pasukan salib. Selain dikenal sebagai panglima perang, Salahudin juga mendorong
kemajuan di bidang agama dan pendidikan. Berakhirnya masa pemerintahan Ayubiyah
ditandai dengan meninggalnya Malik al-Asyraf Muzaffaruddin, sultan terakhir dan
berkuasanya Dinasti Mamluk. Peninggalan Ayubiyah adalah Benteng Qal'ah al-Jabal di
Cairo, Mesir.
Ayyubiyah adalah sebuah dinasti berlatarbelakang Sunni yang berkuasa di Mesir,
Suriah, sebagian Yaman, Irak, Mekah, Hijaz, dan Diyarbakir (wilayah tenggara Turki).
Dinasti Ayyubiyah didirikan oleh Salahuddin al-Ayyubi. Penamaan al-Ayyubiyah
dinisbatkan kepada nama belakangnya AL-Ayyubi, diambil dari nama kakeknya yang
bemama Ayyub. Nama besar dinasti mi diperoleh sejak Salahuddin Yusuf al-Ayyubi
berhasil mendirikan kesultanan yang bermazhab Sunni, menggantikan kesultanan
Fatimiyah yang bermazhab Syi'ah. Salahuddin al-Ayyubi memulai karir politik ketika
usianya masih muda. Ayahnya sendiri yang bernama Najmuddin bin Ayyub menjabat
sebagai kômandan pasukan di kota Ba'labak (sebelah utara Suriah). Najmuddin bin
Ayyub ditunjuk menjadi komandan oleh Nuruddin Zanki, panglima militer yang
berkuasa saat itu. Pada tahun 1164 M, Salahuddin al-Ayyubi mengikuti ekspedisi
pamannyá, Asaduddin Syirkuh ke Mesir. Lima tahun kemudian, tepatnya tahun 1169 M,
Salahuddin al- Ayyubi diangkat menjadi wazir (gubernur) oleh penguasa Dinasti
Fatimiyah dalam usia 32 tahun. la menggantikan pamannya Asaduddin Syirkuh, yang
wafat setelah dua bulan menjabat sebagai wazir. Sebagai Perdana Menteri, Salahuddin
dianugerahi gelar AlMalik an-Nasir artinya 'penguasa yang bijaksana'. Setelah Al-Adid
(Khalifah Dinasti Faimiyah yang terakhir) wafat pada tahun 1171 M, Salahuddin al-
Ayyubi mulai menjalankan kekuasaan keagamaan maupun politiknya secara penuh.
Semenjak saat itu, Dinasti Ayyubiyah berkuasa hingga sekitar 75 tahun !amanya.
Setelah Salahuddin menguasai Dinasti Fatimiyah, ia menghapus kebiasaan
mendoakan khalifah Faimiyah dalam khutbah Jurnat. Tradisi itu digantinya dengan
mendoakan khalifah Dinasti Abbasiyah, yaitu AI-Mustaç!i yang berkuasa sejak 566 H/i
170 M hingga 575H/1 180M. Namun demikian, ia tidak menghalangi rakyatnya yang
ikut faham Syi'ah. Sejak Dinasti Ayyubiyah berkuasa di Mesir bulan Mei táhun 1175M,
Al-Mustadi memberikan beberapa daerah seperti Yaman, Palestina, Suriah Tengah, dan
Magribi kepada Salahuddin. Dengan demikian, ia mendapat pengakuan dari khalifah
Abbasiyah sebagai penguasa di Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hijaz, dan Suriah Tengah.
Selama sam dasawarsa (10 tahun) kepemimpinannya kemudian, Salahuddin
berhasil menaklukkan Mesopotamia (wilayah di sekitar Irak dan Iran sekarang). la
berhasil mengangkat para penguasa setempat menjadi pemimpinnya. Dinasti Ayyubiyah
berkuasa sekitar 75 tahun.
Tercatat 9 orang khalifah yang pemah menjadi penguasa, yaitu sebagai berikut:
1. SalahuddinYusuf al-Ayyubi.(564-589 HI 117 1-1193 M);
2. Malik al-Aziz Imaduddin (589-596 H/1193-1198 M);
3. Malik al-Mansur Nasiruddin (595-596 HI (1198-1200 M);
4. Malik al-Adil Saifuddin (596-615 H/1200-1218 M);
5. Málik al-Kamil Muhammad (615-635 H/ 1218-1238 M);
6. Malik al-Adil Saifuddin (635-637 H/ 1238-1240 M);
7. Malik as-Saleh Najmuddin (637-647 HI 1240-1249 M);
8. Malik al-Mu'azzam Turansyah (647 H! 1249-1250 M);
9. Malik al-AsyrafMuzaffaruddm (647-650 HI 1250-1252 M).
Di antara kesembilan khalifah tersebut, terdapat beberapa penguasa yang
menonjol, yaitu: Salahuddin Yusuf al-Ayyubi (1171-1193 M), Malik al-Adil Saifuddin
(1200-1218 M), dan Malik al-Kamil Muhammad (1218-1238 M).

1. Salahuddin Yusuf al-Ayyubi (1171-1193 M)


Siapa yang tak mengenal Salahuddin al-Ayubi (1138-1193) Nama lengkapnya,
Salahuddin Yusuf al-Ayyubi Abdul Muzaffar Yusuf bin Najmuddin bin Ayyub.
la berasal dari bangsa Kurdi. Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin
Syirkuh hijrah (migrasi) dari kampung halamannya (dekat Danau Fan) ke daerah
Tikrit, Irak. Salahuddin lahir di benteng Tikrit tahun 532 H/i 137 M, tepat ketika
ayahnya menjadi pemimpin Benteng Seljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun
pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, Gubernur Seljuk untuk kota Mosul,
Irak. Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek (di Lebanon) tahun 534
H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Salahuddin) diangkat menjadi Gubernur Balbek
oleh Sultan Suriah bernama Nuruddin Mahmud. Salahuddin Yusuf al-Ayyubi
panglima perang Muslim yang berhasil merebut Kota Yerusalem pada Perang Salib
itu tak hanya dikenal di dunia Islam, tetapi juga peradaban Barat. Sosoknya begitu
memesona. Ia adalah pemimpin yang dihormati kawan dan dikagumi lawan. Pada
akhir 1169 M, Salahuddin mendirikan sebuah kerajaan Islam bernama Ayyubiyah. Di
era keemasannya, dinasti ini menguasai wilayah Mesir, Damaskus, Aleppo,
Diyarbakr, serta Yaman. Para penguasa Dinasti Ayyubiyah memiliki perhatian yang
sangat besar dalam bidang pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Pada masa kecilnya, Salahuddin dididik ayahnya untuk menguasai sastra, ilmu
kalam, menghafal Al-Quran dan Ilmu Hadis di madrasah. Dalam buku-buku sejarah
dituturkän bahwa cita-cita awal Salahuddiri ialah menjadi orang yang ahli agama
Islam (ulama). la senang berdiskusi tentang Ilmu Kalam, Al-Quran, fikih, clan Hadis.
Karakter kuat Salahuddin sudah terlihat semenjak masa kecilnya. Ia memiliki
sikap yang rendah hati, santun, dan penuh belas kasih. Dia tumbuh di lingkungan
keluarga agamis tetapi juga kesatria. Selain mempelajari ilmuilmu agama, Salahuddin
mengisi masa mudanya. dengan menekuni teknik perang, strategi perang, dan dunia
politik. la pernah melanjutkan pendidikannya di Damaskus untuk menekuni teologi
Sunni. Proses tersebut berlangsung selama sepuluh tahun di lingkungan istana
Nuruddin Mahmud. Dunia kemiliteran semakin diakrabinya setelah Sultan Nuruddin
menempatkan ayahnya sebagai kepala divisi militer di Damaskus. Pada umur 26
tahun, Salahuddin sudah bergabung dengan pasukan pamannya, Asaduddin Syirkuh.
Ketika itu, Gubernur Suriah (Nuruddin Zanki) menugaskan Syirkuh memimpin
pasukan Muslimin ke Mesir, sekaligus 8 l Pendalaman Materi Sejarah Kebudayaan
Islam membantu Perdana Menteri Syawar (masa Dinasti Faimiyah) untuk
menghadapi pemberontak Dirgam. Misi tersebut berhasil sehingga Syawar kembali
menjabat sebagai perdana menteri tahun 560 H/1164 M.
Pada tahun 1169, Salahuddin diangkat sebagai panglima menggantikan pamannya
yang meninggal dunia. Salahuddin semakin menunjukkan kepiawaiannya sebagai
pemimpin. la mampu mengerahkan clan mengorganisasi pasukannya serta
memperkuat pertahanan di Mesir, terutama untuk menghadapi kemungkinan serbuan
balatentara Salib. Serangan pasukan Salib ke Mesir berkali-kali mampu
dipatahkannya. Impian bersatunya kaum Muslim pun tercapai pada September 1174,
Salahuddin berhasil menundukkan Dinasti Fatithiyah di Mesir untuk patuh pada
kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad. Dinasti Ay ubiyah akhirnya berdiri di Mesir
rnenggantikan dinasti sebelumnya yang bermazhab Syi'ah. Keberhasilan Salahuddin
dalam memimpin Mesir membuat Nuruddin Zanki merasa khawatir tersaingi.
Akibatnya, hubungan mereka memburuk.
Tahun 1175 Nuruddin mengirimkan pasukan untuk menaklukan Mesir. Tetapi
gagal karena ia meninggal saat armadanya sedang dalam perjalanan. Tampuk
kekuasaan diserahkan kepada putranya yang masih sangat muda. Salahuddin pernah
berangkat ke Damaskus untuk mengucapkan bela sungkawa. Kedatangannya tersebut
banyak disambut dan dielu-elukan di Damaskus. Akhirnya, tiga tahun kemudian raja
muda tersebut sakit dan meninggal dunia pula. Posisinya langsung digantikan oleh
Salahuddin yang sudah dikenal umat Islam secara luas. la diangkat menjadi khalifah
di Suriah dan Mesir. Pergantian kekhalifahan itu sendiri dilakukan Salahuddin
dengan cara yang sangat terhorrnat. la menikahi janda mendiang Sultan demi
menghormati keluarga dinasti sebelumnya. la memulai kepemimpinannya dengan
menghidupkan kembali roda perekonomian, menata kembali sistem militer, dan
menaklukan negara-negara Muslim kecil agar bersatu melawan pasukan Salib.
Impian bersatunya bangsa Muslim tercapai setelah September 1174, Salahuddin
berhasil menundukkan Dinasti Fatimiyah di Mesir agar patuh pada khalifah
Abbasiyah di Baghdad. Dinasti Ayyubiyah akhirnya berdiri di Mesir menggantikan
Dinasti Fatimiyah yang bermazhab Syi'ah.
Berikut karekter yang dimiliki Salahuddin al-Ayyubi yang sangat kharismatik dan
kepandaiannya:
a. Kepemimpinan Salahuddin merupakan salah seorang sultan yang memiliki
kemanipuan mernimpin yang luar biasa. la mengangkat orang-orang cerdas dan
terdidik sebagai pembantunya (wazir), seperti Al-Qacli al-Faclil dan Al- Katib al-
Ifahãni, termasuk sekretaris pribadinya bemama Bahruddin bin Syadad, yang
kemudian dikenal sebagai penulis biografinya.
Salahuddin al-Ayyubi juga tidak membuat kekuasaan menjadi terpusat di
Mesir. la membagi wilayah kekuasaannya kepada saudara dan keturunannya. Di
masanya lahir beberapa kesultanan kecil Dinasti Ayyubiyah seperti Mesir,
Damaskus, Aleppo, Harnah, Horns, Mayyafaiqin, Sinjar, Kayfa, Yaman, dan
Kerak. Dalarn kegiatan perekonornian, Salahuddin bekerja sama dengan penguasa
Muslim di wilayah lain. la menggalakan perdaganggan dengan kota-kota di
sekitar Laut Tengah dan LautHindia, juga menyempurnakan sistem perpajakan.
Selain itu, Salahuddin dianggap sebagai tokoh pembaru di Mesir karena dapat
mengembalikannya ke mazhab Sunni.
Khalifah Al-Mustadi dari Dinasti Abbasiyah pernah memberi gelar Al-
Mu'iz li Amiral-Mu'rninin (penguasa yang mulia) karena keberhasilannya itu. Al-
Mustadi juga menyerahkan Mesir, Naubah, Yaman, Tripoli, Suriah, dan Magrib
sebagai wilayah kekuasaan Salahuddin pada tahun 1175 M. Semenjak saat itulah
ia dianggap sebagai Sultan al-Islam wa al-Muslimin (pernimpin umat Islam dan
kaum Muslimin).
b. Keperwiraan Salahuddin al-Ayyubi dikenal sebagai perwira militer yang memiliki
kecerdasan tinggi. Pada masa pemerintahannya, kekuatan militer Dinasti
Ayyubiyah terkenal sangat tangguh, diperkuat pula oleh pasukan Barbar di Turki
dan Afrika. la membangun tembok kota di Kairo dan bukit muqattam sebagai
benteng pertahanan. Salah satu kárya bersejarahnya selama menjadi sultan adalah
berupa benteng pertahanan bernama Qal'atul Jabal, yang dibangunnya pada tahun
1183 M di Kairo. Kehidupan Salahuddin al-Ayyubi penuh dengan perjuangan
menunaikan tugas negara dan agarna. Perang yang dilakukannya sepenuhnya
bertujuan mernbela negara dan agama. la rnerupakan seorang ksatria dan
memiliki jiwa toleransi yang tinggi. Ketika menguasai Iskandariyah, Salahuddin
tetap mengunjungi orang-orang Kristen.
Pada saat perdamaian tercapai dengan tentara Salib, ia mengijinkan orang
Kristen berziarah ke Baitul Makdis. Sebagai khalifah pertama Dinasti Ayyubiyah,
Salahuddin berusaha menyatukan seluruh provinsi Arab, terutama di Mesir dan
Syam di bawah satu kekuasaan. Namun usahanya mi banyak mendapat tantangan
dari penguasa yang merasa kedudukaimya terancam karena kepemimpinan
Salahuddin. Untuk menghadapi hal tersebut, ia melakukan berbagai upaya antara
lain:
1) Memadamkan pemberontakan oleh Hajib, orang yang paling dituakan dalam
keluarga AlAdid (khalifah terakhir Dinasti Fatimiyyah), sekaligus perluasan
wilayah Mesir sampai ke selatan Nubiah (568 H/i 173 M);
2) Perluasan wilayah Dinasti Ayyubiyah ke Yaman (569 H/1173 M);
3) Perluasan wilayah Dinasti Ayyubiyah ke Damaskus dan Mosul (570 H/1175
M).
Usaha-usaha yang dilakukan Salahuddin tersebut menuai basil yang gemilang. la
mampu menyatukan Mesir, Suriah, Nubah, Yaman, Tripoli, dan wilayah lainnya
di bawah komändo Ayyubiyah. Tujuannya agar persatuan umat Islam menjadi
kuat dalam melawan gempuran tentara Salib.
Perang Salib yang terjadi pada masa Salahuddin merupakan Perang Salib
periode kedua. Perang tersebut berlangsung sekitar tahun 1144 hingga 1192 M.
Periode mi disebut, juga periode reaksi umat Islam. Tujuan utamanya adalah
membebaskan kembali Baitul Maqdis (AL-Aqa). Peristiwa perang
terpenting yang telah dilalui oleh Salahuddin al-Ayyubi antara lain:
1) Pertempuran Safuriyah (583 H/1187 M);
2) Pertempuran Hittin (bulan Juli 583 11/1187 M);
3) Pembebasan Al-Quds/Baitul Maqdis (27 Rajab 583 H/i 187 M).
Kehadiran Salahuddin dalam perang Salib merupakan anugerah. Strategi
yang dikembangkannya mampu menyatukan umat Islam dalam membela
agamanya. Salahuddin dapat disebut sebagai pahiawan besar bagi umat Islam.
Kecintaannya terhadap agama dan umat begitu tulus. Hampir seluruh
kehidupannya dikorbankan untuk menegakkan kedaulatan negara dan umat Islam.
Keperwiraan Salahuddin terukir dalam sejarah, tidak hanya diakui oleh kaum
Muslimin tetapi juga oleh umat Kristen. Tak heran jika kota-kota Islam yang
dikuasai Ayyubiyah menjadi pusat intelektual.
Di puncak kejayaannya, beragam jenis sekolah dibangun di seluruh
wilayah kekuasaan dinasti itu. Madrasahmadrasah itu dibangun tak hanya sekadar
untuk membangkitkan dunia pendidikan, tetapi juga memopulerkan pengetahuan
tentang mazhab Sunni. Menurut Ibnu Jabir, di masa kepemimpinan Salahuddin, di
Kota Damaskus berdiri sebanyak 20 sekolah, 100 tempat pemandian, dan
sejumlah tempat berkumpulnya para sufi.
Bangunan madrasah juga didirikan di berbagai kota, seperti Aleppo,
Yerusalem, Kairo, Alexandria, dan di berbagai kota lainnya di Hijaz. Sejumlah
sekolah juga dibangun oleh para penerus takhta kerajaan Ayyubiyah. “Istri-istri
dan anak-anak perempuan penguasa Ayyubiyah, komandan, dan orangorang
terkemuka di dinasti itu mendirikan dan membiayai lembaga-lembaga
pendidikan,’’ ujar Abdul Ali dalam Islamic Dynasties of the Arab East: State and
Civilization During the Later Medieval Times. Meski Dinasti Ayyubiyah
menganut mazhab fikih Syafi’i, mereka mendirikan madrasah yang mengajarkan
keempat mazhab fikih. Sebelum Ayyubiyah menguasai Suriah, di wilayah itu tak
ditemukan sama sekali madrasah yang mengajarkan fikih mazhab Hanbali dan
Maliki. Setelah Ayyubiyah berkuasa di kawasan itu, sejarawan Ibnu Shaddad
menemukan 40 madrasah Syafi’i, 34 Hanafi, 10 Hanbali, dan tiga Maliki. Salah
satu madrasah yang dibangun pada era Dinasti Ayyubiyah adalah Madrasah
Adiliyyah di Suriah. Madrasah ini terletak di Bab Al-Bareed, sebelah kanan
sekolah AlZahiriyah di Damaskus, Suriah. Madrasah Adiliyyah berada di
kawasan Pasar Hamidiyyah. Di kompleks itu, juga terdapat Madrasah
Jaqmasiyyah dan Hammam (ruang mandi) Al-Malik AzZahir.
Madrasah Adiliyyah dibangun oleh Raja al-Adil Sayf al-Din Abu Bakar
Muhammad bin Ayub atau Sultan al-Adil I pada 1215 M. Madrasah ini
merupakan pengganti madrasah Nuriyah al Kubra yang dibangun, tetapi tak
sempat diselesaikan. Selain sebagai tempat menuntut ilmu, madrasah Nuriyah
juga dijadikan sebagai pemakaman oleh pendirinya, Nuruddin. Pembangunan
Madrasah Adiliyyah diselesaikan oleh putra Sultan al-Adil bernama alMu’azzam.
“Madrasah ini merupakan salah satu contoh penting dari arsitektur Ayyubiyah di
Suriah,’’ tulis laman arsitektur Archnet.
Berdasarkan pertimbangan stabilitas politik Dinasti Ayyubiyah,
Shalahuddin menempuh kebijaksanaan menunjuk anak dan saudaranya sebagai
penggantinya dan sebagai penguasa di wilayah kekuasaan Ayyubiyah yang lain.
Selain itu, ia juga mengandalkan kaum kerabat dan orang-orang yang tulus dalam
membantunya. Dalam memilih mereka, Shalahuddin selalu berpegang kepada
pertimbangan rasional, sampaisampai ia pernah memecat putranya al-Malik azh-
Zhahir Ghazi, sebagai gubernur Aleppo dan menyerahkannya kepada saudaranya
al-Adil, ketika kepentingan negara menuntut hal tersebut.
Ketika berhasil merangkul suatu wilayah Islam, ia tetap mempertahankan
pemerintahannya apabila mereka setuju untuk menjadi subordinasinya dan mau
melaksanakan kebijakannya dalam rangka mencapai berbagai tujuannya, bahkan
berbagai tujuan Islam secara umum. Orang yang menolak, maka ia
membiarkannya pergi kemana ia suka. Ia selalu mengedepankan cara-cara damai
dalam menjalin kesepahaman dengan mereka. Apabila salah seorang gubernur
membelot dari pemerintahannya, ia pun menutup mata dari berbagai
kesalahannya, menghadapinya dengan wajah manis dan tetap menghormatinya.
Seperti yang dilakukannya terhadap Taqiyuddin Umar saat hendak membangkang
terhadapnya dan bermaksud pergi ke Maghribi karena dia telah dipecat dari
jabatannya sebagai Gubernur Mesir. Dalam menunjuk dan memecat para
pejabatnya dia selalu memperhatikan kepentingan umum di samping
pertimbangan kondisi politik dan militer bagi negara.
Kebijakan politiknya bercirikan keadilan dan kerendahan hati, tidak
menyinggung perasaan seorang pun, tidak berlaku angkuh kepada siapapun, dan
tidak arogan terhadap seorangpun, karena sikap otoriter bukanlah tabiatnya. Cara
demikian ini diikuti oleh seluruh penguasa, namun prinsip senioritas
kepemimpinan bangsa Arab yang telah lama berlaku tidak dapat menerima sistem
suksesi secara turun-temurun. Selanjutnya sistem ini menimbulkan konflik dan
intrik di kalangan istana. Pada usia 45 tahun, Salahuddin telah menjadi orang
paling berpengaruh di dunia Islam. Selama kurun waktu 12 tahun, ia berhasil
mempersatukan Mesopotamia, Mesir, Libya, Tunisia, wilayah barat jazirah Arab
dan Yaman di bawah kekhalifahan Ayyubiyah. Kota Damasküs di Syria dijadikan
sebagai pusat pemerintahannya. Salahuddin meninggal di Damaskus pada tahun
1193 M dalam usia 57 tahun.
2. Malik al-Adji Saifuddin (596-615 H /1200-1218 M)
la lebih sering dipanggil Al-Adil. Nama lengkapnyaAl-Malik al-Adil
SaifuddinAbu Bakar bin Ayyub, putra Najmuddin Ayyub yang merupakan saudara
müda Salahuddin Yusuf al- Ayyubi. Al-Adil menjadi penguasa ke-4 Dinasti
Ayyubiyah. Pemerintahannya berlangsung tahun 596 H11200 M hingga 615 H11218
M dan berkedudukan di Damaskus. la menjadi Sultan menggantikan AL-Afdal yang
tewas dalam peperangan.
Al-Adil merupakan seorang pënguasa yang berbakat, efektif, dan bijaksana.
Prestasi yang diraihnya selama berkuasa antara lain:
a. Tahun 1168 - 1169 M, mengikuti Syirkuh (pamannya) melakukan ekspansi militer
ke Mesir;
b. Tahun 1174 M, menguasai Mesir atas nama Salahuddin Yusuf al-Ayyubi yang saat
itu mengebangkan pemerintahan di Damaskus;
c. Tahun 1169 M, dapat memadamkan pemberontakan orang-orang Kristen Koptik di
wilayah Qift, Mesir;
d. Tahun 1186-1195 M, kembali ke Mesir untuk memerangi pasukan Salib;
e. Tahun 1192-1193 M, menjadi gubernur di wilayah utara Mesir; f. Tahun 1193 M,
menghadapai pemberontakan Izzuddin di Mosul;
f. Menjadi gubernur Syiria (sekarang Suriah) dengan ibu kota Damaskus (Damsyik
atau Syam);
g. Menjadi Sultan di Damaskus.
3. Malik al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)
Nama lengkapnya adalah Al-Malik al-Kamil Nasruddin Abu Al-Ma'ali
Muhammad. Al- Kamil merupakan putra dan Al-Adil. Pada tahun 1218, ia memimpin
pertahanan menghadapi pasukan Salib yang mengepung kota Dimyat (Damietta). Dia
menjadi Sultan setelah ayahnya wafat. Pada tahun 1219, Al-Kamil hampir kehilangan
tahta karena persekongkolan kaum Kristen Koptik. la mengungsi ke Yaman untuk
menghindari kômplotan tersebut. Persekongkolan itu berhasil dipadamkan bersama
saudaranya bernama Al-Mu'azzam yang menj abat sebagai Gubernur Suriah.
Pada bulan Februari 1229 M, Al-Kamil menyepakati gencatan senjata selama 10
tahun dengan Frederick II, yang berisi antara lain:
a. la mengembalikan Yerusalem dan kota-kota suci lainnya kepada pasukan
Salib;
b. Kaum Muslimin dan Yahudi dilarang memasuki kota itu kecuali di sekitar
Masjid al-Aqsa dan Masj id Umar.
Selain itu, beberapa peristiwa penting yang dialami Al-Malik al-Kamil, antara lain:
a. Menjadi Sultan Dinasti Ayyubiyah pada tahun 1218 M, menggantikan Al-
Adil yang meninggal;
b. Pada tahun 1219M, kota Dimyat j atuh ke tangan orang-orang Kristen;
c. Al-Kamil telah beberapa kali menawarkan perdamaian dengan pasukan Salib
berupa perjanjian damai, tetapi dengan imbalan mengembalikan Yerussalem
kepada pasukan Salib;
d. Membangun kembali tembok di Yerussalem yang dirobohkan oleh Al-
Mu'azzam, saudaranya sendiri.
e. Mengembalikan salib ash yang dulu terpasang di kubah Baitul Maqdis kepada
orang Kristen; Al-Kamil meninggal dunia path tahun 1238 M Kedudukannya
sebagai sultan digantikan oleh Salih Al-Ayyubi.

B. KEBUDAYAAN ISLAM PADA MASA DINASTI AYYUBIYAH

Kebudayaan Islam pada masa Dinasti Ayyubiyah tak luput dari pendiri dinasti
tersebut yaitu Salahudin al-Ayyubi. Berikut beberapa berbagai sisi dari Dinasti
Ayyubiyah:
1. Situasi Politik
Keberhasilan Shalahuddin al-Ayyubi dalam perang Salib, membuat para tentara
mengakuinya sebagai pengganti dari pamannya, Syirkuh yang telah meninggal
setelah menguasai Mesir tahun 565 H/6661 M. Ia tetap mempertahankan lembaga–
lembaga ilmiah yang didirikan oleh Dinasti Fatimiyah tetapi mengubah orientasi
keagamaannya dari Syi‟ah menjadi Sunni. Penaklukan atas Mesir oleh Shalahuddin
pada tahun 565 H/6656 M, membuka jalan politik bagi pembentukan madzhab-
madzhab hukum Sunni di Mesir.
Madzhab Syafi‟i tetap bertahan di bawah pemerintahan Fatimiyah, sebaliknya
Shalahuddin memberlakukan madzhab-madzhab Hanafi. Keberhasilannya di Mesir
tersebut mendorongnya untuk menjadi penguasa otonom di Mesir. Sebelumnya,
Shalahuddin masih menghormati simbol-simbol Syi‟ah pada pemerintahan al-Adil
Lidinillah, setelah ia diangkat menjadi Wazir (Gubernur). Namun, setelah al-Adil
meninggal (565 H/6656 M), Shalahuddin menyatakan loyalitasnya kepada Khalifah
Abbasiyah (al-Mustadhi) di Baghdad dan secara formal menandai berakhirnya rezim
Fatimiyah di Kairo.
Jatuhnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah, secara otomatis terhentilah fungsi
madrasah sebagai penyebaran faham Syi‟ah. Salah satu penyebaran faham Syi‟ah
pada saat itu adalah melalui jalur pendidikan. Kemudian digantikan oleh Dinasti
Ayyubiyah yang menganut faham Sunni. Belajar dari Politik Dinasti Fatimiyah yang
memasukkan faham politik Syi’ah ke lembaga pendidikan, Shalahuddin mengubah
masjid Al-Azhar menjadi madrasah agama yang mengajarkan mazhab Sunni.
Shalahuddin juga mendirikan sekolah-sekolah dan zawiyahzawiyah dan memberikan
perhatian kepada mazhab Sunni.
Selain itu, banyak pihak swasta yang mendirikan madrasah-madrasah dengan
maksud untuk menanamkan ide-idenya dalam rangka mencari keridhaan Allah SWT,
Serta menyebarkan faham keagamaan yang dianutnya, yang tidak dapat disalurkan
lewat masjid karena berorientasi pada kepentingan pemerintah atau politik, yang
semakin hari semakin bertambah banyak madrasah yang didirikan pada masa
pemerintahan Dinasti Ayyubiyah. Kesultanan yang telah dibangun oleh Shalahuddin
dari Tigris sampai ke Nil telah dibagi-bagikan kepada beberapa ahli warisnya.
Sayangnya, tidak ada seorangpun di antara mereka yang mewarisi kepandaiannya.
Pada mulanya, anaknya, al-Malik al-Afdhal menggantikan tahta ayahnya di
Damaskus, al-Aziz meneruskan kekuasaan di Kairo, al-Zahir mewarisi tahta di
Aleppo dan saudara bungsu sekaligus orang kepercayaan Shalahuddin yakni al-Adil
mewarisi kekuasaan di Karak dan Syubak.
Pada tahun 511 H/6616 M, al-’Adil memanfaatkan perselisihan antara
keponakan-keponaknnya untuk mengambil kedaulatan atas Mesir dan sebagian besar
Suriah untuk dirinya sendiri. Antara tahun 6616 M dan 6611 M, al-’Adil berhasil
menguasai beberapa daerah lainnya, sehingga ia menjadi penguasa tunggal untuk
Mesir dan sebagian besar Suriah. Al-’Adil yang bergelar Saifuddin itu
mengutamakan politik perdamaian dan memajukan perdagangan dengan koloni
Perancis. Pada tahun 516 H/6111 M, al-Adil mengangkat anaknya sebagai gubernur
Mesopotamia Setelah al-Adil wafat pada tahun 664 H/6169 M, Dinasti
Ayyubiyahditeruskan oleh keturunan al-Adil yang memerintah di Mesir, Damaskus
dan Mesopota mia. Beberapa penguasa lain yang masih berasal dari keluarga
Ayyubiyah, memerintah di Emessa, Hamah, dan Yaman.
Dinasti Ayyubiyah di Mesir merupakan keturunan utama dan sering berselisih
dengan saudara mereka yang lain, yakni keluarga Ayyubiyah di Damaskus yang
memperebutkan kedaulatan atas Suriah. Rangkaian perselisihan yang terjadi dalam
dinasti Ayyubiyah tidak hanya membuat Islam kehilangan kekuatannya untuk
melakukan serangan, tetapi satu demi satu daerah taklukan Shalahuddin seperti
Beirut, Safawi, Tiberias, Askalon bahkan Yerussalem jatuh ketangan orang Franka
pada tahun 615 H/6111 M. Dalam hubungannya dengan kaum Franka, masing-
masing anggota keluarga Ayyubiyah memilih berdamai dengan mereka.
Di periode Ayyubiyah inilah kaum Franka mencapai integrasi penuh sebagai
penguasa lokal di kawasan Mediterania Timur. Para penguasa Ayyubiyah beraliansi
dengan mereka, atau berperang baik melawan mereka dan di pihak merek
(Hillenbrand, 2003: 144.) Perjanjian pertama antara orang Franka dan pribumi,
setelah Shalahuddin wafat, berlangsung di Mesir di bawah pimpinan al-Kamil (6169-
6139 M).
Al-Kamil adalah seorang pemimpin Mesir yang menggantikan ayahnya, al-Adil
yang telah menjadi pemimpin utama Dinasti Ayyubiyah, dan menerima upeti dalam
jumlah tertentu dari Suriah. Usaha pertamanya adalah membersihkan wilayahnya dari
tentara salib yang mendarat sesaat sebelum kematian ayahnya di dekat Dimyat. Dan
pada tahun berikutnya mereka telah menduduki kota itu. Serangan ke Mesir ini
berhasil dilakukan berkat dukungan penting dari republik maritim Italia. Mereka juga
beranggapan bahwa pusat kekuasan Islam telah beralih dari Suriah ke Mesir. Menurut
mereka, penaklukan Mesir akan membuka jalan untuk berlayar menuju Laut Merah,
dan ikut serta dalam perdagangan yang menguntungkan di perairan Samudera Hindia.
Setelah hampir dua tahun berada dalam perselisihan (November 6161 M - Agustus
6116 M), al-Kamil memaksa orang Franka untuk meninggalkan Dimyat, serta
memberi jalan yang bebas dan gratis bagi mereka.6 Pada tahun 6111 M, dalam suatu
perjanjian yang curang, Yerussalem diputuskan untuk diserahkan kepada Frederick,
juga daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan Akka, dengan jaminan bahwa
al-Kamil akan menerima bantuan dari Frederick untuk melawan musuh, yang
kebanyakan dari mereka adalah keluarga Ayyubiyah. Ini merupakan perjanjian
luarbiasa antara pihak Kristen dengan Islam. Yerussalem tetap berada di bawah
kekuasaan bangsa Franka sampai tahun 6144 M. Pada tahun 6141 M, penguasa
Ayyubiyah, al-Shalih Ismail menyerahkan sejumlah kastil di Galilee dan Lebanon
Selatan yag telah ditaklukkan Shalahuddin kepada kaum Franka. Al-Shalih Ismail
berinisiatif melakukan hal ini karena ingin mendapatkan bantuan dari kaum Franka
untuk melawan keponakannya al-Shalih Ayyub.
Para penguasa Ayyubiyah berusaha keras membina hubungan komersial dengan
negara-negara maritim Italia untuk mendapatkan uang dan perdamain. Para penguasa
Ayyubiyah memperoleh kekayaan berlimpah dari pelabuhan-pelabuhan di kawasan
Mediterania Timur, seperti Jaffa, Acre, dan Tirus. Mereka khawatir setiap gangguan
serius terhadap kedamaian di kawasan Mediterania Timur dapat memprovokasi kaum
Barat Eropa untuk kembali melancarkan Perang Salib berikutnya. Oleh karena itu
mereka lebih memilih berdamai dengan kaum Franka daripada berkonfrontasi. Hal
ini tampak ketika al-Kamil lebih memilih melakukan perjanjan dengan kaum Franka
(669 H/6116 M), daripada menaklukkan Dimyat. Penulis sejarah masa itu, ibn
Washil, mengatakan bahwa al-Kamil mengetahui jika raja-raja di Eropa dan Paus
mendengar terjadi agresi terhadap kelompok mereka, maka mereka akan
mengirimkan balatentara kaum Franka secara besar-besaran untuk menyerang Mesir.
Dengan demikian, para penguasa Ayyubiyah membiarkan semangat emosional
yang mencapai puncaknya dengan penaklukan Yerussalem mengendur melalui perjanjian
dengan kaum Franka, dan pada saat khotbahkhotbah keagamaan masih sangat giat
membicarakan jihad, diskursus Islam ini menjadi kurang berhubungan dengan realitas
politik pada periode Ayyubiyah (Hillenbrand, 2003144145)
2. Situasi Ekonomi
Pada masa pemerintahan Shalahuddin, Dinasti Ayyubiyah menikmati kelapangan
ekonomi dan kehidupan sejahtera, karena waktu itu pintu-pintu pemasukan banyak dan
sumber-sumber ekonomi beragam. Sumber-sumber tesebut antara lain sebagai berikut:
a. Menguasai seluruh simpanan kekayaan yang pernah dimiliki keluarga Dinasti
b. Fatimiyah setelah Mesir berada di bawah kekuasaannya.
c. Sumber Income dari Jizyah yang diberlakukan kepada golongan non Muslim.
d. Sumber income dari fidyah (tebusan) yang ditarik dari para tawanan.
e. Sumber-sumber yang berasal dari harta ghanimah (rampasan) yang dihasilkan
f. melalui peperangan.
g. Sumber-sumber pemasukan dari kharaj (pajak) yang diambil dari para tuan tanah di
daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan secara damai.
Shalahuddin bukanlah termasuk di antara para sultan yang sering membelanjakan
harta benda diluar peruntukannya atau menempatkannya pada bukan tempatnya. Akan
tetapi dia membelanjakannya di jalan Allah, mendirikan benteng-benteng, membangun
pertahanan dan merenovasi berbagai bangunan, serta membagun setiap proyek yang
dapat mendatangkan keuntungan bagi negara.
a) Kondisi pertanian Mesir adalah negara agraris.
Di sana mengalir sungai Nil. Rakyatnya adalah para petani yang senang menggarap
tanah dan bertani. Salah satu bentuk perhatian Sultan Shalahuddin terhadap pertanian
adalah membangun irigasi, membuat kanal, dan meratakan jalan-jalan. Ia juga
memberikan dukungan dan perhatian terhadap kondisi para petani.
Namun pemerintahan Shalahuddin yang terlalu mengandalkan pertanian dengan
air limpahan, pada awalnya menyebabkan pengaruh yang buruk bagi kondisi
ekonomi Mesir. Penyebabnya adalah irigasi dan mata-mata air yang ada tidak cukup
untuk mengairi ladang-ladang pertanian. Oleh karena itu tidak aneh jika terjadi
kelaparan pada masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayyubi karena kekurangan air.
Adapun penyebab dari kekurangan yang diciptakan oleh Sultan Shalahuddin ketika
itu adalah karena Ia membagi-bagikan tanah kepada anak-anaknya. Dengan kata lain,
Ia menggunakan sistem feodalisme, sehingga para petani baginya hanya menjadi
pembantu dan hamba sahaya. Hal ini menyebabkan para sultan Dinasti Ayyubiyah
memberikan perhatian untuk menyediakan kecukupan sumber-sumber air bagi para
petani. Akibatnya tidak terjadi lagi kekurangan air yang menyebabkan sulitnya
kondisi ekonomi Mesir.
b) Kondisi perdagangan dan industri
Sultan Nuruddin Zenki berusaha menyatukan dua negara, yakni antara Syam dan
Mesir. Shalahuddin pun menyambut ajakan itu karena Shalahuddin adalah penguasa
Mesir berdasarkan pengangkatan Nuruddin. Oleh karena itu, hubungan perdagangan
antara kedua negara menjadi semakin kuat. Keadaan yang demikian ini tentu sangat
positif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan taraf hidup
masyarakat yang lebih baik. Mesir mengekspor barang-barang tenunan, karpet, kulit,
dan kayu ke Syam, sedangkan Syam mengimpor kurma, buah-buahan, sutra, dan
beberapa macam bejana keramik, serta tembaga (Al-Shayim 2003: 70)
Perdagangan antara kedua negara semakin membaik ketika Karnak dan beberapa
pusat perdagangan yang sebelumnya dipegang oleh pasukan Salib dapat dikuasai.
Sebelumnya, di tempat itu pasukan Salib sering merampok dan merampas barang-
barang dagangan kaum muslimin. Ketika jalan-jalan perdagangan telah diamankan,
maka perdagangan semakin berkembang antara kaum muslimin dan beberapa negara-
negara Eropa.
Dalam bidang industri, saat itu berkembang beberapa industri kecil seperti
penyamakan kulit serta penyulingan minyak zaitun dan minyak simsim. Selain itu
berkembang pula industri sabun dan tenunan. Dengan perkembangan itu, maka
beberapa kota menjadi terkenal dengan industrinya, seperti Akhmim di Shaid, Dimyat
di Wajhil-Bahri, dan Bahnisa di Mesir bagian Tengah.
c) Kondisi kehidupan sosial
Daulah Abbasiyah, beserta raja, khalifah, dan para amirnya terkenal sebagai
pemerintahan yang boros dan berlebihan. Demikian juga halnya para khalifah dan
amir Daulah Fatimiyah yang mengadakan banyak perayaan peringatan keagamaan,
maulid, dan berbagai acara. Dalam acara-acara tersebut, mereka selalu mengadakan
jamuan makan bagi masyarakat umum.
Pada masa Daulah Ayyubiyah kondisi social masyarakatnya adalah kebalikan dari
semua itu. Hal itu karena Sultan Shalahuddin mencurahkan seluruh perhatiannya
untuk berjihad, sehingga sebagian besar kekayaan negara dipergunakan untuk
membeli dan memproduksi alat perang dan perbekalan tentara. Hal ini lebih terlihat
ketika Shalahuddin memegang kekuasaan di Mesir, saat itu pasukan Salib yang kuat
sudah berada di perbatasan Syam, dan bersiap-siap untuk menduduki kota
Iskandariyah dan Dimyat. Walaupun Shalahuddin tetap memenuhi keinginan
masyarakat untuk mengadakan acara-acara sosial atau peringatan keagamaan, namun
biaya yang dikeluarkan untuk acara tersebut sangat terbatas karena sebagian besar
kekayaan negara digunakan untuk berjihad.
Namun demikian, para sultan Ayyubiyah senang memuliakan tamu, memberi
bekal kepada ibnu sabil, membuat makanan setiap hari bagi para pelajar di Al-Azhar,
juga bagi seluruh sekolah yang mereka bangun. Kondisi kehidupan sosial di Mesir
pada waktu itu adalah dalam keadaan sederhana, tidak boros dan tidak kekurangan
(Al-Shayim 2003: 71) Ayyubiyah secara khusus enggan melanjutkan pertempuran
melawan sisa-sisa kekuatan pasukan salib. Mereka lebih memprioritaskan untuk
mempertahankan Mesir. Karena kesatuan mulai melemah akhirnya pada masa
pemerintahan al-Kamil, Dinasti Ayyubiyah yang bertempat di Diyar bakir dan al-
Jazirah mendapat tekanan dari Dinasti Seljuk Rum dan Dinasti Khiwarazim Syah.
Selanjutnya, al-Kamil mengembalikan Yerussalem kepada kaisar Frederick II yang
membawa kedamaian dan kestabilan ekonomi bagi Mesir dan Suriah.
Oleh karena itu, pada masa tersebut perdagangan kembali dikuasai oleh kekuatan
Kristen Mediterrania. Setelah al-Kamil meninggal, yakni pada tahun 6139 M, Dinasti
Ayyubiyah dirongrong oleh pertentangan-pertentangan intern pemerintah.
3. Situasi Peradaban Islam
a. Bidang Pendidikan
Pemerintahan Dinasti Ayyubiyah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota
pendidikan, terutama pada masa kekuasaan Nuruddin dan Salahuddin. Damaskus, ibu
kota Suriah asih menyimpan jejak arsitektur dan pendidikan yang dikembangkan
kedua tokoh tersebut. Nuruddin berhasil merenovasi dinding-dinding pertahanan kota,
menambahkan beberapa pintu gerbang dan menara, membangun gedung-gedung
pemerintahan yang masih bisa digunakan hingga kini, juga mendirikan madrasah
pertama di Damaskus terutama untuk pengembangan Ilmu Hadis. Madrasah terus
berkembang dan menyebar ke seluruh pelosok Suriah. Madrasah yang didinkan
Nuruddin di Aleppo (Halb), Emessa, Hamah dan Ba'labak mengikuti mazhab Syafi'i.
Madrasah tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dan masjid atau disebut
sekolah masjid.
Namun demikian, madrasah mi secara formal, yaitu menerima murid-murid dan
mengikuti model madrasah yang dikembangkan masa Dinasti Niamiyah. Nuruddin
juga membangun rumah sakit yang terkenal dengan memakai namanya sendiri, yaitu
Rumah Sakit al-Nun. mi menjadi rumah sakit kedua di Damaskus setelah Rumah Sakit
al-Walid. Fungsinya pun tidak hanya sebagai tempat pengobatan, tetapi juga sebagai
sekolah kedokteran.
Pada bangunan monumen-monumen, Nuruddin menorehkan seni menulis indah
(kaligrafi). Prasasti-prasasti yang ditulisnya menjadi daya tank para ahli paleografi
(ilmu tulisan kuno) Arab. Sejak saat itu, diperkirakan seni kaligrafi Arab bergaya Kufi
muncul dan berkembang. Kaligrafi gaya Kufi kemudian diperbaharui clan melahirkan
gaya kaligrafi Naskhi. Lukisan inskripsi Basmalah dalam skrip Kufi, abad ke. di
Museum Islam, Kairo, Mesir. Salah satu prasasti yang masih bisa dilihat dan dibaca
sampai saat mi terdapat di menara Benteng Aleppo. Menurut catatan orang Suriah dan
Hittiyah, benteng pertahanan tersebut merupakan mahakarya arsitektur Arab kuno.
Berkat jasa Nuruddin, keberadaannya terus dipertahankan, dipelihara, dan direnovasi
hingga sekarang. Makam Nuruddin sendiri, yang terletak di akademi Damaskus al-
Nuriyah, hingga kini juga masih dihbrmati dan diziarahi. Pada masa Nuruddin, fungsi
masjid dikembangkan sebagai lembaga pendidikan atau sekolah di Suriah. Bahkan
pada pemerintahan selanjutnya, lahir suatu tradisi barn, yaitu pemakaman para pendiri
sekolah masjid di bawah kubah kuburan yang mereka dirikan, baik masa Dinasti
Ayyubiyah maupun masa pemerintahan Dinasti Mamluk. Salahuddin al-Ayyubi juga
mencurahkan perhatian pada bidang pendidikan dan aristektur. la memperkenalkan
pendidikan madrasah ke berbagai wilayah yang dikuasainya, seperti ke Ye erusalem,
Mesir, dan lain-lain.
Ibnu Jubayr (1145 —1217 M), seorang ahli geografi menyebutkan bahwa
terdapat beberapa madrasah di kota Iskandariah. Madrasab terkemuka dan terbesar
berada di Kairo yang memakai namanya sendiri, yaitu Madrasah al-Salahiyah. Hanya
saja, madrasah bersejarah tersebut tidak bisa ditemukan lagi saat mi, namun sisa- sisa
arsitekturnya masih bisa dilihat. Pada tahun-tahun berikutnya, gaya arsitektur Arab mi
melahirkan beberapa monumen bersejarah di Mesir. Salah satunya yang tenndah dan
menjadi model terbaik adalah Madrasah Sultan Hasan di Kairo.
Di samping mendirikan sejumlah madrasah, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi juga
membangun dua rumah sakit di Kairo. Rancangan bangunannya mengikuti model
Rumah Sakit Nuriyah di Damaskus. Ciri khasnya adalah tempat pengobatan yang
sekaligus dijadikan sekolah kedokteran. Salah seorang dokter terkenal yang menjadi
dokter pribadi Salabuddin bernama Ibnu Maymun, meskipun ia beragama Yahudi.
Pada masa Salahuddin Al-Ayyubi, umat Islam mulai mengenal perayaan han labir
Nabi Muhammad Saw. Di Indonesia, perayaan tersebut dikenal dengan istilah Maulud
Nabi.
Pada awalnya Al-Azhar merupakan tempat ibadah (masj id). pusat kaj ian ajaran
Syi ah. dan lambang kepemimpinan spiritual umat Islam. Al-Azhar didirikan oleh
Jauhar al-Katib al-Siqli, seorang panglima Dinasti Fatimiyah pada tahun 970 M.
Pendirian itu merupakan penntah Khalifah Al-Muiz Lidinillah. Sebelumnya. Masjid
Al-Azhar bernama Masjid Al-Qahirah atau Al-Jami' al-Qahirah, dan sekarang dikenal
dengan Al-Azhar. Pembangunan Al-Azhar dimulai tanggal 4 April 970 M/24 Jumadil
Ula 359 H dan selesai 7 Ramadan 361 H/22 Juni 972 M. Saat itu, bangunan mi
diresmikan sebagai tempat ibadah, yang ditandai dengan pelaksanaan Shalat Jumat
berjamaah setelah Al-Azhar resmi menjadi masjid negára, kegiatan ilmiah pertama
kalinya berupa berkumpulnya para ulama pada bulan Oktober 975 M/Shafar 365 H.
Mereka terdiri dan para fliqaha terkenal dan pejabat pemerintahan Fatirniyah di
AlAzhar. Saat itu, Abu al-Hasan Nu'man bin Muhammad al- Qirawaniy, seorang Qadi
al-Qudat (Hakim Agung) Dinasti Fàiimiyah menyampaikan cerarnah umum (Studium
Generalle). Tidak dapat diketahui dengan jelas, perubahan tiama dan Masjid AL-
Qahirah menjadi Masjid AlAzhar. Saniyah Qura'ah berpendapatbahwa penamaan
terse-but berawal dan usulanYa'kub Ibnu Killis, seorang wazir masaAl-Aziz BiIlah.
Usulan itu dinisbatkan kepada nama istana Khalifah Al- QUsyur al-Zahirah, atau
dikaitkan dengan narna putri Nabi Muhammad, yaitu Fatimah al-Zahrah. Pendapat
lain mengatakan bahwa penamaan tersebut dikaitkhan dengan sebuah planet, yaitu
Venus yang memiliki cahaya cemerlang. Ada pula ahli yang menisbahkan istilah Al-
Azhar dari kata bunga. Istilah mi kemudian menjadi simbol dan 'kemegahan'
peradaban Muslim di Kairo.
Namun demikian, terlepas darl latar belakang penamaan tersebut, yang jelas
bahwa para pendirinya berharap Masjid Al-Azhar membawa kejayaan umat Islam
maupun dunia. Dalam sejarah panjangnya, masjid mi terus dikembangkan fungsinya.
Awalnya hanya sebagai tempat ibadah dan propaganda ajaran Syi'ah, tetapi
belakangan berfungsi juga sebagai Perguruan Tinggi Islam di Kairo Mesir.
Dinasti Fatimiyah yang bermazhab Syi'ah berakhir, kekuasaannya digantikan oleh
Dinasti Ayyubiyah yang be'madzhah Sunni. Pergantian tersebut berdampak pula pada
sejarah Al-Azhar. Salahuddin al-Ayyubi juga mengeluarkan kehijakan untuk pen
gembangan Al- Azhar, antara lain:
“Al-Azhar tidak boleh digunakan untuk Shalat Jumat dan kegiatan madrasah.
Alasannya, pada rasa Dinasti Fathirniyah Al-Azhar dijadikan pusat pengembangan
ajaran Syi'ah. Masjid Al-Azhar tidak dipakai untuk Shalat Jumat dan kegiatan
pendidikan sekitar 100 tahun.”
Dimulai semenjak Salahuddin berkuasa (1171-1267 M) sampai dihidupkan
kembali oleh Sultan Malik al-Zahir Baybars dan Dinasti Mamluk yang berkuasa atas
Mesir. Meskipun Al-Azhar ditutup untuk Shalat Jumat dan madrasah masa Dinasti
Ayyubiyah, tidak berarti kegiatan keagamaan dan pendidikan tidak berkembang
Salahuddin memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan. Ia membangun
madrasah di hampir setiap wilayah kekuasaanya. Ia bahkan mendirikan pendidikan
tinggi (kulliyat) dan universitas. Sekitar 25 kulliyat didirikan pada masanya. Di antara
kulliyat yang terkenal adalah: Manãzil al-Izza, Al-Kulliyat al- 'Adiliyyah, Al-Kulliyat
al-Arsufiyyah, AL-Kulliyat al-Facliliyyah, AL-Kulliyat al-Azkasyiyah, dan AL-
Kulliyat al-'Asuriyah. Nama-nama tersebut umumuya dinisbahkan kepada para
pendirinya. Meskipun ada larangan untuk tidak menggunakan Al-Azhar sebagai pusat
kegiatan madrasah, masjid tersebut tidak sepenuhnya ditinggalkan oleh para murid dan
gurunya, hanya sebagian saja dari mereka yang meninggalkan Al-Azhar.
Pada masa pemerintahan Malik alAziz Imadudin Usman (putra Salahuddin),
tepatnya tahun 1193 M/589 H, datang seorang ulama bemama Abdul Latif al-Bagdadi.
la mengajar di Al-Azhar selama Malik al-Aziz berkuasa. Materi yang diajarkan AL-
Baghdadi meliputi Ilmu Mantiq dan Bayan. Desain Masjid Arsitektur Al-Azhar
memiliki pelataran besar berbentuk persegi panjang. Seperti Masjid Umayyah di
Damaskus, tiang kolom masjid memanfaatkan kolom-kolom kuno untuk menunjang
arcade. Arcade tersebut memiliki banyak lengkungan. Gaya dekoratifnya sebagian
besar mengikuti gaya Masjid Ibn Tulun. Pola ornamentasinya mengikuti gaya
Mesopotamia yang dibawa ke Mesir oleh Ibn Tulun. Pelataran masjid berukuran 5004
meter. Terdapat empat fasade dihiasi dekorasi bermotif daun, hiasan rosette besarnya
diletakkan di puncak arcade yang mengelilingi pelataran. Terdapat balkon lapang
untuk memandang ke segala arah. Hall di bagian dalam terdiri dari lima lajur
menghadap ke arah kiblat. Ruangannya menerapkan pola hypostyle clengan langit-
langit kayu datar yang ditopang oleh kolom-kolom, mirip dengan gaya Masjid Amr di
Kairouan, Tunisia. Kedatangan Al-Bagdadi menambah semangat -beberapa ulama
yang masih menetap di Al-Azhar. Ulama itu antara lain: Ibn al-Farid (ahli sufi
terkenal), Syeikh Abu al-Qasim al-Manfaluti, Syeikh Jamal al-Din al- Asyuyuti,
Syeikh Sahab al-Din al-Sahruni, dan Syams al-Din bin Khalikan (ahli sejarah yang
menga-rang Kitãb Wafiyat al-'Ayan). Selain mengajar mantiq dan bayan, Al-Bagdadi
juga mengajar Hadis dan fikih. Materi tersebut diajarkannya di pagi hari, sementara
pelajaran kedokteran dan ilmu Iainnya diberikan siang hingga sore hari merupakan
upaya Al-Bagdadi untuk mengenalkan Iebih jauh mazhab Sunni di Mesir.
Selama Dinasti Ayyubiyah berkuasa di Mesir (1171-1250 M), perkembangan
aliran atau mazhab Sunni sangat pesat, termasuk model dan sistem pendidikan yang
dikembangkannya. Al-Azhar sendiri telah difungsikan sebagai masjid, lembaga
pendidikan, sekaligus pusat pengembangan aj aran-aj aran Sunni. Dinasti Ayyubiyah
merupakan penguasa yang setia kepada kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad. Acuan
kebijakan pemerintahannya berkiblat ke Baghdad yang bermazhab Sunni. Al-Azhar
dijadikan salah satu lembaga strategis dalam pembelajaran, penyebaran, dan
pengembangan ajaran atau mazhab Sunni.
b. Bidang Ekonomi dan Perdagangan
Dalam hal perekonomian, Dinasti Ayyubiyah bekerja sama dengan penguasa
Muslim di wilayah lain, membangun perdagangan dengan kota-kota di Laut Tengah
dan Laut Hindia, juga menyempurnakan sistem perpajakan. Saat itu, jalur perdagangan
Islam dengan dunia internasional semakin ramai, baik melalui jalur laut maupun jalur
darat. Hal itu juga membawa pengaruh bagi negara Eropa dan negara-negara yang
dikuasainya.
Selain itu, dunia perdagangan sudah menggunakan mata uang yang terbuat dari
emas dan perak (dinar dan dirham), termasuk pengenalan mata uang dan tembaga
yang disebut fulus. Percetakan fulus dimulai pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad al-Kamil bin al-'Adil al-Ayyubi. Fulus disediakan sebagai alat tukar untuk
barang yang nilamya. kecil. Dalam bidang industri, masa Ayyubiyah sudah membuat
kincir hasil ciptaan orang Syiria. Kincir tersebut lebih canggih dibanding buatan orang
Barat saat itu. Di zaman Ayyubiyah juga sudah dibangunan pabrik karpet, pabrik kain,
dan pabrik gelas.
c. Bidang Militer dan Sistem Pertahanan
Pada masa pemerintahan Salahuddin, kekuatan militernya terkenal sangat
tanggub. Pasukannya bahkan diperkuat oleh pasukan Barbar, Turki, dan Afrika.
Mereka sudah menciptakan alat-alat perang, pasukan berkuda, pedang, dan panah.
Dinasti mi juga memiliki burung elang sebagai mata- mata dalam peperangan.
Salahuddin telah membangun monument berupa tembok kota di Kairo dan
Muqattam, yaitu Benteng Qal'al Jabal atáu lebih dikenal dengan Benteng Salahuddin
al-Ayyubi, yang sampai hari ini masih berdiri dengan megahnya. Benteng ini terletak
di sekitar Bukit Muqattam,berdekatan dengan Medan Saiyyidah Aisyah. Ide
pembangunan benteng merupakan basil pemikirannya sendiri yang terwujud tahun
1183M. Bahan untuk pondasi benteng diambilkan dan bebatuan pada Piramida di
Giza. Benteng ini bahkan dikelilingi pagar yang tinggi dan kokoh. Benteng Qal'al
Jabal memiliki beberapa pintu utama, diantaranya pintu Fath, pintu Nasr, pintu Khalk.
dan pintu Luq. Di benteng mi terdapat pula saluan air yang berasal dan sungal Nil.
Saluran air itu pernah menjadi tempat minum para tentara. Di bagian utara benteng
terdapat Masjid Muhammad Ali Pasha yang terbuat dari marmar dan granit. Dalam
kawasan benteng, te'rdapat juga di Muzium Polis, Qasrul Jawhara (Muzium Permata)
yang menyimpan perhiasan raja-raja Mesir. Sementara itu, Mathaf al-Fan al-Islami
(Muzium Kesenian Islam) yang terletak di pintu Khalk, menyimpan ribuan barang
yang melambangkan kesenian Islam semenjak zaman Nabi Saw., termasuk surat
Rasulullah Saw. kepada penguasa Mesir bemama Maqauqis untuk memeluk Islam.

C. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM DAN TOKOH-TOKOHNYA PADA MASA


DINASTI AYYUBIYAH

1. As-Suhrawardi al-Maqtul
Nama lengkapnya ialah AbU al-Fuffil Yabya bin Habai bin Amirak Sihab al-Din
asSuhrawardi al-Kurdi. Ia lahir pada tahun 549 H11153 M di Suhraward, sebuah kampung
di kawasan Jibal, Barat Laut Iran dekat Zanjan. Dia memiliki banyak gelar seperti Syaikh
al-Isyraq, Master of Illuminationist, Al-Hakim, Asy - Syahid, the Martyr, dan Al-Maqtul.
Suhrawardi melakukan banyak perjalanan untuk menuntut ilmu. la pergi ke Kota Maraga,
Azerbaijan. Di kota ini, Suhrawardi belajar filsafat, hukum, dan teologi kepada Majd al-
Din al-Jili. Sedangkan filsafat diperdalamnya kepada Fakhr al-Din al- Mardini. Perjalanan
Suhrawardi selanjutnya ke Isfahan, Iran Tengah untuk belajar logika kepada Zahir al-Din
alQail. Ilmu Logika juga dipelajarinya dari buku Baä'ir al-Nairiyah if 'Jim Al-Maniq,
karya Urnar ibn Sahian al-Sawi. Dari Isfahan, Suhrawardi meneruskan ke Anatolia
Tenggara. la diterima dengan baik oleh pangeran Bani Saljuq.
Pengembaraannya pun tidak terhenti di situ, Suhrawardi berangkat ke Persia, pusat
lahirnya tokoh-tokoh sufi. Di sinilah dia tertarik pada pernikiran sufi sekaligus filosof.
Ajaran Tarekat Suhrawardi dalam karyanya berjudul Kitãb 'Awãr al-Ma 'ãrf dibahas
tentang latihan rohani praktis, yang terdiri dari:
a. Ma'rifah, yaitu mengenal Allah melalui sifat-sifat Allah, bahwa Allah saja-lah wujud
hakiki dan pelaku mutlak.
b. Faqr, yaitu tidak memiliki harta; seorang penempuh jalan hakikat tidak akan sampai ke
tujuan, kecuali jika sudah melewati tahap kezuhudan.
c. Tawakkal, yaitu mempercayakan segala urusan kepada pelaku mutlak (Allah).
d. Mahabbah, artinya cinta kepada Allah.
e. Fana' dan Baqa', fana' artinya akhir dari perjalanan menuju Allah, sementara baqa'
berarti awal dari perjalanan menuju Allah.
Pemikiran Suhrawardi tentang akal dan hati disebut juga konsep cahaya (iluminasi atau
isyraqiyyah), yang lahir sebagai perpaduan antara akal (logika) dan hati (intuisi). Secara
sederhana, pemikiran Suhrawardi itu dapat digambarkan sebagai berikut: dimulai dan Mir
alAnwãr yang merupakan sumber dari segala cahaya yang ada. la Maha Sempurna,
Mandiri, dan Esa sehingga tidak ada sam pun yang rnenyerupai-Nya. la adalah Allah. Mir
al-Anwär mi hanya memancarkan sebuah cahaya yang disebut Mir al-Aqrab (cahaya
pertama/terdekat). Selain Mir al-Aqrab tidak ada lagi yang muncul bersamaan dengan
cahaya terdekat. Dan Mir al-Aqrab muncul cahaya kedua, clan cahaya kedua muncul
cahaya ketiga, dari cahaya ketiga timbul cahaya keempat, dari cahaya keempat timbul
cahaya kelima, dan cahaya kelima timbul cahaya keenam, begitu seterusnya hingga
mencapai cahaya yang jumlahnya sangat banyak.
Pada setiap tingkat sinarannya, masing-masing cahaya menerima pancaran
langsung dari Mir al-Anwãr. Tiap-tiap cahaya teratas meneruskan cahayanya ke masing-
masing cahaya di bawahnya, sehingga setiap cahaya yang berada di bawah selalu
menerima pancaran dari NUr al-Anwar secara langsung. Dengan demikian, semakin ke
bawah tingkat suatu cahaya maka sernakin banyak pula ia menerima pancaran. Adapun
karya-karya Suhrawardi antara lain: Kitãb at-Talwihãt al-Lauiyyãt al- 'Arsyiyyãt, Al-Mu
qawamat, Ijikmah al- 'Isyraq, Al-Lamahãt, Hayakil al-Nür yang membahas tentang
akidah; Kitãb Risãlahft al-'Isyraq yang membahas filsafat secara singkat dan bahasa yang
mudah dipahami; Kitãb Qissah al-Gurbah al-Garbiyyah, Al- 'Aqi al-A hmar, dan Yauman
ma 'a Jamã 'at al-Sufiyyin' yang berisi penjelasan tentang dunia sufI yang sulit dipahami;
Kitãb Risãlah al-Tair dan Risãah ft al-'Isyq, yaitu terj emahan dan filsafat kiasik, dan;
Kitãb al- Waridãt wa al- Taqdisat, berisi tentang doa dan lain-lain.
2. Ibn Al-Aim (588-660 H/1192- 1262 M)
Nama lengkapnya ialah Kamäluddin Abu al-Qasim Urnar ibn Alimad ibn
Haibatullãh ibn Abi Jaradah al-'Aqil. la berasal dari bani Jaradah yang pindah dari kota
Basrah ke Allepo karena wabah penyakit. Al-A?im sendiri lahir di Allepo. Ayahnya
menjadi qacli mazhab Hanafi di kota itu. Sejak tahun 616 HI 1219 M, ia mulai mengajar
di Allepo setelah mendalami berbagai pengetahuan di Baitul Maqdis, Damaskus, Hijaz,
Irak, dan Allepo sendiri. AL-Aim pun kemudian menjadi qacli di Allepo pada masa
kekhalifahan Amir al-Aziz dan Al-Na 1 ir dari Dinasti Ayubiyah. Bukan hanya itu, ia
bahkan menjadi duta besar di Baghdad dan Kairo pasa masa kedua khalifah tersebut.
Karya Al-Aim yang paling menonjol berjudul Zubdah al-Hallab min Tarikh
Halaba: Bugyah at-Talib fi Thaiikh Halaba, berisi tentang sejarah Allepo/Halaba yang
disusun secara alfabetik. Kitab mi terdiri dari 40 juz atau 10 jilid. Al-Aim melarikan din
ke Kairo ketika tentara Mongol menguasai Allepo. la wafat di sana pada tahun 658
H/1160 M.
3. Al-Busyiri
Nama lengkapnya adalah Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin 'Abdullah
asSonhaji al-Busyiri, lahir pada tahun 1212 M di Maroko. Sejak masa kanak-kanak, ia
dididik oleh ayahnya sendiri, terutarna dalam mempelajari Al-Quran untuk mendalami
ilmu agama dan sastrã Arab. Al-Busyiri adalah seorang sufi besar, pengikut Tariqat
Syaziliyah. la menjadi salah satu murid Sultanul Auliya Syeikh Ahul Hasan Asy-Syazily,
r.a. la juga berguru kepada ulama tasawuf seperti Abu Hayyan, Abu Fath bin Ya'mari,
dan Al-'Iz bin Jama'ah al-Kanani al- Hamaw. Al-Busyiri dikenal sebagai orang yang
wara' (takut dosa). Dia pernah ditawari menjadi pegawai pemerintahan kerajaan di Mesir,
tetapi ditolaknya karena melihat perilaku pegawai kerajaan yang tidak sesuai dengan hati
nuraninya.
Al-Bushiri cukup menonjol dalam bidang sastra. Hasil karyanya yang terkenal
yaitu Qasidah Burdah. Syair ciptaannya itu dibaca dalam berbagai acara pada abad 7
Hijrah. Qasidah Burdah adalah mutiara syair kecintaan kepada Rasulullah Saw. Puisi
pujian Al- Busyiri kepada Nabi tidak terbatas pada sifat dan kualitas pribadi Nabi, tetapi
mengungkap pula keutamaan Nabi, yaitu penerima mukjizat Al-Quran. Namun demikian,
Al-Busyiri tidak hanya terkenal dengan karya Burdahnya, tetapi ia juga seorang ahli
fikih, kalam, dan tasawuf. Beberapa ulama sufi pernah menjadi guru Al-Busyiri, yaitu:
Imam Abu Hayyan; Abul Fath bin Sayyid an-Nas al-Ya'mari al-Asybali al-Misri
(pengarang Kitäb 'Uyun al-Mar fi Sirah Sayyid AlBasyar) Al 'Iz bi Jama'ah al-Kanani al-
Hamawi (seorang hakim di Mesir); dan masih banyak ularna-ulama besar Mesir lainnya
yang memberikan ilmunya kepada Al-Busyiri.
3. Abdul Latif al-Bagdadi
la adalah seorang ulama berpengaruh dan teladan bagi ulama Al-Azhar lainnya. Abdul
Latif al-Bagdadi dikenal sebagai ahli ilmu mantiq, bayan, Hadis, fikih, kedokteran, dan
ilmu lainya. la bahkan salah seorang tokoh beipengaiuh dalam pengembangan dan
penyebaran mazhab Sunni di Mesir.
Abu Abdullah al-Quda'i
Beliau adalah ahli fikih, Hadis, dan sejarah. Beberapa karyanya yang me:ionjol
antara lain: Asy-Syihãb (Bintang), Sanãd as-Sihãh (Perawi Hadis-Hadis Sahih), Manaqib
al-Irnãrn asy- Syafi 'i(Budi Pekerti Imam Syafi'i), Anba 'ai-Anbiyã' (Cerita Para Nabi),
'Uyün al-Ma'ãr(f (Mata Air Ilmu Pengetahuan), dan buku Sejarah Mesir.

D. FAKTOR-FAKTOR RUNTUHNYA DINASTI AYYUBIYAH

Pada tahun 1199 M, Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi meninggal di damaskus, dan


digantikan oleh saudaranya, sultan al-„Adil. Pada tahun 1218 M, al-’Adil meninggal
setelah kalah perang melawan Pasukan Salib dan kota dimyath jatuh ke tangan Tentara
Salib. Setelah meninggal al-’Adil digantikan oleh oleh al-Kamil. Al-Kamil melanjutkan
perang melawan tentara salib. Akan tetapi, antara al-Kamil dengan saudaranya Al-Mulk
al-Mu‟azham (gubernur Damaskus) terjadi konflik. Al-Kamil merasa bahwa al-
Mu‟azham akan menyingkirkannya. Oleh karena itu, al-Kamil mengirim duta kepada
Frederick Barbarossa dengan menawarkan kerjasama dan Yerussalem di jadikan sebagai
imbalan atas bantuan Frederick (Yatim, 1998: 79). Setelah meninggal al-Kamil
digantikan oleh putranya, Abu Bakar dengan gelarnya alAdil II (berlangsung selama tiga
tahun).
Kepemimpinan Abu Bakar ditolak oleh saudaranya, al-Malik al-Shalih Najm al-
Din Ayyub. Budak-budak Abu Bakar bersengkongkol dengan alMalik al-Shalih sehingga
berhasil menjatuhkan Abu Bakar dan mengangkat al-Malik al-Shalih Najm al-Din Ayyub
(1240-1249M) sebagai Sultan. Selama al-Malik al-Shalih menjadi pemimpin, pamannya,
Ismail bekerja sama dengan pimpinan Pasukan Salib. Frank mengepung Damaskus. Al-
Malik dapat mematahkan konfras tersebut dan mengalahkan pasukan Frank di dekat
Gaza. Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi berhasil mendirikan tiga buah Madrasah di kairo
dan iskandariyah untuk mengembangkan Mazhab Sunni. Al-Kamil mendirikan sekolah
Tinggi al-Kamiliyah yang sejajar dengan perguruan tinggi lainnya. Ibnu Khalikan
menggambarkan bahwa al-Kamil adalah pecinta Ilmu Pengetahuan, pelindung para
Ilmuan, dan Seorang Muslim yang bijaksana (Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, 1993:
86). Untuk mempertahankan kekuasaan, al-Malik al-Shalih mendatangkan budak-budak
dari Turki dalam jumlah besar untuk dilatih kemiliteran yang ditempatkan di dekat sungai
Nil yang juga disebut Laut (Al-Bahr) sehingga mereka disebut Mamluk Al-Bahr. Setelah
meninggal al-Malik Al-Shalih diganti oleh anaknya, Turansyah.
Konflik terjadi antara Turansyah dengan Mamluk Bahr, Turansyah dianggap
mengabaikan peran Mamluk al-Bahr dan lebih mengutamakan tentara yang berasal dari
Kurdi. Oleh karena itu Mamluk al-Bahr di bawah pimpinan Baybars dan Izzudin Aybak
melakukan kudeta terhadap Turansyah (1250 M). Turansyah pun terbunuh, maka
berakhirlah dinasti Ayyubiyah (Sunanto, 2003: 157).
Rangkuman
1. Dinasti Ayyubiyah adalah dinasti yang berdiri setelah keruntuhan Dinasti Fatimiyah yang
tidak mampu menghalau kekuatan serangan tentara Salib pada masa itu. Dinasti
Ayyubiyah berdiri pada tahun 6611 M oleh Shalahuddin al- Ayyubi, yang dulunya adalah
seorang panglima perang raja Nuruddin. Dinasti Ayyubiyah berkembang menjadi dinasti
yang besar dan tangguh di bawah kepemimpinan Shalahudin al-Ayyubi. Ia menjulang
reputasinya ketika berhasil melawan tentara Salib dan berhasil membebaskan
Yerussalem. Shalahuddin al-Ayyubi dengan sekuat tenaga bersama pasukannya
menghalau tentara Salib hingga kaum muslim menguasai kota Yerussalem.
2. Selain mempertahankan dan memperluas kekuasaan, Shalahuddin al-Ayyubi juga
mendirikan sarana pendidikan untuk generasi penerus yang mana lebih menekankan pada
nilai-nilai ajaran Sunni. Pada masa pemerintahan Dinasti Ayyubiyah, al-Azhar selain
dijadikan sebagai tempat pendidikan juga sebagai wadah politik dan pertahanan ajaran
Sunni. Hal ini dilakukan setelah runtuhnya Dinasti Fatimiyah. Selain itu, khalifah
setelahnya pun banyak mendirikan perguruan-perguruan tinggi yang semakin pesat.
3. Hubungan politik dengan pendidikan yang terjadi pada saat itu tidak membuat
pendidikan malah menurun. Banyak ulama-ulama yang berdatangan dari berbagai
penjuru dengan mengajarkan ilmu-ilmu nya pada generasi penerus, menambah khazanah
keilmuan dan melahirkan para ilmuan-ilmuan pada saat itu serta dibuktikan dengan
banyaknya bermunculan madrasah-madrasah dan pembangunan diberbagai bidang, baik
pendidikan, keilmuan, arsitektur, filsafat, perdagangan (ekonomi) maupun militer.
Berakhirnya Dinasti Ayyubiyah setelah khalifah terakhir terbunuh karena adanya konflik
antara Turansyah dengan Mamluk Bahr.

Anda mungkin juga menyukai